issn 1907-3046 jurnal ilmiah pannmedpannmed.poltekkes-medan.ac.id/files/2017/mei-agu/panmed mei...
TRANSCRIPT
JURNAL ILMIAH
PANNMED (Pharmacist, Analyst, Nurse, Nutrition, Midwifery, Environment, Dentist)
VOL.12 NO.1 MEI-AGUS 2017
TERBIT TIGA KALI SETAHUN (PERIODE JANUARI, MEI, SEPTEMBER)
Penanggung Jawab:
Dra. Ida Nurhayati, M.Kes.
Redaktur:
Drg. Herlinawati, M.Kes.
Penyunting Editor:
Soep, SKp., M.Kes. Nelson Tanjung, SKM., M.Kes.
Dra. Ernawaty, M.Si, Apt.
Fauzi Romeli, SKM, M.Kes
Cecep Triwibowo, S.Kp., M.Kes.
Desain Grafis & Fotografer:
Nastika Sari Lubis, S.Kep., Ns.
Julia Hasanah
Sekretariat:
Sumarni, SST
Mitra Bestari:
Dr. dr. Juliandi Harahap, M.A. (FK. USU Medan)
Dr. Saryono, S.Kp., M.Kes. (FIKes Universitas Jenderal
Sudirman, Purwokerto)
Alamat Redaksi:
Jl. Let Jend Jamin Ginting KM 13.5
Kelurahan Laucih Kec. Medan Tuntungan
Telp: 061-8368633
Fax: 061-8368644
DAFTAR ISI Editorial Higiene Genetalia Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Infeksi Menular Seksual Pada Ibu Rumah Tangga (Studi Kasus Puskesmas Bandarharjo Semarang) Oleh Kumalasari, Anies, Henry Setyawan, Bagoes Widjanarko, Muchlis A.U. Sofr...........................1-5 Gambaran Peranan Penyuluhan Metode Demonstrasi Terhadap Pengetahuan Menyikat Gigi Pada Siswa/I Kelas Iv Sd 068003 Kayu Manis Perumnas Simalingkar Kecamatan Medan Tuntungan. Oleh Sri Junita Nainggolan................................................6-8 Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat Terhadap Kepuasan Pasien Di Rumah Sakit Martha Friska Medan Oleh Abdul Hanif Siregar, Syarif Zein Yahya ............................................................................9-14
Efek fungistatis, fungisidal ekstrak kayu manis terhadap candida albicans Dan efek bakteristatis bakterisidal terhadap staphylococcus aureus Dari denture stomatitis Oleh Minasari, Dennis Domika.............................................................15-20 Pengaruh berkumur larutan madu terhadap indeks plak Pada siswa-siswi kelas vi sd negeri 066038 Kecamatan medan tuntungan Oleh Herlinawati..................21-24 Hubungan Pengetahuan Ibu Bekerja Tentang Manajemen Laktasi Dan Dukungan Tempat Kerja Dengan Perilaku Ibu Dalam Pemberian ASI Di Wilayah Kerja Puskesmas Pembantu (Pustu) Amplas Medan Oleh Lusiana Gultom............................25-31
P Perbedaan penurunan indeks plak menyikat gigi Dengan teknik bass dan roll pada siswa/i Smp swasta gajah mada medan kelas vii Tahun 2016 Oleh Netty Jojor Aritonang................................................ 32-35 Pengaruh pemberian asi eksklusif dengan kejadian ispa pada anak batita di puskesmas singosari kota pematangsiantar Oleh Sri Hernawati ............... 36-44 Hubungan response time perawat dengan kepuasan keluarga pasien di instalansi gawat darurat (igd) rsud dr. Pirngadi medan tahun 2016 Oleh Ns, Marlissa ..........................................................................45-49
ISSN 1907-3046
Pengetahuan anak tentang menyikat gigi yang baik
terhadap halitosis pada siswa-siswi kelas iv sd swasta st.
Ignatius Medan johor Oleh Susy Adrianelly
Simaremare....................................................... 50-53
Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Penggunaan
Antibiotik Pada Masa Kehamilan Terhadap Pewarnaan
Gigi Anak Balita Di Kelurahan Lau Cih Kecamatan
Medan Tuntungan Oleh Ngena Ria..................54-57
Peranan komunikasi terapeutik oleh mahasiswa tingkat ii jkg terhadap sikap pasien anak dalam tindakan
pencabutan gigi di klinik jkg Poltekkes kemenkes ri
medantahun 2017 Oleh Rawati siregar, Cindy Fortunella
Harefa. ........…...….........................58-61
Pengetahuan Siswa Tentang Seks Pranikah Di Sma
Negeri 1 Berastagi Tahun 2017 Oleh Susanti Br
Perangin-Angin................................................ 62-68
Analisis Pelaksanaan Pelayanan Gigi Dan Mulut Pasien
Jaminan Kesehatan Nasional (Jkn) Di Puskesmas Kabupaten Deli Serdang Tahun 2015 Oleh Irma
Syafriani Br Sinaga..................................69-74
Pengaruh metode bercerita dengan gambar terhadap
perkembangan bahasa anak menggunakan denver ii
pada Usia 3-5 tahun di yayasan puteri sion medan tahun
2017 Oleh Tiurlan Mariasima Doloksaribu, Adelima
Simamora, Sriningsih Sinaga
..........................................................................75-80
Pengaruh aromatherapi,relaksasi oto progresif terhadap
penurunan kecemasan ibu hamil menjelang persalinan di bpm simalungun Oleh Kandace Sianipar, Renny
Sinaga, Yusliana Nainggolan............................81-91
Efektivitas Perineum Massage Dengan Modifikasi
Hands-Off Dan Perineum Massage Dengan Modifikasi
Hands-On Terhadap Ruptur Perineum Di Bpm Kota
Pematangsiantar Oleh Juliani Purba, Tengku Sri
Wahyuni.....................................................92-95
Perbedaan Penurunan Intensitas Nyeri Dismenorea Pada
Remaja Dengan Menggunakan Relaksasi Nafas Dalam Dan Relaksasi Imajinasi Termbimbing Oleh Hotma
Sauhur Hutagaol
.........................................................................96-99
Efektivitas Berkumur Larutan Ekstrak Etanol Kulit Kayu
Manis Dalam Menurunkan Akumulasi Plak Gigi Oleh
Syahdiana Waty, Dwi Suryanto, Yurnaliza
.............................................................................100-102
Diterbitkan oleh : POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN
Jl. Jamin Ginting KM. 13,5 Kel. Lau Cih Medan Tuntungan Kode Pos : 20136
www.poltekkes-medan.ac.id/pannmed
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal PANNMED merupakan salah satu wadah untuk menampung hasil penelitian Dosen Politeknik
Kesehatan Kemenkes Medan.
Jurnal PANNMED Edisi Januari – April 2017 Vol. 11 No. 3 yang terbit kali ini menerbitkan sebanyak 21 Judul Penelitian.
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Direktur atas supportnya sehingga Jurnal ini dapat terbit
2. Dosen-dosen yang telah mengirimkan tulisan hasil penelitiannya dan semoga dengan terbitnya jurnal
ini dapat memberi semangat kepada dosen yang lain untuk berkreasi menulis hasil penelitian sehingga
bisa diterbitkan ke Jurnal Pannmed ini.
Akhir kata, kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun agar jurnal ini dapat menjadi jurnal yang
berkualitas seperti harapan kita bersama.
Redaksi
1
HIGIENE GENETALIA SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERJADINYA
INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA IBU RUMAH TANGGA
( Studi Kasus Puskesmas Bandarharjo Semarang)
Kumalasari, Anies, Henry Setyawan,
Bagoes Widjanarko, Muchlis A.U. Sofro
` ABSTRAK
Latar Belakang : IMS mengakibatkan masalah kesehatan seksual dan reproduksi yang berdampak kepada
kalangan perempuan terutama ibu rumah tangga, anak-anak dan orang-orang miskin. Faktor yang dapat mempengaruhi kejadian IMS meliputi semua aspek epidemiologi: umur, ras, pendidikan, pekerjaan, status
ekonomi, status perkawinan, pengetahuan, sikap dan praktik dalam perawatan higiene genetalia. Puskesmas
Bandarharjo memiliki angka kejadian IMS yang cukup tinggi 50 kasus di tahun 2014 dan 90% adalah ibu
rumah tangga. Penelitian ini ingin membuktikan faktor higiene genetalia berpengaruh terhadap kejadian IMS
pada ibu rumah tangga.
Metode : Penelitian ini menggunakan pendekatan mix method dengan desain studi kasus-kontrol, jumlah
sampel sebanyak 80 dengan perbandingan 1:1 (40 responden masing-masing kelompok), di wilayah kerja
Puskesmas Bandarharjo. Sebagai kasus adalah ibu rumah tangga yang positif IMS dan kontrol adalah ibu
rumah tangga yang negatif IMS setelah diperiksa secara fisik dan laboratorium di Puskesmas Bandarharjo.
Data di analisis secara univariat, bivariat (chi-square), dan multivariat (regresi logistik), dilanjutkan indepth-
interview. Hasil : Beberapa faktor yang terbukti berpengaruh terhadap IMS pada Ibu rumah tangga adalah tidak cebok
sebelum melakukan hubungan seksual (OR=7,7; 95% CI 2,0-29,1; p=0,002), vaginal douching (OR=7,7;
95% CI 2,0-29,1; p=0,002), Pendapatan keluarga rendah < UMR (OR=4,0; 95% CI 1,4-14,3; p=0,030).
Simpulan : Faktor higiene genetalia yang berpengaruh terhadap IMS pada Ibu rumah tangga adalah tidak
cebok sebelum HUS, melakukan vaginal douching, pendapatan keluarga < UMR.
Kata Kunci : IMS, Ibu rumah tangga, Higiene genetalia.
PENDAHULUAN
Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah penyakit
yang timbul atau ditularkan melalui hubungan seksual (1-
2), yang sebagian besar menular lewat hubungan seksual
dengan pasangan yang sudah tertular, namun ini hanya
menunjuk pada penyakit yang ada dikelamin. Istilah IMS
lebih luas maknanya, karena menunjuk pada cara penularannya(3). IMS dapat mengakibatkan masalah yang
besar dalam kesehatan masyarakat terutama konsekuensi
terhadap kesehatan seksual dan reproduksi yang lebih
berdampak kepada kalangan perempuan, anak-anak dan
orang-orang miskin(4).
Faktor yang dapat mempengaruhi kejadian IMS
meliputi semua aspek epidemiologi yaitu umur, ras,
pendidikan, pekerjaan, status ekonomi, status perkawinan,
pengetahuan sikap dan praktik dalam perawatan higiene
genetalia(5)
Perawatan area genetalia sangat jarang
dibicarakan oleh masyarakat Indonesia karena terkesan tabu dan jorok. Higiene genetalia adalah perawatan
kebersihan alat kelamin khususnya pada perempuan agar
tetap terjaga keseimbangan flora normal dalam vagina(2)..
Data yang dikeluarkan World Health
Organization (WHO) tahun 2013, lebih dari satu juta orang
memperoleh infeksi menular seksual setiap hari. Setiap
tahunnya sekitar 500 juta orang menjadi sakit dengan salah
satu dari empat jenis infeksi menular seksual, yaitu
klamidia, gonore, sifilis,dan trikomoniasis. Lebih dari 290
juta wanita memiliki human papilloma virus(5,6). Berdasarkan data dikalangan kelompok berisiko tinggi di
Indonesia, telah memberikan gambaran bahwa telah
terjadi peningkatan prevalensi pada tahun 2011 lelaki seks
dengan lelaki (LSL)12 %, lelaki beresiko tinggi 0,7% pada
tahun 2011. Prevalensi gonorhoe dan atau klamida pada
wanita penjaja seks langsung (WPSL) sebesar 56% pada
wanita penjaja seks tidak langsung (WPSTL) pada tahun
2011 sebesar 47% (7). Penderita IMS di Propinsi Jawa
Tengah pada tahun 2011 sebanyak 10.752 kasus. Kasus
baru IMS 0,7 per 1.000 penduduk perempuan. Untuk kasus
IMS di kota Semarang pada tahun 2014 angka kesakitan
akibat IMS yaitu sebanyak 5749 kasus(8). Kurangnya kesadaran dari masyarakat akan
pentingnya pemeriksaan dini terhadap kesehatan
reproduksi termasuk IMS di Puskesmas Bandarharjo
2
terbukti dari cakupan pemeriksaan pada klinik IMS hanya
42% dan lebih dari 90% perempuan yang berstatus sebagai
ibu rumah tangga. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh
dokter yang bertugas di klinik IMS tersebut maka
didapatkan sekitar 60% ibu rumah tangga yang datang
menderita vaginitis(8). Berdasarkan data diatas
sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian pada
perempuan khususnya ibu rumah tangga, oleh karena itu maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan
ingin meneliti lebih jauh mengenai, “Higiene genetalia
merupakan faktor risiko terjadinya IMS” studi kasus pada
ibu rumah tangga yang berada di wilayah kerja Puskesmas
Bandarharjo Semarang.
METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian ini mix method dimana
kuantitatif adalah sebagai pendekatan utamanya dan
kualitatif adalah pendekatan pendukung. Menggunakan
desain kasus-kontrol, dan wawancara mendalam (in-dept-interview).
Populasi rujukan adalah seluruh ibu rumah tangga
yang terdiagnosa IMS di kota Semarang. Populasi studi
adalah ibu rumah tangga yang terdiagnosa IMS di klinik
IMS Puskesmas Bandarharjo Semarang. Sampel
responden kasus adalah ibu rumah tangga terdiagnosa IMS
di klinik IMS Puskesmas Bandarharjo Semarang, dan
kasus kontrol adalah ibu rumah tangga yang tidak
terdiagnosa IMS di klinik IMS Puskesmas Bandarharjo
Semarang.
Cara pemilihan sampel adalah dengan “purposive
sampling” yaitu setiap subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun
waktu tertentu sehingga jumlah sampel terpenuhi. (9).
Total sampel/responden dalam penelitian ini adalah
80 orang, dengan perbandingan 1:1. Maka didapati 40
kasus dan 40 kontrol.
Kriteria inklusi kasus adalah ibu rumah tangga
bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo
terdiagnosa IMS di klinik IMS Puskesmas Bandarharjo
dan bersedia berpartisipasi menjadi responden dengan
informed consent. Kriteria eksklusi kasus adalah ibu rumah
tangga yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo terdiagnosa IMS tetapi tidak dilakukan di
Puskesmas Bandarharjo dan tidak mau berpartisispasi
menjadi responden. Untuk kriteria inklusi kontrol adalah
ibu rumah tangga yang bertempat tinggal di wilayah kerja
Puskesmas Bandarharjo memanfaatkan pelayanan
Puskesmas dan tidak terdiagnosa IMS di klinik IMS
Puskesmas Bandarharjo serta bersedia menjadi responden
dengan informed consent. Kriteria eksklusi kontrol adalah
ibu rumah tangga yang tidak tinggal di wilayah kerja
Puskesmas Bandarharjo memanfaatkan pelayanan
Puskesmas, dan tidak bersedia menjadi responden.
Variabel terikat adalah IMS, variabel bebas adalah umur, pendidikan, pengetahuan, status ekonomi, vagina
douching, cebok genetalia sebelum HUS, cebok genetalia
setelah HUS, mengeringkan genetalia setelah cebok,
penggantian celana dalam, bahan celana dalam yang
digunakan, pencukuran rambut genetalia, alat cukur
manual yang digunakan untuk mencukur, pemakaian
celana ketat (legging), frekuensi mengganti pembalut saat
menstruasi kurang dari 2 kali dalam sehari.
Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan
sistem komputer program SPSS 16.0 terdiri dari analisis
univariat, bivariat menggunakan uji chi-squre , dan
multivariat dengan regresi logistik ganda dilanjutkan
indepht-interview.
HASIL PENELITIAN
Dari penelitian yang dilakukan pada bulan Juli-
Agustus 2015 di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo
Semarang pada 80 responden diperoleh hasil dengan
analisa univariat, bivariat, dan multivariat sebagai berikut.
Tabel 1 menunjukkan sebagian besar responden
sebanyak 95% berusia ≥ 25 tahun, dengan pendidikan
terakhir responden sebagian besar adalah tamat SLTA
(46,25%), sebagian besar responden memiliki pengetahuan
yang baik (52,2%) tentang IMS, sebagian besar
responden (52,5%) memiliki pendapatan keluarga yang rendah <UMR (<1.685.000), sebagian besar responden
bertempat tinggal di Kelurahan Bandarharjo (41,25%),
responden yang melakukan vaginal douching 67,5% sering
melakukan dan 70% menggunakan air dan larutan
antiseptik, 22,5% menggunakan pasta gigi, 7,5 dengan
cuka dan larutan baking soda, 70% responden melakukan
setelah HUS 69,2% setelah menstruasi 10% juga
melakukan gurah vagina. Sebagian besar responden tidak
cebok sebelum HUS (58,8), sebagian besar responden
setelah HUS melakukan cebok (96,2%), sebagian besar
responden tidak keringkan genetalia setelah cebok
(52,5%), sebagian besar responden mengganti celana dalam saat basah(66,2%), sebagian besar responden
menggunakan celana dalam dari bahan katun (83,8%),
penggunaan celana ketat atau legging pada terbagi rata
yaitu 50% menggunakan dan 50% tidak menggunakan.
Sebagian responden melakukan pencukuran pada rambut
genetalia (60%) dan menggunakan alat cukur manual
(52,5%), sebagian besar responden mengganti pambalut
saat menstruasi lebih dari dua kali (93,8%).
Analisis bivariat (Tabel 2) menunjukkan bahwa
faktor higiene yang berpengaruh terhadap terjadinya IMS
pada ibu rumah tangga adalah tidak mengeringkan genetalia setelah cebok (OR= 5,4; p= 0,000), melakukan
vaginal douching (OR= 11; p= 0,000), tidak cebok
sebelum HUS (OR= 5,1; p= 0,001), menggunakan legging
(OR= 5,4; p= 0,001), tingkat pendapatan keluarga rendah
<UMR ( OR= 4,3; p= 0,004) tidak segera ganti celana
dalam saat basah (OR= 4,7 p= 0,005) dan didapati satu
variabel yang tidak signifikan dengan nilai p= 0,225
yaitu bahan celana dalam yang digunakan, karena p<0,25
sehingga variabel tersebut dapat masuk dalam model
multivariat.
Analisis multivariat (tabel 3) mendapati bahwa
variabel higiene genetalia yang berpengaruh terhadap terjadinya IMS pada ibu rumah tangga adalah tidak cebok
sebelum HUS (OR 7,7: p= 0,002), melakukan vaginal
douching (OR= 6,5 p= 0,004), pendapatan keluarga rendah
<UMR (OR 4,0; p= 0,030). Hasil perhitungan persamaan
MLR menunjukkan bahwa ibu rumah tangga yang tidak
cebok sebelum melakukan HUS, melakukan vaginal
3
douching, dan memiliki pendapatan keluarga yang rendah
<UMR memiliki probabilitas atau risiko mengalami
kejadian Infeksi Menular Seksual sebesar 79,80%.
PEMBAHASAN
Analisis multivariat menyatakan bahwa ibu rumah
tangga yang tidak cebok sebelum melakukan HUS
memiliki risiko terkena IMS 7,7 kali dibanding ibu rumah tangga yang cebok sebelum HUS( p= 0,002 ; CI
95% 2,0-29,1). Hasil ini sejalan dengan penelitian FN.
Amiri dkk yang telah membuktikan bahwa adanya
hubungan antara IMS yang disebabkan oleh bakteri
maupun jamur akibat tidak cebok sebelum melakukan
hubungan seksual p= 0,001 (OR = 2.16 95% CI: 1,29–
3,63)(10). Vagina merupakan organ reproduksi wanita
yang sangat rentan terhadap infeksi. Hal ini disebabkan
batas antar uretra dengan anus sangat dekat, sehingga
kuman penyakit seperti jamur, bakteri, parasit, maupun
virus mudah masuk keliang vagina. Untuk itu wanita harus rajin merawat kebersihan wilayah pribadinya.
Pasangan yang tidak membersihkan alat kelaminnya
sebelum melakukan hubungan seks maka bakteri dari
kedua pasangan bisa masuk ke alat kelamin perempuan
dan berkembang biak disana, akibatnya akan
mengganggu flora normal vagina sehingga dapat
sebabkan IMS (10). Sebagian besar dari responden
memberikan pernyataan tidak mencuci genetalia
sebelum melakukan hubungan seksual dikarenakan
ngantuk bahkan malas.
“......Ngantuk mba, udah gak kepikiran cebok yang
penting suami minta kita kasi aja sambil mata riyip-riyip”
Hasil multivariat menyatakan bahwa ibu rumah
tangga yang melakukan vaginal douching memiliki risiko
6,5 kali dibanding ibu rumah tangga yang tidak melakukan
vaginal douching (p = 0,004 95%CI :1,8-18,2). Hasil
ini sejalan dengan penelitian tentang Praktek vaginal
douching pada perempuan hitam yang berisiko, dan
penyakit IMS. Dengan melakukan douching berisiko
terkena Klamidia dan Gonorhhoe (OR = 3,66; 95% CI :
1,00-13,41) (11). Vaginal douching adalah mencuci atau
membersihkan vagina bagian dalam dengan cara menyemprotkan air atau cairan campuran yang terdiri atas
air dan cuka, baking soda, atau yodium, maupun sabun.
Campuran tersebut biasanya dikemas dalam botol dan
dapat disemprotkan ke dalam vagina melalui tabung atau
nozzle. Lingkungan vagina yang sehat mengandung
Lactobacillus yaitu jenis bakteri dan organisme khusus,
yang berguna untuk menjaga tingkat keasaman saluran
bagian penting tubuh wanita. Tingkat keasaman yang
normal berfungsi untuk menjaga keseimbangan jumlah
bakteri yang berbahaya tetap rendah. Dengan melakukan
douching, hal ini akan mengubah keseimbangan asam
yang ada didalamnya, sehingga dapat membuat wanita lebih rentan terkena IMS. Disamping itu, douching bisa
menyebarkan infeksi yang ada sampai ke rahim, saluran
tuba, dan ovarium (12). Berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan responden sebagian besar dari
responden melakukan vaginal douching karena mereka
berpendapat bahwa dengan melakukan douching dapat
untuk membersihkan vagina dari bau tidak sedap,
membilas darah setelah menstruasi, membersihkan sperma
setelah HUS , membunuh bakteri sehingga bisa mencegah
tertularnya penyakit menular seksual (IMS) yang dibawa
oleh suaminya.
“.....udah biasa mbak saya rutin kok membersihkan vagina
saya, biasanya saya pake sabun sirih,caranya ambil
gayung yang ada airnya terus ditetesin sabun sirih yang cair to, terus disiramkan dikit jariku masuk tak korek-korek
klo udah keluar lendir e tak bilas, aku biasanya tiap hari
mba, apalagi klo habis diajak kumpul bapak e yo langsung
tak bersihin lagi”
Hasil multivariat menyatakan bahwa ibu rumah
tangga yang memiliki pendapatan keluarga rendah
<UMR (<1.685.000,-) memiliki risiko terjadinya IMS
sebesar 4,05 kali lebih besar dibanding dengan ibu
rumah tangga yang pemghasilan keluarganya lebih
≥UM (≥ 1.685.000,-). Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Holthgrave dan Crosby tentang modal sosial, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan
sebagai prediktor Gonore, Sifilis, Klamidia dan tingkat
kasus AIDS di Amerika Serikat, kemiskinan secara
signifikan berhubungan dengan Klamidia, Gonore,
Sifilis. Klamidia dan tingkat kasus AIDS dengan
p=0,001. Ketimpangan pendapatan secara signifikan
berhubungan dengan meningkatkan kejadian klamidia
dan kasus AIDS p= 0,001(12).
Karena perempuan tidak memiliki kekuatan sosial
dan ekonomi serta ketergantungan ekonomi perempuan
pada kepala keluarga sehingga mereka tidak
mempunyai posisi tawar dan sulit untuk mengontrol agar dirinya terlindungi tidak terinfeksi oleh IMS,
karena dirinya tidak bisa menolak berhubungan atau
menyuruh suaminya menggunakan alat pengaman(13).
Berdasarkan hasil wawancara mendalam tentang
pendapatan keluarga yang didapat oleh keluarga
responden, rata-rata responden menggantungkan
pendapatan ekonomi dari suami yang mana hasil atau
upah yang didapat kurang dari UMR (<1.685.000,).
“.....saya tidak kerja mbak, suami kerjanya serabutan
kalo ada yang butuh tenaganya baru dapat kerja
mba,maklum kerjanya tukang batu jadi kenek” Variabel yang tidak terbukti berpengaruh terhadap
IMS pada ibu rumah tangga adalah tidak mengeringkan
genetalia, celana dalam basah tidak segera ganti,
menggunakan legging, tidak menggunakan bahan
celana dalam katun, umur < 25 tahun, tingkat
pendidikan < 9 tahun, pengetahuan kurang, cebok
setelah HUS, mencukur rambut genitalia menggunakan
pisau cukur manual, mengganti pembalut < 2 kali
dalam sehari. Variabel tidak mengeringkan genetalia
tidak terbukti sebagai faktor risiko IMS disebabkan
karena adanya pengaruh dari variabel lain yang lebih
kuat dalam analisis multivariat. Pemakaian celana legging atau celana ketat tidak terbukti sebagai faktor
risiko yang berpengaruh terhadap kejadian IMS pada
ibu rumah tangga disebabkan proporsi responden
secara keselurahan baik yang menggunakan celana
legging maupun tidak menggunakan celana legging
sebesar 50% . Variabel celana dalam basah tidak segera
4
ganti tidak terbukti berpengaruh sebagai faktor risiko
IMS pada ibu rumah tangga dalam analisis multivariat
disebabkan karena adanya pengaruh dari variabel lain
yang lebih kuat saat dianalisis secara bersama-sama,
Variabel bahan celana dalam katun tidak terbukti
sebagai faktor risiko IMS pada ibu rumah tangga dalam
analisis multivariat karena data yang didapatkan adalah
bersifat homogen yang mana total responden didapati 83,8% responden menggunakan celana dalam berbahan
katun. Tidak adanya pengaruh antara umur < 25 tahun
dengan kejadian IMS pada ibu rumah tangga karena
sebagian besar responden dalam penelitian ini berumur
≥ 25 tahun sebesar 85%, variabel tingkat pendidikan
tidak berpengaruh sebagai faktor risisko terhadap
kejadian IMS pada ibu rumah tangga karena proporsi
paparan pada kasus dan kontrol yang tidak jauh
berbeda, sebagian besar responden menempuh
pendidikan ≥ 9 tahun yaitu sebesar 51,2%. Tidak
adanya pengaruh antara pengetahuan dengan kejadian IMS pada ibu rumah tangga karena seluruh subyek
penelitian homogen yang mana pada 52,5% kasus dan
57,5% kontrol tingkat pengetahuannya baik. Variabel
cebok setelah melakukan HUS tidak ada pengaruh
dengan kejadian IMS pada ibu rumah tangga sebab
proporsi paparan pada kelompok kasus dan kontrol
tidak terdapat banyak perbedaan, pada kedua kelompok
melakukan cebok setelah hubungan seksual, antara
kelompok kasus dan kontrol hampir sama yaitu 95%
dan 97,5%. Tidak adanya pengaruh variabel cukur
rambut genetalia dengan kejadian IMS pada ibu rumah
tangga karena proporsi paparan pada kelompok kasus dan kontrol tidak terdapat banyak perbedaan yang
berarti dimana kedua kelompok banyak yang
melakukan pencukuran rambut genetalia, antara
kelompok kasus dan kontrol hampir sama yaitu 70%
dan 60%. Alat cukur manual atau biasa disebut pisau
cukur manual yang digunakan untuk mencukur rambut
genetalia tidak memiliki pengaruh yang bermakna
dengan kejadian IMS pada ibu rumah tangga. Variabel
penggantian pembalut saat menstruasi kurang dari dua
dalam sehari tidak berpengaruh secara signifikan
dengan kejadian IMS pada ibu rumah, sebab proporsi paparan pada kelompok kasus dan kontrol hampir
sama, kedua kelompok mengganti pembalut rata-rata
sehari lebih dari dua kali.
KESIMPULAN
Variabel yang terbukti berpengaruh terhadap
terjadinya IMS pada ibu rumah tangga adalah tidak cebok
sebelum HUS, melakukan vaginal douching, pendapatan
keluarga rendah <UMR.
Variabel yang tidak terbukti berpengaruh adalah
umur <25 tahun, tingakat pendidikan <9 tahun,
pengetahuan kurang, keringkan genetalia, tidak segera ganti celana dalam basah, tidak menggunakan bahan katun
pada celana dalam, menggunakan celana legging,
mencukur rambut genitalia, menggunakan alat cukur
manual, mengganti pembalut <2 kali dalam sehari. Tidak
adanya pengaruh variabel cukur rambut genetalia dengan
kejadian IMS pada ibu rumah tangga karena proporsi
paparan pada kelompok kasus dan kontrol tidak terdapat
banyak perbedaan yang berarti dimana kedua kelompok
banyak yang melakukan pencukuran rambut
genetalia,antara kelompok kasus dan kontrol hampir sama
yaitu 70% dan 60%. alat cukur manual atau biasa disebut
pisau cukur manual yang digunakan untuk mencukur
rambut genetalia tidak memiliki pengaruh yang bermakna
dengan kejadian IMS pada ibu rumah tangga karena
SARAN
Kepada Masyarakat
Pada ibu rumah tangga pada saat akan melakukan
hubungan seksual harus selalu membiasakan diri untuk
cebok sebelum melakukan hubungan seksual., tidak
melakukan vaginal douching, berusaha mencari tambahan
pendapatan keluarga dengan membuka usaha kecil mikro
dan menengah.
Kepada Pemerintah dan Institusi Terkait
Meningkatkan komunikasi informasi dan edukasi
(KIE) tentang higiene genetalia atau kebersihan
kelamin terutama tentang pentingnya menjaga
kesehatan kelamin yaitu dengan cara cebok sebelum
melakukan hubungan seksual, tidak melakukan vaginal
douching, Pemerintah harus meningkatkan pendapatan
secara umum dalam rumah tangga dengan cara
meningkatkan pembinaan usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM) pada ibu rumah tangga.
5
DAFTAR PUSTAKA
WHO. Reproductive health definition diakses pada 10
januari 2015 pukul 20.00 WIB
Sjaiful FD,.Farida.Z,.Jubianto.J. Penyakit Infeksi Menular
seksual. Ketiga, editor. Jakarta: FKUI; 2014; 2-175 Kemenkes RI. Pedoman Nasional Penanganan infeksi
Menular Seksual. Jakarta: Ditjen PP&PL;2011
WHO Mediacentre update Nov 2012 diakses pada 10
Januari 2015 pukul 20.10 WIB
Jennings JM, Devon J. Hensel, et al. Are social
organizational factors independently associated
with a current bacterial sexually transmitted
infection among urban adolescents and young
adults? Social Science & Medicine. 2014;118:52-
60.
WHO. Sexually Transmitted Infections (STIs). Media centre Fact sheet N°110; 2013 November 2013
diakses pada 10 januari pukul 20.00 WIB
Ditjen PP & PL.Surveilans Terpadu Biologis dan
Perilaku.Jakarta: Ditjen PP & PL Kemankes
RI;2011 Profil Dinas Kesehatan Kota Semarang
;2014
Dahlan M. Besar Sampel dan cara pengambilan sampel
dalam penelitian kedokteran dan kesehatan. ed t,
editor. Jakarta: Salemba Medika; 2010.
Amiri F.N, Rooshan M.H, Ahmadi M.H, Soliamani M.J.
Hygiene Practices And Sexual Activity Associated
With Urinary Tractus Infection In Pregnant.Eastern Mediterranean Health Journal 2009;15(1): 104-110
Wijgert D, Jonneke, Morison,Charles, et al. Epidemiologic
And Social Science Bakterial Vaginosis And
Vaginal Yeast, But Not Vaginal Cleansing
Increase HIV Acquisition In African Woman.
Journal of Acquired Immune Deficiency
Syndromes. June 2008;48: 203-210
Martina J.L dan Vermun H..S. Evidence For Risk or
Benefits to Womens Health.Epidemiologic
ReviewsApril 2002;24(2),: 155-162
Holtgarve D.R, Crosbu R.A. Social Capital, Poverty,and Income In Equality As Predictors Of Gonorrhoea,
Syphilis, Clamydia, And AIDS Case Rates In
The United States. Journal of Sexual Transmitted
Infection 2003.79: 62-69
Dalimonthe I. Perempuan Dalam Cengkeraman
HIV/AIDS, Kajian Sosiologi Feminis Perempuan
Ibu Rumah Tangga. Jurnal Sosiologi.2011;5(1):41-
47
6
GAMBARAN PERANAN PENYULUHAN METODE DEMONSTRASI
TERHADAP PENGETAHUAN MENYIKAT GIGI PADA SISWA/I KELAS IV
SD 068003 KAYU MANIS PERUMNAS SIMALINGKAR KECAMATAN
MEDAN TUNTUNGAN
Sri Junita Nainggolan
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes RI Medan
Abstract
Brushing teeth is one of the methods to maintain dental hygiene and oral health. It can ward off the
incidence of caries. In general, dental and oral health education is obtained from counseling. The group of
people that usually becomes the target is elementary school children because the age of 6-14 years is a
transition period or the change in permanent teeth (mixed teeth period).
In this research, the counseling was the one with demonstration method which was aimed to increase the
knowledge of brushing teeth in Grade IV students at SD 068003 Kayu Manis, Perumnas Simalingkar,
Medan Tuntungan Subdistrict with 30 students as the samples.
The result of the research showed that before the counseling, 18 respondents (60%) were in good criteria in
their knowledge of brushing teeth correctly and 11 respondents (36.7%) were in moderate category. After
the counseling with demonstration method, all respondents (100%) were in good category.
The conclusion was that counseling with demonstration method could improve students’ knowledge of brushing teeth. It is recommended that Grade IV students at SD 068003 brush their teeth properly and
correctly.
Keywords : Demonstration Method, Knowledge of Brushing Teeth
References : 13 (1995-2016)
PENDAHULUAN
Derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh
empat faktor utama, yakni: lingkungan, perilaku,
pelayanan kesehatan, dan keturunan (herediter). Karena itu upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat harus ditujukan pada keempat faktor
utama tersebut secara bersama-sama (Notoatmodjo, 2012).
Melalui Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2013,
dilakukan pengumpulan data berbagai indikator kesehatan
gigi dan mulut masyarakat dengan jumlah keseluruhan
1.027.763 orang. Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan
mulut (umur >10 tahun) dengan jumlah sampel 835.256
respondendan pemeriksaan gigi serta melihat kondisi gigi
dan mulut (umur >12 tahun) dengan jumlah sampel
789.771 responden.Prevalensi nasional masalah gigi dan mulut adalah 25,9 % sebanyak 14 provinsi Prevalensi
nasional menyikat gigi setiap hari adalah 94,25% sebanyak
15 provinsi berada dibawah prevalensi nasional. Perilaku
yang benar dalam menyikat gigi berkaitan dengan faktor
gender, ekonomi, dan daerah tempat tinggal. Sebagian
besar penduduk Indonesia menyikat gigi pada saat mandi
pagi maupun mandi sore (76,6%).
Pendidikan atau promosi kesehatan pada
hakikatnya adalah upaya intervensi yang ditujukan pada
faktor perilaku. Namun pada kenyataannya tiga faktor
yang lain perlu intervensi pendidikan atau promosi
kesehatan juga, karena perilaku juga berperan pada faktor-
faktor tersebut. Apabila lingkungan baik dan sikap
masyarakat positif maka lingkungan dan fasilitas tersebut
niscaya akan dimanfaatkan atau digunakan oleh masyarakat (Notoatmodjo,2012). Pada umumnya promosi
kesehatan gigi diperoleh dari penyuluhan.
Penyuluhan adalah suatu proses belajar secara
nonformal kepada sekelompok masarakat tertentu, dimana
pada penyuluhan kesehatan gigi dan mulut diharapkan
terciptanya suatu pengertian yang baik mengenai kesehatan
gigi dan mulut. Kelompok masyarakat yang sering dituju
untuk memberikan penyuluhan adalah anak-anak sekolah
dasar karena pada masa usia sekolah dasar adalah masa
transisi dalam interaksi sosial dimana terjadi perubahan
pada diri anak. Pendidikan kesehatan gigi di sekolah merupakan
suatu system pendidikan nonformal bagi masyarakat
sekolah dengan cara belajar sambil berbuat untuk
mengubah perilaku mereka dari yang kurang
menguntungkan terhadap kesehatan gigi dan mulutnya.
Melalui kegiatan ini diharapkan mereka menjadi tahu, mau
dan mampu memecahkan berbagai persoalan yang
dihadapi, baik secara sendiri maupun bersama, guna terus
meningkatkan kesehatan gigi dan mulutnya sendiri, serta
keluarganya.
7
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik
melakukan penelitian tentang gambaran peranan
penyuluhan metode demonstrasi terhadap pengetahuan
menyikat gigi pada siswa/i kelas IV SD 068003 Kayu
Manis Perumnas Simalingkar, Kecamatan Medan
Tuntungan.
Tujuan Penelitian Penelitian dilakukan bertujuan untuk mengetahui
Gambaran Peranan Penyuluhan Metode Demonstrasi
Terhadap Pengetahuan Menyikat Gigi Pada Siswa/i Kelas IV SD 068003 Kayu Manis Perumnas Simalingkar,
KecamatanMedan Tuntungan.
Manfaat Penelitian
Data yang diperoleh dari penelitian diharapkan dapat
digunakan
1. Sebagai informasi dan bahan masukan bagi
sekolah dalam melaksanakan Program UKGS
(Usaha Kesehatan Gigi Sekolah) bekerja sama
dengan Puskesmas setempat.
2. Menambah wawasan peneliti dalam
memberikanpenyuluhan denganmetode demonstrasi.
3. Sebagai sumber data dan informasi bagi peneliti
yang sejenis.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian
deskriptif dengan metode survey yang betujuan untuk
mengetahui Gambaran Peranan Penyuluhan Metode
Demonstrasi Terhadap Pengetahuan Menyikat Gigi Pada
Siswa/i Kelas IV SD 068003 Kayu Manis Perumnas Simalingkar, KecamatnMedan Tuntungan.
POPULASI DAN SAMPEL
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau
objek yang diteliti.Populasi dalam penelitian ini adalah
siswa/i kelas IV SD 068003 Kayu Manis Perumnas
Simalingkar, Kecamatan Medan Tuntungan yang
berjumlah 30 orang.
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti
(Arikunto, S., 2006).Apabila objeknya kurang dari 100
orang, lebih baik sampel diambil semua.Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah siswa/i kelas IV SD
068003 Kayu Manis Perumnas Simalingkar, Kecamatan
Medan Tuntungan yang berjumlah 30 orang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada siswa/i
kelas IV SD 068003 Kayu Manis Perumnas Simalingkar,
Kec. Medan Tuntungan Tahun 2016 maka data yang
terkumpul dapat dibuat dengan tabel distribusi frekuensi
sebagai berikut:
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Tingkat
Pengetahuan Siswa/i Sebelum Penyuluhan DenganMetode
Demonstrasi Terhadap Pengetahuan Menyikat Gigi
PadaSiswa/i Kelas IV SD 068003 Kayu Manis Perumnas
Simalingkar Kecamatan Medan Tuntungan
Kriteria n (%)
Baik 15 50
Sedang 14 46,7
Buruk 1 3,3
Jumlah 30 100
Berdasarkan tabel 4.1 diperoleh bahwa tingkat
pengetahuan siswa/i sebelum penyuluhan dengan metode
demonstrasi terhadap pengetahuan menyikat gigi dengan kriteria baik sebanyak 15 siswa/i (50%), kriteria sedang
sebanyak 14 siswa/i (46,7%) dan kriteria buruk sebanyak 1
siswa/i (3,3%).
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Tingkat
Pengetahuan Siswa/i Setelah Penyuluhan Dengan Metode
Demonstrasi Terhadap Pengetahuan Menyikat Gigi
Pada Siswa/i Kelas IV SD 068003 Kayu Manis Perumnas
Simalingkar KecamatanMedan Tuntungan.
Kriteria n (%)
Baik 30 100
Sedang 0 0
Buruk 0 0
Jumlah 30 100
Berdasarkan tabel 4.2 diperoleh bahwa tingkat
pengetahuan anak setelah penyuluhan dengan
menggunakan metode demonstrasi terhadap pengetahuan
menyikat gigi dengan kriteria baik sebanyak 30 siswa/i
(100%). Namun masih terdapat 2 siswa (6,67%) yang
menjawab salah.
Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada siswa/i
kelas IV SD 068003 Kayu Manis Perumnas Simalingkar,
Kec. Medan Tuntungan Tahun 2016 yang berjumlah 30
siswa dengan rata-rata usia 9-10 tahun, ditemukan bahwa
dalam tabel 4.1 distribusi frekuensi tingkat pengetahuan
anak sebelum penyuluhan dengan metode demonstrasi
dengan kriteria baik 50%, untuk kriteria sedang 46,7%,
dan untuk kriteria buruk 3,3%. Sebagian besar siswa/i
(66,7%) belum mengetahui lamanya menyikat gigi dan
hanya 10 siswa/i (33,3%) yang sudah mengetahui lamanya
menyikat gigi yang baik dan benar yaitu 2-3 menit, hal ini sesuai dengan pendapat Panjaitan, M., (1995), umumnya
orang menyikat gigi maksimal 2-3 menit. Bila menyikat
gigi dilakukan dalam waktu yang singkat, maka hasilnya
tidak begitu baik daripada bila menyikat gigi dalam waktu
yang lama, mengingat banyaknya permukaan gigi yang
harus dibersihkan.
Sebelum penyuluhan dengan metode demonstrasi
sebagian besar siswa/i (60%) belum mengetahui frekuensi
menyikat gigi, hanya 12 siswa/i (40%) yang sudah
mengetahui frekuensi menyikat gigi. Menurut Manson
8
(1971, cit. Putri, M., dkk., 2010), berpendapat bahwa
penyikatan gigi sebaiknya dilakukan dua kali sehari.
Sebagian besar siswa/i (60%) belum mengetahui
cara menyikat gigi bagian labial (menghadap bibir), dan
43,3% siswa/i tidak mengetahui cara menyikat gigi bagian
bukal (menghadap pipi). Menurut Pratiwi, D., (2009) ada
beberapa tips singkat yang harus diketahui ketika
menggosok gigi, diantaranya adalah untuk menyikat gigi bagian depan atau bagian bibir caranya adalah dengan
memegang sikat dan menggosokkannya pada gigi bagian
depan dengan arah naik turun secara merata. Untuk gigi
bagian pipi sikatlah gigi dengan cara membulat.
Diperoleh frekuensi distribusi pengetahuan anak
sebelum penyuluhan metode demonstrasi dengan kriteria
baik 50%, kriteria sedang 46,7%, dan untuk kriteria buruk
3,3%, untuk frekuensi distribusi pengetahuan anak setelah
penyuluhan dengan menggunakan metode demonstrasi
dengan kriteria baik dari 50% menjadi 100%, dan tidak
terdapat kriteria sedang dan buruk. Dari data tersebut diketahui bahwa tingkat pengetahuan anak dengan metode
demonstrasi meningkat, hal ini sesuai dengan keuntungan
pembelajaran dengan metode demonstrasi menurut
Susilo(2011) yang menyatakan bahwa penyuluhan
menggunakan metode demonstrasi dapat meningkatkan
konsentarsi, kesalahan yang timbul lebih minimal
dibandingkan dengan metode lain, serta keterampilan
psikomotor tercapai.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
dapat diambil suatu kesimpulan :
1. Diperoleh bahwa tingkat pengetahuan anak
sebelum penyuluhan dengan metode
demonstrasi terhadap pengetahuan menyikat
gigi dengan kriteria baik sebanyak 15 siswa/i
(50%), kriteria sedang sebanyak 14 siswa/i
(46,7%) dan kriteria buruk sebanyak 1 siswa/i
(3,3%).
2. Diperoleh bahwa tingkat pengetahuan anak
setelah penyuluhan dengan menggunakan metode demonstrasi terhadap pengetahuan
menyikat gigi dengan kriteria baik sebanyak 30
siswa/i (100%).
Saran
Berkaitan dengan hasil penelitian diatas, maka peneliti
memberikan saran sebagai berikut :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan menyikat gigi pada siswa/i kelas
IV SD 068003 Kayu Manis Perumnas
Simalingkar, Kec. Medan Tuntungan.
2. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi peneliti dalam memberikan
penyuluhan dengan metode demonstrasi
terhadap tingkat pengetahuan menyikat gigi.
selalu menyikat gigi dengan cara yang baik dan benar
DAFTAR PUSTAKA
Absah,2011,PenyuluhanKesehatan,http://id.wikipedia.org/
wiki/Penyuluhan Kesehatan?oldid=921133, 21
Januari 2016
Machfoedz, I., 2008. Menjaga Kesehatan Gigi dan Mulut
Anak-anak dan Ibu Hamil. Yogyakarta: Fitramaya
Mubarak, W., dkk, 2007. Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar dalam
Pendidikan, Yogyakarta: Graha Ilmu
Notoatmodjo, S., 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta
, 2005. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta
, 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta
Panjaitan, M., 1995. Ilmu Pencegahan Karies Gigi.
Medaan: USU Press
Pintauli, S., 2008.Menuju Gigi dan Mulut Sehat. Medan: USU Press
Pratiwi, D., 2009. Gigi Sehat daan Cantik. Jakarta: Buku
Kompas
Putri, M., et al., 2010.Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan
Keras dan Jaringan Pendukung Gigi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Riskesdas, 2013, Gigi dan Mulut. Avalaibe at
http://www.depkes.go.id/resources/download/Hasil
%20Riskesdas%202013.pdf.[AccesedFebruari
2016]
Susilo, R., 2011. Pendidikan Kesehatan dalam
Keperwatan. Yogyakarta: Nusa Medika Syafrudin, dkk., 2010. Untaian Materi Penyuluhan KIA-
Cara Menggosok Gigi. Jakarta: Trans Info Media
9
HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT TERHADAP
KEPUASAN PASIEN DI RUMAH SAKIT MARTHA FRISKA MEDAN
Abdul Hanif Siregar* Syarif Zein Yahya*
Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Medan
Abstrak
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar antara perawat dan pasien yang kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
sejauhmana pengaruh komunikasi terapeutik terhadap kepuasan pasien dalam pelayanan asuhan
keperawatan di ruang rawat inap rumah sakit Martha Friska Medan. Penelitian ini menggunakan
rancangan study korelasi dengan pengambilan sampel 25% dari jumlah populasi sebanyak 640 orang
pasien rawat inap rumah sakit Martha Friska Medan. Hasil penelitian didapatkan bahwa penerapan
komunikasi terapeutik di ruang rawat inap rumah sakit Martha Friska Medan sudah optimal. Ditinjau
dari adanya keterbatasan yang dimiliki dalam diri perawat seperti respon dan empati pada sebahagian
perawat yang masih kurang dan kurang melaksanakan Standar Operasional Prosedur (SOP) mengenai
komunikasi terapeutik. Untuk kepuasan pasien yang dirawat inap di rumah sakit Martha Friska
Medan, pada umumnya pasien merasa sangat puas atas pelayanan yang diberikan oleh perawat bila
ditinjau dari respon dan empati perawat ketika berinteraksi dengan pasien. Berdasarkan uji analisis Spearman'n Correlation pada penelitian ini menunjukkan nilai r = 0,004. Dan P= 0,972 yang berarti
tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara komunikasi terapeutik perawat dengan kepuasan
pasien. Berdasarkan hasil. penelitian tersebut disarankan bagi perawat meningkatkan pelaksanaan
komunikasi terapeutik yang sudah berjalan dengan baik dan bagi pihak rumah sakit membuat SOP
komunikasi terapeutik, meningkatkan pengetahuan perawat dengan cara mengikutsertakan para
perawat dalam seminar-seminar keperawatan tentang komunikasi terapeutik, memberikan pelatihan
untuk meningkatkan sikap empati perawat terhadap pasien, dan memberikan kesempatan perawat
melanjutkan pendidikannya.
Kata kunci : Komunikasi Terapeutik, Kepuasan Pasien
PENDAHULUAN
Menurut Kotler (1988) kepuasan adalah
tingkat kepuasan seseorang setelah membandingkan
kinerja atau hasil yang dirasakan dibandingkan dengan
harapannya. Upaya untuk mewujudkan kepuasan
pelanggan total bukanlah hal yang mudah, Mudie den
Cottom (1997) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan
total tidak mungkin tercapai, sekalipun hanya untuk sementara waktu (Kempul, 2009). Selain itu Purwanto
(2007) menjelaskan bahwa kepuasan dapat dirasakan
siapa saja dalam menerima pelayanan kesehatan. Hal
ini juga terjadi pada pasien dalam menerima jasa
pelayanan di rumah sakit.
Menurut pendapat Budiastuti (2002)
mengemukakan bahwa pasien dalam mengevaluasi
kepuasan terhadap jasa pelayanan yang diterima
mengacu pada beberapa faktor, antara lain mengacu
pada kualitas produk atau jasa. Pasien akan merasa
puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk atau jasa yang digunakan berkualitas.
Selain itu persepsi pasien terhadap kualitas
poduk atau jasa dipengaruhi oleh dua hal yaitu
kenyataan kualitas poduk atau jasa yang sesungguhnya
dengan komunikasi perusahaan terutama Man dalam
mempromosikan rumah sakitnya. Kualitas pelayanan
memegang peranan penting dalam industri jasa. Pasien
akan merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan
yang baik atau sesuai dengan yang diharapkan. Selain
itu faktor emosional juga mempengaruhi pasien yang
merasa bangga dan yakin bahwa orang lain kagum
terhadap dirinya bila memilih rumah sakit yang sudah mempunyai pandangan “rumah sakit mahal”. Persepsi
pasien terhadap hal ini cenderung akan mempengaruhi
tingkat kepuasan yang lebih tinggi.
Ada beberapa jenis pelayanan di rumah sakit
yang kualitasnya selalu dinilai oleh pasien, dan salah
satunya adalah pelayanan keperawatan. Tim
Keperawatan merupakan anggota tim kesehatan garda
depan yang menghadapi masalah kesehatan klien
selama 24 jam secara terus menerus (Aljafar, 2009).
Tim pelayanan keperawatan memberikan pelayanan
kepada klien sesuai dengan keyakinan profesi dan standar yang ditetapkan. Hal ini ditujukan agar
pelayanan keperawatan yang diberikan senantiasa
merupakan yang aman serta dapat memenuhi
kebutuhan dan harapan klien. Agar kebutuhan pasien
10
terpenuhi, salah satu tindakan yang diharapkan adalah
perawat dapat melakukan hubungan terapeutik dengan
pasien. Untuk membina hubungan yang terapeutik
perawat harus menguasai teknik dan sikap komunikasi
terapeutik selama memberikan asuhan keperawatan
kepada pasien (Kelliat, 1996).
Komunikasi terapeutik adalah suatu
pengalaman bersama antara perawat - klien yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien. Seorang
perawat tidak akan dapat mengetahui kondisi klien jika
tidak memiliki kemampuan menghargai keunikan klien.
Tanpa mengetahui keunikan masing-masing, terutama
terkait kebutuhan klien, perawat juga akan kesulitan
memberikan bantuan kepada klien dan mengatasi
masalah klien. Sehingga perlu metode yang tepat dalam
mengakomodasi agar perawat mampu mendapatkan
pengetahuan yang tepat tentang pasien. Melalui
komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat
menghadapi, mempersepsikan, bereaksi dan menghargai keunikan klien (Mundakir, 2006).
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan
peneliti di rumah sakit Martha Friska Medan, dengan
teknik wawancara pada 10 pasien ditemukan beberapa
keluhan dari pasien. Keluhan tersebut antara lain terkait
dengan buruknya pelayanan perawat, sedikitnya
kunjungan dokter pada pasien rawat inap. Buruknya
pelayanan perawat yang dirasakan pasien terutama dari
sikap, keramahan dan kemampuan komunikasi yang
kurang santun.
Hasil penelitian melalui survey CRC (Citizen
Report Card) ICW pada bulan November 2009 dengan sampel 738 pasien miskin (pasien rawat inap dan jalan
yang memegang kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas), Keluarga Miskin (Lakin) dan Surat
Keterangan Tidak Mampu (SKIM)) di 23 rumah sakit
yang ada di lima daerah (Jakarta, Bogor Depok,
Tanggerang, Bekasi), menunjukkan bahwa pasien
miskin menyatakan bahwa pengurusan administrasi
rumah sakit masih rumit dan berbelit-belit (28,4 persen)
dengan antrian yang panjang (46,9%). Pasien rawat
inap misalnya mengeluhkan rendahnya kunjungan dan
disiplin dokter terhadap mereka. Sedangkan pasien perempuan rawat inap mengeluhkan sikap perawat
yang kurang ramah dan simpatik terhadap mereka
(65,4%) (KPK Online Monitoring System, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya kita
dapat melihat bahwa ketidakpuasan pasien terhadap
pelayanan kesehatan salah satunya dipengaruhi oleh
faktor komunikasi terapeutik perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan. Banyak yang
mengira atau berpendapat bahwa komunikasi terapeutik
identik dengan senyum dan bicara lemah lembut.
Pendapat ini tidak salah tetapi terlalu menyederhanakan
arti dari komunikasi terapeutik itu sendiri, karena inti dari komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
dilakukan untuk terapi (Suryani, 2005).
Adapun manfaat dari komunikasi terapeutik
itu sendiri adalah membantu pasien dan untuk
memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan
pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk
mengubah situasi yang ada bila pasien percaya dengan
hal-hal yang diperlukan. Mengurangi keraguan,
membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif
dan mempertahankan egonya. Mempengaruhi orang
lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri dalam hal
peningkatan derajat kesehatan. Mempererat hubungan
atau interaksi antara klien dengan terapis (tenaga
kesehatan) secara profesional dan proporsional dalam rangka membantu penyelesaian masalah klien
(Mundakir, 2006).
Berdasarkan studi literatur di atas, maka
penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang
”Pengaruh Komunikasi Terapeutik Perawat Terhadap
Kepuasan Pasien di Rumah Sakit Martha Friska
Medan”.
11
KERANGKA KONSEPTUAL
Keterangan:
= Diteliti
= Tidak diteliti
Hipotesa Penelitian
Hipotesa dalam penelitian ini adalah Hipotesis Alternatif (Ha), yaitu terdapat pengaruh diantara
independen (komunikasi terapeutik perawat), dengan
variabel dependen (tingkat kepuasan pasien).
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini menggunakan desain studi
korelasi yang bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh
komunikasi terapeutik perawat terhadap kepuasan pasien
rawat inap di rumah sakit Martha Friska Medan. Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang berobat
rawat inap pada bulan Maret 2016 di rumah sakit Martha Friska Medan sebanyak 640 orang, yang dipilih dari
beberapa ruangan rawat inap secara acak sampai mewakili
populasi yaitu sebanyak 64 orang. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Oktober
2016. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis
univariat untuk mendeskripsikan karakteristik setiap
variabel yang diukur dalam penelitian dan analisa bivariat
untuk melihat hubungan antara dua variabel independen
(komunikasi terapeutik perawat), dengan variabel
dependen (kepuasan pasien) dengan memakai Skala
ordinal dengan uji korelasi Spearman Rank (Rho), untuk mengetahui tingkat kecocokan dari 2 variabel terhadap
grup yang sama, dengan tingkat kepercayaan 95%
(α=0,05)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
1. Analisis Univariat
Dari hasil observasi terhadap komunikasi
terapeutik perawat terhadap kepuasan pasien di rumah
sakit Martha Friska Medan tahun 2016, diperoleh hasil bahwa mayoritas responden berumur 41-45 tahun yaitu
sebanyak 21 orang, dengan jenis kelamin mayoritas laki-
laki yaitu sebanyak 40 orang (62,5%). Suku responden
mayoritas suku Jawa sebanyak 22 orang (34,4%) dengan
tingkat pendidikan mayoritas adalah pendidikan SLTA
sebanyak 25 orang (39,1%). Berdasarkan variabel komunikasi terapeutik
perawat, untuk sub variabel fase orientasi mayoritas 40
responden (62,5%) sangat baik. Sub variabel fase kerja
terdapat 34 responden (53,1%) sangat baik, dan pada sub
variabel fase terminasi mayoritas terdapat 39 responden
(60,9%) sangat baik.
Berdasarkan komunikasi terapeutik yang
diterapkan oleh perawat saat berkomunikasi dengan
pasien keterampilannya sangat baik sebanyak 43
responden (67,2%).
Berdasarkan responsiveness / tanggapan sebanyak 51 responden (79,7%), mengatakan sangat
puas dan 13 pasien (20,3%) merasa puas. Sedangkan
berdasarkan empathy perawat dalam berkomunikasi
terapeutik sebanyak 49 responden (76,6%) juga
mengatakan sangat puas.
Berdasarkan tingkat kepuasan responden
mayoritas pasien merasa sangat puas terhadap respon
dan empati perawat ketika berinteraksi dengan pasien
sebanyak 55 pasien (85,9%).
Hasil uji analisa dengan analisis korelasi
sederhana (Spearman's Rho), pada penelitian ini
menunjukkan nilai r= 0,972, nilai p-value= 0,004.
2. Pembahasan
a. Sub Variabel Fase Orientasi
Penelitian pada sub variabel orientasi
didapatkan hampir seluruh perawat
memperkenalkan diri saat berinteraksi dengan
pasien (62,5), ada juga perawat yang tidak
melakukannya tetapi sedikit hanya (1,6%). Perawat
yang tidak memperkenalkan diri terbatas pada
menanyakan identitas pasien saja, perawat juga
membuat kontrak terlebih dahulu sebelum berinteraksi dengan pasien.
Berarti keberhasilan/intervensi perawatan
tergantung pada komunikasi karena proses
keperawatan ditujukan untuk merubah perilaku
Indikator Kepuasan meliputi:
- Responsiveness
- Emphaty
- Reliability
- Assurance
- Tangible
Komunikasi
terapeutik perawat
Tingkat kepuasan pasien meliputi :
- Sangat puas - Puas - Tidak puas
- Sangat tidak puas
12
mencapai tujuan.
b. Sub Variabel Fase Kerja
Pada sub variabel fase kerja, dari hasil
penelitian didapatkan bahwa 34 (53,1%) pasien
mengatakan perawat melakukan komunikasi
sangat baik yaitu perawat bertanya kepada pasien
mengenai keluhannya berkaitan dengan
pelaksanaan asuhan keperawatan dan menjalankannya dengan baik. Perawat juga
memberi kesempatan pasien untuk bertanya
sebelum tindakan dilaksanakan. Dan setelah
selesai tindakan dilakukan evaluasi kerja dan
disampaikan kepada pasien. Sesuai dengan
pendapat Rosyidi (2008) mengatakan bahwa tugas
perawat pada tahap kerja adalah mendorong
ekspresi terbuka perasaan klien, membuat klien
menyadari inkonsistensi dalam tingkah
laku/pemikiran yang berhubungan dengan
pemahaman diri.
c. Sub Variabel Face Terminasi
Fase terakhir atau perpisahan (terminasi) yang
didapatkan dari penelitian menunjukkan bahwa
komunikasi terapeutik perawat sangat baik 39
(60,9%), perawat memberitahu pasien bahwa
tindakan di ruang rawat inap selesai atau boleh
pulang.
Menurut Mundakir (2006) pada fase ini
perawat harus menciptakan realitas perpisahan,
menyimpulkan hasil kegiatan, evaluasi hasil dan
proses. Saling mengeksplorasi perasaan penolakan, kehilangan, sedih, marah dan perilaku lain.
Memberikan reinforcement positif dan
merencanakan tindak lanjut dengan klien.
Melakukan kontrak untuk pertemuan selanjutnya
(waktu, tempat, topik) serta mengakhiri kegiatan
dengan baik. Fase ini merupakan fase yang sulit
dan penting, karena hubungan saling percaya
sudah terbina dan berada pada tingkat optimal.
Perawat dan klien keduanya merasa kehilangan.
Terminasi dapat terjadi pada saat perawat
mengakhiri tugas pada unit tertentu atau saat klien akan pulang. Untuk melalui fase ini dengan sukses
dan bernilai terapeutik, perawat menggunakan
konsep kehilangan.
1) Komunikasi Terapeutik yang Diterapkan
Perawat saat Berkomunikasi dengan Pasien
di Rumah Sakit Martha Friska Medan
Berdasarkan hasil penelitian untuk variabel
komunikasi terapeutik perawat dapat dilihat pada
tabel 2 bahwa 43 pasien (67,2%) merasakan bahwa
komunikasi terapeutik yang diterapkan oleh
perawat sangat baik. Hal ini terjadi karena perawat telah mampu merealisasi diri, membina
hubungan interpersonal dengan klien serta
memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang
terapeutik. Sesuai dengan yang dikatakan Roger
(1997, dalam Stuart 1998) sesungguhnya
karakteristik seorang perawat dapat memfasilitasi
tumbuhnya hubungan terapeutik adalah kejujuran,
tidak membingungkan dan cukup ekspresif
bersikap positif, memiliki empati, dan menerima
klien apa adanya.
2) Karakteristik Variabel Kepuasan Pasien di
Rumah Sakit Martha Friska Medan
Berdasarkan hasil penelitian untuk variabel kepuasan pasien terdiri dari 2 sub variabel sebagai
berikut :
a) Sub Variabel Responsivenes
Pada variabel responsiveness berdasarkan
analisis penelitian menujukkan bahwa mayoritas
pasien merasa, sangat puas dengan respon perawat
ketika berinteraksi dengan pasien yaitu 79,7%, dan
yang merasa puas 20,3%.
Hal ini menunjukkan bahwa keseluruhan
pasien merasakan kepuasan yang tinggi terhadap
responsiveness perawat rumah sakit Martha Friska Medan. Kepedulian perawat ini meliputi pasien
tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan
perawatan ketika pertama datang. Perawat selalu
mengecek kesehatan pasien dan berinisiatif
memanggil dokter jika terjadi perubahan kondisi
tubuh pasien, perawat juga membantu pasien
menjelaskan tentang yang dirasakan klien,
memberikan obat tepat waktu yang telah
ditentukan.
Dalam hai ini perawat berusaha
memperhatikan kebutuhan pasien yang menjadi
tanggung jawabnya, merespon permintaan mereka dengan tanggap, mendengarkan dengan serius apa
yang pasien keluhkan serta menginformasikan jasa
secara tepat. Menurut Supardi (2008).
Responsiveness (ketanggapan), yaitu kemampuan
petugas memberikan pelayanan kepada pasien
dengan cepat.
Dalam pelayanan rumah sakit adalah lama
waktu menunggu pasien mulai dari mendaftar
sampai mendapat pelayanan tenaga kesehatan.
b) Sub Variabel Empaty Pada sub variabel empati hasil penelitian
menunjukkan (76,6%) merasakan sangat puas
terhadap empati perawat dalam memberikan
pelayanan kepada pasien.
Hasil penelitian di rumah sakit Martha Friska
Medan menunjukkan bahwa jumlah pasien yang
merasakan perawat punya rasa empati dalam
menjalankan tugas pelayanan asuhan keperawatan
lebih banyak bila dibandingkan dengan pasien
yang merasakan perawat kurang punya rasa
empati. Bahkan hampir seluruh perawat berempati
dalam menjalankan tugasnya terutama dalam hal perawat mengevaluasi perasaan pasien setelah
berinteraksi dengannya. Walaupun terkadang
pasien yang dirawat inap sangat banyak, perawat
juga bersikap sopan, ramah dengan wajah yang
tersenyum setiap bertemu dengan pasien, tidak
membeda-bedakan status sosial, etnis, agama, serta
13
status ekonomi pasien. Perawat juga memotivasi
pasien untuk mengungkapkan perasaannya,
terkadang yang menjadi kendala pada saat
pergantian shift jaga perawat tidak sempat untuk
melihat kondisi masing-masing pasien yang sedang
menjalani perawatan karena perhatian perawat
cenderung terfokus pada pasien yang kondisinya
kritis, frekuensi interaksi perawat dengan pasien tergolong paling sering dibandingkan dengan
tenaga kesehatan yang lainnya, maka keberadaan
perawat di rumah sakit sangat penting dalam
memegang peranan atas kelangsungan kondisi
pasien.
Sesuai dengan pendapat Bratha (2008)
Seorang perawat dengan empatinya akan
membantu pasien. Perawat berkeharusan bersikap
baik dan santun kepada seluruh pasien, baik itu
bayi yang barn lahir sampai orang lanjut usia
sekalipun. Sikap ini didasarkan pada pemikiran, pilihan sikap yang benar dan tepat dalam segala
situasi, yaitu tempat dan waktu. Perawatan yang
efektif mencakup pemberian perhatian kepada
kebutuhan emosi sang pasien. Sikap perawat
kepada pasien disesuaikan dengan usia pasien. Hal
ini menguatkan bahwa kemampuan untuk dapat
berempati sangat diperlukan sekali oleh perawat
agar perawatan lebih efektif.
d. Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat
terhadap kepuasan pasien di Rumah Sakit
Martha Friska Medan Dari hasil analisis penelitian dengan analisi
korelasi Spearman's pengaruh antara komunikasi yang
diterapkan oleh perawat di Rumah Sakit Martha Friska
Medan. Pada penelitian menunjukkan nilai r = 0,004.
Yang berarti adanya korelasi yang tidak kuat dan
dengan nilai p-value = 0,972 menunjukkan adanya
pengaruh yang tidak signifikan antara komunikasi
terapeutik perawat terhadap kepuasan pasien.
Peneliti menyimpulkan bahwa hipotesa dari
penelitian ini ditolak karena terdapat pengaruh yang
tidak signifikan komunikasi terapeutik perawat terhadap kepuasan pasien. Berbeda dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Eva Alviana (2007),
Universitas Muhammadiyah Semarang. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa :”Ada hubungan
antara Komunikasi Terapeutik PerawatPasien dengan
Kepusan Pasien terhadap Pelayanan Rumah Sakit Al-
Islam Bandung Berdasar hasil uji statistik diperoleh
nilai r = 0,514 dan p = 0,000. Data ini menunjukkan
bahwa hubungan tersebut signifikan pada taraf
signifikansi 0.01 (lebih kecil dari 0,05). Nilai r sebesar
0,514 berarti kekuatan hubungan tersebut sedang atau
moderat. Pola hubungan linier positif yang berarti semakin baik pelaksanaan komunikasi terapeutik maka
pasien akan semakin merasa puas.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a. Komunikasi terapeutik perawat di rumah sakit
Martha Friska Medan rata-rata sangat baik walaupun ada sebagian belum menggunakan
komunikasi terapetik secara baik. Melalui
tahapan komunikasi pada fase orientasi
(62,5%), dan fase kerja (53,1%), dan pada fase
terminasi (60,9%)
b. Kepuasan yang dirasakan pasien rawat inap di
rumah sakit Martha Friska Medan pada
umunya sangat puss terhadap respon yaitu
(79,7%) dan empati perawat (76,8%) ketika
berinteraksi dengan pasien dalam memberikan
asuhan keperawatan.
c. Terdapat pengaruh yang tidak signifikan antara komunikasi terapeutik dengan kepuasan
pasien di rumah sakit Martha Friska Medan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesa
peneliti ditolak.
2. Saran
a. Bagi perawat
Agar dapat meningkatkan pelaksanaan komunikasi
terapeutik dan kemampuan berkomunikasi terapeutik yang lebih baik lagi.
b. Bagi pihak Rumah Sakit
Untuk menerapkan SOP komunikasi terapeutik
secara optimal diharapkan untuk meningkatkan
pengetahuan perawat dengan cara
mengikutsertakan para perawat dalam seminar-
seminar keperawatan tentang komunikasi
terapeutik, memberikan pelatihan untuk
meningkatkan sikap, empati perawat terhadap
pasien, dan memberikan kesempatan perawat melanjutkan pendidikannya.
c. Bagi peneliti selanjutnya
Diharapkan pada peneliti selanjutnya untuk
melibatkan responden yang lebih bayak lagi serta
menggunakan indikator kepuasan yang lebih luas,
seperti : Reliability (kehandalan), Assurance
(jaminan), Tangible (bukti langsung).
14
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2114), Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Prakiek, Rineka Cipta, Jakarta.
Alimun, H. Aziz. (2007), Riset Keperawatan Dan
Teknik Penulisan Ilmiah. Salemba Medika.
Jakarta
Dampsey & Dempsey, (2002), Riset Keperawatan Buku Ajar dan Latihan, Edisi IV, EGC,
Jakarta.
Keliat, Budi, Anna. (1996). Hubungan Terapuetik
Perawat Klein. Penerbit Buku Kedoktoran,
ECG. Jakarta.
Mundakir, (2006), Komunikasi Dalam Keperawatan :
Aplikasi Teori dan Praktik. EGC. Jakarta.
Notoadmojo Soekidjo. (2012), Metodologi Penelitian
Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
Notoatmojo, S. (2011), Metode Penelitian,
Keperawatan. Rineka Cipta. Jakarta. Nursalam, (2008). Konsep Dan Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba
Medika. Jakarta.
Purwanto, Heri. (2007). Komunikasi Untuk Perawat.
EGC, Jakarta.
Suryani. 2005. Komunikasi Terapeutik : Teori dan
Praktik. EGC. Jakarta.
S. Pohan, Imbalo. (2006), Jaminan Mutu Layanan
Kesehan. ECG. Jakarta.
Sudjana (1992). Statistik Penelitian. Tarsito. Bandung.
Stuart, G.W & Sundeen S.J (1995), Pocket gide to
Psychiatric Nursing. Third edition. St.Louis: Mosby Year Book.
Stuart, G.W.& Sundeen S.J (1995).Principles and
Practise of Psychiatric Nursing. St.Louis:
Mosby Year Book.
Kempul.com. (2009). Kepuasan pasien terhadap
pelayanan Rumah Sakit.
Sudibyo Supardi, (2007), apotekputer.com. Faktor yang
berhubungan dengan kepuasan pasien rawat inap
dan rawat jalan.
15
EFEK FUNGISTATIS, FUNGISIDAL EKSTRAK KAYU MANIS TERHADAP
CANDIDA ALBICANS
DAN EFEK BAKTERISTATIS BAKTERISIDAL TERHADAP
STAPHYLOCOCCUS AUREUS
DARI DENTURE STOMATITIS
Minasari, Dennis Dominika
Departemen Biologi Oral
Fakutas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
Jalan Alumni No.2, Kampus USU Medan 20155 [email protected]
Abstract
Cinnamon is one of the spices that has been used for a long time, even before 2100 BC as an essential
material to mummify a king's body and also as addition for foods and drinks to increase the flavours.
Cinnamon has three active components such as cinnamaldehyd, eugenol and linalool. Cinnamon has good
fungicidal and fungistatic effect against Candida albicans and bacteristatic, bactericidal effect against
Staphylococcus aureus. Cinnamon can be used to decrease the amount of Candida albicans and
Staphylococcus aureus colonies, so the researcher is interested to examine the fungistatic, fungicidal,
bacteristatic dan bactericidal effect against Candida albicans and Staphylococcus aureus. The goal of this
research is to determine the effect of different concentrations of cinnamon extract against Candida albicans and Staphylococcus aureus.
In this research, the extract's concentrations that are used are 100%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%,
1,56%, 0,78%, 0,39%, 0,195% and also two controls which are formaldehyd and aquadest. The extract used
in this research is obtained by extraction method. Dilution technique is used in the test with three times
replication. This research is experimental laboratorium type with pretest-postest design. Kruskal-Wallis and
Mann-Whitney test is used to analyze the data.
The result show that concentration 0,78 % extract has shown fungistatic effect and concentration 25% has
shown fungicidal effect against Candida albicans, and concentration 1,562% bacteristatic, concentration
50% bactericidal Staphylococcus aureus. From double comparison table, we can conclude that there are
significant difference between each concentration's effect against Candida albicans and Staphylococcus
aureus. The result shows that the increase of cinnamon extract's concentration will lessen the remaining colonies of
Candida albicans.
Key words : cinnamon, fungistatic, fungicidal, candida albicans, bacteristatic,
bactericidal, staphylococcus aureus, denture stomatitic
16
Abstrak
Kayu manis adalah salah satu bahan rempah-rempah yang digunakan oleh masyarakat dari zaman prasejarah
2100 sebelum masehi sebagai pengawet mumi raja dan makanan dimana pada saat ini digunakan sebagai
campuran minuman dan makanan untuk menambah cita rasa. Kayu manis mempunyai zat aktif yaitu
cinnamaldehyde, eugenol dan linalool, memiliki sifat fungistatis dan fungisidal yang baik terhadap Candida
albicans dan bakteriostatis, bakterisidal yang baik terhadap Staphylococcus aureus. Untuk daya hambat
pertumbuhan koloni Candida albicans dan Staphylococcus aureus dapat digunakan ekstrak kayu manis,
sehingga peneliti tertarik untuk meneliti kemampuan fungistatis, fungisidal, bakteristatis dan bakterisidal
ekstrak kayu manis terhadap Candida albicans dan Staphylococcus aureus. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui kemampuan fungistatis, fungisidal, bakteristatis dan bakterisidal dari beberapa konsentrasi ekstrak kayu manis (KEKM) terhadap Candida albicans dan Staphylococcus aureus. Penelitian ini
digunakan ektrak kayu manis (KEKM) dari konsentrasi 100%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,525%,
0,781%, 0,390%, 0,195% dan dua larutan kontrol yaitu formaldehyd dan aquadest. Ekstrak kayu manis
diperoleh melalui proses ekstraksi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode dilusi dengan 3 kali
pengulangan. Jenis penelitian eksperimental laboratorium dengan desain penelitian pretes-postes. Analisa
data yang digunakan adalah analisa Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan analisa Mann-Whitney.
Hasil penelitian pada konsentrasi 0,78% menunjukkan sifat fungistatis dan konsentrasi 25% menunjukkan
sifat fungisidal dan pada terhadap Candida albicans, konsentrasi 1,562% bakteristatis dan konsentrasi 50%
bakterisidal terhadap Staphylococcus aureus. Dari tabel komparasi ganda, diperoleh perbedaan bermakna
antar konsentrasi ekstrak kayu manis 100%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,525%, 0,781%, 0,390%,
0,195% sehingga diperoleh (p<0,05) Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak kayu manis maka semakin tinggi pula kemampuan fungistatis, fungisidal terhadap Candida albicans
dan bakteriostatis, bakterisidal terhadap Staphylococcus aureus.
Kata Kunci : kayu manis, fungistatis, fungisidal, Candida albicans, bakteriostatis,
bakterisidal, Staphylococcus aureus¸denture stomatitis
17
PENDAHULUAN
Bakteri merupakan suatu mikroorganisme yang
tidak terlepas dari bagian kehidupan yang dapat
memberikan manfaat, contohnya Escherichia coli berperan
membentuk vitamin C dan vitamin K dalam usus.
Sebagian besar bakteri dapat menimbulkan beberapa
infeksi dengan cara menginvasi dan berkolonisasi dalam
jaringan tubuh dan rongga mulut, terutama Staphylococcus aureus sebagai infeksi abses, gingivitis dan denture
stomatitis. Dari data WHO menunjukkan bahwa produk
herbal di negara-negara eropa dalam kurun waktu 1999-
2004 mencapai 66% dari permintaan dunia.1
Kayu manis mempunyai ciri khas berupa aroma
dan rasa yang manis. Sedikit yang tahu bahwa fungsi kayu
manis bukan hanya sekedar pewangi, tetapi juga berfungsi
sebagai fungisidal karena memiliki zat aktif berupa
cinnamaldehyde, eugenol, dan linalool, sehingga
mengkonsumsi kayu manis dapat berefek baik pada
kesehatan tubuh. Kemampuan fungisidal dari kayu manis pertama kali ditunjukkan dan dikonfirmasi pada tahun
1977 oleh Bullerman, yang dipublikasikan pertama kali
pada "journal of food science". Pada penelitian tersebut,
diketahui bahwa zat aktif kayu manis dapat menetralkan
alfatoxin, yang merupakan zat karsinogenik yang
dihasilkan oleh jamur.2
Dengan kemajuan teknologi, obat-obatan anti
Candida albicans juga semakin bertambah, tetapi sebagian
besar obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek
samping pada manusia. Beberapa obat antiCandida
albicans seperti Nystatin, Fluconazole, Clotrimazole,
Ketokonazole dapat mengakibatkan rasa mual, muntah-muntah, sakit perut, bahkan dapat meracuni hati. Hal ini
mendorong para peneliti untuk meneliti kandungan yang
terdapat pada berbagai bahan alamiah dan berusaha
mencari bahan alamiah yang dapat mencegah
perkembangan bakteri atau Candida albicans patogen.
Kemampuan bahan antimikroba dari bahan alamiah juga
berbeda-beda, tergantung pada mikroba yang hendak diuji,
bentuk dari bahan antimikroba, waktu dan tempat tumbuh
dari bahan tersebut. 3,4
Candida albicans merupakan flora normal yang
secara umum terdapat pada rongga mulut, feses, kulit, dibawah kuku orang sehat dan vagina. Pada keadaan
normal, Candida albicans ini tidak akan menimbulkan
gangguan pada tubuh host, tetapi pada saat-saat tertentu
seperti pada penderita leukemia, limphoma, pasien yang
menjalani terapi radiasi dan juga pada pengguna gigi tiruan
lepasan yang tidak dilepas dan dibersihkan dapat
menimbulkan keadaan patogenesis.5
Staphylococcus aureus adalah salah satu bakteri
patogen yang sering menyebabkan infeksi pada manusia.
Bakteri ini menyebabkan infeksi melalui invasi ke jaringan
dan pengeluaran toksin (leukosidin, enterotoksin)
menyebabkan lisisnya sel darah merah. Menurut Monroy et al(2005) pasien denture stomatitis dengan pH rata-rata
5,2 ditemukan membran mukosa Candida albicans 51,4%,
Staphylococcus aureus 52,4% dan Straptococcus mutans
67.6% pada denture stomatitis.6
Staphylococcus aureus
Klasifikasi ilmiah
Klasifikasi Staphylococcus aureus menurut
berget dalam capucino (1998) adalah
Domain : Bacteria
Kingdom : Eubacteria
Devisi : Firimicuttes
Class : Cocci
Ordo : Bacillales Familiy : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : S. aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri gram
positif, sifat aerob dan anaerobik fakultatif, muncul sebagai
susunan seperti anggur dibawah miksroskop, tidak
bergerak, tidak berspora mampu membentuk kapsul dan
coccus, ukuran ± 1 µm. Koloni bakteri ini pada
makroskopis berwarna kuning keemasan ketika dikultur
pada manitol salt agar.7-10
Lebih dari 30 tipe Staphylococcus aureus dapat menginfeksi manusia, kebanyakan disebabkan oleh
Staphylococcus aureus. Hasil isolasi dan pengkulturan
murni Staphylococcus aureus dari abses adalah sebesar
0.7-15%. Abses ditandai adanya kerusakan jaringan yang
menghasilkan pus. Pus yang terjadi karena Staphylococcus
aureus patogen menghasilkan koagulase, pigemn kuning,
bersifat hemoliti, mencairkan gelatin, serta bersifat
invasive.7,9
Penelitian di Amerika (2009), ditemukan pasien
infeksi nosokomial 29,4%, pasien penderita endokarditis
27.7%, pasien infeksi Methicillin Susceptible
Staphylococcus aureus (MSSA). Selain itu, prevalensi penyakit infeksi yang disebabkan Staphylococcus aureus
mencapai 70% di asia pada tahun 2007 dan di Indonesia
mencapai23,5% pada tahun 2006.11,12
Dengan banyaknya jumlah pemakai gigi tiruan
dan kurangnya kesadaran akan kesehatan dan
kebersihan rongga mulut, maka secara otomatis
prevalensi terjadinya denture stomatitis semakin
meningkat. Tingginya prevalensi denture stomatitis
hingga dapat mencapai rentang tertinggi yaitu 70%.
Prevalensi juga semakin meningkat pada usia yang
semakin tua.13
Penggunaan bahan alamiah untuk pengobatan
telah lama dikenal oleh masyarakat. Usaha pengembangan
bahan alamiah perlu dikembangkan kaena lebih mudah
diperoleh, lebih tidak bersifat toksik dan murah
dibandingkan obat-obatan pada umumnya. Tetapi
penggunaan bahan alamiah tersebut haruslah didasari
dengan data-data penelitian yang akurat sehingga efeknya
dapat dipertanggungjawabkan.13 Sehubungan dengan ini,
peneliti tertarik untuk mengetahui efek fungistatis,
fungisidal ekstrak kayu manis terhadap Candida albicans
dan bakteristatis, bakterisidal ekstrak kayu manis terhadap
Staphylococcus aureus. mengandung lisostfin yang dapat menyebabkan lisisnya sel darah merah yang diharapkan
dapat menjadi dasar untuk dikembangkan sebagai
pengobatan alternatif yang alamiah, tidak toksik dan
mudah didapat.
18
BAHAN DAN CARA
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental murni dengan rancangan penelitian pretes-
postes dengan kelompok kontrol. Proses pengambilan zat
aktif kayu manis dilakukan dengan metode ekstraksi,
dilakukan di Fakultas Farmasi USU. Masing-masing
sampel kayu manis dipotong dan diblender hingga menjadi
bubuk. kemudian dilakukan proses maserasi atau perendaman bubuk dalam etanol selama 24 jam yang
bertujuan melarutkan zat aktif kayu manis di larutan etanol.
Kemudian proses perkolasi / penyaringan memisahkan zat
aktif dengan ampas dari bubuk kayu manis yang tidak
digunakan lagi. Proses perkolasi dilanjutkan dengan proses
rotavaporasi dan dry freezing bertujuan untuk menguapkan
etanol dari larutan tersebut. Setelah didapatkan ekstrak
kayu manis murni, dibuat larutan kayu manis 100% setelah
dicampurkan dengan etanol. Kemudian dilakukan
pengujian dengan metode dilusi terhadap Candida albicans
sehingga diperoleh kadar fungistatis fungisidal minimum dan Staphylococcus aureus kadar bakteristatis dan
bakterisidal minimum. Pengolahan data dan analisis
dilakukan dengan metode Mann-Whitney, dilanjutkan
dengan Kruskal-Wallis untuk melihat hubungan serta
perbedaan kemampuan tiap konsentrasi ekstrak kayu
manis terhadap pertumbuhan Candida albicans dan
Staphylococcus aureus.14,15,16
HASIL
Setelah dilakukan percobaan, didapati hasil
bahwa dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak kayu
manis maka semakin tinggi kemampuan fungisidal dan fungistatis ekstrak kayu manis serta mengakibatkan
penurunan jumlah koloni Candida albicans (tabel 1) dan
penurunan jumlah koloni Staphylococcus aureus.
Tabel 1. Distribusi frekuensi kemampuan fungistatis dan
fungisidal ekstrak kayu manis terhadap Candida albicans
pada media SDA.
KEKM n SD Kekeruhan P
0.195% 3 638 51,39 +
0,037*
0.390% 3 577,67 24,21 +
0.781% 3 526 13,07 - (fungistatis)
1.562% 3 388,67 19,75 - (fungistatis)
3.125% 3 312,67 15,56 - (fungistatis)
6.25% 3 182,67 25,58 - (fungistatis)
12.5% 3 145,67 14,64 - (fungistatis)
25% 3 0 0 - Fungisidal (koloni C.albicans 0)
50% 3 0 0 - Fungisidal (koloni C.albicans 0)
100% 3 0 0 - Fungisidal (koloni C.albicans 0)
*terdapat perbedaan yang signifikan pada p<0,05
(Hipotesa diterima)
Dari tabel 1, terlihat adanya perbedaan
kemampuan berbagai konsentrasi terhadap Candida
albicans. Konsentrasi 0,195% dan 0,390% ditemukan kekeruhan yang berarti bahwa kedua konsentrasi tidak
bersifat fungistatis, sedangkan pada konsentrasi 0,781%
sampai 12,5% tidak ditemukan kekeruhan yang berarti
ekstrak kayu manis bersifat fungistatis terhadap Candida
albicans dan pada konsentrasi 25%-100% bersifat
fungisidal tidak ditemukan koloni Candida albicans.
Demikian juga pada (tabel 2) terlihat adanya
perbedaan kemampuan dari berbagai konsentrasi 0.195%,
0.390%, dan 0.781%, ditemukan kekeruhan pada tabung yang berarti bahwa ketiga konsentrasi tidak bersifat
bakteriostatis. Sedangkan konsentrasi 1,562% sampai 25%
tidak ditermukan kekeruhan yang berarti ekstrak kayu
manis bersifat bakteristatis terhadap Staphylococcus
aureus, pada konsentrasi 50% dan 100% bersifat
bakterisidal tidak ditemukan koloni bakteri Staphylococcus
aureus.
Tabel 2. Distribusi frekuensi kemampuan bakterstatis dan
bakterisidal ekstrak kayu manis terhadap Staphylococcus
aureus pada media MHA.
KEKM n SD Kekeruhan P
0.195% 3 625,58 50,00 +
0,037*
0.390% 3 602.07 25.51 +
0.781% 3 589.32 13.75 +
1.562% 3 496.57 18.56 - (bakteristatis)
3.125% 3 439.24 14.97 - (bakteristatis)
6.25% 3 304.67 24.82 - (bakteristatis)
12.5% 3 174.67 18.82 - (bakteristatis)
25% 3 137.67 13.82 - (bakteristatis)
50% 3 0 0 - bakterisidal
(koloni S.aureus 0)
100% 3 0 0 - bakterisidal
(koloni S.aureus 0)
*terdapat perbedaan yang signifikan pada p<0,05
(Hipotesa diterima)
Dari tabel 2, terlihat adanya perbedaan kemampuan
berbagai konsentrasi terhadap Staphylococcus aureus.
Konsentrasi 1.562%, 0,390% dan 0,781% ditemukan kekeruhan yang berarti bahwa ketiga konsentrasi ini tidak
bersifat bakteristatis, sedangkan konsentrasi 50% sampai
100% tidak ditemukan kekeruhan berarti ekstrak kayu
manis bersifat bakterisidal terhadap Staphylococcus
aureus.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan adanya efek
fungistatis dan fungisidal dari berbagai konsentrasi ekstrak
kayu manis (KEKM) terhadap Candida albicans, serta
19
bakteristatis, bakterisidal (KEKM) terhadap
Staphylococcus aureus. Penelitian ini menunjukkan
adanya perbedaan yang bermakna antara konsentrasi
ekstrak (KEKM) 100%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%,
3,125%, 1,5625%, 0,781%, 0,390%, 0,195% (hipotesa
diterima). Dengan setiap peningkatan konsentrasi, terjadi
pengurangan jumlah koloni Candida albicans yang lebih
signifikan pada media SDA. Untuk Candida albicans didapati bahwa kadar fungistatis minimal terdapat pada
konsentrasi 0.78% dan kadar fungisidal minimal berada
pada 25%. Sedangkan Staphylococcus aureus kadar
bakteristatis minimal berada pada 1,562% dan kadar
bakterisidal minimal terdapat pada konsentrasi 50%.
Faktor yang mempengaruhi kemampuan ekstrak
kayu manis dalam kemampuannya sebagai fungistatis,
fungisidal pada Candida albicans serta bakteristatis dan
bakterisidal pada Staphylococcus aureus adalah karena zat-
zat aktif yang terkandung didalam nya seperti
cinnamaldehyde, linalool dan eugenol dapat menghentikan proses sintesa dinding sel, serta mengubah dinding sel
secara stuktural yang mengakibatkan peningkatan
permeabilitas sehingga terjadi perubahan tekanan dalam sel
Candida albicans dan sel Staphylococcus aureus tersebut.
Perubahan tersebut akan mengakibatkan organ-organ
dalam sel Candida albicans dan Staphylococcus aureus
semakin membesar dan pecah, akibat lainnya adalah zat-
zat asing dapat masuk dan merusak struktur internal sel
sehingga mengakibatkan kematian/lisis sel Candida
albicans dan sel Staphylococcus aureus .13-17
Sukandar, Yulinah E, Suganda, Gana A dan
Muslikhati (1999) melakukan penelitian dengan menggunakan minyak atsiri kayu manis menggunakan
metode destilasi uap. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kekuatan aktivitas dan spektrum kerja
antimikroba dari minyak atsiri kulit kayu manis. Pada
penelitian ini dilakukan pengujian aktivitas antibakteri dan
antifungi minyak atsiri tersebut terhadap 14 spesies bakteri
dan 18 spesies fungi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
minyak atsiri memiliki aktivitas yang kuat terhadap semua
bakteri dan fungi. Aktivitas antibakteri minyak atsiri
terkuat terhadap Staphylococcus aureus dan Bacillus
subtilis dengan konsentrasi hambat minimum sebesar 0,62% sedangkan daya antifungi terkuat terjadi pada
Candida albicans dengan konsentrasi hambat minimal
sebesar 1%.15
Penelitian Yen TB, Chang ST (2008)
membuktikan efek antimikroba ekstrak kayu manis
terhadap Salmonella typhie yang resisten terhadap berbagai
jenis antibiotik seperti kloramfenikol, ampisilin, dan
kotrimaksasol. Pada penelitian ini Ririn menggunakan
metode dilusi tabung dengan konsentrasi 100%, 50%,
25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,5625%, 0,781% dan dua
buah kontrol yaitu positif dan negatif. Penelitian ini
mendapati hasil bahwa ekstrak kayu manis mempunyai efek antibakteri terhadap Salmonella typhi pada
konsentrasi 6,25%. Perbedaan konsentrasi hambat
disebabkan sifat Salmonella typhie yang resisten terhadap
berbagai antikmikroba dan antibakteri, sehingga
dibutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi untuk dapat
menghambat pertumbuhannya.14
Xuan Kuang dan Bin Li (2011) telah melakukan
penelitian untuk mengetahui efektivitas ekstrak rempah-
rempah tradisional terhadap beberapa bakteri yang sering
dijumpai pada daging. Pada penelitian ini didapati bahwa
ekstrak kayu manis dapat menghambat pertumbuhan
bakteri Staphylococcus aureus, Escherichia coli,
Brochothrix thermosphacta dan Lactobacillus rhamnosus
pada konsentrasi 1%. Penelitian ini membuktikan bahwa kayu manis juga dapat digunakan untuk mencegah
pembusukan daging dengan lebih alamiah dan dengan
biaya yang murah. 16
Penelitian yang dilakukan di laboratorium
mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hasanuddin dengan zat
aktif kayu manis menggunakan metode ekstraksi terhadap
Candida albicans diperoleh hasil bahwa konsentrasi
hambat minimal ekstrak kayu manis yang dapat
menghambat pertumbuhan Candida albicans adalah 1%.17
Pada penelitian ini didapati ekstrak kayu manis
yang digunakan peneliti lebih kuat efeknya dibandingkan ekstrak peneliti lain, dimana ekstrak peneliti sudah
menimbulkan efek fungistatis pada 0,78% sedangkan pada
bakteri Staphylococcus aureus 1,562%, sedangkan Xuan
Kuang dan Bin li efek bakteristatis 1%.16 Dapat terjadi
perbedaan kemampuan antimikroba ekstrak kayu manis,
karena aktivitas tersebut dapat tergantung pada ketinggian,
iklim dan curah hujan dari sampel kayu manis tersebut, dan
perbedaan metode penelitian. Dengan 3 kali pengulangan
didapati perbedaan jumlah koloni tetapi peneliti
mengambil rata-rata dari setiap konsentrasi tersebut.
Pengulangan ini merupakan standar baku yang digunakan
di laboratorium FMIPA USU. Pada penelitian ini peneliti masih memakai larutan etanol dalam proses ekstraksi.
Penelitian yang dilakukan berbagai pihak terhadap
berbagai bakteri dan Candida albicans semakin
menguatkan teori bahwa kayu manis memiliki kemampuan
antimikroba yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Arniputri RB, Sakya AT, Rahayu M. Identifikasi
komponen utama minyak atsiri temu kunci
(Kaemferia pandurata roxb) pada ketinggian tempat yang berbeda. Biodiversitas 2007; 8: 135-7
Bullerman L.B, Lieu F.Y, Seier S.A. Inhibition of
growth and alfatoxin production by cinnamon
and clove oils. Journal of Food Science 1977,
42: 1107-1109
ulugurtha S. Side effects of fungal medication
http://livestrong.com/article/sideefects/ <11
November 2011>
Hoque M.M, Bari M.L, Juneja V.K, Kawamoto S.
Antimicrobial activity of cloves and cinnamon
extracts against food borne pathogen and spoilage
bacteria, and inactivation of listeria in ground chicken unit with their essential oil. Agriculture
research service 2008: 10.
Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi kedokteran.
Jakarta: Salemba medika, 2006: 343
Monroy TB, Maldonado VM, Martinez FF et al. Candida
albicans, Staphylococcus aureus and
20
Streptococoous mutans colonization in patient
wearing dental prosthesis.
Med Oral Patol Oral cir Bucal 2005;10:27-39.
Robertson D, Smith AJ. The Microbiology of
the acute dental abscess. Journal of Medical
Microbiology, 2009;58:155-62 Nasution M.
Pengantar Mikrobiologi. 1st ed, Medan; USU
Press, 2010:74-84 Yadav AR, Mani AM, Marawar PP. Periodontal abscess: a
review, 2013; 1(1):13-7
Gillespie S, Bamford K. At a Glance mikrobiologi medis
dan infeksi. Alih bahasa: Tinia S. Ed 3. Jakarta:
Erlangga. 2008:32-3
Affandi A, Andrini F, Lesmana SD. Penetuan konsentrasi
bunuh hambat minimal larutan povidoniodium
10% terhadap Staphylococcus aureus Resisten
Metisilin (MRSA) dan Staphylococcus aureus
sensitif Metisilin(MSSA). JIK, 2009; 3(1): 14
Gendreau L, Loewy Z.G. Epidemiology and etiology of denture stomatitis. Journal of prosthodontics 2011;
20: 251–260.
El-Baroty1 GS, H. Abd El-Bakyl, Farag, Saleh MA.
Characterization of antioxidant and antimicrobial.
African Journal of Biochemistry Research 2010; 4:
167-174.
Yen TB, Chang ST. Synergistic effects of cinnamaldehyde
in combination with eugenol against wood decay
fungi. Bio source technology 2008; 99: 232-236.
Sukandar, Yulinah E, Suganda, Gana A; Muslikhati. Efek
minyak atsiri kulit kayu dan daun Cinnamomum
burmanni terhadap bakteri dan fungi. Majalah farmasi Indonesia 1999; 10: 31-39.
Kuang X, Li B, Kuang R, Zheng X, Zhu B. Granularity
and antibacterial activities of fine cinnamon
and clove powders. Journal of food safety 2011:
291.
Yusran A. Uji daya hambat anti Candida albicans
ekstrak kayu minyak atsiri Cinnamonum
burmanii terhadap Candida albicans.
Dentofasial 2009; 8: 104-110.
21
PENGARUH BERKUMUR LARUTAN MADU TERHADAP INDEKS PLAK
PADA SISWA-SISWI KELAS VI SD NEGERI 066038
KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN
Herlinawati
Jurusan Keperawatan Gigi Poltekes Kemenkes RI Medan
Abstrak
Penyebab terjadinya karies gigi dan peradangan pada jaringan periodontal salah satunya adalah mikroorganisme yang terkandung dalam plak yang menempel pada permukaan gigi. Menyingkirkan plak
dari permukaan gigi tidak hanya dilakukan dengan menyikat gigi saja, namun juga bisa dilakukan dengan
cara berkumur dengan zat tertentu. Madu mampu menghentikan perkembangan bakteri di dalam mulut yang
menyebabkan pengurangan lapisan plak sehingga dapat mempengaruhi penurunan indeks plak seseorang.
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh berkumur larutan madu terhadap indeks plak.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah metode quasi experiment (eksperimen semu) dengan rancangan
pretest - postest one group desain. Penelitian ini dilakukan pada siswa-siswi kelas VI SD Negeri 066038
Medan Kecamatan Medan Tuntungan, dengan populasi 160 siswa-siswi dan sampelnya 40 orang. Hasil
penelitian menunjukkan sebelum berkumur dengan larutan madu diketahui bahwa rata-rata indeks plak
siswa-siswi kriteria baik tidak ada,kriteria sedang 1,58 dan 2,28 untuk kriteria buruk dan setelah berkumur
dengan larutan madu rata-rata indeks plak untuk kriteria baik yaitu 0,72 dan kriteria sedang 0,14 dan kriteria buruk 2,10 Kesimpulan penelitian ini menunjukkan ada pengaruh berkumur larutan madu terhadap
penurunan indeks plak dan diharapkan dapat menambah wawasan siswa-siswi SD Negeri 066038 Medan
Kecamatan Medan Tuntungan.
Kata Kunci : Larutan Madu, Indeks Plak
Daftar Bacaan : 11 (1995-2014)
PENDAHULUAN
Kesehatan gigi dan mulut penting bagi kesehatan dan kesejahteraan tubuh secara umum dan
sangat memengaruhi kualitas kehidupan, termasuk
fungsi bicara, pengunyahan, dan rasa percaya diri.
Gangguan kesehatan gigi dan mulut akan berdampak
pada kinerja seseorang. Di Indonesia penyakit gigi dan
mulut terutama karies dan penyakit periodontal masih
banyak diderita, baik oleh anak-anak maupun usia
dewasa. Sebagian besar masalah kesehatan gigi dan
mulut sebenarnya dapat dicegah. Banyak cara untuk
dapat mengurangi dan mencegah penyakit gigi dan
mulut dengan berbagai pendekatan yang meliputi
pencegahan yang dimulai pada masyarakat, perawatan oleh diri sendiri dan perawatan secara professional
(Putri Megananda H. dkk., 2013).
Menurut Undang-Undang Kesehatan No.36
Tahun 2009 Pasal 93 ayat 1 dan 2 yaitu pelayanan
kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
dapat dilakukan dengan tindakan pencegahan penyakit
gigi, serta pemulihan kesehatan gigi yang dilaksanakan
oleh pemerintah setempat dan dapat juga di lakukan
melalui pelayanan kesehatan gigi perorangan, sekolah
dan masyarakat. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (2013), prevalensi nasional masalah gigi dan
mulut mencapai 25,9 persen, sebanyak 14 provinsi
mempunyai prevalensi masalah gigi dan mulut di atas
angka nasional. Prevalensi nasional menyikat gigi setiap hari adalah 94,2 persen sebanyak 15 provinsi
berada di bawah prevalensi nasional.
Salah satu penyebab terjadinya karies gigi dan
peradangan pada jaringan periodontal adalah
mikroorganisme yang terkandung di dalam plak yang
menempel pada permukaan gigi. Karies gigi adalah
penyakit multifaktor yang merupakan hasil kombinasi
dari 4 (empat) faktor utama yaitu host (gigi), substrat,
mikroorganisme di dalam plak dan waktu
(Samaranayake, 2002). Plak gigi memegang peranan
penting dalam menyebabkan terjadinya karies. Karies
gigi merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya interaksi plak kuman dengan diet dan gigi.
Tidak diragukan lagi bahwa tanpa adanya plak maka
tidak akan timbul karies. Akibatnya salah satu cara
pencegahan karies adalah dengan mengusahakan agar
pembentukan plak pada permukaan gigi dapat dibatasi,
baik dengan cara mencegah pembentukannya atau
dengan pembersihan plak dalam jangka waktu tertentu.
Usaha-usaha untuk pengendalian plak umumnya
mengikuti : cara mekanis dan cara kemis untuk
menghambat pembentukan plak atau menghindari
kuman spesifik dan produknya dalam plak.
Menyingkirkan plak dari permukaan gigi tidak
hanya dilakukan dengan menyikat gigi saja, namun
22
juga bisa dilakukan dengan cara berkumur dengan
larutan madu. Larutan madu sangat efektif untuk
mencegah kerusakan gigi. Larutan madu mampu
menghentikan perkembangan bakteri di dalam mulut.
Pada survei awal di SD Negerii 066038 Medan
terhadap beberapa siawa/siswi hampir 80% ditemukan
adanya indeks plak dengan kriteria buruk. Dari latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk
mengetahui pengaruh berkumur larutan madu terhadap
indeks plak pada siswa-siswi kelas VI SD Negerii
066038 Medan.
Adapun tujuan umum darii penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh berkumur larutan madu
terhadap indeks plak pada siswa-siswi kelas VI SD
Negerii 066038 Medan.
Manfaat Penelitian
1. Sebagai informasi dan bahan masukan bagi
pihak sekolah kelas VI SD Negeri 066038 Medan.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
data untuk penelitian selanjutnya.
Hipotesis kerja (Ha)
Ada pengaruh larutan berkumur larutan madu
terhadap indeks plak pada siswa-siwi SD Negeri
066038 Medan.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah quasi
eksperimen dengan rancangan one group pretest-posttest desain. Populasi dalam penelitian inii adalah seluruh
siswa/i anak kelas VII SD Negeri 066038 Medan dengan
jumlah 160 orang, sementara besar sampel yang diambil
adalah 40 orang siswa/i kelas VI (25% dari populasi).
Dalam penelitian diambil data primer yaitu data tentang
indeks plak dengan memeriksa langsung rongga mulut
sampel dan hasilnya diisi di format pemeriksaan.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari pihak sekolah
yaitu data tentang jumlah siswa-siswi dan lain-lain yang
dibutuhkan dalam penelitian.
HASIL
1. Analisa Univariat
Data yang dikumpulkan adalah hasil penelitian
yang dilakukan terhadap siswa-siswi kelas VI SD
Negeri 066038 Medan. Pengumpulan data dilakukan
dengan pemeriksaan langsung ke mulut siswa-siswi
yang menjadi sampel, dengan mengambil data primer
dan sekunder. Setelah seluruh data terkumpul, maka
dibuat analisa data dengan cara membuat tabel
distribusi frekuensi untuk masing-masing kelompok
sampel
Tabel 4.1.
Distribusi Frekuensi Indeks Plak Sebelum Berkumur
Dengan Larutan Madu Pada 40 Siswa/I kelas VI SD
Negeri 066038 Medan Kecamatan Medan Tuntungan
No Kriteria
Indeks Plak (IP)
Sebelum berkumur lararutan Madu
Persentasi Rata-rata
Jumlah siswa %
1 Baik 0 0 0
2 Sedang 27 67,5 1,58
3 Buruk 13 32,5 2,28
Total 40 100
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa indeks plak siswa-
siswi sebelum berkumur dengan larutan madu terhadap 40
sampel, Ditemukan 27 yang memiliki rata-rata indeks plak
dengan kriteria sedang atau sebesar 1,58 dan 13 yang
memiliki rata-rata indeks plak dengan kriteria buruk atau
sebesar 2,28 sedangkan untuk indeks plak dengan kriteria
baik yaitu 0, dan rata-rata indeks plak sebelum berkumur
dengan larutan madu pada 40 orang sampel adalah sebesar
1,81.
Tabel 4.2.
Distribusi Frekuensi Indeks Plak Sesudah Berkumur Dengan Larutan Madu Pada 40 Siswa/I Kelas VI SD
Negeri 066038 Medan Kecamatan Tuntungan.
No
Kriteia
Indeks Plak (IP)
Sesudah Berkumur
Larutan Madu Persentasi
Rata-Rata
Jumlah Siswa %
1 Baik 31 77,5 0,72
2 Sedang 7 17,5 1,44
3 Buruk 2 5 2,10
Total 40 100
Dari tabel di atas dapat diketahuii bahwa indeks plak
siswa-siswai sesudah berkumur dengan larutan madu
terhadap 40 sampel, ditemukan 31 yang memiliki rata-rata
indeks plak kriteria baik atau sebesar 0,72 dan 7 orang
memiliki rata-rata indeks plak kriteria sedang sebesar 1,44
dan 2 memiliki rata-rata indeks plak kriteria buruk yaitu
2,1 dan rata-rata seluruh sampel indeks plak sesudah
berkumur dengan larutan madu pada 40 orang sampel
adalah sebesar 0,94.
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Rata-Rata Penurunan Indeks Plak
Sebelum Dan Sesudah Berkumur Larutan Madu Terhadap
Indeks Plak Pada Siswa/I Kelas VI SD Negeri 066038
Medan Kecamatan Medan Tuntungan.
23
No
Kriteia Indeks Plak (IP)
Sebelum Berkumur Larutan Madu
Sesudah Berkumur Larutan Madu Selisih
1 Baik 0 0,72 0,72
2 Sedang 1,58 1,44 0,14
3 Buruk 2,28 2,1 0,18
A.2 Analisa Bivariat
Untuk menguji dua sampel yang berpasangan maka digunakan paired sample t-Test. Dimana dengan uji
t-Test ini dapat diketahui apakah ada pengaruh berkumur
larutan madu terhadap index plak. Adapun hasil t-Test
yang dilakukan dengan menggunakan Komputer adalah
sebagai berikut:
Berdasarkan Perbanding t hitung dengan t Tabel:
- Jika t hitung < t tabel
=Hipotesis diterima
T hitung > t tabel
= Hipotesis ditolak
Dari tabel di atas diketahui bahwa hitung adalah 14,755. Sedangkan t Tabel bisa dihitung menggunakan tabel t
dengan cara:
Tingkat signifikan (a) adalah 5% dan df (degree of
freedom) atau derajat kebebasan
= n-1 = 40-1= 39.
t-Tabel adalah 2,022
14,755>2,022
Hasil perhitungan dari uji t-Test dependent
terlihat bahwa hipotesis nol (Ho) ditolak yang berartii ada
pengaruh berkumur larutan madu terhadap indeks plak.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa berkumur dengan larutan madu dapat menurunkan indeks plak.
PEMBAHASAN
Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 40
siswa-siswi kelas VI SD Negeri 066038 Medan kecamatan
Medan Tuntungan yang dipilih secara acak untuk
berkumur larutan madu. Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan maka diketahui bahwa banyak siswa-siswi yang
memiliki indeks plak dengan kriteria sedang dan buruk
yang artinya masih rendahnya tingkat kebersihan gigi dan
mulut.
Berdasarkan pemeriksaan awal yang telah dilakukan terhadap seluruh sampel diketahui bahwa rata-
rata indeks awal sebelum berkumur dengan larutan madu
yaitu 1,81, dan setelah berkumur larutan madu, kriteria
indeks plak berubah dimana rata-rata indeks plak 0,94.
Dari hasil perhitungan t-test dependent didapatkan hasil
bahwa p < 0,05 atau 0,000 < 0,05 sehingga hipotesis nol
(Ho) ditolak yang berarti dapat menurunkan nilai indeks
plak pada siswa-siswi kelas VI SD Negeri 066038 Medan
Kecamatan Tuntungan.
Dengan hasil tersebut maka terlihat jelas bahwa
berkumur larutan madu dapat menurunkan nilai indeks plak gigi. Salah satu pencegah plak gigi dapat dilakukan
secara kimiawi yaitu berkumur-kumur (Besford, 1996).
Jadi menyingkirkan plak dari permukaan gigi tidak hanya
dilakukan dengan menyikat gigi saja, namun juga bisa
dilakukan dengan cara berkumur dengan larutan madu.
Karena larutan madu sangat efektif untuk mencegah
kerusakan gigi (Hamad, 2007).
Sifat madu yang membunuh bakteri disebut efek inhibisi, sifat ini meningkat dua kali lipat bila diencerkan dengan air
(Purbaya, 2007). Menurut Sarwono (2001), aktivitas
antibakteri utama di madu adalah terkait dengan hidrogen
peroksida yang terbentuk secara enzimatis. Tingkat
hidrogen peroksida yang diproduksi bersifat antibakteri,
namun tidak membahayakan jaringan tubuh. Berkumur
madu encer kurang lebih 15% dapat menyembuhkan
radang rongga mulut.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Rata-rata indeks plak awall sebelum
berkumur dengan larutan madu yaitu 1,81.
2. Rata-rata indeks plak akhir setelah berkumur
dengan larutan madu yaitu 0,94.
3. Larutan madu dapat menurunkan nilai indeks
plak.
SARAN
Sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan,
diharapkan: 1. Kepada siswa-siswi Kelas VI SD Negeri
066038 Medan Kecamatan Medan Tuntungan
lebih meningkatkan menjaga kesehatan gigi
dan mulut serta upaya pencegahan penyakit
gigi dan mulut dengan pembersihan plak.
2. Kepada siswa-siswi Kelas VI SD Negeri
066038 Medan Kecamatan Medan
Tuntungan dapat meningkatkan kesehatan
gigi dan mulut dengan pemeliharaan
kesehatan gigi dan mulut dengan
menggunakan obat tradisional terutama madu.
3. Kepada siswa-siswi kelas VI SD Negeri 066038 Medan Kecamatan Medan Tuntungan
agar lebih giat untuk menjaga kebersihan gigi
minimal 2 kali sehari, pagi sesudah sarapan
dan malam sebelum tidur, memeriksakan gigi
ke dokter gigi tiap 6 bulan sekali.
24
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharnisi, (2008). Prosedur Penelitian Suatu
Pendapat Praktek. Jakarta. Rineka Cipta.
Elija Herjualianti. (2002), Pendidikan Kesehatan Gigi
Airlangga University Press, Surabaya.
http://www. Purbalinggakab.com. (2011). Panjaitan Monang, (1995). Etioilogi Karies Gigi dan
Penyakit Jaringan Periodontal, USU Press, Jakarta.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta
Pintauli Sondang, Taizo Hamada, (2010). Metode Gigi dan
Mulut Sehat, USU Press, Medan.Data.
Purbaya, J.Rio, (2007). Mengenal Madu Alami, Pioner
Jaya, Bandung.
Rostita. (2014). Berkat Madu Sehat, Cantik, dan Penuh
Vitalitas. PT Mizan Pustaka. Bandung.
Team Darul Hadharah. (2014). Sehat Dengan Terapi Madu. Solo : Kiswah Madia.
Tim Karya Tadi Mandiri. (2010). Pedoman Budaya Lebah
Madu. Bandung : CV Nuansa Aulia.
Zainul Akbar. (2014). Jurus Sehat Rasulullah, Bandung :
Sygma Creatitive Media Crorp.
25
Hubungan Pengetahuan Ibu Bekerja Tentang Manajemen Laktasi Dan
Dukungan Tempat Kerja Dengan Perilaku Ibu Dalam Pemberian ASI Di
Wilayah Kerja Puskesmas Pembantu (Pustu) Amplas Medan
Lusiana Gultom
Abstrak
Air Susu Ibumerupakan nutrisi alamiah terbaik bagi bayi karena mengandung kebutuhan energi
dan zat yang dibutuhkan selama 6 bulan pertama kehidupan bayi. Cakupan ASI eksklusif di
seluruh dunia hanya36% selama periode 2007-2014, di bawah target WHO yang mengharuskan
cakupan ASI minimal 50%. Penghambat pemberian ASI eksklusif adalah rendahnya pengetahuan
ibu dan factor ibu bekerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu bekerja tentang manajemen laktasi dan dukungan tempat kerja dengan perilaku ibu dalam
pemberian ASI di wilayah kerja Puskesmas pembantu Amplas Medan.Jenis penelitian analitik
dengan menggunakan data primer yang diperoleh melalui kuesioner. Objek penelitian adalah
semua ibu bekerja yang mempunyai bayi usia7 – 24 bulan, menggunakan metode total sampling
yaitu 40 orang ibu bekerja. Data diolah menggunakan uji statistik Chi-Square.Hasil penelitian
mayoritas ibu memiliki pengetahuan kurang tentang manajemen laktasi dan tidak ASI eksklusif
sebanyak 15 orang (93,8%), hasil analisa disimpulkan X2 hitung >X2 tabel (18,55 > 5,991) dan P
value 0,000 berarti ada hubungan pengetahuan ibu bekerja tentang manajemen laktasi dengan
perilaku ibu dalam pemberian ASI. Mayoritas ibu bekerja tidak mendapatkan dukungan dari
tempat kerja dan tidak ASI eksklusif sebanyak 19 orang (82,7%), hasil analisa X2 hitung >X2 tabel
(19,66 > 3,841) dan P value 0,000 berarti ada hubungan dukungan tempat kerja dengan perilaku ibu dalam pemberian ASI.Diharapkan kepada ibu bekerja agar tetap memberikan ASI eksklusif
kepada bayinya dengan memahami tentang manajemen laktasi dan tenaga kesehatan juga harus giat
untuk berperan aktif dalam memotivasi ibu bekerja untuk tetap memberikan ASI ekslusif.
Kata Kunci : Pengetahuan, Dukungan Tempat Kerja, Pemberian ASI
Daftar Bacaan : 21 (2009-2015)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Air Susu Ibu (ASI) merupakan nutrisi alamiah
terbaik bagi bayi karena mengandung kebutuhan energi
dan zat yang dibutuhkan selama enam bulan pertama
kehidupan bayi. Pertumbuhan dan perkembangan bayi dan
balita sebagian besar ditentukan oleh jumlah ASI yang
diperoleh,termasuk energy dan zat gizi lainnya yang terkandung di dalam ASI tersebut, serta untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas bayi dan balita.
Beberapa hal yang menghambat pemberian ASI
eksklusif diantaranya adalah rendahnya pengetahuan ibu
dan keluarga lainnya mengenai manfaat ASI dan cara
menyusui yang benar, kurangnya pelayanan konseling
laktasi dan dukungan dari petugas kesehatan, faktor
sosial budaya, gencarnya pemasaran susu formula, dan
factor ibu yang bekerja (Dinkes,2008).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),
partisipasi perempuan dalam lapangan kerja meningkat
signifikan. Selama Agustus 2006-Agustus 2007 jumlah pekerja perempuan bertambah 3,3 juta orang (BPS, 2008).
Menurut Depkes, menyusui merupakan hak
setiap ibu tidak terkecuali pada ibu yang bekerja, maka
agar dapat terlaksananya pemberian ASI dibutuhkan
informasi yang lengkap mengenai manfaat dari ASI dan
menyusui serta bagaimana melakukan manajemen
laktasi. Selain itu diperlukan dukungan dari pihak
manajemen, lingkungan kerja, dan pemberdayaan pekerja
wanita sendiri (Fiddini, 2010).
Banyak ibu yang bekerja mengatakan hanya
dapat cuti bekerja selama tiga bulan sehingga tidak bisa
menyusui eksklusif dan tidak mengerti tentang manajemen ASI atau menyimpan ASI yang baik dan
benar. Sehingga memutuskan untuk memberikan susu
formula untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“Apakah ada hubungan pengetahuan ibu bekerja
tentang manajemen laktasi dan dukungan tempat kerja
dengan perilaku ibu dalam pemberian ASI di wilayah
kerja Pustu Amplas Medan ?”
C. Tujuan Penelitian
Umum
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu bekerja
tentang manajemen laktasi dan dukungan tempat kerja
26
dengan perilaku ibu dalam pemberian ASI di wilayah kerja
Pustu Amplas Medan
Khusus
a. Untuk mengetahui dukungan tempat kerja ibu
dalam pemberian ASI di wilayah kerja Pustu
Amplas Medan.
b. Untuk mengetahui perilaku ibu dalam pemberian
ASI di wilayah kerja Pustu Amplas Medan.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
a. Pengertian ManajemenLaktasi Manajemen laktasi adalah segala upaya yang
dilakukan untuk menunjang keberhasilan meyusui. Ruang
lingkup manajemen laktasi dimulai dari masa kehamilan,
setelah persalinan, dan masa menyusui selanjutnya.
Ruang lingkup manajemen laktasi periode post natal pada
ibu bekerja meliputi ASI eksklusif, teknik menyusui,
cara memerah ASI, menyimpan ASI perah dan
memberikan ASI perah.
b. ASI Eksklusif Air Susu Ibu (ASI) adalah cairan hidup yang
mengandung sel-sel darah putih, imunoglobin, enzim dan
hormon serta protein spesifik dan zat-zat gizi lainnya yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak
ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja sejak bayi
dilahirkan sampai sekitar 6 bulan. Selama itu bayi tidak
diharapkan mendapatkan tambahan cairan lain seperti susu
formula, air jeruk, air teh, madu dan air putih. Pada
pemberian ASI eksklusif bayi juga tidak diberikan
makanan tambahan seperti pisang, biskuit, bubur susu,
bubur nasi, tim dan sebagainya. Pemberian ASI secara
benar akan depat memenuhi kebutuhan bayi sampai usia 6
bulan, tanpa makanan pendamping. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan
untuk jangka waktu sekuran-kurangnya 4 bulan, tetapi bila
mungkin sampai 6 bulan. Para ahli menemukan bahwa
manfaat ASI akan sangat meningkat bila bayi hanya diberi
ASI saja selama 6 bulan pertama kehidupannya.
Sebagai tujuan global untuk meningkatkan
kesehatan dan mutu makanan bayi secara optimal maka
semua ibu dapat memberikan ASI eksklusif dan semua
bayi diberi ASI eksklusif sejak lahir sampai berusia 4-6
bulan, bayi diberi makanan pendamping yang benar dan
tepat, sedangkan ASI tetap diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih.
Keuntungan Menyusu Eksklusif Secara Umum
1. Memberikan nutrisi yang optimal dalam hal
kualitas dan kuantitas bagi bayi.
2. Meningkatkan kecerdasan.
Manfaat ASI bagi Bayi
1. ASI mengandung protein yang spesifik untuk
melindungi bayi dari alergi
2. ASI juga bebas kuman karena diberikan secara
langsung 3. ASI lebih mudah dicerna dan diserap oleh usus bayi
4. ASI mengandung banyak kadar selenium yang
melindungi gigi dari kerusakan
Manfaat ASI bagi Ibu
1. Membantu mempercepat pengembalian rahim ke
bentuk semula dan mengurangi perdarahan setelah
melahirkan.
2. Mengurangi biaya pengeluaran karena ASI tidak
perlu dibeli.
3. Mengurangi biaya perawatan sakit karena bayi yang
minum ASI tidak mudah terinfeksi.
Komposisi Gizi Dalam ASI
Jumlah total produksi ASI dan asupan ke bayi bervariasi untuk setiap waktu menyusui dengan jumlah
berkisar antar 450-1200 ml dengan rerata 750-850 ml per
hari.
Kandungan nutrisi dalam ASI jauh lebih tinggi
jika dibandingkan dengan susu sapi. Kandungan protein
dalam kolostrum jauh lebih tinggi dari pada dalam ASI.
Cara Menyusui Yang Baik dan Benar 1. Sebelum menyusui, ASI dikeluarkan sedikit dan
dioleskan ke puting susu dan areola sekitarnya.
2. Bayi diletakkan menghadap ke perut ibu/payudara. 3. Payudara dipegang dengan ibu jari diatas dan jari
lain menopang dibawah, jangan menopang puting
susu dan areolanya saja.
Posisi Menyusui Ada beberapa macam posisi menyusui, ibu dapat
mengambil posisi yang tepat untuk menyusui sebagai
berikut :
1. Ibu yang melahirkan secara spontan bisa lebih
leluasa untuk memilih posisi menyusui, sambil
duduk atau berbaring menyamping.
2. Posisi Menyusui Ibu Yang Melahirkan Melalui Persalinan Seksio Caesaria
3. Football position adalah posisi meyusui yang
disarankan untuk ibu yang melahirkan melalui
persalinan seksio caesaria.
4. Sama dengan ibu yang melahirkan dengan
persalinan seksio caesaria. Football position
(dengan cara seperti memegang bola) juga tepat
untuk bayi kembar, dimana kedua bayi disusui
bersamaan kiri dan kanan.
5. Pada ibu-ibu yang memiliki ASI berlimpah dan
memancar (penuh) dan alirannya deras, terdapat posisi khusus untuk menghindari agar bayi tidak
tersedak.
Pengeluaran ASI dengan Cara Memerah ASI
1. Tahapan Persiapan Memerah ASI
1) Cuci kedua tangan ibu dengan benar dan
menggunakan sabun.
2) Usahakan ibu rileks dan pilih tempat atau
ruangan untuk memerah ASI yang tenang dan
nyaman.
3) Kompres payudara dengan air hangat.
Gunakan handuk kecil, waslap atau kain lembut lainnya.
4) Mulailah mengurut payudara.
27
2. Tahapan Memerah ASI dengan Tangan
1. Letakkan ibu jari diatas areola dan jari telunjuk serta jari tengah dibawah sekitar 2,5-
3,80 di belakang membentuk huruf C.
2. Tekan lembut ke arah dada tanpa memindahkan posisi jari-jari tadi. Payudara
yang besar, anjurkan ibu untuk mengangkat
payudara lebih dahulu, kemudian tekan kearah
dada.
3. Buatlah gerakan menggulung (roll) dengan arah ibu jari dan jari-jari kedepan untuk
memerah ASI keluar dari gudang ASI yang
terdapat dibawah areola di belakang puting
susu.
4. Ulangi gerakan-gerakan tersebut (1,2,3)
sampai aliran ASI berkurang.
5. Lakukan pada kedua payudara secara
bergantian.
3. PengeluaranASIdengan Pompa
1. Tekanbolakaretuntukmengeluarkanudara
2. Letakkan ujung lebar tabung pada payudara
dengan putting susu tepat di tengah, dan
tabung benar-benar melekat pada kulit
3. Lepas bola karet, sehingga putting dan areola
tertarik kedalam
4. Tekan dan lepas beberapa kali, sehingga ASI
akan keluar dan terkumpul pada lekukan
penampung pada sisi tabung
5. Cucilah alat dengan bersih, menggunakan air
mendidih.
Penyimpanan ASI
1. Simpan ASI dalam botol atau gelas yang sudah di
sterilakan terlebih dahulu dan tutup rapat-rapat.
2. Cantumkan jam dan tanggal ASI di perah.
Cara dan waktu pemberian ASI yang telah
disimpan/didinginkan yaitu :
a. Tidak boleh direbus/dipanaskan diatas api karena
zat-zat yang terkadung didalamnya dapat mati
b. ASI dapat didiamkan beberapa saat di dalam suhu kamar,
c. Berikan ASI perah dengan menggunakan sendok
agar bayi tidak terbiasa menghisap dengan dot dan
jadi sulit menyusu pada payudara.
Pengetahuan IbuBekerja
Setiap orang memiliki pengetahuan yang
berbeda, pengatahuan yang dimiliki seseorang
merupakan peranan penting dalam pekerjaannya. Dari
pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku
yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langsung
dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penyebab rendahnya pemberian ASI eksklusif
adalah rendahnya pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif,
masalah dalam ASI seperti ASI tidak keluar. Selain itu
pada ibu yang bekerja tidak tahu bagaimana memberikan
ASI perahdan menyimpan ASI perah, factor lain karena
ibu menyusui yang bekerja beranggapan ASI tidak cukup
diberikan kepada bayi, dan bayi tidak akan merasa
kenyang.
Faktor yang mempengaruhi
a. Pendidikan
b. Pekerjaan
Dukungan Tempat Kerja
Berdasarkan Berdasarkan undang-undang peraturan pemerintah RI No.33 Tahun 2012 tentang
pemberian ASI eksklusif, salah satunya adalah pasal 30
ayat 3 yang isinya pengurus tempat kerja dan
penyelenggara tempat sarana umum harus menyediakan
fasilitas khusus untuk menyusui dan/atau memerah ASI
sesuai dengan kondisi kemampuan perusahaan (Jika tidak,
setiap pengurus tempat kerjadan/atau penyelenggara
tempat sarana umum yang tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1) dan ayat (3),atau Pasal 34, dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan). Berkaitan dengan ibu bekerja yang memiliki bayi,
pemerintah mempunyai kebijakan dan strategi
mendorong perusahaan-perusahaan dalam mendukung
pemberian ASI eksklusif pada pekerja wanita dengan
menyediakan fasilitas yang mendukung peningkatan
pemberian ASI ditempat kerja,
Perilaku Ibu dalam Pemberian ASI Perilaku pemberian ASI adalah suatu tindakan
aktif dari seorang ibu dalam pemberian ASI eksklusif
yaitu tanpa makanan tambahan dari bayi lahir sampai
berusia 6 bulan (Dinkes,2008) Rendahnya pemberian ASI banyak ditemukan di antara perempuan yang
bekerja karena alasan seperti singkat cuti hamil, tempat
kerja tidak memperbolehkan membawa bayi atau tidak
ada privasi untuk menyusui bayi.
Pengetahuan Ibu Bekerja Tentang Manajemen Laktasi
Dan Dukungan Tempat Kerja Dengan Perilaku Ibu
Dalam Pemberian ASI
Beberapa hal yang menghambat pemberian ASI
eksklusif diantaranya adalah rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga lainnya mengenai manfaat ASI dan cara
menyusui yang benar, kurangnya pelayanan konseling
laktasi dan dukungan dari petugas kesehatan, faktor
sosial budaya, gencarnya pemasaran susu formula dan
faktor ibu yang bekerja.yang merupakan penyebab
rendahnya pemberian ASI eksklusif adalah rendahnya
pengetahuan ibu tentang ASI Eksklusif, masalah dalam
ASI seperti ASI tidak keluar. Selain itu pada ibu yang
bekerja tidak tahu bagaimana memberikan ASI perah dan
menyimpan ASI perah, factor lain karena ibu menyusui
yang bekerja beranggapan ASI tidak cukup diberikan
kepada bayi, dan bayi tidak akan merasakan yang. Yang merupakan penyebab rendahnya pemberian
ASI eksklusif adalah rendahnya pengetahuan ibu tentang
ASI Eksklusif, masalah dalam ASI seperti ASI tidak
keluar. Selain itu pada ibu yang bekerja tidak tahu
bagaimana memberikan ASI perah dan menyimpan ASI
perah, faktor lain karena ibu menyusui yang bekerja
28
beranggapan ASI tidak cukup diberikan kepada bayi, dan
bayi tidak akan merasakan yang.
c. Kerangka Konsep
Kerangka konsep terdiri dari variabel bebas
(Independen) dan varibel terikat (dependen). Variabel
independen (bebas) adalah pengetahuan ibu bekerja tentang manajemen laktasi dan dukungan tempat kerja.
Sedangkan perilaku ibu dalam pemberian ASI ditetapkan
sebagai variabel terikat (dependen).
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik dan
desain penelitian menggunakan desain cross sectional,
dimana data yang menyangkut variabel bebas
(Independen) danvariabel terikat (dependen), akan
disimpulkan dalam waktu bersamaan.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Pustu
Amplas Medan.
Waktu Penelitian
Penelitian inidilakukan pada bulan Januari
sampai Juli 2017.
Populasi dan Sampel Penelitian Populasi adalah jumlah keseluruhan objek
penelitian atau objek yang diteliti. Objek dalam penelitian
ini adalah semua ibu bekerja yang mempunyai bayi usia7
– 24 bulan yaitu sebanyak 40 orang. Sampel adalah
sebagian dari populasi.
C. Jenis Dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yaitu dalam bentuk data primer yang diperoleh
melalui kuesioner.
Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dengan
mendatangi Posyandu di wilayah kerja Pustu Amplas
Medan dan mendatangi rumah responden. Sebelum dilakukan pengumpulan data peneliti terlebih
dahulu menjelaskan tujuan penelitian, kemudian
meminta kesediaan untuk menjadi responden penelitian.
Setelah responden menyetujui, peneliti akan meminta
untuk mengisi informedconsent dan menjelas kan cara
pengisian kuesioner.
Pengolahan Dan Analisa Data Mengkodedata(coding)
Menyuntingdata(editing
Memasukkandata(entry)
Membersihkandata(cleaning) PenyajianData
Analisa Data
1. Analisa Data Univariat
2. Analisis Data Bivariat
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Karakteristik Responden
N
o Karakteristik
Frekuen
si
Persentase
(%) N
1. Umur Ibu
40
16-27 tahun 22 55
28-40 tahun 18 45
2. Umur Bayi
40
7-15 bulan 19 47,5
16-24 bulan 21 52,5
3. Pendidikan
40
Tidak pernah sekolah 1 2,5
Tidak tamat SD 1 2,5
Tamat SD 2 5
Tamat SMP 3 7,5
Tamar SMA 18 45
Tamat perguruan
tinggi 15 37,5
4. Pekerjaan
40
Karyawan 12 30
Guru/dosen 2 5
Bidan/petugas
kesehatan 2 5
Wiraswasta 10 25
PNS 5 12,5
Lain-lain (buruh,dsb) 9 22,5
Distribusi umur responden menunjukkan sebagian
besar responden merupakan ibu-ibu dengan usia 16 hingga
27 tahun yaitu sebanyak 22 responden (55%)dan umur 28
hingga 40 sebanyak 18 responden (45%). Distribusi tingkat
pendidikan responden menunjukkan distribusi tertinggi
adalah SMA yaitu sebanyak 18 responden (45 %) dan
distribusi terendah adalah tidak tamat sekolah dan tidak
tamat SD masing-masing 1 responden(2,5%).
Analisa Univariat
Pengetahuan Ibu BekerjaTabel Distribusi Pengetahuan
Ibu Tentang Manajemen Laktasi Di Wilayah
Kerja Pustu Amplas Medan
Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)
Baik 11 27,5
Cukup 13 32,5
Kurang 16 40
Jumlah 40 100
Berdasarkan tabel
diketahui bahwa distribusi pengetahuan ibu bekerja
tentang manajemen laktasi mayoritas memiliki
pengetahuan yang kurang yaitu sebayak 16 orang
(40%) dan minoritas memiliki pengetahuan baik
sebanyak 11 orang (27,5%). Dukungan Tempat kerja
Tabel Distribusi Dukungan Tempat Kerja Di Wilayah
Kerja Pustu Amplas Medan
29
Dukungan Tempat
Kerja Frekuensi Persentase (%)
Mendukung 17 42,5
Tidak Mendukung 23 57,5
Jumlah 40 100
Berdasarkan tabel mayoritas ibu bekerja yaitu 23 orang (57,5%) tidak
mendapatkan dukungan dari tempat kerja untuk
memberikan ASI eksklusif bagi bayinya dan
minoritas hanya 17 orang ibu bekerja (42,5 %)
yang mendapatkan dukungan dari tempat kerja
untuk memberikan ASI eksklusif.
Perilaku Ibu Dalam Pemberian ASI
Tabel Distribusi Perilaku Ibu Dalam Pemberian ASI
Di Wilayah Kerja PustuAmplas Medan
Pemberian ASI Frekuensi
Persentase
(%)
Eksklusif 19 47,5
Tidak Eksklusif 21 52,5
Jumlah 40 100
Berdasarkan tabel distribusi pemberian ASI dapat
diketahui bahwa mayoritas ibu tidak memberikan
ASI eksklusif kepada bayinya yaitu 21 bayi
(52,5%) dan minoritas sebayak 19 bayi (47,5%)
memberikan ASI eksklusif.
Analisa Bivariat
Hubungan Pengetahuan Ibu Bekerja Dengan Perilaku
Ibu Dalam Pemberian ASI Di Wilayah Kerja
Pustu Amplas Medan
Tabel Analisa Hubungan Pengetahuan Ibu Bekerja
Dengan Perilaku Ibu Dalam Pemberian ASI Di
Wilayah Kerja Pustu Amplas Medan
Penge tahuan
Perilaku Ibu Dalam Pemberian ASI
Jumlah X2
Hitung
X2
Tabel
P Value
Eksklusif Tidak
Eksklusif
F % F % F %
Baik 9 81,9 2 18,1 11
100
18,55
5,991
0,000
Cukup 9 69,2 4 30,8 13
100
Kurang 1 6,2 15 93,8
16
100
Jumlah 19 47,5
21 52,5
40
100
Ibu bekerja yang memiliki pengetahuan baik mayoritas
memberikan ASI eksklusif kepada bayinya yaitu sebanyak
9 orang (81,9%) dan dari 16 orang ibu bekerja yang
memiliki pengetahuan kurang mayoritas tidak memberikan
ASI eksklusif kepada bayinya yaitu sebanyak 15 orang
(93,8%).
Hubungan Dukungan Tempat Kerja Dengan Perilaku
Ibu Dalam Pemberian ASI Di Wilayah Kerja Pustu
Amplas Medan
Tabel Analisa Hubungan Dukungan Tempat Kerja
Dengan Perilaku Ibu Dalam Pemberian ASI Di
Wilayah Kerja Pustu Amplas Medan
Dukungan
Tempat
Kerja
Perilaku Ibu Dalam
Pemberian ASI Jumlah
X2
Hitung X2
Tabel
P
Value
Eksklusif
Tidak
Eksklusif
F % F % F %
Mendukung 15 88,2 2 11,8 17 100
19,66
3,841
0,000
Tidak
Mendukung 4 17,3 19 82,7 23 100
Jumlah 19 47,5 21 52,5 40 100
Berdasarkan tabel17 ibu bekerja yang mendapatkan
dukungan dari tempat kerja mayoritas memberikan ASI
eksklusif kepada bayinya yaitu sebanyak 15 orang (88,2%)
dan dari 23 orang ibu bekerja yang tidak mendapatkan dukungan dari tempat kerja mayoritas tidak memberikan
ASI eksklusif kepada bayinya yaitu sebanyak 19 orang
(82,7%)
PEMBAHASAN
Pengetahuan Ibu Bekerja Tentang Manajemen Laktasi
Hasil analisa pengetahuan ibu bekerja tentang
manajemen laktasi menunjukkan bahwa distribusi
pengetahuan ibu bekerja tentang manajemen laktasi
mayoritas memiliki pengetahuan yang kurang yaitu sebayak 16 orang (40%) dan minoritas memiliki
pengetahuan baik sebanyak 11 orang (27,5%).
Dukungan Tempat Kerja
Distribusi dukungan tempat kerja menunjukkan
bahwa mayoritas ibu bekerja yaitu 23 orang (57,5%) tidak
mendapatkan dukungan dari tempat kerja untuk
memberikan ASI eksklusif bagi bayinya dan minoritas
hanya 17 orang ibu bekerja (42,5%) yang mendapatkan
dukungan dari tempat kerja untuk memberikan ASI
eksklusif.
Perilaku Ibu Dalam Pemberian ASI
Distribusi pemberian ASI menunjukkan bahwa
mayoritas ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada
bayinya yaitu 21 bayi (52,5%) dan minoritas sebayak 19
bayi (47,5%) memberikan ASI eksklusif. Salah satu faktor
yang menyebabkan rendahnya pemberian ASI di wilayah
kerja Puskesmas pembantu (Pustu) Amplas Medan adalah
status ibu yang bekerja.
Hubungan Pengetahuan Ibu Bekerja Tentang
Manajemen Laktasi Dengan Perilaku Ibu Dalam
Pemberian ASI
Dari hasil analisa bivariat pengetahuan ibu bekerja
tentang manajemen laktasi dengan perilaku ibu dalam
pemberian ASI dapat diketahui bahwa dari 40 orang ibu
bekerja (responden), berjumlah 11 ibu bekerja yang
memiliki pengetahuan baik sebanyak 9 orang (81,9%)
30
mayoritas memberikan ASI eksklusif kepada bayinya dan
dari 16 orang ibu bekerja yang memiliki pengetahuan
kurang 15 orang (93,8%) mayoritas tidak memberikan ASI
eksklusif kepada bayinya.
Dukungan Tempat Kerja Dengan Perilaku Ibu Dalam
Pemberian ASI
Dari hasil analisa bivariat dukungan tempat kerja
dengan perilaku ibu dalam pemberian ASI dapat diketahui
bahwa dari 40 orang ibu bekerja (responden), bahwa dari
17 ibu bekerja yang tempat kerjanya memberikan dukungan untuk memberikan ASI eksklusif mayoritas
memberikan ASI eksklusif kepada bayinya yaitu sebanyak
15 orang (88,2%) dan dari 23 ibu bekerja yang tempat
kerjanya tidak memberikan dukungan untuk memberikan
ASI eksklusif mayoritas tidak memberikan ASI eksklusif
kepada bayinya sebanyak 19 orang (82,7%).
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Distribusi pengetahuan ibu bekerja tentang manajemen laktasi mayoritas memiliki
pengetahuan yang kurang yaitu sebayak 16 orang
(40%) dan minoritas memiki pengetahuan baik
sebanyak 11 orang (27,5%).
2. Distribusi dukungan tempat kerja menunjukkan
bahwa mayoritas ibu bekerja yaitu 23 orang
(57,5%) tidak mendapatkan dukungan dari tempat
kerja untuk memberikan ASI eksklusif bagi
bayinya dan minoritas hanya 17 orang ibu bekerja
(42,5 %) yang mendapatkan dukungan dari tempat
kerja untuk memberikan ASI eksklusif.
3. Distribusi pemberian ASI dapat diketahui bahwa mayoritas ibu tidak memberikan ASI eksklusif
kepada bayinya yaitu 21 bayi (52,5%) dan
minoritas sebayak 19 bayi (47,5%) memberikan
ASI eksklusif.
SARAN
1. Bagi Puskesmas Pembantu (Pustu) Amplas
Medan Petugas Pustu Amplas Medan harus
menjadi petugas yang giat untuk
mempromosikan tentang manajemen laktasi
kepada masyarakat agar mesyarakat semakin giat untuk memberikan ASI eksklusif kepada
bayinya, terutama ibu bekerja agar kebutuhan
ASI eksklusif bayi tetap terpenuhi meskipun
ibu bekerja.
2. Bagi Instansi/Perusahaan Tempat Ibu Bekerja
Petugas kesehatan yang bertugas di Pustu
Amplas Medan seharusnya melakukan
koordinasi dengan instansi/perusahaan untuk
dapat menyediakan sarana maupun fasilitas
serta mendukung kebijakan pemerintah
tentang adanya ruang laktasi agar perusahaan
yang memperkerjakan perempuan (ibu menyusui) ikut serta mendukung kegiatan
laktasi bagi ibu bekerja.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya Sebagai referensi
bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti
variabel yang berbeda.
31
DAFTAR PUSTAKA
Baston, Helen & Hall, Jenifer. 2013. Postnatal. Jakarta :
EGC
Dewi, V.N.L & Sunarsih, Tri. 2014. Asuhan Kebidanan
Pada Ibu Nifas. Jakarta : Salemba Medika
Fiddini, F. 2010. Gambaran Pengetahuan, Sikap dan
Perilaku Ibu yang Bekerja Terhadap Pemberian
ASI Eksklusif Pada Bayi. http://repository uinjkt
ac.id dspace/handle/12345678/25746 diakses
Jumat, 03 Maret 2017
IDAI. 2013. Manajemen Laktasi. Diakses Minggu, 19
Maret 2017
http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/manajemen-laktasi
Infodatin, 2014. Situasi dan Analisis ASI Eksklusif. Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI
Tahun 2014
Kristiyanasari, Weni. 2009. ASI, Menyusui & SADARI.
Yogyakarta : Nuha Medika
Maryunani, Anik. 2012. Inisiasi Menyusui Dini, ASI
eksklusif dan Manajemen Laktasi. Jakarta : CV.
Trans Info Media
--------------------. 2009. Asuhan Pada Ibu dalam Masa
Nifas (Postpartum). Jakarta : CV. Trans Info Media
Notoatmodjo.2010.MetodelogiPenelitianKesehatan.Jakarta
: RinekaCipta
Peraturan Pemerintah RI. 2012. Tentang Pemberian ASI
Eksklusif. Diakses Kamis, 02 Maret 2017
Putri, A. 2013. Hubungan Pengetahuan Ibu Bekerja
Tentang Manajemen Laktasi Dengan Perilaku Ibu
Dalam Pemberian ASI.
https://www.scribd.com/document/273019/asi
diakses Jumat, 24 Maret 2017
Rahmawati, Eli. 2013. Hubungan Pijat Oksitosin Dengan
Pengeluaran ASI Pada Ibu Postpartum Hari 1-2
DiBPMHj.NL kota Balikpapan Tahun 2013.
https://husadamahakam.files.wordpress/2015/12/1-
jurnal-elly-u-nop-14-okdiakses Selasa, 06
Desember 2016
Roito, dkk. 2013. Asuhan Kebidanan Ibu Nifas & Deteksi
Dini Komplikasi. Jakarta : EGC
Sari, E.P & Rimandini, K.D. 2014. AsuhanKebidanan
Masa Nifas (Postnatal Care. Jakarta : CV. Trans
Info Media
Satyagraha. 2014. BPS:Jumlah Penduduk Bekerja. Jakarta
: ANTARA News (19 Maret 2017)
Suhardjo. 2010. Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak.
Yogyakarta : Kanisius
Suherni,dkk. 2010. Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta :
Fitramaya
Sulistiyowati, T &Siswantara, P. 2016. Perilaku Ibu
Bekerja Dalam Memberikan ASI Eksklusif.
Journal.unair.ac.id/download-fullpapers-
jupromkesd6de2ea109full.pdf diakses Minggu, 19
Maret 2017
Undang-undang 1945. 2015. Tentang Menyusui dan
Bekerja. Diakses Minggu, 19 Maret 2017
http://menyusui.info/regulasi/undang-undang-dan-
peraturan-tentang-menyusui-dan bekerja/
Wawan, A & Dewi, M. 2011. Teori dan Pengukuran
Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia.
Yogyakarta : Nuha Medika
Yanti. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Persalinan.
Yogyakarta : Pustaka Rihama
32
PERBEDAAN PENURUNAN INDEKS PLAK MENYIKAT GIGI
DENGAN TEKNIK BASS DAN ROLL PADA SISWA/I
SMP SWASTA GAJAH MADA MEDAN KELAS VII
TAHUN 2016
Netty Jojor Aritonang
Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan Jalan Jamin Ginting KM 13,5
` Abstract
Plak gigi merupakan deposit lunak yang melekat erat pada permukaan gigi, terdiri dari mikroorganisme yang
berkembang biak dalam suatu matrik interseluler jika seseorang melalaikan kebersihan gigi dan mulutnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan penurunan indeks plak antara siswa
yang menyikat gigi dengan teknik bass dan teknik roll. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
analitik menggunakan metode eksperimen dengan rancangan Pre-test Dan Post-test Only Group Design tanpa
replikasi. Penelitian ini dilakukan pada siswa/i SMP Swasta Gajah Mada Medan Kelas VII Tahun 2016 berjumlah 30 orang dengan pengambilan sampel secara random sampling. Manfaat penelitian ini adalah
untuk menambah pengetahuan siswa tentang penurunan indeks plak me nyikat gigi dengan teknik bass
dan roll. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa p < 0,005 maka hipotesis nol (H0)
ditolak, yang berarti terdapat perbedaan sebelum dan sesudah menyikat gigi dengan teknik bass maupun roll
terhadap penurunan indeks plak. Sedangkan hasil t-Test independent dengan Equal varians assumed adalah
0,291 dengan probabilitas (Sig) =0,594. Melalui uji levene didapatkan nilai p (Sig) 0,305. Berarti varian
kedua kelompok adalah sama. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pada alpha 5% tidak ada perbedaan
signifikan rata-rata antara menyikat gigi dengan teknik bass dan roll.
Kata kunci : Bass, Roll, Indeks Plak
Daftar pustaka : 25 ( 1985 - 2015)
PENDAHULUAN
Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009
Pasal 1 Ayat 1 menyatakan bahwa kesehatan adalah
keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomi. Masalah kesehatan
gigi di Indonesia masih memerlukan perhatian yang sangat
serius karena prevalensi karies dan penyakit periodontal mencapai 80% dari jumlah penduduk. Upaya untuk
mengatasinya sampai saat ini belum menunjukan hasil
yang memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari indikator
kesehatan gigi masyarakat. (Herijulianti, 2001)
Plak gigi merupakan salah satu masalah
kesehatan gigi dan mulut yang membentuk suatu biofilm,
biasanya kekuningan, yang berkembang secara alami pada
gigi. Seperti biofilm, plak gigi terbentuk oleh bakteri
kolonial yang berusaha untuk menempel pada permukaan
halus dari gigi. Pada awalnya, plak cukup lunak untuk
lepas dengan menggunakan kuku jari. Namun, mulai mengeras dalam waktu 48 jam, dan dalam waktu sekitar 10
hari plak menjadi kalkulus (karang gigi) keras dan sulit
untuk dihilangkan.
Tidak diragukan lagi bahwa tanpa adanya plak
maka tidak akan timbul karies. Namun tidak semua plak
menyebabkan karies, hanya plak tertentu yang
mengandung koloni mikroba spesifik yang bertanggung
jawab terhadap timbulnya karies pada gigi. Akibatnya
salah satu cara pencegahan karies adalah dengan
mengusahakan agar pembentukan plak pada permukaan
gigi dapat dibatasi, yaitu dengan cara menyikat gigi.
(Edwina, 1991) Menyikat gigi sangat penting dilakukan
dalam mengontrol plak. karena itu semua plak harus
dibersihkan. (Tarigan, 2012) salah satu yang
mempengaruhi keberhasilan menyikat gigi adalah teknik
menyikat gigi. Adapun teknik menyikat gigi adalah cara umum yang dianjurkan untuk membersihkan deposit lunak
pada permukaan gigi dan gusi. (Herijulianti, 2012) Teknik
bass belakangan ini lebih disukai baik di Inggris maupun di
Amerika Serikat, karena teknik bass dinilai cukup efektif
dalam membersihkan plak gigi. (Andlaw, 1992) Namun,
teknik roll juga merupakan cara yang paling sering
dianjurkan karena sederhana tetapi efisien dan dapat
digunakan diseluruh bagian mulut. (Herijulianti, 2012)
Survey awal yang dilakukan di SMP Swasta Gajah Mada
terhadap beberapa siswa ditemukan adanya indeks plak
yang tinggi dan belum pernah dilakukan penelitian tentang kesehatan gigi dan mulut di SMP Swasta Gajah Mada
Medan Kelas VII.
Berdasarkan latar belakang diatas dan dengan
melihat survey awal di SMP Swasta Gajah Mada maka
peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada pebedaan
penurunan indeks plak antara siswa yang menyikat gigi
dengan teknik bass dan teknik roll di SMP Swasta Gajah
Mada Medan Kelas VII Tahun 2016.
33
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada
perbedaan penurunan indeks plak antara siswa yang
menyikat gigi dengan teknik bass dan teknik roll di SMP
Swasta Gajah Mada Tahun 2016.
Manfaat Penelitian
1. Menambah wawasan siswa/i di SMP Swasta Gajah Mada tentang kesehatan gigi dan
mulut khususnya teknik menyikat gigi.
2. Melatih keterampilan siswa/i untuk
menyikat gigi dengan teknik yang benar
sehingga terhindar dari kerusakan gigi
akibat plak.
3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain
untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan
atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang
lainnya dari masalah yang ingin diteliti. (Notoadmojo,
2005)
Defenisi Operasional
Untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini, penulis menentukan defenisi operasional
sebagai berikut :
1. Menyikat gigi dengan teknik bass adalah menyikat gigi dengan teknik dimana sikat
gigi diletakkan dengan posisi 45º
menghadap permukaan gigi, digerakkan
secara horizontal selama 2 menit.
2. Menyikat gigi dengan teknik roll adalah
menyikat gigi dengan sikat gigi digerakkan
dengan gerakan berupa lengkungan-
lengkungan, mulai dari gusi kearah
permukaan gigi selama 2 menit.
3. Indeks plak adalah angka yang
menunjukkan nilai atau keadaan plak pada permukaan gigi dengan mengukur setiap
gigi indeks dengan empat permukaan.
Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap
rumusan penelitian.
Ho : tidak ada perbedaan penurunan indeks plak antara
siswa yang menyikat gigi dengan teknik bass dan
teknik roll. Ha : ada perbedaan penurunan indeks plak antara siswa
yang menyikat gigi dengan teknik bass dan teknik
roll
Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai pada penelitian ini
adalah eksperimen pre and post only group desain yaitu
perbandingan indeks plak sebelum dan sesudah menyikat
gigi dengan teknik bass dan teknik roll pada siswa/i SMP
Swasta Gajah Mada Medan Kelas VII Tahun 2016.
O1 (X1) O2
O3 (X2) O4 Keterangan Gambar :
O1 : Mengukur indeks plak sebelum menyikat gigi
dengan teknik bass.
X1 : Perlakuan berupa kegiatan menyikat gigi
dengan teknik bass.
O2 : Mengukur indeks plak sesudah menyikat gigi
dengan teknik bass.
O3 : Mengukur indeks plak sebelum menyikat gigi
dengan teknik roll.
X2 : Perlakuan berupa kegiatan menyikat gigi
dengan teknik roll. O4 : Mengukur indeks plak sesudah menyikat gigi
dengan teknik roll.
Hasil Penelitian
Analisa Univariat
Data yang dikumpulkan adalah hasil penelitian
yang dilakukan terhadap siswa/i SMP Swasta Gajah Mada
Medan Kelas VII. Pengumpulan data dilakukan dengan
pemeriksaan langsung kerongga mulut siswa/i yang
menjadi sampel. Dari penelitian yang dilakukan, maka
diperoleh data siswa, skor indeks plak sebelum dan
sesudah menyikat gigi dengan teknik bass dan teknik roll. Setelah seluruh data terkumpul, maka dibuat analisa data
dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi untuk
masing-masing kelompok sampel. Kemudian dilakukan
pengolahan data secara statistik dengan menggunakan uji t-
Test.
Analisa Bivariat
Dependent t-Test
Untuk menguji dua sampel yang berpasangan
maka digunakan paired sample t-Test. Uji t-Test
dependent berpasangan ini dapat mengetahui apakah ada perbedaan menyikat gigi dengan teknik bass dan teknik roll
terhadap penurunan indeks plak. Adapun hasil dari t-Test
dependent yang dilakukan dengan program computer.
Paired Sample Statistik Untuk kelompok Menyikat Gigi dengan Teknik Bass
Teknik
Menyikat
Gigi
Rata-Rata
IP N T Std P df
CI 95%
Bawah Atas
Bass 1,959 15 52,68 0,144 0,000 14 1,88 2,04
34
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa probabilitas
adalah 0,000. Oleh karena probabilitas p < 0,005 maka H0
ditolak, yang artinya terdapat perbedaan sebelum dan
sesudah menyikat gigi dengan teknik bass terhadap
penurunan indeks plak.
Paired Sample Statistik Untuk kelompok Menyikat Gigi dengan Teknik Roll
Teknik
Menyikat
Gigi
Rata-Rata
IP N T Std P df
CI 95%
Bawah Atas
Roll 1,907 15 50,86 0,140 0,000 14 1,83 1,99
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa probabilitas
adalah 0,000. Oleh karena probabilitas p < 0,005 maka H0
ditolak, yang artinya terdapat perbedaan sebelum dan
sesudah menyikat gigi dengan teknik roll terhadap
penurunan indeks plak.
Perbedaan antara menyikat gigi dengan teknik bass dan roll terhadap
penurunan indeks plak pada siswa/i SMP Swasta Gajah Mada Kelas VII
Teknik Menyikat
gigi Mean F Sig t Df P
Bass 2400 0,291 0,594 -0,104 28 0,305
Roll 2480
Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa f hitung
untuk uji sampel t-Test independent dengan Equal
varians assumed adalah 0,291 dengan probabilitas (Sig)
=0,594. Melalui uji levene didapatkan nilai p (Sig)
0,305. Berarti varian kedua kelompok adalah sama.
Dari hasil diatas didapat nilai p (Sig) = 0,305 sehingga
dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% tidak ada
perbedaan signifikan rata-rata antara menyikat gigi
dengan teknik bass dan roll.
Pembahasan
Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 30 siswa/i SMP Swasta Gajah Mada Medan Kelas VII yang
dipilih secara acak dan dibagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama menyikat gigi dengan teknik bass dan
kelompok kedua menyikat gigi dengan teknik roll. Dalam
penelitian ini tidak dilakukan replica. Plak adalah lapisan
tipis mikroorganisme, sisa makanan dan bahan organik
yang terbentuk di gigi, kadang-kadang juga ditemukan
pada gusi dan lidah. Plak merupakan penyebab lokal dan
utama yang terbentuknya penyakit gigi dan mulut yang
lain seperti karies, kalkulus, gingivitis, periodontitis dan
lain sebagainya. Oleh karena plak tidak dapat dihindari pembentukannya, maka mengurangi akumulasi plak adalah
hal yang sangat penting untuk mencegah terbentuknya
penyakit gigi dan mulut. Pengendalian plak bisa dilakukan
secara mekanis dan kimiawi. (Anggreini, 2007)
Berdasarkan hasil pemeriksaan awal yang telah
dilakukan terhadap seluruh sampel teradapat 4
pemeriksaan dengan kriteria sedang dan 11 pemeriksaan
dengan kriteria buruk sebelum menyikat gigi dengan
teknik bass. Setelah menyikat gigi dengan teknik bass
indeks plak menurun yaitu seluruh responden mendapat
kriteria baik. Sedangkan pada pemeriksaan awal sebelum
menyikat gigi dengan teknik roll terdapat 6 pemeriksaan dengan kriteria sedang dan 9 pemeriksaan dengan kriteria
buruk. Setelah menyikat gigi dengan teknik roll indeks
plak menurun yaitu seluruh responden mendapat kriteria
baik. Dari hasil uji t-Test dependent kedua variabel tersebut
didapat hasil bahwa p < 0,05 atau 0,000 < 0,05 sehingga
hipotesis nol (H0) ditolak yang berarti bahwa kedua teknik
menyikat gigi ini sama-sama berpengaruh terhadap
penurunan indeks plak. Untuk mengetahui apakah ada
perbedaan selisih indeks plak rata-rata antara menyikat gigi
dengan teknik bass dan roll terhadap penurunan indeks
plak dilakukan uji t-Test independent. Melalui hasil
perhitungan uji t-Test independent yang telah dilakukan
dengan program komputer, melihat dari nilai equal varians
assumed diperoleh t hitung (diasumsikan kedua varians sama atau tidak berbeda) adalah 0,291 dengan probabilitas
0,594. Dari hasil diatas dapat didapat nilai p = 0,305
sehingga dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5%, tidak
ada perbedaan signifikan rata-rata antara menyikat gigi
dengan teknik bass dan roll. penelitian ini telah
mengendalikan variabel pengganggu dengan menyamakan
jenis sikat dan pasta gigi yang digunakan serta waktu
menyikat gigi untuk semua responden.
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa teknik apapun yang digunakan, tujuan utama
menyikat gigi adalah menyingkirkan plak dari permukaan gigi dan sulkus gingiva, dengan kerusakan jaringan
pendukung seminimal mungkin. (Pintauli,2008)
Simpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
peneliti terhadap siswa/i SMP Swasta Gajah Mada Medan
Kelas VII maka didapat kesimpulan bahwa :
1. Indeks plak sebelum menyikat gigi dengan teknik bass yaitu antara 1,87–2,45 dimana terdapat 4
pemeriksaan dengan kriteria sedang dan 11
pemeriksaan dengan kriteria buruk.
2. Indeks plak setelah menyikat gigi dengan teknik bass yaitu antara 16 0,37 termasuk dalam kriteria
baik.
35
3. Indeks plak sebelum menyikat gigi dengan teknik roll yaitu antara 1,91 – 2,6 yaitu 6 pemeriksaan
dengan kriteria sedang dan 9 pemeriksaan dengan
kriteria buruk.
4. Indeks plak setelah menyikat gigi dengan teknik roll yaitu antara 0,16 - 0,5 yaitu seluruh responden
mendapat kriteria baik.
5. Hasil perhitungan dari uji t-Test dependent bahwa kedua teknik menyikat gigi ini sama-sama
berpengaruh terhadap penurunan indeks plak. Dari
hasil pemeriksaan uji t-Test independent dengan
nilai equal varians assumed diperoleh t hitung
(diasumsikan kedua varians sama atau tidak
berbeda) adalah 0,291 dengan probabilitas 0,594. Dari hasil diatas dapat didapat nilai p = 0,305
sehingga dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5%,
tidak ada perbedaan signifikan rata-rata antara
menyikat gigi dengan teknik bass dan roll.
Saran
Dengan selesainya penelitian ini, diharapkan :
1. kepada siswa/i SMP Swasta Gajah Mada Medan
untuk menggunakan teknik menyikat gigi seperti
teknik bass dan roll dalam menjaga kesehatan gigi
dan mulut .
2. Kepada pihak sekolah SMP Swasta Gajah Mada Medan untuk bekerja sama dengan puskesmas
setempat dalam meningkatkan derajat kesehatan
gigi dan mulut.
3. Kepada mahasiswa agar hasil penelitian ini dapat
berguna sebagai bahan masukan bagi peneliti lain
untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Alburger, S, 2011. The Rolling Method of Brushing Teeth,
http://www.ehow.com/info_8583760_rolling-
method-brushing-teeth.html diakses pada tanggal
12 maret 2015
Andlaw, R.J. 1992. Perawatan Gigi Anak. Widya Medika.
Jakarta
Arikunto, 2008. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik, PT RINEKA CIPTA, Jakarta
Besford, J, 1996. Mengenal Gigi Anda Petunjuk Bagi
Orang Tua.Ed.2. Arcan. Jakarta
Bhawani, C, 2010, Bass Tooth Brushing Technique For
Gingiva and Subgingiva Cleaning.
http://dentistryforstudents.com/bass-toothbrushing-
technique diakses pada tanggal 10 maret 2015
Boedihardjo, 1985. Pemeliharaan Kesehatan Gigi
Keluarga. Airlangga University Press. Surabaya
Daliemunthe, S.H. 2008. Perbandingan Penurunan Skor
Plak. USU Press. Medan
Depkes RI, 2010. Tujuan Pembangunan Kesehatan,
Jakarta
Edwina, A.M, 1991. Dasar-Dasar Karies Gigi. EGC.
Jakarta
Forrest, J.O, 1995. Pencegahan Penyakit Mulut, Jakarta
Hastono, P.S. 2001, Modul Analisa Data. Fakultas
Kesehatan Masyarakat UI, 2001
Herijulianti, E, dkk, 2012. Ilmu Penyakit Jaringan Keras
dan Jaringan Pendukung Gigi. EGC. Jakarta
Hongini, S, 2012. Kesehatan Gigi dan Mulut. Reka Cipta.
Bandung
Machfoedz, I, 2005. Menjaga Kebersihan Gigi dan Mulut.
EGC. Jakarta
Notoadmodjo, S, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan.
PT Rineka Cipta. Jakarta
Pintauli, S, 2010. Menuju Gigi & Mulut Sehat. USU Press.
Medan
Pratiwi, D, 2007. Gigi Sehat dan Cantik. EGC. Jakarta
Putri,2010.Plakhttp://www.nadiatiaraputri.co.cc//
2010/12/07 diakses pada tanggal 30 juni 2015
Ramadhan, Ardyan. G, 2010. Serba-Serbi Kesehatan Gigi
& Mulut. Bukune, Jakarta
Tarigan, S, 2012. Karies Gigi. Ed.2. EGC. Jakarta
Warsidi, E, 2010. Menjaga Kebersihan Gigi dan Mulut.
Quadra. Jakarta
Yulisa, D, 2012. Apa itu plak gigi
http://dianyulisady.wordpress.com/2012/03/26/apa-
itu-plak-gigi/diakses pada 2 juli 2015
Yundali, S, 2012. Karies Gigi, PT RINEKA CIPTA,
Jakarta
36
PENGARUH PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN ISPA
PADA ANAK BATITA DI PUSKESMAS SINGOSARI
KOTA PEMATANGSIANTAR
Sri Hernawati Sirait
(Prodi Kebidanan Pematangsiantar Poltekkes Kemenkes Medan)
ABSTRAK
Pendahuluan: Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyebab terpenting morbiditas dan
mortalitas pada anak. Kelompok usia 6 - 23 bulan adalah kelompok umur yang paling rentan untuk
mengalami ISPA. Berdasarkan World Health Organization (WHO) dan Departemen Kesehatan
Indonesia tahun 2008, pneumonia yang merupakan salah satu jenis ISPA adalah penyebab paling
banyak kematian balita di dunia dan juga di Indonesia. Penyakit ISPA menduduki peringkat pertama
dari 10 penyakit terbesar rawat jalan di Puskesmas Singosari Pematangsiantar. Terdapat 1.569 kasus
ISPA untuk semua golongan umur. ISPA di Puskesmas Singosari pada bayi usia 6 - 23 bulan dari
bulan Januari 2013 hingga Februari 2014 terdapat 296 kasus. Tujuan penelitian untuk mengetahui
pengaruh pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada anak batita di Wilayah Kerja Puskesmas Singosari Kota Pematangsiantar. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian
ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada anak batita. Metode: Jenis penelitian analitik observasional
dengan rancangan penelitian kohort retrosfektif. Populasi adalah seluruh anak batita yang berkunjung
ke Puskesmas Singosari dari bulan Januari 2013 - Februari 2014 sebanyak 382 kasus di Wilayah Kerja
Puskesmas Singosari Pematangsiantar dengan kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu : Anak batita
yang datang berobat ke Puskesmas, Responden bertempat tinggal di Wilayah Kerja Puskesmas
Singosari dan Kriteria eksklusi dalam penapisan ini, yaitu : Anak yang menderita penyakit kronis dan
Anak yang menderita gizi buruk. Metode pengambilan sampel dengan Simple Random Sampling
didapat sampel sebanyak 79 orang anak batita penderita ISPA. Analisis bivariat dilakukan dengan uji
chi square dengan tingkat kemaknaan p < 0,05. Hasil: Ada pengaruh pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian ISPA, hasil uji statistik chi-square didapat nilai p = 0,002. Karakteristik anak dengan kejadian ISPA yang berhubungan yaitu anggota keluarga yang merokok, dengan nilai p=0.005. Saran:
Diharapkan ibu-ibu yang memiliki batita untuk dapat memperhatikan atau menambah gizi pada
anaknya dan memperhatikan kelengkapan imunisasinya dan kepada petugas kesehatan diharapkan
dapat meningkatkan cakupan ASI eksklusif diperlukan monitoring langsung dari bidan terhadap ibu
nifas untuk memberikan ASI eksklusif.
Kata Kunci : ASI ekslusif, kejadian ISPA.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penurunan kasus kematian pada anak merupakan
salah satu hal yang dianggap penting dalam tujuan pembangunan Millenium Development Goals (MDG’s)
yang diadopsi dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Millenium 2000 yang terdapat pada target ke empat dari
kedelapan tujuan tersebut. Pada kasus kematian yang tinggi
biasanya jumlah kematian terbanyak terjadi pada usia
balita saat mereka rentan terhadap penyakit. Statistik
menunjukkan bahwa lebih dari 70% kematian balita
disebabkan diare, pneumonia, campak, malaria, dan
malnutrisi (Kementrian Kesehatan RI, 2012).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
merupakan penyebab terpenting morbiditas dan
mortalitas pada anak. Kelompok usia 6-23 bulan adalah kelompok umur yang paling rentan untuk mengalami
ISPA. Berdasarkan World Health Organization (WHO)
dan Departemen Kesehatan Indonesia tahun
2008,pneumonia yang merupakan salah satu jenis ISPA
adalah penyebab paling banyak kematian balita di
dunia dan juga di Indonesia (Pediatri, 2009).
Secara global tingkat kematian balita mengalami
penurunan. Menurut World Health Statistik 2012 angka kematian balita (AKABA) terendah dicapai Singapura
yaitu 3 kematian per 1000 kelahiran hidup, sedangkan
yang tertinggi adalah Myanmar yaitu sebesar 66 kematian
per 1000 kelahiran hidup. Dikawasan Association of South
East Asia Nation (ASEAN) Indonesia menempati
peringkat ke empat tertinggi kematian balitanya setelah
Myanmar,Laos dan Kamboja (Kementrian Kesehatan RI,
2012).
Di Indonesia ada 6 provinsi yang masuk kategori
AKABA tertinggi yaitu Sumatera Barat, Nusa Tenggara
Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Kalimantan Selatan,
Maluku Utara. Berdasarkan hasil survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 diperoleh bahwa
AKABA di Sumatera Utara sebesar 54 per 1.000 kelahiran
hidup. Sedangkan angka rata-rata nasional pada tahun
37
2012 sebesar 43 per 1.000 kelahiran hidup. Angka nasional
ini mengalami sedikit penurunan dibandingkan AKABA
pada tahun 2007 yaitu sebesar 44 per 1.000 kelahiran hidup
(Profil Kesehatan Sumatera Utara, 2012).
Di negara berkembang, lebih dari 10 juta bayi
meninggal dunia per tahun, 2/3 dari kematian tersebut
terkait dengan masalah gizi yang sebenarnya dapat
dihindarkan. Penelitian di 42 negara berkembang menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif selama 6
bulan merupakan intervensi kesehatan masyarakat yang
mempunyai dampak positif terbesar untuk menurunkan
angka kematian balita, yaitu sekitar 13% (Sentra
Laktasi Indonesia, 2007).
Hasil penelitian Lopez-Alarcon di negara maju,
ASI dapat menurunkan angka infeksi saluran
pernafasan bawah, otitis media (infeksi pada telinga
tengah), meningitis bakteri (radang selaput otak),
infeksi saluran kemih, dan diare. Protein yang terdapat
pada ASI adalah protein yang spesifik untuk manusia, maka pengenalan lebih lama terhadap protein asing
atau protein lain yang terdapat di dalam susu formula,
dapat mengurangi dan memperlambat terjadinya alergi
( Proverawati,dkk, 2010).
Cakupan persentase bayi yang diberi ASI
Eksklusif di Sumatera Utara dari tahun 2004-2012
cenderung menurun secara signifikan, hanya pada
tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 10,33%
dibanding tahun 2007. Dan pencapaian pada tahun
2012 sebesar 20,33% merupakan pencapaian terendah
selama kurun waktu 2004-2012. Terdapat 8
kabupaten/kota yang pencapaian ASI Eksklusif 0% yaitu Kabupaten Tapanuli Tengah, Dairi, Karo,
Langkat, Pakpak Barat, Padang Lawas, Kota Medan
dan Gunung Sitoli. Pencapaian tertinggi ada di
Kabupaten Labuhan Batu Utara yaitu 68,81% (Profil
Kesehatan Sumatera Utara, 2012).
Penyakit ISPA ternyata menduduki peringkat
pertama dari 10 penyakit terbesar rawat jalan di
Puskesmas Singosari Pematangsiantar. Terdapat 1.569
kasus ISPA untuk semua golongan umur. ISPA di
Puskesmas Singosari pada bayi usia 6 – 23 bulan dari
bulan Januari 2013 hingga Februari 2014 terdapat 296 kasus (Puskesmas Singosari, 2014).
Survey awal yang dilakukan peneliti di
Puskesmas Singosari Pematangsiantar pada bulan
Maret 2014, diperoleh data dari tenaga kesehatan
terdapat 296 kasus penderita ISPA yang terjadi pada
anak batita yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
rendahnya pemberian ASI eksklusif, status gizi kurang,
imunisasi tidak lengkap, lingkungan, pengaruh musim
dan masalah kesehatan anak lainnya. Setelah dilakukan
wawancara pada 8 orang ibu yang memiliki anak batita
yang menderita ISPA, ada 6 orang ibu mengatakan tidak menyusui bayi nya dengan ASI ekslusif.
Berdasarkan wawancara tersebut, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian
ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada anak batita
di Puskesmas Singosari Kota Pematangsiantar.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi
permasalahan pada penelitian ini adalah “Adakah
pengaruh pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
ISPA pada anak batita di Puskesmas Singosari Kota Pematangsiantar?”.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian ISPA pada anak batita di
Puskesmas Singosari Kota Pematangsiantar.
Metode Penelitian
Jenis penelitian analitik observasional dengan
rancangan penelitian kohort retrosfektif. Populasi
adalah seluruh anak batita yang berkunjung ke
Puskesmas Singosari dari bulan Januari 2013 - Februari 2014 sebanyak 382 kasus di Puskesmas Singosari
Pematangsiantar dengan kriteria inklusi dalam
penelitian ini yaitu : Anak batita yang datang berobat
ke Puskesmas, Responden bertempat tinggal di
Puskesmas Singosari dan Kriteria eksklusi dalam
penapisan ini, yaitu : Anak yang sedang menderita
penyakit kronis dan Anak yang sedang menderita gizi
buruk. Metode pengambilan sampel dengan Simple
Random Sampling didapat sampel sebanyak 79 orang
anak batita penderita ISPA. Analisis bivariat dilakukan
dengan uji chi square dengan tingkat kemaknaan p < 0,05.
HASIL PENELITIAN
Analisis Univariat
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Eksklusif dan Kejadian ISPA Pada Anak Batita
di Puskesmas Singosari Kota Pematangsiantar
No Variabel Kategori f %
1.
2.
Pemberian ASI Eksklusif 19 24,1
Tidak Eksklusif 60 75,9
Kejadian ISPA ISPA 57 72,2
Tidak ISPA 22 27,8
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa berdasarkan
pemberian ASI eksklusif pada anak batita mayoritas
responden tidak mendapatkan ASI eksklusif yaitu
sebanyak 60 orang (75.9%) dan berdasarkan kejadian
ISPA pada anak batita mayoritas responden mengalami
ISPA yaitu sebanyak 57 orang (72.2%).
38
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Berdasarkan Umur, Pendidikan, Pekerjaan, dan Paritas di
Puskesmas Singosari Kota Pematangsiantar
No Karakteristik
Ibu
Kategori f %
1
Umur
< 20 Tahun
20 - 35 Tahun
> 35 Tahun
20
38
21
25.3%
48.1%
26.6%
2.
Pendidikan
Pendidikan Tinggi (SMA,PT)
Pendidikan Rendah (SD,SMP)
32
47
40.5%
59.5%
3.
Pekerjaan
Bekerja
Tidak bekerja
29
50
36.7%
63.3%
4.
Paritas
< 2
> 2
32 47
40.5%
59.5%
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa berdasarkan
umur mayoritas responden berusia 20 - 35 tahun sebanyak
38 orang (48.1%), berdasarkan pendidikan mayoritas
responden memiliki pendidikan rendah yaitu sebanyak 47
orang (59.5%), berdasarkan pekerjaan mayoritas
responden tidak bekerja yaitu sebanyak 50 orang (63.3%)
dan berdasarkan paritas mayoritas responden memiliki
paritas > 2 anak yaitu sebanyak 47 orang (59.5%).
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Anak
Berdasarkan Status Gizi, Status Imunisasi dan Anggota Keluarga Yang Merokok
di Puskesmas Singosari Kota Pematangsiantar
No Karakteristik Anak Kategori f %
1.
Status Gizi
Gizi Baik
Gizi Kurang
77
2
97.5%
2.5%
2. Status Imunisasi
Lengkap Tidak Lengkap
79 0
100% 0
Jumlah 79 100%
3.
Anggota Keluarga Yang Merokok
Ya
Tidak
53
26
67.1%
32.9%
Dari tabel 3 dapat dilihat berdasarkan status gizi
mayoritas responden memiliki status gizi baik yaitu sebanyak 77 orang (97.5%), berdasarkan status imunisasi
seluruh responden memiliki status imunisasi lengkap yaitu
79 orang (100%) dan berdasarkan anggota keluarga yang
merokok mayoritas respoden memiliki anggota keluarga yang perokok yaitu sebanyak 53 orang (67.1%).
Analisis Bivariat
Tabel 4. Tabulasi Silang Pengaruh Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Batita Di
Puskesmas Singosari Kota Pematangsiantar
N
o
Pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian ISPA ISPA Tidak ISPA Jumlah Nilai
p n % n % n %
1 Pemberian ASI Eksklusif
1. ASI Eksklusif
2. Tidak ASI Eksklusif
8
49
10.1%
62.0%
11
11
13.9%
13.9%
19
60
24.1%
75.9%
0.002
Jumlah 57 77.2% 22 27.8% 79 100%
Pengaruh pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian ISPA pada anak batita diperoleh bahwa dari 19
anak (24.1%) yang mendapat ASI eksklusif ada 8 anak
(10.1%) yang terkena ISPA. Dan dari 60 orang (75.9%) anak yang tidak mendapat ASI eksklusif ada 49 orang
(62.0%) anak yang terkena ISPA. Hasil uji statistik chi-
square didapat nilai p = 0,002 artinya ada hubungan
pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA.
39
Tabel 5. Tabulasi Silang Karakteristik Ibu Meliputi Umur, Pendidikan, Pekerjaan dan Paritas Dengan Kejadian
ISPA Pada Anak Batita Di Puskesmas Singosari Kota Pematangsiantar
No
Karakteristik Ibu
ISPA Tidak ISPA Jumlah Nilai P
n % n % n %
1 Umur
1. < 20 Tahun
2. 20-35 Tahun
3. > 35 Tahun
12
30
15
15.2%
38.0%
19.0%
8
8
6
10.1%
10.1%
7.6%
20
38
21
25.3%
48.1%
26.6%
0.309
Jumlah 57 72.2% 22 27.8% 79 100%
2 Pendidikan Ibu
1.Pendidikan Tinggi (SMA, PT)
2.Pendidikan Rendah
(SD, SMP)
21
36
45.6%
45.6%
11
11
13.9%
13.9%
32
47
40.5%
59.5%
0.417
Jumlah 57 72.2% 22 27.8% 79 100%
3 Pekerjaan Ibu
1.Bekerja
2.Tidak Bekerja
19
38
24.1%
48.1%
10
12
12.7%
15.2%
29
50
36.7%
63.3%
0.458
Jumlah 57 72.2% 22 27.8% 79 100%
4 Paritas
1.< 2
2.> 2
19
38
24.1%
48.1%
13
9
16.5%
11.4%
32
47
40.5%
59.5%
0.067
Jumlah 57 72.2% 22 27.8% 79 100%
Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa hasil uji statistik
chi-square karakteristik ibu : umur, pendidikan, pekerjaan
dan paritas tidak berhubungan dengan kejadian ISPA pada
anak batita
.
Tabel 6. Karakteristik Anak ( Status Gizi, Status Imunisasi, dan Anggota Keluarga Yang Merokok) Dengan
Kejadian ISPA Pada Anak Batita
Di Puskesmas Singosari Kota Pematangsiantar
N
o
Karakteristik Anak
ISPA Tidak ISPA Jumlah Nilai
P n % n % n %
1 Status Gizi
1.Gizi Baik
2.Gizi Kurang
55
2
69.6%
2.5%
22
0
27.8%
0%
77
2
97.5%
2.5%
1.000
Jumlah 57 72.2% 22 27.8% 79 100%
2 Status Imunisasi 1.Lengkap
2.Tidak Lengkap
57
0
72.2%
0
22
0
27.8%
0
79
0
100%
0
-
Jumlah 57 72.2% 22 27.8% 79 100%
3 Anggota Keluarga
yang Merokok
1. Ya
2. Tidak
44
13
55.7%
16.5%
9
13
11.4%
16.5%
53
26
67.1%
32.9%
0.005
Jumlah 57 72.2% 22 27.8% 79 100%
Dari tabel 6 diatas dapat diketahui bahwa hasil uji
statistik chi-square pengaruh anggota yang merokok
dengan kejadian ISPA pada anak batita diperoleh nilai p =
0,005 artinya ada hubungan anggota yang merokok terhadap pengaruh pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian ISPA.
Pada semua variabel counfounding (umur,
pendidikan, pekerjaan, paritas, status imunisasi, dan status
gizi) tidak menunjukkan hubungan yang bermakna karena
nilai p > 0,05. Dari tabel diatas variabel counfounding berpotensial menjadi variabel pengganggu tidak memenuhi
syarat karena tidak ada berhubungan dengan variabel
40
dependen. Tetapi untuk membuktikan bahwa variabel
counfounding mempunyai hubungan interaksi terhadap
variabel independen dapat dilihat dari tabel 7.
Tabel 7. Tabulasi Silang Sosiodemografi Karakteristik Ibu dan Anak Terhadap Pemberian ASI Eksklusif di
Puskesmas Singosari Kota Pematangsiantar
N
o Variabel Counfonding
Pemberian ASI Eksklusif Jumlah Nilai
p Ya Tidak
n % n % n %
1 Umur
1. < 20 Tahun
2. 20-35 Tahun
3. > 35 Tahun
8
8
3
10.1%
10.1%
3.8%
12
30
18
15.2%
38.0%
22.8%
20
38
21
25.3%
48.1%
26.6%
0.131
Jumlah 19 24.1% 60 75.9% 79 100%
2 Pendidikan Ibu
1.Pendidikan Tinggi (SMA, PT)
2.Pendidikan Rendah
(SD, SMP)
11
8
13.9%
10.1%
21
39
26.6%
49.4%
32
47
40.5%
59.5%
0.133
Jumlah 19 24.1% 60 75.9% 79 100%
3 Pekerjaan Ibu
1.Bekerja
2.Tidak Bekerja
8
11
10.1%
13.9%
21
39
26.6%
49.4%
29
50
36.7%
63.3%
0.774
Jumlah 19 24.1% 60 75.9% 79 100%
4 Paritas
1.< 2
2.> 2
10
9
12.7%
11.4%
22
38
27.8%
48.1%
32
47
40.5%
59.5%
0.333
Jumlah 19 24.1% 60 75.9% 79 100%
5 Status Gizi
1.Gizi Baik
2.Gizi Kurang
19
0
24.1%
0%
58
2
73.4%
2.5%
77
2
97.5%
2.5%
1.000
Jumlah 19 24.1% 60 75.9% 79 100%
6 Status Imunisasi
1.Lengkap
2.Tidak Lengkap
19
0
24.1%
0%
60
0
75.9%
0%
79
0
100%
0
-
Jumlah 19 24.1% 60 75.9% 79 100%
7 Anggota Keluarga
yang Merokok
1. Ya
2. Tidak
12
7
15.2%
8.9%
41
19
51.9%
24.1%
53
26
67.1%
32.9%
0.890
Jumlah 19 24.1% 60 75.9% 79 100%
Dari tabel 7 diatas dapat diketahui bahwa hasil uji
statistik chi-square sosiodemografi karakteristik ibu dan
anak terhadap pemberian ASI eksklusif tidak ada yang
berhubungan.
PEMBAHASAN
1. Faktor Pengaruh Pemberian ASI Eksklusif
Dengan Kejadian ISPA
Pengaruh pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
ISPA pada anak batita diperoleh data bahwa dari 19 anak
(24.1%) yang mendapat ASI eksklusif ada 8 anak (10.1%) yang terkena ISPA. Dan dari 60 orang (75.9%) anak yang
tidak mendapat ASI eksklusif ada 49 orang (62.0%) anak
yang terkena ISPA. Hasil uji statistik chi-square didapat
nilai p = 0,002 artinya ada hubungan anggota yang
merokok terhadap pengaruh pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian ISPA.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Widya
(2013) yang mendapatkan bahwa pemberian ASI eksklusif
memiliki hubungan dengan kejadian ISPA, hasil uji chi-
square dengan tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05) didapat hasi p =0.002. Hasil penelitian Sulistyoningsih, dkk bahwa
balita yang mendapatkan ASI eksklusif memiliki resiko
menderita ISPA sebesar 2 kali lipat dibandingkan balita
yang mendapatkan ASI eksklusif.
Hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa bayi yang mendapat ASI 4-6 bulan lebih besar risikonya menderita pneumonia dibandingkan bayi yang
mendapat ASI lebih dari 6 bulan. Hasil penelitian Lopez-
Alarcon et al (2007) menyimpulkan bahwa pemberian ASI
41
penuh pada usia 4 bulan bermakna mengurangi kejadian
ISPA dibandingkan dengan hanya diberi susu formula saja,
dan pada usia 6 bulan tidak ada perbedaan yang bermakna
antara pemberian ASI penuh dan susu formula. Hal ini
menunjukkan bahwa manfaat anti infeksi ini akan bekerja
maksimal untuk 3 bulan pertama usia bayi (Finberg &
Kleinman dalam Fauzi 2008).
Hasil tabulasi silang antara pemberian ASI eksklusif dengan pekerjaan didapat hasil bahwa dari 50
orang (63.3%) ibu yang tidak bekerja terdapat 39 orang
(49.4%) ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif.
Sementara hasil tabulasi silang antara anggota yang
merokok dengan dengan pemberian ASI eksklusif didapat
dari 53 orang (67.1%) ada anggota yang merokok yang
tidak mendapatkan ASI eksklusif sebanyak 41 orang
(51.9%) anak. Hal ini dapat disimpulkan bahwa anak yang
tidak diberikan ASI eksklusif dan terpaparnya anggota
keluarga yang merokok dapat menyebabkan penyakit
ISPA pada anak. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan atau lebih
memberikan efek protektif yang lebih besar berkaitan
dengan respon dosis efek protektif yang dihasilkan.
Semakin besar dosis ASI yang diberikan semakin besar
pula efek protektif yang dihasilkan. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa ASI sebagai proteksi pasif berpengaruh terhadap
respon imun sistem anak dengan maturasional, anti
inflamasi, imunomodulator, dan antimikrobial. Beberapa
efek imun yang bisa ditimbulkan dalam bentuk
perpanjangan proteksi terhadap ISPA. Respon imun
berkaitan dengan dosis ASI bekerja secara biologikal
selama 4 bulan atau 6 bulan atau bahkan beberapa tahun. ASI dapat juga memberikan perlindungan jangka panjang
melalui stimulasi respon imun aktif. Imunitasi aktif
merupakan imunitas spesifik dimana sistem imun
membentuk memori jangka panjang terhadap paparan
antigen tertentu (USAID, 2010).
Menurut Abdullah (2003) pemberian ASI terbukti
efektif bagi perkembangan dan imunitas anak. Pemberian
ASI cukup memberikan efek protektif terhadap ISPA pada
batita, sedangkan batita masih rentan terhadap penyakit
ISPA karena ASI yang tidak diberikan sesuai kebutuhan 0-
6 bulan, makanan pendamping yang diberikan belum memenuhi gizi yang baik serta kurangnya menjaga
kebersihan individu dan lingkungan. Hal ini membuktikan
keadaan di lapangan masih kurang baik dalam pemenuhan
gizi yang sesuai kebutuhan dalam pencegahan ISPA.
2. Faktor Umur Ibu Yang Mempengaruhi
Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian
ISPA
Pengaruh umur dengan kejadian ISPA pada anak
batita diperoleh data bahwa dari 20 orang (25.3%) ibu
kelompok umur < 20 tahun ada 12 orang (15.2%) ibu
memiliki anak yang terkena ISPA. Dari 38 orang (48.1%) kelompok umur 20 - 35 tahun ada 30 orang (38.0%) ibu
yang memiliki anak terkena ISPA. Dari 21 orang (26.6)
kelompok umur > 35 tahun ada 15 orang (19.0) yang
memiliki anak terkena ISPA. Hasil uji statistik chi-square
didapat nilai p = 0,309 artinya tidak ada hubungan umur
terhadap pengaruh pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian ISPA.
Hasil tabulasi silang antara umur ibu dan anggota
yang merokok didapatkan bahwa dari 38 orang (48.1%)
ibu responden yang berumur 20 – 35 tahun ada 28 orang
(35.4%) ibu yang anggota keluarga dirumah yang
merokok. Adanya anggota keluarga yang merokok
merupakan salah satu faktor resiko bagi keluarga dapat terkena ISPA.
Hasil tabulasi silang antara umur dengan pemberian
ASI eksklusif didapat bahwa dari 38 (48.1%) orang ibu
yang memiliki anak terkena ISPA responden yang berumur
20 - 35 tahun ada 30 orang (38%) ibu yang tidak
memberikan ASI eksklusif kepada anaknya.
Umur tidak berhubungan dengan kejadian ISPA
namun pada hasil tabulasi silang penelitian ini usia ibu dari
umur 20 – 35 tahun banyak yang tidak memberikan ASI
eksklusif disamping itu ibu yang berumur 20 - 35 tahun
yang memiliki anak terkena ISPA banyak terpapar anggota keluarga merokok dirumah dan ibu yang berumur 20 - 35
tahun mayoritas memiliki pendidikan rendah. Kurangnya
pemberian ASI eksklusif dan terpaparnya asap rokok pada
anak merupakan faktor resiko terjadinya ISPA.
3. Faktor Pendidikan Ibu Yang Mempengaruhi
Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian
ISPA
Pada penelitian ini di temukan responden
berdasarkan pendidikan adalah SMA dan Perguruan
Tinggi. Pengaruh pendidikan dengan kejadian ISPA pada
anak batita diperoleh data bahwa dari 32 ibu (40.5%) dengan pendidikan tinggi ada 21 (26.6%) ibu yang
memiliki anak terkena ISPA. Dan dari 47 orang (59.5%)
ibu dengan pendidikan rendah ada 36 orang (45.6%) ibu
memiliki anak yang terkena ISPA. Hasil uji statistik chi-
square nilai p = 0,417 > =0,05 artinya tidak ada hubungan pendidikan terhadap pengaruh pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian ISPA.
Hasil penelitian ini sejalan didukung oleh Bachrach
et al (2003) yang mendapatkan bahwa pendidikan ibu tidak
memiliki hubungan bermakna dengan kejadian ISPA
(RR=0.62%;CI=95%=0.14%-2.93%), hasil penelitian
Koch et al (2003) menunjukkan tidak ada hubungan yang
bermakna antara pendidikan ibu yang tidak sekolah dengan kejadian ISPA (RR = 1.30% ; CI = 95%=0.81% - 2,07%)
dan hasil penelitian ini sejalan dengan Fauzi (2008) yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan
ibu dengan kejadian ISPA (RR = 0.9% ; CI = 95%=0.59-
1.21%).
Hasil tabulasi silang antara pendidikan ibu dengan
pemberian ASI eksklusif didapat bahwa dari 47 orang
(59.5%) ibu yang memiliki pendidikan rendah terdapat 39
orang (49.4%) ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif
kepada anaknya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ibu
yang memiliki pendidikan rendah dan tidak memberikan ASI eksklusif kepada anaknya memiliki resiko untuk
terkena ISPA.
Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan
bahwa pendidikan akan membuat seseorang terdorong
untuk ingin tahu, mencari pengalaman sehingga informasi
42
yang diterima akan menjadi pengetahuan. Pendidikan
diperkirakan ada kaitannya dengan pengetahuan bahwa
seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan
mempunyai pengetahuan yang lebih luas untuk
memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan tingkat
pendidikan rendah (Notoadmojo, 2007). Semakin tinggi
tingkat pendidikan ibu, maka semakin luas pengetahuan
yang dimiliki ibu.
Kurangnya pengetahuan ibu dalam menghadapi
masalah kesehatan terutama masalah gizi seperti
kurangnya pengetahuan dan keterampilan para ibu untuk memanfaatkan potensi alam misalnya pekarangan rumah.
Kurangnya pengetahuan ibu dalam mensosialisasikan anak
untuk membiasakan anak hidup bersih seperti mencuci
tangan sebelum makan yang dapat mencegah timbulnya
kuman penyakit pada saat mengkonsumsi makanan.
Karena perilaku hidup bersih juga sangat berpengaruh pada
kesehatan balita (Asydhad, 2006).
4. Faktor Pekerjaan Ibu Yang Mempengaruhi
Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian
ISPA Pengaruh pekerjaan dengan kejadian ISPA pada
anak batita diperoleh data bahwa dari 29 ibu (36.7%)
bekerja ada 19 ibu (24.1%) yang memiliki anak terkena
ISPA. Dan dari 50 orang (63.3%) ibu tidak bekerja ada 38
orang (48.1%) ibu memiliki anak yang terkena ISPA. Hasil
uji statistik chi-square didapat nilai p = 0,458 > =0,05 artinya tidak ada hubungan pekerjaan terhadap pengaruh
pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Audinarayana (2005) menunjukkan bahwa tidak adanya
hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan
kejadian ISPA pada anak (OR=1.1%;p value >0.10%) dan
hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Fauzi, 2008 tentang pengaruh pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian ISPA pada anak usia 6-23 bulan (RR=0.5%;CI
95%=0.23%-1.28%).
Hasil tabulasi silang antara pekerjaan ibu dengan
pemberian ASI eksklusif, dari 50 orang (63.3%) ibu yang
tidak bekerja terdapat 39 orang (49.4%) ibu yang tidak
memberikan ASI eksklusif pada anaknya dan hasil tabulasi
silang antara pekerjaan dengan anggota keluarga yang
merokok didapat hasil dari 50 orang (63.3%) ibu yang
tidak bekerja terdapat 34 orang (43%) memiliki anggota
keluarga yang merokok. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
ibu yang tidak bekerja dengan rendahnya pemberian ASI eksklusif dan ada memiliki anggota keluarga yang
merokok dapat menimbulkan resiko terkena ISPA pada
anak batita.
Jenis pekerjaan ibu maupun suami akan
mencerminkan keadaan sosial ekonomi keluarga.
Berdasarkan pekerjaan tersebut dapat dilihat kemampuan
mereka terutama dalam pemenuhan makanan bergizi
sehingga orangtua kurang memperhatikan kondisi
kesehatan anaknya. Pekerjaan sangat mempengaruhi status
kesehatan keluarga karena semakin tinggi status pekerjaan
maka semakin baik pula status kesehatan keluarga tersebut. Semakin tinggi penghasilan maka makin besar pula
persentase dari penghasilan tersebut untuk membeli
berbagai jenis bahan makanan, sehingga penghasilan juga
merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas gizi
keluarga (Hidayat, 2007).
5. Faktor Paritas Ibu Yang Mempengaruhi
Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian
ISPA
Pengaruh paritas dengan kejadian ISPA pada anak
batita diperoleh data bahwa dari 32 ibu (40.5%) yang
memiliki anak < 2 orang ada 19 ibu (24.1%) yang
memiliki anak terkena ISPA. Dan dari 47 orang (59.5%) ibu yang memiliki anak > 2 orang ada 38 orang (48.1%)
ibu memiliki anak yang terkena ISPA. Hasil uji statistik
chi-square didapat nilai p = 0,067 > 0,05 artinya tidak ada
hubungan paritas terhadap pengaruh pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian ISPA.
Tidak adanya hubungan antara paritas dengan
kejadian ISPA disebabkan karena ibu yang memiliki
paritas > 2 banyak tidak memberikan ASI eksklusif.
Disamping itu juga hasil tabulasi silang antara paritas dan
anggota yang merokok bahwa dari 47 orang (59.5%) ibu
yang memiliki paritas > 2 anak terdapat 35 orang (44.3%) anak yang memiliki anggota keluarga yang merokok.
Sementara itu hasil tabulasi silang antara paritas dengan
ASI eksklusif didapat hasil bahwa dari 47 orang (59.5%)
ibu yang memiliki paritas > 2 anak terdapat 38 orang
(48.1%) tidak memberikan ASI eksklusif.
6. Faktor Status Gizi Yang Mempengaruhi
Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian
ISPA
Pengaruh status gizi dengan kejadian ISPA pada
anak batita diperoleh data bahwa dari 77 anak (97.5%)
yang memiliki gizi baik ada 55 anak (69.6%) yang terkena ISPA. Dan dari 2 orang (2.5%) anak yang memiliki gizi
kurang seluruhnya anak yang terkena ISPA.
Hasil uji statistik chi-square didapat nilai p = 1.000
> =0,05 artinya tidak ada hubungan status gizi terhadap pengaruh pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA.
Tetapi secara praktis terdapat bahwa pada anaka dengan
status gizi kurang lebih besar resikonya untuk
mendapatkanpenyakit ISPA. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Fauzi, status gizi tidak bermakna secara
statistik terhadap kejadian ISPA.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Etiler et al (2010) status gizi tidak
bermakna secara statistik kejadian ISPA (RR=1.11%;CI=95%=0.91-1.37) tetapi berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Nandi (2005) mendapatkan
adanya hubungan bermakna antara status gizi dengan
kejadian ISPA (OR=1.16%;CI=95%=1.01-1.33).
Kekurangan gizi dapat terjadi pada bayi dan anak
yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini dapat
berlanjut hingga dewasa. Usia batita merupakan masa
pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga
kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus priode
kritis. Priode emas dapat diwujudkan apabila masai bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk
tumbuh kembang optimal (Prabu, 2009).
43
7. Faktor Status Imunisasi Yang
Mempengaruhi Pemberian ASI Eksklusif
Dengan Kejadian ISPA
Pengaruh status imunisasi dengan kejadian ISPA
pada anak batita diperoleh data bahwa dari 79 anak (100%)
yang memiliki status imunisasi lengkap ada 57 anak
(77.2%) yang terkena ISPA. Hasil uji statistik chi-square
didapat nilai p > = 0,05 artinya tidak ada hubungan status imunisasi terhadap pengaruh pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Fauzi
(2008) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara status imunisasi dengan pengaruh
pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA (p value
=0.390;RR=1.6%) dan penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian yang dilakukan ole Ghofur (2005) yang
menyatakan bahwa status gizi tidak mempunyai hubungan
dengan kejadian ISPA (RR=1.95%;CI=95%=0.89-1.88).
Bayi dan balita yang pernah terserang campak
dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap
pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang
berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka
peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar
dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi
faktor yang meningkatan mortalitas ISPA, diupayakan
imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai
status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat
diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan
menjadi berat (Maryunani, 2010).
Batita yang status imunisasinya tidak lengkap lebih banyak yang menderita ISPA daripada batita yang
status imunisasinya lengkap, ini karena kekebalan
tubuh anak batita juga dipengaruhi oleh status
imunisasi, oleh karena itu imunisasi sangat penting
karena peluang untuk terkena penyakit terutama ISPA
lebih kecil dibandingkan anak yang status imunisasinya
tidak lengkap. Tetapi hal itu tidak sejalan dengan hasil
penelitian yang ada dikarenakan seluruh batita yang
ada di Puskesmas Singosari seluruhnya memiliki status
imunisasi lengkap, ini disebabkan karena program
pemerintah yang baru menyatakan bahwa seluruh anak
harus mendapatkan imunisasi, agar hal ini bisa berjalan diadakan sistem menjemput bola oleh kader disetiap
diadakan posyandu di beberapa kelurahan yang ada di
Puskesmas Singosari.
Hal ini memang tidak sejalan antara status
imunisasi dengan kejadian ISPA, tapi kita dapat
melihat dari hasil tabulasi silang antara status imunisasi
dengan pemberian ASI eksklusif. Di dapat hasil bahwa
dari seluruh anak dengan imunisasi lengkap (100%)
ternyata 75% tidak mendapatkan ASI eksklusif.
Kurangnya pemberian ASI eksklusif dapat membuat
sistem kekebalan tubuh anak rendah, karena zat kekebalan tubuh sangat banyak terkandung dalam ASI.
8. Faktor Anggota Yang Merokok Yang
Mempengaruhi Pemberian ASI Eksklusif
Dengan Kejadian ISPA
Pengaruh anggota yang merokok dengan kejadian
ISPA pada anak batita diperoleh data bahwa dari 53 anak
(67.1%) yang memiliki anggota keluarga yang merokok ada 44 anak (55.7%) yang terkena ISPA. Dan dari 26
orang (32.9%) anak yang tidak memiliki anggota keluarga
yang merokok ada 13 orang (16.5%) anak yang terkena
ISPA. Hasil uji statistik chi-square didapat nilai p = 0,005
artinya ada hubungan anggota yang merokok terhadap
pengaruh pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Bachrach et al (2003) menemukan bahwa orangtua yang
merokok mempunyai hubungan yang bermakna dengan
kejadian ISPA (RR=0.043;CI 95%=0.22%-0.85%). Dan
ini juga sejalan dengan penelitian Maryani (2012) menemukan bahwa hubungan kondisi lingkungan rumah
dan keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada
anak balita mempunya hubungan yang yang bermakna (p
value=0.001 < 0.05). Pada anak yang hanya diberi ASI 0-6
bulan dan memiliki anggota keluarga yang merokok
meningkatkan resiko terjadinya ISPA.
Pada variabel anggota keluarga yang merokok,
didapatkan bahwa sebagian besar subjek (55.7%) terpapar
dengan asap rokok baik dari oran gtua maupun dari
anggota keluarga lainnya. Asap rokok yang terhisap oleh
anak akan mempengaruhi aktivitas siliar saluran nafas (siliar rongga hidung) dan menghambat mekanisme
pertahanan lokal lain. Sehingga apabila ada kuman yang
masuk melalui saluran nafas, sistem pertahanan tubuh anak
tidak bekerja maksimal.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ada pengaruh pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian ISPA, hasil uji statistik chi-square didapat nilai p
= 0,002. Karakteristik anak dengan kejadian ISPA yang
berhubungan yaitu anggota keluarga yang merokok, dengan nilai p=0.005.
Saran
Diharapkan ibu-ibu yang memiliki batita untuk
dapat memperhatikan atau menambah gizi pada anaknya
dan memperhatikan kelengkapan imunisasinya dan
kepada petugas kesehatan diharapkan dapat meningkatkan
cakupan ASI eksklusif diperlukan monitoring langsung
dari bidan terhadap ibu nifas untuk memberikan ASI
eksklusif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, 2003. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif
Dengan Kejadian Pneumonia Pada Anak Balita,
Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Asyadhad, 2006, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat,
Salemba Medika, Jakarta.
44
Audinarayana, 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kejadian ISPA, Universitas Negeri Semarang.
Semarang.
Bachrach, 2003. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif
Dengan Kejadian ISPA. India
Fauzi, 2008. Pengaruh Pemberian ASI Eksklusif Terhadap
Kejadian ISPA Pada Usia 6-23 Bulan,
Universitas Gadja Mada, Yogyakarta.
Finberg dan Kleinman, 2006. Pengaruh Pemberian ASI
Eksklusif Terhadap Kejadian ISPA Pada Usia 6-
23 Bulan, Universitas Gadja Mada, Yogyakarta.
Kementrian Kesehatan RI, 2012. Profil Kesehatan 2011 ,
Jakarta.
Maryunani, A., 2010. Ilmu Kesehatan Anak Dalam
Kebidanan, CV.Trans Info Media, Jakarta Timur.
Maryani, (2012). Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah
dan Keluarga Yang Merokok Dengan Kejadian
ISPA Pada Anak Balita. Universitas Airlangga.
Surabaya.
Notoadmojo, S. 2007. Metodologi Penelitian Kesehatan,
Rineka Cipta, Jakarta.
__________,2010, Metode Penelitian Kesehatan, Rineka
Cipta, Jakarta
Pediatri, S., 2009. Infeksi Saluran Akut pada Balita Di
Daerah Urban Jakarta,
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-4-1.pdf
(Diakses Tanggal 14 Maret 2014, 18:45).
Prabu, 2009. Mengatasi Gangguan Kesehatan Pada Anak
anak, PT. Gramedia, Jakarta.
Profil Kesehatan Sumatra Utara, 2012
http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_K
ES_PROVINSI_2012/02_Profil_Kes_Prov.Suma
teraUtara_2012.pdf (Diakses tanggal 14 Maret
2014).
Proverawati, A., dan Eni Rahmawati, 2010. Kapita Selekta
ASI Menyusui, Nuha Medika, Bantul.
Sentra Laktasi Indonesia, 2007. Universitas Sumatera
Utara . Available at : http :// repository
.usu.ac.id/bitstream/123456789/34055/4/Chapter
%20I.pdf (Diakses pada tanggal 15 Maret 2014,
19:05).
Sulistyawati A., 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada
Ibu Nifas, Yogyakarta.
USAID, 2010. Manfaat ASI Eksklusif Pada Anak. Jakarta.
Utomo, 2009. Pengaruh pemberian ASI Eksklusif dengan
kejadian ISPA pada anak usia 6-23 bulan di
kabupaten Konowe. Universitas Gadja
Mada:Yogykartahttp://etd.ugm.ac.id/index.php?
mod= penelitian_detail&sub= Penelitian
Detail&act=view&typ=html&buku_id=43243&o
byek_id=4 (Diakses Tanggal 13 Maret 2014,
20:05).
WHO, 2003. Penanganan ISPA Pada Anak Di Rumah
Sakit Kecil Negara Berkembang, Kedokteran
EGC, Jakarta.
Widya, 2013. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan
Kejadian ISPA Pada Anak Balita Di Puskesmas
Banjarmasin, Stikes Banjarmasin, Banjarmasin.
Widoyono, 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi,
Penularan, dan Pemberantasan, Erlangga,
Semarang.
45
HUBUNGAN RESPONSE TIME PERAWAT DENGAN KEPUASAN
KELUARGA PASIEN DI INSTALANSI GAWAT DARURAT (IGD) RSUD Dr.
PIRNGADI MEDAN TAHUN 2016
Ns, Marlisa,
ABSTRACT
Family statisfaction is determined by a good response time. The objective of this research is to investigate
the correlation between the nurses’s response time in giving service and family statisfaction at Emergency
Unit of RSUD Dr.Pirngadi Medan This research use th correlational descriptive method. The population of
this research consisted of 597 patient. Yhe sample of the research consisted of 42. They were colleted
through stopwacth/handphone that have a stopwatch to caculate the response time and questionnsire
consisting of 20 questions about family statisfiction of patient.The result of the research show that nurses’response time at Emergency Unit RSUD Dr.Pirngadi Medan was a past’s response time.In addition,
the family of patients were statisfied with the service at Emergency Unit of RSUD Dr.Pirngadi Medan. There
was a corelation between the nurses’s response time in giving service and the family statisfaction at
Emergency Unit of RSUD Dr. Pirngadi of medan as indicate by the p.value= 0.02 and the correlation
coeficient value=0.01
Keywords:Response Time, Family Satifactions
Kepuasan pelanggan ditentukan oleh pelayanan yang salah satunya adalah waktu tanggap (respone time)
yang cepat dan penanganan yang tepat. Tujuan penlitian ini adalah untuk melihat gambaran tentang
hubungan antara response time perawat dalam memberikan pelayanan dengan kepuasan keluarga pasien di
Instalansi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr. Pirngadi Medan. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode dekskriftif korelasi. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 597
pasien. Sampel yang digunakan adalah 42 responden yang dipilih secara Accidental Sampling. Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah stopwacth/arloji/Handphone yang mempunyai stopwacth untuk
menghitung response time dan kusioner kepuasan keluarga pasien yang terdiri dari 20 pertanyaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa response time perawat Instalansi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr.
Pirngadi Medan adalah response timeyang cepat. Kepuasan pelanggan menunjukkan puas terhadap
pelayanan di Instalansi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr. Pirngadi Medan. Ada hubungan antara response
time perawat dalam memberikan pelayanan dengan kepuasan keluarga pasien di Instalansi Gawat Darurat
(IGD) RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan tingkat keeratan rendah (ρ value 0,02 koefisien korelasi 0.01).
PENDAHULUAN
Pada saat ini, rumah sakit berkembang sebagai sebuah industri padat karya, padat modal, dan padat
teknologi. Disebut demikian karena rumah sakit
memamfaatkan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam
jumlah yang besar dan beragam kualifikasi. Demikian
pula, jumlah dana yang digunakan untuk melaksanakan
berbagai jenis pelayanan, termasuk pendapatan rumah
sakit. Produk umum industri rumah sakit adalah jasa
pelayanan kesehatan (Muninjaya, 2012).
Pelayanan kesehatan juga diartikan sebagai
sebuah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan
utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran
masyarakat (Notoatmojo, 2012).
Pelayanan keperawatan adalah merupakan
sebuah bantuan, dan pelayanan keperawatan ini
diberikan karena adanya kelemahan fisik dan mental,
adanya keterbatasan pengetahuan serta kurangnya
kemampuan menuju kepada kemampuan melaksanakan
kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri. Pada
hakikatnya kegiatan atau pun tindakan keperawatan bersifat membantu (assistive in nature) (Agung, 2010).
Pelayanan keperawatan juga diartikan sebagai suatu
bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada
ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan
biopsikososial dan spiritual yang komprehensif,
ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat
baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses
kehidupan manusia (Hidayat, 2008).
Pelayanandalam kegawatdaruratan memerlukan
penanganan secara terpadu dari multi disiplin profesi termasuk pelayanan keperawatan yang merupakan
bagian integral yang mengutamakan akses pelayanan
kesehatan bagi korban dengan tujuan mencegah dan
mengurangi angka kesakitan, kecacatan dan kematian
(Haryatun, 2008).
Keperawatan merupakan ujung tombak dari
pelayanan di rumah sakit, dimana selama dua puluh
46
empat jam perawatlah yang selalu berada didekat
pasien sehingga perawat memegang peran cukup
dominan dalam rangka memberi kepuasan kepada
pasien (Mustofa, 2008).
Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang
setelah membandingkan kinerja atau hasil yang
dirasakannya dengan harapannya. Tingkat kepuasan
merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang
dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja dibawah harapan, maka pelanggan akan sangat kecewa, bila
sesuai harapan, maka pelanggan akan sangat puas.
Sedangkan bila kinerja melebihi harapan pelanggan
akan sangat puas. Di samping itu harapan pelanggan
dapat dibentuk oleh pengalaman masa lampau,
komentar dari kerabatnya serta janji dan informasi dari
berbagai media. Pelanggan yang puas akan setia lebih
lama, kurang sensitif terhadap harga dan memberi
komentar yang baik tentang tersebut (Aditama, 2008).
Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah suatu unit
integral dalam satu rumah sakit dimana semua pengalaman pasien yang pernah datang ke Instalansi
Gawat Darurat (IGD) tersebut akan dapat menjadi
pengaruh yang besar bagi masyarakat tentang
bagaimana gambaran rumah sakit itu sebenarnya.
Fungsinya adalah untuk menerima, menstabilkan dan
mengatur pasien yang menunjukkan gejala yang
bervariasi dan gawat serta juga kondisi-kondisi yang
sifatnya tidak gawat. Unit gawat darurat juga
menyediakan sarana penerimaan untuk penatalaksanaan
pasien dalam keadaan bencana, hal ini merupakan
bagian dari perannya di dalam membantu keadaan
bencana yang terjadi di tiap daerah (Agung, 2014). Sebagai pintu terdepan rumah sakit, Instalansi
Gawat Darurat (IGD) memegang peran yang sangat
penting. Instalansi Gawat Darurat (IGD) harus bisa
memberikan pertolongan yang cepat dan tepat untuk
keselamatan pasien (Wilde, 2009).
Kecepatan dan ketepatan pertolongan yang
diberikan pada pasien yang datang ke Instalansi Gawat
Darurat (IGD) memerlukan standar sesuai dengan
kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat
menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan
response time perawat yang cepat dan penanganan yang tepat (Kemenkes RI, 2009).
Response time merupakan kecepatan dalam
penanganan pasien, dihitung sejak pasien datang
sampai dilakukan penaganan (Suhartati, 2011). Waktu
tanggap yang baik bagi pasien yaitu ≤5 menit (
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
2009).
Response time penanganan dapat dihitung
dengan hitungan menit dan sangat dipengaruhi oleh
berbagai hal, baik mengenai jumlah tenaga maupun
komponen-komponen lain yang mendukung seperti
layanan laboratorium, radiologi, farmasi dan administrasi. Waktu tanggap dikatakan tepat waktu
atau tidak terlambat apabila waktu ynag diperlukan
tidak melebihi waku rata-rata standar yang ada
(Haryatun dan Sudaryanto, 2008).
Berdasarkan data kunjungan pasien ke Instalansi
Gawat Darurat (IGD) diseluruh Indonesia mencapai 4.4
02.205 (13,3% dari total seluruh kunjungan di Rumah
Sakit Umum (RSU) dengan jumlah kunjungan 12%
dari kunjungan Instalansi Gawat Darurat (IGD) berasal
dari rujukan dengan jumlah Rumah Sakit Umum (RSU)
1.033 Rumah Sakit Umum (RSU) dari 1.319 rumah
sakit yang ada. Jumlah yang signifikan ini kemudian
memerlukan perhatian yang cukup besar dengan pelayanan pasien gawat darurat (Kepmenkes, 2009).
Hasil penelitian Widodo (2014) tentang
kepuasan pelanggan terhadap response time perawat di
salah satu Instalansi Gawat Darurat (IGD) di sebuah
rumah sakit menjelaskan bahwa dari 95 orang
responden terdapat 4 pasien kategori “rendah/kurang
puas”, dan 8 pasien kategori “sedang/cukup puas”, dan
83 pasien kategori “tinggi/puas”.
Hasil penelitian Dewi (2015) tentang kepuasan
keluarga terhadap response time perawat Instalansi
Gawat Darurat (IGD) di salah satu rumah sakit di Manado menjelaskan bahwa dari 30 orang responden,
terdapat 6 keluarga pasien kategori “kurang puas”, dan
24 orang keluarga pasien kategori “puas”.
Berdasarkan survei pendahuluan yang peneliti
lakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tanggal 22
Januari 2016, dengan melakukan wawancara terhadap 3
responden dengan mengajukan pertanyaan “Apakah
anda puas dengan pelayanan yang diberikan oleh
perawat kepada keluarga anda?” hasilnya 1 responden
mengatakan kurang puas, dan 2 responden mengatakan
puas dengan pelayanan yang diberikan perawat. Dari
survey yang dilakukan didapat juga data pasien yang berkunjung keInstalansi Gawat Darurat (IGD)dari
tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 2013
ada sebanyak 5879 pasien yang berkunjung, dan pada
tahun 2014pasien yang berkunjung sebanyak
6227pasien dan pada tahun 2015 terjadi juga
peningkatan jumlah pasien yang berkunjung yaitu
sebanyak 7164 pasien.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan
response time perawat dengan tingkat kepuasan
keluarga pasien di Instalansi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr.Pirngadi Medan.
METODE Penelitian ini menggunakan desain penelitian
analitik observasi dengan studi korelasional. Studi
korelasional pada hakikatya merupakan penelitian atau
penelaahan hubungan antara dua variabel pada suatu
situasi atau sekelompok subjek (Notoatmodjo, 2012).
Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah
pendekatan cross sectional.
Peneliti menentukan populasi pada penelitian ini
menggunakan rata-rata jumlah pasien Instalansi GawatDarurat (IGD) perbulan dalam periode tahun 2015
di Instalansi GawatDarurat (IGD) RSUD Dr.Pirngadi
Medan yaitu sekitar 597 pasien/bulan.
47
Besar sampel dalam penelitian ini akan
diketahui melalui rumus Slovin (Nursalam, 2009)
sebagai berikut :
𝑛 =𝑁
1 + 𝑁(𝑑)2
𝑛 =597
1 + 597(0,0225)
𝑛 = 41,364 𝑑𝑖𝑏𝑢𝑙𝑎𝑡𝑘𝑎𝑛𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 42 𝑟𝑒𝑠𝑝𝑜𝑛𝑑𝑒𝑛
Keterangan :
N : Besar populasi
n : Jumlah sampel
d : Tingkat ketepatan yang diinginkan (15
%)
Dalam penentuan sampel, peneliti juga
menentukan kriteria inklusi sebagai berikut :
1. Keluarga pasien Instalansi Gawat Darurat (IGD)
atau pendamping pasien yang bersedia menjadi
responden.
2. Keluarga pasien Instalansi Gawat Darurat (IGD)
yang mampu membaca
3. Keluarga pasien Instalansi Gawat Darurat (IGD)
yang mengantar pasien atau mendampingi pasien
dari awal dan menunggui pasien hingga pasien selesai ditangani.
Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal
15 Juli sampai tanggal 25 Juli dengan judul “Hubungan
Response Time Perawat Dengan Kepuasan Keluarga
Pasien di Instalansi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr.
Pirngadi Medan Tahun 2016” diperoleh data yang sudah diolah dan disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :
Tabel Distribusi frekuensi berdasarkan Response
Time perawat gawat darurat di Instalansi Gawat
Darurat (IGD) RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun
2016
Berdasarkan tabel di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa response time perawat dalam
memberikan pelayanan di Instalansi Gawat Darurat
(IGD) RSUD Pirngadi Medan Tahun 2016 cepat.
Dimana jumlah response time yang lambat sebanyak 12
orang (28,6 %) danresponse time yang cepat sejumlah
30 orang (71,4%).
Tabel Distribusi Frekuensi berdasarkan kepuasan
keluarga pasien gawat darurat di Instalansi Gawat
Darurat (IGD) RSUD Dr. Pirngdi Medan Tahun 2016.
Berdasarkan tabel di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa mayoritas pelanggan di Instalansi Gawat Darurat
(IGD) RSUD Dr. Pirngadi Medam memiliki kategori
tingkat kepuasan tinggi 27 responden (64,3%), kategori
tingkat kepuasan sedang ada 10 responden (23,8%) dan 5
responden (11,9%) memiliki kategori tingkat kepuasan
rendah.
Tabel Distribusi frekuensi berdasarkan Response
time dan Kepuasan Keluarga Di Instalasi Gawat
Daruat (IGD) RSUD Dr. Pirngadi Medan.
Tabel di atas menunjukan bahwa kepuasan
keluarga pasien kategori tinggi dengan response time yang
cepat sebanyak 24 responden (57,14%), dan kepuasan
keluarga dengan kategori sedang dengan response
time yang cepat sebanyak 3 responden (7,14%), dan
kepuasan keluarga dengan kategori rendah dengan response time yang cepat sebanyak 2 responden (4,76%).
Response time N %
Response time cepat 30 71,4%
Response time lambat 12 28,6%
Total 42 100,00%
Kepuasan Keluarga N %
Kepuasan Tinggi 27 64,3%
Kepuasan Sedang 10 23,8%
Kepuasan Rendah 5 11,9%
Total 42 100,00%
Response
Time
Kepuasan Keluarga Pasien
Total Tinggi Sedang Rendah
F % f % f % f %
Cepat 24
57,
1
4
%
4
9
,
5
2
%
2
4
,
7
6
%
30
71,
4
%
Lambat 3
7,1
4
%
6
1
4
,
3
0
%
3
7
,
1
4
%
12
28,
6
%
Total 27
64,
2
8
%
10
2
3
,
3
%
5
1
1
,
9
0
%
42
10
0
%
48
Berdasarkan hasil uji statistik chi-squaremaka
didapatkan nilai ρ yang menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara response time dengan kepuasan keluarga
pasien dimana ρ < 0,05 yaitu 0,02.
Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa
ada hubungann antara response time dengan kepuasan
keluarga pasien. Dimana pada response time yang lambat
(> 5 menit) dari 42 responden ada 6 responden yang
memiliki kepuasan kategori sedang dan 3 responden memiliki kepuasan kategori rendah terhadap pelayanan
yang diterima dari petugas kesehatan.
A. Pembahasan
1. Response Time
Hasil distribusi frekuensi response time perawat
dalam memberikan pelayanan di Instalansi Gawat
Darurat (IGD) RSUD Dr.Pirngadi Medan menunjukkan
response time cepat sebanyak 30 responden atau sekitar
71,4% responden. Dengan hasil rata-rata response time Instalansi Gawa Darurat (IGD) RSUD Dr. Pirngadi
Medan yaitu 2,12 menit.
Ketersediaan petugas triase juga sesuai dengan
penelitian Eko widodo, bahwa penempatan staf
perawat sangat mempengaruhi response time perawat ,
namun menurut mereka tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara pola penempatan staf dengan
ketepatan waktu tanggap penanganan kasus di
Instalansi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr.Pirngadi
Medan.
Langkah selanjutnya adalah dengan memenuhi
sarana dan prasarana. Selain alat medis yang memadai, untuk memberikan kesan bahwa pelayanan yang cepat
diperlukan jumlah streecher/tempat tidur pasien yang
cukup.
Kegiatan memenuhi kebutuhan tenaga di
Instalansi Gawat Darurat (IGD) dan sarana prasarana
juga perlu didukung adanya sistem menejemen yang
baik dalam mencapai Standar Pelayanan Minimal
(SPM). Faktor sistem menejemen Instalansi Gawat
Darurat (IGD) yang baik dalam menagani setiap pasien
gawat darurat juga ditunjukkan melalui motto
“kepentingan penderita adalah yang utama”. Sistem menejemen yang baik ini mendukung Kepmenkes RI
No.856 tahu 2009 tengtang standar Instalansi Gawat
Darurat (IGD) Rumah Sakit yang menyatakan bahwa
kecepatan dan ketepatan pertolongan yang diberikan
pada pasien yang datang ke Instalansi Gawat Darurat
(IGD) memberikan standar sesuai dengan kompetensi
dan kemampuanya sehingga dapat menjamin suatu
penanganan gawat darurat dengan response time yang
cepat dan penanganan yang tepat. Hal ni dapat dicapai
dengan meningkatkan sarana, prasarana, Sumber Daya
Manusia (SDM) dan menejemen Instalansi Gawat
Darurat (IGD) rumah sakit sesuai standar.
2. Kepuasan Keluarga Pasien
Hasil distribusi frekuensi kepuasan keluarga
pasien di Instalansi Gawat Darurat(IGD) RSUD
Dr.Pirngadi Medan menunjukan kategori kepuasan
tinggi sebanyak 30 orang atau 64,2%.
Peneliti menyimpulkan bahwa kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) di Instalansi Gawat Darurat (IGD) RSUD Pirngadi Medan memberikan mamfaat
yang sangat besar bagi kepuasan pelanggan. Hal ini
dibuktikan dengan penilaian tertinggi tentang sikap
perawat dari aspek lain yang memberikan penilaian
tinggi pula pada kemampuan dan sikap profesional
petugas Instalansi Gawat Darurat (IGD) dibandingkan
dengan penilain terhadap kondisi ruang maupun
fasilitas yang terdapat Instlansi Gawat Darurat (IGD).
Hasil penelitian juga menunjukkan responsiviness
perawat mendapatkan penilaian yang tinggi. Peneliti
hannya meneliti dua variabel yaitu hannya sebatas response time dan kepuasan keluarga pasien. Oleh
karena itu penliti menggunakan metode servqual
dimana pasien atau keluarga pasien mengisi kusioner
yang dibagikan oleh peneliti berdasarkan atas apa yang
dirasakan setelah selesai di berikan pelayanan.
3. Hubungan Response Time Perawat Dalam
Memberikan Pelayanan Dengan Kepuasan
Keluarga di Instalansi Gawat Darurat (IGD).
Uji statistik mengenai hubungan response time
perawat dalam memberikan pelayanan dengan kepuasan keluarga pasien di Instalansi Gawat Darurat
(IGD) RSUD Dr.Pirngadi Medan dengan menggunakan
korelasi chi-square diperoleh hasil ρ = 0,02 yaitu ada
hubungan antara response time perawat dalam
memberikan pelayanan dengan kepuasan keluarga
pasien di IGD RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan
tingkat korelasi rendah .
Upaya memberikan pelayanan agar bisa
memberikan kepuasan bagi keluarga maupun
pasienkhususnya pelayanan gaawat darurat dapat
dinilai dari kemampuan perawat dalam hal
responsiviness(cepat tanggap), reliability (pelayanan tepat waktu), assurance (sikap dalam mmberikan
pelayanan), empathy (kepedulian dan perhatian dalam
memerikan pelayanan) dan tangible (mutu jasa
pelayaanan) dariperawat kepada pasien (Muninjaya,
2012).
Bedasarkan teori tersebut responsiveness
memberikan dampak bagi kepuasan pelanggan.
Responsiveness dalam pelayanan di Instalansi Gawat
Darurat (IGD) mencakup dua hal yatu response time
pada saat pasien datang dan waktu pelayanan sampai
selesai proses pelayanan ( Hariatun dan Sudaryanto, 2008).
Mengenai tingkat korelasi yang rendah dapat
disebabkan oleh bebrapa faktor diantaranya karateristik
pasien yang datang ke Instalansi Gawat Darurat (IGD)
terutama saat sore dan malam hari tidak semua
merupakan kasus true emergency yang membutuhkan
penanganan segera sehingga kecepatan bukan
merupakan hal utama yang dibutuhkan, namun
49
keramahan dan kemampuan profesianal petugas di
Instalansi Gawat Darurat (IGD) dalam memberikan
pelayanan dan kesempatan untuk berinteraksi/
berdiskusi menjadi faktor yang diharapkan pasien.
Faktor lain yang tidak bisa dikesampingkan adalah
budaya masyarakat. Mayoritas pasien di RSUD Dr
Pirngadi Medan adalah masyarakat yang memiliki adat
istiadat yang lebih mengutamakan keramahan,
kesopanan, daripada kecepatan, terlebih apabila kecepatan yang ditunjukkan dalam melayani
memberikan kesan tergesa-gesa tidak teliti dan kurang
peduli terhadap keluhan pasien. Kesimpulan ini juga
sesuai dengan pendapat Eko Widodo (2014) yang
menyatakan faktor-faktor yang mempengaruh keluhan
pasien yaitu faktor psikologis, demogarafi dan faktor
geografi.
KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian tentang hubungan response time
perawat dalam memberikan pelayanan dengan kepuasan
pelanggan di Instalansi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr. Pirngadi Medan :
1. Response time perawat dalam memberikan
pelayanan di IGD memiliki kategori response time
cepat (71,4%)
2. Kepuasan pelanggan Instalansi Gawat Darurat
(IGD) didapatkan hasil kategori kepuasan tinggi
yaitu (64,2%)
3. Ada hubungan response time perawat dalam
memberikan pelayanan dengan kepuasan keluarga
pasien di Instalansi Gawat Darurat (IGD) dengan ρ values 0,02.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas demi perbaikan dan
kemajuan dalam pelayanan di Instalansi Gawat Darurat
(IGD) RSUD Dr. Pirngadi Medan disampaikan saran
sebagai berikut :
1. Diharapkan bagi petugas Instalansi Gawat Darurat
(IGD) hendaknya mengetahui bahwa kualitas
pelayanan perawat baik responsiveness, empathy,
reliabilithy maupun assurance dapat membuat kepuasan pelaggan di Instalansi Gawat Darurat
(IGD) terjaga pada tingkat tinggi.
2. Manajemen rumah sakit sudah baik, namun
hendaknya ditingkatkan lagi dalam memilah
pasien true emergency dan false emergency
dengan adanya klinik 24 jam sehingga tingkat
signifikasi response time dengan kepuasan
pelanggan akan lebih jelas.
3. Ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) dan pemenuhan sarana yang lebih baik memberikan
kecepatan dan ketepatan dalam pelayananan
4. Survey tingkat kepuasan pelanggan hendaknya
tidak dilihat dengan satu variabel/elemen saja
tetapi dengan 5 elemen yang mempengaruhi
kepuasan pelanggan.
50
PENGETAHUAN ANAK TENTANG MENYIKAT GIGI YANG BAIK
TERHADAP HALITOSIS PADA SISWA-SISWI KELAS IV SD SWASTA ST.
IGNATIUS
MEDAN JOHOR
Susy Adrianelly Simaremare
Jurusan Keperawatan Gigi
ABSTRAK
Menyikat gigi bertujuan untuk membuang plak sebersih mungkin, sebab di dalam plak inilah kuman paling banyak tinggal. Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri dari kumpulan mikroorganisme yang
berkembang biak diatas suatu matriks yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi. Halitosis
merupakan bau mulut tidak sedap yang keluar dari mulut akibat kurang menjaga kebersihan gigi dan mulut
dan dapat melibatkan kesehatan dan kehidupan sosial seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran pengetahuan anak tentang menyikat gigi yang baik terhadap halitosis pada siswa-siswi kelas IV
SD Swasta St.Ignatius Medan Johor. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan
metode survey. Penelitian dilakukan pada anak kelas IV SD Swasta St. Ignatius Medan Johor dengan jumlah
sampel sebanyak 20 orang. Hasil penelitian menunjukkan gambaran pengetahuan anak tentang cara
menyikat gigi yang baik terhadap halitosis, siswa-siswi yang memiliki kriteria baik ada 6 orang, kriteria
sedang ada 12 orang dan yang memiliki kriteria buruk ada 2 orang. Berdasarkan tabel frekuensi pengetahuan
anak tentang waktu menyikat gigi yang baik terhadap halitosis, siswa-siswi kelas IV SD Swasta St.Ignatius
Medan yang memiliki kriteria baik ada 2 orang, 17 orang memiliki kriteria sedang dan 1 orang memiliki kriteria buruk. Kesimpulannya, bahwa pengetahuan anak tentang menyikat gigi yang baik meliputi cara,
waktu dan frekuensi menyikat gigi yang baik itu mempengaruhi halitosis seorang anak. Untuk itu,
diharapkan kepada tenaga kesehatan khususnya gigi untuk lebih meningkatkan penyuluhan kesehatan gigi.
Kata kunci : Menyikat Gigi, Plak, Halitosis
LATAR BELAKANG
Kesehatan merupakan bagian yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Menurut Undang-Undang Pokok
Kesehatan, “Sehat adalah suatu keadaan sempurna yang
meliputi kesehatan badan (fisik), rohani (mental), sosial
dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat
atau kelemahan. Untuk mencapai kesehatan yang
maksimal pemerintah mencanangkan program
pembangunan nasional yang bertujuan untuk mengubah
prilaku masyarakat ke arah perilaku sehat.
Menyikat gigi adalah cara yang umum digunakan
untuk membersihkan berbagai kotoran yang melekat di
permukaan gigi dan gusi. Menyikat gigi bertujuan untuk
memelihara kebersihan gigi dan mulut terutama gigi serta jaringan sekitarnya.
Keadaan gigi dan rongga mulut yang tidak sehat
selain dapat menyebabkan keluhan penyakit gigi dan mulut
juga dapat menimbulkan bau mulut yang tidak sedap atau
yang disebut halitosis. Halitosis dapat menghambat dan
menyebabkan pengucilan sosial. Hal ini sering terjadi pada
orang-orang yang dalam pekerjaannya lebih banyak
berhubungan dengan publik, sehingga mereka harus tetap
menjaga kebersihan serta kesehatan mulutnya agar
terhindar dari bau mulut yang tidak menyenangkan yang
mengurangi keyakinan dan rasa percaya diri. Halitosis merupakan salah satu masalah yang paling umum.
Kekurangan vitamin B6 juga dapat menyebabkan
bau mulut tidak enak. Juga bagi orang penderita seperti diabetes mellitus menyebarkan bau khas yang kurang
sedap. Apalagi yang berhubungan dengan jalan nafas,
seperti penyakit paru-paru, jalan nafas, dan lain-lain.
Keadaan bau mulut yang tidak sedap juga berhubungan
erat dengan daerah telinga, hidung,dan tenggorokan.
Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk
meninjau lebih lanjut mengenai halitosis ini. Berdasarkan
latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian pada siswa-siswi kelas IV SD Swasta St.
Ignatius tentang Gambaran Pengetahuan Anak tentang
Menyikat Gigi yang Baik Terhadap Halitosis pada siswa-
siswi kelas IV SD Swasta St. Ignatius Kecamatan Medan Johor.
PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang, maka perumusan
masalah adalah bagaimana gambaran pengetahuan anak
tentang menyikat gigi terhadap halitosis pada siswa-siswi
kelas IV SD Swasta St. Ignatius Kecamatan Medan Johor.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk
mengetahui gambaran pengetahuan anak tentang menyikat
51
gigi yang baik terhadap halitosis pada siswa-siswi kelas IV
SD Swasta St. Ignatius Kecamatan Medan Johor.
MANFAAT PENELITIAN
1. Sebagai masukan atau informasi pada siswa-siswi
kelas IV SD Swasta St. Ignatius tentang menyikat
gigi yang baik, yaitu mengetahui cara, waktu dan
frekuensi menyikat gigi yang baik terhadap halitosis.
2. Menjadi masukan bagi pihak sekolah dalam
melaksanakan program Upaya Kesehatan Gigi
Sekolah.
3. Sebagai bahan masukan dan sumber pengetahuan
bagi peneliti selanjutnya.
Kerangka Konsep
Variabel Dependent Variabel Independent
Defenisi Operasional
Untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini penulis menentukan defenisi operasional
sebagai berikut :
1. Gambaran Pengetahuan menyikat gigi adalah
kemampuan yang dimiliki siswa-siswi kelas IV SD
Swasta St. Ignatius tentang menyikat gigi yang baik
, meliputi cara,waktu dan frekuensi.
2. Cara menyikat gigi adalah pengetahuan siswa-siswi
kelas IV SD Swasta St. Ignatius tentang cara untuk
menjaga kebersihan gigi dan mulut dengan
menggunakan sikat gigi .
3. Waktu Menyikat Gigi adalah waktu yang tepat dilakukan siswa-siswi kelas IV SD Swasta St.
Ignatius dalam menyikat gigi yaitu pagi sesudah
sarapan dan malam sebelum tidur.
4. Frekuensi menyikat gigi adalah frekuensi yang tepat
dilakukan siswa-siswi kelas IV SD Swasta St.
Ignatius dalam menyikat gigi yaitu 2 kali dalam
sehari.
5. Halitosis adalah bau tidak sedap yang muncul dari
mulut akibat tidak menjaga kebersihan mulut.
Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif
dengan metode survey, yang bertujuan untuk mengetahui
gambaran pengetahuan anak tentang menyikat gigi yang
baik terhadap halitosis pada siswa-siswi kelas IV SD
Swasta St. Ignatius Kecamatan Medan Johor.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah SD Swasta St. Ignatius
Kecamatan Medan Johor .
Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek peneliti atau
objek yang diteliti. (Notoatmodjo, 2005). Populasi yang
diambil dalam penelitian ini adalah seluruh anak kelas IV SD Swasta St. Ignatius Kecamatan Medan Johor yang
berjumlah 20 orang.
Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah total
keseluruhan populasi yang berjumlah 20 orang.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang diambil dalam penelitian ini
adalah data primer yang dilakukan dengan menggunakan
kuesioner langsung. Data langsung diambil oleh peneliti beserta tim ke lokasi penelitian yaitu SD Swasta St.
Ignatius Kecamatan Medan Johor.
Untuk menentukan interval dari nilai yang terdapat dalam
kriteria penilaian tersebut digunakan rumus :
Interval = Nilai maksimal - nilai minimal
Kriteria Penilaian
Sehingga nilai dalam kriteria penelitian tersebut adalah :
- Baik : nilai berada 5-6
- Sedang : nilai berada diantara 3- 4
- Buruk : nilai berada diantara 1-2
Pengolahan Data dan Analisa Data
Semua data yang telah terkumpul dari pengisian
kuesioner diolah dengan melakukan editing, koding dan
tabulating. Setelah itu diambil kesimpulan dari hasil
pengolahan data tersebut.
Analisa Data Data yang terkumpul dianalisa dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Mengumpulkan hasil kuesioner serta menghitung
jumlahnya sesuai dengan jumlah siswa-siswi kelas
IV SD Swasta St.Ignatius.
2. Mencocokkan jawaban setiap siswa-siswi dengan
kunci jawaban.
3. Memberikan nilai pada jawaban yang benar bernilai
1 dan salah bernilai 0.
4. Memberikan kriteria berdasarkan nilai yang
didapatkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengetahuan anak tentang menyikat gigi yang
baik terhadap halitosis pada siswa-siswi kelas IV SD
Swasta St. Ignatius Medan dapat dilihat pada tabel 1.
Gambaran
Pengetahuan Anak Tentang Menyikat
Gigi :
Cara Menyikat
Gigi
Waktu Menyikat
Gigi
Frekuensi
Menyikat Gigi
Halitosis
52
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Anak
Karakteristik Anak Sampel
(n)
Persentase
(%)
Jenis Kelamin :
- Laki-laki
- Perempuan
10
10
50
50
Umur :
- 8 tahun - 9 tahun
2 18
10 90
Dari tabel diatas, diketahui bahwa siswa-siswi
kelas IV SD Swasta St. Ignatius Medan Johor yang
berumur 9 tahun ada sebanyak 18 orang anak (90%). Juga
terdapat 2 orang anak (10%) yang berumur 8 tahun. Anak
yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan masing-
masing ada 10 orang dengan persentase karakteristik anak
senilai 50 % untuk kedua jenis kelamin.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Anak
tentang Pengetahuan Menyikat Gigi yang Baik
Terhadap Halitosis pada siswa-siswi kelas IV SD
Swasta St.Ignatius Medan Johor.
Dari tabel diatas, diketahui bahwa pengetahuan
anak tentang cara menyikat gigi yaitu 6 orang (30%)
memiliki pengetahuan cara menyikat gigi dengan kriteria
baik, 12 orang (60%) memiliki pengetahuan cara menyikat
gigi yang baik dengan kriteria sedang dan 2 orang (10%) memiliki kriteria buruk terhadap pengetahuan cara
menyikat gigi yang baik.
Data pengetahuan anak tentang waktu menyikat
gigi yang baik, terlihat 2 orang anak (10%) memiliki
pengetahuan dengan kriteria baik, 17 orang (85%)
memiliki pengetahuan dengan kriteria sedang dan ada 1
orang (5%) memiliki pengetahuan tentang waktu menyikat
gigi yang baik dengan kriteria buruk.
Data pengetahuan anak tentang frekuensi
menyikat gigi yang baik, terlihat 6 orang (30%) memiliki
kriteria baik, 12 orang (60%) memiliki pengetahuan
sedang dan ada 2 orang anak (10%) yang memiliki pengetahuan buruk tentang pengetahuan frekuensi
menyikat gigi yang baik.
PEMBAHASAN
Dari tabel 1 diatas, diketahui siswa-siswi kelas
IV SD Swasta St. Ignatius Medan Johor yang memiliki
pengetahuan tentang cara menyikat gigi adalah : ada 6
siswa-siswi (30%) memiliki pengetahuan baik tentang cara
menyikat gigi, sedangkan 12 orang (60%) siswa-siswi
lainnya memiliki pengetahuan sedang dan ada 2 orang
(10%) yang tidak memiliki pengetahuan tentang cara menyikat gigi yang terhadap halitosis.
Menurut Aziz Ahmad Srigupta (2004), cara
menyikat gigi yang benar adalah menyikat dengan gerakan
pendek-pendek, dan untuk menyikat gigi bagian atas
jangan ke atas begitu juga dengan bagian bawah; hal ini
untuk menghindari agar gusi tidak terkelupas. Tetapi bulu
sikat harus dikenakan pada gusi, agar gusi terpijat oleh
bulu-bulu halus sikat gigi. Untuk menyikat permukaan
samping baik luar maupun dalam jangan melawan arah
permukaan gusi (ujung pinggir gusi).
Berdasarkan tabel 2, diperoleh data pengetahuan
anak tentang cara, waktu dan frekuensi menyikat gigi yang
baik. Pada data pengetahuan anak tentang cara menyikat gigi yang baik, terlihat 6 orang anak (30%) memiliki
kriteria baik, 12 orang (60%) memiliki kriteria sedang dan
ada 2 orang anak (10%) memiliki kriteria pengetahuan
yang buruk tentang cara menyikat gigi. Pada data
pengetahuan anak tentang waktu menyikat gigi yang baik,
diketahui 2 orang (10%) memiliki kriteria baik, 17 orang
(85%) memiliki kriteria sedang dan terdapat 1 anak (5%)
memiliki kriteria buruk. Pada data pengetahuan anak
tentang frekuensi menyikat gigi yang baik, terlihat 6 orang
anak (30%) memiliki kriteria baik, 12 orang anak (60%)
memiliki kriteria sedang dan ada 2 orang anak (10%)
memiliki kriteria buruk. Menurut (Panjaitan, 1995) waktu dan frekuensi
menyikat gigi yang baik adalah segera sesudah makan atau
paling lambat 10 menit sesudah makan, hal ini besar
manfaatnya untuk mencegah timbulnya plak. Lamanya
menyikat gigi dianjurkan minimal lima menit, tetapi
umumnya orang menyikat maksimum selama 2-3 menit.
Tetapi, hal ini tidak dapat menjadi patokan berhasil atau
tidaknya seseorang dalam menyikat gigi, hal ini masih
bergantung pada cara-cara menyikat gigi, bentuk sikat gigi
serta waktu menyikat gigi.
Kesimpulan
1. Jumlah siswa-siswi kelas IV SD Swasta St.
Ignatius yang memiliki pengetahuan cara menyikat
gigi yang baik terhadap halitosis dengan kriteria
baik ada 6 orang (30%), kriteria sedang sebanyak
12 orang (60%), dan kriteria buruk sebanyak 2
orang (10%).
2. Jumlah siswa-siswi kelas IV SD Swasta St.
Ignatius yang memiliki pengetahuan waktu
menyikat gigi yang baik terhadap halitosis dengan
kriteria baik ada 2 orang (10%), 17 orang (85%)
memiliki kriteria sedang dan ada 1 orang (5%) memiliki kriteria buruk..
3. Jumlah siswa-siswi kelas IV SD Swasta St.
Ignatius yang memiliki pengetahuan frekuensi
menyikat gigi yang baik terhadap halitosis dengan
kriteria baik adalah 6 orang (30%), 12 orang (60%)
memiliki kriteria sedang, dan ada 2 orang anak
(10%) memiliki kriteria buruk.
Kriteria
Pengetahuan Anak Tentang Menyikat Gigi
Cara Waktu Frekuensi
n % n % n %
Baik 6 30 2 10 6 30
Sedang 12 60 17 85 12 60
Buruk 2 10 1 5 2 10
Jumlah 20 100 20 100 20 100
53
Saran
a. Hendaknya siswa-siswi dapat menyikat gigi
dengan baik (cara, waktu dan frekuensi) agar
terhindar dari halitosis.
b. Kepada orangtua murid hendaknya senantiasa
mengawasi anak untuk menyikat gigi secara
benar.
c. Diharapkan kepada pihak SD Swasta St. Ignatius Medan Johor agar tetap bekerjasama
dengan Puskesmas setempat untuk menjalankan
kegiatan Upaya Kesehatan Gigi Sekolah
sebagai upaya peningkatan kesehatan gigi anak.
DAFTAR PUSTAKA
Herjulianti Eliza, 2002, Pendidikan Kesehatan Gigi,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Machfoedz Ircham, 2008, Menjaga Kesehatan Gigi &
Mulut Anak-anak dan Ibu Hamil, Penerbit Fitramaya,
Yogyakarta.
Notoatmodjo Soekidjo, 2005, Metodologi Penelitian
Kesehatan, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Panjaitan Monang, 1995, Etiologi Karies Gigi dan
Penyakit Periodontal, Penerbit Universitas Sumatera
Utara Press, Medan.
Pintauli Sondang, 2010, Menuju Gigi & Mulut Sehat,
Universitas Sumatera Utara Press, Medan.
Srigupta Aziz Ahmad, 2004, Perawatan Gigi & Mulut,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.
Sriyono Niken Widyanti, 2005, Ilmu Kedokteran Gigi
Pencegahan, Medika Fakultas Kedokteran UGM,
Yogyakarta.
http://databerita.com/cara-sikat-gigi-yang-baik-benar/
http://bz.blogfam.com/2006/03/menyikat_gigi_bagi_anak.
html
http://ustadchandra.wordpress.com/2011/03/16/gigi-mulut-
halitosis-bau-mulut/
54
TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
PADA MASA KEHAMILAN TERHADAP PEWARNAAN GIGI ANAK
BALITA DI KELURAHAN LAU CIH KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN
Ngena Ria
Jurusan Keperawatan Gigi
Abstrak
Antibotik merupakan zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungsi dan bakteri yang memiliki khasiat
mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman sedangkan toksitasnya bagi manusia relatif rendah.
Penelitian bersifat deskriptif dengan metode survy yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besar tingkat
pengetahuan ibu tentang penggunaan antibiotik pada masa kehamilan. Sampel adalah ibu hamil yang
berjumlah 30 orang. Data diperoleh dengan cara pengisian kuesioner yang di Kelurahan Lau Cih Kecamatan
Medan Tuntungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 20% ibu memiliki pengetahuan baik, 10 % ibu
memiliki pengetahuan sedang dan tidak ada (0%) ibu yang memiliki pengetahuan buruk mengenai tingkat
pengetahuan tentang penggunaan antibiotik pada masa kehamilan.
Kata Kunci : Pengguna Antibiotik, masa kehamilan, pewarnaan gigi anak
Latar Belakang
Kesehatan merupakan suatu keadaan dari badan,
jiwa dan sosial, dimana seseorang hidup produktif secara
sosial dan ekonomis. Pembangunan sektor kesehatan nasional diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal, meningkatkan gizi,
membudayakan sikap hidup bersih dan sehat serta
meningkatkan mutu dan mempermudah pelayanan
kesehatan yang harus terjangkau oleh seluruh masyarakat.
Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian
integral dari kesehatan umum khususnya rongga mulut.
Rongga mulut dikatakan sehat apabila mempunyai susunan
gigi yang rapi, teratur, terhindar dari penyakit jaringan
keras gigi dan jaringan periodontal.
Pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada anak sangat penting, sebab pada masa anak dalam kandungan
selama enam bulan gigi susu berwarna putih seperti susu,
sehingga disebut gigi susu. Gigi susu mempunyai pengaruh
yang cukup besar terhadap pertumbuhan gigi tetap sebagai
penggantinya, bila gigi susu tidak dirawat maka akan
merugikan pertumbuhan gigi tetap.
Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan
oleh mikroorganisme hidup, terutama fungsi dan bakteri
yang memiliki kemampuan mematikan atau menghambat
pertumbuhan jumlah bakteri dan virus, sedangkan tingkat
toksik bagi manusia relatif kecil. Pemberian antibiotik yang tidak tepat sejak usia dini dapat menimbulkan elergi di
masa yang akan datang.
Pengetahuan merupakan hasil tahu dari manusia
dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan kebersihan gigi
dan mulut meliputi tentang menyikat gigi, makanan yang
mempengaruhi kesehatan gigi serta pengetahuan tentang
kapan pemeriksaan gigi secara periodik dilakukan.
Pengetahuan orang tua, khususnya ibu tentang
penggunaan antibiotik pada masa kehamilan sangat
berperan penting terhadap kesehatan gigi anak balita,
terutama pada masa pertumbuhan gigi susu yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan gigi tetap sebagai
pengganti gigi susu. Adanya gangguan email pada benih gigi tetap
akibat infeksi gigi susu yang mengenai benih gigi
dibawahnya juga dapat menimbulkan kelainan pada email
gigi yang menyebabkan warna gigi tetap menjadi
kecoklatan atau abu-abu, tergantung dari frekuensi
pemakaian obat selama pembentukan gigi.
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin
mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang penggunaan
antibiotik pada masa kehamilan terhadap pewarnaan gigi
anak balita di Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan
Tuntungan
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut,
penulis ingin melakukan penelitian tentang bagaimana
tingkat pengetahuan ibu tentang penggunaan antibiotik
pada masa kehamilan terhadap pewarnaan gigi anak balita
di Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang
penggunaan antibiotik pada masa kehamilan terhadap pewarnaan gigi anak balita di Kelurahan Lau Cih
Kecamatan Medan Tuntungan.
1. Untuk mengetahui pengetahuan ibu tentang waktu
penggunaan antibiotik pada masa kehamilan
terhadap pewarnaan gigi anak balita.
2. Untuk mengetahui pengetahuan ibu tentang
dosis/ukuran penggunaan antibiotik pada masa
kehamilan terhadap pewarnaan gigi anak balita.
55
3. Untuk mengetahui jenis antibiotik yang di gunakan
pada masa kehamilan pada pewarnaan gigi anak
balita.
Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan dan pengetahuan bagi ibu-ibu Warga Lau
Cih kecamatan Medan Tuntungan.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
masukan bagi ibu-ibu Warga Lau Cih Kecamatan
Medan Tuntungan dalam menjaga kesehatan gigi anak balita.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan pengetahuan bagi peneliti dan sebagai
masukan bagi peneliti lain.
Karangka Konsep
Defenisi Operasional
1. Tingkat pengetahuan ibu tentang penggunaan
antibiotik pada masa kehamilan adalah pemahaman
responden mengenai tingkat pengetahuan tentang
penggunaan antibiotik yang digolongkan pada kata
gori baik, sedang dan buruk berdasarkan kuesioner.
2. Ibu adalah yang memiliki balita di Kelurahan Lau
Cih Kecamatan Medan Tuntungan.
3. Pewarnaan gigi anak balita adalah perubahan warna pada gigi anak balita dikarenakan pemberian
antibiotik yang berlebihan .
4. Pewarnaan adalah perubahan warna pada gigi
dikarenakan pemberian antibiotik yang berlebihan
pada masa kehamilan.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah
penelitian deskriptif dengan metode survy yang
dilakukan pemeriksaan langsung pada ibu yang
memiliki balita dengan tujuan untuk mengetahui gambaran mengenai pengetahuan ibu tentang
penggunaan antibiotik pada masa kehamilan terhadap
pewarnaan gigi anak balita di Kelurahan Lau Cih
kecamatan Medan Tuntungan
Populasi
Populasi adalah kumpulan elemen-elemen yang
memiliki sejumlah sifat-sifat tertentu. Populasi adalah ibu-
ibu yang memiliki anak balita di Kelurahan Lau Cih
Kecamatan Medan Tuntungan.
Sampel Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek
yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi.
Dalam penelitian ini jumlah sampel penelitian sebanyak 30
orang.
Kriteria inklusi sampel yaitu :
1. Ibu memiliki anak balita
2. Masa hamil pernah menggunakan antibiotik
Jenis dan cara penelitian
Data yang diambil dalam penelitian adalah data
primer dengan memberikan kuesioner yang secara
langsung diberikan pada ibu yang mempunyai anak balita.
Sebelum kuesioner dibagikan, peneliti terlebih dahulu menjelaskan masing-masing butir pertanyaan kepada ibu
yang mempunyai anak balita. Selain itu, peneliti
membagikan daftar kuesioner untuk diisi. Isi dari kuesioner
diupayakan untuk memperoleh data seberapa besar
gambaran tingkat pengetahuan ibu terhadap pewarnaan
gigi anak balita. Setelah kuesioner diisi maka peneliti
mengambil kembali hasil kuesioner.
Bentuk kuesioner yang diambil dalam penelitian
adalah bentuk pertanyaan berupa multiple choice yang
terdiri dari dua pilihan dan masing-masing mempunyai
nilai tertentu : 1. Untuk menjawab yang benar, skor nilai 1 (satu)
2. Untuk menjawab yang salah, skor nilainya 0 (nol)
Rumus untuk mencari kuesioner
RUMUS = Sekor maksimum–skor minimum
3
Maka kriteria pengetahuan yang diperoleh dengan
penggenapan adalah:
- Baik = 7-10
- Sedang = 4-6
- Buruk = 0-3 Bahan/instrument yang digunakan adalah :
- Kuesioner
Pengolahan Data Dan Analisa Data
Setelah data dikumpulkan dilakukan analisa data
dengan cara manual dan disajikan bentuk tabel distribusi
frekuensi. Pengolahan data dan analisa data meliputi:
1. Menghitung tingkat pengetahuan ibu tentang
pemberian antibiotik terhadap pewarnaan gigi anak
balita di Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2011.
2. Memeriksa pewarnaan gigi pada anak balita di
Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan.
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada
30 orang ibu-ibu yang mempunyai anak balita di
Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan, maka
didapat hasil sebagai berikut :
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakter Ibu
berdasarkan Umur dan Tingkat Pendidikan
Pengetahuan
ibu tentang
Penggunaan
antibiotik
Pewarnaan
gigi
Anak balita
56
Dari tabel dapat diketahui bahwa dari 30 orang ibu-
ibu yang berumur 24-30 adalah 10 orang (33,33%),
memiliki umur 31-37 adalah 10 orang (33,33%), memiliki
umur 38-44 adalah 8 orang (26,66%) dan memiliki umur
45-50 adalah 2 orang (6,66%). Sedangkan yang memiliki
tingkat pendidikan SD adalah 2 orang (6,66%), memiliki
pendidikan SMP adalah 5 orang (16,66%), memiliki
pendidikan SLTA adalah 16 orang (53,33%) dan
memiliki pendidikan D3-S1 adalah 7 orang (23,33%)
Tabel 4. 2 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan
Ibu tentang penggunaan Antibiotik pada masa
kehamilan terhadap pewarnaan gigi anak balita di
Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan.
No Tingkat
Pengetahuan (n) (%)
1 Baik 20 66.66
2 Sedang 10 33,33
3 Buruk 0 0
Jumlah 30 100
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 30
ibu-ibu yang mempunyai anak balita di kelurahan Lau Cih
Kecamatan Medan Tuntungan, paling banyak
mempunyai tingkat pengetahuan baik yaitu sebanyak 20 orang (66,66%), memiliki tingkat pengetahuan sedang 10
orang dan (33,33%) dan tidak ada ibu-ibu yang
memiliki tingkat pengetahuan buruk (0%)
PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan
bahwa tingkat pengetahuan ibu adalah baik (56,66%) dan
tidak ada ibu-ibu yang tingkat pengetahuannya buruk
(0%). Hal ini kemungkinan disebabkan karena sebagian
besar ibu (76,66%) sudah memiliki pendidikan SMA ke
atas.
Sebagian ibu (46,66%) sudah mengetahui tentang
antibiotik, sebagian ibu (70%) pada masa hamil
menggunakan antibiotik saat bila sakit, namun masih ada
ibu (60%) yang tidak mengetahui kegunaan antibiotik.
Dari hasil penelitian yang diperoleh bahwa sebagian ibu
(30%) tidak mengetahui bahwa tetrasiklin salah satu jenis
antibiotik yang dapat menyebabkan perubahan warna gigi
anak. Antibiotik merupakan obat yang dapat membunuh bakteri penyebab infeksi. Merupakan obat daftar generik,
pemakaian harus berdasarkan resep dokter. Penyakit-
penyakit yang dapat disembuhkan dengan menggunakan
antibiotik adalah penyakit pilek, batuk berkepanjangan
selama lima hari, TBC, infeksi saluran kemih, penyakit
tyhpus dan diare yang disertai lendir atau darah dan
penyakit infeksi lainnya. Efek samping dari pengguna
antibiotik bakteri menjadi kebal, mual, muntah, diare, gigi
kuning/rusak dan gangguan kulit.
(http://www.diskopjatim.go.id/lens)
Sebagian ibu menggunakan antibiotik pada masa kehamilan sesuai dengan dosis 93,33% dan masih ada ibu
yang tidak menggunakan antibiotik sesuai dengan resep
sebesar 10%.
Penggunaan antibiotik dapat menyembuhkan
penyakit, terutama penyakit infeksi tetapi antibiotik dapat
berbahaya bila tidak digunakan dengan tepat. Sesuai
anjuran dokter yang tertera pada resep obat untuk ibu hamil
dan menyusui, bayi/balita, pasien gagal ginjal, gagal hati,
harus gunakan dengan rekomendasi dari dokter.
(http://www.diskopjatim.go.id/lensa)
Sebagian besar ibu (66,66%) tidak mengetahui
kegunaan antibiotik pada masa kehamilan dapat menyebabkan perubahan gigi anak. Menurut pendapat
Gracianti Afrilina (2006). banyak faktor yang
mempengaruhi terjadinya pewarnaan pada gigi tetap yang
menyebabkan perubahan warna gigi menjadi kecoklatan
bahkan abu-abu. Antibiotik tetrasiklin merupakan salah
satu jenis obat yang dapat menyebabkan kelainan warna
gigi, yang terjadi bila terlalu banyak dikonsumsi selama
masa pembentukan gigi. Ibu hamil dan menyusui
sebaiknya tidak minum obat antibiotik jenis tetrasiklin,
begitu pula dengan anak-anak di bawah usia tujuh tahun.
Karena pada usia tersebut masih berlangsung pembentukan gigi tetap.
Sebagian besar ibu mengetahui pengaruh
penggunaan antibiotik pada masa kehamilan sebesar
100%. Pendapat jane chumbley (2003). Para praktisi
kesehatan gigi dan medis sangat menyadari berbagai resiko
yang mengancam gigi bayi dalam kandungan akibat
pemberian antibiotik yang mengandung tetrasiklin pada
ibu hamil. Hal ini dapat menyebabkan perubahan warna
pada gigi bayi yang sedang terbentuk saat itu, tetapi baru
akan terlihat ketika gigi tersebut tumbuh
Kesimpulan 1. Tingkat pengetahuan ibu-ibu tentang penggunaan
antibiotik pada masa kehamilan terhadap pewarnaan
gigi anak balita di kelurahan Lau Cih Kecamatan
Medan Tuntungan dengan tingkat pengetahuan yang
baik adalah 20 orang (66,66%), 10 orang (33,33%)
memiliki pengetahuan sedang dan tidak ada orang
No Karakteristik ibu n (0%)
1
2
Berdasarkan umur
- 24-30
- 31-37
- 38-44
- 45-50
Berdasarkan tingkat
pendidikan
- SD
- SMP
- SLTA
- Perguruan tinggi (D3,S1)
10
10
8 2
2
5
16
7
33,33
33,33
26,66 6,66
6,66
16,66
53,33
23,33
57
ibu-ibu yang memiliki tingkat pengetahuan buruk
(0%).
2. Para ibu (83,3%) pernah mengkonsumsi antibiotik
tetapi belum mengetahui bahwa Antibiotik dapat
mengakibatkan pewarnaan gigi anak balita.
Saran
1. kepada petugas kesehatan memberikan penyuluhan
kepada masyarakat khususnya ibi-ibu di posyandu
Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan tentang
penggunaan antibiotik pada masa kehamilan terhadap pewarnaan gigi anak balita.
2. Kepada ibu hamil hendaknya menggunakan obat
sesuai resep yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Afrilina, Gracianti, dkk. 2006. Masalah Gigi Anak dan
Solusinya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Chumbely, jane, dkk. 2003. Merawat Gigi Bayi. Jakarta :
Erlangga
Notoatmojo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan
Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta
Notoatmojo, Soekidjo. 2002. Defenifi Pengetahuan Jakarta
: Rineka Cipta
Ramadhan, Ardyan Gilang. 2010. Serba Serbi Kesehatan Gigi dan Mulut. Jakarta : Bukune
Tjay, Tan Hoan, dkk. 2002. Edisi V. Farmakologi
www.Annehira. Com, Manfaat antibiotic
http://www.Artikata. Com/arti-319242-antibiotik.
html,defenisiantibiotikhttp://www.diskopjatim.co.id
/lensawww.sehatgroup. Web. Id /?=695-tombolok-
mirippanduan penyusunan KTI Poltekes Medan,
2006
58
PERANAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK OLEH MAHASISWA TINGKAT
II JKG TERHADAP SIKAP PASIEN ANAK DALAM TINDAKAN
PENCABUTAN GIGI DI KLINIK JKG
POLTEKKES KEMENKES RI MEDANTAHUN 2017
Rawati Siregar, Cindy Fortunella Harefa
Jurusan Keperawatan Gigi Politeknik Kesehatan Kemenkes RI Medan
Abstrak
Komunikasi Terapeutik merupakan proses penyampaian pesan terhadap pasien dalam melakukan perawatan
dengan tujuan untuk membina hubungan yang baik antara pasien dan perawat dan menciptakan rasa
kerjasama selama proses perawatan gigi yang dilakukan pada pasien anak umur 6-12 tahun di Klinik Jurusan
Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes RI Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Peranan
Komunikasi Terapeutik Oleh Mahasiswa Tingkat II Jurusan Keperawatan Gigi Terhadap Sikap Pasien Anak
dalam Tindakan Pencabutan Gigi di Klinik Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes RI Medan.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik uji Chi-Square dengan metode survey dan desain Quasi Experiment. Adapun pengambilan sampel dengan purposive sampling, sampel sebanyak 46 dari 342
populasi . Hasil analisa univariat diperoleh data bahwa sampel yang tidak melakukan komunikasi
terapeutik, sebanyak 19 sampel (82,7%) yang tidak kooperatif dan sebanyak 4 sampel (17,7%) yang
kooperatif. Sedangkan sampel yang melakukan komunikasi terapeutik sebanyak 6 sampel (26%) yang tidak
kooperatif dan sebanyak 74 sampel (74%) yang kooperatif, Hasil uji chi-square didapatkan nilai p=0,000
(p<0,05) maka Ha diterima dan Ho di tolak yang berarti bahwa ada Peranan Komunikasi Terapeutik Oleh
Mahasiswa Tingkat II Jurusan Keperawatan Gigi Terhadap Sikap Pasien Anak. Komunikasi Terapeutik
memiliki peranan penting dalam melaksanakan tindakan pencabutan gigi terhadap sikap anak yang
kooperatif.
PENDAHULUAN
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara
fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomi (UU No. 36 Tahun 2009). Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang optimal (UU Kesehatan No. 23 Tahun
1992).
Tubuh yang sehat tidak terlepas dari memiliki
rongga mulut yang sehat. Kesehatan rongga mulut
merupakan bagian integral dari kesehatan umum
(Pintauli., dkk,). Berdasarkan hasil data dari
PUSDATIN Kementerian Kesehatan RI 2014,
persentase penduduk yang mempunyai masalah gigi
dan mulut dari tahun 2007 sebesar 23% dan tahun 2013 sebesar 26%.
Komunikasi adalah proses penyampaian
gagasan, harapan dan pesan yang disampaikan melalui
lambang-lambang tertentu, mengandung arti, dilakukan
oleh penyampaian pesan, dan ditujukan pada penerima
pesan (Edward Depari). Salah satu komunikasi yang
dapat digunakan dalam perawatan Gigi anak adalah
komunikas terapeutik bertujuan agar anak menerima
perawatan yang akan diterimanya.
Komunikasi Terapeutik adalah proses
penyampaian pesan, makna dan pemahaman perawat
untuk proses penyampaian pesan, makna, dan pemahaman perawat untuk proses penyembuhan
pasien. Komunikasi menjadi penting karena menjadi
sarana untuk membina hubungan yang baik antara
pasien dengan tenaga kesehatan (Mustikasari, dalam
istichomah, A.M,2009).
Komunikasi dalam perawatan disebut dengan
komunikasi Terapeutik, dalam hal ini komunikasi yang
dilakukan oleh perawat pada saat melakukan
Komunikasi Teraupeutik harus mampu memberi
dampak dan khasiat Terapi bagi Proses penyembuhan
Pasien. Oleh sebab itu, seorang perawat harus mampu
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan aplikasi Komunikasi Terapeutik agar kebutuhan dan kepuasan
pasien dapat terpenuhi (Ode, S. L,2012).\ Umumnya,
usia 6-12 Tahun adalah masa pergantian Gigi anak,
yaitu pergantian gigi susu menjadi gigi dewasa.
kadang-kadang ada anak yang terlambat pada masa
pergantianya. Selama tidak terjadi masalah, hal itu
biasanya dianggap sepele, namun kadang-kadang gigi
dewasa muncul pada saat gigi susu belum tanggal. Hal
59
inilah yang sangat dikhawatirkan, dan inilah yang
disebut dengan Persistensi. Dan inilah akan membuat
gigi si anak dapat menjadi berjejal. Untuk itu jika sudah
seperti ini bawalah anak yang sudah mengalami hal
seperti ini untuk diperiksakan dan memastikan apakah
gigi sianak harus dicabut atau tidak.
Berdasarkan Survey awal yang dilakukan di
klinik JKG Poltekkes Medan, kurang lebih 50% anak tidak Koperatif pada waktu dilakukan tindakan
pencabutan gigi.
Berdasarkan Uraian diatas, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang peranan
komunikasi terapeutik oleh mahasiswa tingkat II JKG
terhadap sikap pasien anak dalam tindakan pencabutan
gigi di Klinik JKG Poltekkes Kemenkes RI Medan.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui peranan komunikasi terapeutik oleh
mahasiswa tingkat II JKG terhadap sikap pasien anak
dalam tindakan pencabutan gigi di Klinik JKG Poltekkes Kemenkes RI Medan tahun 2017. Sedangkan
manfaat penelitian ini adalah :
1. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan dan melatih peneliti mengembangkan
pengetahuan berfikir secara objektif dan menjadi
bahan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Sebagai informasi dan bahan masukan bagi
mahasiswa/i jurusan keperawatan gigi dalam
memberikan perawatan gigi terhadap anak,
Termasuk Dalam Pencabutan Gigi.
3. Meningkatkan keinginan anak untuk menerima
perawatan gigi dari perawat gigi. 4. Sebagai sumber data dan informasi bagi peneliti
lain yang sejenis.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Desain Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan pada penelitian
ini adalah penelitian Analitik dengan metode survey
dan desain penelitian yang digunakan adalah desain
atau pendekatan belah lintang (cross-sectional study),
dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan komunikasi terapeutik oleh mahasiswa tingkat
II JKG terhadap sikap pasien anak dalam tindakan
pencabutan gigi di Klinik JKG Poltekkes Kemenkes RI
Medantahun 2017.
Populasi dan Sampel Populasi adalah keseluruhan objek penelitian
atau seluruh objek yang di teliti oleh peneliti (Soekidjo,
2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
mahasiswa JKG Poltekkes Kemenkes RI Medan
berjumlah 324 orang. Sedangkan sampel berjumlah 46
orang, diambil secara purposive sampling.
HASIL
Data yang dikumpulkan adalah hasil penelitian
yang dillakukan terhadap mahasiswa/i tingkat II JKG
Poltekkes Kemenkes RI Medan. Pengambilan data
dilakukan dengan pemberian kuesioner terhadap
responden yang tidak melakukan dan yang melakukan
komunikasi terapeutik, maka di peroleh data tentang sikap
pasien anak. Setelah seluruh data terkumpul, dibuatlah
analisa data dengan cara membuat table distribusi
frekuensi untuk masing-masing sampel, kemudian
dilakukan pengolahan data statistik dengan uji Chi Square
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Mahasiswa Tingkat II
JKG yang melakukan dan yang tidak melakukan
komunikasi terapeutik pada pasien anak di JKG
Poltekkes Kemenkes RI Medan Tahun 2017
Komunikasi Terapeutik N Persentase
Melakukan
Tidak Melakukan
23
23
50 %
50 %
Total 46 100 %
Dari tabel 4.1 diatas, dapat diketahui bahwa jumlah
mahasiswa tingkat II JKG yang melakukan komunikasi
terapeutik sebanyak 23 orang (50,0%) dan jumlah
mahasiswa tingkat II JKG yang tidak melakukan komunikasi terapeutik sebanyak 23 orang (50,0%). Jadi,
jumlah sampel keseluruhan adalah 46 orang.
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Sikap Pasien anak
dalam tindakan Pencabutan Gigi pada pasien anak di
Klinik JKG Poltekkes Kemenkes RI Medan oleh
mahasiswa tingkat II JKG yang tidak melakukan
Komunikasi Terapeutik Tahun 2017
Kategori Sikap n Persentase
Tidak Kooperatif Kooperatif
19 4
82,7 17,3
Total 23 100
Dari tabel 4.2 diatas dapat diketahui bahwa dari 23
mahasiswa tingkat II JKG yang tidak melakukan
komunikasi terapeutik, sebanyak 19 orang (82,7%) yang tidak kooperatif dan sebanyak 4 orang (17,7%) yang
kooperatif.
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi sikap pasien anak dalam
tindakan pencabutan gigi pada pasien anak di Klinik
JKG Poltekkes Kemenkes RI Medan oleh mahasiswa
tingkat II JKG yang melakukan Komunikasi
Terapeutik Tahun 2017
Kategori Sikap N Persentase
Tidak Kooperatif Kooperatif
6 17
26 74
Total 23 100
Dari tabel 4.3 diatas dapat diketahui bahwa dari 23
mahasiswa tingkat II JKG yang melakukan komunikasi
terapeutik, sebanyak 6 orang (26%) yang tidak kooperatif
dan sebanyak 17 orang (74%) yang kooperatif.
60
Tabel 4.4 Peranan komunikasi terapeutik oleh
mahasiswa tingkat II JKG terhadap sikap pasien anak
dalam tindakan pencabutan gigi di Klinik JKG
Poltekkes Kemenkes RI Medantahun 2017
Variabel
Sikap Anak
df p Tidak Kooperatif
Koope ratif
Variabel Komunikasi Terapeutik
Tidak Melakukan Melakukan
19 6
4
17 1
0, 000
Hasil uji dengan menggunakan uji Chi Square dengan IK 95% maka didapat nilai p=0,000 (p<0,05)
artinya ada peranan yang signifikan antara komunikasi
terapeutik oleh mahasiswa tingkat II JKG terhadap sikap
pasien anak dalam tindakan pencabutan gigi di Klinik JKG
Poltekkes Kemenkes RI Medantahun 2017
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat Peranan
Komunikasi Terapeutik Oleh Mahasiswa Tingkat II
Jurusan Keperawatan Gigi Terhadap Sikap Pasien Anak
dalam Tindakan Pencabutan Gigi. Jumlah sampel pada
penelitian ini adalah 46 sampel dari mahasiwa Tingkat II JKG Poltekkes Kemenkes RI Medan Tahun 2017 yang
dipilih secara purposive sampling. Hasil analisa univariat
tabel 4.2 diperoleh data bahwa dari 23 mahasiswa tingkat
II JKG yang tidak melakukan komunikasi terapeutik,
sebanyak 19 orang (82,7%) yang tidak kooperatif dan
sebanyak 4 orang (17,7%) yang kooperatif. Hal ini terjadi
karena pasien anak merasa takut terhadap tindakan
pencabutan gigi yang dilakukan. Komunikasi yang tidak
sesuai dengan keinginan pasien anak, membuat pasien
anak tersebut menganggap bahwa tindakan pencabutan
gigi yang akan dilakukan terhadap dirinya sangat menyakitkan atau akan menyakiti dirinya, sehingga banyak
pasien anak yang menangis, takut, berontak bahkan ada
yang kabur melihat tindakan yang diberikan oleh perawat
gigi di klinik. Peristiwa seperti ini mengakibatkan gagalnya
perawat gigi dalam memberikan perawatan berupa
tindakan pencabutan gigi pada anak seusia 6-12 tahun
tersebut.
Komunikasi Terapeutik adalah proses penyampaian
pesan, makna dan pemahaman perawat untuk proses
penyembuhan pasien(Istichomah, M 2009). Komunikasi
terpeutik befungsi untuk mendorong kerjasama antara
perawat dan klien, menganjurkan kerjasama antara perawat dan klien mengatasi persoalan pasien koperatif serta
mencegah adanya tindakan negative terhadap pertahanan
diri pasien (Ode 2012). Hasil analisa univariat table 4.3
diperoleh bahwa dari 23 mahasiswa tingkat II JKG yang
melakukan komunikasi terapeutik, sebanyak 6 orang
(26%) yang tidak kooperatif dan sebanyak 17 orang (74%)
yang kooperatif. Hal ini terjadi Karena perlakuan yang
diberikan yaitu komunikasi terapeutik pada saat tindakan
pencabutan gigi membuat pasien anak kooperatif dalam
menerima tindakan tersebut.
Dari hasil analisa univariat kedua kelompok sampel
yang diukur tersebut dapat diketahui bahwa kelompok
sampel yang melakukan komunikasi terapeutik dalam
tindakan pencabutan gigi, sikap pasien anak lebih
kooperatif dari pada kelompok sampel yang tidak
melakukan komunikasi terapeutik. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Ngudi Waluyo tahun 2011
dengan hasil menunjukkan bahwa ada hubungan komunikasi dengan terapeutik terhadap perilaku anak usia
sekolah dalam pencabutan gigi di Puskesmas Ambarawa
denga p-value sebesar 0,003.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab
sebelumnya maka dapat disimpulkan :
1. Sikap pasien anak dalam tindakan pencabutan gigi
pada pasien anak di Klinik JKG Poltekkes Kemenkes RI Medan oleh mahasiswa tingkat II JKG yang tidak
melakukan Komunikasi Terapeutik tahun 2017
diperoleh data bahwa dari 23 mahasiswa tingkat II JKG
yang tidak melakukan komunikasi terapeutik, sebanyak
19 orang (82,7%) yang tidak kooperatif dan sebanyak 4
orang (17,7%) yang kooperatif. Dari data menunjukkan
pasien anak tidak kooperatif.
2. Sikap pasien anak dalam tindakan pencabutan gigi
pada pasien anak di Klinik JKG Poltekkes
Kemenkes RI Medan oleh mahasiswa tingkat II
JKG yang tidak melakukan Komunikasi Terapeutik
tahun 2017 diperoleh data bahwadari 23 mahasiswa tingkat II JKG yang melakukan komunikasi
terapeutik, sebanyak 6 orang (26%) yang tidak
kooperatif dan sebanyak 17 orang (74%) yang
kooperatif. Dari data menunjukan pasien anak
kooperatif.
3. Hasil uji dengan menggunakan uji Chi Square dengan
IK 95% maka didapat nilai p=0,000 (p<0,05) artinya
ada peranan yang signifikan antara komunikasi
terapeutik oleh mahasiswa tingkat II JKG terhadap
sikap pasien anak dalam tindakan pencabutan gigi di
Klinik JKG Poltekkes Kemenkes RI Medantahun 2017.
Saran
Diharapkan kepada setiap perawat gigi yang
melakukan tindakan pencabutan gigi pada pasien anak,
agar menguasai dan memahami penerapan komunikasi
terapeutik, karena hal ini dapat membantu dalam mencapai
keberhasilan perawatan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Dalami, E., dkk. 2009. Buku Saku Komunikasi Keperawatan. Jakarta : Infomedia.
Hidayat, R., dkk. 2016. Perawatan Gigi. Yogyakarta:
Andi.
Hutagalung,I. 2015. Teori-teori Komunikasi dalam
Pengaruh Psikologi.Jakarta :Indek.
61
InfoDATIN. 2014.Situasi Kesehatan Gigi dan Mulut.
Jakarta : Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI
Istichomah,A,m. 2009. Komunikasi Terapeutik
Panduan bagi perawat, KDT Yogyakarta
Notomoadjo, S. 2012. Metodologi Kesehatan. Edisi 3.
Jakarta : PT. Rineka Cipta
Ode,S.L.2012. Konsep Dasar Keperawatan , Nuha Medika Jakarta
-----------------.2013. Promosi Kesehatan Teori dan
aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta
Pintauli, S., dkk. 2016. Menuju Gigi & Mulut Sehat ;
Pencegahan dan Pemeliharaan. Medan : USU
Press
Wulandari, D. 2009. Komunikasi dan konseling dalam
Praktek Kebidanan, Yogyakarta : Nuha Medika.
Adhy89.blogspot.co.id/2012/12/indikasi-kontra-indikasi-pencabutan.html?m=1
62
PENGETAHUAN SISWA TENTANG SEKS PRANIKAH DI SMA NEGERI 1
BERASTAGI TAHUN 2017
Susanti br Perangin-Angin*
Dosen Poltekkes Kemenkes Medan
ABSTRACT
Sexuality issues until recently an interesting topic that is always discussed. One of the sexual problems that
are often discussed premarital sex. Negative impact of premarital sex is very disturbing society. Dai recent
survey in 33 provinces in 2008 by the National Family Planning Coordinating Board (BKKBN) reported
63% of adolescents in Indonesia between the ages of SMP and high school already having sexual relations
outside marriage. The percentage of teens who had sexual intercourse before marriage has increased
compared to previous years. This study aims to determine the level of knowledge of students of SMA Negeri
1 Berastagi Karo District Berastagi about premarital sex. Research is descriptive research, sample number
as many as 50 people. Sampling technique using total sampling technique that is all the population sampled
data was collected using questionnaires and interviews. Data analysis using desscriptive statistics. Test
results of students' level of knowledge of SMA Negeri 1 Berastagi Karo District Berastagi regarding
premarital sex by 58% were categorized with poor knowledge. From the results of these studies are expected to the school and parents can play an active role in providing information on reproductive health and sex
education to the students.
Keywords : free sex, teen, level of knowledge
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah
satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan
sesuaiyang dengan cita –cita bangsa Indonesia,
sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-
Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945. Berkaitan
dengan hal itu, undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2009 tentang program Kesehatan
menyatakan bahwa derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya dicapai melalui penyelenggaraan
pembangunan kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,2011).
Remaja dalam memasuki masa peralihan tanpa
pengetahuan yang memadai tentang seksual pranikah. Hal
ini disebabkan orang tua merasa tabu membicarakan
masalah seksual dengan anaknya dan hubungan orang tua
anak menjadi jauh sehingga anak berpaling ke sumber-
sumber lain yang tidak akurat khususnya teman
(Sarwono,2006).
Remaja banyak yang tidak sadar dari pengalaman
yang tampaknya menyenangkan justru dapat
menjerumuskan, salah satu problema dari kaum remaja apabila kurangnya pengetahuan seksual pranikah adalah
kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi tidak aman dan
juga penyakit kelamin (Chyntia,2003). Pengetahuan
tentang seksual pranikah dapat mempengaruhi sikap
individu tersebut terhadap seksual pranikah.
(Adikusuma,2005).
Sikap seksual pranikah remaja banyak
dipengaruhi oleh banyak hal, selain dari faktor pengetahuan juga dipengaruhi oleh faktor kebudayaan,
orang lain yang dianggap penting, media massa,
pengalaman pribadi, lembaga pendidikan, lembaga agama
dan emosi dari dalam individu. Sikap seksual pranikah
remaja bias berwujud negatif atau positif, sikap positif
kecenderungan tindakan adalah mendukung seksual
pranikah sedangkan sikap negative kecenderungan
tindakan adalah menghindari seksual pranikah remaja
(Azwar,2009).
Remaja mulai mempersiapkan diri menuju
kehidupan dewasa, termasuk dalam aspek seksualnya.
Dengan demikian dibutuhkan sikap yang bijaksanadari para orang tua, pendidik dan masyarakat pada umumnya
serta tentunya dari remaja itu sendiri, agar mereka dapat
melewati masa transisi itu dengan selamat
(Sarwono,2006).
Menurut Sarwono (2006), ada beberapa factor
yang dianggap berperan dalam munculnya permasalahan
seksual pada remaja, diantaranya perubahan-perubahan
hormonal yang dapat meningkatkan hasrat seksual remaja,
penyebaran informasi yang salah misalnya dari buku-buku
dan VCD porno, rasa ingin tahu yang sangat besar, serta
kurangnya pengetahuan yang didapat dari orang tua dikarenakan orang tua mengganggap hal tersebut tabu
untuk dibicarakan.
63
Terdapat beberapa alasan lain yang menyebabkan remaja
pada akhirnya melakukan seks pranikah. Diantaranya
sebagai bukti cinta dan sangat mencintai pacar, dijanjikan
akan menikah, rasa ingin tahu yang sangat tinggi tentang
seksualitas, ingin mencoba, takut mengecewakan pacar,
takut diputus pacar serta kurangnya pengetahuan tentang
seksualitas yang didapat dari keluarga dan sekolah.
Umumnya remaja kurang menyadari akibat-akibat buruk yang dapat ditimbulkan dari perilaku seks bebas tersebut,
seperti kehamilah, putus sekolah, tertular penyakit kelamin
dan HIV/AIDS. Kurangnya pengetahuan yang didapat dari
orang tua dan sekolah mengenai seksualitas membuat para
remaja mencari tahu sendiri dari teman atau lingkungan
bermainnya yang bias saja pengetahuan tersebut salah.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka sangat
diperlukan adanya pengetahuan seks yang benar bagi
remaja. Pengetahuan seks yang tentu saja bertujuan untuk
membimbing dan menjelaskan tentang perubahan fungsi
organ seksual sebagai tahapan yang harus dilalui dalam kehidupan manusia serta dengan penanaman nilai-nilai
seksualitas itu sendiri.
Selama ini pendidikan seks telah dilakukan
dibeberapa sekolah, namun jarang sekali memasukkan
unsur nilai-nilai seksualitas didalamnya. Untuk itu
penelitian ini dilakukan guna mengetahui sejauhmana
tingkat pengetahuan siswa terhadap Seks Pranikah di
Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Berastagi Tahun
2017.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : “Bagaimana
tingkat pengetahuan siswa terhadap Seks Pranikah di
Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Berastagi
Kabupaten Karo Tahun 2017 ?
METODE PENELITIAN
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat
deskriptif untuk menggambarkan tingkat pengetahuan dan
sikap tentang seks pranikah pada anak SMA Negeri 1
Berastagi Kabupaten Karo.
b. Waktu dan Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret -
April 2017 di SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten
Karo.
c. Populasi dan sampel Populasi penelitian ini adalah Siswa Kelas 10
SMA Negeri 1 Berastagi Kecamatan Berastagi
Kabupaten Karo Semester Genap Tahun 2017 yang
berjumlah 421 siswa dimana kelas 10 terdiri dari laki-
laki berjumlah 190 orang dan perempuan berjumlah
231 orang.
1. Kriteria Inklusi
Sampel merupakan siswa terpilih yang hadir
pada saat pengambilan sampel.
2. Kriteria Eksklusi
a. Sampel yang tidak bersedia diwawancarai
Metode sampling yang digunakan dalam
penelitian ini adalah non probability sampling yaitu quota
sampling. Untuk penetapan keterwakilan sampel terhadap
populasi ditentukan sampel sebesar 50 siswa kelas 10
SMA Negeri 1 Berastagi.
Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data primer yang diperoleh melalui pembagian kuesioner
dan diikuti dengan wawancara langsung dengan anak
Sekolah menengah atas (SMA) Negeri 1 Berastagi
Kabupaten Karo
Aspek Pengukuran
Dalam aspek pengukuran ini dilakukan untuk
mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dan sikap
tentang Seks Pranikah adalah sebagai berikut :
Pengetahuan
Adapun kriteria pertanyaan tingkat pengetahuan
mempunyai enam pilihan dengan pemberian skor sebagai
berikut :
A. Skor jawaban pertanyaan nomor 1 s/d 15 yaitu
1. 1 item jawaban benar maka skor dikali 1
2. 2 item jawaban benar maka skor dikali 1
3. 3 item jawaban benar maka skor dikali 1
4. 4 item jawaban benar maka skor dikali 2
5. 5 item jawaban benar maka skor dikali 2
6. tidak tahu maka skor dikali 1
Berdasarkan kriteria pemberian skor, pengetahuan anak sekolah dikategorikan dengan skala pengukuran
sebagai berikut :
Jadi Pengetahuan dikategorikan baik jika skor 76%-100%
dan kurang baik jika skor <76 %.
Analisa Data Analisa data dilakukan analisa untuk
menggambarkan (mendeskripsikan) masing-masing
variabel yang selanjutnya disajikan menggunakan tabel
distribusi frekuensi.
Hasil Penelitian
3.2. Karakteristik Responden
Untuk mengetahui karakteristik responden di
SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo maka dilakukan
pengumpulan data melalui kuesioner yang diikuti dengan
wawancara pada siswa tersebut. Berikut hasil
pengumpulan data mengenai karakteristik responden yang
terdiri dari umur responden dan sumber informasi tentang
kesehatan dari responden.
64
3.2.1. Umur Responden
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan umur
responden di SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo
Tahun 2017
No. Umur
Responden
( tahun )
Jumlah
(n)
Persentase
(%)
1 14 1 2
2 15 16 32
3 16 31 62
4 17 2 4
50 100
Tabel 1 diatas menyimpulkan bahwa umur
responden yang terbanyak adalah umur 16 tahun yaitu
sebanyak 31 orang ( 62 %) dan yang paling sedikit
berumur 14 sebanyak 1orang (2 %).
3.2.2. Sumber Informasi Tentang Kesehatan
Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan sumber
informasi tentang kesehatan responden di SMA Negeri
1 Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2017
No. Sumber
Informasi
Jumlah
(n)
Persentase
(%)
1 Media cetak 6 12
2 Media elektronik 11 22
3 Internet 42 84
4 Telepon
genggam
12 24
5 Petugas
kesehatan
23 46
6 Guru 25 50
7 Keluarga 35 70
8 Teman-teman 5 10
9 Tidak ada 1 2
Tabel 2 diatas menyimpulkan bahwa sumber
informasi tentang kesehatan responden di SMA Negeri 1
Berastagi Kabupaten Karo tahun 2017 paling banyak adalah dari adalah internet yaitu masing-masing 42 orang
(84%) dan paling sedikit dari n tidak ada dapat informasi
dari manapun adalah sebanyak 1 orang (2%).
3.3. Tingkat Pengetahuan Responden
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan
responden di SMA Negeri 1 Simpang Empat tentang Seks Pranikah dikumpulkan maka data melalui kusioner
yang diikuti dengan wawancara. Berikut ini adalah hasil
pengumpulan data terhadap responden di SMA Negeri
Berastagi Kabupaten Karo tahun 2017 tentang
pengetahuan Seks Pranikah dalam tabel distribusi dibawah
ini :
Tabel 3. Pengetahuan responden tentang penyebab
remaja melakukan seks pranikah di SMA Negeri 1
Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2017
No. Pilihan Jawaban Jumlah
1 Dorongan seks
yang kuat
Tidak tahu -
2 Pergaualan bebas 1 item
jawaban benar
13x1=13
3 Minimnya
pengetahuan
kesehatan reproduksi
2 item
jawaban benar
20x1=20
4 Maraknya
peredaran VCD
porno
3 item
jawaban benar
7x1=7
5 Pengaruh dari
berbagai media
elektronik
4 item
jawaban benar
3x2=6
6 Tidak tahu 5 item
jawaban benar
7x2=14
Jumlah 60
Tabel 3 diatas menyimpulkan bahwa penyebab
remaja melakukan seks pranikah SMA Negeri 1 Berastagi
Kabupaten Karo tahun 2017 paling banyak adalah memilih
2 item jawaban yang benar diantara 6 buah pilihan jawaban
yaitu sebanyak 20.
Tabel 4. Pengetahuan responden tentang faktor
penyebab remaja jatuh kedalam berbagai persoalan
seks di SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo
Tahun 2017
No. Pilihan Jawaban Jumlah
1 Pengaruh
lingkungan
pergaulan
Tidak tahu -
2 Akibat perubahan
hormonal
1 item
jawaban benar
18x1=18
3 Kurang informasi
tentang seks
2 item
jawaban benar
23x1=23
4 Orang tua yang
tertutup
3 item
jawaban benar
6x1=6
5 Situasi yang mendukung
4 item jawaban benar
1x2=2
6 Tidak tahu 5 item
jawaban benar
2x2=4
Jumlah 53
Tabel 4 diatas menyimpulkan bahwa pengetahuan
responden tentang faktor penyebab remaja jatuh kedalam
berbagai persoalan seks di SMA Negeri 1 Berastagi
Kabupaten Karo tahun 2017 yang paling banyak dipilih
adalah memilih 2 item jawaban yang benar diantara 6 buah
pilihan jawaban yaitu sebanyak 23 orang.
65
Tabel 5. Pengetahuan responden tentang
permasalahan yang dihadapi remaja dari segi perilaku
seksualnya sebagian besar diakibatkan di SMA Negeri
1 Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2017
No. Pilihan Jawaban Jumlah
1 Perubahan fisik Tidak tahu 2x1=2
2 Perubahan mental 1 item jawaban
benar
12x1=12
3 Pengaruh
lingkungan
2 item jawaban
benar
18x1=18
4 Pergaulan 3 item jawaban
benar
15x1=15
5 Pengetahuan kurang 4 item jawaban benar
3x2=6
6 Tidak tahu 5 item jawaban
benar
-
Jumlah 53
Dari tabel 5 diatas dapat diketahui bahwa
pengetahuan responden tentang permasalahan yang
dihadapi remaja dari segi perilaku seksualnya sebagian
besar diakibatkan di SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten
Karo tahun 2017 yang paling banyak dipilih yaitu memilih
2 item jawaban yang benar diantara 6 buah pilihan jawaban
yaitu sebanyak 18 orang.
Tabel 6. Pengetahuan responden tentang pertanyaan
apa yang pernah tentang kesehatan reproduksi di
SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2017
No. Pilihan Jawaban Jumlah
1 Umur ideal
perkawinan
Tidak pernah 10x1=10
2 HIV/AIDS dan
penyakit kelamin
lainnya
1 item jawaban
benar
26x1=26
3 Aborsi 2 item jawaban
benar
8x1=8
4 Menstruasi 3 item jawaban
benar
2x1=2
5 Perubahan-
perubahan yang
terjai masa remaja
kehamilan
4 item jawaban
benar
3x2=6
6 Tidak pernah 5 item jawaban benar
1x2=2
Jumlah 52
Dari tabel 6 diatas dapat diketahui bahwa
pengetahuan responden tentang pertanyaan apa yang
pernah tentang kesehatan reproduksi di SMA Negeri 1
yang paling banyak dipilih yaitu memilih 1 item jawaban
yang benar diantara 6 buah pilihan jawaban yaitu sebanyak
26 orang.
Tabel 7. Pengetahuan responden tentang faktor yang
memengaruhi perilaku seksual remaja di SMA Negeri
1 Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2017
No. Pilihan Jawaban Jumlah
1 Pengalaman seksual Tidak tahu -
2 Faktor keperibadian 1 item
jawaban benar
5x1=5
3 Pemahaman dan
penilaian nilai-nilai
agama
2 item
jawaban benar
16x1=16
4 Berfungsinya
keluarga dalam menjalankan fungsi
control
3 item
jawaban benar
10x1=10
5 Pengetahuan
tentang kesehatan
reproduksi
4 item
jawaban benar
7x1=7
6 Tidak tahu 5 item
jawaban benar
12x2=24
Jumlah 62
Dari tabel 7 dapat diketahui bahwa pengetahuan
responden tentang faktor yang memengaruhi perilaku
seksual remaja di SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten
Karo tahun 2017 yang banyak dipilih adalah memilih 2
item jawaban yang benar diantara 6 buah pilihan jawaban
yaitu sebanyak 16 orang.
Tabel 8. Pengetahuan responden tentang cara
seseorang menghindari seks diluar nikah di SMA
Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2017
No. Pilihan Jawaban Jumlah
1 Menghindari
pergaulan bebas
Tidak tahu -
2 Meningkatkan
pengetahuan
kesehatan
reproduksi
1 item
jawaban
benar
16x1=16
3 Berhati-hati dalam
memilih teman
2 item
jawaban
benar
4x1=4
4 Meningkatkan amal
ibadah
3 item
jawaban
benar
4x1=4
5 Perhatian dan pemantauan orang
tua
4 item jawaban
benar
2x4=8
6 Tidak tahu 5 item
jawaban
benar
7x2=14
Jumlah 46
Dari tabel 8 diatas dapat diketahui bahwa
Pengetahuan responden tentang cara seseorang
menghindari seks diluar nikah di SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo tahun 2017 yang paling banyak dipilih
66
adalah memilih 1 item jawaban yang benar diantara 6 buah
pilihan jawaban sebanyak 16 orang.
Tabel 9. Pengetahuan responden tentang cara
menghindari impuls seks terhadap lawan jenis (pacar)
di SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo Tahun
2017
No. Pilihan Jawaban Jumlah
1 Meningkatkan diri
kepada Tuhan
Tidak tahu 4x1=4
2 Mendengarkan
nasehat orang tua
1 item
jawaban
benar
9x1=9
3 Menghindari berduaan
ditempat sepi
2 item
jawaban
benar
7x1=7
4 Menghindari sentuhan
yang sifatnya dapat
merangsang
3 item
jawaban
benar
11x1=11
5 Bersikap rasional dan wajar apabila jatuh
cinta
4 item jawaban
benar
3x2=6
6 Tidak tahu 5 item
jawaban
benar
16x2=32
Jumlah 69
Dari tabel 9 dapat diketahui bahwa Pengetahuan
responden tentang cara menghindari impuls seks terhadap
lawan jenis (pacar) di SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten
Karo tahun 2017 yang paling banyak dipilih adalah
memilih jawaban tidak tahu diantara 6 buah pilihan
jawaban sebanyak 16.
Tabel 10. Pengetahuan responden tentang factor-
faktor yang menyebabkan remaja melakukan
hubungan seksual di SMA Negeri 1 Berastagi
Kabupaten Karo Tahun 2017
No. Pilihan Jawaban Jumlah
1 Pergaulan yang
terlalu bebas
Tidak tahu -
2 Kurangnya
pengawasan dari
orang tua
1 item
jawaban benar
7x1=7
3 Mencoba-coba seks 2 item
jawaban benar
20x1=20
4 Tersedianya alat
kontrasepsi secara
bebas
3 item
jawaban benar
9x1=9
5 Toleransi yang terlalu longgar
4 item jawaban benar
4x2=8
6 Tidak tahu 5 item
jawaban benar
10x2=20
Jumlah 64
Dari tabel 10 diatas dapat diketahui bahwa
Pengetahuan responden tentang cara menghindari impuls
seks terhadap lawan jenis (pacar) di SMA Negeri 1
Berastagi Kabupaten Karo tahun 2017 yang paling banyak
dipilih adalah memilih 2 item jawaban yang benar diantara
6 buah pilihan jawaban yaitu sebanyak 20 orang.
Tabel 11. Pengetahuan responden tentang dampak
psikologis dari perilaku seks pranikah di SMA Negeri 1
Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2017
No. Pilihan Jawaban Jumlah
1 Perasaan takut Tidak tahu 7x1=7
2 Depresi 1 item jawaban
benar
11x1=11
3 Rendah diri 2 item jawaban
benar
10x1=10
4 Cemas 3 item jawaban
benar
9x1=9
5 Merasa berdosa 4 item jawaban
benar
4x2=8
6 Tidak tahu 5 item jawaban
benar
9x2=18
Jumlah 63
Dari tabel 11 diatas dapat diketahui bahwa
Pengetahuan responden tentang dampak psikologis dari
perilaku seks pranikah di SMA Negeri 1 Berastagi
Kabupaten Karo tahun 2017 yang paling banyak dipilih
yaitu memilih 1 item jawaban yang benar diantara 6 buah pilihan jawaban sebanyak 11.
Tabel 12. Pengetahuan responden tentang Risiko yang
dihadapi remaja akibat perilaku seks pranikah di
SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2017
No. Pilihan Jawaban Jumlah
1 Kehamilan yang
tidak diinginkan
Tidak tahu -
2 Belum siap untuk
mengahadapi
kehamilan dan
persalinan
1 item
jawaban benar
7x1=7
3 Menjadi orang tua
pada masa remaja
2 item
jawaban benar
14x1=14
4 Terpaksa menikah dini
3 item jawaban benar
9x1=9
5 Aborsi 4 item
jawaban benar
9x2=18
6 Tidak tahu 5 item
jawaban benar
11x2=22
Jumlah 70
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa
pengetahuan responden tentang Risiko yang dihadapi
remaja akibat perilaku seks pranikah di SMA Negeri 1
Berastagi Kabupaten Karo tahun 2017 yang paling banyak
dipilih adalah memilih 5 item jawaban yang benar diantara
6 buah pilihan jawaban yaitu sebanyak 11.
67
Tabel 13. Pengetahuan responden tentang dampak
sosial yang timbul akibat melakukan seks pranikah di
SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2017
No. Pilihan Jawaban Jumlah
1 Dikucilkan Tidak tahu 1x1=1
2 Putus sekolah
karena hamil
1 item
jawaban benar
4x1=4
3 Perubahan peran
menjadi seorang ibu
2 item
jawaban benar
15x1=15
4 Dianggap wanita
yang tidak bermoral
3 item
jawaban benar
12x1=12
5 Tekanan
masyarakat yang mencela keadaan
tersebut
4 item
jawaban benar
6x2=12
6 Tidak tahu 5 item
jawaban benar
12x2=24
Jumlah 68
Dari tabel 13 diatas dapat diketahui bahwa
Pengetahuan responden tentang dampak sosial yang timbul
akibat melakukan seks pranikah di SMA Negeri 1
Berastagi Kabupaten Karo tahun 2017yang paling banyak
dipilih yaitu memilih 2 item jawaban yang benar diantara 6
buah pilihan jawaban yaitu sebanyak 15 orang.
Tabel 14. Pengetahuan responden tentang alasan
remaja melakukan seks pranikah di SMA Negeri 1
Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2017
No. Pilihan Jawaban Jumlah
1 Karena mereka
pelaku yang aktif
seksual
Tidak tahu 4x1=4
2 Karena suka dan
cinta pada
pasangannya
1 item
jawaban benar
19x1=19
3 Karena menyukai
seks tersebut
2 item
jawaban benar
15x1=15
4 Karena
keingintahuan yang
besar terhadap seks
itu sendiri
3 item
jawaban benar
6x1=6
5 Dorongan seksual yang tinggi
4 item jawaban benar
3x2=6
6 Tidak tahu 5 item
jawaban benar
3x2=6
Jumlah 56
Dari tabel 14 diatas dapat diketahui bahwa
Pengetahuan responden tentang alasan remaja melakukan
seks pranikah di SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo
tahun 2017 yang paling banyak dipilih adalah memilih 1
item jawaban yang benar diantara 6 buah pilihan jawaban
yaitu sebanyak 19.
Tabel 15. Pengetahuan responden tentang alasan lain
remaja mau melakukan hubungan seks sebelum
menikah di SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo
Tahun 2017
No. Pilihan Jawaban Jumlah
1 Dipaksa oleh
pacarnya
Tidak tahu 7x1= 7
2 Suka sama suka 1 item
jawaban benar
15x1=15
3 Ingin mencoba 2 item
jawaban benar
7x1=7
4 Menanggap hubungan yang
intim sehingga tidak
perlu ada batasan
3 item jawaban benar
9x1=9
5 Mengganggap seks
merupakan bagian
dari cinta
4 item
jawaban benar
4x2=8
6 Tidak tahu 5 item
jawaban benar
7x2=14
Jumlah 60
Dari tabel 15 diatas dapat diketahui bahwa
Pengetahuan responden tentang alasan lain remaja mau
melakukan hubungan seks sebelum menikah di SMA
Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo tahun 2017 yang
banyak dipilih yaitu memilih 1 item jawaban yang benar diantara 6 buah pilihan jawaban yaitu sebanyak 15 orang.
Tabel 16. Pengetahuan responden tentang dampak
fisik yang timbul akibat hubungan seks pranikah di
SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2017
No. Pilihan Jawaban Jumlah
1 Kehamilan yang
tidak diinginkan
Tidak tahu 1x1=1
2 Penyakit menular
seksual
1 item
jawaban benar
12x1=12
3 Kemandulan 2 item
jawaban benar
13x1=13
4 Rasa sakitb yang
kronis
3 item
jawaban benar
11x1=11
5 HIV/AIDS 4 item
jawaban benar
4x2=8
6 Tidak tahu 5 item jawaban benar
9x2=18
Jumlah 63
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa
pengetahuan responden tentang alasan lain remaja mau
melakukan hubungan seks sebelum menikah di SMA
Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo tahun 2017yang paling
banyak dipilih yaitu memilih 2 item jawaban yang benar
diantara 6 buah pilihan jawaban yaitu sebanyak 13.
Jadi Jumlah item Pengetahuan = 839 / 1500 = 55,9
% jadi dikategorikan Skor Pengetahuan Siswa adalah
Kurang Baik.
68
B. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
usia responden pada penelitian ini adalah usia 14-18 tahun
disebut masa pertengahan remaja (Middle Adolescence).
Sehingga pada umur ini remaja sangat rentan akan
pergaulan bebas dan lebih mudah menerima informasi dari
luar khususnya tentang Seksual Pranikah.Pengetahuan
seksual pranikah remaja didapat dari berbagai sumber yaitu media elektronik,media cetak, teman guru dan orang tua.
Hasil penelitian ini, remaja memperoleh informasi tentang
seksual pranikah paling dominan dari internet ak sebanyak
42 orang (84%) dan paling sedikit dari tidak ada informasi
dari manapun sebanyak 1 orang (5,9%) dan yang lainnya
adalah dari guru,keluarga , teman-teman dan ini sesuai
dengan penelitian Oktarina(2009) orang yang memiliki
sumber informasi yang lebih banyak akan memiliki
pengetahuan yang luas pula. Hal ini dikarenakan karena
ada anggapan tabu untuk berbicara seks yang masih
menancap dalam benak sebagian masyarakat. Akibatnya anak-anak yang beranjak remaja jarang yang mendapat
bekal pengetahuan seks yang cukup dari orang tua
sekalipun. Mereka paling tidak nyaman kalau membahas
soal seks dengan anggota keluarga.terkadang kesalahan
terletak pada orang tua itu sendiri yaitu dikarenakan orang
tua sering tidak memahami perubahan yang terjadi pada
remaja. Maka pendidikan seks bagi remaja menjadi
program yang harus segera dilaksanakan. Salah satu
informasi yang berperan penting bagi pengetahuan adalah
media massa. Pengetahuan masyarakat khususnya tentang
kesehatan bisa didapat dari berbagai sumber antara lain :
media cetak,tulis,elektronik, pendidikan sekolah dan penyuluhan.
Tingkat pengetahuan remaja tentang seks pranikah
SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo tahun 2017
menunjukkan bahwa responden berpengetahuan kurang
baik karena setelah dijumlahkan nilai item maka skornya
hanya 58% sedangkan dikategorikan baik jika skor item >
76% maka hal ini disesuaikan dengan teori Nursalam
(2008) yaitu remaja mampu menjawab dengan benar jika
skor nilai 76-100% dari semua pertanyaan. Hasil penelitian
tersebut tidak sesuai dengan penelitian penelitian Darmais
(2009) dengan hasil pengetahuan baik bisa mencapai 82,5%.
Pengetahuan merupakan faktor pemudah
(predisposing faktor) bagi siswa untuk terlaksananya
perilaku yang baik. Dengan demikian faktor ini menjadi
pemicu atau anteseden terhadap perilaku yang menjadi
atau motivasi bagi tindakannya akibat tradisi atau
kebiasaan,kepercayaan, tingkat pendidikan dan tingkat
social ekonomi (Notoatmodjo,S, 2007).
Menurut Sari S (2006) ada keeratan hubungan
antara pengetahuan dalam upaya untuk memperbaiki
perilaku. Dengan demikian meningkatkan pengetahuan
akan memberikan hasil yang cukup berarti memperbaiki perilaku. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rogers dalam
Sari S(2006) yang mengatakan bahwa pengetahuan
kognitif merupakan domain yang sangat penting bagi
terbentuknya perilaku, dan perilaku yang didasari
pengetahuan akan bertahan lebih langgeng daripada
perilaku yang tidak didasari pengetahuan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Umur responden yang terbanyak adalah umur 15 tahun
yaitu sebanyak 15 orang ( 44,1%) dan yang paling
sedikit berumur 14 dan 18 tahun masing-masing
sebanyak 1orang (2,9%).
2. Sumber informasi tentang kesehatan responden di SMA Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo tahun 2017
paling banyak adalah dari adalah media cetak dan
internet yaitu masing-masing 21 orang (61,8%) dan
paling sedikit dari telepon genggam dan tidak ada dapat
informasi dari manapun masing-masing sebanyak 2
orang (5,9%).
3. Pengetahuan responden tentang seks pranikah
sebagian besar berpengetahuan kurang baik yaitu
sebanyak 56% setelah dijumlah semua skor penilaian.
Saran 1. Perlunya upaya penyuluhan seks pranikah disertai
kesempatan untuk berkonsultasi dengan guru, konsultan
psikolog di sekolah atau guru agama. Peran guru
bimbingan dan penyuluhan (BP)pun sangat penting
sebaiknya pihak sekolah memberikan peningkatan
pengetahuan tentang seks pranikah pada siswa SMA
Negeri 1 Berastagi Kabupaten Karo dengan bertahap
dan berkelanjutan dari guru BP, instansi terkait dan
guru agamapun sebaiknya lebih menekankan pada
pendidikan moral.
2. Sebagai bahan acuan bagi penelitian ini hendaknya dapat dikembangkan pada penelitian ini selanjutnya
akan meneliti lebih luas tentang faktor-faktor penyebab
seks pranikah pada remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar S,2009. Sikap Manusia Teori dan
Pengukurannya.Yogyakarta:Pustaka Pelajar offset.
Adikusumo I,2005. “Sikap Remaja Terhadap Seks Bebas
di Kota : Perspektif Kajian Budaya”.
Hidayat H,2007. Metode Kebidanan Teknik Analisa Data.
Salemba Medika.Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
2011.Jakarta.
Notoatmodjo.S.,2007.Promosi Kesehatan dan Ilmu
Perilaku. Rineka Cipta.Jakarta.
Sari S,2006. Hubungan faktor Predisposisi dengan Perilaku
Personal Higiene anak Jalanan
Bimbingan.Skripsi,Keperawatan Komunitas Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran Bandung.
Sarwono,S.W,2006. Psikologi Remaja.Jakarta. PT.Raja
Grafindo Persada.
Sugiyono,2007. Statistik Untk Penelitian.
Alfabeta.Bandung.
69
ANALISIS PELAKSANAAN PELAYANAN GIGI DAN MULUT PASIEN
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DI PUSKESMAS KABUPATEN
DELI SERDANG TAHUN 2015
Irma Syafriani Br Sinaga
ABSTRAK
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan. Di Puskesmas Kabupaten Deli Serdang masih ditemukan fasilitas kesehatan (peralatan dan bahan
habis pakai) yang belum lengkap seperti kondisi dental unit yang rusak atau tidak berfungsi dengan baik,
kompetensi dokter gigi dan perawat gigi masih belum bekerjasama dengan baik, serta pola komunikasi
tenaga kesehatan yang masih kurang terhadap pasien. Jenis Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif
dengan informan berjumlah 14 orang. Pengumpulan data dengan observasi dan wawancara mendalam.Hasil
penelitian menunjukkan bahwa fasilitas kesehatan di poli gigi berdasarkan Permenkes RI No 75 tahun 2014,
ketersediaannya masih belum terpenuhi dan ada dalam kondisi rusak; kompetensi dokter gigi dan perawat gigi dalam melaksanakan pelayanan masih belum terkoordinasi dengan baik; sudah memiliki SIK dan SIP,
namun perlu proses perpanjangan; belum pernah diadakan pendidikan/pelatihan; belum memiliki standar
operational prosedur (SOP) dalam menangani pasien; untuk pola komunikasi petugas kesehatan kepada
pasien belum sepenuhnya menunjukkan emphati terhadap keluhan pasien, khususnya lansia dan anak-anak.
Proses pelaksanaan pelayanan gigi dan mulut pasien JKN masih belum berjalan sesuai harapan, karena
masih ada tindakan pelayanan seperti penambalan hanya sesekali dilakukan di poli gigi dan ada pemungutan
biaya terhadap pelayanan scaling kepada pasien, yang tidak sesuai dengan manfaat yang ditawarkan oleh
JKN. Diharapkan Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang segera membenahi fasilitas kesehatan serta
pendataan terhadap SIK dan SIP petugas. Perlu menjadi pertimbangan untuk perencanaan program ke depan
yaitu mengadakan kegiatan pendidikan/pelatihan bagi petugas kesehatan poli gigi sebagai penyegaran
kembali kompetensi petugas sesuai dengan perkembangan pengetahuan saat ini. Melaksanakan pelayanan
tanpa menambah beban biaya, jika merupakan manfaat bagi pasien JKN.
Kata Kunci : Pelayanan Gigi dan Mulut, Pasien JKN, Puskesmas
70
THE ANALYSIS ON THE IMPLEMENTATION OF DENTAL AND ORAL CARE IN JKN (NATIONAL HEALTH INSURANCE) PATIENTS
AT PUSKESMAS OF DELI SERDANG DISTRICT, IN 2015
Irma Syafriani Br Sinaga
ABSTRACT
JKN (National Health Insurance) is organized by BPJS (Social Insurance Providing Agency). Puskesmas of
Deli Serdang District still lacks of health facility (equipment and consumables) like broken and dysfunctional
dental unit, lack of cooperation between dentists and dental nurses, and lack of communication between
health care providers and patients. The research used qualitative method with 14 informants. The data were
gathered by conducting observation and in-depth interviews. The result of the research showed that health facility, based on Permenkes No.75/2014, was inadequate and some were damaged; there was lack of
coordination between dentists and dental nurses; it had had SIK and SIP although it still needed prolonged
process; there was no education/training; there was no SOP (Operational Standard Procedure) in handling
patients; there was insufficient empathy from the health care providers for patients’ complaint, especially the
elderly patients’ and child patients’. It was also found that the process of the implementation of dental and
oral care in JKN patients was inadequate and in scaling service patient were charged although it was not in
accordance with JKN program. It is recommended that the Health Service of Deli Serdang District improve
the health facility and collect data on SIK and SIP personnel. Planning future program should be carried out
such as education/training for health care providers at Dental Polyclinic in order to refresh their
competence according the advancement in knowledge today. Without charging them for the benefit of JKN
patients.
Keywords: Dental and Oral Care, JKN Patients, Puskesmas
PENDAHULUAN Kesehatan merupakan modal dasar bagi manusia
agar dapat melaksanakan aktivitas hidup. Pelayanan kesehatan adalah hak bagi setiap rakyat Indonesia yang
dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
dalam pembukaan yang menyebutkan bahwa negara
bertujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Upaya kesehatan gigi dan mulut dilaksanakan
sesuai dengan pola pelayanan di puskesmas, yang
bertujuan untuk mencapai keadaan kesehatan gigi dan
mulut masyarakat yang optimum dan secara khusus untuk
menambah kesadaran masyarakat akan pentingnya
pemeliharaan kesehatan gigi, memberikan perlindungan
khusus untuk memperkuat gigi dan jaringan penyangganya, serta mengurangi akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh hal-hal yang merugikan kesehatan gigi
(Depkes RI, 2009).
Penyakit gigi dan mulut banyak menyerang
masyarakat. Namun oleh karena sifat-sifat penyakit ini
antara lain prosesnya lambat serta tidak mematikan maka
penderita tidak memberikan perhatian yang memadai
(Situmorang, 2001). Padahal kehilangan gigi juga
berdampak pada penurunan fungsional, psikologis dan
sosial dan mempunyai dampak negatif terhadap kualitas
hidup. Kesehatan mulut memengaruhi status gizi serta
berdampak pada kualitas hidup. Ini bisa menyebabkan
masalah kesehatan lainnya seperti diabetes, penyakit
jantung dan stroke serta prematur dan berat badan lahir
rendah (BBLR). Di Srilanka, sekitar 53% anak usia 6 tahun
pernah mengalami gangguan kesehatan gigi dan mulutnya,
di Filipina, sakit gigi jadi alasan umum ketidakhadiran
anak di sekolah. Sedangkan di negara maju seperti
Amerika Serikat, diketahui lebih dari 51 juta jam sekolah
hilang setiap tahunnya karena gangguan gigi. Kondisi ini
menunjukkan bahwa penyakit gigi walaupun tidak menimbulkan kematian, tetapi dapat memengaruhi kualitas
hidup atau menurunkan produktivitas kerja (Anggraeni,
2013).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
2009, sebanyak 73% penduduk Indonesia mempunyai
masalah kesehatan gigi dan mulut yakni menderita karies
gigi. Menurut data Kemenkes RI (2009), sebanyak 89%
anak Indonesia dibawah 12 tahun menderita karies gigi.
Pelaksanaan program JKN saat ini memberikan
manfaat bagi masyarakat terhadap penerimaan jasa layanan
di fasilitas kesehatan (baik yang dibayar oleh pemerintah, dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja, dibayar oleh
peserta yang bersangkutan).
Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang sebagai
salah satu wadah di Sumatera Utara turut berkomitmen
menyukseskan penyelenggaraan JKN di Puskesmas
(sebagai FKTP BPJS) dengan jumlah 34 puskesmas di 22
kecamatan. Dengan jumlah kunjungan pasien berobat gigi
71
pada tahun 2014 sebesar 18.202 orang (Data kesakitan/
LB1 Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang).
Berdasarkan survei pendahuluan, data
kunjungan pasien tahun 2014 di 2 (dua) poli gigi
puskesmas yang menjadi lokus penelitian, yaitu di
Puskesmas Muliorejo, sebesar 2.337 (1,6%) kunjungan
dari 145.735 penduduk, dan di Puskesmas Tanjung
Morawa, sebesar 3.052 (2,57%) kunjungan dari 118.604 penduduk (Laporan catatan kunjungan pasien
poli gigi puskesmas, 2014). Dengan demikian terlihat
bahwa jumlah pasien berkunjung ke poli gigi dan mulut
puskesmas masih rendah, belum mencapai target
nasional atau standar stratifikasi puskesmas untuk
kesehatan gigi dan mulut yang telah ditetapkan yaitu
4% dari jumlah penduduk wilayah kerja puskesmas.
Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan
dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan
pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada pasien JKN
di Puskesmas Kabupaten Deli Serdang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana pelaksanaan pelayanan kesehatan gigi dan
mulut kepada pasien JKN di Puskesmas Kabupaten Deli
Serdang.
METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif,
bertujuan untuk memberikan gambaran secara menyeluruh
dan mendalam tentang pelaksanaan pelayanan gigi dan
mulut pasien JKN di Puskesmas Kabupaten Deli Serdang
tahun 2015. Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Tanjung
Morawa dan Puskesmas Muliorejo yang ada di Kabupaten
Deli Serdang.
Proses penelitian diawali dengan disetujuinya judul
penelitian, dilanjutkan dengan konsultasi, seminar
kolokium, penelitian lapangan, seminar hasil dan proses
akhir berupa komprehensif yang membutuhkan waktu
lebih kurang selama 8 (delapan) bulan terhitung bulan
Maret sampai dengan Oktober 2015.
Informan penelitian ini yaitu : Kepala Puskesmas,
Dokter gigi, Perawat gigi pada 2 (dua) puskesmas. Informan lainnya adalah masyarakat yaitu pasien poli gigi
sebagai sasaran dari penerima layanan.
HASIL
Masukan (Input)
Terdapat 3 (tiga) komponen yang menjadi
perhatian dalam penelitian ini, yaitu fasilitas kesehatan,
kompetensi dokter gigi dan perawat gigi serta pola
komunikasi dalam pelaksanaan pelayanan gigi dan mulut
pasien JKN di Puskesmas.
Fasilitas Kesehatan di Poli Gigi
Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
sesuai kebutuhan dan tuntutan masyarakat, puskesmas
perlu meningkatkan berbagai sarana pendukung pelayanan,
ini ditentukan untuk mewujudkan pelayanan bermutu,
profesionalisme, aman dan nyaman. PerMenKes RI No.75
tahun 2014 tentang Puskesmas, sudah ada diatur dan
ditetapkan mengenai set kelengkapan gigi dan mulut,
perlengkapan, bahan habis pakai yang harus disediakan
pada poli gigi.
Hasil observasi menunjukkan bahwa fasilitas
kesehatan di poli gigi belum terpenuhi atau tidak memadai
dan masih ada ditemukan beberapa alat kesehatan yang
tidak berfungsi dengan baik atau rusak yang perlu diperbaiki, seperti set kursi gigi elektronik, lampu dental
gigi, belum memiliki alat sterilisasi, alat cabut gigi untuk
anak-anak yang belum lengkap. Berdasarkan pengamatan
peneliti, fasilitas kesehatan di puskesmas masih belum
terpenuhi, kondisi air yang tidak baik menyebabkan
aktivitas pelayanan menjadi lambat, kondisi dental chair
yang rusak membuat ketidaknyamanan bekerja bagi
petugas, ini tentunya memengaruhi kegiatan pelayanan
kesehatan gigi dan mulut.
Hasil wawancara dan daftar tilik observasi
pelayanan kesehatan gigi dan mulut serta tabel peralatan dan bahan habis pakai di puskesmas, ditemukan bahwa
kelengkapan sarana dan prasarana masih belum memadai,
masih ada alat kesehatan yang sudah tidak berfungsi
dengan baik, rusak, selain itu kondisi air bersih dalam
keadaan tidak mengalir (tersumbat). Hal ini tentunya
menyebabkan kegiatan pelayanan gigi dan mulut tidak
berlangsung dengan lancar dan berdampak kepada pasien
yang datang berobat untuk menerima layanan.
Kompetensi Dokter Gigi dan Perawat Gigi di Poli Gigi
Kompetensi dokter gigi dan perawat gigi adalah
mencakup kemampuan tenaga kesehatan (dokter gigi dan perawat gigi) untuk melakukan atau menyiapkan kegiatan
tertentu yang bersifat kompleks/komprehensif dalam
melayani masyarakat di poli gigi puskesmas sesuai
kewenangannya mencakup layanan promotif, preventif,
kuratif dan rehabiltatif, sehingga tercapai apa yang menjadi
harapan dari pasien.
Berdasarkan observasi terlihat kondisi dokter gigi
dan perawat gigi sama-sama melakukan tindakan
pelayanan ke pasien yang berbeda yaitu dokter gigi
melakukan penambalan di dental unit dan perawat gigi di
kursi kerja melakukan pencabutan gigi dewasa (molar tiga) tanpa pengawasan dokter gigi. Untuk scaling, dokter gigi
tidak mengijinkan perawat membantunya, jadi kurangnya
kerjasama. Selain itu dalam menjalankan tindakan ataupun
memberikan pelayanan kepada masyarakat, di poli gigi
Puskesmas Muliorejo tidak didukung dengan adanya
standar prosedur (SOP), dan ini berbeda dengan poli gigi
Puskesmas Tanjung Morawa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pegawai di
poli gigi sudah memiliki surat ijin praktek dokter gigi, juga
surat ijin kerja dikarenakan ini persyaratan kredensialing
dan syarat dalam pembagian jasa pelayanan. Berdasarkan
pengamatan peneliti dari nomor registrasi SIP dan SIK pegawai, bahwa masih ada pegawai yang surat ijin kerja
sudah habis masa berlakunya dan perlu proses pengurusan
kembali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk
profesi kesehatan yang ada di poli gigi puskesmas tidak
pernah dilakukan pendidikan dan pelatihan terkait
72
kesehatan gigi dan mulut, hal ini dikarenakan puskesmas
lebih mengutamakan upaya kesehatan wajib puskesmas.
Pola Komunikasi di Poli Gigi
Kemampuan atau kepekaan tenaga kesehatan
terhadap perasaan pasien sangat memberi rasa nyaman
bagi pasien yang datang. Sikap dan emphati dari petugas
sangat memberi dampak positif bagi kepuasan pasien. Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap sikap
peka petugas terhadap pasien yang datang khususnya
pasien anak – anak, petugas cenderung tidak sabar dan
tidak mau memberikan perhatian yang lebih untuk
menciptakan kenyamanan pada pasien. Petugas kurang
memperlihatkan emphatinya kepada pasien khususnya
lansia dan anak –anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa permintaan
persetujuan kepada pasien telah dilakukan sebelum
melaksanakan pelayanan kesehatan. Berdasarkan
pengamatan peneliti, untuk melakukan tindakan pelayanan kepada pasien, kadang petugas langsung melakukan
tindakan misal pencabutan gigi, tanpa meminta persetujuan
ke pasien.
Proses (Process)
Salah satu jenis pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan di puskesmas untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat adalah pelayanan di poli gigi. Program JKN
sendiri juga memberikan cakupan pelayanan yang dijamin
untuk pelayanan poli gigi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk
melakukan tindakan pelayanan kepada pasien, petugas kesehatan sudah memberikan penjelasan terhadap keluhan
pasien seperti pencabutan gigi, apakah sudah bisa
dilakukan tindakan atau masih perlu memakan obat sampai
kondisi gigi tidak sakit, pemeliharaan kebersihan gigi,
pemberian eugenol terhadap gigi yang berlobang dan sakit
sebelum ditambal. Namun menurut pengamatan peneliti,
saat pasien datang dengan keluhannya, untuk beberapa
kasus tidak memberikan penjelasan ataupun pemeriksaan
kepada pasien di kursi dental unit.
Berdasarkan hasil wawancara dengan sumber
informasi menunjukkan bahwa setelah melakukan tindakan pelayanan kepada pasien, pasien tidak dikenakan biaya,
namun untuk pelayanan pembersihan karang gigi, pasien
dikenakan tarif.
Keluaran (Output)
Output yang dihasilkan merupakan situasi ataupun
gambaran dari pelaksanaan pelayanan gigi dan mulut yang
dilakukan di puskesmas, yang mengacu pada Daftar Tilik
standar pelayanan kesehatan gigi dan mulut di puskesmas
(Depkes, 2009), mencakup jumlah total kunjungan per
bulan, kunjungan rata-rata per hari, jumlah kunjungan
baru, jumlah kunjungan ulang, kasus gawat darurat, kasus rujukan dan rata-rata jenis tindakan pelayanan.
Laporan tentang pelayanan gigi dan mulut, dapat
dilihat berdasarkan data puskesmas pada tabel di bawah ini
:
Tabel 1. Jumlah Pelayanan Gigi dan Mulut Puskesmas
Tanjung Morawa dan Puskesmas Muliorejo
Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014
Pelayanan
Puskesm
as
Tanjung
Morawa
Puskesma
s
Muliorejo
Jumlah total
kunjungan setahun
3.052 2.337
Jumlah kunjungan
per bulan
254 195
Kunjungan rata-rata
per hari
8 6
Kunjungan baru 2.062 1.659
Kunjungan ulang 990 678
Jumlah kasus rujukan - 10
Jumlah rata-rata jenis
tindakan ;
a.pencabutan/ekstraks
i b.penambalan
c.scaling
d.pengobatan
1.396
32
22
1.602
1.140
54
34
1.109
PEMBAHASAN
Masukan (Input)
Terdapat 3 (tiga) komponen yang menjadi
perhatian dalam penelitian ini, yaitu fasilitas kesehatan,
kompetensi dokter gigi dan perawat gigi serta pola
komunikasi dalam pelaksanaan pelayanan gigi dan mulut
pasien JKN di Puskesmas.
Fasilitas Kesehatan di Poli Gigi
Analisis pelaksanaan pelayanan gigi dan mulut
pasien JKN pada puskesmas Tanjung Morawa dan
puskesmas Muliorejo dari keadaan fasilitas kesehatan poli
gigi, masih belum memenuhi standar dan masih perlu
adanya pemenuhan ataupun pemeliharaan terhadap
peralatan di poli gigi. Hal ini sejalan dengan penelitian
Andayasari (2014), menyatakan adanya hubungan yang
bermakna antara kegiatan pelayanan tambal dan cabut gigi
dengan kelengkapan alat kesehatan dan obat untuk poli
gigi di Puskesmas.
Kompetensi Dokter Gigi dan Perawat Gigi di Poli Gigi
Menurut Subekhi dan Jauhar (2012),
menyatakan pelatihan adalah program - program untuk
mempertahankan kemampuan melaksanakan pekerjaan
secara individual, kelompok dan atau berdasarkan
jenjang jabatan dalam organisasi.
Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa
perlu pembenahan baik peningkatan kompetensi
kepada dokter gigi dan perawat gigi melalui
pelaksanaan pendidikan atau pelatihan yang bertujuan
memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan kerja dalam waktu yang relatif singkat (pendek), pelatihan
berupaya menyiapkan para petugas melakukan
73
pekerjaan yang dihadapi. Juga untuk pembenahan
tindakan pekerjaan yang sekarang maupun yang akan
datang dengan baik dalam rangka menyegarkan
kembali, untuk meningkatkan kemampuannya,
memperoleh informasi terkini tentang pelayanan
kesehatan gigi, memengaruhi sikap atau menambah
kecakapan di bidang kesehatan gigi sesuai
perkembangan pengetahuan saat ini.
Pola Komunikasi di Poli Gigi Kemampuan perilaku tenaga kesehatan dalam
memperlihatkan empatinya masih kurang dan perlu lebih
diterapkan lagi karena hal ini dapat membantu untuk
mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih
akurat untuk dokter atau perawat, lebih memberikan
dukungan pada pasien, dengan demikian lebih efektif dan
efisien bagi keduanya, karena keberhasilan komunikasi
akan melahirkan kenyamanan dan kepuasan sehingga
mudah untuk mengatasi permasalahan kesehatan gigi dan mulut yang dihadapi.
Hal ini sejalan dengan penelitian Binyamin (2012),
yang menyatakan bahwa komunikasi yang baik antara
tenaga kesehatan – pasien mempunyai hubungan dalam
pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut di poli
gigi Puskesmas Kabupaten Asahan.
Dari pembahasan di atas dapat diambil
perbandingan bahwa untuk analisis pelaksanaan pelayanan
gigi dan mulut pasien JKN dilihat dari pola komunikasi
petugas di poli gigi, pada puskesmas Muliorejo masih
kurang diberikan secara baik oleh petugas kepada pasien
dibanding dengan puskesmas Tanjung Morawa, yang sudah mulai menerapkan pola komunikasinya melalui rasa
emphatinya kepada pasien yang datang. Proses (Process)
Menurut Peraturan BPJS Kesehatan No.1 Tahun 2014, Cakupan Pelayanan yang akan diterima oleh peserta
yang datang ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama di poli
gigi meliputi : Administrasi pelayanan, terdiri atas biaya
pendaftaran pasien dan biaya administrasi lain yang terjadi
selama proses perawatan atau pelayanan kesehatan lain ;
Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis ;
Premedikasi ; Kegawatdaruratan oro-dental ; Pencabutan
gigi sulung (topikal, infiltrasi) ; Pencabutan gigi permanen
tanpa penyulit ; Obat pasca ekstraksi ; Tumpatan
komposit/GIC ; Skeling gigi (1x dalam setahun).
Adanya biaya yang diminta kepada pasien dalam hal ini setelah menerima pelayanan pembersihan karang
gigi, memberikan kerugian bagi masyarakat yang baru
pertama sekali datang dan menerima tindakan tersebut,
karena ini tidak sesuai dengan manfaat yang seharusnya
mereka terima sebagai peserta JKN. Keluaran (Output)
Penelitian menunjukkan bahwa jumlah rata- rata
tindakan pelayanan poli gigi puskesmas Muliorejo lebih
banyak tindakan pencabutan sedangkan untuk poli gigi
puskesmas Tanjung Morawa adalah tindakan pengobatan,
yang diikuti dengan tindakan penambalan dan scaling.
Keadaan ini menunjukkan perlunya peningkatan
pelayanan poli gigi puskesmas, karena pelayanan yang
diberikan bukan hanya pencabutan saja, melainkan
perlunya pemberian penejelasan yang baik kepada pasien
agar mampu memelihara kesehatan gigi dan mulutnya. KESIMPULAN 1. Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan gigi dan
mulut pasien JKN, ketersediaan input meliputi : a. Fasilitas kesehatan di poli gigi puskesmas,
ditemukan ada dalam keadaan rusak dan masih
ada yang belum terpenuhi dan masih belum
sesuai dengan Permenkes RI No. 75 tahun
2014, baik di Puskesmas Muliorejo maupun di
Puskesmas Tanjung Morawa.
b. Kompetensi dokter gigi dan perawat gigi
dalam melaksanakan pelayanan di poli gigi
masih belum terbina baik, dimana dalam
memberikan pelayanan perawatan gigi dapat
dilakukan perawat gigi tetapi tidak dilakukan
pengawasan oleh dokter gigi sehingga harus ada kerjasama antara petugas kesehatan sesuai
dengan kompetensi tugas masing – masing,
baik di Puskesmas Muliorejo maupun
Puskesmas Tanjung Morawa.
c. Dalam melaksanakan pelayanan di poli gigi,
Puskesmas Tanjung Morawa sudah memiliki
SOP sebagai standar prosedur dalam
menangani pasien sedangkan Puskesmas
Muliorejo belum memilikinya.
d. Surat ijin praktek (SIP) dan Surat ijin kerja
(SIK) sudah terpenuhi oleh petugas kesehatan poli gigi namun masih perlu dilakukan proses
pengurusan kembali karena masa waktunya
yang sudah tidak berlaku lagi, baik untuk
Puskesmas Muliorejo maupun Puskesmas
Tanjung Morawa.
e. Untuk kegiatan pendidikan atau pelatihan bagi
petugas kesehatan gigi memang belum pernah
diadakan di Puskesmas Muliorejo maupun
Puskesmas Tanjung Morawa.
f. Pola komunikasi petugas kesehatan di poli gigi
Puskesmas Muliorejo kepada pasien belum
sepenuhnya menunjukkan emphati terhadap keluhan yang pasien rasakan, khususnya
pasien anak-anak dan lansia dan petugas
kurang memberikan penjelasan, namun tidak
demikian pada Puskesmas Tanjung Morawa,
yang sudah mulai menunjukkan emphati
terhadap keluhan pasien dimana petugas sudah
mampu memberikan penjelasan tentang
keadaan gigi dan mulut pasien.
2. Proses pelaksanaan pelayanan gigi dan mulut pasien jaminan kesehatan nasional baik di Puskesmas Muliorejo dan Puskesmas Tanjung Morawa masih belum berjalan sesuai dengan harapan, karena masih ada tindakan pelayanan seperti penambalan hanya sesekali dilakukan di poli gigi, karena bahan yang tidak lengkap dan alat yang tidak tersedia, selain itu ada pemungutan biaya terhadap pelayanan scaling kepada pasien, yang tidak sesuai dengan manfaat yang
74
ditawarkan oleh JKN di poli gigi seperti tercantum pada Peraturan BPJS Kesehatan No.1 Tahun 2014.
3. Pelayanan gigi dan mulut di poli gigi puskesmas lebih
banyak pada tindakan pengobatan yang kemudian diikuti tindakan pelayanan pencabutan, penambalan dan pembersihan karang gigi.
SARAN 1. Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang segera
membenahi fasilitas peralatan dan bahan habis pakai di poli gigi puskesmas dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada masyarakat yang datang berobat dan perlunya menelusuri ataupun mengadakan pendataan terhadap SIP dan SIK petugas kesehatan yang sudah tidak berlaku atau yang perlu proses pengurusan kembali.
2. Puskesmas Muliorejo hendaknya menindaklanjuti proses kerja di ruang poli gigi, yaitu dengan menetapkan SOP untuk menjadi kerangka kerja petugas dalam memberikan pelayanan kepada pasien.
3. Puskesmas Muliorejo dan Puskesmas Tanjung Morawa ; perlu menjadi pertimbangan untuk perencanaan program ke depan dalam hal mengadakan kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi petugas kesehatan poli gigi sebagai penyegaran kembali kompetensi petugas sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan persaingan saat ini. Agar tenaga kesehatan poli gigi lebih meningkatkan lagi bentuk perhatian mereka kepada pasien dengan menciptakan komunikasi yang efektif dan memberi rasa emphatinya melalui penjelasan yang disampaikan maupun penanganan terhadap keluhan pasien. Juga melaksanakan setiap pelayanan tanpa menambah beban biaya, seperti biaya scaling dimana untuk scaling/pembersihan karang gigi untuk pasien JKN yang baru pertama kali adalah gratis, dan ini memang merupakan manfaat bagi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, Z, R., 2013. Pencegahan Penyakit Gigi Belum
Efektif. (Kompas online). Diakses pada tanggal
22Juni2015;(http://health.kompas.com/read/201
3/09/07/0704446/Pencegahan.Penyakit.Gigi.Bel
um.Efektif/
Andayasari, Lely, 2012. Gangguan Muskuloskeletal Pada
Praktik Dokter Gigi Dan Upaya
Pencegahannya. Media Litbang Kesehatan
Volume 22 Nomor 2, Juni Tahun 2012.
Binyamin, 2012. Hubungan Komunikasi Dokter Pasien,
Fasilitas Yang Tersedia Dan Persepsi Pasien
Dengan Pemanfaatan Pela yanan Kesehatan
Gigi Di Puskesmas Kabupaten Asahan, Tesis.
FKM - USU. Medan.
Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Pelayanan
Medik Dasar Ditjen Bina Pelayanan Medik,
2009. Standar Pelayanan Kesehatan Gigi Dan
Mulut Di Puskesmas, Jakarta.________,. Badan
Litbang Depkes, Survei Kesehatan Rumah
Tangga Tahun 2009, Jakarta
Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang, 2014. Laporan
Bulanan (LB1) Data Kesakitan Pelayanan Gigi
dan Mulut, Lubuk Pakam.
Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan
Jaminan Kesehatan, Jakarta.
Puskesmas Mulyorejo, Buku Catatan Laporan Kunjungan
Pasien Poli Gigi Dan Mulut Tahun 2014
Puskesmas Mulyorejo.
Puskesmas Tanjung Morawa, Buku Catatan Laporan
Kunjungan Pasien Poli Gigi Dan Mulut Tahun
2014 Puskesmas Tanjung Morawa.
Situmorang, N., 2001. Penyakit Gigi dan Mulut Serta
Pengaruhnya terhadap Kualitas Hidup. Dentika
Dental Journal, Vol 6 No.1, FKG – USU,
Medan.
Subekhi, A.; M. Jauhar, 2012. Pengantar Manajemen
Sumber Daya Manusia (MSDM), Jakarta :
Prestasi Pustakarya.
75
PENGARUH METODE BERCERITA DENGAN GAMBAR TERHADAP
PERKEMBANGAN BAHASA ANAK MENGGUNAKAN DENVER II PADA
USIA 3-5 TAHUN DI YAYASAN PUTERI SION MEDAN TAHUN 2017
(1) Tiurlan Mariasima Doloksaribu, (2) Adelima Simamora, (3)Sriningsih Sinaga
ABSTRAK
Perkembangan bahasa merupakan aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk memberikan
respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan. Bercerita bertujuan mengembangkan
kemampuan berbahasa anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kemampuan bahasa anak
menggunakan instrument Denver II sebelum dan setelah dilakukan metode bercerita dengan gambar pada
anak usia 3-5 tahun. Jenis dan desain penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen (eksperimen semu)
dengan rancangan penelitian one group pretest-posttest. Alat yang digunakan dalam pengumpulan data
adalah lembar ceklis Denver II. Populasi dalam penelitian adalah anak usia 3-5 tahun yang merupakan murid
di Yayasan Putri Sion Medan. Sampel diambil dengan teknik total sampling sebanyak 19 responden. Hasil
penelitian menyebutkan sebelum intervensi bercerita dengan gambar, kemampuan bahasa anak berada pada
kategori keterlambatan ada sebanyak 3 orang (15.8%) sedangkan setelah intervensi bercerita kemampuan bahasa paling rendah adalah kategori peringatan sebanyak 3 anak (15.8%). Dari hasil uji statistik didapat
hasil yang signifikan dimana P=0,000 dengan nilai rata-rata 0.79 artinya terdapat peningkatan kemampuan
bahasa pada anak sebesar 0.79 kali setelah dilakukan intervensi bercerita dengan gambar. Dari hasil
penelitian dapat disimpulkan Ha diterima dan Ho ditolak : ada pengaruh bercerita dengan gambar terhadap
kemampuan bahasa anak umur 3-5 tahun. Disarankan kepada guru-guru di Yayasan Puteri Sion Medan
melakukan kegiatan metode bercerita sesering mungkin untuk meningkatkan kemampuan bahasa pada anak.
Kata kunci : bahasa, bercerita, dan gambar
ABSTRACT
Language development is an aspect that relates to a child's ability to respond to sounds, follow orders and
speak spontaneously. Storytelling aims to develop children's language skills. This study aims to determine
the effect of children's language skills before and after the method of telling a story with pictures in children
aged 3-5 years. The research type and design used was quasi experiment (quasi experiment) with one group
pretest-posttest research design. The tool used in data collection is the Denver II checklist. The population in
the study are children aged 3-5 years who are students at Yayasan Puteri Sion Medan. Samples were taken
with total sampling technique of 19 respondents. The results of this study were obtained before the
intervention of storytelling language ability of the category of delay category there were as many as 3 people (15.8%) whereas after intervention told the lowest language ability was warning category as many as 3
children (15.8%). From the statistical test results obtained a significant result where P = 0,000 with an
average value of 0.79. From the results of the study can be concluded Ha accepted and Ho rejected means
there is influence tells the story with the image of the language ability of children aged 3-5 years. It is
recommended for Yayasan Puteri Sion Medan, Institution and further researcher to make story telling
method to improve child language ability and reference for further research.
Keywords: language, storytelling, and pictures
PENDAHULUAN
Anak merupakan individu yang unik, dimana
mereka mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda sesuai
dengan tahapan usia. Untuk mencapai tugas pertumbuhan
dan perkembangannya kita perlu memfasilitasinya
(Cahyaningsih, 2014). Pertumbuhan dan perkembangan
anak berlangsung secara teratur, berkaitan, dan
berkesinambungan. Setiap anak akan melewati suatu pola
tertentu yang merupakan tahapan pertumbuhan dan
perkembangan yaitu masa janin di dalam kandungan, masa
setelah lahir terdiri dari masa neonatus (usia 0-28 hari),
masa bayi (usia 1-12 bulan), masa toddler (usia 1-3 tahun),
masa pra sekolah (usia 4-6 tahun), masa sekolah (usia 7-13
tahun), masa remaja (14-18 tahun).
76
Bahasa merupakan aspek yang berhubungan
dengan kemampuan untuk memberikan respon
terhadap suara, berbicara, berkomunikasi, mengikuti
perintah. Kemampuan berbahasa merupakan indikator
seluruh perkembangan anak, karena kemampuan
berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kelainan
pada sistem lainnya, seperti kemampuan kognitif,
sensorimotor, psikologis, emosi dan lingkungan
disekitar anak (Depkes dalam Soetjiningsih, 2015).
Untuk dapat berbicara, anak harus dapat mendengar,
dapat mengartikan apa yang didengar, memerintahkan mulut untuk berbicara dan mampu menggerakkan alat
bicara dengan baik (Maryunani, 2010). Bercerita
merupakan kegiatan mengisahkan dongeng kepada
pendengar dengan cara, metode dan media tertentu.
Kegiatan ini termasuk kemampuan produktif di dalam
aspek berbahasa, yaitu berbicara (Meity, 2014). Dhieni
(2011), tujuan bercerita yaitu mengembangkan
kemampuan berbahasa anak, mengembangkan
kemampuan berpikirnya, menanamkan pesan-pesan
moral yang baik dan melatih daya ingat atau memori
pada anak. Media gambar adalah media yang paling umum dipakai karena mempermudah anak menerima
informasi.
Survei pendahuluan di Yayasan Puteri Sion
Medan tanggal 16 Desember 2016 dari 65 orang anak,
diantaranya 16 anak PAUD, 25 anak TK B1, dan 24
anak TK B2. Jumlah anak yang berumur 3-5 tahun
sebanyak 19 orang. Informasi dari Kepala Sekolah
Yayasan Puteri Sion Medan, ada beberapa anak yang
mengalami keterlambatan dalam berbicara, dimana
kemampuan bicara anak tidak sesuai umurnya,
kemungkinan akibat kesibukan orangtua sehingga anak
jarang diajak berkomunikasi. Depkes, (2006) terdapat 4 aspek perkembangan
anak yaitu perkembangan motorik kasar, motorik halus,
bahasa dan sosialisasi. Kemampuan Bahasa adalah
aspek yang berhubungan dengan kemampuan untuk
memberikan respon terhadap suara, berbicara,
berkomunikasi, mengikuti perintah, dsb. Pola
perkembangan bahasa sebagian besar hanya bisa
diperoleh anak melalui interaksi, percakapan maupun
dialog dengan orang dewasa. Melalui berbagai
aktivitas, anak-anak akan mendapatkan model
berbahasa, memperluas pengertian, mencakup kosa kata yang ekspresif, dan menjadi motivasi anak-anak
dalam berinteraksi dengan orang lain atau kehidupan
sosial.
Stimulasi Perkembangan Anak adalah kegiatan
merangsang kemampuan dasar anak usia 0-6 tahun agar
berkembang secara optimal. Setiap anak perlu
mendapat stimulasi rutin secara dini dan terus menerus
pada setiap kesempatan (Sulistyawati, 2014). Denver
Development Screening Test (DDST) adalah suatu
metode skrining terhadap kelainan perkembangan anak.
Penelitian Borowitz tahun 1986 menunjukkan bahwa
DDST dapat mengidentifikasi lebih setengah anak
dengan kelainan bicara. Frankerburg melakukan revisi
dan standarisasi kembali DDST pada tugas perkembangan di sektor bahasa. Hasil revisi dari DDST
tersebut dinamakan Denver II. Tujuan dari tes Denver
II ini adalah untuk menilai tingkat perkembangan anak
sesuai dengan tugas untuk kelompok umurnya saat di
tes. Cara Skoring Penilaian Item Tes Denver II : (1) P :
Passed/L = Lulus/lewat (Anak dapat melakukan item
dengan baik dan peneliti memberi laporan (tepat/dapat
dipercaya) bahwa anak dapat melakukannya) (2) F:
Fail/G=gagal (Anak tidak dapat melakukan ujicoba
dengan baik dan peneliti memberi laporan anak tidak
dapat melakukannya dengan baik) (3) NO:No Opportunity/TAK= Tidak Ada Kesempatan (Anak
tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan item
karena ada hambatan. Skor ini hanya digunakan untuk
item yang ada kode L/Laporan orang tua atau pengasuh
anak) (4) R: Resufal/M=menolak (Anak menolak
melakukan tes oleh karena faktor sesaat, misalnya ;
lelah, menangis, mengantuk )
METODE PENELITIAN
Jenis dan desain penelitian adalah quasi
eksperimen (eksperimen semu) dengan rancangan
penelitian one group pretest-posttest (Notoatmodjo, 2016), digunakan untuk menganalisis perbedaan
kemampuan berbahasa anak sebelum dan setelah
dilakukan metode bercerita dengan gambar. Populasi
penelitian adalah seluruh anak yang berusia 3-5 tahun
di Yayasan Puteri Sion Medan berjumlah 19 orang
pada bulan Desember 2016. Pemilihan sampel adalah
total sampling.
Sampel dalam penelitian ini adalah 19 orang. Data
primer dikumpulkan saat penelitian dengan cara observasi
menggunakan lembar observasi kemampuan bahasa
berdasarkan instrumen Denver II dan data sekunder yaitu data anak diperoleh dari Yayasan Puteri Sion Medan 2017.
Waktu penelitian dimulai tanggal 31 Mei – 15 Juni 2017
dengan tempat penelitian yaitu di Yayasan Puteri Sion
Medan.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Kemampuan perkembangan bahasa berdasarkan usia gestasi di Yayasan Puteri
Sion Medan Tahun 2017
No Usia Gestasi Kemampuan Perkembangan Bahasa
Lebih Normal Peringatan Keterlambatan TAK
1 < 37 minggu 0 0 0 1 0
2 37-40 minggu 1 4 6 2 2
3 >40 minggu 1 1 1 0 0
Total 2 5 7 3 2
77
Berdasarkan Usia Gestasi dari 19 responden, mayoritas
pada usia gestasi 37-40 minggu sebanyak 15 anak (78%) 6 diantaranya pada kategori peringatan dan minoritas pada
usia gestasi <37 minggu terdapat 1 anak (5.3%) pada
kategori keterlambatan.
Tabel 2 Distribusi Frekuensi kemampuan perkembangan bahasa berdasarkan umur sebelum intervensi
bercerita dengan gambar di Yayasan Puteri Sion Medan Tahun 2017.
Umur Umur
perkembangan
Kemampuan perkembangan bahasa
Kronologis Lebih Normal Peringatan Keterlambatan TAK
n % n % n % n % n %
3 tahun 2 bulan 3 tahun 0 bulan 0 0 0 0 1 5.3 0 0 0 0
3 tahun 4 bulan 3 tahun 3 bulan 0 0 0 0 2 10.5 1 5.3 0 0
3 tahun 7 bulan 3 tahun 6 bulan 0 0 0 0 1 5.3 0 0 0 0
4 tahun 1 bulan 4 tahun 0 bulan 0 0 2 10.5 1 5.3 1 5,3 0 0
4 tahun 3 bulan 4 tahun 3 bulan 1 5.3 1 5.3 1 5.3 0 0 1 5.3
4 tahun 7 bulan 4 tahun 6 bulan 1 5.3 0 0 1 5.3 0 0 1 5.3
4 tahun 9 bulan 4 tahun 9 bulan 0 0 2 10.5 0 0 0 0 0 0
5 tahun 0 bulan 5 tahun 0 bulan 0 0 0 0 0 0 1 5.3 0 0
Total 2 10.5 5 26.3 7 36.8 3 15.8 2 10.5
Berdasarkan tabel diatasterdapat kategori
keterlambatan sebanyak 3 anak (15.8%) pada umur
perkembangan 3 tahun 3 bulan, 4 tahun 0 bulan dan 5
tahun 0 bulan.
Tabel 3 Distribusi Frekuensi kemampuan bahasa berdasarkan umur setelah intervensi bercerita dengan
gambar di Yayasan Puteri Sion Medan Tahun 2017.
Umur Umur
perkembangan
Kemampuan bahasa
Kronologis Lebih Normal Peringatan Keterlambatan TAK
n % n % n % n % n %
3 tahun 2 bulan 3 tahun 0 bulan 0 0 1 5.3 0 0 0 0 0 0
3 tahun 4 bulan 3 tahun 3 bulan 2 10.5 1 5.3 1 5.3 0 0 0 0
3 tahun 7 bulan 3 tahun 6 bulan 0 0 2 10.5 1 5.3 0 0 0 0
4 tahun 1 bulan 4 tahun 0 bulan 0 0 1 5.3 0 0 0 0 0 0
4 tahun 3 bulan 4 tahun 3 bulan 2 10.5 1 5.3 0 0 0 0 1 5.3
4 tahun 7 bulan 4 tahun 6 bulan 1 5.3 1 5.3 0 0 0 0 1 5.3
4 tahun 9 bulan 4 tahun 9 bulan 2 10.5 0 0 0 0 0 0 0 0
5 tahun 0 bulan 5 tahun 0 bulan 0 0 0 0 1 5.3 0 0 0 0
Total 7 36.8 7 36.8 3 15.8 0 0 2 10.5
Berdasarkan table, tdak terdapat kemampuan perkembangan
bahasa anak pada kategori keterlambatan (0%) dan
kemampuan paling rendah yaitu pada kategori peringatan
sebanyak 3 anak (5.3%) pada umur 3 tahun 3 bulan, 4 tahun 0
bulan, dan 5 tahun 0 bulan.
Tabel 4 Distribusi frekuensi kemampuan perkembangan bahasa berdasarkan jenis kelamin sebelum
dilakukan metode bercerita dengan gambar di Yayasan Puteri Sion Medan Tahun 2017
Jenis kelamin
Kemampuan bahasa pre tes Total
Lebih Normal Peringatan Keterlambatan TAK
N % n % n % n % n % n %
laki-laki 1 5.3 2 10.5 4 21.1 1 5.3 1 5.3 9 47.4
Perempuan 1 5.3 3 15.8 3 15.8 2 10.5 1 5.3 10 52.6
Total 2 10.5 5 26.3 7 36.8 3 15.8 2 10.5 19 100
Berdasarkan table, kemampuan perkembangan bahasa
anak pada kategori keterlambatan ada sebanyak 3 anak
(15.8%), 2 anak (10.5%) berjenis kelamin perempuan dan
1 anak (5.3%) berjenis kelamin laki-laki
78
Tabel 5 Distribusi frekuensi kemampuan bahasa berdasarkan jenis kelamin setelah dilakukan metode bercerita dengan gambar di Yayasan Puteri Sion Medan Tahun 2017.
Jenis kelamin
Kemampuan bahasa post tes Total
Lebih Normal Peringatan Keterlambatan TAK
n % n % n % n % n % n %
laki-laki 3 15.8 4 21.1 1 5.3 0 0 1 5.3 9 47.4
Perempuan 4 21.1 3 15.8 2 10.5 0 0 1 5.3 10 52.6
Total 7 36.8 7 36.8 3 15.8 0 0 2 10.5 19 100
Berdasarkan tabel kemampuan perkembangan bahasa
pada kategori lebih terdapat 7 anak (36.8%) 4 anak
(21.1%) berjenis kelamin perempuan dan 3 anak (15.8%)
berjenis kelamin laki-laki.
Tabel 6 Kemampuan Perkembangan Bahasa sebelum dan setelah dilakukan metode bercerita dengan
gambar di Yayasan Puteri Sion Medan Tahun 2017.
No Kategori
kemampuan
Pre tes Post tes
n % n %
1. Lebih 2 10.5 7 36.8
2. Normal 5 26.3 7 36.8
3. Peringatan 7 36.8 3 15.8
4. Keterlambatan 3 15.8 0 0
5. TAK 2 10.5 2 10.5
Total 19 100 19 100
Distribusi frekuensi responden berdasarkan kemampuan
bahasa anak sebelum dan sesudah bercerita didapatkan
peningkatan kemampuan bahasa anak dimana sebelum
bercerita terdapat kategori keterlambatan sebanyak 3 anak (15.8%), sedangkan setelah bercerita kemampuan
peringatan berkurang menjadi 3 anak (15.8%) dari
sebelumnya, kemampuan keterlambatan tidak ada.
Tabel 7 Perbedaan kemampuan bahasa responden sebelum dan setelah intervensi bercerita dengan
gambar di Yayasan Puteri Sion Medan Tahun 2017.
Tabel 7. menunjukkan terjadi peningkatan kemampuan
bahasa dengan rata-rata sebesar 0.79 lebih baik setelah
diberikan intervensi. Dapat disimpulkan bahwa adanya
pengaruh bercerita dengan gambar terhadap
kemampuan bahasa karena P Value = 0.000 atau P
Value < 0,05.
Pembahasan
Kemampuan bahasa yang baik memungkinkan anak untuk berkomunikasi dengan teman-teman dan
orang-orang disekitarnya. Bahasa merupakan bentuk utama
dalam mengekpresikan pikiran dan pengetahuan bila anak
berhubungan dengan orang lain. Anak yang sedang
tumbuh dan berkembang mengkomunikasikan kebutuhan,
pemikiran dan perasaan melalui bahasa dengan kata-kata
yang mempunyai makna (Septyani dan Eri, 2014).
Bercerita mampu mempengaruhi pola pikir anak
untuk lebih berkualitas karena dalam sebuah cerita atau
kisah memiliki fungsi pesan yang sangat penting bagi
perkembangan jiwa anak (Meity, 2014). Hubungan bercerita terhadap kemampuan bahasa sangat erat
kaitannya, karena dengan bercerita anak mendapatkan
pengetahuan melalui proses asimilasi yaitu mengevaluasi
dan mencoba memahami informasi baru, berdasarkan
pengetahuan dunia yang sudah dimiliki (Upton, 2012).
Gambar merupakan media yang sangat penting untuk anak
karena pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan
anak yang sangat baik dalam menerima informasi (Dhieni,
2011).
Berdasarkan hasil penelitian kemampuan bahasa
anak sebelum bercerita dengan gambar, kemampuan
bahasa kemampuan bahasa kategori lebih sebanyak 2 anak
(10.5%), kategori normal sebanyak 5 anak (26.3%),
kemampuan bahasa kategori peringatan sebanyak 7 anak
(36.8%), kemampuan bahasa kategori keterlambatan
sebanyak 3 anak (15.8%) dan kemampuan bahasa kategori TAK (tidak ada kesempatan) sebanyak 2 anak (10.5%),
sedangkan setelah dilakukannya metode bercerita dengan
gambar, kemampuan bahasa kategori lebih sebanyak 7
anak d (36.8%), kemampuan bahasa kategori normal
sebanyak 7 anak (36.8%) dan kemampuan bahasa kategori
peringatan sebanyak 3 anak (10.5%) dan TAK (tidak ada
kesempatan) sebanyak 2 anak (10.5%).
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa, dari 19
responden mayoritas pada usia gestasi 37-40 minggu
sebanyak 15 anak (78%) 6 diantaranya pada kategori
peringatan dan minoritas pada usia gestasi <37 minggu terdapat 1 anak (5.3%) pada kategori keterlambatan. Pada
penelitian ini ada 3 anak yang mengalami keterlambatan
dan 1 diantaranya pada usia gestasi 36 minggu. Terdapat
pengaruh usia gestasi terhadap kemampuan perkembangan
bahasa anak dimana anak yang lahir prematur
perkembangannya akan lebih lambat dibanding anak yang
lahir normal dan penelitian ini sejalan dengan teori
Soetjiningsih (2015) bahwa lahir cepat dari kelahiran
normal akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangannya. Anak yang lahir prematur akan
Kemampuan
bahasa
Mean SD P Value
Sebelum 2.89 1.15 0.000
Setelah 2.10 1.24
79
mengalami keterlambatan pertumbuhan dan
perkembangan dibanding anak yang lahir normal. Berdasarkan tabel 2 diketahui dari 19 responden
sebelum intervensi bercerita dengan gambar, terdapat
kategori keterlambatan sebanyak 3 anak (15.8%) pada
umur perkembangan 3 tahun 3 bulan, 4 tahun 0 bulan dan
5 tahun 0 bulan. Tabel 3 diketahui dari 19 responden
setelah dilakukan metode bercerita dengan gambar,
kemampuan perkembangan bahasa anak tidak ada pada
kategori keterlambatan (0%) dan kemampuan paling
rendah yaitu pada kategori peringatan sebanyak 3 anak
(5.3%) pada umur 3 tahun 3 bulan, 4 tahun 0 bulan, dan 5
tahun 0 bulan. Menurut peneliti ada pengaruh umur
terhadap kemampuan bahasa anak, dimana setiap pertambahan umur kemmapuan anak akan bertambah
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Meliana
Sari (2015) seiring dengan perkembangan dan
pertumbuhan anak, maka kemampuan anak dalam
berbahasa juga akan semakin berkembang sesuai dengan
tahap perkembangannya. Hurlock, P. (1995)
mengemukakan bahwa “usia 18 bulan sampai 5 tahun
merupakan periode anak belajar berbicara dengan cepat
dan menguasai kemampuan berbicara”. Tabel 4
menunjukkan bahwa sebelum dilakukan metode bercerita
dengan gambar anak berjenis kelamin laki-laki sebanyak 9 anak (47.4%) dan perempuan sebanyak 10 anak (52.6%)
pada kategori keterlambatan 2 anak (10.5%) berjenis
kelamin perempuan dan 1 anak (5.3%) berjenis kelamin
laki-laki. Berdasarkan tabel 5 setelah bercerita dengan
gambar pada kategori lebih terdapat 7 anak (36.8%) 4
diantaranya berjenis kelamin perempuan dan 3 anak
(15.8%) berjenis kelamin laki-laki. Terdapat pengaruh
jenis kelamin terhadap kemampuan perkembangan bahasa
anak dimana anak perempuan lebih aktif dalam
berkomunikasi, anak perempuan lebih banyak bicara
dibanding anak laki-laki dan penelitian ini sejalan dengan
penelitian Dewi dan Ennes (2015), pada tahun pertama usia anak, tidak ada perbedaan dalam vokalisasi antara pria
dan wanita. Namun mulai usia dua tahun, anak wanita
menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari anak
pria (Syamsu, 2011). Hasil analisis data penelitian dilihat
bahwa terjadi peningkatan kemampuan bahasa dengan
rata-rata sebesar 0.79 kali lebih baik setelah diberikan
diberikan intervensi bercerita dengan gambar. Dapat
disimpulkan bahwa adanya pengaruh bercerita dengan
gambar terhadap kemampuan bahasa anak dimana P Value
= 0.000 atau P Value < 0,05.
Kesimpulan
1. Usia gestasi berpengaruh terhadap
kemampuan perkembangan bahasa anak,
dimana anak dengan usia gestasi ≤36 minggu
mengalami keterlambatan perkembangan
bahasa dibandingkan dengan anak dengan
kehamilan 37-42 minggu.
2. Adanya pengaruh sebelum dan sesudah
bercerita dengan gambar terhadap kemampuan
bahasa anak berdasarkan umur perkembangan,
dimana sebelum intervensi kategori keterlambatan ada sebanyak 3 anak sedangkan
setelah intervensi kategori lebih dan normal
meningkat, kategori peringatan berkurang dan keterlambatan tidak ada
3. Adanya pengaruh bercerita dengan gambar
terhadap kemampuan perkembangan bahasa
anak berdasarkan jenis kelamin dimana anak
perempuan memiliki kemampuan bahasa yang
lebih baik dibandingkan anak laki-laki.
4. Adanya peningkatan kemampuan bahasa
setelah dilakukan intervensi bercerita dengan
gambar dengan rata-rata peningkatan 0.76 kali
lebih baik setelah diberikan intervensi.
5. Hasil uji statistik t-test menunjukkan
kemampuan bahasa sesudah dilakukan intervensi bercerita dengan gambar berbeda
secara signifikan yaitu nilai P value <0,05
yang artinya bahwa Ho ditolak dan Ha
diterima. Sehingga dapat dinyatakan bahwa
pelaksanaan bercerita dengan gambar dapat
memberikan pengaruh terhadap kemampuan
bahasa anak umur 3-5 tahun.
Saran
1. Yayasan Puteri Sion Medan Diharapkan
kepada guru khususnya guru-guru TK di ruangan kelas TK yang berhubungan dengan
anak dapat langsung memberikan intervensi
bercerita dengan gambar untuk meningkatkan
kemampuan bahasa anak.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyaningsih,S,D., (2014). Pertumbuhan Perkembangan
Anak dan Remaja. Jakarta: CV.Trans Info Media.
Daulay S,. (2012). Pemerolehan & Pembelajaran Bahasa.
Bandung: Citapustaka Media Perintis.
Depkes RI, (2006). Pedoman Pelaksanaan Stimulasi,
Deteksi Dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak
Ditingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta.
Dewi,C,R, dkk, ( 2015). Teori & Konsep Tumbuh
Kembang Bayi, Toddler, Anak dan Usia Remaja.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Dewi dan Ennes (2015) STIKES RS. Baptis Kediri Jl.
Mayjed. Panjaitan No. 3B Kediri. Faktor Kesehatan,
Intelegensi, Dan Jenis Kelamin Mempengaruhi
Gangguan Perkembangan Bahasa Anak Prasekolah.
Laily,L,I., dkk, (2014). Universitas Negeri Surabaya.
Pengaruh Metode Cerita Bermedia Gambar Seri
Terhadap Kemampuan Berbicara Anak Kelompok B
Di TK Muslimat NU 38. Program Studi PG-PAUD,
Fakultas Ilmu Pendidkan.
Lilis dan Ati’ul (2014). STIKes Muhammadiyah
Lamongan Program Studi S1 Keperawatan dan D-III
Kebidanan. Peran Stimulasi Orang Tua Terhadap
Perkembangan Bahasa Pada Anak Toddler di
Mayangkawis - Balen – Bojonegoro.
Kathryn, G, dkk. (2016) Konseling Anak- Anak Panduan
Praktis. Jakarta : Indeks
80
Maryunani A., (2010). Ilmu Kesehatan Anak Dalam
Kebidanan. Jakarta: CV.Trans Info Media.
Meity,I,H.,( 2014). Meningkatkan Kecerdasan Anak
Melalui Dongeng. Jakarta: PT. Luxima Metro Media.
Notoatmodjo S., (2016). Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Nugraha A,,S,M., dkk, (2014). Universitas Pendidikan
Ganesha.Vol 4.Penggunaan Metode Bercerita
Dengan Media Gambar Dalam Upaya
Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Dan Sikap
Mandiri Anak Kelompok A TK Negeri Pembina
Bangli Tahun Ajaran 2012/2013. E-Journal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha.Program Studi Pendidikan Dasar.
Nur dan Iswinarti (2016). Fakultas Psikologi, Universitas
Muhammadiyah Malang.
Pengaruh Mendengarkan Dongeng Terhadap
Kemampuan Bahasa Pada Anak Prasekolah di
PAUD/KB Bunda Aini Malang.
Nursalam., dkk, ( 2008). Asuhan Keperawatan Bayi dan
Anak (untuk perawat dan bidan). Jakarta: Salemba
Medika.
81
PENGARUH AROMATHERAPI,RELAKSASI OTO PROGRESIF
TERHADAP PENURUNAN KECEMASAN IBU HAMIL MENJELANG
PERSALINAN
DI BPM SIMALUNGUN
Kandace Sianipar, Renny Sinaga, Yusliana Nainggolan
Poltekkes Kemenkes Medan Prodi Kebidanan Pematangsiantar.
` ABSTRAK
Kehamilan dapat merupakan sumber stressor kecemasan, terutama pada seorang ibu yang labil jiwanya.
Prevalensi (angka kesakitan) gangguan kecemasan berkisar pada 6-7% dari populasi umum. Intervensi untuk mengurangi ketidaknyamanan dalam kehamilan ini dapat dilakukan dengan menggunakan tindakan non
farmakologi, yaitu Aromtherapi dan relaksasi otot progresiff. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi
tingkat kecemasan ibu sebelum diberi intervensi aromatherapy, relaksasi otot dan kombinasi keduanya dan
sesudahnya. Jenis penelitian dengan quasi experiment studies dengan pendekatan pre dan post test pada
kelompok intervensi. Populasi ibu hamil trimester III sampel menggunakan consecutive sampling yang
memenuhi criteria inklusi. Hasil penelitian tingkat kecemasan ibu kelompok intervensi aromaterapi sebelum
intervensi mayoritas pada kategori sedang, 90%, sesudah intervensi berubah menjadi kategori ringan 50%,
pada kelompok intervensi relaksasi otot tingkat kecemasan sebelum intervensi kategori sedang 90% dan
sesudah intervensi mayoritas kategori ringan, 55%. Kelompok kombinasi kedua intervensi mayoritas tingkat
kecemasan responden sebelum intervensi mayoritas kategori sedang 75% dan sesudah intervensi menjadi
ringan 60%. Hasil uji anova menunjukkan ada perbedaan yang bermakna perubahan tingkat kecemasan responden pada intervensi aromaterapi, relaksasi otot progresife dan kombinasi aromaterapi dan relaksasi
otot (sig = 0,00; sig < 0,05). Yang paling berpengaruh menurunkan tingkat kecemasan adalah intervensi
kombinasi keduanya. Saran kepada ibu hamil agar selalu berusaha menurunkan kecemasan, dan
membagikan ilmu dan keterampilan yang didapat.
Kata Kunci : Aromatherapi , cemas, ibu hamil trimester III
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kehamilan dan persalinan adalah salah satu
rantai kejadian dalam perkembangan manusia dari lahir
sampai mati. Dan setiap perubahan perubahan
kehidupan merupakan stressor pada kehidupan. Pada
sebagian wanita, kehamilan dan persalinan merupakan stressor yang minimal dan sebagian besar merupakan
saat yang membahagiakan dalam kehidupan.
Kemampuan dalam menghadapi keadaan tersebut
tergantung pada usia, pendidikan, maturitas,
kepribadian, pengalaman kehamilan dan persalinan
sebelumnya, dan keadaan sosial ekonomi.
Perasaan cemas seringkali menyertai kehamilan
terutama pada seorang ibu yang labil jiwanya.
Kecemasan ini mencapai klimaksnya nanti pada saat
persalinan. Rasa nyeri pada waktu persalinan sudah
sejak dahulu menjadi pokok pembicaraan para wanita. Oleh karena itu banyak calon ibu yang muda belia
menghadapi kelahiran anaknya dengan perasaan takut
dan cemas. Beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa wanita- wanita yang mengalami kecemasan
sewaktu hamil akan lebih banyak mengalami persalinan
abnormal.
Kecemasan merupakan periode singkat perasaan
gugup atau takut yang dialami seseorang ketika
dihadapkan pada pengalaman yang sulit dalam
kehidupan (Wangmuba, 2009). Kehamilan dapat
merupakan sumber stressor kecemasan, terutama pada
seorang ibu yang labil jiwanya. Sejak saat hamil, ibu sudah mengalami kegelisahan dan kecemasan.
Kegelisahan dan kecemasan selama kehamilan
merupakan kejadian yang tidak terelakkan, hampir
selalu menyertai kehamilan, dan bagian dari suatu
proses penyesuaian yang wajar terhadap perubahan
fisik dan psikologis yang terjadi selama kehamilan.
Perubahan ini terjadi akibat perubahan hormon yang
akan mempermudah janin untuk tumbuh dan
berkembang sampai saat dilahirkan (Kushartanti, dkk.,
2004).
Kecemasan yang dialami ibu antara lain kecemasan terhadap persiapan persalinan karena sudah
trimester III sehingga ibu akan terlalu mempersalahkan
kesehatan serta cemas akan kondisi bayi. Munculnya
kecemasan apabila bayi yang dilahirkan cacat jasmani atau
82
rohani, yang disebabkan oleh kesalahan atau dosa-dosa
yang pernah dilakukan di masa lampau (Kartono,2002),
kecemasan terhadap keguguran sehingga calon ibu akan
terlalu mempersalahkan kesehatan serta cemas akan
kondisi bayi. Kecemasan lain akan dirasakan calon ibu
ketika kehamilannya mendekati waktu melahirkan, ini
dikarenakan perasaan tentang kondisi fisik (pinggul) terlalu
sempit atau kecil sehingga muncul ketakutan akan operasi
Caesar atau dengan ekstraktor vacum.
Prevalensi (angka kesakitan) gangguan kecemasan
berkisar pada 6-7% dari populasi umum. Penelitian yang dilakukan pada kelompok perempuan pada murid SLA
dengan menggunakan Hamilton Anxiety Rating Scale,
prevalensi gangguan kecemasan sebesar 8-12% . Penelitian
yang dilakukan pada kelompok perempuan murid SLA di
dua kawasan Jakarta, yaitu Jakarta Selatan dan Jakarta
Utara, prevalensi gangguan anxietas sebesar 8-12%.
Penelitian yang sama dengan menggunakan Hamilton
Anxiety Rating Scale, telah dilakukan pada kelompok
perempuan di dua kelurahan, yaitu di Tanjung Duren Utara
dan Tanjung Duren Selatan (Kecamatan Grogol
Petamburan), ternyata prevalensi anxietas sebesar 9,4%. Paparan di atas menunjukkan bahwa gangguan anxietas di
Indonesia terutama di kota Jakarta, menunjukkan
prevalensi yang jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata
umum (Ibrahim, 2002).
Kecemasan ibu hamil yang tinggi bisa
mengakibatkan dampak yang buruk pada ibu dan janinnya.
Kejadian BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), kelahiran
preterm, kromosomial abortus spontan salah satunya
disebabkan oleh kecemasan ibu selama kehamilan. Selain
itu kecemasan juga mengakibatkan hambatan pada
persalinan dan komplikasi kehamilan. Tingginya Angka
Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi di Indonesia diakibatkan oleh adanya komplikasi pada kehamilan dan
persalinan yang salah satunya disebabkan oleh kecemasan
ibu hamil.
Hasil penelitian terhadap ibu hamil yang
dilakukan oleh Damayanti (1995), menunjukkan
bahwa 80% ibu hamil mengalami rasa khawatir, was-
was, gelisah, takut, dan cemas dalam menghadapi
kehamilannya. Perasaan-perasaan yang muncul antara
lain berkaitan dengan keadaan janin yang
dikandungnya, Ketakutan dan kecemasan dalam
menghadapi persalinan, serta perubahan-perubahan fisik dan psikis yang terjadi. Hal senada juga di ungkap
oleh Kartono (1992) bahwa pada usia kandungan tujuh
bulan ke atas, tingkat kecemasan ibu hamil semakin
akut dan Intensif seiring dengan mendekatnya kelahiran
bayi pertamanya. Di samping itu, Trimester ini
merupakan masa riskan terjadinya kelahiran bayi
premature sehingga menyebabkan tingginya kecemasan
pada ibu hamil.
Menurut Andi (1983) kehamilan yang terjadi pada
seorang wanita terutama kehamilan pertama dapat
menimbulkan ketidakseimbangan psikologis, terutama dari
segi emosi. Secara umum hal itu ditandai dengan adanya rasa bimbang, tertekan, dan cemas. Pendapat yang sama
dikemukakan oleh Rini (1999) bahwa kehamilan
merupakan situasi yang penuh dengan emosi dan
kecemasan. Hal-hal yang dicemaskan oleh ibu hamil antara
lain berkaitan dengan persalinan yang akan dijalani, dan
kesehatan diri sendiri serta bayi yang dikandung.
Intervensi untuk mengurangi ketidaknyamanan
dalam kehamilan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan tindakan farmakologi dan non farmakologi.
Berbagai tindakan farmakologi digunakan sebagai
manajemen mengatasi ketidaknyamanan ini. Namun
penggunaan obat sering menimbulkan efek samping dan
kadang obat tidak memiliki kekuatan efek yang diharapkan
(Burroughs, 2001). Sedangkan untuk manajemen nonfarmakologi yang sering diberikan antara lain yaitu
dengan hydrotherapy, massage therapy, aromatherapy,
dan teknik behavioral yang meliputi meditasi, latihan
relaksasi autogenik, serta imajinasi terbimbing dan nafas
ritmik (Yuliatun,2008).
Salah satu tindakan nonfarmakologis yang dapat
digunakan untuk mengurangi kecemasan pada ibu hamil
adalah dengan aromaterapi. Aromaterapi adalah terapi
yang menggunakan essential oil atau sari minyak murni
untuk membantu memperbaiki atau menjaga kesehatan,
membangkitkan semangat, menyegarkan serta menenangkan jiwa dan raga. Aromaterapi memiliki
manfaat yang sangat beragam, mulai dari pertolongan
pertama sampai membangkitkan rasa gembira (Hutasoit,
2002).
Aromaterapi dapat dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain dengan menggunakan oil burner atau anglo
pemanas, lilin aromaterapi, pijat, penghirupan, berendam
pengolesan langsung pada tubuh. Secara ilmiah, reaksi
terjadi karena wewangian tadi mengirimkan sinyal tertentu
pada bagian otak yang mengatur emosi kita (Hutasoit,
2002). Menurut Dr. Alan Huck (Neurology Psikiater dan
Direktur Pusat Penelitian Bau dan Rasa), aroma berpengaruh langsung terhadap otak manusia, mirip
narkotika. Hidung memiliki kemampuan untuk
membedakan lebih dari 100.000 bau yang berbeda. yang
sangat berpengaruh pada otak berkaitan dengan mood
(suasana hati), emosi, ingatan, dan pembelajaran. Salah
satu aroma untuk aromaterapi yang paling digemari
adalah lavender. Berasal dari bunga levender yang
berbentuk kecil dan berwarna ungu. Bunga lavender dapat
digosokkan ke kulit, selain memberikan aroma wangi,
lavender juga dapat menghindarkan diri dari gigitan
nyamuk . Aromaterapi menggunakan minyak lavender dipercaya dapat memberikan efek relaksasi bagi saraf dan
otot-otot yang tegang (carminative) setelah lelah
beraktivitas . Bunga lavender juga memiliki efek
memberikan rasa kantuk (sedatif).Penelitian yang
dilakukan Suprijati pada ibu hamil trimester III
menyimpilkan Aromaterapi terbukti efektif menurunkan
kecemasan pada ibu hamil trimester III dalam menghadapi
persalinan. Hasil Study ANif (2013), dari 166 responden
sebanyak 57% memakai lilin aromaterapi Lavender
sebagai penanganan rasa nyeri saat persalinan. Hal ini
didukung hasil study Sherly (2008), yang menyatakan
bahwa lilin aromatherapy Lavender berpengaruh signifikan dalam penurunan intensitas nyeri persalinan Kala I fase
aktif pada 18 ibu bersalin dengan nilai rata-rata penurunan
83
skala nyeri sebesar sebesar 2,19 dari skala nyeri sebelum
dilakukan intervensi
Metoda nonfarmakologi selanjutnya adalah
relaksasi otot progresif. Relaksasi otot progresif merupakan
salah satu teknik sistematis untuk mencapai keadaan
relaksasi yang dikembangkan oleh Edmund Jacobson
(Supriatin,2011). Dalam jurnal yang berjudul Monochord
sounds and progressive muscle relaxation reduce anxiety and improve relaxation during chemotherapy: A pilot EEG
study (Lee, J.E, 2012) didapatkan hasil bahwa relaksasi
otot progresif dapat memberikan efek relaksasi,
mengurangi kecemasan, dan meningkatkan status fisik
ataupun psikologis klien dengan kanker ginekologi yang
menjalani kemoterapi dengan meningkatkan aktivitas
posterior theta (3,5 – 7,5 Hz) dan menurunkan midfrontal
beta-2 band (20- 29,5 Hz) selama tahap akhir dari terapi
Purwaningtyas (2008), disebutkan bahwa latihan
relaksasi otot progresif merupakan salah satu tehnik
relaksasi otot telah terbukti dalam program terapi terhadap ketegangan otot mampu mengatasi keluhan anxietas,
insomnia, kelelahan, kram otot, nyeri leher dan pinggang,
tekanan darah tinggi, fobi ringan dan gagap (Davis, 1995).
Menurut Black and Mantasarin (1998) bahwa tekhnik
relaksasi progresif dapat digunakan untuk pelaksanaan
masalah psikis. Sehingga relaksasi yang dihasilkan dengan
teknik relaksasi otot progresif dapat bermanfaat untuk
menurunkan kecemasan. Penelitian Praptini dkk,
mengemukakan ada pengaruh relaksasi otot progresif
terhadap tingkat kecemasan pasien kemoterapi dirumah
singgah kanker Denpasar.
Studi pendahuluan yang dilakukan pada 5 orang ibu hamil, primigravida di kabupaten Simalungun,
menyatakan bahwa kegelisahaan menghadapi persalinan
karena belum memiliki pengalaman dalam melahirkan.
Demikian juga halnya pada bidan praktek mandiri
menyatakan belum pernah menerapkan pemberian
aromatherapy dan relaksasi progressif ini pada ibu hamil,
berdasarkan hal tersebut disimpulkan bahwa di Kabupaten
Simalungun para bidan dan ibu hamil belum pernah
mendapat informasi mengenai pengaruh aromaterapi dan
relaksasi otot progresiff terhadap penurunan kecemasan
menjelang persalinan, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Aromatherapi Dan
Relaksasi otot proggresif Terhadap Penurunan Kecemasan
Ibu Hamil Menjelang Persalinan di BPM Kabupaten
Simalungun.
II. METODE PENELITIAN
1.1. Rancangan penelitian
Penelitian ini merupakan quasi eksperimen studies
dengan pendekatan pre test dan post test pada kelompok
intervensi .
1.2. Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah ibu hamil
trimester III di Bidan Praktik Mandiri kabupaten
Simalungun pada bulan April s/d September 2016.
Sampel dalam penelitian adalah ibu hamil trimester III
dengan kecemasan di Bidan Praktik Mandiri kabupaten
Simalungun yang memenuhi criteria inklusi dan enklusi
sebagai berikut:
Criteria inklusi:
- usia 20-40 tahun
- Pendidikan minimal sekolah menengah
- bersedia menjadi responden
Criteria ekslusi:
- Usia kehamilan diatas 36 minggu
Cara pemilihan sampel menggunakan Consecutive
sampling yaitu mengambil ibu hamil yang dating
berkunjung ke Puskesmas Kabupaten Simalungun dan
memenuhi kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian
sampai jumlah subyek yaitu 60 responden terpenuhi.
Perhitungan besar sampel minimal berdasarkan
perhitungan menggunakan uji hipotesis. Berdasarkan
perhitungan didapat hasil n1=n2 =n3 = 20, maka diperoleh
total sampel sebanyak 60 responden dengan jumlah
masing-masing kelompok sebanyak 20 responden.
1.3. Bahan dan Cara Pengumpulan Data
1. Pengumpulan data pada penelitian ini tidak hanya
dilakukan oleh peneliti saja tetapi juga dibantu
oleh enumerator yaitu 20 mahasiswa Prodi
Kebidanan Pematangsiantar semester VI. Kepada
para enumerator dilakukan terlebih dahulu
pemberian informasi tentang penelitian ini dan
dilanjutkan dengan teori dan praktek menerapkan
aromatherapy dan relaksasi otot progressive.
2. Metode pengumpulan data penelitian ini diawali
dengan pengukuran tingkat kecemasan responden sebelum perlakuan pada kelompok control dan
kelompok intervensi. Kemudian penyampaian
teori dan demonstrasi tentang aromaterapi dan
relaksasi otot kepada responden kelompok
intervensi kemudian Meminta responden untuk
mempraktekkannya minimal 6 kali sekali secara
teratur. Yaitu 1 kali pada 4 minggu sebelum
persalinan, 3 kali pada tiga dan dua minggu
sebelum persalinan dan 2 kali pada 1 minggu
sebelum persalinan. Peneliti di bantu oleh
enumerator dan bidan praktik mandiri yang akan mendampingi responden yang akan
melaksanakan itervensi sampai sebelum inpartu.
Adapun Kriteria Bidan Praktik mandiri yang
menjadi pendamping untuk penelitian ini adalah
bidan dengan jumlah kunjungan ibu hamil
minimal 10 setiap bulannya.
3. Pada saat inpartu kala 1 peneliti akan melakukan
observasi kembali tingkat kecemasan ibu dan
hasilnya didokumentasikan dalam lembar
observasi.
4. Bahan yang digunakan adalah lilin aroma
berbagai macam buah. 5. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan
kuesioner, untuk mengukur tingkat ecemasan
menggunakan parameter Hamilton Anxiet Rating
Scale (HARS) yang terdiri dari 14 kelompok
gejala yang ada, dan masing-masing kelompok
gejala diberi penilaian angka (skor) antara 0-4
84
yang artinya bila:0 = tidak ada gejala sama
sekali,1 = satu dari gejala yang ada, 2 = sedang/
separuh dari gejala yang ada, 3 = berat/lebih dari
½ gejala yang ada, 4 = sangat berat semua gejala
ada. Penentuan derajat kecemasan dengan cara
menjumlah nilai skor dan item 1-14 dengan hasil
dan membaginya dalam 2 kategori: Tidak cemas
(bila total skor < 6), Cemas ringan (bila total skor
7-14), Cemas sedang (bila total skor 15-27), dan
Cemas berat (bila total skor > 27),
3.4. Analisa Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah uji ANOVA
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Karakteristik Subyek Penelitian
Karakteristik subyek penelitian didefinisikan sebagai
kekhasan subyek atau ciri-ciri yang melekat pada subyek
penelitian/responden yang membedakan subyek satu
dengan lainnya serta memberikan gambaran mengenai sifat-sifat subyek sebagai sasaran dari penelitian.
Karakteristik subyek dalam penelitian dilihat berdasarkan
tingkat pendidikan formal,pekerjaan, rata-rata penghasilan
perbulan,dan jumlah anak. Berdasarkan hasil pengolahan
data diketahui bahwa sebagian besar subyek berumur 25
s/d 35 tahun yaitu sebanyak 45.0 %, mempunyai
pendidikan formal setingkat sekolah menengah
atas/kejuruan (SMA/SMK) sebesar 76,7%, diikuti 11,7%
berpendidikan SMP dan 11,6% berpendidikan Diploma
III/Strata 1. Sedangkan untuk pekerjaan sebagian besar
subyek menjadi ibu rumah tangga atau tidak bekerja 70.0
%. Rata-rata pendapatan keluarga mayoritas berada pada
tingkat pendapatan rata-rata perbulan Rp. 3.000.000 s/d 4,
Rp. 4.000.000 sebanyak 68,3 %. Sebagian besar subyek
mempunyai jumlah anak 1 orang yaitu sebesar 70.0% ,
anak kedua 26,7 % dan anak ketiga 3,3%. Karakteristik
subyek secara lengkap dapat disajikan pada tabel 4.1 sekaligus merupakan hasil analisis univariat.
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa distribusi karakteristik
subyek pada kedua kelompok perlakuan cenderung mirip,
meskipun matching individual hanya dilakukan
berdasarkan umur dan pendidikan. Berdasarkan umur 50
% responden yng mendapat perlakuan aromaterapi
berumur 20 s/d 24 thn, 55 % responden dengan perlakuan
relaksasi berumur 25 s/d 30 tahun dan 45 % responden
dengan perlakuan kombinasi aromaterapi dan relaksasi
berumur 25 s/d 30 tahun. Pada tingkat pendidikan
responden dengan perlakuan aromaterapi mayoritas berpendidikan SMK/SMA, demikian halnya dengan
responden yang mendapat perlakuan relaksasi dan
kombinasi keduanya. Rata-rata responden yang mendapat
perlakuan aromaterapi, relaksasi dan kombinasi keduanya
menyatakan tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga.
Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Subyek Penelitian
no karakteristik Aromaterapi Relaksasi Kombinasi Total
n % n % n % n %
1 Umur 1. 20 - 24
2. 25 - 29 3. 30 - 35
10
5 5
50,0
25,0 25,0
8
11 1
40.0
55.0 5.0
7
11 2
35.0
55.0 10.0
25
27 8
41.7
45.0 13.3
Total 20 100 20 100 20 100 60 100
2 Pendidikan 1. SMP 2. SMA/SMK
3. DIII/S1
0
17
3
0
85.0
15
2
16
2
10.0 80.0
10.0
5
13
2
25
65.5
10
7 46
7
11.7 76.7
11.6
Total 20 100 20 100 20 100 60 100
3 Pekerjaan 1. IRT 2. Bekerja
10 10
50 50
14 6
70.0 30.0
18 2
90.0 10.0
42 18
70.0 30.0
Total 20 100 20 100 20 100 60 100
4 Jumlah anak
1. 1
2. 2
3. 3
1
18
1
5.0
90.0
5.0
0
18
2
0
90.0
10.0
0
15
5
0
75,5
25
1
51
8
1.7
85.0
13.3
Total 20 100 20 100 20 100 60 100
5 Rata pendapatan/bulan
1. <Rp. 3.000.000
2. 3.000.000 s/d 4.000.000
3. >4.000.000
1
10
9
5.0
50.0
45.0
0
16
4
0
80.0
5.0
4
15
1
20.0
75.0
5.0
5
41
14
8.3
68.3
23.3
85
Dilihat berdasarkan jumlah anak tampak bahwa
mayoritas responden yang mendapat perlakuan
aromaterapi memiliki anak 2, demikian halnya dengan
responden yang mendapat perlakuan relaksasi dan
kombinasi keduanya. Rata-rata penghasilan perbulan
responden pada ketiga perlakuan berada pada kisaran Rp. 3
juta sampai dengan 4 juta rupiah.
b. Pengamatan Perubahan Tingkat Kecemasan Ibu
Pada penelitian ini pengukuran tingkat kecemasan
ibu dilakukan dengan menggunakan parameter Hamilton
anxietas rating scale (skala Hars). Pelaksanaan intervensi
dilakukan 6 kali. Yaitu 1 kali pada 4 minggu sebelum
persalinan, 3 kali pada tiga dan dua minggu sebelum
persalinan dan 2 kali pada 1 minggu sebelum persalinan.
Tabel 4.1.1. Tingkat kecemasan responden sebelum dilakukan intervensi
Tabel 4.2.1. Rata-rata responden
No Tingkat
kecemasan
Aromaterapi Relaksasi Kombinasi Total
n % n % n % n %
1 Ringan 1 5,0 0 0 0 0 1 1.7
2 Sedang 18 90,0 18 90.0 15 75.5 51 85.0
3 Berat 1 5,0 2 10.0 5 25.5 8 13.3
Total 20 100 20 100 20 100 60 100
Tabel 4.2.1. Rata-rata responden sebelum dilakukan
intervensi mengalami tingkat kecemasan sedang, yaitu 90,0 %.
Tabel 4.2.2. Tingkat kecemasan responden setelah dilakukan intervensi
No Tingkat
kecemasan
Aromater
api Relaksasi
Kombina
si Total
n % n % n % n %
1 Tidak
cemas
7 35.0 6 30.0 8 40.0 21 35.0
2 Ringan 10 50.0 11 55.0 12 60.0 33 55.0
3 Sedang 3 15.0 3 15.0 0 0 6 10.0
Total 20 100 20 100 20 100 60 100
Pada tabel 4.2.2. terlihat tingkat kecemasan responden setelah dilakukan intervensi mengalami
perubahan dimana dari 18 responden aromaterapi yang
mengalami kecemasan sedang berubah menjadi 3
responden, dan 7 responden (35 %) tidak lagi merasakan
cemas. Pada responden dengan relaksasi otot setelah
perlakuan mayoritas berada pada tingkat kecemasan ringan
(55,0%), sedangkan responden dengan perlakuan
kombinasi keduanya 60 % berada pada tingkat kecemasan
ringan dan 40 % pada kategori tidak cemas.
Berikut ini adalah grafik perubahan tingkat
kecemasan responden sebelum dan sesudah perlakuan.
Gambar 4.2. Grafik kecemasan responden sebelum
dan sesudah intervensi
0
5
10
15
20
25
30
35
1 5 9 13 17
KECEMASANSEBELUMaroma
KECEMASANSEBELUMrelaksasiI
86
4.3. ANALISA DATA PADA PENGUJIAN
HIPOTESIS
Analisis data untuk pengujian hipotesis pada penelitian ini
dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut :
1. Uji Normalitas Data
Uji normalitas dilakukan untuk memenuhi asumsi
dalam penggunaan statistik parametrik. Dengan demikian sebelum peneliti menentukan uji statistik
yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis
penelitian, perlu dilakukan uji normalitas data yang
bertujuan untuk mengetahu apakah data hasil penelitian
terdistribusi secara normal atau tidak. Untuk memenuhi
asumsi tersebut dalam penelitian ini dilakukan uji
normalitas menggunakan uji Shapiro-Wilk.
Tabel 4.3.1. Uji Normalitas Perubahan tingkat kecemasan
responden sebelum dan sesudah intervensi
Jenis
Intervensi
Kolmogorov
smirnov
Shapiro wilk
Statisti
c
df sig statisti
k
df sig
Aromaterapi ,244 2
0
,003 ,909 2
0
,06
2
Relaksasi
otot
,105
2
0
,200
-
,961 2
0
,55
5
Kombinasi ,166 2
0
,148
,924 2
0
,11
8
Berdasarkan tabel hasil uji normalitas Shapiro-
Wilk pada tingkat kepercayaan 95% (α : 0,05) diketahui
bahwa nilai signifikan pada kelompok perlakuan aroma
terapi menunjukkan 0,062 (> 0,05), kelompok perlakuan
relaksasi otot progresif menunjukkan 0,555 (> 0,05) dan
pada kombinasi aroma terapi dan relaksasi otot progresif
menunjukkan 0,118 (> 0,05), sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa data perubahan skor pada tingkat
kecemasan ibu hamil sebelum dan sesudah perlakuan
terdistribusi normal dan memungkinkan untuk dapat
dilakukan uji hipotesis menggunakan teknik statistik
parametrik. 1. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan guna memenuhi asumsi
dalam pengujian hipotesis dengan teknik statistik
parametrik. Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah
nilai varian pada distribusi data skor perubahan
kecemasan di ketiga kelompok perlakuan sama. Uji ini
cukup penting terutama apabila peneliti bermaksud
menggunakan teknik statistik analisis of varians
(ANOVA) dalam pengujian hipotesis. Asumsi varian
homogen sebaiknya dipenuhi sehingga dalam
penarikan kesimpulan penelitian tidak bias yang disebabkan kesalahan dalam penggunaan uji statistik.
Uji homogenitas dalam penelitian ini digunakan
statistik Levene’s test pada tingkat kepercayaan 95% (α
: 0,05)
Tabel 4.3.2. Uji Homogenitas Varian Perubahan tingkat
kecemasan responden sebelum dan sesudah
intervensi.
Levene Statistic df1 df2 df3
3,275 2 57 0,45
Berdasarkan tabel hasil Levene’s test pada tingkat
kepercayaan 95% (α : 0,05) diketahui bahwa nilai
signifikan pada varian data tingkat kecemasan
menunjukkan 0,045 (< 0,05), sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa distribusi varian data pada ketiga
kelompok perlakuan cenderung tidak homogen. Untuk
menghindari terjadinya bias yang disebabkan pemilihan
teknik statistik maka uji hipotesis penelitian tidak
digunakan teknik statistik analisis of varians (ANOVA)
namun dilakukan menggunakan statistik non parametrik
yaitu Uji Kruskal Wallis pada tingkat kepercayaan 95% (α
: 0,05).
2. Pengujian Hipotesis menggunakan Uji Kruskal Wallis
Uji Kruskal Wallis adalah uji nonparametrik yang digunakan untuk menentukan perbedaan signifikan
data pada dua atau lebih kelompok perlakuan, uji
merupakan alternatif dari uji anova apabila asumsi
normalitas dan homogenitas data tidak terpenuhi.
Tabel 4.3.3. Uji Kruskal-Wallis Test Perubahan tingkat
kecemasan responden sebelum dan sesudah
intervensi.
No Jenis
Intervensi
n Mean
Rank
Chi
Square
df Asymp.
sig
1 Aromaterapi 20 16,55 29,943 ,2 ,000
2 Relaksasi
otot
20 28,48
3 Kombinasi 20 46,48
Tabel diatas merupakan hasil uji Kruskal Wallis
yang menunjukkan bahwa nilai p-value (sig) 0,000 (<
0,05), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan
perubahan tingkat kecemasan pada ketiga metode terapi
yang diberikan pada ketiga kelompok perlakuan.
3. Post Hoc Tests (Kruskal Wallis)
Post Hoc Tests merupakan uji lanjutan untuk melihat
perbedaan antar kelompok perlakuan, sehingga dapat
diketahui perlakuan mana yang paling berpengaruh
terhadap perbedaan tingkat kecemasan sesudah
dilakukan terapi. Post Hoc Test untuk Kruskal Wallis
salah satunya adalah uji Mann Whitney.
87
Tabel 4.3.4. Uji Post Hoc dengan Mann Whitney
Perubahan tingkat kecemasan responden
Aromaterapi dan Relaksasi otot
N
o
Jenis
Inter
vensi
N Me
an
Ra
nk
Sum
Of
Ran
k
Man
n
Whi
tney
Wilc
oxon
W
Z Asy
mp.
Sig.
(2.T
ailed
)
Asy
mp.
Sig(
1
Tail
ed)
1 Aro
mate
rapi
2
0
15,
43
308,
50
98,5
00
308,5
00
-
2,7
55
,006 ,00
5*
2 Rela
ksasi
otot
2
0
25,
58
511,
50
Tabel diatas menunjukkan hasil uji Mann Whitney
perbedaan rata-rata perubahan tingkat kecemasan pada
kelompok aroma terapi 15,43 lebih rendah dari pada
relaksasi otot progresif yaitu 25,58. Dari uji tersebut
diperoleh nilai signifikan 0,006 ( < 0,05) sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perubahan tingkat
kecemasan yang bermakna pada perlakuan aroma terapi dan relaksasi otot progresif.
Tabel 4.3.5. Uji Post Hoc dengan Mann Whitney
Perubahan tingkat kecemasan responden
Aromaterapi dan kombinasi aromaterapi
dan relaksasi otot
No Int
erv
ens
i
N Mea
n
Rank
Sum
Of
Rank
Mann
Whitne
y
Wilc
oxon
W
Z Asymp
. Sig.
(2.Taile
d)
Asymp
. Sig(1
Tailed)
1 A
RT
2
0
11,6
3
232,
50
22,50 232,
5
-
4
,
8
2
2
,000 ,000*
2 K
M
Bn
si
2
0
29,3
8
587,
50
.Tabel diatas menunjukkan hasil uji Mann Whitney
perbedaan rata-rata perubahan tingkat kecemasan pada
kelompok aroma terapi 11,63 lebih rendah dari pada
kombinasi aroma terapi dan relaksasi otot progresif yaitu 29,38. Dari uji tersebut diperoleh nilai signifikan 0,000 ( <
0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan perubahan tingkat kecemasan yang bermakna
pada perlakuan aroma terapi dan kombinasi aroma terapi
dan relaksasi otot progresif.
Tabel 4.3.6. Uji Post Hoc dengan Mann Whitney
Perubahan tingkat kecemasan responden
relaksasi otot dan kombinasi aromaterapi
dan relaksasi otot
N
o
Inter
vensi
N Mea
n
Rank
Sum
Of
Rank
Man
n
Whit
ney
Wilc
oxon
W
Z Asy
mp.
Sig.
(2.Ta
iled)
Asymp
. Sig(1
Tailed)
1 Rlk
otot
20 13,4
0
268,
00
58,0
00
268,
000
-
3,8
61
,000 ,000*
2 Kom
binas
i
20 27,6
0
552,
00
Tabel diatas menunjukkan hasil uji Mann Whitney
perbedaan rata-rata perubahan tingkat kecemasan pada kelompok relaksasi otot progresif 13,40 lebih rendah dari
pada kombinasi aroma terapi dan relaksasi otot progresif
yaitu 27,60. Dari uji tersebut diperoleh nilai signifikan
0,000 ( < 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan perubahan tingkat kecemasan yang
bermakna pada perlakuan relaksasi otot progresif dan
kombinasi aroma terapi dan relaksasi otot progresif.
Berdasarkan seluruh tahapan dalam analisa data
penelitian maka dapat diasumsikan bahwa perlakuan yang
paling berpengaruh terhadap perubahan tingkat kecemasan
pada ibu hamil adalah terapi yang mengkombinasikan antara aroma terapi dan relaksasi otot progresif. Secara
statistik dapat dilihat berdasarkan hasil uji Post Hoc
menggunakan Mann Whitney bahwa rata-rata tingkat
kecemasan pada kelompok perlakuan ini mempunyai nilai
rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
perlakuan yang lain.
Analisis perbedaan tingkat kecemasan ibu
bertujuan untuk mengetahui perbedaan perubahan tingkat
kecemasan ibu setelah diberi intervensi aromaterapi,
relaksasi otot progresiff dan kombinasi keduanya. Metode
analisis yang digunakan pada bagian ini adalah analisis
bivariat yang bertujuan untuk menguji hipotesis penelitian. Adapun hasil analisis bivariat mengguakan uji ANOVA
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.3.7. Uji Anova Perubahan tingkat kecemasan
responden Sebelum dan sesudah intervensi
No
Sum of square
df Mean Square
F Sig.
1 Between group
1040,433 2 520,217 26,968
,000
2 Within Group
1099,500 57 19,289
3 Total 2139,933 59
Berdasarkan table 4.3.7. Hasil uji anova
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna
perubahan tingkat kecemasan responden pada intervensi
aromaterapi, relaksasi otot progresiffe dan kombinasi
aromaterapi dan relaksasi otot (sig = 0,00; sig < 0,05).
88
Tabel . 4.3.8 Tabulasi silang perubahan kecemasan
sebelum dan sesudah intervensi
Perubahan
Jenis Intervensi
Aromaterapi Relaksasi Kombinasi
n % n % n %
10 Point 14 70 5 25 0 0
≥ 10 point 6 30 15 75 20 100
Total 20 100 20 100 20 100
Pada tabel diatas tampak adanya penurunan tingkat
kecemasan responden pada masing-masing intervensi.
intervensi yang paling mempengaruhi perubahan
kecemasan responden adalah intervensi kombinasi
aromaterapi dan relaksasi otot progresiff, dengan rata-rata perubahan lebih dari 10 point 100 %. Hal ini dapat
diasumsikan dari ketiga intervensi, yang paling
berpengaruh terhadap penurunan tingkat kecemasan adalah
kombinasi intervensi aromaterapi dan relaksasi otot
progressif.
4.2. PEMBAHASAN
Hasil penelitian karakteristik responden
menunjukkan, mayoritas responden berada pada rentang
usia kurang dari 25 tahun, 41,7 % dan 25 s/d 30 tahun
(45,0 %).Menurut Nursalam (2001), umur adalah usia
individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan
dan kekuatan sesorang akan lebih matang dalam berfikir
dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang
yang lebih di percaya dari orang yang belum cukup tinngi
kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman
dan kematangan jiwanya. Seseorang yang mempunyai usia
lebih muda ternyata lebih mudah mengalami gangguan
kecemasan dari pada seseorang yang lebih tua, tetapi ada
juga yang berpendapat sebaliknya (Stuart, 2006).
Pendidikan responden mayoritas adalah pada tingkat
pendidikan menengah keatas (SMK/SMA) yaitu 76,7 %. Diharapkan makin tinggi tingkat pendidikan seorang maka
makin banyak pengetahuan yang dimiliki dan makin
mudah proses penerimaan informasi. Sehingga kecemasan
yang mungkin timbul pada saat kehamilan dapat diatasi
dengan baik.
Responden pada penelitian ini mayoritas
pekerjaannya adalah ibu rumah tangga, atau dikategorikan
dengan tidak bekerja. Ibu hamil yang bekerja
mencemaskan kehilangan pekerjaan apabila pekerjaannya
tidak dapat diselesaikan karena kehamilannya, sebaliknya
apabila pekerjaan ibu hamil tidak terlalu berat dan tidak
terlalu banyak tenaga, dimana ibu bisa menjalaninya selama kehamilan, pekerjaannya bisa membawa dampak
positif. Ibu akan fokus keperkerjaannya dan kecemasan ibu
dapat teralihkan. Ditempat kerja ibu bisa mendapatkan
pengetahuan tentang kehamilan dari teman kerjanya dan
pekerjaan ibu dapat menambah pendapatan keluarga
(Astria, 2009). Mayoritas rata-rata pendapatan keluarga
pada penelitian ini adalah berkisar 3 juta sampai dengan 4
juta rupiah. Pendapatan keluarga adalah jumlah
penghasilan riil dari seluruh anggota rumah tangga yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun
perseorangan dalam rumah tangga. Berdasarkan
penggolongannya, Badan Pusat Statistik (BPS, 2008)
membedakan pendapatan menjadi 4 golongan yaitu ,
golongan pendapatan sangat tinggi, adalah jika pendapatan
rata-rata lebih dari Rp. 3.500.000,00 per bulan, golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata antara
Rp. 2.500.000,00 – s/d Rp. 3.500.000,00 per bulan,
Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-
rata antara Rp. 1.500.000,00 s/d Rp. 2.500.000,00 per
bulan - Golongan pendapatan rendah adalah jika
pendapatan rata-rata 1.500.000,00 per bulan, berdasarkan
hal tersebut maka responden pada penelitian dikategorikan
denga n pendapatan tinggi. Menurut Notoatmodjo (2005),
pendapatan berkaitan dengan status kesehatan sehingga
kondisi ekonomi juga akan emengaruhi kualitas hidup
seorang wanita. Kemampuan untuk mencari pendapatan dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dapat menjadi tolak
ukur untuk melihat keterjangkauan terhadap pelayanan
kesehatan. Apabila pelayanan kesehatan tersebut
terjangkau maka masalah kesehatan yang akan muncul di
kemudian hari dapat ditangani sedini mungkin sebagai
upaya preventif (Kasdu, 2002)
Responden pada penelitian ini memiliki jumlah
anak mayoritas 1 orang, atau pada kehamilan pertama.
Jumlah anak merupakan frekuensi kehamilan yang pernah
ibu alami. Selama periode kehamilan hampir sebagian
besar ibu hamil sering mengalami kecemasan terutama
pada ibu primigravida, kehamilan yang dialaminya merupakan pengalaman pertama kali, sehingga trimester
III dirasakan semakin mencemaskan karena semakin dekat
dengan proses persalinan. Berbeda dengan ibu yang sudah
hamil atau melahirkan multigravida) sudah berpengalaman
dalam menghadapi persalinan, makam mereka akan lebih
memahami dan akan lebih tenang (Bobak 2009). Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Astria (2009) yang menyatakan ada hubungan yang
signifikan antara jumlah kehamilan dengan kecemasan ibu
hamil.
Tingkat kecemasan ibu hamil sebelum dilakukan intervensi aromaterapi, mayoritas pada kategori sedang (90
%), dan setelah dilakukan intervensi aromaterapi terdapat
perubahan tingkat kecemasan menjadi kategori ringan (50
%). Hal ini diasumsikan bahwa aroma terapi efektif
menurunkan tingkat kecemasan pada ibu hamil trimester
III. Menurut Stuart and Sundeen, 1991 Kecemasan Sedang
memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal
penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga
seseorang mengalami perhatian selektif namun dapat
melakukan sesuatu yang lebih terarah. Aromaterapi
merupakan sebuah metode penyembuhan dengan
menggunakan minyak esensial yang sangat pekat yang seringkali sangat wangi dan diambil dari sari-sari tanaman.
Unsur-unsur pokok minyak memberikan aroma atau bau
yang sangat khas yang diperoleh dari suatu tanaman
tertentu (Geddes, 2000). Aromaterapi digunakan untuk
mempengaruhi emosi seseorang dan membantu meredakan
gejala penyakit. Minyak esensial yang digunakan dalam
89
aromaterapi ini berkhasiat untuk mengurangi stress,
melancarkan sirkulasi darah, meredakan nyeri, mengurangi
bengkak, menyingkirkan zat racun dari tubuh, mengobati
infeksi virus atau bakteri, luka bakar, tekanan darah tinggi,
gangguan pernafasan, insomnia (sukar tidur), gangguan
pencernaan, dan penyakit lainnya.Penelitian Suprijati
(2013) mengemukakan, pemberian aromaterapi terbukti
efektif untuk menurunkan tingkat kecemasan pada ibu hamil TM III dalam persiapan menghadapi persalinan.
Hal ini sejalan dengan penelitian Wahyuni Sri (2012)
aromaterapi efektif menurunkan kecemasan ibu hamil
trimester III. Intervensi relaksasi otot progresiff adalah
suatu cara dari teknik relaksasi yang mengkombinasi
latihan nafas dalam dan serangkaian kontraksi dan
relaksasi otot (Smeltzer and Bare, 2002). Sedangkan
menurut Asmadi (2008), Teknik Latihan Relaksasi
Progresif sebagai salah satu teknik relaksasi otot yang
terbukti atau terdapat hasil memuaskan dalam program
terapi terhadap ketegangan otot yang mampu mengatasi keluhan anxietas, insomnia, kelelahan, kram otot, nyeri
leher dan pinggang, tekanan darah tinggi, phobia ringan
dan gagap. Selanjutnya, menurut jurnal penelitian dari
Funda (2009) latihan relaksasi progresif ditemukan untuk
mengurangi kecemasan dalam studi yang dilakukan pada
pasien stoma, pasien yang kemoterapi dan pasien psikatri
serta pasien rehabilitasi jantung. Menurut jurnal penelitian
dari Kustanti (2008). Pada penelitian ini didapat hasil
tingkat kecemasan ibu yang akan diberikan intervensi
relaksasi otot progresif sebelum intervensi adalah pada
kategori sedang 18 orang ( (90 %), dan pada kategori berat
2 orang (20%). Setelah dilakukan intervensi terdapat perubahan tingkat kecemasan yaitu , tingkat kecemasan
pada kategori sedang menjadi 3 Orang (15%), pada
kategori ringan menjadi 11 orang (55%) dan 6 orang
lainnya (30%) digolongkan pada kategori tidak cemas. Hal
ini dapat diasumsikan bahwa intervensi relaksasi otot
progresif juga sangan bermakna untuk menurukan tingkat
kecemasan pada ibu hamil trimester III. Menurut Domin
(2001) dalam Wulandari (2006), secara fisiologis, latihan
relaksasi akan membalikkan efek stres yang melibatkan
bagian parasimpatetik dari sistem saraf pusat (Domin,
2001). Relaksasi akan menghambat peningkatan saraf simpatetik, sehingga hormon penyebab disregulasi tubuh
dapat dikurangi jumlahnya. Sistem saraf parasimpatetik,
yang memiliki fungsi kerja yang berlawanan dengan saraf
simpatetik, akan memperlambat atau memperlemah kerja
alat-alat internal tubuh. Akibatnya, terjadi penurunan detak
jantung, irama nafas, tekanan darah, ketegangan otot
tingkat metabolisme, dan produksi hormone penyebab
stres. Seiring dengan penurunan tingkat hormon penyebab
stres, maka seluruh badan mulai berfungsi pada tingkat
lebih sehat dengan lebih banyak energy untuk
penyembuhan (healing), penguatan (restoration), dan
peremajaan (rejuvenation). Penelitian ini sejalan dengan penelitian NA. Triwijaya DKK (2014) yang
mengemukakan, ada pengaruh yang signifikan pemberian
teknik relaksasi otot progresif dengan penurunan tingkat
kecemasan ibu intranatal kala 1 di RSUD Salatiga.
Demikian juga halnya dengan penelitian Praptini KD, dkk,
yang mengemukakan hasil, Pemberian relaksasi otot
progresif berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pasien
yang menjalani kemoterapi yang efektif diberikan pada
kelompok perlakuan. Hasil uji statistik Mann-Whitney U
Test untuk membandingkan selisih tingkatkecemasan pada
kelompok perlakuandan kontrol dan didapatkan nilai p =
0.002 (p <0,05) dimana terdapat pengaruh relaksasi otot
progresif terhadap tingkat kecemasan. Teknik relaksasi otot
progresif ini bekerja pada otot-otot yang tegang disaat subjek merasa cemas. Relaksasi Otot Progresif mampu
merilekskan otot-otot yang tegang tersebut, sehingga
membantu subjek mengontrol kecemasannya.
Pada intervensi kombinasi aromaterapi dan
relaksasi otot , tingkat kecemasan responden sebelum
intervensi adalah pada kategori sedang 15 orang (75%),
dan pada kategori berat ada 5 orang (25%). Dan setelah di
lakukan intervensi terjadi perubahan tingkat kecemasan
responden, yaitu pada kategori tidak cemas ada 8 orang
(40%) dan pada kategori ringan menjadi 12 orang (60%).
Hal ini dapat diasumsikan bahwa kombinasi intervensi aromaterapi dan relaksasi otot prgresiff sangat efektif untuk
menurunkan tingkat kecemasan responden.
Hasil analisis dengan uji anova menunjukkan
bahwa ada perbedaan yang bermakna perubahan tingkat
kecemasan responden pada intervensi aromaterapi,
relaksasi otot progresif dan kombinasi aromaterapi dan
relaksasi otot (sig = 0,00; sig < 0,05). Dan perubahan
tingkat kecemasan responden pada masing-masing
perlakuan tersebut terlihat yang paling berpengaruh untuk
menurunkan kecemasan adalah intervensi dengan
kombinasi aromaterapi dan relaksasi otot progresiff, hal ini
terlihat pada hasil crostabulation, perubahan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah intervensi , intervensi
kombinasi memperoleh hasil perubahan tingkat kecemasan
yang lebih besar dari 10 poiint adalah 100 %.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
a. Aromaterapi, relaksassi otot progresif dan
kombinasi aromaterapi dan relaksasi otot
progressif , berpengaruh yang signifikan terhadap
penurunan tingkat kecemasan ibu hamil trimester III menjelang persalinan, karena itu disimpulkan
hipotesis yang menyatakan Aromatherapi,
relaksasi otot progressif dan kombinasi
aromaterapi dan relaksasi otot progressif efektif
menurunkan tingkat kecemasan ibu hamil
primigravida pada trimester III dapat diterima
b. Dari ketiga perlakuan, yang paling berpengaruh
secara signifikan untuk menurunkan tingkat
kecemasan pada ibu hamil trimester III adalah
intervensi kombinasi aromaterapi dan relaksasi
otot progresif.
5.2. Saran
a. Kepada ibu hamil
Agar selalu berusaha untuk menambah ilmu
dan pengetahuan termasuk berbagai upaya
untuk menurunkan tingkat kecemasan. Dan
90
melaksanakan serta membagikan ilmu dan
keterampilan yang didapat kepada orang lain
b. Kepada tenaga kesehatan dan peneliti
Untuk merencanakan suatu kegiatan pertemuan
ilmiah membahas tentang upaya–upaya
menurunkan kecemasan pada ibu hamil. Terutama
dengan upaya relaksasi otot dan aromaterapi.
DAFTAR PUSTAKA
Adikusuma.(1999).Penatalaksanaan
Stres.http://www.kabefarma.com 123.htm (diakses
5 Januari 2016)
Abimanyu, S. & Thayeb M. 1996. Teknik dan
Laboratorium Konseling. Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Admin E-Jurnal Jp Kebidanan dd 2012 , Sri Wahyuni,
Viky Ayu Rachmawati (2012) Efektivitas
Pemberian Aromaterapi Untuk Menurunkan
Kecemasan Ibu Hamil Trimester Iii Dalam
Persiapan Menghadapi Persalinan Di Rumah
Bersalin Juwanti Sidoharjo Sragen
Andi, M. 1983. Psikologi Orang Dewasa. Surabaya :
Usaha Nasional
Asmadi (2008), Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta, ECG
Benson, R.C.Psycologist Aspect Of Obstetric And
Gynecology In Current Obstetric And Gynecology
Diagnosis And Treatment, Sixteenth Ed,Large
Medical California. Rileks Nyaman Dan Aman
Saat Hamil Dan Melahirkan. Jakarta: Gagas Media
1984
Carpeneto. (2000). Buku saku keperawatan Edisi III.
Jakarta.EGC
Corey,G.(1996). Theory and Practice of Counseling
and Psychotherapy.Edisi ke-
Cunningham, F, 2013. Obstetri Williams, Edisi Ke-21.
Vol. 1. Profitasari, Editor Edisi Bahasa Indonesia.
Jakarta: EGC
Damayanti, N. 1995. Pengaruh Pemberian Informasi
melalui Diskusi Kelompok Terhadap Penurunan
Stress Pada Wanita Hamil. Tesis. Tidak
diterbitkan. Yogyakarta : Program Pasca Sarjana
Universitas Gajah Mada
Freund, Sigmund. (2002). Psicoanalis A General
Intruduction to Psicoanalisis
Geddes & Grosset (penterjemah: Slamet Riyanto). 2000.
Terapi-terapi Alternatif Lotus, Yogyakarta
http://perpus.fkik.uinj kt.ac.id/file_digital/YONNE%20A
STRIA.pdf, Astria, Yonne.(2009). Hubungan
Karakteristik Ibu Hamil Trimester III Dengan
Kecemasan Dalam Menghadapi Persalinan Di
Poliklinik Kebidanan Dan Kandungan. Di a kses
tanggal 10 oktober 20164 jam 13.00 wib.
Huliana, M. 2001., Panduan Menjalani Kehamilan Sehat,
Puspa Swara, Anggota IKAPI, Jakarta.
Hutasoit, Aini S. 2002., Panduan Aromatherapyuntuk
Pemula, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ibrahim, Ayub Sani. 2002. Menyiasati Gangguan Cemas
(1). Jakarta: Pdpersi.
Kosim, HMC , Aspek Kejiawaacosta ASC, Riesco MLG,
2006. A Comparison Of "Hands Off" Versus
"Hands On Techniques For Decreasing Perineal
Lacerations During Birth. J Midwifery Womens
Health
Kertidjo,2002.Pengaruh latihan olah raga pernafasan Bio
Energy Power terhadap derajat Ansietas dan
depresi,www/http: bionergy
power.com/ansietas.htm ( Diakses 8 pebrruari
2016)
Kushartati,W,Dkk, Senam Hamil : Menyamakan
Kehamilan Mempermudah
Persalinan,Yogyakarta: Lintang Pustaka, 2004
Kartono, K. 2002. Psikologi Wanita: Mengenal Wanita
Sebagai Ibu Dan Nenek, , Jilid 2, Mandar Maju,
Bandung.
Kartikasari, B.D. (1995). Hubungan Antaradukungan
Sosial Dengan Kecemasan Dalam Komunikasi
Interpersonal. Skripsi. (Tidak Diterbitkan).
Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Kartono, K. 2002. Psikologi Wanita: Mengenal Wanita
Sebagai Ibu Dan Nenek, , Jilid 2, Mandar Maju,
Bandung.
Kartikasari, B.D. (1995). Hubungan Antaradukungan
Sosial Dengan Kecemasan Dalam Komunikasi
Interpersonal. Skripsi. (Tidak Diterbitkan).
Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Kasdu, Dini. 2002. Kiat Sehat dan Bahagia di Usia
Menopause. Jakarta: Puspa Swara
Lee AM, Lam SK, Sze Mun Lau SM, Chong CS, Chui
HW, et al. (2007) Prevalence, course, and risk
factors for antenatal anxiety and depression. Obstet
Gynecol 110: 1102–1112. doi:
10.1097/01.aog.0000287065.59491.70
Maramis,W.F, Ilmu Kedokteran Jiwa Garret AJ, Airlangga
University Press, Surabaya,1986
Manuaba,IBG.,2010. Ilmu Kebidanan, penyakit
Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan Edisi
2. Jakarta:EGC
McLain DE.(2009) Chronic Health Effects Assessment
of Spike Lavender Oil. Walker
Doney and Associates, Inc 2009; 1-18
Monterey,Cali-fornia:Brooks/Cole ublishing
Company.
N.A.Triwijaya,Wagiyo,Elisa, Pengaruh Teknik Relaksasi
Otot Progresif Terhadap Penurunan Tingkat
Kecemasan Pada Ibu Intranatal Kala I di RSUD
Salatiga,
Nolan, M. 2003. Kehamilan Dan Melahirkan. Jakarta:
Rineka Cipta
91
Oxorn H, 2010. Patologi Dan Fisiologi Persalinan. Jakarta:
Yayasan Essentia Medika
Praptini KD, DKK, Pengaruh relaksasi otot progresife
terhadap kecemasan pasien kemoterapi dirumah
singgah kanker Denpasar.
Powell,T .P .dan Enright,S .M.1990. Anxiety and
Management.London:Routledge.
Purwaningtyas Dan Arum Pratiwi,2008, Pengaruh
Relaksasi Progresif Thd Tingkat Kecemasan
Pada Pasien Skizoperenia Di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Surakarta, Skiripsi,Diterbitkan Kartasura,
Fakultas Ilmu Keperawatan
Savitri,2003. Kecemasan.Jakarta. Pustaka Popular Obor.
Saifuddin (2008), Pelayanan Kesehatan Maternal
Neonatal, Jakarta; Yayasan bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Sivalintar,2007,Rasa takut dan Ansietas,
www//http:sivalintar.com.ansietas.htm (diakses
28 pebruari 2016)
Supriatin DKK,2011,Modul Progressive Muscle
Relaxation (PMR), Perilaku Kekerasan, Modul
Diterbitkan Fakulta Ilmu Keperawatan UI.
Sulistyawati, Ari. (2009). Asuhan Kebidanan Pada
Masa Kehamilan. Penerbit : Salemba Medika.
Suririnah. 2008. Perubahan-perubahan Fisik dan
Psikologis Selama Kehamilan. Skripsi tidak
dipublikasikan.
Stuart & Sundeen (1991), Buku saku keperawatan
jiwa,buku kedokteran jiwa. Jakarta EGC
Smeltzer & Bare. (2002). Buku ajar keperawatan medikal
bedah brunner & suddarth. Alih bahasa: Agung
Waluyo. Edisi 8. Volume 2. Jakarta : EGC
Smeltzer & Bare. (2002). Buku ajar keperawatan medikal
bedah brunner & suddarth. Alih bahasa: Agung
Waluyo. Edisi 8. Volume 2. Jakarta : EGC
Wulandari, P. Y. 2006. Efektivitas Senam Hamil sebagai
Pelayanan Prenatal dalam Menurunkan Kecemasan
Menghadapi Persalinan Pertama Fakultas
Psikologi Universitas Airlangga
www.guysandthomas, nhs.uk/…../ Jacobson-Progressife,
diunduh 10 Januari 2016
Wiknjosastro H, 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Yuliatun, Laily. 2008. Penanganan Nyeri Persalinan
dengan Metode Nonfarmakologi. Malang:
Bayumedia Publishing.
92
EFEKTIVITAS PERINEUM MASSAGE DENGAN MODIFIKASI HANDS-
OFF DAN PERINEUM MASSAGE DENGAN MODIFIKASI HANDS-ON
TERHADAP RUPTUR PERINEUM DI BPM KOTA PEMATANGSIANTAR
Juliani Purba, Tengku Sri Wahyuni
Prodi Kebidanan Pematangsiantar
ABSTRAK
Berbagai metode telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya ruptur perineum, baik sejak kehamilan
maupun pada proses persalinan. Beberapa hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia tentang perineum
massage mendapatkan hasil yang signifikan terhadap penurunan kejadian ruptur perineum. Pada masa
persalinan hasil penelitian juga mendapatkan perbedaan antara persalinan dengan hands on atau hands off
terhadap kejadian keutuhan perineum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektifitas
perineum massage dengan modifikasi hands-off dan perineum massage dengan hands- on terhadap ruptur
perineum pada primipara di BPM Kota Pematangsiantar. Jenis penelitian quasi experiment design dengan
analisis data yang digunakan Chi-Square. Berdasarkan hasil uji statistic dengan menggunakan Chi-Square
diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara perineum massage dengan modifikasi hands-off
dan perineum massage dengan modifikasi hands-on terhadap ruptur perineum yaitu sig(2-tailled) = 0,002 <
0,05, maka dari penelitian ini diketahui bahwa lebih efektif perineum massage dengan modifikasi hands-off daripada perineum massage dengan modifikasi hands-on untuk mencegah terjadinya ruptur perineum pada
ibu primipara di BPM Kota Pematangsiantar.
Kata Kunci: Perineum Massage, Hands-off, Hands-on, Rupture perineum, Primipara
PENDAHULUAN
Hasil SDKI 2012 angka kematian ibu kembali
naik dari 228 per 100.000 kelahiran hidup pada SDKI 2007
menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup, dan hasil ini
masih sangat jauh untuk mencapai target MDGs tahun
2015 sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab
terbesar kematian ibu selama 2010-2013 adalah perdarahan, meskipun data cakupan pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan secara Nasional sampai tahun 2013
sudah mencapai 90,88%. Angka cakupan pertolongan
persalinan di Provinsi Sumatera Utara lebih rendah dari
cakupan Nasional yakni 81,71% (Kemenkes RI, 2014).
Berbagai metode telah dilakukan untuk
mengurangi terjadinya ruptur perineum, baik sejak
kehamilan maupun pada proses persalinan. Perineum
massage adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan
sejak kehamilan.Perineum massage adalah tehnik memijat
perineum pada saat hamil atau beberapa minggu sebelum
melahirkan guna meningkatkan perubahanhormonal yang melembutkan jaringan ikat, sehingga jaringan perineum
lebih elastik dan lebih mudah meregang (Aprilia, 2010).
Beberapa hasil penelitian di berbagai daerah di
Indonesia tentang perineum massage mendapatkan hasil
yang signifikan terhadap penurunan kejadian ruptur
perineum. Penelitian Savitri di Bengkulu pada tahun 2014
mendapatkan ada pengaruh perineum massage pada
primigravida dengan kejadian ruptur perineum pada saat
persalinan dengan nilai p= 0,02. Hasil yang sama juga
diperoleh Kundarti di Kediri dengan nilai p= 0,00; RR=
2,26; 95% CI= 1,50- 4,73 dan hasil penelitian Suharni
juga mendapatkan hasil yang sama (Savitri, 2015;
Kundarti, 2014; Suharni, 2006).
Hasil penelitian di India mendapatkan tidak ada
perbedaan antara persalinan dengan hands on atau hands
off terhadap kejadian keutuhan perineum dengan nilai p=
0,74, ruptur perineum tk. I dengan nilai p= 0,17 dan ruptur
perineum tk. II dengan nilai p= 0,35. Namun demikian untuk kejadian ruptur perineum tk. III, tindakan episiotomi
dan trauma pada daerah periuretra pada persalinan hands
off lebih signifikan dibandingkan dengan hands on
dengan nilai p= 0,01; p= 0,003 dan p= 0,01 (Rozita, 2014).
Hasil penelitian di Iran juga mendapatkan tehnik hands-on
lebih tinggi menyebabkan tindakan episiotomi
dibandingkan dengan tehnik hands- off pada kala II
persalinan dengan persentase masing-masing 84% dan
40% serta nilai p= 0,001 (Foroughipour, 2010).
Hasil survey awal yang telah dilakukan pada
bulan September 2015 di 5 Bidan Praktek Mandiri di kota Pematangsiantar dengan jumlah rata-rata pertolongan
persalinan 4-5 kasus/ bulan penerapan pijat perineum
belum pernah dilakukan dan untuk melahirkan kepala pada
kala II persalinan hanya menggunakan manuver Ritgen/
hands-on. Hasil suvey tersebut juga menemukan angka
kejadian ruptur perineum mencapai 83 % dan belum
pernah dievaluasi nyeri pasca persalinan yang dapat
dijadikan bahan refleksi untuk memperbaiki asuhan yang
diberikan.
93
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini jenis penelitian yang digunakan
quasi experiment design. Dalam pendekatan ini tidak
menggunakan sistem randomisasi namun pendekatan ini
tidak memiliki ciri-ciri rancangan eksperimen sebenarnya,
karena variabel- varibel yang seharusnya dikontrol atau
dimanipulasi sulit dilakukan (Notoadmodjo, 2010). Sampel
penelitian masing-masing 20 orang ibu hamil primigravida yang memenuhi kriteria inklusi. Sejak usia kehamilan 35
minggu di sudah dilakukan perineum massage, dan ketika
persalinan dilakukan metode hands-off atau hand-on.
Tehnik pengambilan sampel secara accidental sampling
yang di ambill pada bulan April - Juni 2016.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada 40 responden
yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang terdiri. Responden dibagi menjadi dua kelompok yang
mendapat perlakuan hands on dan perlakuan hands off
masing- masing 20 responden.
Tabel 1. Karakteristik responden berdasarkan
Hands-Off dan Hands-On
No. Karakteristik Perlakuan
Hands-off Hands-on
F % F %
1. Umur
< 20 Tahun 1 10 12 60
20- 35 Tahun 19 90 8 40
2. Berat Badan Lahir
< 3 Kg 10 50 14 70
> 3 Kg 10 50 6 30
3. Rupture Perineum
Derajat 1 11 55 2 10
Derajat 2 9 45 18 90
Berdasarkan hasil tabel 1 diketahui bahwa umur
< 20 tahun pada kelompok perineum massage dengan
modifikasi hands-off sebanyak 1 responden (10%), umur
20-35 tahun sebanyak 19 responden (90%), pada
kelompok perineum massage dengan modifikasi hands-on
pada umur < 20 tahun sebanyak 12 responden (60%) dan
umur 20-35 tahun sebanyak 8 responden (40%). Diketahui juga dari tabel 1 bahwa berat badan
lahir < 3 Kg pada kelompok perineum massage dengan
modifikasi hands-off sebanyak 10 responden (50%), sama
dengan berat badan lahir > 3 Kg, pada kelompok perineum
massage dengan modifikasi hands-on pada berat badan
lahir < 3 Kg sebanyak 14 responden (70%) dan berat badan
lahir > 3 Kg sebanyak 6 responden (30%).
Tabel 2. Karakteristik Responden berdasarkan derajat
rupture perineum.
No. Karakteristik Ruptur Perineum
Derajat 1 Derajat 2
F % F %
1. Umur
1. < 20 Tahun 2 15,4 11 84,6
2. 20-35 Tahun 11 40,7 16 59,3
2. Berat Badan Lahir
1. < 3 Kg 4 16,7 20 83,3
2. > 3 Kg 9 56,2 7 43,8
Dari hasil tabel 2 diketahui bahwa ibu yang
bersalin pada umur < 20 tahun mengalami rupture
perineum derajat 1 sebanyak 2 responden (15,4%)
sedangkan derahat 2 sebanyak 11 responden (84,6%), dan
umur 20-35 tahun terjadi rupture perineum derajat 1
sebanyak 11 responden (40,7%) dan derajat 2 sebanyak 16
responden (59,3%).
Tabel 2 juga menginformasikan babahwa ibu
yang melahirkan dengan berat badan lahir < 3 Kg
mengalami rupture perineum derajat 1 sebanyak 4
responden (16,7%) dan derahat 2 sebanyak 20 responden (83,3%). Pada ibu- ibu yang melahirkan dengan berat
badan lahir > 3 Kg terjadi rupture perineum derajat 1
sebanyak 9 responden (56,2%) dan derajat 2 sebanyak 7
responden (43,8%).
Tabel. 3. Perbandingan Efektifitas Hands-Off dan
Hands-on Terhadap Rupture Perineum pada Ibu
Primipara Di BPM Kota Pematangsiantar
N
o
Perineum
Massage
Ruptur Perineum p=
Value Derajat 1 Derajat 2
f % f %
1. Hands-off 11 55 9 45 0,002
2. Hands-on 2 10 18 90
Berdasarkan hasil pada tabel 3 diketahui perineum
massage dengan modifikasi Hands-off mendapatkan hasil responden dengan rupture perineum derajat 1 sebanyak 11
responden (55%) sementara dan perineum dengan
modifikasi hands-on lebih banyak pada rupture perineum
derajat 2 sebanyak 9 responden (45%).
Hasil penelitian ini juga menginformasikan
bahwa hands-off efektif untuk mencegah terjadinya ruptur
perineum dengan hasil Sig. (2-tailed) < 0,05 yaitu 0,002 <
0,05 berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara
perineum massage dengan modifikasi Hands-off dengan
perineum Massage dengan modifikasi Hands-on terhadap
rupture perineum pada ibu primipara.
PEMBAHASAN
Sejak kehamilan maupun pada saat proses
persalinan berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah
terjadinya ruptur pada perineum. Terjadinya ruptur
perineum erat kaitannya dengan persalinan primigravida,
kala II yang terlalu lama, faktor bayi yang dilahirkan dan
94
faktor gizi. Diyakini, semakin besar bayi yang dilahirkan
dapat meningkatkan risiko terjadinya rupture perineum.
Pada penelitian ini untuk umur responden yang <
20 tahun lebih banyak yang mengalami ruptur perineum
derajat 2 yakni 11 responden (84,6%) sedangkan
responden pada umur 20-35 tahun hanya 16 (59,3%) yang
mengalami rupture perineum derajat 2. Hal ini sangat
dimungkinkan karena usia responden yang masih terlalu muda untuk memulai proses reproduksinya. Masih ada
organ reproduksi yang belum tumbuh/ berkembang dengan
baik dibandingkan pada responden yang sudah berada pada
usia reproduksi sehat.
Variabel berat bayi lahir tidak menujukan hasil
yang sesuai secara teoritis. Responden dengan bayi berat
lahir > 3 kg hanya 7 (43,8%) yang mengalami rupture
perineum derajat 2. Sedangkan responden dengan bayi
berat lahir < 3 kg mencapai 20 (83,3%) mengalami rupture
perineum derajat 2. Selain faktor berat lahir bayi stautus
gizi ibu juga berpengaruh terhadap kejadian rupture perineum dan status gizi ibu tidak diteliti dalam penelitian
ini. Posisi persalinan, penggunaan oksitosin, tenaga dan
tehnik ibu ketika meneran, dan adanya dukungan orang
mungkin mempunyai andil untuk terjadinya rupture
perineum dibandingkan dengan metode hands-off atau
hands on.
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa responden
yang mendapatkan perineum massage dengan modifikasi
Hands-off lebih tinggi mengalami ruptur perineum derajat
1 yakni 11 responden (55%) sedangkan responden yang
mendapatkan perineum massage dengan modifikasi
Hands-on hanya 2 responden (10%). Penelitian Costa di Brazil menemukan hasil yang berbeda, pada kedua
kelompok responden dengan metode hands-off dan hands-
on 82,2% berbanding 82,7% derajat 1 dan 17,8%
dibandingkan 17,3% ruptur perineum derajat 2.
Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi-Square
diketahui bahwa untuk mencegah terjadinya rupture
perineum pada primipara modifiksai hands-off lebih efektif
dengan hasil Sig. (2-tailed) 0,002 < 0,05 dibandingkan
perineum Massage dengan modifikasi Hands-on. Rozita
(2014) dalam hasil penelitiannya mendapatkan hasil tidak
ada perbedaan yang signifikan yang terlihat pada laserasi perineum (p = 0,74) di antara kedua kelompok (hands-off
dan hands-on).. Laserasi yang paling umum terjadi pada
kedua kelompok tersebut adalah rupture perineum tingkat
pertama. Ruptur perineuma derajat 3 lebih sedikit terjadi
pada kelompok hands-off dibandingkan dengan hands-on
(p = 0,01) begitupula dengan tindakan episiotomi dengan
(p = 0,003).
Pada hasil penelitian ini berbeda dengan
penelitian di Brazil maupun India mungkin dikarenakan
pencegahan ruptur perineum telah dilakukan sejak masa
kehamilan. Bagi ibu yang akan melahirkan rasa takut dan
cemas saat persalinan merupakan hal yang wajar. Terjadinya robekan jalan lahir/ perineum juga merupakan
sumber kecemasan ibu. Dengan pijat perineum diharapkan
kecemasan ibu dapat berkurang karena selama hamil otot-
otot disekitar perineum yang banyak mengandung jaringan
ikat serta kolagen yang bersifat elastik semakin menjadi
alastis (Chapman, 2006).
Hasil penelitian yang dilakukan Trochez (2011) di
England terhadap bidan yang bekerja di unit-unit
maternitas mendapatkan bahwa 299 responden (49,3 %)
menolong persalinan dengan metode hands-off sedangkan
295 responden (48,6%) menggunakan metode hands-on.
Di Indonesia dalam masa pendidikan maupun dalam
pelatihan Asuhan Persalinan Normal (APN) bidan
diajarkan untuk melakukan pertolongan persalinan dengan
metode hands-on. Ketika kepala crowning dengan hands-on diharapkan akan membantu mengendalikan kepala
ketika ekspulsi sehingga tidak terlalu cepat.
KESIMPULAN
1. Umur < 20 tahun lebih banyak mengalami
ruptur perineum derajat 2 sebanyak 11
responden (84,6%) sedangkan umur 20-35
tahun rupture perineum derajat 2 sebanyak 16
responden (59,3%).
2. Ibu dengan BBL < 3 kg dengan ruptur derajat 1
sebanyak 4 responden (16,7%) sedangkan ibu dengan BBL > 3 kg dengan rupture derajat 1
sebanyak 9 responden (56,2%).
3. Perineum massage dengan modifikasi hands-off
dan perineum massage dengan hands-on lebih
efektif untuk mencegah ruptur perineum pada
primipara yaitu sig(2-tailled) = 0,002 < 0,05.
SARAN
Diharapkan kepada petugas Kesehatan khususnya
BPM yang ada di Kota Pematangsiantar dapat
mengoptimalkan penyuluhan tentang persiapan persalinan
terutama cara mencegah ruptur perineum pada proses persalinan.
Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan jumlah
sampel yang lebih besar dan variable penelitian yang lebih
banyak sehingga dapat dijadikan evidence based untuk
memberikan asuhan persalinan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Aprillia Y, 2010. Rileks nyaman dan aman saat hamil dan
melahirkan. Jakarta: Gagas Media
Beckmann MM, Garret AJ, 2009. Antenatal perineal
massage for reducing perineal trauma. Cochrane
Databasse of systematic review, Issue 1.DOI
10.1002/14651858.CD005123
Berghella V, 2012. Obstetric Evidence- Based Guidelines,
Second Editioan.. Series in Maternal-Fetal
Medicine.New York London. Informa Health
Care.
Costa ASC, Riesco MLG, 2006. A Comparison of "Hands
Off" Versus "Hands On Techniques for
Decreasing Perineal Lacerations During Birth. J
Midwifery Womens Health
Cunningham, F, 2013. Obstetri Williams, edisi ke-21. Vol.
1. Profitasari, editor edisi bahasa Indonesia.
Jakarta: EGC
Danuatmaja B, 2004. Persalinan normal tanpa rasa sakit.
Jakarta: Puspa Swarna.
95
Departemen Kesehatan, 2008. Asuhan Persalinan Normal.
Jakarta.
Foroughipour A,Firuzeh F,Ghahiri A, VajiheNorbakhsh
V,Heidari T, 2011. The effectof perineal control
with hands-on and hand-poised methods on
perineal trauma and delivery
outcome.JResMedSci/August2011;Vol16,No 8.
Herdiana , Trirejeki, 2007. Tips pijat perineum, Jakarta:
EGC
Kemenkes RI, 2014. Infodatin Mother Day: Situasi
Kesehatan Ibu. Pusat data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI.
Kundarti FI, Estuning D, Budiarti T, 2014. Pengaruh
pemijatan perineum pada ibu primigravida
terhadap robekan perineum saat persalinan.
Jurnal Gema Bidan Indonesia, Vol III, No.1.
Mongan, Marie FM, 2007. Hypno birthing: metode
melahirkan secara aman, mudah, dan nyaman.
Jakarta: BIP.
Nolan, M. 2003. Kehamilan dan Melahirkan. Jakarta:
Rineka Cipta
Notoatmodjo S, 2010. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta: RinekaCipta.
Rozita R, Sussan S, Huak CY,Sharif NH, 2014. A
Comparison of the‘‘Hands-Off’’ and ‘‘Hands-
On’’ Methods to Reduce Perineal Lacerations
:A Randomised Clinical Trial. The Journalof
Obstetrics and Gynecology of India (November–
December2014)64(6):425–429,
DOI10.1007/s13224-014-0535-2
Oxorn H, 2010. Patologi dan fisiologi
persalinan. Jakarta: Yayasan Essentia
Medika
Saifuddin, 2009.. Ilmu kebidanan. Jakarta
:PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Savitri W, Ernawati, Yusefni E, 2015. Pengaruh pemijatan
perineum pada primigravida terhadap kejadian
rupture perineum saat persalinan di Bidan
Praktek Mandiri di Kota Bengkulu. Jurnal
Kesehatan Andalas, 4 (1).
Suharni, 2006. Pengaruh masase perineum masa ante natal
terhadap rupture perineum pada primipara. Tesis:
Fakultas Kedokteran Klinis Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Trochez R, Waterfield M, Freeman RM, 2011. Hands
on or hands off the perineum: a survey of care
of the perineum in labour (HOOPS). Int
Urogynecol J. 2011 Oct;22(10):1279-85. doi:
10.1007/s00192-011-1454-8. Epub 2011 May
25.
Wiknjosastro H, 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
96
PERBEDAAN PENURUNAN INTENSITAS NYERI DISMENOREA PADA
REMAJA DENGAN MENGGUNAKAN RELAKSASI NAFAS DALAM
DAN RELAKSASI IMAJINASI TERMBIMBING
Hotma Sauhur Hutagaol
PRODI KEBIDANAN PADANGSIDIMPUAN
Abstrak
Dismenorea adalah nyeri yang berhubungan dengan menstruasi. Dismenorea adalah salah satu dari penyebab
tersering dari nyeri panggul. Dan secara negatif mempengaruhi kualitas hidup seseorang dan terkadang
menghasilkan dalam penurunan aktifitas. Teknik relaksasi merupakan salah satu alternatif penatalaksanaan dismenorea. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan penurunan intenstias nyeri
dismenore pada remaja dengan menggunakan relaksasi nafas dalam dan relaksasi imajinasi terbimbing.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan disain quasi experimental dengan pre and post test
goup design untuk mengetahui perbedaan penurunan intensitas nyeri dismenorea dengan menggunakan
relaksasi nafas dalam dan relaksasi imajinasi terbimbing. Data dianalisa menggunakan uji Mann_Whitney,
dan nilai p<0.05 dianggap bermakna secara statistik. Setelah dilakukan relaksasi nafas dalam dan relaksasi
imajinasi terbimbing didapati hasil penurunan rerata nyeri menstruasi pada kelompok relaksasi imajinasi
terbimbing lebih besar dibandingkan penurunan rerata nyeri menstruasi pada kelompok relaksasi nafas
dalam. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan penurunan relaksasi nafas dalam
dibandingkan dengan relaksasi imajinasi terbimbing terhadap nyeri menstruasi.
Kata kunci: Relaksasi Nafas Dalam, Relaksasi Imajinasi Terbimbing, Nyeri Menstruasi
PENDAHULUAN
Latar Belakang Dismenorea adalah nyeri yang berhubungan
dengan menstruasi. Lebih dari 1.5 wanita yang mengalami
menstruasi merasakan nyeri 1-2 hari setiap bulan. Nyeri
menstruasi biasanya terjadi sesaat sebelum menstruasi
terjadi. Hal ini terjadi karena peningkatan hormon
prostaglandin pada hari pertama periode menstruasi. Saat
menstruasi terus berlanjut maka semakin hari kadar
prostaglandin akan menurun dan rasa nyeri juga akan
menurun. Sering kali nyeri menstruasi dirasakan oleh
wanita saat permulaan masa menstruasi dan akan menurun
seiring dengan bertambahnya usia. Oleh karena itu remaja akan lebih rentan mengalami nyeri menstruasi
dibandingkan dengan wanita dewasa (ACOG, 2015).
Dismenorea adalah salah satu dari penyebab
tersering dari nyeri panggul. Dan secara negatif
mempengaruhi kualitas hidup seseorang dan terkadang
menghasilkan dalam penurunan aktifitas. Dismenorea
terbagi dua yaitu dismenorea primer dan dismenorea
sekunder. Dismenorea primer adalah nyeri menstruasi
yang tidak disertai keadaan patologi dari panggul atau
rahim (Osayande, 2014).
Wanita yang mengalami nyeri menstruasi (dismenorea) memproduksi prostaglandin 10 kali lebih
banyak dari wanita yang tidak dismenorea. Prostaglandin
menyebabkan meningkatnya kontraksi uterus, dan pada
kadar yang berlebih akan mengaktivasi usus besar
(Johnston, 2014).
Dismenorea adalah gangguan menstruasi yang
ditandai dengan nyeri berupa kram di daerah perut bagian
bawah, yang diikuti dengan terkadang diikuti dengan muntah, diare, pusing atau pingsan. Dismenorea terjadi
pada 20 - 90 % remaja wanita dan berakibat berat pada 14
– 42% remaja, yang membuat remaja tidak dapat
bersekolah atau kerja (Sayre, 2008).
Di lingkungan SMAN 1 Sayur Matinggi
Kabupaten Tapanuli Selatan diperkirakan 20% siswi
mengalami nyeri menstruasi pada saat menstruasi dan
sekitar 6% siswi SMAN 1 Sayur Matinggi tidak bisa
melakukan aktivitas seperti biasanya disebabkan nyeri
menstruasi (Survei, 2016).
Salah satu alternatif pengobatan dismenorea adalah dengan teknik relaksasi (ACOG, 2015). Terdapat beberapa
teknik relaksasi, yaitu teknik relaksasi nafas dalam dan
teknik relaksasi imajinasi terbimbing, yang salah satu
tujuannya adalah memberikan rasa relaksasi sehingga
terjadi penurunan rasa nyeri.
Relaksasi nafas dalam secara fisiologi
meningkatkan aliran darah ke jaringan tubuh, menurunkan
rasa nyeri dan kecemasan (Heni, 2017).
Relaksasi imajinasi terbimbing adalah metode
relaksasi untuk menghayalkan tempat dan kejadian
berhubungan dengan relaksasi yang menyenangkan. Khayalan tersebut memungkinkan klien untuk memasuki
keadaan atau pengalaman relaksasi (ACOG, 2006).
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan
menganalisis efektivitas relaksasi nafas dalam dan
imajinasi terbimbing terhadap nyeri menstruasi.
97
1.3. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum: Untuk mengetahui efektivitas
relaksasi nafas dalam dan relaksasi imajinasi
terbimbing terhadap nyeri menstruasi pada
remaja.
b. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui intensitas nyeri
menstruasi sebelum dan sesudah dilakukan relaksasi imajinasi terbimbing pada
kelompok intervensi.
b. Untuk mengetahui intensitas nyeri
menstruasi sebelum dan sesudah dilakukan
relaksasi nafas dalam pada kelompok
intervensi.
c. Untuk mengetahui perbedaan intensitas
nyeri menstruasi pada kelompok relaksasi
nafas dalam dan relaksasi imajinasi
terbimbing.
1.4. Hipothesis
1. Terdapat perbedaan efektivitas relaksasi nafas
dalam dan relaksasi imajinasi terbimbing
terhadap nyeri menstruasi pada remaja.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademik
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih akademik mengetahui perbedaan
efektivitas relaksasi nafas dalam dan relaksasi
imajinasi terbimbing terhadap penurunan
intensitas nyeri menstruasi pada remaja.
b. Manfaat Terapan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan pada para bidan dalam
memberikan asuhan kebidanan reproduksi pada
remaja dengan nyeri menstruasi dengan
menggunakan perlakukan relaksasi nafas dalam
dan relaksasi imajinasi terbimbing.
METODE PENELITIAN
1.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah bersifat analitik
menggunakan studi quasi eksperimental, yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh relaksasi imajinasi terbimbing
terhadap nyeri menstruasi. Desain penelitian adalah pre test
and post test group design.
Populasi penelitian ini adalah semua remaja dengan
nyeri menstruasi di SMAN 1 Sayur Matinggi. Subjek
penelitian yang dipilih adalah semua populasi yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi
dalam penelitian ini adalah remaja dengan nyeri
menstruasi. Kriteria eksklusi adalah mengkonsumsi obat
penghilang nyeri atau jamu.
Jumlah sampel dihitung dengan menggunakan
rumus perhitungan sampel dengan metode penelitian quasy eksperimen. Simpang baku kedua kelompok perlakuan
adalah 1,75 (Wirya, 2013).
Besar sampel dihitung dengan rumus dari Sastroasmoro:
n1 = n2 = 2[(𝑧𝛼 + 𝑧𝛽)𝑥 𝑠]2
(x1 – x2)
s = simpang baku nilai rerata dalam populasi, (1,75) dari
penelitian terdahulu (Wirya, 2013)
x1-x2 = 1
α = tingkat kemaknaan 95%
n1 = n2 = 2[(1,96 + 1,282) 𝑥 1,75]2
(5-3) = 16 orang
Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan
analisis univariat dan analisis bivariat untuk mengetahui
hubungan variabel independen dengan variabel dependen
dengan pengujian uji-t berpasangan. Analisis bivariat
digunakan untuk menyatakan analisis terhadap dua
variabel yaitu variabel bebas dan variabel tergantung
dengan menggunakan uji-t berpasangan dengan interval
kepercayaan 95% (α = 0,05) bila p < 0,05 maka variabel
dinyatakan signifikan. Penyajian data dalam bentuk tabel
dan grafik.
1.2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang
digunakan peneliti untuk mengumpulkan data
adalah data primer dengan menggunakan lembar
observasi yang diisi oleh subjek penelitian.
1.3. Metode Analisa Data
Data yang dikumpulkan dianalisis dengan
menggunakan analisis bivariat untuk mengetahui
hubungan variable independen dengan variable dependen dengan pengujian t-test untuk intensitas
nyeri menstruasi.
1.4. Definisi operasional
Untuk lebih menjelaskan dan menghindari
kesalahan penafsiran beberapa kata/istilah dalam
penelitian ini, peneliti merumuskan definisi
operasional kata/istilah tersebut berikut ini.
1. Relaksasi nafas dalam
Defenisi : Relaksasi adalah status hilang dari
ketegangan otot rangka dimana individu
mencapainya melalui praktek nafas dalam yang disengaja (Smeltzer, 2002).
Cara ukur : melakukan nafas dalam dan lambat
lewat hidung (menahan inspirasi secara
maksimal) dan mengeluarkan nafas perlahan-
lahan
lewat mulut.
Alat ukur : lembar observasi
Hasil ukur: Sebelum dilakukan relaksasi nafas
dalam diberi nilai 0, setelah dilakukan diberi
nilai 1
Skala ukur : Nominal 2. Relaksasi imajinasi terbimbing
Defenisi : Relaksasi imajinasi terbimbing adalah
metode relaksasi untuk menghayalkan tempat
dan kejadian berhubungan dengan relaksasi yang
menyenangkan (Kaplan, 2010).
Cara ukur : membayangkan kondisi yang santai
atau tentang
98
pengalaman yang menyenangkan.
Alat ukur : lembar observasi
Hasil ukur: Sebelum dilakukan relaksasi
imajinasi terbimbing diberi nilai 0, setelah
dilakukan diberi nilai 1
Skala ukur : Nominal
3. Nyeri Menstruasi
Defenisi : Nyeri saat haid yang dirasakan responden yang terletak pada perut bagian
bawah yang timbul tidak lama sebelum atau
bersamaan dengan permulaan haid yang
berlangsung beberapa jam atau sampai
berhari-hari.
Cara ukur : Mengukur tingkat nyeri
Alat ukur : Skala nyeri NRS (skala nyeri
numeric)
Hasil ukur : Tingkat Nyeri
Skala ukur : Interval
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai Oktober 2016
sampai Agustus 2017. Sampel yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi sebanyak 16 orang per kelompok.
Kemudian dilakukan pretest untuk mengetahui
intensitas nyeri. Dengan menggunakan lembar
observasi dihitung pola menstruasi selama ini yaitu
siklus dan lama menstruasi . Setelah itu pada kelompok
pertama dilakukan relaksasi nafas dalam, kemudian
pada kelompok kedua dilakukan relaksasi imajinasi terbimbing mulai hari pertama haid sampai hari terahir
haid dan diukur kembali intensitas nyeri dengan
menggunakan kuesioner skala nyeri numerik. Pola
menstruasi dihitung kembali dengan menggunakan
lembar observasi. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan
oleh responden langsung setelah mendapatkan
pelatihan dari peneliti. Setiap pagi peneliti
mengingatkan setiap responden untuk melaksanakan
relaksasi nafas dalam pada kelompok pertama dan
relaksasi imajinasi terbimbing pada kelompok kedua.
Waktu yang dibutuhkan untuk satu orang responden adalah sekitar 5 - 10 menit untuk perlakuan.
Tabel 1 Karakteristik Responden
Karakterist
ik
K.Pertama
Rerata ± SD
K.Kedua
Rerata ± SD
p
Umur 14,3 ± 0,6 14,3 ± 0,4 p>0,05
Umur
Menarche
13,1 ± 0,7 13,2 ± 0,3 p>0,05
Intensitas
nyeri
6,6 ± 1,6 6,6 ± 1,8 p>0,05
Dari tabel 1 diketahui bahwa karakteristik responden tidak
terdapat perbedaan pada kelompok pertama dan kelompok
kedua untuk rerata umur, umur menarche, intensitas nyeri
sebelum dilaksanakan perlakuan dengan nilai p > 0,05.
Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui perbedaan
efektivitas relaksasi nafas dalam dan relaksasi imajinasi
terbimbing terhadap intensitas nyeri menstruasi dengan
menggunakan analisis Uji Mann-Whitney. Hasil analisis
bivariat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 2 Hasil Analisa Efektivitas Relaksasi Nafas Dalam dan Relaksasi imajinasi terbimbing Terhadap Intensitas
Nyeri menstruasi
Intensitas Nyeri Rerata ± SD p
K.Pertama
K.Kedua
4,2 ± 0,4 2,2 ± 0,2
0,001
Tabel 2 menunjukkan perbedaan intensitas nyeri
menstruasi pada kelompok relaksasi nafas dalam dan
kelompok relaksasi imajinasi terbimbing. Rerata intensitas
nyeri menstruasi pada kelompok relaksasi nafas dalam
sebelum perlakuan adalah 6,6 ± 1,6 menjadi 4,2 ± 0,4
setelah dilakukan relaksasi nafas dalam. Rerata intensitas
nyeri menstruasi pada kelompok relaksasi imajinasi
terbimbing sebelum perlakuan adalah 6,6 ± 1,8 menjadi 2,2
± 0,2 setelah dilakukan relaksasi imajinasi terbimbing.
Secara statistik dengan uji mann_whitney terdapat
perbedaan bermakna dengan p value 0,001 (< 0,05).
Gambar 1. Rerata Intensitas Nyeri Menstruasi Pada
Kelompok Pertama (Relaksasi Nafas Dalam) dan
Kelompok Kedua (Relaksasi Imajinasi Terbimbing)
3.2 Pembahasan
Pada penelitian ini didapatkan hasil terdapat
perbedaan intensitas nyeri menstruasi pada kedua
kelompok setelah dilakukan relaksasi nafas dalam dan
relaksasi imajinasi terbimbing. Intensitas nyeri menstruasi
mengalami penurunan lebih banyak pada kelompok kedua
(relaksasi imajinasi terbimbing) dibandingkan kelompok
pertama (relaksasi nafas dalam). Rerata intensitas nyeri
menstruasi atau dismenorea pada kelompok pertama
(relaksasi nafas dalam) menurun dari 6,6 ± 1,6 menjadi 4,2
± 0,4 sedangkan pada kelompok kedua (relaksasi imajinasi terbimbing) rerata intensitas nyeri menstruasi menurun dari
6,6 ± 1,8 menjadi 2,2 ± 0,2 setelah dilakukan relaksasi
imajinasi terbimbing.
Setelah dilakukan relaksasi imajinasi terbimbing rerata
intensitas nyeri menstruasi pada kelompok perlakuan lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Secara
statistik dengan uji t berpasangan terdapat perbedaan
bermakna dengan p value 0,001 (< 0,05).
0
1
2
3
4
5
K.1 K.2
99
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian relaksasi
imajinasi terbimbing memiliki pengaruh yang lebih baik
terhadap penurunan intensitas nyeri menstruasi.
Prinsip yang mendasari penurunan nyeri oleh
relaksasi terletak pada fisiologi system saraf otonom yang
merupakan bagian dari sistem saraf perifer yang
mempertahankan homeostatis lingkungan internal indvidu.
Pada saat terjadi pelepasan mediator seperti bradikilin, prostagandin dan substansi p, akan merangsang saraf
simpatis sehingga menyebabkan vasokonstriksi yang
akhirnya meningkatkan tonus otot yang menimbulkan
berbagai efek seperti spasme otot yang akhirnya menekan
pembuluh darah, mengurangi aliran darah dan
meningkatkan kecepatan metabolisme otot yang
menimbulkan pengiriman impuls nyeri dari medulla
spinalis ke otak akan dipersepsikan sebagai nyeri (Tamsuri,
2007).
Dengan merelaksasikan otot- otot skelet yang
mengalami spasme yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah
dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang
mengalami spasme dan iskemik (Smeltzer, 2002).
Novarenta dalam penelitiannya terhadap tiga
orang responden dengan nyeri berat menstruasi
mendapatkan hasil setelah dilakukan relaksasi imajinasi
terbimbing terjadi penurunan intensitas nyeri menjadi nyeri
ringan (Novarenta, 2013).
Relaksasi imajinasi terbimbing dengan
menghayalkan situasi yang menyenangkan dengan
visualisasi mampu merangsang tubuh untuk melepaskan
opoiod endogen yaitu endorphin dan enkefalin. Hormon ini akan memberikan pengaruh terhadap penurunan rasa nyeri.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Dari hasil penelitian berdasarkan hasil analisis
bivariat dengan menggunakan uji
Mann_Whitney didapatkan adanya perbedaan
nilai rerata intensitas nyeri menstruasi pada
kelompok pertama (relaksasi nafas dalam) dan
kelompok kedua (relaksasi imajinasi terbimbing), yaitu intensitas nyeri menstruasi
lebih rendah pada kelompok relaksasi
imajinasi terbimbing dibandingkan kelompok
relaksasi nafas dalam.
2. Dari hasil analisis statistik dengan
menggunakan uji Mann_Whitney didapatkan
nilai P=0,001 < α=0,05 dimana ada perbedaan
bermakna antara nyeri menstruasi antara
kelompok pertama dan kelompok kedua, maka
dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
efektivitas penurunan intensitas nyeri
menstruasi pada kelompok relaksasi nafas dalam dan kelompok relaksasi imajinasi
terbimbing yang signifikan terhadap
penurunan intensitas nyeri menstruasi pada
remaja.
5.2. Saran
1. Perlunya sosialisasi berkelanjutan kepada
remaja untuk penatalaksanaan nyeri
menstruasi sehingga akan diperoleh hasil yang
optimal.
2. Perlunya pendekatan berkesinambungan
kepada remaja untuk menanamkan pentingnya
pelaksanaan teknik relaksasi terhadap penurunan intensitas nyeri menstruasi.
DAFTAR PUSTAKA
ACOG, 2015. Dysmenorrhoea, Painful Periods. FAQ046.
Arikunto, S. 2003. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan
Praktek . Edisi IV. Jakarta: Rineka Cipta.
Heni Apriyani, Sono, The Influence Of Deep Breathing
Relaxation Technique On Nauseous Scale In
Gastrointestinal Disorders Patients. Proceeding
International Conference On Inter Professional Collaboration 2017. Jakarta: Poltekkes Jakarta 3.
Novarenta A, 2013. Guided Imagery Untuk Mengurangi
Rasa Nyeri Saat Menstruasi. Jurnal Ilmiah
Psikologi Terapan. ISSN: 2301-8267 Vol 01, No.02
Agustus, 2013. Fak Psikologi
Univ.Muhammadiyah Malang
Osayande S, Mehulic S. 2014. Diagnosis and Initial
Management of Dysmenorrhea. Am Fam
Physician. 2014;89(5):341-346.
Perry, AG, Potter PA .2005. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan;Konsep, Proses dan Praktik , Vol.2
Alih Bahasa. Editor Monica Ester Dkk, Jakarta : EGC
Poornima, 2015. The Effects of Classical Music based
Chakra Meditation on the Symptoms of
Premenstrual Syndrome. The International
Journal of Indian Psychology ISSN 2348-5396
(e) | ISSN: 2349-3429 (p) Volume 2, Issue 3.
Sayre C. 2008. Taming Menstrual Cramps In
Adolescents.Http://Www.Nytimes.Com/Ref/
Health/Healthguide/Esn-Menstrualcramps-
Ess.Html
Sastroasmoro S. 2011. Dasar-dasar Metodologi penelitian klinis. Jakarta: CV.Sagung seto.
Smeltzer & Bare 2002. Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 8. Vol 1. Alih Bahasa Agung Waluyo. Jakarta.
EGC
Smeltzer & Bare 2002. Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 8. Vol 2, EGC. Jakarta.
Tamsuri A, 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri.
Jakarta. EGC
Wirya I, Sari MD, 2013, Pengaruh Pemberian Masase
Punggung Dan Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien
Post Appendiktomi Di Zaal C Rs HKBP Balige Tahun 2011, Jurnal Keperawatan HKBP Balige,
Vol.1 No.1, Juni 2013 ISSN 2338-369091
100
EFEKTIVITAS BERKUMUR LARUTAN EKSTRAK ETANOL KULIT
KAYU MANIS DALAM MENURUNKAN AKUMULASI PLAK GIGI
Syahdiana Waty*, Dwi Suryanto**, Yurnaliza**
*Poltekkes Kemenkes Medan, ** Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Sumatera Utara
Email : [email protected]
Abstrak
Kulit kayu manis merupakan salah satu obat tradisional yang diduga mengandung beberapa senyawa
antibakteri seperti flavonoid, saponin dan cinnamaldehid yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri di
rongga mulut. Efek ekstrak kulit kayu manis secara in vitro terhadap bakteri di rongga mulut telah sering dilakukan namun pengaruhnya sebagai obat kumur dalam menurunkan indeks plak gigi perlu dikaji.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas berkumur dengan larutan ekstrak etanol kulit kayu
manis dalam menurunkan akumulasi plak gigi. Kulit kayu manis diekstrak secara maserasi dengan etanol
80%. Obat kumur kulit kayu manis dibuat pada konsentrasi 6.25%. Sampel dalam penelitian ini merupakan
responden yang berkunjung di klinik Drg. Syahdiana Waty, Medan, Sumatera Utara. Pengukuran indeks
plak gigi dilakukan dua kali yaitu sebelum berkumur dan sesudah berkumur dengan larutan ekstrak etanol
kulit kayu manis. Analisis data yang digunakan adalah uji Wilcoxon untuk mengetahui perbedaan yang
signifikan antara indeks plak gigi sebelum berkumur dan sesudah berkumur dengan larutan ekstrak etanol
kulit kayu manis. Hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit kayu manis mengandung senyawa
metabolit sekunder golongan alkaloida, flavonoid, saponin dan glikosida. Perbedaan indeks plak gigi yang
signifikan antara sebelum dan sesudah berkumur dengan larutan ekstrak etanol kulit kayu manis 0.000 (<0.05). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa larutan ekstrak etanol kulit kayu manis
efektif menurunkan akumulasi plak gigi.
Kata kunci : kulit kayu manis, indeks plak gigi, obat kumur
PENDAHULUAN
Kulit kayu manis (Cinnamomum burmanni)
merupakan salah satu tanaman rempah obat tradisional
yang murah dan mudah didapat namun masih belum
dimanfaatkan secara maksimal. Kulit kayu manis dan
daunnya memiliki kandungan minyak atsiri, saponin dan
flavonoid yang sudah banyak digunakan sebagai tanaman herbal yang berkhasiat untuk berbagai penyakit (Pitojo et
al., 2016). Kandungan terbesar dari kulit kulit kayu manis
adalah minyak atsiri yang mempunyai kandungan utama
senyawa sinamaldehid (60.72%), eugenol (17.62%) dan
kumarin (13.39%). Kandungan tersebut memiliki potensi
sebagai antibakteri (Puspita et al., 2013).
Penyakit gigi dan mulut di Indonesia prevalensinya
terus meningkat, dan yang paling tinggi adalah karies.
Terjadinya karies dan kelainan jaringan penyangga gigi
diawali dengan terbentuknya plak gigi (Pratiwi, 2005).
Terbentuknya plak yang berupa lapisan tipis yang
menempel pada permukaan gigi dan terkadang juga ditemukan pada gusi dan lidah adalah disebabkan oleh
sisa-sisa makanan yang diuraikan oleh bakteri-bakteri
patogen yang ada di rongga mulut (Chandraban et al.,
2012).
Berbagai cara dan metode untuk mengurangi
akumulasi plak di dalam rongga mulut telah banyak
dilakukan, antara lain dengan menyikat gigi dengan teratur,
berkumur dengan larutan antiseptik, membersihkan
interdental dengan dental floss, membersihkan lidah,
mengunyah permen karet, dan menghindari makanan yang
manis (Ladytama et al., 2014). Cara yang paling mudah
untuk menghilangkan plak adalah dengan berkumur. Beberapa penelitian telah menunjukkan efektivitas dan
kegunaan obat kumur antiseptik yang mengandung bahan
aktif seperti chlorhexidine dan minyak esensial untuk
mencegah dan mengontrol pembentukan plak dan radang
gusi (Endarti et al., 2006).
Pada penelitian Puspita et al., (2013) diketahui
bahwa ekstrak kulit kayu manis berpengaruh terhadap
pertumbuhan Streptococcus mutans yang merupakan
bakteri utama penyebab karies gigi, tetapi belum ada
informasi tentang efektivitas penggunaan ekstrak kulit
kayu manis tersebut sebagai obat kumur untuk mengurangi
plak gigi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui efektivitas berkumur
larutan ekstrak etanol kulit kayu manis dalam menurunkan
akumulasi plak gigi.
101
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental
murni dengan rancangan one group pretest-postest.
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium farmasi
Universitas Sumatera Utara dan klinik Drg. Syahdiana
Waty. Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari kulit kayu
manis dengan pelarut etanol dan aquades steril sebagai
pelarut obat kumur. Besar sampel sebanyak 40 dan dihitung berdasarkan rumus Slovin yang merupakan
responden yang berkunjung di Klinik Gigi Drg. Syahdiana
Waty, Medan dan sesuai dengan kriteria inklusi.
Pembuatan ekstrak kulit kayu manis dilakukan
dengan cara maserasi. Simplisia sebanyak 1 kg direndam
ke dalam 10 L etanol 80% yang sudah didestilasi selama 7
hari. Maserat yang dihasilkan dievaporasi menggunakan
rotary evaporator pada suhu 60˚C. Selanjutnya ekstrak
dimasukkan ke dalam water bath untuk menghilangkan
uap air yang tersisa dari rotary evaporator. Ekstrak kulit
kayu manis tersebut selanjutnya dilakukan pengujian
fitokimia yang meliputi alkaloid, glikosida, glikosida
antrakuinon, saponin, tanin, flavonoid dan
steroid/triterpenoid.
Sebelum berkumur dengan larutan ekstrak etanol
kulit kayu manis, dilakukan pengukuran indeks plak pada
bagian bukal gigi 16, 26, 36 dan 46 serta labial dari gigi 11
dan 31. Larutan obat kumur ekstrak etanol kulit kayu manis 6.56% diaplikasikan pada responden sebanyak 10
ml selama 30 detik kemudian diukur kembali indeks plak
gigi setelah 30 menit. Pengolahan data pada penelitian ini
menggunakan uji Wilcoxon.
HASIL
Maserasi dari 1000 gram simplisia kulit kayu manis
menggunakan pelarut etanol 80% dihasilkan filtrat
berwarna coklat sebanyak 8750 mL. Setelah diuapkan
dengan rotary evaporator diperoleh ekstrak kental
sebanyak 335 gram atau sebesar 33.5% berwarna coklat kemerahan. Ekstrak ini akan digunakan sebagai larutan
kumur.
Hasil uji fitokimia pada ekstrak etanol kayu manis
menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit kayu manis
mengandung senyawa metabolit sekunder golongan
saponin, flavonoid, alkaloid dan glikosida sedangkan tanin,
steroid dan antrakuinon tidak ditemukan ( Tabel 1).
Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Etanol Kulit Kayu
Manis
Tabel 2. Distribusi frekuensi responden menurut jenis
kelamin
Jenis Kelamin N %
Laki-laki 13 32.5
Perempuan 27 67.5
Total 40 100
Tabel 3. Distribusi indeks plak menurut kategori skor plak
Kategori skor
plak
Sebelum
berkumur
Sesudah
berkumur
n % n %
Baik 0 0 38 95
Sedang 8 20 2 5
Buruk 32 80 0 0
Total 40 100 40 100
Tabel 4. Hasil analisis perbandingan indeks plak sebelum dan sesudah berkumur larutan ekstrak etanol kulit kayu
manis
Indeks plak gigi P
Rerata±SD
Sebelum berkumur 2.146±0.302 0.000
Sesudah berkumur 0.516±0.265 0.000
PEMBAHASAN
Kulit kayu manis yang diekstrak degan pelarut
etanol menghasilkan ekstrak yang lebih banyak dalam
penelitian ini. Penelitian Alusinsing et al. (2014) juga menggunakan pelarut etanol 80% dalam maserasi serbuk
kayu manis sebanyak 300 gram dalam 1500 mL etanol.
Filtrat yang dihasilkan sebanyak 900 mL dan ekstrak
kental sebanyak 83.56 gram atau 27.8 %. Jika
dibandingkan dengan penelitian Alusinsing et al. (2014),
maka hasil ekstrak yang dihasilkan dalam penelitian ini
jumlahnya lebih banyak.
Kulit kayu manis diduga memiliki senyawa-
senyawa metabolit sekunder yang dapat digunakan dalam
pengobatan dan dapat dideteksi dengan skrining fitokimia.
Penelitian Puspita et al. (2013), juga menemukan senyawa
metabolit sekunder pada ekstrak kulit kayu manis diantaranya adalah transinamaldehid, polifenol, flavonoid,
saponin dan tannin. Pada penelitian Awang et al. (2013)
melaporkan bahwa minyak esensial kulit kayu manis juga
mengandung cinnamaldehid yang berpotensi sebagai
antimikroba. Begitu juga dengan penelitian Repi et al.
(2016) yang menyatakan bahwa kulit kayu manis
mengandung beberapa senyawa antibakteri seperti eugenol
dan cinnamaldehid.
Perbandingan jumlah sampel yang berjenis kelamin
laki-laki dengan sampel yang berjenis kelamin perempuan
yaitu sebanyak 14 sampel, yang terdiri dari 27 sampel berjenis kelamin perempuan dan 13 berjenis kelamin laki-
laki. Dari hasil penelitian diketahui indeks plak gigi
sebelum berkumur 80% (32 sampel) termasuk dalam
kategori buruk dan 20% (8 sampel) termasuk dalam
kategori sedang. Tidak ada sampel yang memiliki indeks
plak dengan kategori baik. Hal ini disebabkan karena
Uji Fitokimia
Hasil Skrining Positif
(+) / Negatif (-)
Tanin -
Steroid/ Triterpenoid -
Saponin +
Flavonoid +++
Alkaloid ++
Glikosida +++
Antrakuinon -
102
masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga
kesehatan gigi dan mulut (Sartika et al., 2015).
Hasil pemeriksaan indeks plak gigi setelah
berkumur dengan larutan ekstrak etanol kulit kayu manis
menunjukkan hasil indeks plak 95% (38 sampel) termasuk
kategori baik dan hanya 5% (2 sampel) dengan kategori
sedang. Hal ini menunjukkan bahwa berkumur dengan
larutan ekstrak kulit kayu manis mampu menurunkan akumulasi plak.
Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa indeks plak gigi
berkurang secara signifikan 0.000 (p<0.05) setelah
berkumur dengan larutan ekstrak etanol kulit kayu manis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berkumur dengan
larutan ekstrak etanol kulit kayu manis efektif dalam
menurunkan akumulasi plak gigi. Hal ini disebabkan
karena kandungan pada kulit kayu manis mengandung
senyawa antibakteri diantaranya transinamaldehid,
polifenol, flavonoid dan tannin (Tasia et al., 2014).
Kemampuan antibakteri pada ekstrak kulit kayu manis mampu menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans
sebagai salah satu bakteri penyebab terbentuknya plak
(Puspita et al., 2013). Berkumur merupakan upaya
melepaskan sisa-sisa makanan yang menempel pada gigi.
Menyikat gigi dan berkumur bertujuan untuk memelihara
kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut. Dalam hal ini
berkumur dengan larutan ekstrak etanol kulit kayu manis
dapat dipertimbangkan sebagai obat kumur yang aman dan
dapat menurunkan akumulasi plak.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Ekstrak kulit kayu manis mengandung
senyawa metabolit sekunder golongan
alkaloid, flavonoid, saponin dan glikosida.
2. Obat kumur ekstrak etanol kulit kayu
manis efektif secara signifikan 0.000
(p<0.05) dalam menurunkan akumulasi
plak di rongga mulut.
SARAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh oleh peneliti
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh
penggunaan obat kumur ini dalam jangka waktu yang lama, efek lain terhadap kesehatan gigi dan mulut serta
efektivitas obat kumur ekstrak kulit kayu manis
dibandingkan dengan obat kumur sintetik.
DAFTAR PUSTAKA
Alusinsing, G., Bodhi, W., dan Sudevi, S. 2014. Uji
Efektivitas Kulit Batang Kayu Manis
(Cinnamomum burmannii) terhadap Penurunan
Kadar Gula Darah Tikus Putih Jantan Galur
Wistar (Rattus norvegicus) yang Diinduksi
Sukrosa. Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi. 3(3)
: 275-278. Awang, AFIB., Susanti, D., and Taher, M. 2013.
Antimicrobial Activity and Synergic Effect of
Cinnamomum burmanii’s Essential Oil & its
Isolated Compound (Cinnamaldehyde).
International Conference on Chemical,
Agricultural and Medical Sciences. 29-30.
Chandrabhan, D., Hemlata, R., Renu, B. and Pradeep. V.
2012. Isolation of Dental Caries Bacteria from
Dental Plaque and Effect of Tooth Pastes on
Acidogenic Bacteria. Open Journal of Medical
Microbiology. 2. 65-69.
Endarti, Fauzia, dan Zuliana, E. 2006. Manfaat Berkumur dengan Larutan Siwak (Salvadora persica).
Majalah Kedokteran Nusantara. 39(4) : 393-401.
Ladytama, SR., Nurhapsari, A., dan Baehaqi, M. 2014.
Efektivitas Larutan Ekstrak Jeruk Nipis (Citrus
Aurantifolia) Sebagai Obat kumur Terhadap
Penurunan Indeks Plak Pada Remaja Usia 12-15
Tahun- Studi di SMP Nurul Islami, Mijen,
Semarang. Odonto Dental Journal. 1 (1).
Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Rineka Cipta.
Pitojo, S., dan Zumiati. 2016. Tanaman Bumbu dan Pewarna Nabati, Edisi. VIII. CV. Aneka Ilmu,
Semarang. 64-66.
Pratiwi, R. 2005. Perbedaan Daya Hambat terhadap
Streptococcus mutans dari beberapa Pasta Gigi
yang Mengandung Herbal. Majalah Kedokteran
Gigi (Dental Journal). 38. 64-67.
Puspita, A., Kholifa, M., dan Rochmanita, N. 2013.
Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Kulit kayu manis
(Cinnamomum burmanni) dalam Menurunkan
Pertumbuhan Streptococcus mutans secara In
Vitro. Fakultas Kedokteran Gigi UMS.
Repi, NB., Mambo, C., dan Wuisan, J. 2016. Uji Efek Antibakteri Ekstrak Kulit Kayu Manis
(Cinnamomum burmannii) terhadap Escherechia
coli dan Streptococcus pyogenes. Jurnal e-
Biomedik (eBm). 4(1) : 1-5.
Sartika, S., Kawengian, S.E.S., and Mariati NW. 2015.
Efektivitas Berkumur dengan Air Seduh Teh
Hijau dalam Menurunkan Akumulasi Plak.
Jurnal e-Gigi (eG).3(2) : 426-431.
Tasia, WRN., dan Widyaningsih, TD. 2014. Jurnal Review
: Potensi Cincau Hitam (Mesona palustris BI.),
Daun Pandan (Pandanus amaryllifolius) dan Kulit kayu manis (Cinamomum burmanii)
Sebagai Bahan Baku Minuman Herbal
Fungsional. Jurnal Pangan dan Agroindustri
.2(4) : 128-136.
103
UNDANGAN MENULIS DI JURNAL POLTEKKES MEDAN
Redaktur Jurnal Poltekkes Medan mengundang para pembaca untuk menulis di jurnal ini. Tulisan ilmiah yang
dimuat adalah berupa hasil penelitian atau pemikiran konseptual dalam lingkup kesehatan.
Persyaratan yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut: 1. Tulisan adalah naskah asli yang belum pernah dipublikasikan.
2. Tulisan disertai abstrak, ditulis satu spasi dengan bahasa Indonesia atau Inggiris maksimal 200 kata.
3. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik, disertai lembaga asal dan ditempatkan dibawah judul
artikel. Penulis utama harus mencantumkan alamat korespondensi atau e-mail.
4. Kata kunci (keywords) minimal 2 (dua) kata, ditulis di bawah abstrak.
5. Setiap naskah memiliki sistematika sub judul pendahuluan, diikuti oleh beberapa sub judul lain dan berakhir
dengan sub judul penutup atau simpulan.
6. Naskah diketik rapi satu spasi dalam bahasa Indonesia atau Inggiris, Font : Times New Roman, size, 11, format :
A4 justify.
7. Panjang naskah minimal 4 (empat) halaman dan maksimal 8 (delapan) halaman, termasuk rujukan.
8. Sumber rujukan/kutipan dimasukkan dalam tulisan (tanpa footnote)
9. Tulisan dikirim dalam bentuk hard copy dan soft copy. Hard copy dikirim ke Poltekkes Kemenkes Medan Cq Unit Penelitian. Soft copy : e-mail : [email protected] dan [email protected]
10. Redaktur berhak mengedit dengan tidak merubah isi dan maksud tulisan.
11. Redaksi memberikan hasil cetak sebanyak dua eksemplar bagi penulis.
12. Naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan bila dalam pengirimannya disertakan perangko pengembalian,
atau diambil langsung ke redaktur.
13. Biaya yang dikenakan untuk satu artikel (tulisan) sebesar Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah).