jurnal stroke-puncture translete
DESCRIPTION
translete jurnalTRANSCRIPT
STUDI TERANDOMISASI MENGENAI PUNGSI DAN ASPIRASI
URGENSI HEMATOMA BERBASIS CT DI UGD DAN EVAKUASI
LANJUTAN DENGAN MENGGUNAKAN KRANIEKTOMI VS
KANIEKTOMI SAJA
Artikel Klinis
Bo Xiao, M.D., Fang-Fang Wu, M.D., Hong Zhang, M.D., and Yan-Bin Ma, M.D.
Department of Neurosurgery, No. 3 People’s Hospital Affiliated to Shanghai Jiao Tong University School of Medicine, Shanghai, China
Objektif: Saat mengobati pasien dengan intracerebral hemorrhage (ICH) spontan masif supratentorial (≥ 70 mL) prognosis dari operasi adalah buruk. Respon pupil yang memburuk telah dicermati pada pasien preoperative meskipun telah dilakukan control tekanan darah dan pemberian diuretik. Karena operasi terbuka membutuhkan waktu untuk dekompresi, penulis membuat suatu studi prospektif acak untuk menentukan apakah pasien dengan ICH spontan masif supratentorial memiliki lebih banyak keuntungan apabila dilakukan prosedur dekompresif yang urgensi.
Metode: Secara keseluruhan, 36 pasien yang memenuhi syarat diikutsertakan dalam studi ini. Grup A terdiri dari 12 pasien yang menjalani pungsi hematoma berbasis pencitraan CT yang bersifat krusial dan aspirasi darah parsial di UGD, serta evakuasi hematoma berikutnya melalui kraniektomi di ruang operasi umum, Grup B memiliki 24 pasien yang menjalani pengangkatan hematoma hanya menggunakan kraniektomi. Respon pupil dikelompokkan menjadi 5 kelas (Kelas 0, pupil terfiksasi bilateral; Kelas 1, secara sepihak terfiksasi dengan diameter pupil tetap> 7 mm; 2 kelas, secara sepihak dengan pupil terfiksasi tetap ≤ 7 mm; Kelas 3, secara sepihak lamban, dan; Kelas 4, refleks respon cepat pupil bilateral dinilai 3 kali secara perioperatif). Kategori kelas didapatkan dari waktu pertama kali masuk, saat operasi dekompresi (dilihat saat cairan hematoma mulai dialirkan pada grup A dan saar membuka duramater pada grup B), serta diakhir kraniektomi. Skala Barthel digunakan untuk menilai ketahanan fungsional selama 12 bulan selanjutnya. Grup A dan B kemudian dibandingkan. Analisis regresi logistik digunakan untk menilai positive likelihood ratio pada semua variable baik secara ketahanan atau fungsionalnya (Skor skala Barthel ≥ 35 pada 12 bulan).
1
Hasil: Operasi dekompresi dilakukan ± 60 menit lebih cepat pada grup A daripada grup B. Reflek pupil yang memburuk sebelum dekompresi tidak terlihat pada grup A, sedangkan pada grup B terdapat 9 orang. Selama terapi dekompresi respon pupil lebih baik pada grup A (p < 0,05). Meskipun hanya 1/3 volume hematoma yang terdeteksi pada CT scan dapat dialirkan sebelum kraniektomi, namun saat aspirasi parsial yang diikuti kraniektomi, terlihat adanya perbaikan respon pupil setelah kaniektomi dilakukan. Selain itu, kelangsungan hidup dan skor Barthel didapatkan lebih baik daripada grup B (p< 0,05). Analisis regresi logistik menyaakan bahwa satu variabel, pupil minimal grade 3 pada saat operasi dekompresi, memiliki nilai prediksi yang paling tinggi untuk bertahan selama 12 bulan (8.0, 95% CI 2.0-32.0) dan pupil grade 4 pada waktu yang sama merupakan prediktor yang paling dapat digunakan untuk skor Barthel 35 atau lebih selama 12 bulan (15.0, 95% CI 1.9-120.9).
Kesimpulan: Pasien-pasien dengan ICH spontan masif supratentorial memiliki lebih banyak keuntungan jika dilakukan operasi dekompresi urgensi. Hasil peneliian yang didapat dari analisis regresi logistik memperlihatkan bahwa untuk meningkatkan hasil fungsional jangka panjang, terapi dekompresi harus dilakukan sebelum terjadi herniasi. Berdasarkan fakta yang ada, kebanyakan pasien yang menjadi sampel penelitian menunjukkan tanda-tanda herniasi saat masuk UGD dan karena operasi dekompresi kovensional segera dilakukan untuk memperoleh prognosis yang lebih baik, maka kombinasi terapi operasi kombinasi ini lebih mudah dan lebih efektif untuk dikerjakan.
Kata kunci: perdarahan intraserebral spontan, waktu operasi, reflex pupil, hasil, kelainan vaskular.
2
Perdarahan intraserebral (ICH) spontan masif supratentorial dengan
volume hematoma minimum 70 ml sangat mungkin menyebabkan terjadinya
stroke. Terbukti dari 10%-40% pasien yang datang dengan ICH.1,2,4,13 Secara
klinis, ahli bedah saraf akan melakukan operasi terbuka untuk mengevakuasi
hematoma setelah herniasi terjadi atau memiliki kemungkinan besar untuk terjadi
dan mengancam jiwa, dengan pertimbangan praktis dan etika meskipun
kenyataannya memiliki prognosis yang buruk.1,7,8,13-16,21
Pada praktek klinis, tidak ada batasan yang jelas seberapa urgensi kita
harus menangani pasien ICH masif dengan reflel pupil yang memburuk selama
periode preoperatif, meskipun implementasi terapi standar medik untuk
mengontrol tekanan darah dan pemberian diuretik.
Sejak tahun 2000, teknik pungsi dan aspirasi urgensi hematoma berbasis
CT scan telah digunakan dalam penelitian clinical trial yang diprakarsai oleh The
Chinese National Office for Cerebrovascular Diseases Prevention and Control
saat menangani pasien dengan ICH. 4,10,18 Salah satu keuntungan teknik tersebut
adalah dapat memberikan pengalaman kepada ahli bedah saraf untuk
menyelesaikan secara komplit sebuah prosedur dalam 10 menit dengan anastesi
lokal di UGD berdasarkan intervensi pada studi CT regular.
Pada studi acak prospektif ini, pasien-pasien dengan ICH spontan masif
supratentorial kita minta untuk menggunakan teknik ini sebagai terapi urgensi
untuk mengeluarkan sebagian hematoma dan selanjutnya dilakukan kraniektomi
untuk mengevakuasi klot yang kental pada ultra-early stage, dan selanjutnya
dibandingkan hasilnya dengan pasien yang hanya dilakukan operasi kraniektomi
saja berdasarkan kelangsungan hidup dan fungsionalnya selama 12 bulan.
Metode
Seleksi Pasien
Antara Oktober 2001 dan Januari 2008, 36 pasien dengan ICH spontan
masif supratentorial terdaftar dalam penelitian ini. Kriteria inklusi adalah sebagai
3
berikut: 1) waktu dari onset gejala untuk masuk ke UGD adalah 6 jam atau
kurang, 2) diagnosis ICH supratentorial spontan, 3) volume hematoma ≥ 70 ml
seperti yang didokumentasikan pada CT scan awal, dan 4) informasi persetujuan
dari keluarga masing-masing pasien. Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut: 1)
riwayat dari setiap cacat fungsional dalam kehidupan sehari-hari, 2) riwayat
koagulopati, 3) riwayat gangguan neuroophthalmological yang mungkin
mengganggu respon pupil, 4) riwayat setiap aneurisma intrakranial dikenal tapi
tidak diobati, malformasi vaskular , atau tumor otak, 5) sebuah ICH berulang, 6)
penyakit medis terminal, 7) usia> 75 tahun, 8) skor GCS 5 atau kurang saat
pertama datang ke UGD, dan 9) pupil bilateral tetap saat masuk ke UGD.
Karakteristik demografi pasien tersebut diminta untuk dicatat dalam catatan
medis. Studi dimulai pada tahun 2001 tidak terdaftar dengan database uji klinis.
Persetujuan untuk studi ini diberikan oleh Dewan Kelembagaan Ilmu dan Riset.
Metode Randomisasi
Tiga puluh enam (36) pasien secara acak dialokasikan untuk 2 kelompok
perlakuan dengan rasio 1:2. Grup A berisi 12 pasien yang menjalani pungsi
hematoma berbasis pencitraan CT yang bersifat krusial dan aspirasi darah parsial
di UGD, serta evakuasi hematoma berikutnya melalui kraniektomi di ruang
operasi umum, Grup B memiliki 24 pasien yang menjalani pengangkatan
hematoma hanya menggunakan kraniektomi. Pengacakan itu sesuai dengan tabel
nomor acak yang dihasilkan oleh komputer sebelum perekrutan pasien.
Studi Computed Tomography
CT kepala dilakukan dengan irisan aksial 5 mm. Volume hematoma
diukur dengan menggunakan rumus A × B × C ÷ 2.2 Ekstensi ventrikel hematoma
tersebut termasuk dalam pengukuran volume. Hematoma diklasifikasikan menurut
asal daerah lobar dan wilayah yang terletak dalam.
4
Gambar 1. Contoh pungsi hematoma pada pasien di UGD. A1 dan A2: Representative axial CT scans didapatkan saat preoperatif yang diperlihatkan pada bagian kanan ICH (anak panah hitam). CT scan A2 10 mm lebih superior daripada A1. B: Foto memperlihatkan komponen tipe YL-1 pada jarum pungsi intrakranial hematoma.: (1) lid; (2) connector; (3) plastic rod with blunt tip, dimana dapat diinsersikan ke dalam metal cannula; (4) metal drill yang didesain dapat dihubungkan dengan metal cannula namun dapat dilepaskan stelah pungsi selesai; (5) metal cannula; (6) draining tube. C1–C6: Foto selama operasi berlangsung memperlihatkan langkah-langkah dari pungsi hematoma pada pasien yang sama dengan gambar CT scan awal yang diperlihatkan pada gambar A1 dan A2. Anak panah pada C1 memperlihatkan titik pungsi. Plastic protective sleeves digunakan untuk menghindari pungsi berlebih diperlihatkan pada foto 7adan 7b.
Intervensi Bedah
Intraserebral Hematoma Berbasis Computed Tomography Pungsi dan
Aspirasi. Pungsi hematoma dilakukan di unit operasi UGD menggunakan jarum
jenis YL-1 dari jarum pungsi hematoma intrakranial (Beijing Wan-TeFu Medis
Aparatur Co, Ltd). Rincian teknik telah dijelaskan di tempat lain.4,10,18 Contoh dari
prosedur pungsi yang digambarkan dalam Gambar 1. Tujuan untuk menetapkan
titik masuk, lintasan, dan kedalaman tusukan adalah bahwa titik tusukan harus di
tengah hematoma untuk menghindari kerusakan struktur fungsional dan pembuluh
darah. Setelah draping aseptik standar bedah, tusukan dilakukan dengan
menggunakan bor listrik. Ketika sebuah kanula logam ditempatkan dengan tepat,
komponen bor tertutup diangkat dari cannula. Kateter ekstensi dengan kantong
drainase kemudian dihubungkan ke tabung logam dan dikeluarkan pada
ketinggian 20 cm di bawah titik tusukan. Sedikit aspirasi vakum, menggunakan
jarum suntik, diterapkan ketika dicurigai adanya penyumbatan bekuan darah.
Pasien kemudian dikirim ke ruang operasi untuk mengeluarkan hematoma dengan
kraniektomi. Semua perangkat keras disingkirkan sebelum standar operasi
5
kraniektomi dilakukan. Sistem drainase darah dicek setiap 5 menit sbelum
dipindahkan, untuk memastikan system berjalan dengan baik dan untuk mengukur
volume darah yang akan didrainase.
Kraniektomi. Kraniektomi dilakukan di ruang operasi. Setelah standar
operasi aseptic dilakukan, kraniektomi diambil dari arah ipsilateral hematoma.
Intraserebral hematoma dievakuasi pendekatan transkortikal dengan teknik
microsurgical.
Hal utama yang di catat selama operasi dilakukan adalah saat pungsi
berhasil dilakukan pada grup A, dan waktu saat membuka duramater pada grup A
dan B.
Manajemen Perioperatif
Pengobatan preoperatif termasuk intubasi, sedasi, pengobatan standar
untuk kontrol tekanan darah, dan pengurangan tekanan intrakranial dengan
pemberian diuretik. Hiperventilasi dikondisikan pada semua pasien di ruang
operasi sebelum membuka dura. Pasien dirawat di Unit Perawatan Intensif
Neurosurgical setelah prosedur kraniektomi. Perawatan paska operasi standar
diberikan kepada semua pasien.
Evaluasi
GCS digunakan untuk mengevaluasi tingkat kesadaran pada semua pasien
yang datang ke UGD. Refleks pupil terhadap cahaya langsung terpilih sebagai
tanda klinis untuk mengukur tingkat kompresi saraf oculomotor, serta fungsi dari
otak tengah dan batang otak atas. Diameter pupil diukur menggunakan penggaris
milimeter. Pupil yang terfiksasi didefinisikan sebagai penyempitan kurang dari 1
mm ketika refleks cahaya diperiksa.
Berdasarkan definisi ini, kita mengkategorikan respon cahaya langsung
pupil menjadi 5 kelas: Kelas 0, pupil terfiksasi bilateral, Kelas 1, secara sepihak
terfiksasi dengan diameter pupil tetap> 7 mm, 2 kelas, secara sepihak dengan
pupil terfiksasi tetap ≤ 7 mm; Kelas 3, secara sepihak lamban, dan Kelas 4, refleks
6
respon cepat pupil bilateral dinilai 3 kali secara perioperatif pada semua pasien
(pada saat masuk ke UGD, saat dekompresi, dan pada penyelesaian kraniektomi
tersebut). "Pada dekompresi" didefinisikan sebagai titik ketika drainase hematoma
berhasil dicapai di Grup A dan ketika pembukaan dural dicapai melalui
kraniektomi di Grup B. Perbaikan respon pupil didefinisikan sebagai peningkatan
dari 1 atau lebih nilai, sedangkan perburukannya didefinisikan sebagai penurunan
1 atau lebih tingkatan.
Semua pasien yang masih hidup secara klinis diikuti selama 12 bulan
setelah kraniektomi. Pada saat 12 bulan Skala Barthel digunakan untuk menilai
hasil fungsional pada penderita (seorang ahli bedah saraf senior tidak terlibat
dalam pengobatan diberikan instrumen grading). Beberapa informasi yang
diperoleh dari keluarga pasien, seperti pemberian makan dan menggunakan toilet.
Komplikasi Terkait Prosedur
Kami menganggap kondisi tidak menguntungkan dan berubah-ubah secara
langsung terkait dengan prosedur pembedahan untuk menjadi komplikasi yang
terkait dengan prosedur. Ini termasuk perdarahan ulang dan meningitis. Kondisi
medis sistemik tidak dianalisis dalam penelitian ini.
Analisis Statistik
Data dianalisis dengan menggunakan software statistik komersial (SPSS
versi 16, IBM). Untuk membandingkan data antar kelompok, analisis univariat
yang tepat digunakan: Student t-test untuk data kontinu, uji Fisher yang tepat
untuk data kategorikal binomial, dan chi-square test untuk data kategorikal yang
belum diranking. Analisis regresi logistik dilakukan untuk menilai rasio
kemungkinan positif dari usia pasien, skor GCS saat masuk ke UGD, waktu
dekompresi (didefinisikan sebagai durasi antara tekanan ritmik dan prestasi
drainase yang sukses di Grup A dan sebagai pembuka dural di Grup B), dan
grading reflek pupil (saat masuk ke dekompresi, UGD, dan penyelesaian
7
kraniektomi) untuk prognosis akhir dalam 2 kelompok yang berkaitan dengan
kelangsungan hidup dan hasil fungsional pada 12 bulan pasca operasi.
Hasil Skala Barthel pada pasien yang masih hidup didikotomisasi: Skala
Barthel skor ≥ 35 (yang memerlukan bantuan ringan dalam aktivitas sehari-hari)
dan skor Skala Barthel <35 (yang membutuhkan bantuan yang cukup besar dalam
aktivitas sehari-hari). Pasien yang meninggal selama 12 bulan follow-up diberikan
skor Skala Barthel 0 ketika analisis regresi logistik dilakukan. Tingkat signifikansi
statistik ditetapkan pada p <0,05. Nilai rata-rata disajikan ± SD.
Hasil
Hasil studi terkiniyang melibatkan 36 pasien secara acak sebagai
sampelnya dibagi kedalam 2 grup. Grup A dengan 12 pasien dan Grup B dengan
24 pasien. Karakteristik klinis, perjalanan penyakit, dan prognosis dirangkum ke
dalam table 1.
Pada grup A, pungsi hematoma yang sukses dilakukan tercatat antara 2,4 –
6,2 jam (mean 3,8 ± 1,2 jam) setelah iktus dan antara 37 – 53 menit (mean 43,6 ±
5,1 menit) setelah masuk UGD. Sebelum melepas perangkat keras, volume
aspirasi darah antara 21 – 35 ml (mean 26,6 ± 3,8 ml) dan ini memperoleh
perbandingan 23,6% dan 44,3% terhadap volume hematoma yng diukur dengan
CT scan awal. Durasi antara membuka dura pada kraniektomi lanjutan dan iktus
adalah 3,4 – 7,4 jam (mean 4,9 ± 1,2 jam). Serta, durasi antara membuka dura
dengan waktu pertama kali datang adalah 101 – 146 menit (mean 115,4 ± 10,4
menit). Pada grup B, membuka dural mulai dari 2,7 – 6,7 jam (mean 5,0 ± 1,1
jam) setelah iktus dan 82-135 menit (mean 100,6 ± 13,3 menit) setelah pertama
kali datang.
Grup A memiliki rata-rata kelangsungan hidup yang lebih tinggi daripada
grup B selama 12 bulan setelah operasi (p < 0,05), serta skor skala Barthel pada
grup A lebih baik daripada grup B (p < 0,05).
Tabel 1. Karakteristik klinis, Perjalanan Klinis, dan Hasil dari 2 Grup pada
Pasien dengan ICH
8
9
Kategori Pupil
Meskipun tidak ada data statistic yang signifikan antara kedua grup pada
saat datang ke UGD, grup A memiliki kategori pupil yang lebih baik saat operasi
dekompresi dan setelah kraniektomi selesai dilakukan (p < 0,05). Data terperinci
mengenai kategori pupil pada ke-2 grup dapat dilihat pada tabel 2.
Pada saat operasi dekompresi, peningkatan respon pupil dilihat pada 8
pasien dari 12 pasien pada grup A dan 0 pasien pada grup B yang dibandingkan
dengan respon pupil mereka saat pertama kali datang ke UGD (p < 0,05). Respon
pupil yang membaik pada grup A terutama dikarenakan oleh efek diuretik yang
diberikan sesaat setelah diagnosis ICH dicurigai. Kategori pupil kelas 0 tidak
diobservasi perioperatif.
Faktor Prediktif
Analisis regresi logistik memperlihatkan bahwa di antara semua variabel
yang signifikan secara statistic (p < 0,05), pupil kelas 3 atau lebih pada saat
operasi dekompresi memiliki nilai prediksi paling tinggi untuk mampu bertahan
10
hidup selama12 bulan ke depan (ratio 8,0 , 95% CI 2,0-32,0). Serta pupil kelas 4
saat operasi dekompresi memiliki nilai predictor untuk skor skala Barthel ≥ 35
pada 12 bulan kemudian (ratio 15,0 , 95% CI 1,9-129,0). Umur, skor GCS saat
pertama masuk UGD, dan lama waktu operasi dekompresi sejak iktus, semua
variabel tersebut gagal meningkatkan signifikansi statistik dalam perbandingan
intergroup. Selain itu, semua variabel tersebut memiliki rasio likelihood positive
yang rendah baik untuk rata-rata kelangsungan hidup maupun skor skala Barthel
≥35 selama 12 bulan (table 3 dan 4).
Tabel 2. Rangkuman Kategori Pupil Selama Operasi pada Waktu yang
Berbeda
11
Tabel 3. Nilai Prediksi Variabel untuk Kelangsungan Hidup selama 12 Bulan
Post Operasi
Prosedur dan Komplikasinya
Lima pasien pada sampel memiliki komplikasi perdarahan dini (1 pasien
di grup A dan 4 pasien di grup B). Berdasarkan pada eksistensi defek operasi
tulang tengkorak dan konvensi regional, semua pasien yang diterapi secara
konservatif dan meninggal selama follow up. Meningitis dikonfirmasi melalui
12
pemeriksaan kultur CSF pada 5 pasien (2 pasien di grup A dan 3 pasien di grup
B). Terapi antibiotik dalam jangka waktu yang lama diberikan pada pasien-pasien
ini. Data statistik yang signifikan tidak dicapai saat membandingkan ke-2 grup
dengan komplikasinya.
Tabel 4. Nilai Prediksi Variabel untuk Hasil Selama 12 Bulan Follow Up
13
Diskusi
Manajemen bedah konvensional membutuhkan waktu untuk menghasilkan
dekompresi yang efektif, bahkan dalam kasus yang mendesak. Dalam studi saat
ini diperlukan dekompresi 100,6 ± 13,3 menit setelah masuk UGD (Grup B).
Hasil kami adalah serupa dengan yang dilaporkan oleh Cho et al. peristiwa utama
yang memakan waktu sebelum dekompresi bedah di Grup B termasuk evaluasi
oleh dokter dan ahli bedah saraf, CT scan kepala, pengacakan, diskusi dengan dan
persetujuan dari keluarga pasien, transportasi pasien ke kamar operasi, induksi
anestesi umum, posisi pasien dengan sistem fiksasi kepala (Mayfield), draping
aseptik standar, sayatan kulit, dan pengangkatan flap tulang.
Secara klinis, pengobatan untuk optimasi tekanan darah dan administrasi
agen diuretik biasanya diberikan bila ada tanda-tanda herniasi atau herniasi yang
kemungkinan besar akan terjadi pada pasien dirawat di UGD untuk
memperpanjang waktu dalam menyelamatkan jiwa untuk manajemen bedah.
Langkah-langkah ini memberikan "dekompresi farmakologis" sementara.
Dampak dari perawatan pra operasi, bagaimanapun, terbatas dalam penelitian
kami ketika pasien menjalani perawatan bedah konvensional. Sebanyak 9 pasien
(37,5%) di Grup B masih disajikan dengan respon pupil memburuk pada saat
dekompresi bedah dibandingkan dengan saat penerimaan. Karena kenyataannya
bahwa sebagian besar operasi (21 dari 24) di Grup B yang dilakukan 6 jam atau
kurang setelah tekanan ritmik, kami menganggap bahwa respon pupil memburuk
terutama disebabkan oleh pembesaran awal ICH. Efek massa disebabkan oleh
ekspansi hematoma sepenuhnya mengimbangi awal efek dari agen diuretik, yang
diberikan tak lama setelah masuk, dan terus berkembang hingga dekompresi
bedah berlangsung. Meskipun kraniektomi meningkatkan respon pupil dalam
41,7% kasus (dibandingkan dengan status saat masuk), angka kematian jangka
panjang masih setinggi 79,2%, dan semua pasien yang masih hidup membutuhkan
bantuan yang cukup besar dalam ADL pada 12 bulan. Hasil ini sebanding dengan
penelitian sebelumnya.
Pungsi hematoma dan aspirasi awalnya diterapkan ketika merawat pasien
ICH dimana volume hematomanya adalah 40 ml atau kurang. Studi telah
14
membuktikan bahwa hingga 80% dari hematoma akan menjadi gumpalan padat
dalam beberapa jam setelah tekanan ritmik, dan aspirasi minimal invasif dengan
terapi fibrinolitik berikutnya membutuhkan berhari hari untuk mengevakuasi
bekuan padat. Fakta-fakta ini membatasi penerapan teknik ini ketika merawat
pasien dengan ICH masif. Dalam studi saat ini kami berusaha untuk menggunakan
kualitas ketepatan teknik ini untuk mengurangi tekanan intrakranial yang sangat
tinggi pada pasien dengan ICH masif pada tahap ultra-awal oleh pengeringan
sebagian dari hematoma cair, dalam upaya untuk memperbaiki kerusakan
sekunder fungsi otak tengah dan batang otak atas yang disebabkan secara
langsung oleh efek massa sedini mungkin. Hal ini diikuti dengan operasi terbuka
untuk menghilangkan gumpalan padat dalam rangka mencapai tujuan dekompresi
cepat dan lengkap. Dalam penelitian kami, dekompresi bedah dapat dicapai
hampir 1 jam lebih awal di Grup A daripada di Grup B (43,6 ± 5,1 vs 100,6 ± 13,3
menit), sehingga refleks pupil secara statistik lebih baik di Grup A daripada di
Grup B pada saat dekompresi bedah.
Selanjutnya, karena ketepatannya, operasi dekompresif memiliki potensi
untuk dilakukan selama efek puncak dari agen diuretik, yang diberikan tak lama
setelah masuk, menyebabkan respons pupil secara signifikan lebih baik pada
dekompresi dibandingkan dengan yang terlihat di pasien Grup A yang admisi
(peningkatan refleks pupil diamati di 8 dari 12 kasus). Dengan demikian, efek
dekompresif menjadi suatu proses yang berkelanjutan dari saat administrasi agen
diuretik pada pasien ini. Selama tahap desain studi, kita berpikir bahwa kita
mungkin dapat menguras hanya sejumlah kecil dari cairan darah dalam jangka
waktu pendek pada pasien di Grup A. Dalam prakteknya, bagaimanapun, jumlah
darah cair dikeringkan sebelum pengangkatan perangkat keras adalah antara 21
dan 35 ml (rata-rata 26,6 ± 3,8 ml), yang terdiri dari kira-kira sepertiga dari
volume hematoma yang diukur pada CT scan awal pada pasien ini, volume ini
adalah lebih dari apa yang kami harapkan. Alasan untuk ini adalah: 1) sebagian
besar pungsi dilakuka antara 3-6 jam setelah onset ICH, dengan demikian volume
darah yang masih cair mungkin lebih banyak didapat, 2) volume darah yang dapat
diserap yang lebih besar dari yang diharapkan mungkin disebabkan pembesaran
awal ICH. Data ini menunjukkan bahwa pungsi hematoma krusial dan aspirasi
15
darah parsial cair pada tahap ultra-awal ICH layak dan efektif sebagai strategi
bedah awal dalam mengobati pasien dengan ICH masif. Meskipun hanya
memberikan efek dekompresif parsial pada awalnya, ketika tusukan / aspirasi
diikuti oleh evakuasi bekuan hematoma melalui kraniektomi, hasil jangka panjang
secara statistik lebih baik daripada yang dicapai pada pasien yang dikelola dengan
cara bedah konvensional.
Studi biasanya menentukan hasil yang diinginkan sebagai skor Glasgow
Outcome Scale lebih besar dari 3 ketika dikotomi diperlukan dalam analisis
regresi logistik. Dalam studi saat ini, karena fakta dari hasil umumnya buruk pada
pasien dengan ICH masif, serta perbedaan besar dalam beban perawatan sehari
hari dan biaya ekonomi bagi korban dengan berbagai tingkat ketergantungan,
kami mengambil penilaian berdasarkan derajat ketergantngan pasien dalam
membutuhkan bantuan yang cukup di ADL sebagai kriteria untuk
mendikotomisasi skor Skala Barthel pada 12 bulan follow-up. Oleh karena itu,
skor 35 dipilih sebagai titik untuk membagi pasien.
Dalam penelitian ini, grading pupil dari 3 atau lebih tinggi pada saat
dekompresi bedah adalah prediktor terkuat positif untuk bertahan hidup pada 12
bulan pasca operasi, sedangkan respon pupil bilateral cepat memiliki nilai
tertinggi untuk memprediksi skor Skala Barthel dari 35 atau lebih pada 12 bulan.
Berkenaan dengan 12-bulan kelangsungan hidup dan hasil fungsional, hasil ini
mungkin menjelaskan mengapa prognosis statistik lebih terlihat di pasien Grup A
ketika intervensi bedah dilakukan hanya 1 jam lebih awal dari Grup B (pupil
grade ≥ 3 saat dekompresi, 7 dari 12 di Grup A vs 3 dari 24 di Grup B, pupil grade
4 saat dekompresi, 4 dari 12 di Grup A vs 0 dari 24 di Grup B). Bahwa nilai
prediktif terkuat selama 12 bulan kelangsungan hidup adalah grading pupil dari 3
atau lebih tinggi pada saat dekompresi bedah menunjukkan bahwa pasien dengan
ICH masif sangat rentan bahkan terhadap herniasi tahap awal. Kami
mempertimbangkan 2 penyebab potensial untuk kerentanan seperti itu: 1) ada
kerusakan saraf primer yang parah secara langsung disebabkan oleh ICH masif,
dan 2) ICH biasanya terjadi pada pasien usia lanjut dengan masalah medis yang
kronis. Hasil kami juga mengimplikasikan bahwa, untuk mencapai hasil
fungsional yang lebih baik pada 12 bulan (skor Skala Barthel ≥ 35), dekompresi
16
bedah harus dilakukan sebelum herniasi terjadi. Dalam penelitian ini usia pasien,
skor GCS pada saat masuk, dan waktu manajemen bedah tidak menjadi prediktor
yang signifikan untuk hasil yang positif.
Tingkat perdarahan kembali yang tinggi terkait dengan operasi terbuka
ultra-awal pada pasien ICH telah dilaporkan dalam literatur, dan telah terbukti
secara negatif mempengaruhi hasil pasien. Dalam penelitian ini, tingkat
perdarahan kembali awal adalah 13,9% untuk 2 kelompok secara keseluruhan, dan
semua pasien dengan perdarahan ulang meninggal selama masa tindak lanjut.
Namun, antar kelompok statistik signifikansi tidak dicapai untuk komplikasi ini.
Meningitis adalah komplikasi umum terkait operasi. Data kami tidak
menunjukkan tingkat meningitis yang meningkat secara statistik pada Grup A,
meskipun masing-masing pasien dalam kelompok ini menjalani 2 intervensi
bedah (pungsi dilakukan di UGD dan kraniektomidi ruang operasi). Fakta ini
menunjukkan bahwa intervensi bedah gabungan tidak akan meningkatkan risiko
infeksi intrakranial ketika protokol teknik aseptik yang ketat diikuti.
Malposisi dari pungsi kanula bukan merupakan komplikasi yang berkaitan
dengan prosedur yang langka dalam mengobati pasien ICH dengan teknik ini.
Karena kebutuhan untuk manajemen sangat mendesak dan adanya hematoma
intraserebral masif, pengulangan CT scan tidak dilakukan di Grup A setelah
pungsi hematoma di ED sesuai dengan desain penelitian. Selain itu, pungsi kanula
telah diangkat sebelum draping bedah untuk craniectomy. Oleh karena itu, posisi
yang tepat dari kanula dalam 12 pasien tidak dapat ditentukan. Namun demikian,
prosedur pungsi berhasil secara parsial menguras hematoma dalam semua kasus.
Kami percaya bahwa ketika prosedur tersebut dilakukan oleh ahli bedah saraf
yang berpengalaman, malpositioning tidak akan menjadi komplikasi bermasalah
dalam situasi spesifik ini.
Dalam praktek klinis sebagian besar pasien dengan ICH masif telah
muncul dengan tanda-tanda herniasi atau herniasi yang akan datang ketika mereka
tiba di UGD (dalam penelitian kami, tidak ada dari 36 pasien memiliki respon
pupil bilateral cepat saat admisi). Karena manajemen bedah konvensional
memerlukan waktu untuk efek berlangsung, herniasi terus berkembang,
17
mengakibatkan prognosis jangka panjang sangat buruk. Meskipun pungsi
hematoma yang sangat mendesak di UGD tidak akan tercapai sebelum herniasi
terjadi di sebagian besar kasus, seperti prosedur yang kami miliki, karena dapat
dilakukan segera di UGD, dapat dilakukan selama efek puncak agen diuretik,
yang biasanya diberikan tak lama setelah masuk. Dengan demikian, dekompresi
bedah memiliki kemampuan untuk secara efektif memperpanjang "dekompresi
farmakologis," yang biasanya berlaku lebih awal. Ketika diikuti oleh kraniektomi,
pungsi hematoma yang sangat krusial di UGD secara dramatis dapat
memperpendek durasi herniasi pada pasien dan dengan demikian menyebabkan
hasil jangka panjang yang lebih baik.
Keterbatasan
Studi saat ini memiliki beberapa keterbatasan. Selain ukuran sampel yang
relatif kecil, sifat studi pusat tunggal dapat membatasi generalisasi hasil. Pupil
grade 3 dan 4 tidak didefinisikan secara kuantitatif dalam studi karena kesulitan
teknis. Namun demikian, kami percaya bahwa sebagian besar data yang dapat
diandalkan karena diferensiasi tersebut dilakukan oleh ahli bedah saraf yang
berpengalaman dalam penelitian kami.
Kesimpulan
Pasien-pasien dengan ICH spontan masif supratentorial memiliki lebih
banyak keuntungan jika dilakukan operasi dekompresi urgensi. Hasil peneliian
yang didapat dari analisis regresi logistik memperlihatkan bahwa untuk
meningkatkan hasil fungsional jangka panjang, terapi dekompresi harus dilakukan
sebelum terjadi herniasi. Berdasarkan fakta yang ada, kebanyakan pasien yang
menjadi sampel penelitian menunjukkan tanda-tanda herniasi saat masuk UGD
dan karena operasi dekompresi kovensional segera dilakukan untuk memperoleh
prognosis yang lebih baik, maka kombinasi terapi operasi kombinasi ini lebih
mudah dan lebih efektif untuk dikerjakan.
18