kegiatan usaha pertambangan vs kerusakan...

10
1 KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN Vs KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang, ISSN: 0854-7254, Vol. XVII No. 35, Maret 2012, h. 75-81) Abdul Rokhim 1 Abstract Legal issues raised in this paper are the legal issues on mining business, particularly on the question of environmental damage caused by mining activities less attention to issues of environmental preservation. One cause of the lack of attention from the mining business to environmental problems are generally those still using the classic paradigm in understanding the mining business, which dredge (extraction) as many minerals for economic gain as much as possible without thinking about the negative impact or risks to the community and the environment. Key Words: Mining Business; Environmental Damage 1. Pendahuluan Persoalan hukum yang diangkat dalam tulisan ini adalah masalah hukum di seputar kegiatan usaha (bisnis) pertambangan, khususnya mengenai masalah kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan yang kurang memperhatikan persoalan pelestarian lingkungan hidup. Salah satu penyebab kurangnya perhatian dari para pelaku usaha (kontraktor) pertambangan terhadap masalah lingkungan hidup adalah umumnya mereka masih menggunakan paradigma klasik dalam memahami kegiatan usaha pertambangan, yakni mengeruk (ekstraksi) sebanyak-banyaknya barang tambang demi keuntungan ekonomi sebesar-besarnya tanpa memikirkan dampak negatif atau risikonya terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Makalah ini telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional tentang “Selamatkan Alam Rembang Menuju Hijau Lestari” yang diselenggarakan oleh Lembaga Masyarakat Lingkungan Hidup (LMLH), di Hotel Puri Indah, Rembang, 30 Juli 2011. 2. Paradigma dalam Usaha Pertambangan Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hingga kini masih diwarnai oleh paradigma klasik yang menilai sumber daya alam sebagai sumber pandapatan ketimbang modal. Paradigma tersebut telah berkembang jauh sebelum terjadinya revolusi industri sebagai manivestasi dari hasrat manusia untuk menguasai alam. Implikasi dari paradigma yang demikian ini secara sadar atau tidak telah membentuk mode of production seluruh aktivitas ekonomi, termasuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam pertambangan. Eksploitasi sumber daya alam yang hanya diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan secara proporsional kelestarian fungsi lingkungan tetap merupakan fenomena umum. Bahkan, dalam batas-batas tertentu keberadaan industri 1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.

Upload: others

Post on 12-Sep-2019

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN Vs KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

(Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang,

ISSN: 0854-7254, Vol. XVII No. 35, Maret 2012, h. 75-81)

Abdul Rokhim1

Abstract

Legal issues raised in this paper are the legal issues on mining business, particularly

on the question of environmental damage caused by mining activities less attention to issues

of environmental preservation. One cause of the lack of attention from the mining business

to environmental problems are generally those still using the classic paradigm in

understanding the mining business, which dredge (extraction) as many minerals for

economic gain as much as possible without thinking about the negative impact or risks to

the community and the environment.

Key Words: Mining Business; Environmental Damage

1. Pendahuluan

Persoalan hukum yang diangkat dalam tulisan ini adalah masalah hukum di seputar

kegiatan usaha (bisnis) pertambangan, khususnya mengenai masalah kerusakan lingkungan

akibat kegiatan pertambangan yang kurang memperhatikan persoalan pelestarian lingkungan

hidup. Salah satu penyebab kurangnya perhatian dari para pelaku usaha (kontraktor)

pertambangan terhadap masalah lingkungan hidup adalah umumnya mereka masih

menggunakan paradigma klasik dalam memahami kegiatan usaha pertambangan, yakni

mengeruk (ekstraksi) sebanyak-banyaknya barang tambang demi keuntungan ekonomi

sebesar-besarnya tanpa memikirkan dampak negatif atau risikonya terhadap masyarakat dan

lingkungan di sekitarnya.

Makalah ini telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional tentang “Selamatkan

Alam Rembang Menuju Hijau Lestari” yang diselenggarakan oleh Lembaga Masyarakat

Lingkungan Hidup (LMLH), di Hotel Puri Indah, Rembang, 30 Juli 2011.

2. Paradigma dalam Usaha Pertambangan

Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hingga kini masih diwarnai oleh

paradigma klasik yang menilai sumber daya alam sebagai sumber pandapatan ketimbang

modal. Paradigma tersebut telah berkembang jauh sebelum terjadinya revolusi industri

sebagai manivestasi dari hasrat manusia untuk menguasai alam. Implikasi dari paradigma

yang demikian ini secara sadar atau tidak telah membentuk mode of production seluruh

aktivitas ekonomi, termasuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam pertambangan.

Eksploitasi sumber daya alam yang hanya diarahkan untuk mendukung pertumbuhan

ekonomi tanpa memperhatikan secara proporsional kelestarian fungsi lingkungan tetap

merupakan fenomena umum. Bahkan, dalam batas-batas tertentu keberadaan industri

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.

2

pertambangan dalam suatu wilayah pertambangan (blok) bukan hanya menempatkan diri

sebagai entitas asing (alien entity), tetapi dalam banyak kasus merupakan sumber prahara

dan bencana sosial bagi masyarakat di sekitarnya.

Namun di sisi lain, usaha pertambangan merupakan industri dasar yang menopang

kehidupan dan peradaban modern. Tanpa produk pertambangan logam dan mineral,

kehidupan dan peradaban manusia kembali ke zaman batu. Bagaimana membayangkan

hidup tanpa logam yang dipergunakan untuk membuat perkakas rumah tangga, kantor, dan

lain-lain dalam kehidupan modern seperti saat ini? Begitu pula dalam kehidupan modern

seperti saat ini, ketergantungan pada sumber energi fosil berupa minyak dan gas bumi masih

sangat tinggi dan belum bisa digantikan sepenuhnya dengan energi alternatif.

Atas dasar kedua realitas yang saling kontradiktif di atas, paradigma baru dalam

perusahaan pertambangan yang menghasilkan logam, batubara, dan bahan tambang non

logam (mineral) sebagai sumber energi, termasuk panas bumi, di masa yang akan datang

seyogyanya berbasis pada keadilan (equity), keseimbangan (balances), demokrasi

(democracy), dan keberlanjutan (sustainable) antar generasi. Paradigma baru ini hanya dapat

terlaksana dengan baik jika dituangkan dalam suatu kebijakan negara yang melibatkan

semua pihak terkait (stakeholder) secara optimal dengan pola kemitraan. Berdasarkan

paradigma tersebut, maka kebijakan pemerintah di bidang pertambangan haruslah

berkarakter “social justice and equality” dengan menggunakan pendekatan terpadu,

komprehensif, menjunjung tinggi keberagaman masyarakat (pluralism) serta berwawasan

lingkungan yang berkelanjutan (sustainable).

Praktik usaha pertambangan yang baik dan benar (good mining practice) diharapkan

mampu membangun peradaban modern yang memenuhi standar, kriteria dan kaidah-kaidah

pertambangan yang tepat, sehingga pemanfaatan sumber daya pertambangan dapat

memberikan manfaat yang seoptimal mungkin dan dampak buruk (risiko) yang seminimal

mungkin. Kaidah-kaidah yang dimaksud meliputi: perizinan, teknis pertambangan,

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), lingkungan (khususnya keterkaitan hulu-hilir dan

konservasi), nilai tambah, serta pengembangan masyarakat dan wilayah (local and

community development) di sekitar usaha pertambangan.

Timbulnya konflik sosial pada berbagai wilayah industri pertambangan mestinya

memberikan kesadaran baru bagi pemerintah dan kalangan industri pertambangan mengenai

perlunya menciptakan harmonisasi hubungan antara masyarakat dengan usaha

pertambangan melalui konsep “tanggung jawab sosial perusahaan”. Maraknya tuntutan

terhadap usaha pertambangan dengan berbagai aksi dari berbagai kelompok masyarakat

biasanya disebabkan oleh dua faktor, yaitu: pertama, manfaat usaha pertambangan tidak

langsung dirasakan oleh masyarakat lokal, yang terjadi justru merusak lingkungan hidup dan

sosial budaya masyarakat; kedua, kurangnya pemahaman terhadap karakteristik dan hakikat

usaha pertambangan.

3. Karakteristik Usaha Pertambangan Vs. Pelestarian Lingkungan Hidup

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa usaha pertambangan telah

memberikan kontribusi dalam skala nasional berupa penerimaan negara melalui devisa,

royalty, iuran pertambangan lainnya, pajak dan penerimaan negara non pajak, yang

digunakan untuk membiayai pembangunan nasional. Namun, kontribusi yang demikian itu

ternyata belum dirasakan oleh masyarakat lokal di kawasan pertambangan yang

bersangkutan, dan ironisnya masyarakat lokallah yang menanggung segala akibat (risiko)

3

dari usaha pertambangan, misalnya dampaknya terhadap kerusakan dan pencemaran

lingkungan.

Usaha pertambangan di Indonesia umumnya dilakukan secara masif dan modern,

dengan memanfaatkan penanaman modal yang sangat besar baik domistik maupun asing.

Pemanfaatan modal besar melalui Penanaman Modal Asing (PMA) dengan penggunaan

teknologi canggih (high technology) dan tenaga kerja yang memiliki keahlian dan

keterampilan yang tinggi (high skilled) yang semuanya dipasok dan direkrut dari luar negeri.

Itulah sebabnya, komunitas pekerja tambang menjadi enclave (“asing”) dan nyaris tidak

memberikan sumbangan apapun kepada masyarakat lokal. Faktor ini pula yang seringkali

menyebabkan terjadinya gap antara masyarakat lokal dengan komunitas pekerja tambang

yang berujung pada terjadinya konflik sosial.

Terjadinya konflik sosial seperti tersebut di atas, mengingat setiap usaha

pertambangan di manapun pada umumnya dilakukan oleh dan untuk kepentingan

masyarakat non-lokal. Masyarakat non-lokal yang bekerja di kawasan pertambangan

tersebut tentu membawa nilai-nilai sosial budaya yang belum tentu cocok dengan nilai-nilai

sosial budaya masyarakat lokal. Oleh karena itu, jika tidak diikuti kegiatan remedial tertentu,

usaha pertambangan yang memang sifatnya eksploitatif akan berdampak pada kerusakan

lingkungan dan degradasi nilai-nilai sosial budaya masyarakat lokal.

Di samping itu, dari aspek ekologi (lingkungan), usaha pertambangan sangat

berpotensi menimbulkan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan di sekitar kawasan

pertambangan. Karena itu dapatlah dikatakan bahwa kegiatan pertambangan dan lingkungan

hidup adalah dua hal yang kontradiktif tetapi tidak dapat dipisahkan. Bahkan, ada ungkapan

“tiada kegiatan pertambangan tanpa perusakan dan/atau pencemaran lingkungan”. Masalah

pertambangan termasuk dalam lingkup hukum sumber daya alam, sedang masalah

lingkungan diatur dalam hukum lingkungan. Padahal, hukum sumber daya alam dan hukum

lingkungan mempunyai asal usul yang berlainan, bahkan saling bertentangan satu sama

lainnya. Hukum sumber daya alam lebih banyak berfokus pada eksploitasi, sedangkan

hukum lingkungan berfokus pada pelestariannya. Meskipun kedua hukum tersebut

kelihatannya bertentangan, tetapi selalu berkaitan satu dengan lainnya. Hubungan yang

demikian dapat dilihat sebagai dua sisi dari sekeping uang logam.

Dari dua hal yang kontradiktif di atas, tidak berarti pengusahaan pertambangan harus

berhenti hanya karena kelestarian lingkungan hidup. Sebaliknya, upaya pelestarian

lingkungan hidup tidak dapat berhenti karena adanya pengusahaan pertambangan. Jalan

tengahnya adalah pengusahaan pertambangan tetap berjalan dengan cara tetap

memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan.

Masalah lingkungan yang dapat timbul akibat usaha pertambangan beraneka ragam

sifat dan bentuknya. Pertama, usaha pertambangan dalam waktu yang relatif singkat dapat

mengubah bentuk topografi dan keadaan muka tanah (land impact), sehingga dapat

mengubah keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya. Kedua, usaha

pertambangan dapat menimbulkan berbagai macam gangguan, antara lain pencemaran

akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air, limbah cair, tailing, serta buangan

tambang yang mengandung zat-zat beracun. Gangguan juga berupa suara bising dari

berbagai alat berat, suara ledakan dan gangguan lainnya. Ketiga, pertambangan yang

dilakukan tanpa mengindahkan keselamatan kerja dan kondisi geologi lapangan dapat

menimbulkan tanah longsor, ledakan tambang, keruntuan tambang, dan gempa.

4

Dalam rangka pelaksanaan konsep pertambangan yang berwawasan lingkungan,

setiap usaha pertambangan diwajibkan melakukan upaya meminimalkan dampak negatif dan

memaksimalkan dampak positifnya. Salah satu cara yang bijaksana untuk mewujudkan

konsep tersebut ialah dalam mengeksploitasi sumber daya bahan tambang harus selalu

mempertimbangkan prinsip pelestarian lingkungan hidup. Di samping itu, dalam

pengusahaan pertambangan juga harus memperhatikan prinsip keadilan antar-generasi.

Mengingat sumber daya alam bahan tambang sifatnya tidak dapat diperbaharui

(unrenewable) maka pengusahaannya harus betul-betul dapat memberikan manfaat bagi

generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Prinsip keadilan antar-generasi meletakkan tiga kewajiban mendasar bagi generasi

sekarang dalam konservasi sumber daya alam, yaitu: (1) conservation of option, menjaga

agar generasi mendatang dapat memilih kuantitas keanekaragaman sumber daya alam; (2)

conservation of quality, menjaga agar kualitas lingkungan lestari; dan (3) conservation of

acces, menjamin generasi mendatang minimal memiliki akses yang sama dengan generasi

sekarang atas titipan kekayaan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Khusus bagi usaha pertambangan perlu diperhatikan bahwa pengambilan bahan

tambang secara berlebihan di masa sekarang tanpa mematuhi kaidah-kaidah hukum

lingkungan maka akan menjadi beban berat bagi generasi yang akan datang. Generasi

penerus bangsa Indonesia akan menjadi generasi penanggung beban kerusakan dan

pencemaran lingkungan, apabila usaha pertambangan yang dilakukan oleh generasi sekarang

dilakukan untuk kepentingan sesaat dengan mengabaikan prinsip-prinsip pelestarian

lingkungan hidup.

Oleh karena bahan tambang merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan

(unrenewable resources), maka dalam pengelolaan dan pemanfaatannya dibutuhkan

pendekatan manajemen ruangan yang ditangani secara holistik dan integratif dengan

memperhatikan 3 (tiga) aspek pokok, yaitu pertumbuhan ekonomi (economic growth),

dampak sosial (social impact) dan pelestarian lingkungan (conservation). Penggunaan

pendekatan yang demikian memerlukan kesadaran bahwa setiap kegiatan eksploitasi bahan

tambang akan menghasilkan dampak positif (manfaat) dan sekaligus dampak negatif

(kerugian; risiko) bagi umat manusia pada umumnya, khususnya masyarakat dan lingkungan

sekitar.

4. Risiko Usaha Pertambangan

Tiada kegiatan pertambangan yang tidak mengandung risiko, baik bagi pelaku usaha

maupun lingkungan, baik fisik maupun non fisik (sosial budaya). Risiko pengusahaan

pertambangan dapat terjadi baik pada tahap eksplorasi maupun eksploitasi.

Eksplorasi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi dan

pemetaan secara rinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan

sumber daya terukur dari bahan galian hasil penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, dan

pengambilan contoh, parit atau sumur uji atau pemboran dan pembuatan terowongan

eksplorasi secara detail. Usaha pertambangan untuk tahap eksplorasi memerlukan lahan

yang luas untuk penjelajahan mengenai keberadaan (cadangan) bahan galian. Sesuai dengan

karakteristik kegiatannya, kegiatan eksplorasi berpotensi terhadap gangguan pada daerah

sensitif seperti cagar alam, hutan lindung dan hutan konservasi. Termasuk daerah sensitif

adalah kawasan yang sangat dekat dengan pemukiman penduduk, kawasan industri,

infrastruktur seperti jalan raya, rel kereta api, pipa gas, dan lain-lain. Oleh karena itu, setiap

5

usaha pertambangan pada tahap ini harus dilakukan secara teliti dan hati-hati, jika tidak

maka hal itu potensial menimbulkan risiko. Dalam kegiatan pertambangan modern saat ini

mestinya sudah dapat dilakukan antisipasi terhadap risiko lingkungan, termasuk

perlindungan terhadap kawasan sensitif dalam kegiatan eksplorasi.

Eksploitasi atau operasi produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan dengan

tujuan untuk melakukan penambangan, pengolahan, pemurnian, dan termasuk pengangkutan

dan penjualan. Beroperasinya perusahaan tambang diharapkan memberikan manfaat kepada

negara (pemerintah dan masyarakat). Akan tetapi, di balik harapan tersebut tentu saja tidak

dapat dipungkiri terjadinya risiko, antara lain pengubahan topografi bentang alam,

penggusuran lahan, dan penebangan pohon. Oleh karena itu, usaha pertambangan adalah

termasuk kegiatan usaha yang berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan berupa

perusakan dan pencemaran lingkungan, khususnya terhadap air, tanah dan udara di sekitar

kawasan pertambangan. Kerusakan dan pencemaran lingkungan tersebut selanjutnya

menimbulkan dampak turunan seperti sumber penyakit, biaya tinggi, degradasi kualitas

ekologi dan lain-lain, yang akhirnya dapat menimbulkan persepsi negatif masyarakat

terhadap kegiatan pertambangan.

5. Kerusakan Lingkungan Akibat Ulah Manusia atau Faktor Alam

Dilihat dari sumber penyebabnya, kerusakan lingkungan bisa disebabkan oleh

aktivitas (faktor) alam dan kerusakan lingkungan yang bersumber dari atau disebabkan oleh

aktivitas manusia. Kerusakan lingkungan yang murni disebabkan oleh faktor atau perbuatan

alam (act of God) lazim disebut “bencana alam” (natural disaster). Sedang, kerusakan

lingkungan yang terjadi karena ulah perbuatan manusia (human error) disebut “kecelakaan”

atau “tragedi”.

Bencana alam adalah kerusakan alam akibat aktivitas alam atau perbuatan illahi,

yakni sesuatu yang tidak dapat dihindari (damnum fatale). Kerusakan yang tidak dapat

dihindari/dielakkan (damnum fatale) termasuk golongan kerusakan yang tidak bersifat

melawan hukum (damnum sine injura; damage as non an injury), karena terjadi akibat

perbuatan alam. Kerusakan alam yang demikian ini tidak melanggar hukum, mengingat hak

itu berada di tangan illahi. Selanjutnya, hal itu juga tidak akan menimbulkan tanggung

jawab kepada manusia, yang berarti ada pengecualian tanggung jawab (exemption of

liability). Sebaliknya, kerusakan lingkungan yang terjadi akibat kesalahan manusia

digolongkan sebagai kerusakan yang melawan hukum (damnum injura), dan oleh karena itu

pelakunya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Terhadap pandangan tersebut di atas, ada 3 (tiga) hal yang perlu dicermati:

Pertama, sekalipun tidak ada pihak yang dapat dituntut pertanggungjawaban secara

hukum atas persoalan kerusakan lingkungan karena faktor alam, tidak berarti bahwa tidak

ada pihak yang seharusnya mengambil alih tanggung jawab atas masalah tersebut. Negara

sebagai organisasi dari sekumpulan rakyat yang dilengkapi dengan perangkat administrasi

untuk mengelola kepentingan umum adalah organ atau pihak yang harus tampil mengambil

alih tanggung jawab tersebut. Hal ini merujuk pada teori “kontrak sosial” dari J.J. Rosseau

yang menyatakan bahwa “Negara adalah suatu bentuk asosiasi yang mempertahankan dan

melindungi dengan seluruh kekuatan umum terhadap orang dan harta benda”, sesuai dengan

prinsip negara melindungi dan mengayomi rakyat atau bangsanya melalui kebijakan-

kebijakan yang bersifat preventif dan represif.

6

Kedua, negara sebagai penguasa atas sumber daya alam dapat pula diposisikan

sebagai subyek yang memiliki tanggung jawab hukum, sesuai dengan prinsip “siapa yang

menguasai, ia bertanggung jawab”. Jadi, makna tanggung jawab dilihat dari dimensi hukum

(liability) tidak dapat dilepaskan dari posisi tersebut, meskipun hal itu berhadapan dengan

aspek pengecualian tanggung jawab (exemption of liability) karena keadaan darurat atas

terjadinya bencana yang tidak dapat dielakkan dari sudut penilaian obyektif. Hal yang

demikian ini dikaitkan dengan alasan act of God.

Ketiga, dilihat dari sudut penyebabnya sulit membedakan antara kerusakan

lingkungan yang terjadi karena proses alam atau kejadian-kejadian alam yang timbul di luar

dugaan manusia dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perbuatan manusia atau

kombinasi antara faktor alam dan perbuatan manusia. Jika suatu peristiwa halilintar

menewaskan banyak orang, gempa yang memporak-porandakan banyak bangunan, atau

tsunami yang membuat tewasnya ratusan ribu orang, hal demikian dapatlah disebut sebagai

damnum fatale atau damnum sine injura. Peristiwa demikian dapat disebut bencana alam

yang terjadi karena bersumber dari perbuatan alam (act of God). Negara atau pemegang

kekuasaan publik dalam hal ini tetap menunaikan tanggung jawabnya secara publik

(responsibilitas), meskipun bukan secara perdata (liabilitas). Secara responsibilitas

dimaksudkan sebagai sarana penuaian tanggung jawab negara atau pemerintah sebagai

badan organisasi tertinggi publik atas keadaan yang terjadi pada rakyatnya. Aspek

responsibilitas di sini lebih merupakan kerangka tanggung jawab politik, dan bukan

tanggung jawab hukum. Peristiwa alam seperti gunung meletus, gempa bumi, tsunami, dan

badai, secara jelas dapat dikatagorikan sebagai bencana alam (damnum fatale; damnum sine

injura). Karena peristiwa demikian tidak dapat dihindari, dan tidak memiliki kausalitas

dengan perbuatan manusia.

Lalu apakah peristiwa tersebut di atas dapat begitu saja disamakan dengan peristiwa-

peristiwa seperti: banjir yang kerap melanda Jakarta dan meluapnya lumpur panas di seputar

area eksplorasi minyak dan gas bumi P.T. Lapindo Brantas di Sidoarjo?

Contoh kasus pertama, perlu dicermati sinyalemen umum yang mengatakan bahwa

masalah banjir di Jakarta antara lain terjadi karena perbuatan manusia (khususnya policy

pemerintah dan aktivitas masyarakat) di kawasan hulu dan hilir yang abai terhadap bahaya

banjir di musim hujan. Kawasan Puncak yang dahulunya diperuntukkan sebagai daerah

tangkapan air (catchment area) telah diubah fungsinya menjadi kawasan hunian (villa, hotel,

real estate, dan lain-lain) sehingga ketika hujan turun kawasan lahan tidak mampu

menampung air hujan dan terus saja mengalir ke sekitar wilayah Jakarta (Jabotabek).

Sementara beberapa area yang di Jakarta dan sekitarnya yang dahulu digunakan sebagai

lahan terbuka hijau dan serapan air telah berubah fungsinya sebagai kawasan hunian (real

estate), kawasan industri (industrial estate), gedung perkantoran, mall, dan lain-lain, belum

lagi kebiasaan masyarakat yang membuang sampah yang menutupi saluran-saluran.

Contoh kasus kedua, sinyalemen yang mengatakan bahwa semburan lumpur panas di

Sidoarjo terjadi karena faktor alam berupa fenomena gunung lumpur (mud volcano) perlu

dipertanyakan kebenarannya. Mengingat di sekitar kawasan tersebut sebelumnya dilakukan

aktivitas pertambangan (eksplorasi migas) oleh PT Lapindo Brantas. Diduga karena izin

(lokasi) eksplorasi migas yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah menyalahi Peraturan

Daerah Nomor 16 Tahun 3003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabuparten

Sidoarjo dan kecerobohan sub kontraktor PT Lapindo Brantas (yakni PT Medici Citra Nusa)

yang melakukan pemboran (drilling) tidak sesuai prosedur, termasuk kelalaian pemerintah

7

(dalam hal ini Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber

Daya Mineral) serta Badan Pengelola Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dalam melakukan

pengawasan dalam kegiatan eksplorasi, menjadi sebab timbulnya semburan lumpur yang

hingga kini belum bisa diatasi. Contoh-contoh kasus yang demikian menunjukkan bahwa

tidak mudah mengatakan bahwa masalah banjir di Jakarta atau semburan lumpur panas di

Sidoarjo merupakan bencana alam. Akan tetapi, sebenarnya kasus-kasus tersebut cenderung

dapat dikatakan sebagai “bencana alam yang dipicu oleh aktivitas orang” atau merupakan

akibat dari perbuatan manusia secara tidak langsung (indirect action). Jika hal yang

demikian dapat diidentifikasi, maka sifat pertanggung-jawabannya bukan lagi dalam bentuk

tanggung jawab sosial (social responsibility), karena bukan murni karena faktor alam,

melainkan tanggung jawab hukum (liability) karena ada campur tangan manusia di

dalamnya.

Dalam hal terjadi bencana alam yang murni karena faktor alam, negara (pemerintah

dan masyarakat) bertanggung jawab sosial atau moral atas keadaan atau kerugian yang

diderita rakyatnya. Tanggung jawab pemerintah dalam hal ini lebih bersifat sebagai

tanggung jawab sosial, mengingat: (1) Negara sebagai pemegang kekuasaan atas sumber

daya alam dalam wilayah negara (Baca: Pasal 33 (3) UUD 1945); (2) Negara memiliki

kekuasaan untuk menciptakan kebijakan (policy), misalnya membuat dan menegakkan

aturan, bahkan dalam keadaan tertentu untuk kepentingan umum yang sifatnya emergency

pemerintah dapat menyimpangi suatu aturan yang dibuatnya sendiri demi mencapai sesuatu

yang lebih baik (freies emessen); (3) Negara memiliki kemampuan lebih dari pada yang

dimiliki pihak manapun. Tetapi, dalam hal-hal tertentu negara juga dapat dimintai

pertanggungjawaban secara hukum, manakala tindakan negara (policy pemerintah) itu

menjadi sebab timbulnya bencana alam atau kerusakan lingkungan hidup yang dipicu oleh

aktivitas pemerintah yang salah dalam mengelola lingkungan yang menjadi tanggung

jawabnya.

8

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rokhim, “Tanggung Jawab Negara terhadap Korban Kerusakan Lingkungan Hidup

(Kasus Semburan Lumpur Panas di Sekitar Area Eksplorasi P.T. Lapindo Brantas di

Sidoarjo Jawa Timur)”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang,

2010.

Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004.

--------, “Risiko-risiko dalam Ekplorasi dan Eksploitasi Pertambangan serta Perlindungan

Hukum terhadap Para Pihak”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 26 No. 2 Tahun 2007.

Siahaan, N.H.T., Hukum Lingkungan, Edisi Revisi, Penerbit Pancuran Alam, Jakarta, 2009

Harian Kompas, 11 Januari 1996

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup.

9

10