konflik ekologi politik desa

18
KONFLIK EKOLOGI POLITIK DESA: STUDI KASUS DESA WATES JAYA, KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT An Nisa Tri Astuti (NPM: 1306459423) Cava T.S. Bramono (NPM: 1306384353) Abstract The expansion of the conservation area of Gunung Gede Pangrango National Park in January 2009 caused a conflict between local community and National Park Management. One of the area that directly affected by the expansion is Desa Wates Jaya, Cigombong, Bogor, West Java. This paper aimed to analyze the political ecology conflict by examine the role and relationships between each actors involved. Methods used in this research is descriptive methods with a review of analytical data obtained in the field, qualitative methods such as deep interview and also literature analysis. Based on the result of data analysis, the factors leading to the political ecology conflict is less accomodative and repressive approach of government (TNGGP) in process of implementing policy, and also because there's no intervention from Wates Jaya's elite government as the one that has legitimacy in form of legal formal institution to be involved in conflict resolution. Keywords: conflict, conflict resolution, policy, political ecology Latar Belakang dan Rumusan Permasalahan 1

Upload: annisa2810

Post on 02-Oct-2015

230 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

The expansion of conservation area of Gunung Gede Pangrango National Park in January 2009 was causing a political ecology conflict between local community and National Park Management. One of the area that directly affected by the expansion is Desa Wates Jaya, Cigombong, Bogor, West Java. This paper aimed to analyze the political ecology conflict by examine the role and its relationships between each actors involved. Methods used in this research is descriptive methods with a review of analytical data obtained in the field, qualitative methods such as deep interview and also literature analysis. According to data analysis, the factors leading to the political ecology conflict are less accomodative and repressive atpproach of government (TNGGP) in process of implementing policy, and also because there's no intervention from Wates Jaya's elite government as the one that has legitimacy in form of legal formal institution to be involved in conflict resolution.

TRANSCRIPT

KONFLIK EKOLOGI POLITIK DESA: STUDI KASUS DESA WATES JAYA, KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

12

An Nisa Tri Astuti(NPM: 1306459423)Cava T.S. Bramono(NPM: 1306384353)

AbstractThe expansion of the conservation area of Gunung Gede Pangrango National Park in January 2009 caused a conflict between local community and National Park Management. One of the area that directly affected by the expansion is Desa Wates Jaya, Cigombong, Bogor, West Java. This paper aimed to analyze the political ecology conflict by examine the role and relationships between each actors involved. Methods used in this research is descriptive methods with a review of analytical data obtained in the field, qualitative methods such as deep interview and also literature analysis. Based on the result of data analysis, the factors leading to the political ecology conflict is less accomodative and repressive approach of government (TNGGP) in process of implementing policy, and also because there's no intervention from Wates Jaya's elite government as the one that has legitimacy in form of legal formal institution to be involved in conflict resolution. Keywords: conflict, conflict resolution, policy, political ecology

Latar Belakang dan Rumusan PermasalahanMasalah penguasaan tanah dan sumber daya alam di Indonesia merupakan isu yang dekat dengan kemungkinan terjadinya konflik. Tidak jarang, konflik yang terjadi melibatkan kelompok masyarakat kecil, khususnya masyarakat Desa. Dalam usahanya mempertahankan tanah maupun mata penchariannya, masyarakat Desa seringkali harus terlibat konflik dengan kekuatan di atasnya yang lebih besar, termasuk dengan institusi-institusi negara. Kekurangan kapasitas, legitimasi, dan akses informasi, serta berbagai faktor lainnya menyebabkan masyarakat Desa selalu memiliki posisi tawar yang lemah vis a vis kekuatan di atasnya. Akibatnya, konflik antara negara dengan masyarakat desa selalu menjadi konflik yang timpang dan berlarut-larut.Fenomena semacam itu dapat ditemui dalam kasus yang terjadi di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berawal dari perluasan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) pada Januari 2009, gesekan dan pertentangan antara warga yang bermata pencaharian di wilayah tersebut dengan pihak TNGGP terus terjadi dan belum berhasil diselesaikan. Kepentingan masing-masing pihak belum dapat dipertemukan dan menghasilkan solusi yang tepat.Dengan kacamata ilmu politik, konflik yang terjadi dapat dipandang sebagai sebuah konflik ekologi politik yang melibatkan peran berbagai aktor. Karena itu, tulisan ini bertujuan untuk menjawab beberapa rumusan pertanyaan yang muncul, yaitu:1. Bagaimana perkembangan dinamika konflik ekologi politik yang terjadi antara warga dengan pihak TNGGP?2. Siapa saja aktor yang terlibat dalam konflik ekologi politik yang terjadi antara warga dengan pihak TNGGP?3. Bagaimana peran masing-masing aktor dalam konflik dan dalam usaha penyelesaian konflik tersebut?

Kerangka TeoriEkologi politik berusaha menjelaskan interaksi antara manusia dan lingkungannya yang berimplikasi pada terjadinya degradasi lingkungan. Blaikie & Brookfield (1987) mendefinisikan ekologi politik ini sebagai kombinasi perhatian dari ekologi dan ekonomi politik dalam arti luas, yakni dialektika antara masyarakat dan sumber daya berbasis tanah dan termasuk juga dialektika antar kelas dan kelompok di dalam masyarakat itu sendiri.[footnoteRef:2] Ekologi politik melihat perubahan lingkungan bukanlah sebagai ruang hampa, di mana kajian ekologi politik tidaklah semata-mata berdiri sendiri di sebuah vakummelainkan suatu bentuk relasi kausal yang melibatkan aktor berkepentingan di tingkat lokal, regional, maupun global. Kekuasaantentunya juga membawa pengaruh pada signifikansi dari tindakan para aktor untuk mewujudkan kepentingan masing-masing yang tentunya masih terikat dengan konteks politik yang meliputi tiap aktor. Maka dari itu, permasalahan lingkungan yang berujung pada terjadinya konflik ekologi politik tentunya tidak dapat dilepaskan dari keterkaitan antar peran-peran aktor yang terlibat di dalam permasalahan tersebut. Pendekatan aktor sebagai salah satu pendekatan dalam studi ekologi politik, merupakan salah satu pendekatan yang sering digunakan dalam mengkaji berbagai permasalahan konflik ekologi politik yang memang kerap terjadi di Negara Dunia Ketiga. Menurut Raymond L. Bryant dan Sinead Bailey dalam Third World Political Ecology, terdapat peran politik dari aktor-aktor yang berbeda dalam interaksi antara manusia dan lingkungan, terutama di Negara Dunia Ketiga.[footnoteRef:3] Relasi hubungan kekuasaan yang menjadi faktor utama dalam kajian ekologi politik seringkali bersifat asimetris. Seperti paparan Bryant di Third World Political Ecology:[footnoteRef:4] [2: Piere Blaikie & Harold Brookfield, 1987, Land Degradation and Society, London: Methuen] [3: Raymond L. Bryant & Sinead Bailey, 1997, Third World Political Ecology, London : Routledge] [4: Ibid.]

Hubungan yang tidak seimbang antara aktor-aktor yang ada merupakan faktor kunci dalam memahami pola interaksi antara manusia dan alam maupun dalam masalah-masalah lingkungan yang berhubungan, semakin terakumulasi di kebanyakan Negara Dunia Ketiga. Kekuasaan, bagi para ilmuwan ekologi politik merupakan konsep kunci dalam usaha untuk menentukan peta hubungan dalam proses politisasi lingkungan. Secara umum, aktor-aktor yang terlibat di antaranya adalah negara, perusahaan dan kelompok bisnis, ENGO (Environmental Non Governmental Organization), dan masyarakat. Negara, dalam kerangka ekologi politik, memiliki fungsi yang ambigu, yang mana pada satu sisi negara memiliki kewajiban untuk melakukan pembangunan ekonomi untuk mendapatkan pemasukan negara. Namun di sisi yang lain, negara diharuskan untuk menjaga lingkungan dari ancaman kerusakan. Di sini, kecenderungan negara hanyalah mengutamakan fungsi institusionalnya dengan tidak terlalu mengidahkan berbagai permasalahan terkait degradasi lingkungan yang terjadi dewasa ini. Aktor selanjutnya adalah perusahaan atau kelompok bisnis. Kepentingan dari aktor ini sudah jelas, yaitu berhubungan dengan perkembangan kapitalisme global dan cenderung menjadi salah satu faktor yang mempercepat terjadinya degradasi lingkungan. Berbicara mengenai kapitalisme global, terdapat tendensi masyarakat dan sumber daya alam yang ada terinkorporasi ke dalam pasar kapitalisme dalam rangka pemenuhan kebutuhan kapitalis. Tentunya dalam konteks kapitalisme global, sebuah perusahaan atau kelompok bisnis menjalankan aktivitas operasionalnya berbasis logika akumulasi modal, dimana hal ini menyebabkan bertabrakannya kepentingan manusia dan lingkungan. Kemudian, aktor yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung adalah ENGO yang secara umum terbagi menjadi dua kelompok ENGO, yaitu ENGO dunia pertama dan ENGO dunia ketiga. ENGO dunia pertama lebih fokus pada berbagai permasalahan lingkungan di tingkat global, sedangkan ENGO dunia ketiga lebih berfokus pada masalah dasar kehidupan seperti permasalahan sosial terkait dengan kesejahteraan masyarakat, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat lokal yang termarjinalisasi seiring dengan pesatnya peningkatan degradasi lingkungan oleh negara dan masyarakat. Sedangkan aktor selanjtnya adalalah masyarakat sendiri, dimana masyarakat merupakan korban yang termarjinalkan di pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Bagi aktor-aktor ini, ketergantungan mereka terhadap sumber daya alam merupakan alasan utama mereka dalam usaha mempertahankan lingkungan. Biasanya, masyarakat membentuk organisasi akar rumput di tingkat lokal untuk saling berasosiasi, yang pada paper kali ini diwakili oleh kelompok tani Barokatunnabaat. Metodologi PenelitianDalam melakukan penelitian penulis membutuhkan data berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi secara langsung di lapangan serta wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan terhadap buku-buku, media, serta penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan topik penelitian. Metode wawancara yang digunakan oleh penulis adalah wawancara kualitatif semi terstruktur dimana penulis tidak menyiapkan daftar pertanyaan yang rigid.Pengambilan sampel sebagai informan wawancara dilakukan secara non-probabilitas dimana tidak semua populasi memiliki kemungkinan yang sama untuk dipilih menjadi informan. Teknik accidental digunakan untuk mengambil beberapa informan awal. Selanjutnya untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam penulis menggunakan teknik judgemental sampling dimana informan yang akan diwawancarai dipilih secara sengaja oleh penulis karena dianggap memiliki kapasitas dan akses informasi yang sesuai. Dalam kasus ini, penulis memilih Kepala Desa, Budi Rahayu dan Sekretaris Desa, Sutisna. Namun penulis gagal menemui Kepala Desa yang kemudian digantikan oleh Kepala Bagian Pemerintahan, Usman. Selanjutnya, dalam perkembangan penelitian, penulis juga menggungakan teknik snowball sampling dimana seorang informan dipilih karena informasi dari informan sebelumnya. Dalam kasus ini, penulis mendapat informasi tentang Sayuti, seorang Ketua RT yang wilayahnya berbatasan langsung dengan kawasan TNGGP, dari wawancara terdahulu dengan Usman.[footnoteRef:5] [5: W. Lawrence Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, (Boston: Pearson, 2006) hlm. 220-224]

Pada akhirnya, informan yang diwawancarai dalam penelitian ini dijelaskan dalam tabel berikut:Tabel 1: Informan Wawancara1.NamaJabatanKeteranganAnonimWiraswastaDiwawancarai 15 November 2014 dalam proses observasi masalah. Narasumber tidak ingin disebutkan namanya.

2.NamaJabatanKeteranganMohammad NasikinPetani PenggarapDiwawancari 15 November 2014 dalam proses observasi masalah.

3.NamaJabatanKeteranganUsmanKepala Bagian Pemerintahan Desa Wates JayaDiwawancarai21 November 2014 sebagai pengganti Kepala Desa

4.NamaJabatan KeteranganSutisnaSekretaris Desa Wates JayaDiwawancarai 28 November 2014

5.NamaJabatanKeteranganSayutiKetua RT 02 RW 05, Kampung Lengkong, Desa Wates JayaDiwawancarai 28 November 2014

Gambaran Umum Lokasi PenelitianDesa Wates Jaya terletak di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Desa yang merupakan Desa hasil pemekaran tahun 1984 ini menjadi tempat tinggal bagi 7.551 jiwa penduduk dengan 1.937 kepala keluarga. Pemerintah Desa dipimpin oleh seorang Kepala Desa bernama Budi Rahayu yang terpilih pada 2011 dan akan mengakhiri masa jabatannya pada 2017.Desa Wates Jaya merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGGP. Kawasan konservasi TNGGP menempati kurang lebih 60 Ha dari keseluruhan 1.013,282 Ha kawasan Desa Wates Jaya. Wilayah yang berbatasan langsung dengan TNGGP adalah wilayah RW 05 khususnya RT 01, RT 02, RT 03 dan RT 04. Kawasan yang berbatasan langsung dengan TNGGP inilah yang secara khusus menjadi objek dalam penelitian ini.Secara geografis, letak wilayah ini terpencil dari wilayah Desa lainnya. Akses menuju wilayah ini pun cukup sulit. Jalan menuju ke sana kecil dan sulit untuk ditempuh bahkan cukup berbahaya untuk ditempuh terlebih lagi di malam hari atau ketika hujan. Akibatnya, sejak awal pembangunan di wilayah ini lebih terbelakang dibanding wilayah lain. Kondisi ini digambarkan oleh beberapa informan misalnya dengan ketiadaan sarana sanitasi, banyaknya anak yang tidak bersekolah, dan kondisi kesehatan yang sangat buruk. Namun kondisi tersebut terus mengalami perbaikan yang cukup signifikan. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah banyaknya pihak luar seperti mahasiswa, LSM, dan bantuan pemerintahan yang masuk. Pihak luar yang datang ini memngembangkan pembangunan desa dengan mendirikan fasilitas-fasilitas sanitasi, pendidikan dan kesehatan serta dengan melakukan pelatihan, penyuluhan dan berbagai kegiatan sosial dalam rangka pembangunan masyarakat. Dampak dari berbagai bantuan ini saat ini dapat sangat dirasakan.

Perluasan Kawasan Konservasi TNGGP dan Konflik Ekologi PolitkSebelum perluasan kawasan konservasi TNGGP yang mulai berlaku pada Januari 2009, kawasan hutan yang masuk dalam wilayah Desa Wates Jaya merupakan kawasan hutan produksi yang dikuasai oleh Perum Perhutani. Selama bertahun-tahun, kawasan tersebut juga telah menjadi pusat mata pencaharian masyarakat. Masyarakat, dengan diberdayakan oleh Perum Perhutani dapat mengelola ladang dengan menggarap perkebunan (di antaranya perkebunan kopi dan kumis kucing), serta menyadap getah pohon pinus. Hasil garapan tersebut kemudian dijual kepada Perum Perhutani. Hubungan saling percaya antara warga dengan Perum Perhutani terjalin dengan baik pada periode ini.Pada 2003, Kementerian Kehutanan mengeluarkan SK Menhut No 174, yang menerangkan bahwa kawasan konservasi TNGGP mengalami perluasaan 7 655 ha yang berasal dari areal Perum Perhutani. Surat Keputusan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan adanya Berita Acara Serah Terima (BAST) dari Perum Perhutani kepada Kementerian Kehutanan Nomor: 07/SJ/DIR/2009, BA.6/IV-SET/2009 tanggal 29 Januari 2009. BAST tersebut kemudian ditindak lanjuti kembali dengan BAST pengelolaan hutan dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kepada Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) Nomor: 002/BAST-HUKAMAS/III/2009.Dengan adanya penetapan-penetapan tersebut, maka terhitung sejak Januari 2009, kawasan hutan yang ada di wilayah Desa Wates Jaya pun tidak lagi merupakan hutan produksi di bawah pengelolaan Perum Perhutani, melainkan menjadi kawasan konservasi TNGGP di bawah Kementerian Kehutanan. Konsekuensinya, warga tidak lagi diperkenankan melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan konservasi TNGGP tersebut.[footnoteRef:6] [6: Pada kenyataannya, larangan terhadap penyadapan getah pinus dan penebangan pohon sudah mulai diberlakukan dengan tegas sedangkan untk kegiatan penggarapan lahan masih belum diterapkan secara total. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya personil pengamanan dari pihak TNGGP. Akibatnya, konflik yang melibatkan msyarakat penyadap pohon pinus memang lebih dinamis daripada yang melibatkan petani penggarap.]

Konflik antara masyarakat dengan TNGGP berawal dari ketidaktahuan masyarakat mengenai penetapan perluasan kawasan konservasi tersebut. Pihak Perum Perhutani maupun TNGGP hanya mengadakan putusan serah terima tetapi tidak memberikan keterangan kepada masyarakat yang berkepentingan di kawasan tersebut.Tanpa memberikan pemberitahuan yang jelas, pihak TNGGP langsung melakukan tindakan represif berupa berbagai penangkapan terhadap warga yang memanfaatkan kawasan konservasi. Pendekatan yang represif seperti ini mengakibatkan gesekan antara pihak masyarakat dengan pihak TNGGP semakin intens. Di kalangan warga masyarakat muncul sikap kebencian dan anti terhadap TNGGP.Konflik juga diperparah dengan adanya berbagai kesalahpahaman yang seringkali terjadi dan biasanya berujung pada penangkapan warga. Misalnya, warga yang langsung ditangkap ketika membawa kayu yang sebenarnya ia tanam sendiri tidak dalam kawasan konservasi. Selain itu, kepolisian sebagai penegak hukum juga tidak memiliki pemahaman yang sempurna mengenai aturan teknis di bidang kehutanan sehingga seringkali salah dalam menindak pelanggaran yang terjadi. Berbagai kesalahpahaman ini merupakan akibat dari ketidakmengertian masyarakat akan aspek-aspek hukum sekaligus juga akibat dari sikap pihak TNGGP yang tidak akomodatif dan tidak informatif baik kepada warga maupun kepada pihak penegak hukum yang terlibat.Usaha-usaha penyelesaian konflik saat ini belum berhasil mempertemukan kedua kepentingan yang terlibat. Pihak Kelompok Tani Barokaatunnabat dengan Sayuti, yang juga merupakan Ketua RT 02 sebagai tokoh kuncinya menjadi cukup penting dalam usaha-usaha penyelesaian konflik ini. Berbagai inisiasi dilakukan untuk mengadakan diskusi dan forum-forum namun belum berhasil menghasilkan solusi.

Keterlibatan Aktor-aktor dalam Konflik Ekologi PolitikUntuk menganalisis kasus konflik ekologi antara warga Desa Wates Jaya dengan TNGGP, perlu diketahui siapa saja aktor yang terlibat dalam proses politik ini. Secara umum, ada lima aktor utama yang berperan dalam dinamika maupun penyelesaian konflik ini, yaitu: TNGGP, Perum Perhutani, masyarakat, Kelompok Tani Barokaatunabaat, serta Pemerintah Desa Wates Jaya.TNGGP pada kasus ini mengacu pada Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sebagai pengelola kawasan wilayah konservasi TNGGP, secara khusus di tingkat resort yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat sekitar. Pihak TNGGP merupakan pihak utama yang terlibat konflik. Setelah perluasan tahun 2009, pihak TNGP seringkali melakukan tindakan represif seperti penangkapan terhadap warga masyarakat yang memicu konflik. Selain itu, sikap TNGGP yang cenderung represif dan tidak akomodatif merupakan salah satu penyebab utama sulitnya penyelesaian konflik.Sikap TNGGP yang tidak akomodatif dapat terlihat dari keengganannya melakukan mediasi dengan pihak masyarakat berkaitan dengan konflik ekologis yang terjadi. Sikap ini kemungkinan disebabkan oleh ketakutan TNGGP terhadap tuntutan masyarakat serta kurangnya personil TNGGP di tingkat resor. TNGGP juga cenderung bersifat tertutup berikaitan dengan berbagai program dan kebijakan yang menyangkut warga secara langsung maupun tidak langsung. Penentuan zonasi yang dilakukan setiap tiga tahun sekali misalnya tidak pernah melibatkan pihak masyarakat maupun pemerintahan Desa dan Kecamatan.Aktor lainnya yang secara langsung terlibat dalam konflik adalah pihak masyarakat yang dalam kasus ini mencakup warga RT 01, RT 02, RT 03, dan RT 04 yang menjadikan kawasan perluasan TNGGP sebagai sumber utama mata pencaharian. Kelompok masyarkat ini terdiri dari dua kategori utama, yaitu kelompok penyadap yang bermata pencaharian dengan melakukan penyadapan getah pohon pinus, dan kelompok penggarap yaitu para petani penggarap yang memanfaatkan lahan perluasan TNGGP dengan menggarap perkebunan.Saat ini hanya sepuluh orang yang masih berprofesi sebagai penyadap getah pinus, sedangkan kelompok penggarap terdiri dari kurang lebih 75 persen dari total warga. Sedikitnya kelompok masyarakat yang masih berprofesi penyadap diakibatkan oleh pelaksanaan pelarangan penyadapan pinus dan penebangan pohon yang jauh lebih ketat dibandingkan dengan penerapan pada kegiatan penggarapan tanah. Hal itu juga menyebabkan kelompok penyadap ini lebih terlibat secara dinamis dan frontal dalam konflik dengan pihak TNGGP. Tuntutan dari kelompok ini saat ini adalah pertanggung jawaban pihak TNGGP maupun Perum Perhutani untuk menggantikan kebutuhan mata pencaharian mereka karena tidak bisa lagi melakukan penyadapan getah pinus. Sampai saat ini, tuntutan-tuntutan mereka masih dianggap terlalu berat dan belum berhasil dipenuhi.Aktor lain yang memiliki peran cukup penting adalah Kelompok Tani Barokaatunnabat sebagai pihak ketiga yang aktif melakukan mediasi dan usaha-usaha penyelesaian konflik. Kelompok Tani ini juga melakukan berbagai upaya pemberdayaan masyarakat bersama dengan berbagai LSM dan pihak luar yang sering masuk ke Desa Wates Jaya. Dalam usaha-usaha penyelesaian konflik, tokoh kunci yang menjadi penggerak adalah Sayuti, yang juga sekaligus menjadi Ketua RT 02. Posisi Kelompok Tani ini cenderung membela kelompok masyarakat serta menjadi penengah di antara kedua pihak yang berkonflik. Namun, usaha-usaha yang dilakukan oleh Kelompok Tani ini mendapat tantangan berupa kurangnya legitimasi dan kepercayaan dari pihak TNGGP maupun pihak masyarakat karena tidak adanya posisi legal yang jelas dan kuat.Karena itu, pihak kelompok tani saat ini hanya mengandalkan pendekatan secara personal dengan TNGGP maupun instansi-instansi terkait lainnya.Aktor lainnya dalam kasus ini adalah Pemerintah Desa Wates Jaya yang keterlibatannya justru sangat minimal dalam usaha-usaha penyelesaian konflik. Ada kecenderungan pemerintah Desa lepas tangan terhadap permasalahan ini. Hal tersebut terlihat dari ketidaktahuan para staf Desa tentang perkembangan kondisi konflik. Padahal, kehadiran Pemerintah Desa dalam penyelesaian konflik bisa sangat membantu karena adanya legitimasi dan legalitas yang kuat dalam menghadapi pihak TNGGP maupun masyarakat.Relasi Peran Antar Aktor dalam Dinamika KonflikSeperti yang telah dipaparkan pada pembahasan mengenai dinamika konflik yang terjadi, penerbitan SK Menhut No 174, yang menerangkan bahwa kawasan konservasi TNGGP mengalami perluasaan berdampak pada berubahnya fungsi hutan produksi di wilayah Desa Wates jaya menjadi kawasan konservasi. Dalam hal ini, pemerintah pusat yaitu Kementerian Kehutanan yang dalam operasionalisasinya direpresentasikan oleh pihak taman nasional memiliki kewenangan legal formal terkait dengan kebijakan yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dimana seharusnya kewenangan ini tidak seharusnya hanya dioperasionalisasikan secara institusional saja, namun juga harus melibatkan pendekatan-pendekatan yang kooperatif dan akomodatif dengan masyarakat sekitar. Berdasarkan hasil wawancara, Taman Nasional dengan perannya sebagai pembuat kebijakan yeng tentunya juga bertanggungjawab terhadap implementasinya di lapangan ternyata berlaku tidak kooperatif dengan masyarakat sekitar, bahkan cenderung represif. Hal ini ditunjukkan dengan kurang harmonisnya relasi antara pihak TNGGP dan masyarakat sekitar, terkait dengan pemberlakuan SK Menhut No 174 yang menghapuskan hak pakai masyarakat terhadap sumber daya alam di kawasan konservasi TNGGP. Pemberlakuan kebijakan pemerintah yang kontroversial tersebut berimbas pada melemahnya basis ekonomi masyarakat di sekitar areal taman nasional terkait dengan hilangnya mata pencaharian mereka, dimana 75% pekerjaan masyarakat di areal tersebut bekerja sebagai petani penggarap. Maka dari itu, tidak terpenuhinya kepentingan masyarakat sebagai objek dari kebijakan serta pendekatan yang kurang kooperatif dari pihak TNGGP dalam proses implementasi kebijakan tersebut semakin memperburuk relasi kedua belah pihak. Dalam hal ini, masyarakat yaitu para petani penggarap dan penyadap karet tentunya tidak memiliki posisi tawar yang kuat terhadap TNGGP. Dibutuhkan intervensi Pemerintah Desa sebagai institusi yang memiliki legitimasi secara legal formal sebagai perwakilan pemerintah di skala terkecil. Namun kenyataannya, Pemerintah Desa terkesan enggan ikut campur dalam konflik antara masyarakatnya dan TNGGP. Absennya Pemerintah Desa dalam usaha-usaha mediasi yang beberapa kali sempat dilakukan oleh Kelompok Tani Barokatunnabaatsebagai asosiasi masyarakat yang aktif di pemberdayaan masyarakat lokal, menjadikan konflik yang ada semakin berlarut-larut. Dibutuhkan pendekatan institusional melalui intervensi Pemerintah Desa dalam usaha-usaha resolusi konflik yang ada, karena selama ini pendekatan personal yang telah dilakukan oleh Kelompok Tani Barokatunnabaat tidak akan bisa berpengaruh signifikan dikarenakan kapasitas dari representasi kelompok tani tersebut yaitu Sayuti sebenarnya juga kurang memiliki legitimasi secara legal formal terkait dengan posisinya sebagai ketua RT. LSM, dalam konteks permasalahan ini adalah beberapa organisasi mahasiswa dan Lemhanas yang lebih berperan dalam memberikan pemberdayaan berupa pendidikan terhadap masyarakat melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat pengembangan kapasitas, yang mana diharapkan melalui kegiatan-kegiatan tersebut masyarakat bisa menjadi lebih peka dan kritis dalam memperjuangkan hak-hak sipil mereka. Selain itu, LSM juga berfungsi sebagai corong pengeras suara yang dapat menyuarakan permasalahan konflik yang terjadi di Desa Wates Jaya sehingga dapat memungkinkan adanya bantuan-bantuan eksternal dalam usaha resolusi konflik tersebut. KesimpulanBerdasarkan hasil observasi yang telah kami dapatkan selama penelitian berlangsung, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua permasalahan mendasar yang menyebabkan terjadinya konflik ekologi politik di Desa Wates Jaya, yaitu TNGGP sebagai aktor pembuat kebijakan cenderung tidak akomodatif dan represif dalam mengimplementasikan kebijakannya, sehingga dalam praktiknya, kepentingan masyarakat tidak dapat terwujudkan. Selain itu, absennya Pemerintah Desa dalam usaha resolusi konflik yang selama ini dilakukan oleh Kelompok Tani Barokatunabaat merupakan salah satu alasan mendasar yang menjadikan konflik berlarut-larut, karena masyarakat tidak memiliki posisi tawar yang memadai jika dibandingkan dengan TNGGP sebagai pembuat kebijakan. Sehingga, konflik yang ada terkait TNGGP dan masyarakat hanya dapat diselesaikan dengan intervensi Pemerintah Desa sebagai pemegang otoritas dan legitimasi secara legal formal.

Daftar PustakaPiere Blaikie & Harold Brookfield, 1987, Land Degradation and Society, London: Methuen

Raymond L. Bryant & Sinead Bailey, 1997, Third World Political Ecology, London : Routledge

W. Lawrence Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, (Boston: Pearson, 2006) hlm. 220-224