makalah human security re-editing
TRANSCRIPT
Human Security, Teori dan Implementasi di Asia
Disusun oleh Edy Faisal : Gita Karisma : 1106116881Hijrah Saputra Har : 1106116950Ratu Riode Eyenairo : 1106117474
Teori Keamanan InternasionalKelas Keamanan InternasionalMagister Ilmu Hubungan InternasionalFisip Universitas Indonesia2012
Bahan Bacaan Utama : Amitav Acharya, 2001. Human Security: East versus West, dalam International Journal, Summer, 56 (3): Pp.442-460.Amitav Acharya, 2004. nexus between human security and traditional security in east asia, dalam International Conference on Human Security in East Asia, Korean National Commision for UNESCO, Ilmin International Relations Institute of Korea University. Pp.77-101Mely Caballero-Anthony, 2004. Revisioning Human Security in Southeast Asia, dalam Asian Perspective, 28 (3): Pp.155-189.Paul M Evans, 2004, Human Security and East Asia: In The Beginning, dalam Journal of East Asian Studies 4 Pp.263-284
Security is the absence of anxiety upon which the fulfilled life depends.
—Cicero
Pendahuluan
Sejak diperkenalkan oleh United Nations Development Program (UNDP) dalam
Human Development Report 1994, konsep human security (keamanan manusia) telah
memancing banyak perdebatan di kalangan pengkaji keamanan dan pengambil kebijakan.
Sebagian pihak meyakini bahwa konsep itu dapat diimplementasikan dengan baik dan
berkontribusi memberikan jaminan keamanan bagi manusia.1 Sebagian yang lain meragukan
keberhasilan implementasi konsep itu karena berbenturan dengan pemahaman sejumlah
negara yang masih memandang keamanan secara tradisional. Golongan ini beranggapan
bahwa konsep human security tidak lain hanya bentuk baru dari upaya barat dalam rangka
1 Paul M Evans, 2004, Human Security and East Asia: In The Beginning, dalam Journal of East Asian Studies 4 Pp.265
1
menyebarkan nilai dan kepentingan mereka khususnya ynag berkaitan dengan liberal dan
Hak Asasi Manusia.
Para pendukung konsep Human security memperkuat argumentasi mereka dengan
mencontohkan keberhasilan negara-negara Barat dalam memenuhi kebutuhan keamanan
rakyatnya sebagai bukti positif implementasi pendekatan keamanan baru ini. Di antara semua
negara Barat, Kanada dan Norwegia dipandang sebagai contoh terbaik karena kedua negara
inilah yang paling berjasa dalam mengembangkan agenda human security di panggung
internasional. Keduanya menggabungkan human security dengan human rights, international
law, equitable socio-economic development dan promotion of humanitarian agenda.
Ketika menjadi anggota Dewan Keamanan PBB pada 1990-an, Kanada berinisiatif
memasukkan isu-isu kemanusiaan pada ranah high politics. Harapannya, agar PBB lebih
proaktif dalam mencegah krisis kemanusiaan, menegakkan mekanisme intervensi yang lebih
cepat, memperkuat struktur sosial ekonomi untuk mencegah konflik, dan membangun
kembali masyarakat pascaperang. Sejak saat itu, International Commission on Intervention
and State Sovereignty (ICISS) mengajukan perdebatan dari right to intervene ke
responsibility to protect. Artinya, kedaulatan yang dimiliki negara merupakan tanggung
jawab yang diberikan untuk melindungi warganya. Setiap negara bertanggung jawab
melindungi populasinya dari genosida, kejahatan perang, pembasmian etnis, dan kejahatan
melawan kemanusiaan.
Sedangkan di sisi lain, oleh beberapa pihak human security dipandang tidak lain
merupakan gagasan dan upaya negara-negara Barat dalam bungkus baru untuk menyebarkan
nilai-nilai-nilai mereka terutama tentang hak azasi manusia.2 Pada perkembangannya,
pemahaman tentang human security di Asia yang berbeda dengan di negara-negara Barat
menyebabkan sejumlah pemerintahan negara Asia melihat human security sebagai usaha lain
Barat untuk mempromosikan nilai-nilai liberal ke masyarakat non-Barat.
Gagasan human security dipandang merefleksikan ide-ide demokrasi liberal dan hak
asasi manusia yang dikampanyekan Barat yang seringkali dianggap tidak sesuai diterapkan di
Asia. Pada akhirnya, sejumlah negara Asia mendesak definisi dan promosi hak asasi manusia
harus memerhatikan perbedaan kultural dan pengalaman sejarah negara-negara Asia. Untuk
menyiasatinya, banyak negara Asia menganut konsep human security yang lebih luas dalam
konsep comprehensive security yang sudah eksis di kawasan ini.3
2 http://www.propatria.or.id/download/Paper%20Diskusi/human_security_ep.pdf3 Acharya, Amitav 2001. Human Security: East versus West, dalam International Journal, Summer, 56 (3): Pp.443-449
2
Konsep comprehensive security telah berkembang di Asia sejak Perang Dingin.
Meskipun Jepang dianggap negara pertama yang menerapkan konsep keamanan ini, tetapi
konsep ini juga ditemukan di negara-negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, dan
Singapura. Indonesia menginterpretasikannya dalam konsep ketahanan nasional yang
merupakan doktrin pertahanan sejak pemerintahan Soeharto. Ketahanan nasional merupakan
pandangan komprehensif tentang keamanan yang mencakup politik, ekonomi, sosial budaya,
dan militer baik di lingkungan domestik maupun internasional. Selaras dengan itu, Malaysia
tidak memisahkan keamanan nasional dari stabilitas politik, kesuksesan ekonomi dan
harmoni sosial. Bagi Malaysia, keamanan nasional harus diamankan dari pemberontakan
komunis, konflik rasial dalam masyarakat multietnis, dan resesi ekonomi. Sama halnya
dengan Indonesia, Malaysia menggabungkan keamanan nasional dengan keamanan regional
yang berarti stabilitas regional dapat tercapai jika negara dalam kondisi aman. Tidak beda
jauh, Singapura menerapkan total defence dalam mengimplementasikan comprehensive
security yang memiliki lima elemen, yakni psikologis, sosial, ekonomi, pertahanan sipil, dan
pertahanan militer.4
Pertanyaan Riset
Dengan demikian, tampak terjadi jurang pemisah antara pemahaman human security di Barat
dengan di Timur terutama jika mengambil contoh pengalaman negara-negara Asia Tenggara
seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Karena itu, makalah ini mengambil pertanyaan
riset pada Bagaimana tantangan yang muncul ketika konsep human security berusaha
diimplementasikan di negara-negara tersebut ?
Konsepsi Human Security
Human security, sebagai suatu konsep, bukanlah hal baru. Human security yang
secara luas mencakup isu-isu non-militer juga sudah dikembangkan di dalam konsep
keamanan konprehensif.5 Secara subtansial, konsep Human Security sudah berkembang sejak
didirikannya Palang Merah Internasional (International Red Cross) pada tahun 1896. Lalu,
konsep ini disahkan melalui “Piagam PBB” pada tahun 1945 yang disusul oleh “Deklarasi
Universal Hak-hak Azasi Manusia pada tahun 1948”.
Pasca Perang Dunia II yang disusul oleh Perang Dingin antara Blok Barat pimpinan
Amerika Serikat (AS) dan Blok Timur pimpinan Uni Soviet (US) telah “menenggelamkan”
4 Caballero-Anthony, Mely, 2004. Op.Cit Pp.160-1615 Edy Prasetyono dalam http://www.propatria.or.id/download/Paper%20Diskusi/human_security_ep.pdf
3
konsep Human Security. Sebab, era Perang Dingin didominasi oleh isu mengenai “ideologi
politik” dan “militer” yang dikembangkan oleh kedua blok tersebut.
Akhir Perang Dingin pada awal 1990-an, konsep mengenai Human Security semakin
mengemuka seiring dengan adanya keinginan PBB -- atas desakan negara2 Dunia Ketiga –
agar PBB lebih berperan aktif dalam mengantisipasi perkembangan isu-isu global
kontemporer pasca Perang Dingin. Berakhirnya Perang Dingin menciptakan momentum baru
yang memberi ruang bagi penafsiran kembali makna keamanan. Ia tidak semata-mata
keamanan negara dari ancaman militer negara lain. Bahkan, sebagai implikasinya, peran
militer pun diperluas untuk melakukan tugas-tugas di luar pertahanan teritorial. Selain itu,
perhatian terhadap human security juga diperkuat oleh gelombang globalisasi yang
melahirkan arus balik karena beberapa efek negatifnya terhadap negara-negara lemah,
kelompok, dan individu tertentu. Dan, yang paling mencolok adalah bahwa menguatnya
gagasan dan upaya human security merupakan reaksi terhadap masalah-masalah kemanusiaan
yang melanda dunia saat ini, mulai dari pengungsi akibat konflik dan kekerasan fisik,
penjualan anak-anak dan wanita, masalah pangan, terorisme, perdagangan senjata ilegal,
pelanggaran hak azasi manusia, dan sebagainya.6
Dalam Laporan UNDP tentang Pembangunan tahun 1993, PBB kembali menegaskan
bahwa “Pengertian mengenai ‘Keamanan’ (Security) pada Abad ke-21 harus difokuskan pada
‘Keamanan Umat Manusia’ (Human Security), tidak hanya ‘keamanan negara’ seperti yang
mendominasi periode Perang Dingin”.
Akhirnya berdasarkan Human Development Report 1994 yang dikeluarkan UNDP,
dijelaskan secara ringkas human security sebagai : “first, safety from such chronic threats
such as hunger, disease, and repression. And, second, ...protection from sudden and hurtful
disruptions in the patterns of daily life --- whether in homes, in jobs or in communities.”7
Berdasarkan penekanan itu, UNDP merinci tujuh aspek keamanan manusia yang harus
diperhatikan. Pertama, economic security (bebas dari kemiskinan dan jaminan pemenuhan
kebutuhan dasar). Kedua, food security (kemudahan akses terhadap kebutuhan pangan).
Ketiga, health security (kemudahan mendapatkan layanan kesehatan dan proteksi dari
penyakit). Keempat, environmental security (proteksi dari polusi udara dan pencemaran
lingkungan, serta akses terhadap air dan udara bersih). Kelima, personal security
(keselamatan dari ancaman fisik yang diakibatkan oleh perang, kekerasan domestik,
kriminalitas, penggunaan obat-obatan terlarang, dan bahkan kecelakaan lalu lintas). Keenam,
6 Ibid, Edy Prasetyono, hal 2.7 Laporan UNDP 1994, Pp.23
4
community security (kelestarian identitas kultural dan tradisi budaya). Ketujuh, political
security (perlindungan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dari tekanan politik).
Mencermati tujuh aspek tersebut dengan memerhatikan konsep human development
dan sustainable development sebagai embrio konsep human security, setidaknya adanya
empat tujuan konsep human security:
(1) Melengkapi konsep human development melalui perhatian pada setiap aspek
dalam human development,
(2) Memperluas ruang lingkup konsep human development dengan memasukkan
keamanan fisik individu,
(3) Memperluas ruang lingkup kajian keamanan di luar keamanan militer dan negara
dan/atau mengubah fokus pada keamanan fisik individu, dan
(4) Mempersempit ruang lingkup konsep human development dengan konsentrasi
pada dasar-dasar keamanan manusia. Perhatian terhadap hampir semua aspek
keamanan seolah mengaburkan fokus utama human security. Tidak mengherankan
jika banyak pihak mengkritik bahwa tujuh aspek keamanan manusia versi UNDP
terlalu luas.8
Awal kemunculan dipertegasnya konsep human security oleh UNDP ini
sesungguhnya berakar dari kontroversi human security itu sendiri. Kontroversi Konsep
Human Security yang diperkenalkan Mely Caballero-Anthony membagi perdebatan tentang
konsep keamanan menjadi tiga pendekatan.9 Pertama, kajian yang memperluas konsep
keamanan tidak hanya terbatas pada militer, tetapi juga termasuk politik, ekonomi, dan
ekologi. Kedua, kajian yang menolak perluasan konsep keamanan dan memelihara status quo
dengan kembali membawa konsep keamanan dalam perspektif realis atau neorealis. Ketiga,
kajian yang tidak hanya memperluas ruang lingkup keamanan di luar ancaman militer dan
negara, tetapi juga dalam proses mencapai tujuan emansipasi manusia. Pendekatan pertama
tidak memiliki kejelasan tentang siapakah subyek keamanan, negara atau manusia.
Pendekatan kedua terfokus pada keamanan negara. Pendekatan ketiga menekankan arti
penting manusia sebagai subyek keamanan utama yang menghadapi ancaman militer dan
nonmiliter. Dua pendekatan pertama merupakan pendekatan tradisional dalam memandang
8 karena terlalu luasnya pemahaman konsep human security, Barry Buzan menyederhanakan human security menjadi empat aspek, meskipun sebenarnya tidak terlalu berbeda. Keempat aspek itu adalah: (1) environmental, personal, and physical security, (2) economic security, (3) social security, (4) political security, (5) cultural security. 9 Ibid, Pp.156-157
5
keamanan. Sedangkan, pendekatan ketiga adalah pendekatan baru keamanan yang disebut
human security.
Walaupun baru mengemuka pada 1994, gagasan tentang human security sebenarnya
dapat dilacak dalam debat tentang makna keamanan yang berkembang menjelang
berakhirnya Perang Dingin. Gagasan itu merupakan kombinasi dari dua konsep. Pertama,
konsep sustainable development yang dikenalkan Bruntland Commission pada 1987. Kedua,
konsep human development yang dimunculkan UNDP dalam Human Development Report
1990. Beberapa komisi independen lain, seperti Brandt Commission dan Commission on
Global Governance juga turut berjasa dalam mengembangkan fokus keamanan dari negara ke
rakyat.10
Kedua konsep tersebut merupakan embrio bagi perumusan konsep human security
dalam Human Development Report 1994. Dalam laporan tahunan itu, UNDP menyatakan
bahwa
“The concept of security has for too long been interpreted narrowly: as security of territory from external aggression, or as protection of national interest in foreign policy or as global security from the threat of nuclear holocaust... Forgotten were the legitimate concerns of ordinary people who sought security in their daily lives.”
Karena itu, UNDP memandang penting untuk memberikan jaminan keamanan bagi
manusia mengingat pasca-Perang Dingin, ancaman keamanan sesungguhnya tidak terpusat
pada negara, melainkan pada rakyat kebanyakan.11
Di balik kemunculan gagasan human security, Amitav Acharya mencermati adanya
empat perkembangan yang melatarinya12: (1) peningkatan perang sipil dan konflik dalam
negara, (2) penyebaran demokrasi, (3) intervensi kemanusiaan, (4) meluasnya kemiskinan
dan pengangguran karena krisis ekonomi pada 1990-an yang diakibatkan globalisasi.
Acharya juga memberikan penjelasan lain mengenai human security, yang setidaknya
mengungkapkan bahwa human security mempunyai tiga definisi yaitu freedom from fear (as
stressed by human rights advocates in Asia and elsewhere), freedom from want (as stressed
by some Asian governments such as Japan) and freedom from cruelty and suffering in times
of conflict (as stressed by the former Canadian Foreign Minister Lloyd Axworthy).13
10 Acharya, Amitav, 2001. Op.Cit Pp.444-44511 Sejak berakhirnya perang dingin, konsep keamanan semakin broadening dan widening, hal ini disebabkan karena ancaman keamanan saat ini meliputi ancaman nonmiliter seperti degradasi dan kelangkaan lingkungan, penyebaran wabah penyakit, kelebihan produksi, pergerakan pengungsi massal, nasionalisme, terrorisme, dan Nuklir. Konsep keamanan juga kian mendalam sebab lebih menaruh perhatian pada keamanan individu dan kelompok daripada ancaman eksternal terhadap negara12 ? Acharya, Amitav, 2001. Ibid. Pp.44513 Amitav Acharya. 2004. The Nexus Between Human Security and Traditional Security in Asia dalam Human Security in East Asia. Korean: Korean National Commission for UNESCO,. Pp. 8.
6
Diperkuat oleh Evans, menurutnya Inti dari human security adalah jawaban yang
spesifik mengenai keamanan untuk siapa, dari apa, dan dengan cara apa. Human security
menimbulkan tantangan bagi konsepsi tradisional keamanan nasional dengan merubah
referensi pokok dan memperkenalkan isu-isu yang melampaui strategi keamanan tradisional.
Secara filosofi, memunculkan isu-isu mendasar yang berkaitan dengan hati nurani, kewajiban
di luar batas, perkembangan, dan legitimasi domestik. Secara politis, memunculkan
pertanyaan mengenai kedaulatan, intervensi, peran institusi regional dan global, serta
hubungan antara negara dan warga negaranya.14 Negara yang tidak aman pastinya akan
membuat masyarakatnya juga merasa tidak aman. Tetapi yang menjadi poin disini ialah,
negara yang aman tidak selalu berarti masyarakatnya juga merasa aman.15 Sehingga Secara
umum, Evans menegaskan secara garis besar bahwa Perwujudan yang paling penting dari
human security ini adalah ide mengenai tanggung jawab untuk melindungi (responsibility to
protect). Pada point ini, negara-negara dan institusi-institusi regional masih ragu-ragu untuk
mengangkat human security, tetapi konsep human security ini telah mempengaruhi negara
serta memainkan peran katalisator dalam perubahan kerangka kerja normatif yang berkaitan
dengan kewajiban negara dan prinsip-prinsip mengenai kedaulatan dan non intervensi.16
Argumentasi Utama
Menurut Evans, human security memang sulit dijangkau baik teori maupun prakteknya
pada hubungan internasional, tidak hanya dalam East Asia tetapi juga secara global.17
Sehingga memungkinkan terjadinya pergeseran akibat benturan konsepsi dimana ia
diterapkan. Hal ini diperkuat oleh Acharya yang menyebutkan bahwa dalam perkembangan
konsep keamanan, human security tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan secara evolutif
melalui berbagai pergeseran dari national security, ke comprehensive security, menuju
cooperative security, hingga menjadi human security.18 Untuk menelusuri bagaimana human
security di transformasikan dalam definisi dan konsepsi yang relevan terhadap Asia, maka
perlu diperhatikan pergeseran konsepsi dari national security, ke comprehensive security,
menuju cooperative security, hingga menjadi human security seperti dibawah ini :
a. Pergeseran isu national Security
14 Paul M Evans, 2004, Op.Cit. Pp.26515 Ibid. Pp.26416 Ibid. Pp.26417 Paul M Evans, 2004. Op.Cit Pp.26418 Acharya, Amitav. Op.Cit, 2001. Pp. 453
7
Permasalahan human security di Asia tidak terlepas dari bagaimana konsep human
security ini dapat dibedakan dari konsep yang begitu kental di kawasan Asia yaitu
national security. Untuk itu, karenanya harus dapat dibedakan benar apa yang dimaksud
dengan human security dan national security. Terdapat tiga perbedaan mendasar antara
human security dan national security.19 Pertama menyangkut pertanyaan “keamanan
siapa”. Human security bicara keamanan rakyat sedangkan national security lebih kepada
keamanan nasional (integritas kedaulatan dan territorial).
Meskipun begitu, sesungguhnya antar keduanya tidak perlu saling bertentangan,
karena meski bagaimanapun national security diperlukan untuk menjamin human security
(a strong state with resources and policy apparatus is needed to ensure the protection of
the people20 ) bukan malah national security melenyapkan human security. Akan tetapi
yang terjadi di negara-negara berkembang nyatanya human security dapat dan memang
terancam oleh pemerintah mereka sendiri. Negara gagal memenuhi kewajibannya dan
bahkan seringkali menjadi ancaman sendiri bagi rakyatnya. Sehingga umumnya
bagaimana human security dijalankan di Asia akan sangat bergantung pada gaya dan sifat
pemerintah yang berkuasa.
Kedua, yaitu mengenai “question of security against what”. Human security
melahirkan cara pandang yang lebih luas dari keamanan nasional, yaitu bahwa ancaman
keamanan tidak hanya datang dari luar atau dalam saja, tapi juga bisa bersifat
transnasional.
“Threats to human security, such as poverty caused by financial crises or infectious diseases such as SARS, can afflict a country even if it maintains the most secure territorial border and extends its sovereignty to the remotest parts therein”.21
Ketiga, yang menjadi perbedaan adalah menyangkut “security in which areas?”
national security hanya mempunyai domain militer saja (about the use and threat of use
of military force), sedangkan human security mencakup domain yang lebih luas yaitu
militer, politik, ekonomi, kesehatan, lingkungan, bidang hubungan domestik dan
internasional. Human security berusaha untuk melindungi manusia terhadap berbagai
ancaman dari individu maupun komunitas, lebih jauh lagi untuk memberikan pemahaman
dan memberdayakan mereka akan human right. Sehingga negara yang kuat militernya
pun belum tentu negara yang paling aman, jika sudah melibatkan keamanan manusia
sebagai elemennya.
19 Acharya, Amitav. Op.Cit, 2004. Pp. 78-7920 Ibid,.21 Ibid,. Pp. 79
8
Kawasan Asia yang tidak terlepas dari masalah otoritarianisme dan kemiskinan,
mempunyai masalah akan bagaimana pemahaman terhadap konsep keamanan tradisional
bisa bergerak menuju pemahaman baru yang tidak hanya bersifat tradisional.
Asia merupakan kawasan yang cukup unik dan dinamis untuk melihat bagaimana
seringnya terjadi pertentangan antara human security dan national security. Secara umum,
maka kawasan Asia dapat dikatakan cukup didominasi oleh isu national security.
Kawasan Asia merupakan kawasan yang cukup kaya namun disisi lain, kawasan ini
memiliki berbagai sengketa teritorial, pertentangan antar negara, persaingan ekonomi dan
keterlibatan big powers di dalamnya. Sehingga diprioritaskannya keamanan nasional oleh
negara-negara di kawasan ini memang cukup memiliki alasan. Akan tetapi beberapa
faktor mengakibatkan identifikasi yang lebih khusus akan sifat keamanan nasional di
Asia. Keamanan nasional di Asia pada akhirnya dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya :
1. Pertama, pengalaman di masa colonial menyebabkan rasa kedaulatan negara dan
keutuhan wilayah menjadi sangat penting nilainya dan bersifat sensitive.
2. Kedua, ialah pasca colonial seringkali keputusan yang dibuat tergesa-gesa dan tanpa
mempertimbangkan komposisi etnis yang ada atau hubungan historis dalam
masyarakat. Dengan pelestarian nationstate sebagai tujuan utama mereka, pemerintah
Asia sering mengorbankan keamanan manusia dengan tujuan menjaga keutuhan
negara-bangsa.22 Hal ini terutama terjadi saat negara mencoba merespon berbagai
konflik internal seperti gerakan separatisme dan terorisme.
3. Ketiga, national security di Asia memiliki dasar budaya. The cultural argument claims
that Asian societies are imbued in a communitarian ethic. They operate within a value
system of “society over the self ”23. Perspektif nilai-nilai Asia telah memberikan
pembenaran ideologis yang kuat untuk meningkatkan kekuasaan negara dengan
mengorbankan keamanan manusia. Ini terlihat dari tumpang tindih yang jelas antara
keamanan nasional negara di Asia dan "nilai-nilai Asia" sebagai pendukung.
4. Keempat, bahwa keamanan nasional di Asia sangat dipengaruhi tatanan politik liberal
Asia. Meskipun Asia telah mengalami kecenderungan demokratisasi, tetapi
otoritarianisme dalam berbagai bentuk yang besar maupun kecil tetap menjadi
fenomena tingkat regional. Negara besar di Asia sering masih menanamkan kebijakan
otoritarianisme yang lunak sebagai syarat bagi pertumbuhan ekonomi, contohnya di
22 Ibid,. lihat Pp, 81-8223 Ibid, Pp 82.
9
Indonesia dan Filiphina. Oleh karena itu, demokratisasi, telah memperoleh reputasi
buruk sebagai ancaman terhadap keamanan manusia. Hal ini, ditambah lagi dengan
banyaknya negara yang menamakan diri sebagai negara demokrasi tapi tidak
menjalankan prinsip demokrasi itu sendiri di dalam negrinya.
Dengan beberapa ciri keamanan nasional diatas, maka arti penting keamanan
nasional juga bergantung pada struktur dan persaingan kekuatan internasional. Pada masa
Perang dingin, kawasan Asia sangat kental dengan keterlibatan negara besar terkait
kepentingan geopolitik mereka. Ketergantungan kawasan Asia terhadap kekuatan
eksternal akhirnya juga terus berlanjut pada masa pasca perang dingin. Kemudian juga
pasca kebangkitan China, semakin menimbulkan antusiasme akan keamanan nasional
sebagai focus dan tujuan utama keseluruhan negara di kawasan Asia. Selain itu, Serangan
11 September di Amerika Serikat dan ancaman terorisme telah menciptakan iklim
ketakutan baru yang juga makin mendukung investasi yang lebih besar pada sektor
keamanan nasional.
Mengenai prioritas keamanan nasional ini, penjelasan lainnya juga diungkapkan
oleh Evans bahwa meskipun ada ungkapan tanggung jawab untuk melindungi, tetapi
panggilan untuk melihat isu keamanan melalui kacamata individu dan korban, masih sulit
diterapkan. Di Asia Tenggara, Suatu negara tidak dapat ikut campur terhadap masalah
negara lain, meskipun terjadi pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat di dalamnya. Ini
menyangkut norma di Asia Timur mengenai kedaulatan dan non intervensi.24 Selain itu
alasan ini disebabkan respon dari negara-negara asia timur melihat kesempatan yang di
bawa modernisasi dan globalisasi, mereka meliberalisasi ekonominya, membuka
lingkungan sosialnya, dan mempererat hubungan antar mereka, kemudian isu-isu
interaksi antara negara tetangga menjadi lebih bersifat publik dan lebih rumit di
bandingkan masa lalu. Secara keseluruhan, diskusi mengenai berbagai bentuk intervensi
untuk tujuan melindungi, menjadi lebih kompleks dan pragmatis. Dalam konteks Asia
Tenggara, keutamaan norma-norma kedaulatan dan non intervensi menghadapi tantangan
oleh kepentingan yang semakin mendalam di dalam hubungan yang semakin meningkat.25
Terlepas dari pesimisme tersebut diatas, setidaknya masih terdapat optimisme dan
relevansi terhadap pelaksanaan human security di Asia. Acharya dan Evans bersepakat
bahwa, krisis ekonomi yang diikuti oleh beberapa bentuk ancaman baru, seperti kabut
Indonesia, 9/11, pemboman teroris di Bali pada tahun 2001 dan wabah SARS turut
24 Paul M Evans, 2004. Op.Cit Pp.27225 Ibid. Pp.273-274
10
berkontribusi bagi penerapan human security di Asia. Menurut Acharya, hal ini telah
memberikan catatan kepada negara bahwa tantangan ancaman yang paling bahaya yang
akan datang dari luar ternyata juga dapat datang dari dalam, yaitu bagaimana keamanan
rezim bisa rusak akibat krisis akut ketidakamanan manusia.
Ditambahkan juga oleh Evans bahwa Krisis finansial tahun 1997 di Asia membuat
diskusi mengenai human security mulai bergeser, dari yang awalnya bersikap skeptis
menjadi lebih terbuka. Pendekatan yang lebih luas mulai diterima baik dan diperjuangkan
oleh beberapa pemimpin intelektual Asia, seperti Tadashi Yamamoto (Japan Center for
International Exchange), kelompok ISIS (Institute of Strategic and International Studies)
dari ASEAN, dan figur politik seperti Obuchi Keizo, Surin Pitsuwan, dan Kim Dae-jung.
Human security menyediakan alat pengakuan bahwa bahkan dua dekade pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan negara tidak menghilangkan kerentanan untuk sejumlah besar
orang Asia, dan setidaknya mengisyaratkan meningkatnya peran non state actor sebagai
(1) penyedia layanan alternatif ketika negara-negara tidak dapat menyediakan
kesejahteraan sosial dan melindungi masyarakat mereka sendiri, dan (2) peserta yang ikut
ambil bagian dalam proses kebijakan.26
Indonesia mencerminkan dampak krisis ekonomi terhadap keamanan regional,
negara, dan manusia. Dari sisi manusia, angka kemiskinan dan pengangguran meningkat.
Dari aspek ketahanan negara, pertumbuhan ekonomi menurun. Kondisi itu lantas menjadi
sinyal pemulihan ekonomi lebih awal bagi negara-negara Asia Tenggara lain. Krisis
mendorong munculnya perhatian pada ancaman keamanan nontradisional di luar militer.27
Tetapi, tragedi Bom Bali pada 12 Oktober 2002 telah meredupkan perhatian pada human
security karena serangan teroris itu meningkatkan kembali ancaman keamanan tradisional
sehingga membawa dimensi baru dalam agenda keamanan di kawasan ini. Semula, krisis
ekonomi diharapkan menjadi titik balik dalam mengubah pendekatan dari comprehensive
ke human security karena comprehensive security tidak mampu merespons tantangan
keamanan baru yang muncul. Namun, tampaknya hingga kini, perubahan tersebut tidak
kunjung terjadi karena negara-negara Asia Tenggara lebih memusatkan perhatian pada
pendekatan militer untuk menjamin keamanan negara dan regional yang terancam oleh
serangkaian aksi terorisme.28
26 Ibid. Pp.28927 Mely Caballero-Anthony, 2004. Revisioning Human Security in Southeast Asia, dalam Asian Perspective, 28 (3): Pp.173-17528 Ibid, Pp. 176-178
11
b. Pergeseran isu Comprehensive security dan Cooperative Security
Pada pergeseran isu dari national security menjadi konsepsi comprehensive security
hal yang perlu diperhatikan adalah adanya evolusi itu tidak terlepas dari peningkatan
peran civil society dalam keterlibatannya menjaga keamanan dan penurunan titik tekan
deterrence. Jika dibandingkan, national security memiliki tingkat deterrence paling tinggi
dengan tingkat keterlibatan civil society paling rendah dan human security mempunyai
tingkat keterlibatan civil society paling tinggi dengan tingkat deterrence paling rendah.
Berada di antara keduanya adalah comprehensive security dan cooperative security
dengan comprehensive security memiliki tingkat deterrence lebih tinggi dan tingkat
keterlibatan civil society lebih rendah daripada cooperative security.
Comprehenesive security sangat berbeda dengan human security. Seperti yang
disinggung sebelumnya bahwa Human Security berkaitan dengan pertanyaan whose
security? maka Comprehensive security menjawab pertanyaan which threats to state
security?,29 Elemen politik dalam comprehensive security fokus pada order dan stability,
sementara human security lebih kepada justice dan emancipation. Comprehensive
security lebih memerhatikan keamanan negara dan rezim daripada rakyat yang menjadi
pusat perhatian human security. Karena itu, agar mampu bersinergi dengan human
security, comprehensive security harus diperluas secara vertikal ke ‘who should protected
against such threats’ dengan menempatkan individu dan komunitas sebagai pusatnya.30
Di samping itu, cooperative security juga tidak sejalan dengan human security.
Apabila cooperative security menginginkan keamanan diciptakan secara multilateral yang
tidak hanya mengatasi ancaman keamanan tradisional militer, tetapi juga lingkungan dan
demografi yang dapat memperburuk hubungan antarnegara, sebaliknya human security
secara esensial tidak mengandung unsur multilateral. Cooperative security31 bersandar
pada teknik dan proses pencegahan, serta manajemen dan resolusi konflik.32
Hingga kini, negara-negara Asia Tenggara tetap mempertahankan doktrin
comprehensive security yang dibingkai dalam kerangka cooperative security. Di
Indonesia, comprehensive security tampak dalam sistem pertahanan keamanan rakyat
29 Amitav Acharya, 2001. Op.Cit. Pp.45530 Ibid, Pp.46031 Menurut kajian Council for Security Cooperation in the Asia Pacific tahun 1995, comprehensive security merupakan upaya pencapaian keamanan berkelanjutan dalam semua aspek (personal, politik, ekonomi, sosial, budaya, militer, dan lingkungan) di lingkungan domestik maupun eksternal melalui kerjasama. Melalui comprehensive security, keamanan perlu dijaga dalam kerangka mutual interdependence, cooperative and shared security, dan good citizenship. Oleh sebab itu, cooperative security sejatinya merupakan bagian dari comprehensive security32 Ibid. Pp.456
12
semesta (sishankamrata) dan doktrin ketahanan nasional.33 Sishankamrata diterapkan
untuk mewujudkan ketahanan nasional, yakni kondisi dinamis bangsa yang terdiri atas
ketangguhan dan keuletan dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional
dalam menghadapi segala bentuk ancaman, baik dari dalam maupun dari luar, langsung
maupun tidak langsung, yang membahayakan integritas, identitas, serta kelangsungan
hidup bangsa dan negara dalam mewujudkan tujuan perjuangan nasional.
Penyelenggaraan fungsi pertahanan Indonesia diarahkan untuk mewujudkan stabilitas
keamanan nasional yang kondusif bagi stabilitas regional dan global. Karena itu,
Indonesia berkepentingan menjaga stabilitas keamanan regional melalui komitmennya
mewujudkan Asia Tenggara sebagai kawasan yang aman, stabil, dan sejahtera
berdasarkan tiga pilar: ASEAN Security Community (ASC), ASEAN Economic
Community (AEC), dan ASEAN Sosiocultural Community (ASCC).34
Di Malaysia, comprehensive security ditujukan untuk mengamankan kekuasaan
rezim. Dalam sejarahnya sejak merdeka pada 1957, kebijakan keamanan Malaysia
diarahkan untuk melindungi rezim Barisan Nasional yang berkuasa daripada ancaman
keamanan yang sesungguhnya. Institusi dan instrumen negara dimanfaatkan untuk
memperkuat keamanan dan menjaga stabilitas rezim. Semua gangguan terhadap rezim
pasti ditumpas. Karena itu, Internal Security Act (ISA) penting diterapkan di negara ini
untuk menjamin keamanan domestik yang berpotensi menggoyang rezim. Tak jarang,
penerapan ISA justru mengabaikan keamanan bagi rakyat karena yang paling penting
adalah negara dalam kondisi aman.
Untuk keamanan eksternal, pendekatan keamanan Malaysia menitikberatkan pada
security for daripada security against. Atas dasar itu, Malaysia membangun kerangka
kerja untuk menyelesaikan konflik tanpa penggunaan kekuatan militer demi kebaikan
bersama. Untuk mencapainya, Malaysia menggunakan kerangka kerjasama multilateral
33 Sishankamrata dijalankan melalui pengerahan kekuatan pertahanan yang berintikan Tentara Nasional Indonesia (TNI) didukung oleh segenap kekuatan bangsa yang melibatkan seluruh rakyat dan sumber daya (Kementerian Pertahanan Republik Indonesia 2008, 48). Dalam Undang-Undang No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara pasal 1 ayat 2, disebutkan pula bahwa sishankamrata “...melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan dislenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.” 34 Indonesian White Paper 2008, Pp.6 dan 42, selain itu disebutkan pula, kata “keamanan nasional”, “keamanan negara”, dan “keamanan bangsa” dituliskan berulang-ulang, namun tidak ditemukan satupun kata “keamanan manusia”. Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional yang masih diperdebatkan di eksekutif juga hanya menempatkan keamanan manusia sebagai bagian dari keamanan nasional secara komprehensif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa human security belum menjadi prioritas utama Pemerintah Indonesia. Negara ini masih lebih memerhatikan keamanan nasional secara keseluruhan yang selaras dengan doktrin comprehensive security.
13
melalui ASC dan East Asian Community (EAC). Kerjasama regional tetap menjadi salah
satu prinsip utama pertahanan negara ini.
Di Singapura, comprehensive security tecermin dalam doktrin total defence yang
diterapkan sejak 1984. Meskipun situasi keamanan internasional dan regional telah
banyak berubah dibandingkan ketika masa total defence diputuskan, doktrin ini masih
menjadi pilihan strategis utama bagi para pengambil kebijakan negara ini dalam
menghadapi ancaman kontemporer. Total defence memuat lima aspek keamanan yang
terdiri dari: military defence, civil defence, economic defence, social defence, dan
psychological defence. Total defence akan dapat berjalan efektif hanya jika kelima aspek
itu kuat dan bekerja sama secara integratif dalam merespons setiap ancaman.
Mencermati ketiga doktrin keamanan negara-negara Asia Tenggara tersebut, amat
jelas bahwa aktor-aktor utama dalam dinamika politik dan keamanan Asia Tenggara lebih
memercayai comprehensive security daripada human security sebagai pendekatan
keamanan yang paling mampu menjaga stabilitas. Berbeda dengan comprehensive
security di Jepang yang tecermin dalam isu-isu ekonomi, di Asia Tenggara,
comprehensive security fokus tidak hanya pada ketidakamanan ekonomi, tetapi juga
keamanan politik yang berkaitan dengan stabilitas domestik dan eksistensi rezim.35
Konsekuensinya, posisi negara semakin kuat sebagai aktor utama yang mendefinisikan
dan menyediakan keamanan.36 Di lingkup regional, doktrin itu dibangun dalam kerangka
cooperative security melalui kerjasama-kerjasama keamanan yang terwujud dalam ASC.
Menurut Abad37 kerjasama regional semacam ini tidak sesuai dengan keamanan manusia
karena “...it challenges patterns of resource allocation that favour military security and
obsession with defending national frontiers. It becomes objectionable when it threatens
power structures that entrench the dominance of a few”38 Karena comprehensive security
lebih terfokus pada order dan stability, maka tidak mengherankan jika di Asia Tenggara,
human security yang menekankan justice dan emancipation kurang mendapatkan
perhatian. Oleh sebab itu, bagi negara-negara Asia Tenggara, keamanan negara dan rezim
dinilai lebih penting daripada keamanan rakyat. Hal itu diperparah oleh penerapan
cooperative security, sebuah doktrin kerjasama multilateral yang bukan merupakan unsur
utama human security.
35 Amitav Acharya, 2001. Op.Cit. Pp.45136 Mely Caballero-Anthony, 2004. Op.Cit. Pp.161 37 Abad Jr., M.C., 2000. The Challenge of Balancing State Security with Human Security, Indonesian Quarterly, 28. Hal.40638 Ibid, Hal. 407
14
Kesimpulan
Secara umum, baik dalam tulisan Amitav Acharya, Melly Caballero-anthony dan Paul
M.Evans sama-sama mengkritisi konsepsi Human Security yang berhadapan dengan konsep
tradisional yang tetap dipertahankan di kawasan Asia (baik timur maupun tenggara). Hal
yang paling sederhana untuk dijelaskan mengapa konsepsi Human Security mendapatkan
tantangan dalam implementasinya di Asia tenggara, dikarenakan kawasan ini lebih menyukai
konsep Comprehensive Security dibanding dengan Human Security yang justru mampu
memberikan keamanan lebih fundamental dibanding keamanan manusia secara spesifik.
Selain itu secara khusus dapat diperhatikan dalam Implementasi doktrin keamanan manusia
di Asia Tenggara mendapatkan tentangan serius dari negara-negara berpengaruh di kawasan
ini yang memiliki doktrin berbeda. Indonesia, Malaysia, dan Singapura sudah sejak lama
menerapkan pendekatan comprehensive security dalam bentuk sistem pertahanan keamanan
rakyat semesta (sishankamrata), Internal Security Act (ISA), dan total defence jauh sebelum
human security diperkenalkan oleh UNDP pada 1994. Bagi ketiga negara itu, tidak mudah
mengubah doktrin keamanan yang sudah mengakar kuat dan mentradisi dalam kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara. Apalagi, esensi pendekatan tersebut amat jauh berbeda
dengan esensi yang terkandung dalam human security. Perbedaan makin kentara ketika
pendekatan comprehensive security dipadukan dalam cooperative security untuk menjamin
keamanan kawasan. Negara-negara Asia Tenggara masih lebih memerhatikan keamanan
regional dan negara daripada keamanan rakyatnya. Dalam konteks itu, stabilitas rezim
merupakan tujuan utama dibandingkan yang lain karena adanya kepercayaan bahwa rezim
yang stabil bakal mampu menjaga stabilitas kawasan dan sebaliknya, instabilitas rezim akan
berpengaruh buruk pada keamanan kawasan. Karena itu, masalah sesungguhnya adalah
bagaimana menggeser pendekatan yang state-centric itu ke people-centric. Agar mampu
melakukannya, human security sepertinya membutuhkan perubahan konseptual dan politik
dalam hubungan dengan doktrin keamanan dan peran negara. Konsep human security tidak
bisa lagi merujuk pada tujuh elemen dasar yang disampaikan UNDP mengingat elemen-
elemen ini terlalu luas dan justru memancing perdebatan, baik di kalangan ahli keamanan
maupun di kalangan pengambil kebijakan.
Pengalaman Kanada, Norwegia, dan Jepang menunjukkan bahwa mereka tidak
sepenuhnya menggunakan tujuh elemen UNDP, tetapi menyiasatinya dengan penyesuaian
terhadap doktrin keamanan yang telah eksis sebelumnya. Di Asia Tenggara, penyesuaian
tersebut juga diperlukan agar tidak berbenturan dengan unsur-unsur comprehensive dan
15
cooperative security. Oleh sebab itu, tantangan terbesar human security di Asia Tenggara
adalah kemampuan implementasinya tanpa harus meninggalkan comprehensive dan
cooperative security. Untuk mencapainya, para pendukung human security harus mampu
meyakinkan bahwa pendekatan ini bukanlah proyek kampanye nilai-nilai Barat, tetapi murni
dimaksudkan untuk menjamin keamanan seluruh manusia. Jika hal ini tidak terwujud, impian
untuk mengimplementasikan pendekatan human security di Asia Tenggara bisa jadi hanya
impian kosong tak bermakna.
16