pengaruh media pertumbuhan pakan alami ...eprints.unram.ac.id/10395/1/jurnal (annisa peninta...
TRANSCRIPT
1
PENGARUH MEDIA PERTUMBUHAN PAKAN ALAMIYANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN
BENIH BELUT (Monopterus albus)
THE EFFECT OF DIFFERENT NATURAL FEED GROWTH MEDIA ON THE GROWTHOF EEL (Monopterus albus)
Annisa Peninta Kasih1*), Saptono Waspodo1), Muhammad Marzuki1).
1)Program Studi Budidaya Perairan, Universitas Mataram.
Jl. Pendidikan No. 37 Mataram, NTB.
*)Korespondensi:
2
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui media pertumbuhan pakan
alami yang paling tepat bagi ketersediaan makanan dalam meningkatkan pertumbuhan belut,
penelitian dilaksanakan di Kantor Dinas Perikanan Kota Mataram dari bulan Januari –
Februari 2018. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu : (A) dengan media lumpur sawah
(100%) + air, (B) media lumpur sawah (50%) + air, jerami (15%), pelepah pisang (15%) serta
tambahan ampas tahu (20%), (C) media lumpur sawah (50%) + air, jerami (15%), pelepah
pisang (15%) serta tambahan baglog jamur (20%), (D) media lumpur sawah (50%) + air,
jerami (10%), pelepah pisang (10%) serta tambahan ampas tahu (15%) dan baglog jamur
(15%). Data perhitungan dianalisis dengan menggunakan ANOVA pada taraf 5% dan
dilakukan uji kanjut Tukey pada taraf 5% jika hasil menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Data parameter kualitas air dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan media yang berbeda memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap pertumbuhan belut. Perlakuan dengan nilai pertumbuhan tertinggi yaitu pada
perlakuan D dengan penambahan media jerami, pelepah pisang, baglog jamur dan ampas
tahu sebesar 21.27 gr. Perlakuan dengan pertumbuhan terendah yaitu pada perlakuan A
dengan media lumpur sawah dan air yaitu sebesar 14,97 gr.
Kata kunci : Belut, media yang berbeda, pakan alami, pertumbuhan,
3
Abstract
This study purpose to determine the most appropriate natural feed growth media for food
availability in increasing eel growth. Research was carried out at the Office of Fisheries in
Mataram City from January to February 2018. This study used an experimental method with
Completely Randomized Design (RAL) with 4 treatment and 3 replications, namely: (A) with
rice fields mud (100%) + water, (B) with rice fields mud (50%) + water, rice straw (15%),
banana midrib (15%) and tofu dregs (20%), (C) with rice fields mud (50%) + water, rice
straw (15%), banana midrib (15%) and baglog mushrooms (20%), (D) with rice fields mud
(50%) + water, rice straw (10%), banana midrib (10%) tofu dregs (15%) and mushroom
baglog (15%). Calculation data were analyzed using ANOVA at 5% level and Tukey's
follow-up test was carried out at the 5% level if the results showed significant differences.
Water quality parameter data were analyzed qualitatively qualitative. The results showed that
the use of different media had a significant effect on eel growth. The treatment with the
highest growth value is in treatment D with the addition of straw media, banana midrib,
baglog mushroom and tofu pulp by 21.27 gr. The treatment with the lowest growth is in
treatment A with mud rice and water media that is equal to 14.97 gr.
Keyword : Eel, different media, natural feed, growth
4
Pendahuluan
Belut merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia denganpermintaan pasar
yang cukup tinggi, baik ekspor maupun domestik. Pengembangan budidaya belut sawah
secara intensif di Indonesia belum banyak dilakukan, padahal permintaan belut sawah terus
meningkat setiap tahun. Pada tahun 2007 volume ekspor belut sawah mencapai 2.189 ton
sedangkan pada tahun 2008 meningkat menjadi 2.676 ton dan pada tahun 2009 menjadi 4.744
ton (Direktorat Jendral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, 2010).
Permintaan belut yang terus meningkat tidak sebanding dengan hasil produksi
pembudidaya belut. Pada budidaya belut sering terjadi masalah dimana hasil produksi yang
tidak sesuai dengan lamanya waktu pemeliharaan. Salah satu masalah yang seringkali terjadi
pada proses budi daya belut adalah pada media pemeliharaan yang digunakan serta jenis
pakan yang diberikan kepada belut. Seringkali penggunaan media pemeliharaan yang kurang
tepat dapat menghambat proses pertumbuhan yang pada akhirnya menurunkan hasil produksi.
Proses pemeliharaan / budidaya belut harus memperhatikan kebiasaaan hidup belut
dimana media pemeliharaan atau tempat tinggal belut harus disesuaikan dengan habitat
aslinya. Habitat atau tempat hidup belut adalah di air tawar, seperti sungai, danau, rawa –
rawa dan sawah, serta menyenangi tempat yang dangkal. Belut menyukai perairan yang
banyak mengandung lumpur seperti sawah, rawa – rawa, kolam ikan dan pinggiran danau.
Belut menyukai perairan tersebut, karena belut merendam atau mengubur diri dalam lumpur.
Belut membuat lubang persembunyian di dalam lumpur.
Media pemeliharaan sangat penting pada proses budidaya, hal itu disebabkan budidaya
pada prinsipnya memindahkan kebiasaan hidup belut di alam pada media yang telah di
rekayasa. Pada lingkungan alami, belut sawah hidup di dalam lumpur dan membuatsebuah
lubang pada pematang sawah atau pinggir sungai (Sunarma dkk., 2009). Pemeliharaan belut
dengan menggunakan lumpur dan beberapa bahan organik lainnya dapat menjadi media
budidaya yang hampir mirip dengan habitat aslinya, selain itu pemeliharaan dengan media
lumpur dan bahan – bahan organik lainnya dapat menumbuhkan pakan alami yang
dibutuhkan belut dalam proses pertumbuhannya.
Penyediaan pakan alami dalam wadah/media budiaya belut mempermudah pembudidaya
dalam memberikan pakan karena pakan alami yang dibutuhkan belut sudah tersedia pada
media pemeliharaannya. Pemeliharaan belut pada beberapa jenis media yang berbeda tanpa
menghilangkan habitat asli dari belut diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk
pembudidaya melakukan inovasi agar pertumbuhan dan produksi belut meningkat serta dapat
5
memenuhi permintaan pasar terhadap belut itu sendiri. Penumbuhan pakan alami bisa di
dapat dari beberapa jenis bahan atau limbah yang sudah tidak terpakai seperti ampas tahu dan
baglog jamur. Limbah cair atau bahan tidak terpakai dapat mencemari lingkungan sehingga
sangat tepat apabila bisa digunakan untuk membuat media budidaya belut, selain menjaga
lingkungan limbah tersebut bisa bermanfaat untuk proses budidaya / pemeliharaan belut.
Limbah yang bisa digunakan seperti baglog jamur dan ampas tahu dimana baglog jamur
atau media bekas budidaya jamur cukup baik digunakan sebagai media budidaya belut karena
merupakan bahan organik yang subur (Kordi, 2011). Ampas tahu sangat baik jika digunakan
sebagai media budidaya belut karena limbah tahu akan merangsang munculnya manggot
(belatung) yaitu pakan alami yang berprotein tinggi (Warisno, 2010). Bahan – bahan tersebut
bisa di buat menjadi beberapa media pertumbuhan pakan alami yang berbeda dengan tujuan
untuk mendapatkan beberapa jenis pakan alami pada setiap media yang dibuat sehingga dapat
memenuhi kebutuhan belut untuk proses pertumbuhan.
Media pertumbuhan pakan alami disesuaikan dengan habitat asli belut yaitu lumpur
dengan ditambahkan beberapa bahan organik yang bisa memicu tumbuhnya pakan alami
seperti ampas tahu dan baglog jamur, media pertumbuhan pakan alami tersebut sekaligus
menjadi media pemeliharaan belut. Media pemeliharaan tersebut akan menyediakan pakan
alami sebagai makanan belut sehingga lebih memudahkan dalam memberikan pakan selain
itu kebutuhan belut akan pakan alami bisa terpenuhi dan tetap tersedia. Pakan alami harus
tetap tersedia di dalam wadah pemeliharaan karena selain untuk meningkatkan pertumbuhan
belut juga untuk menghindari sifat kanibalisme atau saling memangsa pada belut itu sendiri,
sifat kanibalisme belut muncul apabila jumlah makanan pada wadah pemeliharaan sangat
terbatas. Oleh karena itu sangat dibutuhkan untuk membuat media pemeliharaan belut
sekaligus sebagai tempat tumbuh pakan alami dari beberapa bahan/media yang berbeda
dengan tujuan agar pakan alami pada wadah pemeliharaan tersedia secara terus menerus dan
mencukupi kebutuhan belut.
Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang “Pengaruh media
pertumbuhan pakan alami yang berbeda terhadap pertumbuhan benih belut (Monopterus
albus)” yaitu untuk mengetahui media perumbuhan pakan alami yang paling tepat bagi
ketersediaan makanan dalam menunjang pertumbuhan belut.
Metode Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 45 hari kerja yakni pada bulan Januari –
Februari 2018bertempatdi kantor Dinas Perikanan Kota Mataram.
6
Percobaan ini menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Hewan uji berupa belut sebanyak 120 ekor dengan ukuran panjang 20-25 cm yang
menggunakan4 perlakuan dan 3 kali ulangan, dimana setiap perlakuan ditempatkan secara
acak menggunakan sistem lot (undi). Perlakuan tersebut meliputi :
1. Perlakuan A yaitu kontrol dengan media lumpur sawah (100%) + air
2. Perlakuan B dengan media lumpur sawah (50%) + air, jerami (15%), pelepah pisang
(15%) serta tambahan ampas tahu (20%).
3. Perlakuan C dengan media lumpur sawah (50%) + air, jerami (15%), pelepah pisang
(15%) serta tambahan baglog jamur (20%).
4. Perlakuan D dengan media lumpur sawah (50%) +air, jerami (10%), pelepah pisang
(10%)serta tambahan ampas tahu (15%) dan baglog jamur (15%).
Analisis Data
Parameter penelitian yang diuji adalah Pertumbuhan Bobot Mutlak = − ; W :
Pertumbuhan bobot mutlak (g); Wt: Berat rata – rata pada akhir penelitian (g); Wo: Berat rata
– rata pada awal penelitian (g). Laju Pertumbuhan Bobot Harian (Bobot Spesifik) =; SGR:Laju pertumbuhan harian hewan uji (gr per hari); Wt:Bobot hewan uji pada
akhir penelitian (g); Wo:Bobot hewan uji pada awal penelitian (g); t:Lama waktu
pemeliharaan (hari). Pertumbuhan Panjang Mutlak = − ; Pm : Pertumbuhan
panjang mutlak (cm); Lt: Panjang rata – rata pada akhir penelitian (cm); Lo: Panjang rata –
rata pada awal penelitian (cm). Laju Pertumbuhan Panjang Harian (Panjang Spesifik)= ; SGR : Laju pertumbuhan panjang harian hewan uji (cm per
hari); Lt : Panjang hewan uji pada akhir penelitian (cm); Lo : Panjang hewan uji pada awal
penelitian (cm); t : Lama waktu pemeliharaan (hari). Tingkat Kelangsungan Hidup (SR)(%) = 100; SR : Tingkat kelangsungan hidup ( Survival Rate); Nt:Jumlah belut
yang hidup pada akhir percobaan; No:Jumlah Belut yang hidup pada awal percobaan serta
kualitas air.
Hasil
Laju Pertumbuhan Berat
Pertumbuhan berat mutlak pada setiap perlakuan menunjukkan nilai yang berbeda –
beda serta peningkatan yang signifikan, pada perlakuan A yaitu dengan lumpur sawah dan air
menunjukkan nilai pertumbuhan berat mutlak sebesar 14,974 gram dengan laju pertumbuhan
berat harian sebesar 0.334 gr/hari. Perlakuan B yaitu dengan lumpur sawah, air, jerami,
7
pelepah pisang serta tambahan ampas tahu didapat nilai pertumbuhan berat mutlak sebesar
20,119 gram serta laju pertumbuhan harian sebesar 0,447 gr/hari. Perlakuan C yaitu dengan
lumpur sawah, air, jerami, pelepah pisang dan baglog jamur didapat nilai sebesar 21, 183
gram serta laju pertumbuhan harian didapat nilai sebesar 0,471 gr/hari. Perlakuan D dengan
lumpur sawah, air, jerami, pelepah pisang, ampas tahu dan baglog jamur didapat nilai
pertumbuhan sebesar 21,266 gram serta laju pertumbuhan harian sebesar 0.473 gr/hari.
Laju Pertumbuhan Panjang
Pertumbuhan panjang mutlak pada setiap perlakuan menunjukkan nilai yang berbeda
– beda dengan peningkatan di setiap minggunya, pada perlakuan A didapat nilai pertumbuhan
panjang mutlak sebesar 5,458 cm, dengan laju pertumbuhan harian sebesar 0,121
cm/hari.Perlakuan B didapat nilai pertumbuhan mutlak sebesar 7,033 cm serta nilai
pertumbuhan pajang harian sebesar 0,156 cm/hari.Perlakuan C didapat nilai pertumbuhan
Panjang mutlak sebesar 7,297 cm serta pertumbuhan Panjang harian sebesar 0,162
cm/hari.Perlakuan D didapat nilai pertumbuhan panjang mutlak sebesar 8,345 cm serta
pertumbuhan panjang harian sebesar 0,185 cm/hari.
Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate)
Tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate) selama 45 hari pemeliharaan yaitu di
dapatkan hasil yang berbeda – beda pada setiap perlakuan, perlakuan A mendapatkan hasil
sebesar 66,7%; perlakuan B didapatkan nilai sebesar 86,7%; perlakuan C mendapatkan hasil
seperti perlakuan B yaitu sebesasr 90% serta perlakuan D sebanyak 93,3%.
Pada grafik tingkat kelangsungan hidup dapat dilihat tingkat kelangsungan hidup
tertinggi yaitu pada perlakuan D sedangkan tingkat kelangsungan hidup paling rendah yaitu
pada perlakuan A atau kontrol.
8
Kualitas Air
Kisaran nilai pengukuran kualitas air pada setiap perlakuan rata – rata menunjukkan
hasil pengkuran yang hampir sama. Pengukuran suhu didapat nilai rata – rata yaitu perlakuan
A sebesar 27,3oC; Perlakuan B sebesar 27,3oC; Perlakuan C sebesar 26,7oC; serta perlakuan
D sebesar 27,7oC. Pengukuran pH selama 45 hari pemeliharaan di dapat yaitu perlakuan A
sebesar 6,2 ppm; perlakuan B sebesar 6,2 ppm; perlakuan C sebesar 6,3 ppm serta perlakuan
D sebesar 6,2 ppm. Pengukuran DO ada setiap perlakuan didapat hasi yaitu, perlakuan A di
dapat hasil pengukuran sebesar 4,5 mg/l; perlakuan B sebesar 4,3 mg/l; perlakuan C sebesar
4,7 mg/l; serta perlakuan D sebesar 4,5mg/l. Pengukuran kualitas air yang terakhir yaitu
pengukuran ammonia dimana pada setiap perlakuan di dapat hasil yyang berbeda – beda,
yaitu; perlakuan A di dapat hasil pengukuransebesar 0,004mg/l; perlakuan B sebesar 0,002
mg/l; perlakuan C sebesar 0,002 mg/l serta perlakuan D sebesar 0,002mg/l.
PembahasanPertumbuhan
Hasil pengamatan laju pertumbuhan panjang dan berat yang diberi perlakuan A
(kontrol); B ( Jerami, Pelapah Pisang dan Ampas Tahu); C ( Jerami, Pelepah pisang, baglog
jamur) dan D ( Jerami, Pelapah pisang, ampas tahu dan baglog jamur) menunjukkan hasil
yang signifikan dan berbeda nyata dengan kontrol. Hasil pengamatan pertumbuhan berat
mutlak tertinggi didapat pada perlakuan D dengan nilai rata – rata 21,27 g serta pertumbuhan
harian dengan rata – rata 0,473 g/hari. Begitupun dengan hasil pengamatan pada pertumbuhan
panjang dimana nilai tertinggi didpaat pada perlakuan D dengan nilai rata – rata 8,34 cm dan
panjang harian dengan nilai 0,185 cm/hari. Tingginya nilai pertumbuhan pada perlakuan D
diduga karena media pemeliharaan yang digunakan, dimana pada perlakuan D menggunakan
media pemeliharaan yaitu air dan lumpur serta penanmbahan beberapa media lain berupa
jermai, pelepah pisang, ampas tahu dan baglog jamur.
Hasil pengamatan umtuk perlakuan B dan C tidak berbeda nyata karena menggunakan
media yang sama dengan perlakuan D akan tetapi perlakuan B hanya menggunakan
penambahan ampas tahu dan perlakuan C menggunakan penambahan baglog jamur, ketiganya
mempunyai hasil yang hampir sama akan tetapi tetap perlakuan D menunjukkan hasil
pertumbuhan yang paling tinggi. Hasil pengukuran terendah didapat pada perlakuan A atau
kontrol yang dimana mempunyai rata – rata pertumbuhan berat mutlak sebesar 14,97 g serta
berat harian dengan rata – rata 0,334 g/hari. Pertumbuhan panjang terendah juga didapat pada
9
perlakuan A dengan nilai pertumbuhan panjang mutlak sebesar 5,46 cm dan panjang harian
sebesar 0,121 cm/hari.
Rendahnya pertumbuhan pada perlakuan A diduga karena ketersediaan pakan alamai
yang kurang pada media pemeliharaan, kurangnya ketersediaan pakan alami diduga karena
tidak adanya penambahan media berupa jerami, pelepah pisang, ampas tahu dan baglog jamur
pada media pemeliharaan sehingga tingkat kesuburan media pemeliharaan berkurang seperti
yang dikemukakan oleh Kordi (2011) jerami adalah bahan organik yang membantu
pelumpuran sehingga lumpur sebagai media budidaya belut akan lebih subur, gembur dan
banyak mengandung nutrisi. Media yang mengandung banyak nutrisi akan menumbuhkan
banyak pakan alami pada media pemeliharaan, karna kurangnya ketersediaan pakan alami
perlakuan A atau kontrol hanya mengandalkan pakan yang diberikan berupa cacing tanah saja
sehingga nutrisi yang diserap oleh belut kurang serta tidak dapat menunjang laju pertumbuhan
belut dengan baik. Berdasarkan penelitian dari Baskoro dkk (2011), air rendaman jerami
dengan konsentrasi yang semakin pekat dapat meningkatkan jumlah nyamuk yang hinggap
dikarenakan bau khas yang membuat nyamuk tertarik dan akhirnya berkembang biak disana..
Kurangnyapakan alami menjadi salah satu faktor utama kurangnya pertumbuhan pada
belut yang dimana benih belut membutuhkan makanan yang berukuran kecil seperti pakan
alami agar kebutuhannya makannya terpenuhi, cacing yang diberikan memang sudah dipotong
– potong akan tetapi benih belut tetap saja kesusahan ketika akan memangsanya karena harus
mencabik – cabiknya terlebih dahulu sehingga tenaga yang dibutuhkan banyak dan nutrisi
yang digunakan untuk pertumbuhan berkurang. Dengan media pemeliharaan seadanya berupa
air dan lumpur sawah akan membuat pakan alami lebih sulit untuk tumbuh dan berkembang
pada media pemeliharaan tersebut, karena kurangnya media lain yang memicu pertumbuhan
pakan alami seperti jerami, pelepah pisang, ampas tahu dan baglog jamur.
Tingginya laju pertumbuhan berat pada perlakuan D diduga karena jumlah protein
yang terkandung di dalam pakan alami sangat baik dan mencukupi kebutuhan nurisi belut
yang tidak hanya dimanfaatkan untuk menghasilkan energi namun juga dapat membentuk
jaringan baru untuk pertumbuhan.Protein yang telah dikonsumsi daripakan selanjutnya akan
tercerna danterhidrolisis menjadi senyawa yang lebihsederhana yang kemudian akan
diabsorbsioleh jaringan intestinal dan didistribusikanoleh darah ke jaringan maupun organ.
Semakin banyak protein yang terbentuk, maka semakin besar nilai perubahan bobotbelut
dengan nilai pertumbuhan(NationalResearch Countil, 1993).Protein sangatpenting bagi
10
kehidupan belut karena proteinmerupakan protoplasma aktif dalam semua sel hidup.Oleh
karena itu protein merupakan bagian terbesar dari daging, organ tubuh, tulang, dan jaringan–
jaringanlainnya (Murtidjo, 2001).
Perlakuan B dan C mempunyai pertumbuhan tidak berbeda nyata dengan perlakuan D
hal ini diduga kerna media yang digunakan hampir sama akan tetapi tetap perlakuan D
mempunyai pertumbuhan paling tinggi karena menggunakan dua penambahan media yaitu
baglog jamur dan ampas tahu.
Media yang digunakan yaitu baglog jamur, dimana baglog jamur merupakan media
bekas budidaya jamur tiram, baglog jamur mengandung beberapa nutrisi yang dapat membuat
media budiaya belut menjadi lebih subur. Baglog jamur juga merupakan limbah yang susah
untuk ditangani. Baglog jamur mengandung serbuk kayudedak dan biji – bijian. Menurut
Kordi (2011) baglog jamur biasanya berupa serbuk gergaji, dedak/bekatul dan biji – bijian
yang merupakan bahan – bahan yang dapat mempercepat proses fermentasi pada media
sehingga akan mempercepat penumbuhan pakan alami selain mempercepat proses fermentasi
media, baglog jamur juga dapat menyuburkan media seperti yang dikemukakan oleh
Yuliastuti dan Adhi, (2003) yaitu limbah baglog jamur dapat meningkatkan unsur organik
dalam tanah yang dapat memperbaiki struktur dan kesuburan tanah karena mengandung
Nitrogen (N), Fosfor (P) dan Kalium (K). Sehingga pada media pemeliharaan yang
menggunakan baglog jamur, pertumbuhan pakan alaminya relatif banyak dan cepat karena
media pemeliharaannya subur sehingga belut yang dipelihara pada media tersebut mengalami
pertumbuhan yang tinggi dan cepat karena adanya ketersediaan pakan alami yang banyak.
Media selanjutnya yang diduga dapat menunjang pertumbuhan belut yaitu ampas tahu,
dimana ampas tahu merupakan limbah dari sisa olahan tahu yang seringkali jarang
diperhatikan limbahnya sehingga akan menjadi pencemaran lingkungan, ampas tahu itu
sendiri mengandung nutrisi yang tinggi seperti yang dikemukakan oleh Yogo, (2012) yaitu
ampas tahu mengandung senyawa nitrogen (N), fosfat (P) dan kalium (K) yakni unsur hara
yang dapat menyuburkan, oleh karena itu media pemeliharaan belut menjadi subur dan
mengandung banyak pakan alami di dalamnya seperti jentik nyamuk dan kutu air. Media
pemeliharaan yang diberikan perlakuan penambahan ampas tahu dapat menumbuhkan pakan
alami yang banyak seperti yang dikemukakan oleh Warisno, (2010) yaitu ampas tahu dapat
merangsang tumbuhnya pakan alami yang berprotein tinggi. Dengan media yang mampu
menyediakan pakan alami yang cukup banyak dan berprotein tinggi sehingga pertumbuhan
11
belut yang dipelihara pada media tersebutmempunyai pertumbuhan yang tinggi dibandingkan
dengan wadah pemeliharaan yang tidak ditambahkan media limbah ampas tahu.
Baglog jamur dan ampas tahu yang digunakan untuk media pemeliharaan belut dapat
menumbuhkan kutu air dan jentik nyamuk yang dimana kutu air dan jentik nyamuk sangat
baik untuk dijadikan pakan alami pada belut karena mengandung nutrisi yang dapat memenuhi
kebutuhan belut untuk melakukan pertumbuhan. Kutu air dan jentik nyamuk mengandung
protein yang dibutuhkan belut, selain itu ukurannya yang kecil menjadikan belut sangat mudah
memakannya serta dengan adanya penambahan media baglog jamur dan ampas tahu akan
lebih mempermudah penumbuhan pakan alami tersebut di dalam wadah budidaya sehingga
ketersediaannya yang banyak di dalam media pemeliharaan belut itu sendiri akan sangat
memudahkan dalam memberikan pakan. Ketersediaan pakan yang selalu ada di dalam wadah
pemeliharaan akan mengurangi tingkat kanibalisme pada belut itu sendiri. Seperti yang
dikemukakan oleh Kordi, (2010) sifat kanibal pada belut akan muncul apabila jumlah
makanan sangat terbatas.
Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate)
Kelangsungan hidup belut tertinggi selama 45 hari pemeliharaan yaitu terdapat pada
perlakuan D dengan tingkat kelangsungan hidup sebanyak 93,3% sedangkan yang terendah
terdapat pada perlakuan A atau kontrol dengan tingkat kelangsungan hidup sebesar 66,7%.
Tingkat kelangsungan hidup yang tinggi pada perlakuan D diduga karena ketersediaan pakan
yang tarus menerus ada sehingga tingkat kenibalisme pada belut berkurang, sedangkan pada
perlakuan A tingkat ketersediaan pakan hanya mengandalkan pakan tambahan berupa cacing
tanah saja, apabila pakan sudah habis dimakan dan belut merasa lapar maka belut akan saling
memangsa satu sama lain sehingga tingkat kelangsungan hidup belut pada media yang
kekurangan makanan akan terancam atau mengalami tingkat kelangsungan hidup yang
rendah.Selain kurangnya ketersediaan pakan alami, kesuburan media pemeliharaan juga
menjadi salah satu faktor penting tingkat kelangsungan hidup pada benih belut. Perlakuan A
atau kontrol tidak menggunakan penambahan media berupa jerami dan pelepah pisang pada
wadah pemeliharaannyasehingga mediamenjadi kurang subur dan kenyamanan belut di dalam
wadah berkurang oleh karena itu belut menjadi stres dan tingkat kelangsungan hidup menurun.
Tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan B dan C menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata dengan perlakuan D dan berbeda nyata dengan perlakuan A, hal ini diduga
karena media yang digunakan pada perlakuan B dan C hampir sama akan tetapi perlakuan D
12
tetap mempunyai tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi karena menggunakan media
yang lebih lengkap dibandingkan dengan perlakuan B dan C.
Media pemeliharaan yang digunakan menjadi salah satu daya dukung sehingga tingkat
kelangsungan hidup belut tinggi, seperti jerami dan pelepah pisang dimana kedua bahan ini
dapat meningkatkan kesuburan media sehingga media pemeliharaan belut mengandung nutrisi
yang tinggi. Menurut Kordi (2011) jerami adalah bahan organik yang membantu pelumpuran
sehingga lumpur sebagai media budidaya belut akan lebih subur, gembur dan banyak
mengandung nutrisi. Selain adanya media pemeliharaan berupa pelepah pisang dan jerami
yang dapat membuat media pemeliharaan menjadi subur dan baik sehingga tingkat
kelangsungan hidup belut meningkat, adanya baglog jamur dan ampas tahu juga diduga dapat
membuat media pemeliharaan cepat ditumbuhi pakan alami karena kedua media tersebut
merupakan media yang sangat baik digunakan dalam penumbuhan pakan alami. Dengan
ketersediaan pakan alami yang tinggi maka akan mempengaruhi pertumbuhan dari belut yang
dipelihara pada media tersebut.
Dengan adanya kedua jenis bahan yang sudah membuat media pemeliharaan subur
kemudian ditambahkanlagi dengan ampas tahu dan baglog jamur yang dapat mengakselerasi
tumbuh kembangnya pakan alami pada media pemeliharaan berupa kutu air dan jentik
nyamuk, oleh karena itu ketersediaan pakan alami yang banyak sehingga benih belut tidak
akan kekurangan makanan dan kelangsungan hidup akan tinggi.
Kualitas Air
Kualitas air pada setiap media pemeliharaan menunjukkan hasil yang tidak berbeda
nyata, dimana semua perlakuan menunjukkan hasil yang sama. Kisaran suhu pada setiap
perlakuan yaitu berkisar antara 26-28ºC, pH dengan kisaran nilai 6-7 ppm, DO dengan kisaran
3-6 mg//l serta amonia dengan kisaran 0,001-0,0005mg/l. kisaran nilai kualitas air pada
penelitan menunjukkan hasil yang baik untuk kehidupan belut, sseperti yang dikemukaan oleh
kordi, (2011) yaitu belut tumbuh dan hidup dengan baik pada kisaran suhu 25-32 ºC serta pH
6-7 ppm. Kandungan oksigen terlarut pada belut juga menunjukkan kisaran yang baik untuk
kehidupan belut, menurut pendapat Kordi (2011) yaitu kandungan oksigen 3-5 mg/l didalam
air sudah sangat ideal bagi pertumbuhan dan kehidupan belut.
Kualitas air pada setiap media pemeliharaan tergolong baik diduga karena tetap
dilakukannya pergantian air pada media pemeliharaan sehinggaudara yang ada pada media
pemelihaaraan tetap terjaga dengan adanya pergantian air yang rutin, selain karena pergantian
13
air yang rutin setiap hari wadah pemeliharaan juga tetap dijaga kebersihannya dengan tetap
mengontrol apakah ada belut yang mati atau tidak, apabila ada maka cepat diangkat dari
wadah karena itu akan mempengaruhi kualitas air pada wadah pemeliharaan.
Pengukuran parameter kualitas air yang paling baik yaitu didapat pada perlakuan D
dimana kualitas air pada perlakuan D hampir sama dengan kualitas air yang
direkomendasikan. Kualitas air yang optimal dapat membuat media pemeliharaan yang baik
oleh karena itu perlakuan D rata – rata mendapat nilai tertinggi serta memiliki tingkat
kelangsungan hidup yang paling tinggi hal ini diduga karena kualitas air pada media
pemeliharaan yang optimal sehingga dapat menunjang tingkat pertumbuhan dan kelangsungan
hidup belut.
Kualitas air yang baik juga diduga karena kondisi media pemeliharaan yang baik,
dimana dari beberapa media pemeliharaan ada yang dapat mengontrol kualitas air pada media
tersebut seperti pelepah pisang sangat baik digunakan sebagai media budiaya belut karena
dapat menambah tingkat kesuburan pada media, menurut Kordi (2011) Pelepah pisang yang
basah mengandung kalsium, kalium dan magnesium yang dpat berfungsi sebagai penyangga
agar suasana media tidak terlalu asam, selain itu pelepah pisang juga menyerap gas atau zat
beracun yang timbul dari proses fermentasi. Berkurangnya zat racun pada media peemelihaarn
menjadi salah satu faktor tingginya tingkat kelangsungan hidup belut yang dimana media yang
digunakan selain dapat memberikan pakan alami juga dapat mengontrol kualitas air pada
wadah pemeliharaan belut itu sendiri. Dengan adanya kualitas air yang baik maka tingkat
kelangsungan hidup dan pertumbuhan belut serta pakan alami juga baik.
Kualitas air menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan pakan
alami yaitu jentik nyamuk, dimana larva nyamuk akan bisa menetas apabila suhu tinggi seperti
yang dikemukaan oleh (Yahya, 2017) yaitu telur yang sudah masak tidak akan menetas bila
suhu dalam wadah berkisar 10°C-15°C, tetapi akan menetas apabila suhu dinaikkan hngga
25ºC. Suhu menjadi salah satu factor yang cukup mempengaruhi partumbuhan jentik nyamuk
seperti yang dikemukaan oleh Jumar (2000) dalam Santi (2011) bahwa suhu yang terlalu
tinggi atau terlalu rendah dapat mempengaruhi kelangsungan hidup nyamuk, dimana suhu
minimum adalah 15ºC dan suhu maksimum adalah 45ºC jadi suhu yang berada di lokasi
penelitian merupakan faktor pendukung pertumbuhan larva nyamuk atau jentik nyamuk.
Menurut Susanna et al. (2003) dalam Oktaviani dkk (2009), mengemukakan bahwa kisaran
temperatur antara 27ºC sampai 29ºC merupakan suhu yang optimal untuk perkembangan
14
jentik nyamuk.Apabila pH tidak sesuai dengan kebutuhan perkembangan nyamuk, maka akan
menghambat pertumbuhan nyamuk. Menurut Kordi dan Tancung (2007) bahwa kualitas air
yang disenangi jentik nyamuk untuk perkembangan telurnya yaitu pH kisaran 5,8 mg/l - 8,6
mg/l serta DO dengan kisaran >4 mg/l.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang telah dipaparkan maka dapat
diperoleh kesimpulan yaitu penggunaan media yang berbeda pada belut dapat memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan pakan alami serta terhadap pertumbuhan
belut. Perlakuan dengan pertumbuhan tertinggi yakni pada perlakuan D (21,27 gram) dengan
perlakuan media yaitu jerami, pelepah pisang, baglog jamur dan ampas tahu, walaupun
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan B dan C.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Ir. Saptono Waspodo, M.Si selaku
Dosen Pembimbing Utama, atas saran, bimbingan, nasihat serta dukungannya; Bapak Dr.
Muhammad Marzuki, S.Pi., M.Si selaku Dosen Pembimbing kedua, atas saran, bimbingan,
nasihat serta dukungannya; Ibu Dr. Siti Hilyana selaku Dosen Penguji, atas saran, bimbingan,
nasihat serta dukungannya; Bapak Dr. Ir. M. Junaidi, M.Si selaku Ketua Jurusan Perikanan
dan Ilmu Kalautan Universitas Mataram; Dinas Perikanan yang turut membantu dalam proses
penelitian dan penyusunan Skripsi; Kedua orang tua serta kedua adikku tercinta iwik dan
uyayang telah memberikan dukungan yang tidak terhingga; Teman-teman yang membantu
selama proses persiapan penelitian hingga penyusunan laporan.
15
Daftar Pustaka
Afrianto, E., dan E. Liviawaty. 2005. Pakan Ikan. Kanisius : Yogyakarta. Hal 9-77.
Alit IG. 2009. Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Pertambahan Berat dan Panjang BadanBelut Sawah (Monopterus albus). Jurnal Biologi XIII(1) : 25-28.
Astiana, I. 2012. Perubahan Komposisi Asam Amino dan Mineral Belut Sawah (Monopterusalbus) Akibat Proses Penggorengan. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.IPB. Bogor. Hal 3.
Boyd, C. E. 1979. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Auburn University. CraftmasterPrinters, Inc. Opilika Alabama.
Burhanuddin, A.L., 2008. Ikhtiologi : Ikan dan Aspek Kehidupannya. Makassar : YayasanCitra Emulsi.
Buwono, I. D. 2000. Kebutuhan Asam Amino Essensial dalam Ransum Pakan Ikan. Kanisius: Yogyakarta. Hal 24-39.
Chazali S dan Pratiwi PS, 2009.Usaha Jamur Tiram Skala Rumah Tangga. Penebar Swadaya.Jakarta
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. 2010. Warta Pasar Ikan :Belut dan Sidat Permintaanya Semakin Meningkat. EdisiApril Vol. 80. Jakarta:Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal 28-29.Hickling, C. F. 1971. Fish Culture.Faber and Faber 3 Queen Square. London.
Gusrina, 2008. Budidaya ikan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.Departemen Pendidikan Nasional. Hal 167-249.
Halver, J. E., J. A. Coats, C. W. De Yoe, H. K. Dupree, G. Post and R. O. Sinihuber. 1973.Nutrient Requirements of Trout, Salmon and Catfish.
Hill, J. E. and C. A. Watson. 2007. Diet of the Nonidigenous Asian Swam Eel inTropical
Ornamental Aquaculture Ponds in West-Central Florida. North American Journal of
Aquaculture, 69 : 139-146.
Inger, R. F. and P. K. Chin. 1962. Fresh Water Fishes of North Borneo. England
Issoegianti, S. M. R. , Ruth Kurniawati dan Sukarti, M. 1975. Penentuan jenis Kelamin /Siklus Reproduksi Pada Monopteraalbus; Penentuan Kadar Protein dan Asam Amino.Suatu Laporan Penelitian. Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada.
Kordi, K.M.G. 2011. Buku Pintar Akuabisnis Belut di Berbagai Wadah. Yogyakarta: LilyPublisher.
16
Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari dan S. Wirjoatmodjo, 1993. Ikan air TawarIndonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Kantor Mentri Negara KLH RepublikIndonesia, Jakarta.
Makarim, A. K., dkk. 2007. Jerami Padi: Pengelolaan dan Pemanfaatan. Bogor: BadanPenelitian dan Pengembangan Pertanian.
Mashuri, Sumarjan dan Z. Abidin. 2012. Pengaruh Jenis Pakan yang Berbeda TerhadapPertumbuhan Belut Sawah (Monopterus albus Zuieuw). Jurnal Perikanan Unram, 1(1) : 1-7.
Nuraini. 2009. Pembuatan Kompos Jerami Menggunakan Mikroba Perombak Bahan Organik.Buletin Teknik Pertanian. 14 (1): 23-26.
Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi. Jakarta : PT Penebar Swadaya. 218 hal.
Saparinto, C. 2010. Panduan Lengkap Belut, Jakarta: Penebar Swadaya.
Sarwono. 1987. Budidaya Belut dan Sidat. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sarwono, B. 2003. Budi Daya Belut dan Sidat. Pondok Gede : Swadaya
Sarwono. 2003. Belut. (cited 2013 Nov. 10) Available from: URL : http : //repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55905/BAB20II20Tinjauan20Pustaka.pdf?sequence=2.
Sunarma A. 2009. Budidaya Belut di Air Bersih [internet]. [diacu 2013 Maret 10].Tersedia dari http://www.sunarma.net/20/08/09/swamp-eel-in-clear-waterbudidaya-belut-di-air-bersih.
Sunarma, A., A. Sucipto, S. Mu’minah, dan I. Suharjo. 2009. Kajian Teknik ADLNPerpustakaan Universitas Airlangga Budidaya Belut (Monopterus albus) TanpaMenggunakan Media Lumpur BBPBAT. Sukabumi. Hal 1-9.
Suprianto, C., 2009. Panduan Lengkp Belut. Jakarta. Penebar Swadaya.
Surakhman, A. 2004. Pengaruh Lemak Patin dalam Pakan Terhadap Pertumbuhan Ikan Mas(Cyprinus carpio). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut PertanianBogor. Bogor. Hal 4-6.
Tan, Q. and R. He. 2007. Effect of Dietary Supplementation of Vitamin A, D, E, and C onYearling Rice Field Eel, Monopterus albus : Serum Indices, Gonad Development, andMetabolism of Calcium and Phosphorus. Journalof the World Aquaculture Society.Vol. 38, No 1. 146-153.
Tay, A. S. L., S. F. Chew, Y. K. Ip. 2003. The Swamp Eel Monopterus albus ReducesEndogenous Ammonia Production and Detoxifies Ammonia to Glutamine during 144h of Aerial Exposure. The Journal of ExperimentalBiology, 206: c2473-2486.
Warisno, Dahana, K. 2010. Belut Sawah dan Rawa di Kolam Intensif dan Drum. Yogyakarta: Lily Publisher.
17
Wirosaputro, S. 1978. Percobaan Budidaya Ikan Belut (Monopterus albus Z.) didalam Bak. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hal 2.
[WPI] Warta Pasar Ikan. 2010. Belut dan Sidat Permintaannya Semakin Meningkat.http://www.wpi.kkp. go.id/?p=650 [5 Mei 2017].
Yang, D., F. Chen, D. Li, and B. Liu. 2000. Requirements of Nutrients and Optimum Energy-Protein Ratio in the Diet for Monopterus albus. Journal of Fisheries of China/Shuichan Xuebao 24:259-262.
Yudiarto, S. 2012. Pengaruh Penambahan Atraktan yang Berbeda dalam Pakan PastaTerhadap Retensi Protein, Lemak dan Energi Benih Ikan Sidat (Aguilla bicolor)Stadia Elver. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga.Surabaya. Hal 10-21.
Zonneveld, N., E. A. Huisman, and J. H. Boon. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 318 hal.
18
Tabel 1. Laju pertumbuhan berat
PerlakuanLaju Pertumbuhan Berat
Mutlak (g)Laju Pertumbuhan Berat
Harian (g/hari)A 14.97±0.21a 0.334±0.005 a
B 20.12±0.74b 0.445±0.017 b
C 21.18±0.27b 0.471±0.006 b
D 21.27±1.09b 0.473±0.024 b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yangtidak sama pada kolom yang
samamenunjukkan berbeda nyata.
Tabel 2. Laju pertumbuhan panjang
PerlakuanLaju Pertumbuhan Panjang
Mutlak (cm)Laju Pertumbuhan Panjang
Harian (cm/hari)A 5.46±0.39a 0.121±0.009 a
B 7.03±0.45b 0.156±0.010 b
C 7.30±0.31b 0.162±0.007 b
D 8.34±0.78b 0.185±0.017 b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yangtidak sama pada kolom yang
samamenunjukkan berbeda nyata.
Tabel 3. Tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate)
Perlakuan Rata – Rata SR (%) KeteranganA 66.7±5.77 RendahB 86.7±5.77 Cukup TinggiC 90±10.00 TinggiD 93.3±5.77 Paling tinggi
Sumber : Data Primer diolah
Tabel 4. Parameter kualitas air
ParameterKualitas Air
Perlakuan Kualitas Air yang diRekomendasikan
(Kordi, 2011)A B C D
Suhu (ºC) 27,3 27,3 26,7 27,6 25-34
pH 6,2 6,2 6,3 6,2 6,5-7,5
DO (mg/l) 4,5 4,3 4,7 4,7 >4
Amonia (mg/l) 0.004 0.002 0.002 0.002 0.001-0.005
Sumber : Data Primer diolah
19
Gambar 1. Pertumbuhan Berat Mutlak
Gambar 2. Pertumbuhan Berat Harian
Gambar 3. Laju Pertumbuhan Panjang Mutlak
A B C Dulangan I 15,12 19,42 21,17 22,45ulangan II 15,07 20,90 21,46 21,06ulangan III 14,74 20,05 20,93 20,30
0,005,00
10,0015,0020,0025,00
Pert
umbu
han
Bera
tM
utla
k (g
r)
ulangan I ulangan II ulangan III
0,336 0,431 0,470 0,4990,335
0,464 0,477 0,4680,327
0,445 0,465 0,451
0,000
0,500
1,000
1,500
A B C DLaju
Per
tum
uhan
Bera
t har
ian
(cm
/har
i)
Perlakuan
Ulangan I Ulangan II Ulangan III
A B C DUlangan I 5,78 7,52 7,66 8,64Ulangan II 5,03 6,96 7,16 7,46Ulangan III 5,56 6,63 7,08 8,94
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
Laju
Per
tum
buha
nPa
njan
g M
utla
k (c
m)
Ulangan I Ulangan II Ulangan III
20
Gambar 4. Laju Pertumbuhan Berat Harian
Gambar 5. Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate)
Gambar 6. Grafik Suhu (ºC)
0,129 0,167 0,170 0,1920,112
0,155 0,159 0,1660,124
0,147 0,1570,199
0,0000,1000,2000,3000,4000,5000,600
A B C D
Laju
Per
tum
buha
nPa
njan
g Ha
rian
(cm
/har
i)
Perlakuan
Ulangan I Ulangan II Ulangan III
66,7
86,7 90 93,3
0
20
40
60
80
100
A B C DTing
kat k
elan
gsun
gan
Hidu
p (S
R)%
Perlakuan
25
25,5
26
26,5
27
27,5
28
28,5
I II III IV V VI
Minggu Ke-
Suhu
ºC
A
B
C
D