perlakuan akuntansi untuk aset bersejarah (heritage …
TRANSCRIPT
1
PERLAKUAN AKUNTANSI UNTUK ASET
BERSEJARAH (HERITAGE ASSET) CANDI PENATARAN
BLITAR : SEBUAH STUDI FENOMENOLOGI
Mohamad Ridwan Alfasyiri
Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
This research is conducted to find out how the accounting treatment of the
Heritage Asset Candi Penataran, how the assets is recognized, recorded, and
reported in the financial statements using phenomenological viewpoint, where the
data obtained in accordance with the facts or phenomena that occur in the field
do not always conform to the standards.
The research data was collected by the Researcher in 4 procedures, first,
the Researcher went to the field then doing a physical check of the Heritage
Assets Candi Penataran, second, doing interviews with informants or sources of
the relevant department or manager of Candi Penataran namely the Balai
Pelestarian Cagar Budaya Jawatimur in Trowulan, third,, is checking documents
of the Heritage Assets Candi Penataran, how it’s recognized, as what, recorded,
until how the value of Heritage Assets is, and the last isInternet data searching
Methods of data analysis in qualitative research is divided into 3 stages,
first, data reduction, selection process, concentration, attention, abstraction and
transforming the raw data from the field, second is the data display, presents data
in the narrative and tabels form to explain the phenomenon under study and the
last, is the conclusion
The results of this study is the recognition of the BPCB East Jawa that
Candi Penataran is recorded as plant asset, Informan said Candi Penataran is
heritage which must be protected, and therefore the value of the Candi Penataran
is "no value", it is described in an interview the Researcher with the informant
that Candi Penataran is deliberate without value, so the Heritage Asset can not be
traded. The Value of this recording is in conformity with PSAP number 07 of 2010
section 69 that Heritage Assets must be recorded in the number of units without
value
Keywords : Heritage Assets, Recognition, Recording, Assessment, Candi
Penataran , BPCB East Jawa
2
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana perlakuan akuntansi
dari aset bersejarah Candi Penataran, bagaimana aset tersebut diakui, dicatat, dan
pelaporanya dalam laporan keuangan dengan sudut pandang fenomenologis,
dimana data yang didapatkan sesuai dengan realita atau fenomena yang terjadi di
lapangan tidak selalu sesuai dengan standar.
Data penelitian di dapatkan oleh peneliti dengan 4 cara, yang pertama
adalah terjun langsung ke lapangan kemudian mengecek fisik dari Aset Bersejarah
(Heritage Aset) Candi Penataran, kedua, Wawancara dengan informan atau
narasumber dari dinas terkait atau pengelola dari Candi penataran yaitu Balai
Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur di Trowulan, ketiga adalah memeriksa
dokumen dari Aset Bersejarah (Heritage Aset) Candi Penataran, bagaimana
pengakuanya, sebagai apa, pencatatannya sampai berapa nilai dari Aset Bersejarah
(Heritage Aset) tersebut, dan yang terakhir adalah penelusuran data di internet.
Metode analisis data pada penelitian kualitatif ini dibagi menjadi 3 tahap
pertama data reduction,proses pemilihan, pemusatan, perhatian, pengabstraksian
dan pentransformasian data kasar dari lapangan, kedua adalah datadisplay,
menyajikan data dalam bentuk uraian (naratif) mengenai esensi dari fenomena
yang diteliti disertai dengan tabel dan yang terakhir adalah penarikan kesimpulan
Hasil dari penelitian ini adalah pengakuan dari pihak BPCB Jawa Timur
bahwa Candi penataran tercatat sebagai inventaris (aset tetap), Informan
mengatakan Candi penataran adalah Cagar Budaya yang harus dilindungi, oleh
sebab itu maka nilai dari Candi Penataran adalah “tidak ada nilainya”, hal ini
dijelaskan dalam wawancara peneliti dengan informan bahwa Candi Penataran
disengaja tidak ada nilainya agar tidak bisa diperjualbelikan. Pencatatan nilai ini
sesuai dengan PSAP nomor 07 tahun 2010 pasal 69 dimana Aset Bersejarah harus
dicatat dalam jumlah unit tanpa nilai.
Kata kunci : Aset Bersejarah, Pengakuan, Pencatatan, Penilaian, Candi
Penataran, BPCB Jawa Timur
3
Pendahuluan
Pengertian Akuntansi ialah suatu sistem informasi yang mengidentifikasi,
mencatat dan mengkomunikakan kejadian ekonomi dari suatu organisasi kepada
pihak yang berkepentingan atau pengguna (user) (Kieso dan Weygandt, 2009).
Dimana informasi tersebut dapat berupa informasi keuangan maupun non
keuangan. Berdasarkan aspek teknis, akuntansi didefinisikan sebagai proses
pencatatan, pengukuran, dan penyampaian informasi ekonomi agar dapat
dmanfaatkan untuk membuat keputusan dan kebijakan . Semua proses pengakuan,
pengukuran, penilaian, pencatatan dan penyajian harus sesuai dengan standar
yang berlaku umum agar dimengerti oleh pengguna
Akuntansi yang di masa lalu secara umum dipahami sebagai gambaran
ekonomi dan pengembangan industri saja. Ada juga anggapan bahwa pemahaman
tentang akuntansi yang terjadi di masa lalu dipandang hanya sebagai salah satu di
masa sekarang (Laughlin dan Lowe, 1985; Tyson, 1993; Utara, 1985;
Sukoharsono, 1995 dalam Budiasih :2012). Pemahaman yang sempit ini
cenderung melihat akuntansi sebagai gambaran dari teknik saja, dan tidak
terpengaruh atau tidak memiliki interaksi dengan lingkungannya, baik politik,
ekonomi, sosial atau budaya. Hal ini mengakibatkan penelitian akuntansi saat ini
didominasi oleh analisis ekonomi perkembangan dan praktik industri.
Sukoharsono (1995)menunjukkan akuntansi yang muncul dalam masyarakat
bisnis, itu bukan hanya karena perkembangan industri, tetapi juga karena
pengaruh budaya dan agama (Budiasih :2012).
4
Terdapat 3 (tiga) komponen penting dalam persamaan akuntansi, yaitu aset
(asset), kewajiban (liability) dan ekuitas (equity). Aset dalam Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) yang dibuat oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) didefinisikan
sebagai sumber daya yang dikuasai oleh perusahaan sebagai akibat dari peristiwa
masa lalu dan darimana manfaat ekonomi di masa depan diharapkan akan
diperoleh perusahaan (IAI, 2007).
Akuntansi untuk aset bersejarah (heritage asset) adalah salah satu persoalan
akuntansi masih diperdebatkan. Sampai saat ini masih menjadi polemik parah ahli
untuk memutuskan. Aset bersejarah adalah aset yang unik melihat dari carah
perolehanya tidak hanya melalui pembangunan namun juga pembelian, donasi,
warisan, rampasan, ataupun sitaan. Aset bersejarah tergolong dalam aset tetap
karena aset bersejarah memenuhi definisi aset tetap. Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP) menyatakan bahwa aset tetap merupakan: Aset berwujud
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan
dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum.
Definisi Aset Bersejarah (Heritage Asset)
Banyak definisi yang menggambarkan aset bersejarah, hal tersebut
dikarenakan adanya perbedaan kriteria yang dipakai untuk menentukan definisi
tersebut. Seperti halnya kriteria yang dipakai oleh IPSAS (International Public
Sector Accounting Standards) 17 (dalam Aversano dan Ferrone, 2012) yang
mengatur tentang property, plant, andequipment bahwa “some assets are
described as heritage assets because of their cultural, environmentalor historical
5
significance”. Tabel 2.1menunjukkan perbedaan pendapat para ahli mengenai
definisi dan perlakuan akuntansi yang tepat untuk aset bersejarah.
Penelitian ini difokuskan pada perlakuan akuntansi yang diterapkan untuk
aset bersejarah di Indonesia baik dari segi pengakuan, penilaian, penyajian dan
pengungkapan dalam laporan keuangan. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.
Candi Penataran dipilih sebagai object penelitian sebenarnya alasan
pribadi penulis karena berdomisili di Blitar jadi beranggapan bawa nantinya dekat
dengan sumber data tetapi ternyata Balai Pelestarian Candi Penataran ada di
Trowulan Mojokerto, sehingga penulis semakin jauh dalam mencari data. Candi
Penataran merupakan salah satu aset bersejarah di Indonesia yang sudah dikenal
masyarakat luas bahkan hingga mancanegara. Selain itu, Candi Penataran adalah
icon dari Blitar yang menjadi simbol jati diri warga Blitar
Tabel 1
Perbedaan Pendapat tentang Aset
Peneliti Pendapat tentang Aset Bersejarah
(Heritage Asset)
Micallef dan Peirson (1997) Aset bersejarah tergolong dalam aset dan
dapat dimasukkan dalam neraca (Heritage
assets are considered assets and they can be
included on the balance sheet)
6
Christiaens (2004) Aset bersejarah harus dimasukkan dalam
Christiaens dan Rommel neraca meskipun tidak memenuhi definisi
(2008) resmi (Heritage assets should be reported in
Rowles et al.(1998) the balance sheet notwithstanding their non -
compliance with the official definitions)
Barton (2000) Aset bersejarah harus disajikan dalam
anggaran terpisah sebagai “aset
layanan”(Heritage assets must be
represented in a
separate budget as "services assets")
Pallot (1990), (1992) Aset bersejarah harus disajikan dalam
kategori yang terpisah dari aset sebagai “aset
daerah” (Heritage assets must be represented
in a separate category of asset as
"community assets")
Mautz (1988) Aset bersejarah harus disajikan pada kategori
terpisah dari aset sebagai “fasilitas”
(Heritage assets must be represented in a
separate category of asset as "facilities")
Nasi et al. (2001) Aset bersejarah tidak harus disajikan dalam
neraca (Heritage assets should not be
7
reported in the balance sheet)
Carnegie dan Wolnizer (1995) Aset besejarah bukanlah aset dan akan lebih
tepat diklasifikasikan sebagai liabilitas, atau
secara alternatif disebut sebagai fasilitas dan
menyajikannya secara terpisah (Heritage
assets are not assets and it would be more
appropriate to classify them as liabilities, or
alternatively to call them facilities and show
them separately)
Sumber: Aversano dan Christiaens, 2012
Model-model Penilaian Aset Bersejarah (Heritage Asset)
Penilaian merupakan suatu proses untuk menentukan nilai ekonomi suatu
obyek, pos, atau elemen (Statement of Financial AccountingConcepts No.5).
Penilaian biasanya digunakan untuk menunjuk prosespenentuan jumlah rupiah
yang harus dilekatkan pada tiap elemen atau pos statemen keuangan pada saat
penyajian. Tujuan dari penilaian aset adalah untuk merepresentasikan atribut pos-
pos aset yang berhubungan dengan tujuan laporan keuangan dengan
menggunakan basis penilaian yang sesuai.
Aset bersejarah memiliki model penilaian (valuation) yang berbeda di setiap
negara. Perbedaan tersebut muncul disesuaikan dengan kondisi dan situasi di
masing- masing negara. Negara- negara tersebut menganut suatu pedoman yang
8
mengatur tentang akuntansi bagi aset bersejarah. Dari sekian banyak pedoman
atau standar, negara berhak memilih mana yang paling tepat diaplikasikan untuk
negaranya. Namun, karena kelonggaran peraturan tersebut mengakibatkan standar
yang digunakan di negara- negara tidak ada keseragaman.
Model penilaian tersebut antara lain:
1. Act Accounting Policy (2009), semua lembaga harus menggunakan model
revaluasi untuk semua aset bersejarah dan mengukur aset tersebut pada nilai
wajar. Hal ini sesuai dengan GAAP. Setelah nilai wajar aset telah
ditentukan, aset harus dinilai kembali berdasarkan siklus valuasi 3 tahun.
Nilai wajar harus didasarkan pada harga jual pasar saat ini untuk aset yang
sama atau sejenis. Namun, banyak jenis aset bersejarah yang memiliki sifat
unik, sehingga tidak dapat diukur berdasarkan harga jual pasar. Oleh sebab
itu, nilai wajar aset dapat diestimasi dengan pendekatan penghasilan atau
biaya penggantian yang didepresiasi. Aset dapat dinilai pada biaya
penggantian dengan aset yang sama dan tidak identik namun memberikan
manfaat yang sama.
2. Generally Recognised Accounting Practice (GRAP) 103 (2011) dari
Republic of South Africa, saat aset bersejarah diperoleh dengan tanpa biaya
atau biaya nominal, aset tersebut harus diukur pada nilai wajar pada tanggal
akuisisi. Dalam menentukan nilai wajar aset bersejarah yang diperoleh dari
transaksi non- exchange, suatu entitas harus menerapkan prinsip- prinsip
atas bagian penentuan nilai wajar. Setelah itu, entitas dapat memilih
9
untukmengadopsi baik model revaluasi atau model biaya sesuai dengan
GRAP 103.
3. Accounting Standard Board ,Financial Reporting Statements (FRS) 30
(2009), penilaian (valuation) aset bersejarah dapat dilakukan dengan metode
apapun yang tepat dan relevan. Pendekatan penilaian yang dipilih nantinya
diharapkan adalah suatu penilaian yang dapat menyediakan informasi yang
lebih relevan dan bermanfaat.
4. Menurut Pedoman Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) 07 (2010),
penilaian kembali (revaluation) tidak diperbolehkan karena SAP menganut
penilaian aset berdasarkan biaya perolehan atau harga pertukaran. Dalam hal
terjadi perubahan harga secara signifikan, pemerintah dapat melakukan
revaluasi atas aset yang dimiliki agar nilai aset tetap pemerintah yang ada
saat ini mencerminkan nilai wajar sekarang.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang banyak digunakan dalam penelitian ini
adalah metode wawancara. Namun, dengan hanya menggunakan satu metode
pengumpulan data dapat menyebabkan kesalahpahaman (Chariri, 2006, dalam
Anjasmoro 2010). Oleh karena itu, peneliti menggunakan beberapa metode lain
yang dianggap cocok untuk mendukung metode wawancara tersebut.
10
Metode lain yang digunakan antara laindokumentasi, analisis dokumen dan
penelusuran data online. Kombinasi dari keempat metode tersebut diharapkan
dapat menghasilkan data yang lebih akurat dalam menjelaskan bagaimana
perlakuan akuntansi untuk aset bersejarah pada Candi Penataran.
Metode Analisis Data
Metode analisis data adalah suatu proses mencari makna dari sekumpulan
data sehingga dapat dituangkan dalam pembahasan temuan penelitian. Dengan
kata lain, proses tersebut digunakan untuk memahami, menganalisis dan
mengungkapkan fenomena dari suatu kejadian dan mencari jawaban atas
pertanyaan- pertanyaan penelitian. Metode analisis data pada penelitian kualitatif
berbeda dengan metode yang digunakan pada pendekatan kuantitatif. Pada
penelitian kuantitatif, metode analisis data menggunakan alat uji statistik,
sedangkan pada pendekatan kualitatif, metode analisis data merupakan proses
yang kompleks dan melibatkan penalaran induktif dan deduktif, serta deskripsi
dan interpretasi sehingga tidak dapat diuji secara statistik.
Selain itu tidak ada pedoman yang pasti untuk menganalisis data yang
diperoleh melalui proses wawancara. Data yang diperoleh melalui wawancara
hanya berupa kata- kata yang diucapkan oleh informan dan peneliti harus dapat
memproses kata- kata tersebut menjadi sebuah informasi yang berguna untuk
penelitiannya.
11
Data collectionData
ReductionData Display Conclution
: Drawing / verifying
Secara umum, metode analisis data pada penelitian kualitatif dibagi menjadi
3 bagian. Pertama adalah data reduction dan kedua adalah datadisplay, dan yang
terakhir adalah penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman. 1992)
Metode Analisis Data
Reduksi data (data reduction)
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan, perhatian,
pengabstraksian dan pentransformasian data kasar dari lapangan (Basrowi dan
Suwandi, 2008). Data yang diperoleh dari proses wawancara diseleksi dan
diorganisir melalui coding dan tulisan ringkas. Dalam mereduksi data, data-data
yang tidak relevan dipisahkan dari data yang relevan dengan penelitian.
12
Penyajian data (data display)
Miles dan Huberman (1992), dalam Anggraini 2014 menyarankan agar
data ditampilkan dengan baik melalui tabel, charts, networks dan format gambar
lainnya saat menarik kesimpulan. Hal ini berfungsi untuk memberi kemudahan
dalam membaca dan menarik kesimpulan. Selain untuk memudahkan, format
tabel, charts, networks dan format gambar lainnya juga dapat menarik
perhatianpembaca. Dalam penelitian ini peneliti menyajikan data dalam bentuk
uraian (naratif) mengenai esensi dari fenomena yang diteliti disertai dengan tabel.
Penarikan Kesimpulan
Langkah terakhir dalam analisis data kualitatif adalah penarikan
kesimpulan dan validasi data. Kesimpulan yang diharapkan dalam penelitian ini
adalah adanya temuan baru terkait perlakuan akuntansi untuk aset bersejarah
khususnya pada pengelolaan Candi Penataran.
Setelah dapat ditarik kesimpulan, peneliti meminta informan untuk membaca
kembali hasilnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari kesalahpahaman antara
peneliti dan informan sehingga informasi yang dihasilkan sesuai dengan
kenyataan yang terjadi di lapangan, atau minimal sesuai berdasarkan data yang
diperoleh peneliti di lapangan. Hal ini disebut dengan langkah validasi data.
13
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, yaitu pendekatan induktif
untuk menemukan atau mengembangkan pengetahuan yang memerlukan
keterlibatan peneliti dalam mengidentifikasi pengertian atau relevansi fenomena
tartentu terhadap individu (Syarifudin, 2002). Penelitian kualitatif ini di pilih
karena lebih sensitif dan adaptif terhadap peran dan berbagai pengaruh yang
timbul. Disamping itu karena peneliti akan mencoba menggali atau
mengeksplorasi, menggambarkan atau mengembangkan pengetahuan bagaimana
kenyataan dialami, sehingga peneliti yang tidak menggunakan perhitungan
(Moleong, 2005) Peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi. Riset
fenomenologi didasarkan pada falsafah fenomenologi. Peneliti fenomenologi
merumuskan satu pernyataanpersepsi partisipan mengenal fenomena yang sedang
diteliti. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meminta partisipan untuk
mengungkapkan persepsi mereka tantang fenomena (Dempsey, 2002, dalam
Anggraini, 2014).
Pendekatan fenomenologi merupakan tradisi penelitian kualitatif yang
berakar pada filosofi dan psikologi (Moleong, 1993). Fenomenologi berasal dari
bahasa Yunani phainomenon, yang terdiri dari kata fenomena berasal dari kata
kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata
fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk
kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya, dalam bahasa kita berarti cahaya.
Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang
14
menampakkandan kata logos yang berarti akal budi. Fenomenologi berkaitan
dengan konsep tindakan rasional dengan menganalisis makna tersembunyi di
balik tindakan
individu yang memaksa gejala sosial menjadi nyata (Agustinus, 2013) . Jadi,
fenomenologi adalah sebuah ilmu (akal budi) yang menampakkan diri ke dalam
bentuk pengalaman seseorang (subyek).
Pendekatan fenomenologi tepat untuk digunakan dalam penelitian ini karena
bersinggungan dengan unsur sosial, budaya dan juga sejarah. Fokus penelitian ini
adalah pada akuntansi untuk aset bersejarah, sehingga ketiga unsur tersebut tentu
tidak dapat dipisahkan. Dalam penelitian ini, pendekatan fenomenologi digunakan
untuk menjelaskan secara lebih mendalam tentang fenomena yang terjadi pada
objek penelitian berdasarkan pengalaman hidup pihak- pihak yang terkait dengan
objek penelitian, seperti pihak pengelola aset bersejarah. Sebagai pembanding
akademisi dapat digunakan sebagai informan untuk menunjukkan pengalaman
hidup mereka dalam mengajarkan konsep aset.
Menurut Denzin dan Lincoln (1994) dalam Sukoharsono 2006 , riset
kualitatif mempunyai tipikal yang multi metode yang melibatkan proses
interpretif dan naturalistik. Pendekatan fenomenologi merupakan tradisi penelitian
kualitatif yang berakar pada filosofi dan psikologi (Moleong, 1993).
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomenon, yang terdiri dari
kata fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti
menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya
15
sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena
bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan
sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkandan kata logos yang berarti akal
budi, fenomenologi berkaitan dengan konsep tindakan rasional dengan
menganalisis makna tersembunyi di balik tindakan
individu yang memaksa gejala sosial menjadi nyata (Agustinus, 2013) . Jadi,
fenomenologi adalah sebuah ilmu (akal budi) yang menampakkan diri ke dalam
bentuk pengalaman seseorang (subyek).
Pendekatan fenomenologi adalah sebuah pendekatan yang menggunakan
pengalaman hidup sebagai sebuah alat untuk memahami secara lebih baik tentang
sosial budaya, politik atau konteks sejarah dimana pengalaman itu terjadi.
Pendekatan fenomenologi tepat untuk digunakan dalam penelitian ini karena
bersinggungan dengan unsur sosial, budaya dan juga sejarah. Fokus penelitian ini
adalah pada akuntansi untuk aset bersejarah, sehingga ketiga unsur tersebut tentu
tidak dapat dipisahkan. Dalam penelitian ini, pendekatan fenomenologi digunakan
untuk mendeskripsikan tentang pengalaman hidup beberapa orang tentang sebuah
konsep atau fenomena. Peneliti fenomenologi mengeksplorasi struktur kesadaran
dan pemahaman pengalaman manusia. secara lebih mendalam tentang fenomena
yang terjadi pada objek penelitian berdasarkan pengalaman hidup pihak- pihak
yang terkait dengan objek penelitian (Sukoharsono 2006). seperti pihak pengelola
aset bersejarah. Sebagai pembanding, akademisi dapat digunakan sebagai
16
informan untuk menunjukkan pengalaman hidup mereka dalam mengajarkan
konsep aset.
Peneliti kualitatif harus bersifat “perspektif emic” artinya memperoleh data
bukan “sebagaimana mestinya”, bukan berdasarkan apa yang dipikirkan oleh
peneliti, tetapi berdasarkan sebagaimana adanya yang terjadi di lapangan, yang
dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh partisipan atau sumber data (Sugiyono,
2009 dalam Premadi, 2013). Fenomenologi yang sesungguhnya adalah untuk
mendeskripsikan sesuatu daripada menjelaskan sesuatu dan berawal dari sudut
pandang yang bebas dari hipotesis- hipotesis atau dugaan- dugaan sebelumnya
(Lester, 1999)
PEMBAHASAN
Deskripsi Objek penelitian Candi Penataran
Candi Penataran adalah komplek percandian yang terluas di Jawa Timur.
Berdasarkan laporan Dinas Purbakala tahu 1914-1915 nomor 2045 dan catatan
Verbeek nomor 563, Candi Penataran merupakan bangunan kekunaan yang terdiri
atas beberapa gugusan sehingga disebut Komplek Percandian.
Candi Penataran merupakan satu-satunya candi terluas di Jawa Timur.
Lokasinya terletak di desa Penataran, kecamatan Nglegok, Blitar. Tepatnya di
lereng barat daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter di atas permukaan air
laut.
17
Sejarah Penemuan
Candi Penataran ditemukan pada tahun 1815, tetapi sampai tahun 1850
belum banyak dikenal. Penemunya adalah Sir Thomas Stamford Raffles (1781-
1826), Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang pernah berkuasa di
Nusantara. Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit yang kemudian disusul
dengan masuknya agama Islam, banyak bangunan suci yang berkaitan dengan
agama Hindu dan Budha ditinggalkan begitu saja oleh masyarakat penganutnya.
Sehingga bangunan-bangunan suci yang tidak lagi dipergunakan itu dilupakan
orang-orang karena masyarakat sebagian besar telah berganti kepercayaan.
Akibatnya bangunan tersebut menjadi terlantar tidak ada lagi yang mengurusnya,
pada akhirnya tertimbun longsoran tanah dan semak semak belukar. Namun
seiring berjalannya waktu, Kompleks Candi Penataran yang dahulunya sempat
terabaikan sekarang mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah. Sekarang ini
Kompleks Candi Penataran sudah menjadi tujuan wisata yang indah dan menarik.
Candi Penataran termasuk dalam monumen mati (dead monument) artinya
tidak ada kaitannya lagi dengan kepercayaan yang dianut masyarakat dewasa ini.
Bangunan candi tidak berfungsi lagi sebagai tempat ibadah atau sebagai tempat
semedi melainkan sebagai tempat wisata. Para pengunjung yang datang dalam
rangka menikmati seni dan budaya dari kekunoan dan ilmu pengetahuan. Kini 800
tahun lebih telah berlalu, komplek Candi Penataran masih tegak berdiri di tempat
semula dengan penuh keanggunan dan kemegahan.
18
KESESUAIAN DENGAN STANDAR YANG BERLAKU
Perlakuan dari Aset bersejarah (Heritage asset) Candi penataran adalah
dicatat dalam Catatan Inventaris yang dilakukan oleh Bagian Perlengkapan dari
Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur di Trowulan, Mojokerto dengan
tanpa nilai, Hal tersebut sesuai dengan PSAP nomor 07 tahun 2010 pasal
65. Pernyataan ini tidak mengharuskan pemerintah untuk menyajikan aset
bersejarah (heritage assets) di neraca namun aset tersebut harus
diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. dan pasal
69. Aset bersejarah harus disajikan dalam bentuk unit, misalnya jumlah unit
koleksi yang dimiliki atau jumlah unit monumen, dalam Catatan atas
Laporan Keuangan dengan tanpa nilai.
Untuk lebih jelasnya bisa di lihat dalam Tabel 2, yang sengaja direkap lebih
sederhana oleh peneliti guna memudahkan dalam memahami pencatatan
Inventasris atau dari ilmu akuntansi disebut aset tetap dari BPCB Trowulan
Tabel 2 .
Rekap Catatan atas Laporan Keuangan tahun 2014
kode barang nama barang digunakan jumlah barang tahun perolehan tanggal nilai buku nilai buku
2.01.03.11.999.16 tanah sbg C.penataran 13.560 m2 01/01/1931 01/01/1931 1.899.167.000Rp
4.01.01.13.001 bangunan pos jaga 27 m2 01/01/1998 01/01/1998 20.167.000Rp
3.05.02.03.003 mesin pemotong rumput pemeliharaan 1 buah 15/05/2005 03/12/2014 4.345.000Rp
3.05.02.03.003 mesin pemotong rumput pemeliharaan 1 buah 15/05/2005 03/12/2014 4.345.000Rp
3.05.02.01.002 meja kayu pos jaga 1 buah 31/12/1986 26/11/2013 3.000Rp
3.05.02.01.002 meja kayu pos jaga 1 buah 31/12/1986 26/11/2013 3.000Rp
3.01.03.05.001 transportable water pump pemeliharaan 1 unit 20/09/2006 29/11/2013 3.850.000Rp
3.05.02.01.007 bangku panjang kayu pos jaga 1 buah 01/01/1992 03/12/2014 980.000Rp
3.05.02.01.007 bangku panjang kayu pos jaga 1 buah 01/01/1992 03/12/2014 980.000Rp
3.05.01.04.002 lemari kayu pos jaga 1 buah 01/01/1997 29/11/2013 116.000Rp
3.05.01.04.002 lemari kayu pos jaga 1 buah 01/01/1997 29/11/2013 116.000Rp
100-100 candi angka tahun candi 08/04/1995 -
101-010 candi naga batu andesit candi 08/04/1995 -
102-102 candi induk candi 08/04/1995 -
103-103 candi perwara batu andesit candi 08/04/1995 -
19
Hasil dari wawancara dengan informan salah satunya adalah bahwa
pengelola dari Candi penataran yaitu BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya)
Jawa Timur di Trowulan sudah menggunakan sistem aplikasi komputer yang
modern dan, setelah BPCB melakukan penilaian dan inventarisasi maka data yang
didapatkan di entry ke aplikasi dan langsung masuk dalam sistem di KPKNL
(Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) dan menjadi bagian dari aset-
aset kekayaan negara yang lain dalam daftar pengelolaan aset negara di KPKNL
Dari hasil wawancara dengan informan terdapat jawaban atas kenapa
dicatatnya akun Aset Bersejarah (Heritage Asset) Candi penataran tanpa nilai, hal
tersebut dikarenakan memang disengaja agar aset tersebut tidak dapat diperjual-
belikan keterangan tersebut disampaikan oleh Bapak Danang selaku Kepala sub
Seksi Bidang Tata Usaha BPCB Jawa timur
tidak bernilai itu dalam tanda kutip ya kalau dijual itu
sebenarnya bisa saja, nah tidak bernilai itu dalam tanda kutip
tidak boleh diperjual belikan, ya itu kan brati ngga bisa di jual,
jadi orang ngga bisa beli (Bpk Danang Wahyu Purnomo, SS :
Kepala Sub seksi Bidang Tata Usaha BPCB Jatim, 21 jan
2015)
20
Terdapat dokumen dengan nilai Rp1.899.167.000 yang ada dalam salah satu
item aset yang keteranganya adalah untuk keperluan candi, setelah ditanyakan ke
pihak BPCB aset tersebut adalah Tanah, tanah yang di dalamnya ada situs candi
atau komplek candi, nilai tersebut adalah nilai dari perolehan tanah tersebut
seperti ganti rugi tanah, jadi pihak BPCB mengeluarkan sejumlah uang untuk
membeli tanah tersebut dari pemilik tanah, agar tanah tersebut dapat dikuasai atau
dikelola oleh negara, bukan nilai dari candinya, keterangan tersebut disampaikan
oleh Bapak Danang selaku Kepala sub Seksi Bidang Tata Usaha BPCB Jawa
timur
itu situsnya, lokasi atau tanahnya yang mengandung atau
di duga mengandung cagar budaya, tanah atau bangunan atau
struktur itu adalah situs, nah apabila situs itu di atas tanahnya,
maka tanahnya itu tetap ada nilainya, itu aset tanahnya tapi
bendanya (candinya) itu tidak (Bpk Danang Wahyu Purnomo,
SS : Kepala Sub seksi Bidang Tata Usaha BPCB Jatim, 21 jan
2015)
Peneliti sempat bingung dengan candi yang bernama “Pewara” dikarenakan
candi tersebut dicatat dalam laporan inventaris namun, barang fisik nya tidak ada,
peneliti kemudian menanyakan tentang candi Perwara tersebut pada pihak
pengelola yaitu BPCB Jawa timur.
Problema ini kemudian dijawab oleh Bapak Danang selaku Kepala sub
Seksi Bidang Tata Usaha BPCB Jawa timur
21
Dalam sebuah komplek candi itu kan ada ada candi induk,
candi utama gitu kemudian ada candi candi lain yang sifatnya
tidak utama, biasanya tokoh tokoh di masa lali, seperti candi
candi kecil yang mengelilingi, ya ngga mengelilingi jadi bisa
ada di depanya kadang di sampingya (Bpk Danang Wahyu
Purnomo, SS : Kepala Sub seksi Bidang Tata Usaha BPCB
Jatim, 21 jan 2015)
Jadi peneliti dapat mengetahui bahwa candi pewara itu merupakan candi
pendamping dari cand induk,
KESIMPULAN
Perlakuan dari Aset bersejarah (Heritage asset) Candi penataran adalah
dicatat sebagai Inventaris dengan dama Candi dalam Catatan Inventaris
yang dilakukan oleh Bagian Perlengkapan dari Balai Pelestarian Cagar
Budaya Jawa Timur di Trowulan, Mojokerto dengan tanpa nilai, Hal
tersebut sesuai dengan PSAP nomor 07 tahun 2010
Hasil dari wawancara dengan informan salah satunya adalah bahwa
pengelola dari Candi penataran yaitu BPCB (Balai Pelestarian Cagar
Budaya) Jawa Timur di Trowulan sudah menggunakan sistem aplikasi
komputer yang modern dan, setelah BPCB melakukan penilaian dan
inventarisasi maka data yang didapatkan di entry ke aplikasi dan langsung
masuk dalam sistem di KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
22
Lelang) dan menjadi bagian dari aset-aset kekayaan negara yang lain dalam
daftar pengelolaan aset negara di KPKNL
Dari hasil wawancara dengan informan terdapat jawaban atas kenapa
dicatatnya akun Aset Bersejarah (Heritage Asset) Candi penataran tanpa
nilai, hal tersebut dikarenakan memang disengaja agar aset tersebut tidak
dapat diperjual-belikan keterangan tersebut disampaikan oleh Bapak
Danang selaku Kepala sub Seksi Bidang Tata Usaha BPCB Jawa timur
tidak bernilai itu dalam tanda kutip ya kalau dijual itu
sebenarnya bisa saja, nah tidak bernilai itu dalam tanda kutip
tidak boleh diperjual belikan, ya itu kan brati ngga bisa di jual,
jadi orang ngga bisa beli (Bpk Danang Wahyu Purnomo, SS :
Kepala Sub seksi Bidang Tata Usaha BPCB Jatim, 21 jan
2015)
Terdapat dokumen dengan nilai Rp1.899.167.000 yang ada dalam salah satu
item aset yang keteranganya adalah untuk keperluan candi, setelah
ditanyakan ke pihak BPCB aset tersebut adalah Tanah, tanah yang di
dalamnya ada situs candi atau komplek candi, nilai tersebut adalah nilai dari
perolehan tanah tersebut seperti ganti rugi tanah, jadi pihak BPCB
mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli tanah tersebut dari pemilik
tanah, agar tanah tersebut dapat dikuasai atau dikelola oleh negara, bukan
nilai dari candinya, keterangan tersebut disampaikan oleh Bapak Danang
selaku Kepala sub Seksi Bidang Tata Usaha BPCB Jawa timur
23
itu situsnya, lokasi atau tanahnya yang mengandung atau
di duga mengandung cagar budaya, tanah atau bangunan atau
struktur itu adalah situs, nah apabila situs itu di atas tanahnya,
maka tanahnya itu tetap ada nilainya, itu aset tanahnya tapi
bendanya (candinya) itu tidak (Bpk Danang Wahyu Purnomo,
SS : Kepala Sub seksi Bidang Tata Usaha BPCB Jatim, 21 jan
2015)
Peneliti sempat bingung dengan candi yang bernama “Pewara” dikarenakan
candi tersebut dicatat dalam laporan inventaris namun, barang fisik nya
tidak ada, peneliti kemudian menanyakan tentang candi Perwara tersebut
pada pihak pengelola yaitu BPCB Jawa timur.
Problema ini kemudian dijawab oleh Bapak Danang selaku Kepala
sub Seksi Bidang Tata Usaha BPCB Jawa timur
Dalam sebuah komplek candi itu kan ada ada candi induk,
candi utama gitu kemudian ada candi candi lain yang sifatnya
tidak utama, biasanya tokoh tokoh di masa lali, seperti candi
candi kecil yang mengelilingi, ya ngga mengelilingi jadi bisa ada
di depanya kadang di sampingya (Bpk Danang Wahyu
Purnomo, SS : Kepala Sub seksi Bidang Tata Usaha BPCB
Jatim, 21 jan 2015)
SARAN
24
Adanya Inventarisasi lagi, Candi-candi yang belum tercatat akan
dicatat dan diungkapkan dalam Laporan Keuangan, ada banyak candi-
candi kecil, dan yang paling penting menurut penulis adalah Patirtan
yang konon katanya dulu pemandian putri, salah satu tempat favorit
dari wisatawan malah belum diungkapkan dalam Laporan Keuangan
BATASAN PENELITIAN
Alhamdulillah tidak ada halangan yang berati dalam perolehan data
penelitian, dapat dikatakan sangat dibantu oleh pihak BPCB Jawa
Timur, mengenai perizinan pencarian data dapat diperoleh dari surat
izin bagian perizinan BPCB Jawa Timur yang sebelumnya harus
melampirkan surat pengantar dari universitas, yang membuat data
yang didapatkan cukup tertunda adalah jadwal informan yang padat
sehingga harus berkoodinasi dulu dengan Informan agar dapat bertatap
muka dan melakukan wawancara
DAFTAR PUSTAKA
Act Accounting Policy. 2009. Heritage and Community Assets:Measurement of
Heritage and Community Assets
Generally Recognised Accounting Practice (GRAP). 2012, National treasury.
Departement National Treasury Republic of South Africa.
25
Financial Reporting Statements (FRS) 30 .2009. Heritage Assets.Accounting
Sandards Board United Kingdom.
Agustini, Asia Tri. 2011, “Arah Pengakuan, Pengukuran, Penilaian, dan
Penyajian Aset Bersejarah dalam Laporan Keuangan pada Entitas
Pemerintah Indonesia (Studi Literatur), Skripsi, Fakultas Ekonomi, Jurusan
Akuntansi, Universitas Jember, Jember
Agustinus, John.2013. Phenomelogical Study on the Financial Performance and
Accountability of Special Autonomy Fund Management in Education Sector
at Papua Province,IOSR Journal of Business and Managemen :ISSN: 2278-
487X. Volume 6, Issue 6 PP 30-40
Anjasmoro, Mega. 2010. Adopsi International Financial Report Standard:
“Kebutuhan atau Paksaan?” Studi Kasus Pada PT. Garuda Airlines
Indonesia, Skripsi, Fakultas Ekonomik dan Bisnis, Jurusan Akuntansi,
Universitas Diponegoro, Semarang
Ariesta, Emilio Feriyawan . 2013. Study fenomenologi Tentang Mata Kuliah Etika
Bisnis dan Proifesi (Study Kasus di jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang). Skripsi. Malang : Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya.
Anggraini, Fauziah Galuh, 2014, PERLAKUAN AKUNTANSI UNTUK ASET
BERSEJARAH (Studi Fenomenologi pada Pengelolaan CandiBorobudur).
Skripsi. Semarang : Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas
Diponegoro.
Aversano, Natalia dan Caterina Ferrone. 2012. The Accounting Problem of
Heritage Assets Advanced Research in Scientific Areas
Aversano, Natalia and Christiaens, Johan. 2012. Governmental Financial
Reporting of Heritage Assets from a User Needs Perspective). Financial
Accountability & Management Accounting, Forthcoming
Barton, Allan D. , (2000) "Accounting for public heritage facilities – assets or
liabilities of the government?",Accounting, Auditing & Accountability
Journal, Vol. 13 Iss: 2, pp.219 - 236
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka
Cipta
Budiasih, I Gusti Ayu Nyoman dan Eko Ganis Sukoharsono. 2012.Accounting
Practices and The Use of Money in The Reign of King Udayana in Bali: An
Ethnoarcheological Approach.. Simposium Nasional Akuntansi XV
Banjarmasin
Bungin, M. Burhan. 2009. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilm Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Bungin, Burhan. 2004.
26
Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke arah ragam
varian kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquary and Research Design Choosing
Among Five Tradision. California: Sage Publictions Inc.
Carnegie, G. and Wolnizer, P. (1995) "The Financial Value of Cultural, Heritage
and Scientific Collections: An Accounting Fiction", Australian Accounting
Review, vol. 0, no. 0, pp. 31-47, Monash University, Melbourne
Denzin, N.K. 1989a. Interpretive Biography. Newbury Park, CA: Sage
Denzin, N.K. 1989b. Interpretive Interactionism. Newbury Park, CA: Sage
Denzin, N.K and Lincoln, Y.S. 1994. Handbook of Qualitative Research.
Thousand Oaks, CA: Sage
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. 1998 HANDBOOK OF
QUALITATIVE RESEARCH, California: Sage Publictions Inc.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. 2010 HANDBOOK OF
QUALITATIVE RESEARCH, Sage Publication. Pvt. Ltd, Jakarta : Pustaka
Pelajar
Hidayat, Syarifudin .2002. Metode Penelitian. Bandung: Mandar Maju
Hooper, Keith, Kate Kearins, dan Ruth Green. 2005. Knowing “the price of
everything and the value of nothing” : accounting for heritage
assets.Accounting, Auditing &Accountabiliti Journal. Vol. 18 No.3, pp.410-
433
Kam, Vernon. 1990. Accounting Theory. Singapore: Kin Keong Printing Co. Pte.
Ltd .
Kuswarno, Engkus. 2009. Metode Penelitian Komunikasi Fenomenologi:
Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung, Widya
Padjadjaran.
Lester, Stan. 1999 An Introduction to Penomenological ResearchStan Lester
Development
Micallef, F., & Peirson, G. (1997), Financial reporting of cultural, heritage,
scientific and community collections, Australian Accounting Review, Vol. 7
No. 13, pp. 31-7.
Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya Offset
Musfiqon. 2012. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Prestasi Pustaka
27
Moleong, Lexy J, Dr. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Moleong, Lexy.J 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya
Miles, B. B., dan A. M Huberman. 1992. Analisa Data Kualitatif. Jakarta: UI
Press
Sukoharsono, Eko Ganis. 1995. Accounting, Colonial Capitalists, and Liberal
Order: The Case of Accounting History in Indonesia during the Dutch
Colonial of the Mid-to-End of the 19th Century, The International Journal
of Accounting and Business Society, Vol. 3/1
Sukoharsono, Eko Ganis. 2006. Alternatif Riset Kualitatif Sains Akuntansi:
Biografi, Phenomenologi, Grounded Theory, Critical Ethnografi dan Case
Study
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
Premadi, I. Putu. 2013. “Akuntansi sebagai Pembentuk Mitos (Studi
Fenomenologi pada Penggunaan Angka Akuntansi sebagai Penilai
Kinerja”, Skripsi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Jurusan Akuntansi,
Universitas Diponegoro, Semarang
Pedoman Standar Akuntansi Pemerintah. 2011. Nomor 07: Aset Tetap
Wild, Susan. 2013. Accounting for Heritage, Cultural, and Community Assets-
Alternative Metrics from a New Zealand Maori Educational Institution.
AABFJ Vol. 7 No. 1
Whisnoewardhono, Soeyono. 1995. Memperkenalkan Komplek percandia
Penataran di Blitar .Mojokerto :KPN Purbakala
Pallot, J. 1990, “The nature of public sector assets: a response to Mautz”,
Accounting Horizons, Vol. 4 No. 2, pp. 79-85.
Pallot, J. (1992), “Elements of a theoretical framework for public sector
accounting”, Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 5 No. 1,
pp. 38-59.
Weygant, J. Jerry, Donald E. Kieso dan Paul D. Kimmel. 2009 Accounting
Principles, Jakarta: Salemba Empat