suku anak dalam batin 9 dan konflik seribu hektar …

20
SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR LAHAN SAWIT ASIATIC PERSADA 1 Dwi Wulan Pujiriyani* & Widhiana Hestining Puri* Abstract Abstract Abstract Abstract Abstract: This paper seeks to explore the case of conflict within palm oil plantation-local people partnership involving SAD Batin 9 group with palm oil company. Bungku village was the site chosen to take this issue comprehensively.The expansion ofpalm oil plantationshave led totheloss ofliving territoryto developtheir social system. Conflictsarisenot onlyverticalbut alsohorizontal. Amongst the Inner SAD 9 itself, each fighting for its sovereignty emerged. SAD groups which were impover- ished by imbalanced control structure eventually have to deal with a part of their own group which slowly became part of the new ruling capital group. The palm oil skipper that came from a group of local residents as well as newcomers were the form of the emerging plantation power. In the context of adverse incorporation, they were part of the group that get benefit from the presence of palm oil plantation. Involvement or integration of this group in the oil business scheme has allowed them to accumulate new capital sources. This group could accumulate greater profits from palm-oil they collect from small farmers. Key words: Suku Anak Dalam, palm oil, conflict, partnership Intisari Intisari Intisari Intisari Intisari: Tulisan ini berupaya untuk menelusuri kasus konflik kemitraan perkebunan dengan masyarakat yang melibatkan kelompok SAD Batin 9 dengan perusahaan sawit. Desa Bungku merupakan lokasi yang dipilih untuk bisa memotret persoalan ini secara komprehensif. Ekspansi perkebunan sawit telah menyebabkan masyarakat kehilangan kawasan hidup untuk mengembangkan sistem sosial mereka. Konflik yang muncul tidak saja bersifat vertikal melainkan horizontal yaitu konflik yang terjadi diantara sesama kelompok SAD Batin 9 yang masing-masing memperjuangkan kedaulatannya. Kelompok-kelompok SAD yang dimiskinkan oleh struktur penguasaan yang tidak seimbang ini, pada akhirnya juga harus berhadapan dengan bagian dari kelompok mereka yang ternyata secara perlahan telah menjadi bagian dari kelompok penguasa kapital baru. Para juragan sawit yang berasal dari kelompok penduduk lokal dan juga pendatang merupakan wujud alih rupa dari kuasa perkebunan yang muncul. Dalam konteks adverse incorporation, mereka inilah yang menjadi bagian dari kelompok yang diuntungkan dengan kehadiran sawit. Keterlibatan atau integrasi kelompok ini dalam skema bisnis sawit, telah memungkinkan mereka untuk mengakumulasi sumber-sumber kapital baru. Kelompok yang satu ini bisa mengakumulasi keuntungan yang lebih besar dari sawit-sawit yang mereka kumpulkan dari petani kecil. Kata Kunci Kata Kunci Kata Kunci Kata Kunci Kata Kunci: Suku Anak Dalam, Sawit, konflik, kemitraan A. Pengantar Masyarakat Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi menerima kebun sawit seluas 1.000 hektar dari PT Asiatic Persada, grup perusahaan Wilmar Interna- tional, yang diharapkan bisa mengangkat kesejah- teraan mereka. Selama kredit pengelolaan kebun sawit itu belum lunas, kira-kira selama lima tahun, setiap kepala keluarga akan menerima uang hasil kebun sekitar Rp750 ribu per bulan, setelah kredit lunas, pendapatan per kepala keluarga bisa dua kali lipat”, (Media Swara, 17 Juni 2010). Konflik perkebunan dengan komunitas lokal atau masyarakat adat adalah satu dari sekian persoalan konflik agraria di Indonesia yang tercatat sebagai persoalan yang dari tahun ke tahun menunjukkan tren yang terus meningkat. Seperti dikutip oleh Saturi (2013), akar konflik 1 Ditulis berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh tim riset sistematis Jambi (Bambang Suyudi, Tanjung Nugroho, Deden Dani Saleh, Heru Purwandari, Dwi Wulan Pujiriyani, Widhiana Hestining Puri) yang dilaksanakan pada 13-23 September 2011. * Staf pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.

Upload: others

Post on 01-Dec-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

SUKU ANAK DALAM BATIN 9DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR LAHAN SAWIT ASIATIC PERSADA1

Dwi Wulan Pujiriyani* & Widhiana Hestining Puri*

AbstractAbstractAbstractAbstractAbstract: This paper seeks to explore the case of conflict within palm oil plantation-local people partnership involving SADBatin 9 group with palm oil company. Bungku village was the site chosen to take this issue comprehensively.The expansionofpalm oil plantationshave led totheloss ofliving territoryto developtheir social system. Conflictsarisenot onlyverticalbutalsohorizontal. Amongst the Inner SAD 9 itself, each fighting for its sovereignty emerged. SAD groups which were impover-ished by imbalanced control structure eventually have to deal with a part of their own group which slowly became part of the newruling capital group. The palm oil skipper that came from a group of local residents as well as newcomers were the form of theemerging plantation power. In the context of adverse incorporation, they were part of the group that get benefit from thepresence of palm oil plantation. Involvement or integration of this group in the oil business scheme has allowed them toaccumulate new capital sources. This group could accumulate greater profits from palm-oil they collect from small farmers.Key words: Suku Anak Dalam, palm oil, conflict, partnership

IntisariIntisariIntisariIntisariIntisari: Tulisan ini berupaya untuk menelusuri kasus konflik kemitraan perkebunan dengan masyarakat yang melibatkan kelompokSAD Batin 9 dengan perusahaan sawit. Desa Bungku merupakan lokasi yang dipilih untuk bisa memotret persoalan ini secarakomprehensif. Ekspansi perkebunan sawit telah menyebabkan masyarakat kehilangan kawasan hidup untuk mengembangkansistem sosial mereka. Konflik yang muncul tidak saja bersifat vertikal melainkan horizontal yaitu konflik yang terjadi diantarasesama kelompok SAD Batin 9 yang masing-masing memperjuangkan kedaulatannya. Kelompok-kelompok SAD yang dimiskinkanoleh struktur penguasaan yang tidak seimbang ini, pada akhirnya juga harus berhadapan dengan bagian dari kelompok mereka yangternyata secara perlahan telah menjadi bagian dari kelompok penguasa kapital baru. Para juragan sawit yang berasal dari kelompokpenduduk lokal dan juga pendatang merupakan wujud alih rupa dari kuasa perkebunan yang muncul. Dalam konteks adverseincorporation, mereka inilah yang menjadi bagian dari kelompok yang diuntungkan dengan kehadiran sawit. Keterlibatan atauintegrasi kelompok ini dalam skema bisnis sawit, telah memungkinkan mereka untuk mengakumulasi sumber-sumber kapitalbaru. Kelompok yang satu ini bisa mengakumulasi keuntungan yang lebih besar dari sawit-sawit yang mereka kumpulkan daripetani kecil.Kata KunciKata KunciKata KunciKata KunciKata Kunci: Suku Anak Dalam, Sawit, konflik, kemitraan

A. Pengantar

“Masyarakat Suku Anak Dalam di Provinsi Jambimenerima kebun sawit seluas 1.000 hektar dari PTAsiatic Persada, grup perusahaan Wilmar Interna-tional, yang diharapkan bisa mengangkat kesejah-

teraan mereka. Selama kredit pengelolaan kebunsawit itu belum lunas, kira-kira selama lima tahun,setiap kepala keluarga akan menerima uang hasilkebun sekitar Rp750 ribu per bulan, setelah kreditlunas, pendapatan per kepala keluarga bisa dua kalilipat”, (Media Swara, 17 Juni 2010).

Konflik perkebunan dengan komunitas lokalatau masyarakat adat adalah satu dari sekianpersoalan konflik agraria di Indonesia yangtercatat sebagai persoalan yang dari tahun ketahun menunjukkan tren yang terus meningkat.Seperti dikutip oleh Saturi (2013), akar konflik

1 Ditulis berdasarkan hasil penelitian lapangan yangdilakukan oleh tim riset sistematis Jambi (Bambang Suyudi,Tanjung Nugroho, Deden Dani Saleh, Heru Purwandari,Dwi Wulan Pujiriyani, Widhiana Hestining Puri) yangdilaksanakan pada 13-23 September 2011.

* Staf pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.

Page 2: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

123Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

di sektor perkebunan terutama disebabkan olehtingkat konversi hutan menjadi sawit yangmenyebabkan deforestasi yang sangat parah.Sumatera dan Kalimantan adalah dua wilayahyang memiliki karakteristik konflik serupa inidimana ekspansi kawasan hutan luas yang dija-dikan perkebunan sawit menyisakan konflikberupa klaim komunitas lokal atau masyarakatadat dengan negara maupun perusahaan. Lajuinvestasi perkebunan sawit telah memperkuattekanan terhadap lahan.

Berbagai penelitian yang telah dilakukan me-nunjukkan bahwa konflik antara masyarakatlokal dengan perusahaan pengelola perkebunanyang terjadi akibat ekspansi perkebunan sawit,jamak berawal dari pengingkaran terhadap kebe-radaan komunitas lokal atau masyarakat adatyang telah turun temurun mencari penghidupandi tanah-tanah yang telah diubah menjadi ka-wasan perkebunan. Mengacu pada Djuweng danDove dalam Julia (2009), aspek yang paling tam-pak dari relasi antara masyarakat adat dengannegara adalah penyangkalan terhadap kesahihanposisi/keberadaan yang satu terhadap yang lain.2

Negara tidak mengakui keberadaan masyarakatadat dan sementara itu masyarakat adat juga tidakmengakui klaim negara terhadap tanah leluhurmereka. Tanah yang merupakan hal fundamen-tal bagi hampir seluruh kelompok masyarakatadat dan masyarakat lain yang bergantung kepa-da hutan, merupakan kunci perdebatan dalamisu perkebunan kelapa sawit. Pada saat dimanabanyak kelompok masyarakat adat harus tinggaldi tanah yang sama untuk beberapa generasi,hak-hak mereka terhadap tanah tersebut jugatidak jelas dalam hukum Indonesia (Marti, 2008).

Sementara itu White (2009) menyebutkanbahwa sebagian besar ekspansi sawit di Indone-sia dan beberapa negara lainnya dilakukan di ta-nah-tanah luas yang penguasaannya tidak (be-lum) dilindungi oleh hukum yang mengatur hu-bungan-hubungan hak milik pribadi, tetapimempunyai status tanah ‘publik’ atau ‘negara’.3

Tanah-tanah ini memberi penghidupan bagijutaan petani dan pengguna hutan di bawah be-ragam kedudukan hubungan tidak resmi dansemi-resmi atau ‘adat’, individu atau kolektif. Halini pada kenyataannya berdampak luas pada matapencaharian penduduk di pedesaan. Status kepe-milikan tak resmi dan tidak pasti, dimana banyakpetani dan pengguna hutan mengusahakan la-han ini, membuat mereka rentan. Di banyak ne-gara dimana proyek-proyek biofuel berkembang,ada keprihatinan luas tentang pelanggaran seriusbaik terhadap hak atas tanah dan hak asasi,dengan banyaknya ketidakberesan dalam caramendapatkan tanah serta cara memperlakukanpetani yang dilakukan oleh perusahaan modalbesar. Banyak terjadi kasus penipuan dalam pro-ses pengadaan lahan, seperti skema inti-plasmadimana penduduk menyerahkan tanah adatmereka dan hanya sebagian kecil diantaranyayang dikembalikan, pengambilalihan lahan tanpasepengetahuan masyarakat setempat dan penye-waan tanah dengan harga yang sangat rendah.4

Hal serupa juga ditegaskan oleh Colchester(2006) yang dalam penelitiannya mengenai dam-pak ekspansi perkebunan kelapa sawit di Lam-

2Lebih lanjut lihat Julia. 2009. “Pembangunan untukSiapa? Implikasi Jender Perkebunan Kelapa Sawit terhadapPerempuan Dayak Hibun di Kalimantan Barat, Indonesia.Dalam Jurnal Tanah Air, Edisi Oktober-Desember, hal194-235.

3Tulisan merupakan respon yang dilakukan penulisterhadap Instruksi Presiden No 1 Tahun 2006 untukmenyediakan 27 juta ha lahan yang disebut “tanah hutanyang tidak produktif untuk ditanami kelapa sawit, tebu,jagung dan jarak pagar untuk penyediaan biofuel.

4Hal ini salah satunya dilakukan oleh perusahaanDaewoo Logistics Korea yang menyewa tanah seluas 1juta hektar dengan harga 6 milyar $. Lebih lanjut lihat BenWhite. 2009. “Laba dan Kuasa Dicat Warna Hijau: CatatanMengenai Biofuel, Agribisnis dan Petani”. Dalam JurnalTanah Air, Edisi Oktober-Desember, hal 238-257.

Page 3: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

124 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

pung, Kalimantan, dan Padang, menyebutkanbahwa konflik berawal dari masyarakat yangmerasa ditipu oleh perusahaan. Mereka merasadijebak dalam kesepakatan dan janji-janji palsu.Beberapa penyimpangan yang ditengarai terjadiantara lain: hak ulayat tidak diakui; perkebunankelapa sawit dibangun tanpa perizinan dari pe-merintah; informasi tidak diberikan kepadakomunitas; kesepakatan untuk mufakat tidakdirundingkan; pemuka adat dimanfaatkan un-tuk memaksakan penjualan tanah; pembayarankompensasi tidak dilaksanakan; keuntunganyang dijanjikan tidak diberikan; kebun untukpetani tidak dibagikan atau dibangun; petanidibebani dengan kredit yang tidak jelas; kajianmengenai dampak lingkungan terlambat dila-kukan; lahan tidak dikelola dalam waktu yangditentukan, penolakan masyarakat ditekan mela-lui kekerasan dan pengerahan aparat; sertapelanggaran hak asasi manusia serius.5

Dalam konteks ekspansi sawit yang terjadi diSumatra atau secara spesif ik di Jambi, McCharty(2011) memunculkan konsep ‘inclusion’ dan‘adverse incorporation.’ Dalam hal ini, kehadiransawit telah mengintegrasikan masyarakat lokaldan mengubah pola hidup subsistennya untukkemudian terintegrasi dalam sebuah rantai ko-

moditas global. Jebakan kemiskinan adalah pot-ret yang pada akhirnya muncul. Keterlibatanmereka dalam skema kemitraan dengan perke-bunan baik melalui PIR Trans maupun KKPA,pada kenyataannya tidak sepenuhnya mampumenjawab harapan tentang kemakmuran danpengentasan kemiskinan. Sawit mendatangkankemakmuran bagi sebagian dan sekaligus jugamenghadirkan kemiskinan bagi yang lain. Kemis-kinan tidak terjadi karena mereka tidak bisamengambil bagian dalam proses transformasiagraria yang ada, tetapi karena keterlibatan me-reka dalam sebuah skema yang tidak mengun-tungkan (inclusion on disanvantageous term).Berbagai proses yang mensubordinasikan masya-rakat terjadi dari mulai: status tanah plasma yangtidak jelas, tidak adanya komitmen pihak per-kebunan untuk menjalankan pola kemitraandengan baik, elite lokal yang memanfaatkan ke-sempatan dengan mengintimidasi masyarakatuntuk menjual tanahnya, kurangnya kontrol pro-ses dan kelembagaan dan sebagainya. Padaakhirnya yang terjadi adalah sebagian masyarakatlokal tetap miskin dan banyak yang justru kehi-langan tanahnya.

Hal serupa juga dimunculkan oleh Fortin(2011) dalam kasus ekspansi sawit yang terjadidi Sanggau, Kalimantan Barat. Transformasiagraria yang terjadi seiring dengan masuknyasawit, telah menghadirkan kemakmuran dankesejahteraan bagi sebagian orang dan kemis-kinan yang kronis bagi sebagian yang lain. Ske-ma intiplasma yang diperkenalkan sebagai modelpengembangan pertanian telah menyebabkanpenyingkiran dan ketimpangan akses terhadaptanah. Diferensiasi pedesaan melalui mekanismeintiplasma telah memungkinkan sebagian orangberhasil mengakumulasi kapital dan memperluasproduksi serta penguasaannya sementara seba-gian yang lain terpaksa harus tersingkir tanpakompensasi dan keberlanjutan kebun plasmanya.Petani terjebak pada rantai hutang yang tidak

5Hal ini menunjukan bahwa masyarakat adat Indonesiasecara sistematis tersingkir dari warisan leluhur mereka(tanah, hutan, sumber penghidupan dan budaya) olehperkebunan kelapa sawit tanpa menghargai hak dankepentingan mereka. Walaupun konstitusi Indonesiabertujuan untuk melindungi hak masyarakat adat, sejumlahkebijakan dan hukum memungkinkan hak tersebut diabaikan‘demi kepentingan nasional’. Bahkan ketika perundingandengan masyarakat terjadi, mereka tidak pernah diberikankesempatan untuk mengatakan ‘tidak’ atas pengambil-alihantanah mereka, dan tidak pernah diberitahukan bahwa hak-hak mereka dihapuskan dalam proses pembangunanperkebunan. (Lebih lanjut lihat Colchester, et al. 2006. Prom-ised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia: Im-plication for Local Communities and Indigenious People. Eng-land: Forest People Programme (FPP); Bogor: Perkum-pulan Sawit Watch).

Page 4: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

125Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

bisa terselesaikan. Transformasi dari modeproduksi subsistensi ke komoditas produksi telahmemicu tersubordinasinya kelompok petani daripasar komoditas yang pada akhirnya menyebab-kan tereleminasinya kelompok petani akibat pro-ses industrualisasi yang terjadi. Kehadiran sawittelah memicu terjadinya tranformasi agraria, danmemunculkan pola inclusion, exclusion danadverse incorporation yang ditandai denganperubahan kepemilikan aset-aset pertanian darikelompok miskin serta distribusi sosial kekuasa-an di daerah pinggiran yang berlangsung dalamproses yang lebih panjang. Salah satu aspekkunci dalam adverse incorporation adalah relasipetani plasma yang seringkali tidak memahamikewajiban, resiko dan kesempatan ketika merekamenandatangani kontrak pertanian denganperusahaan sawit dimana relasi produksi yangterjadi biasanya sangat monopolistik dan mono-psonistik. Terlebih lagi melalui kerjasama KUDdan KKPA, petani plasma tidak bisa mengetahuikeuntungan yang diperoleh dengan transparan.

Kelindan persoalan akibat ekspansi perke-bunan monokultur dan perubahan status ka-wasan hutan salah satunya terekam jelas dalamkonflik Suku Anak Dalam Batin 9 dengan PTAsiatic Persada sebagai perusahaan pemegangHGU. Hamparan sawit yang pada awalnya da-tang dengan sebuah janji tentang kemakmuranbagi komunitas lokal yang selama ini dengansetia telah menggantungkan kehidupannya padakemurahan hutan ternyata harus dibayar mahaldengan berbagai persoalan dari mulai tumpangtindih klaim penguasaan tanah sampai peming-giran dan penggusuran. Hutan Jambi yang kaya,pada kenyataannya justru membawa petaka per-

soalan yang tidak ada habisnya.6 Bagi masyarakatSAD, sawit merupakan komoditas pertanian baruyang berbeda dengan penghidupan mereka sela-ma ini yang berbasis pada hutan. Cerita tentang‘emas hijau’ bagi masyarakat SAD adalah bagiandari skema internasionalisasi pertanian yang me-nempatkan mereka dalam satu lingkar bisnis rak-sasa dimana mereka dipaksa untuk keluar dariproduksi tanaman pangan tradisional dan meng-gantikannya dengan kewajiban untuk tundukpada eksploitasi dalam bentuk kontrol ataslahan, tenaga kerja, dan sumber daya lainnya.

Ekspansi perkebunan sawit merupakan ba-gian dari skenario kapitalisme yang bisa dilekat-kan dengan pyramid of sacrif ise dari Berger(1982:xiv-xvii). Standar kehidupan material yangtinggi atau kesejahteraan yang ditawarkan dalamskema bisnis sawit telah menempatkan tanah-tanah yang kini menjadi hamparan kebun sawititu menjadi lahan perebutan dari mereka yangmengklaim sebagai pemilik sah dan merasa pal-ing berhak untuk mengambil manfaat penuhdari tanah-tanah tersebut. Tulisan ini lebih lanjutakan membahas persoalan konflik yang munculakibat ekspansi perkebunan sawit melalui potretpemberian 1000 hektar lahan sawit dari PT Asiatic

6 Hutan di Jambi sebagaimana dicatat Handini(2005:135), memang telah mengalami perubahan signifikanpada beberapa dasawarsa terakhir. Pembukaan dan eksploi-tasi hutan untuk berbagai kepentingan yang meningkat sejaktahun 1970-an membuat wilayah hutan di Jambi semakin

berkurang. Pengembangan wilayah transmigrasi, pene-bangan liar, dan perubahan peruntukan hutan telah mere-duksi kuantitas serta kualitas lingkungan hutan. Bohmer(1998:1-3) dalam Prasetijo (2011:18) menambahkan bahwapada tahun 1970 lingkungan alam di Jambi sebenarnya sudahmulai berubah drastis sejak adanya program pembukaanhutan untuk lahan hutan produksi (HTI), pemukimantransmigrasi, pengembangan pertanian dan perkebunan,serta proyek peningkatan infrastruktur. Kegiatan-kegiatanini berdampak pada terjadinya kebakaran hutan yang tidakterkontrol serta pembukaan hutan dilakukan terus menerus,sehingga menyebabkan penurunan kualitas lingkungan didataran rendah Jambi. Proyek transmigrasi berikut proyek-proyek pendukung lainnya, seperti perkebunan sawit,pemukiman, dan jalan, mempengaruhi perubahan lingkungandi dataran rendah Jambi secara luas. Proyek-proyek terse-but mengubah fungsi hutan, dari hutan primer ke kawasanperkebunan dan pemukiman secara cepat.

Page 5: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

126 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Persada sebagai pihak operasional perkebunandengan masyarakat SAD Batin 9. Seperti halnyaprogram transmigrasi besar-besaran pada tahun1974 yang telah meminggirkan keberadaan mere-ka, saat ini ekspansi perkebunan sawit pundengan cepat telah mengambil hutan yang sela-ma ini menjadi sumber penghidupan mereka.Kasus pemberian 1000 hektar lahan sawit sebe-narnya bisa dikatakan sebagai salah satu strategiperusahaan untuk meminimalisir konflik denganmasyarakat. Hal ini dimungkinkan karena begitubanyaknya kasus sengketa yang muncul akibatbanyak tanah yang dikonversi menjadi perke-bunan sawit. Sengketa tanah adat ini padakenyataannya juga berkembang terkait polakemitraan perkebunan kelapa sawit.

B. Wajah Perkebunan Sawitdi Kabupaten Batang Hari

Sawit memang layak disebut sebagai ‘emashijau’ karena keuntungan yang ditawarkan daribisnis komoditi yang satu ini memang benar-benar menggiurkan. Di Indonesia sendiri, sawitmerupakan salah satu produksi perkebunanterbesar. Sampai saat ini Indonesia masih me-nempati posisi teratas sebagai negara produsenminyak kelapa sawit (CPO) terbesar dunia,dengan produksi sebesar 19,4 juta ton pada 2009.Sektor minyak kelapa sawit Indonesia memangmengalami perkembangan yang berarti, hal initerlihat dari total luas areal perkebunan kelapasawit yang terus bertambah yaitu menjadi 7,3 jutahektar pada 2009 dari 7,0 juta hektar pada 2008.Sedangkan produksi minyak sawit (crude palmoil/CPO) terus mengalami peningkatan dari ta-hun ke tahun dari 19,2 juta ton pada 2008 me-ningkat menjadi 19,4 juta ton pada 2009.Sementara total ekspornya juga meningkat, pada2008 tercatat sebesar 18,1 juta ton kemudianmenjadi 14,9 juta ton sampai dengan September2009. Dalam 10 tahun terakhir luas areal per-kebunan kelapa sawit di Indonesia terus mening-

kat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 8,7%per tahun dari hanya seluas 3.902 ribu ha pada1999 meningkat menjadi 7.321 ribu ha tahun2009.

Produk minyak sawit di Indonesia meningkatdengan pesat sejalan dengan peningkatan luas-nya areal perkebunan kelapa sawit tersebut. Kela-pa sawit merupakan tanaman penghasil minyakyang berperan penting dalam perekonomiandunia, baik sebagai bahan baku industri dalamnegeri maupun diekspor. Pada saat ini tanamankelapa sawit di Indonesia diusahakan oleh perke-bunan pemerintah, swasta, dan perkebunanrakyat. Dalam lima tahun terakhir, kelapa sawitterus berkembang menjadi salah satu komoditasekspor andalan Indonesia. Kue konsumsi minyakkelapa sawit mentah di pasar minyak nabati glo-bal pun terus meningkat.7 Minyak kelapa sawittelah menjadi bahan baku yang sangat pentingbagi berbagai industri makanan, komestik danyang terbaru sebagai sumber energi.8

Perkembangan pesat perkebunan kelapasawit dimulai pada akhir tahun 1980-an, ketikaperkebunan besar swasta (PBS) mulai masuk kesektor perkebunan dan pengolahan minyak kela-pa sawit dalam jumlah besar. Sebelumnya perke-bunan kelapa sawit didominasi oleh perkebunan

7 Itaibnu. 2011. Merawat Emas Hijau.www.bakti.org.Diakses 24 November 2011

8 Jika dirunut dari jejak historisnya, kelapa sawitpertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1911, dibawaoleh Adrien Hallet yang berkebangsaan Belgia. Empatpohon sawit pertama dibawa dari Congo untuk kemudianditanam di Kebun Raya Bogor untuk melihat kecocokannyadengan iklim dan tanah di Indonesia. Hasil perkembang-biakan dari tanaman induk inilah yang kemudian menjadicikal bakal perkebunan sawit pertama di Sumatra,SOCFINDO yang masih ada hingga hari ini. Benih indukdari Kebun Raya Bogor ini jugalah yang kemudian dibawake Malaysia sebagai awal perkebunan kelapa sawit di Ma-laysia. Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indone-sia, pada masa-masa awal sesungguhnya relatif lambat. Barupada tahun 1980-an terjadi ‘booming’ kelapa sawit hinggahari ini permintaan terus meningkat.

Page 6: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

127Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

milik negara (PBN). Sejalan dengan harga CrudePalm Oil yang terus meningkat maka selain per-kebunan swasta besar, maka petani kecil mulaimenanam kelapa sawit. Semula kebun sawitmilik rakyat dibangun dalam skema inti plasmadengan perkebunan besar baik swasta maupunmilik negara sebagai inti, namun kemudian per-kebunan rakyat (PR) semakin berkembang dilu-ar skema inti plasma. Saat ini PBS mendominasiluas areal perkebunan sawit di Indonesia. Padatahun 2009 dari total areal perkebunan kelapasawit nasional seluas 7.077 ribu ha, sekitar 3.501ribu ha (49,47%) diusahakan oleh perkebunanbesar swasta (PBS), sedangkan 2.959 ribu ha(41,80%) diusahakan oleh perkebunan rakyat(PR) dan selebihnya 617 ribu ha (8,73%) adalahmilik PBN.9

Dalam skema bisnis sawit di Indonesia, Suma-tera merupakan salah satu wilayah yang tercatatmemiliki luasan perkebunan yang paling besaryaitu sebesar 4.280.094 ha atau 76,46% dari to-tal areal perkebunan kelapa sawit nasional. Tidakmengherankan kalau gerak industri sawit diwilayah ini begitu masif.10 Kebijakan tingkat lokalmaupun nasional mengarahkan Sumatera seba-gai pemasok energi alternatif terbarukan yangberasal dari biofuel sawit. Master plan MP3EImenyatakan bahwa koridor ekonomi sumateradiarahkan sebagai Sentra Produksi dan Pengo-lahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional.Kegiatan ekonomi utama di 11 daerah pusatekonomi diarahkan pada produksi kelapa sawit,

salah satunya adalah Jambi. Untuk Propinsi Jam-bi sendiri, kelapa sawit merupakan komoditasperkebunan yang sangat dominan dengan luaslahan 574,514 ha. Hal ini didukung dengan pro-gram Pemerintah Daerah Propinsi Jambi yaitu“Pengembangan Kelapa Sawit Sejuta Hektar”.Saat ini tidak kurang dari 30-an perusahaan sawityang beroperasi di wilayah ini. Sawit dapat dite-mukan di di tujuh kabupaten yaitu Batanghari,Muaro Jambi, Bungo, Sarolangun, Merangin,Tanjung Jabung Barat dan Tebo.

Sawit memang tidak pernah datang tanpacerita. Masifnya ekspansi kebun sawit yang ter-jadi di Jambi pada kenyataannya hadir bersamawacana krisis ketahanan pangan lokal sertabenih-benih pemicu ekskalasi konflik yang terusmemanas. Menurut catatan Yayasan SETARA,perkebunan kelapa sawit di propinsi Jambi yangmencapai 480.000 Ha hingga tahun 2008 telahbanyak melahirkan konflik sosial yang 99 konfliksosial diantaranya, tidak pernah selesai sampaisaat ini. Upaya-upaya penyelesaian yang munculpun pada dasarnya tidak permanen sehinggatidak mengherankan jika kemudian konflik bisamuncul kembali dengan mudah. Lemahnyapenataan ruang bagi areal-areal yang diperun-tukkan bagi perkebunan kelapa sawit jugadituding sebagai salah satu pemicu semakinmenurunya areal-areal pangan lokal milik masya-rakat. Banyak areal padi milik masyarakat yangtelah berganti menjadi kebun sawit dan diusaha-kan baik oleh perkebunan besar kelapa sawit mau-pun oleh masyarakat sendiri.

Kabupaten Batanghari juga merupakan salahsatu wilayah Propinsi Jambi yang juga memilikicerita tentang perkebunan sawit. Sawit meru-pakan komoditi tanaman perkebunan terbesar diwilayah ini dengan produksi utama di kecamatanBajubang sebanyak 76,43 persen. Ada beberapaperkebunan besar yang beroperasi di wilayah iniseperti dapat dicermati dalam tabel berikut ini:

9Pada periode 1999-2009, pertumbuhan luas arealperkebunan besar negara hanya relatf kecil yaitu meningkatrata-rata 1,73% per tahun. Sedangkan pertumbuhan terbesarterjadi pada perkebunan rakyat yang mencapai tingkatpertumbuhan rata-rata 12,01% per tahun. Sementaraperkebunan besar swasta meningkat rata-rata sekitar 5,04%per tahun.

10 www.datacon.co.id diakses 14 november 2011,INDUSTRI PALM OIL DI INDONESIA, Novem-ber 2009

Page 7: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

128 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Tabel. 1. Pelaku Usaha di KabupatenBatanghari

Sumber: www.regionalinvestment.com

Kehadiran perkebunan-perkebunan besar diKabupaten Batanghari bukan tanpa masalah.Kehadiran mereka pada kenyataannya telahmenciptakan berbagai macam bentuk konflik.Seperti dicatat oleh Persatuan Masyarakat Kor-ban Perkebunan Sawit (2009), ratusan bahkanribuan hektar tanah, lahan dan kebun masyara-kat telah di rampas oleh perusahaan perkebunan,terutama perusahaan perkebunan besar. Kasus-kasus yang terjadi di PT. Sawit Jambi Lestari, PT.Sacona Persada PT. Sawit Desa Makmur, PT.Maju Perkasa Sawit, PT. Jammer Tulen dan PT.Asiatic Persada yang berada dibawah benderaAsiatic Persada Group/Wilmar Group merupa-kan salah satu bukti betapa berkuasanya perusa-haan perkebunan besar. Dalam hal ini, Peme-rintah Daerah Kabupaten Batanghari dipandangkurang bisa mengambil sikap tegas untuk ber-pihak pada rakyatnya. Kehadiran perusahaantelah banyak menimbulkan kerugian fatal, baikbagi rakyat maupun bagi Negara. Ada beberapaindikasi pelanggaran yang teridentif ikasi dianta-ranya: membuka lahan perkebunan sawitdengan mengambil tanah, lahan dan kebun milikmasyarakat secara paksa; memperluas kebun(kelebihan luasan HGU) hingga mencaplok ta-nah milik warga; menelantarkan lahan-lahan intidan plasma dalam waktu yang cukup lama; sertatidak membayar pajak kepada negara.

C. Kesejahteraan Semu: Berkah TandanSawit di Desa Bungku

Desa Bungku merupakan salah satu potretdesa di wilayah Kecamatan Bajubang, KabupatenBatanghari yang mengalami perubahan akibatekspansi perkebunan sawit.11 Kekhasan desaBungku ini seperti beberapa desa lain di Keca-matan Bajubang, adalah pohon sawit yang men-jadi primadona tak hanya di kebun, tetapi jugaditanam sebagai peneduh dan tanaman peka-rangan. Desa Bungku memang tercatat sebagaisalah satu desa yang memiliki potensi di bidangperkebunan kelapa sawit dan karet. Untuk per-kebunan sawit sendiri, desa ini memiliki perke-bunan seluas seluas 50.000 hektar yang penge-lolaan terbesarnya berada di pihak swasta.

Sebelum sawit menjadi primadona, kononDesa Bungku merupakan daerah hutan rawayang lebat. Dengan jumlah penduduk yangmasih terbilang sedikit, sebuah sungai yangmelintas wilayah perkampungan menjadi salahsatu media transportasi yang sangat berperanpada saat itu. Desa Bungku masa lalu hanyadidiami oleh beberapa kelompok suku yangsering disebut Suku Anak Dalam (SAD).12 Seiringberjalannya waktu, banyak masyarakat dari luardesa Bungku yang mulai mengetahui bahwahutan desa Bungku menyimpan banyak pundi-pundi yang berasal dari ‘kayu bulian’. Kayu bulianinilah yang pada akhirnya membawa banyakpendatang masuk ke desa Bungku untuk

Nama Perusahaan Komoditi Jenis Produksi

PT Adora MasSumatra Plantation

Perkebunan Kelapa sawit

PT Cipta PrasastiLestari

Perkebunan Kelapa sawit TBS (Tandan Buah Segar

PT Citra Quinta Perkebunan Kelapa sawit TBSPT Angso Duo SawitSejahtera

Industri PengolahanKelapa sawit menjadiCPO dan inti kernel

CPO dan inti sawit

PT Asiatic Persada Perkebunan kelapa sawitdan pengolahannya

TBS, CPO dan INRI

PT Berkat JayaPangestu

Perkebunan sawit danpengolahannya

TBS, CPO, dan INRI

11Mengacu pada data Kantor Camat Bajubang, 2005,Desa Bungku memiliki luas 40.000 ha dengan jumlahpenduduk 5782 jiwa dan jumlah kk 1589. Desa ini secaraadministratif di sebelah utara berbatasan dengan DesaPompa Air, sebelah selatan berbatasan dengan Desa DurianLuncuk, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Singkawangdan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Markandang.

12 Suku Anak Dalam yang mendiami desa Bungku adalahSAD yang berasal dari daerah Sumatera Selatan dan daerahBukit Dua Belas yang membentuk satu kelompok denganjumlah 10 keluarga.

Page 8: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

129Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

mengambil kayu-kayu tersebut. Kayu bulian ada-lah komoditas pertama yang membawa peru-bahan di desa ini. Jalan-jalan mulai diperkerasuntuk jalan mobil para penebang kayu agarmereka dapat membawa keluar kayu mereka.Beberapa tahun kemudian setelah kayu bulianmulai habis dan tidak ada yang dimanfaatkanlagi, para penebang kayu pun meninggalkan hu-tan yang sudah gundul begitu saja dan masuklahperusahaan kelapa sawit mengambil alih penge-lolaan lahan hutan untuk dijadikan lahan perke-bunan kelapa sawit. Masuknya perusahaan sawittelah menjadi magnet yang menarik banyak war-ga dari luar untuk datang dan tinggal di desaBungku.13

Potret kejayaan sawit terlihat jelas dari kontra-diksi yang terekam di desa ini. Desa yang notabe-ne berada di daerah pedalaman yang cukupterpencil ini, ternyata menunjukan perkem-bangan yang cukup memukau. Rumah berjajarrapi di sepanjang jalan desa yang sudah diper-keras dengan aspal. Rumah-rumah tipe kelasmenengah yang berdiri megah dengan desain-desain modernnya dapat dijumpai dengan mu-dah di desa ini. Polesan cat berwarna terang tam-pak menambah elegan tampilan rumah-rumahyang mungkin bisa disebut sebagai ’istana’ parajuragan sawit ini. Rumah-rumah panggung yangseringkali digambarkan sebagai romantismeklasik dari rumah-rumah penduduk asli di bumiSumatera, tidak lagi dijumpai di desa ini. Pa-rabola terlihat bertengger menghias di hampirsetiap atap rumah di desa ini. Parabola tampak-nya memang sudah tidak lagi menjadi simbolstatus sosial melainkan sudah menjadi kebu-tuhan wajib yang tidak bisa ditinggalkan. Pa-

rabola juga sudah menjadi satu paket kebutuhanprimer dengan generator yang menjadi nadi kehi-dupan di desa ini.

Letak desa yang agak terpencil tampaknyajuga tidak menjauhkan desa Bungku dari penga-ruh gaya hidup perkotaan yang konsumtif. Sepe-da motor berbagai jenis merek tampak berlalulalang di sepanjang jalan. Kendaraan besar darimulai truk-truk perkebunan, pick up sampai mo-bil pribadi sekelas avanza pun tidak kalah jum-lahnya.14 Mobil-mobil tampak terparkir denganrapi di depan rumah beberapa warga. Mungkininilah berkah sawit yang konon sering disebut’emas hijau’. Sawit telah menyediakan lembaran-lembaran rupiah yang bisa ditukar dengan segalabentuk kenyamanan hidup.15 Uang tunai cukupbesar yang akan diperoleh petani sawit setiap ha-bis panen, tampaknya menjadi pemicu tumbuhsuburnya gaya hidup konsumtif. Tidak hanyasepeda motor, peralatan elektronik seperti televisi,kulkas, blender, atau mesin cuci juga tampakterpajang dengan rapi di rumah warga. Agaksayang sebenarnya karena beberapa barangtampak tidak difungsikan dengan baik akibataliran listrik yang tidak stabil. Belum masuknyajaringan listrik, membuat warga memanfaatkangenset sebagai sumber energi yang utama. Gensetbiasanya dimaksimalkan pemakaiannya padamalam hari.

13 Para pendatang ini tidak hanya berasal dari wilayahdi seputar Jambi tetapi juga dari Padang, Palembang,Lampung, Medan, Jawa, Madura, Lombok, dan Timor-Timur. Para pendatang ini rata-rata bekerja di sawit (70%),sementara sisanya bekerja di kebun karet (30%).

14 Menurut hasil interview dengan pak Nasri,Kepemilikan kendaraan motor di desa Bungku bisadikatakan cukup fantastis. Jumlah mobil ada sekitar 200-anlebih. Mobil-mobil umumnya berjenis pick up atau trukyang berjumlah sekitar 30-an. Jumlah sepeda motormemiliki angka yang paling tinggi yaitu 2864 unit. Setiapsatu keluarga bisa dipastikan memiliki minimal 1 unit motor.

15Masyarakat rata-rata memiliki lahan seluas 2-4 ha.Dalam sebulan, lahan seluas 2 ha dapat menghasilkan 2xpanen @ 3 ton. Dengan demikian, pendapatan perbulanmencapai 6 ton. Apabila harga per kg mencapai 800 makapendapatan dalam 2 ha sawit mencapai Rp. 4800.000/bulanatau jika petani memiliki 4 ha, maka pendapatan akanmencapai Rp. 960.0000/bulan.

Page 9: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

130 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Sawit tampaknya juga tidak hanya mengubahrumah-rumah panggung menjadi rumah tem-bok berlantai keramik, tetapi telah meninabo-bokan masyarakat dalam kebiasaan hidup yangsantai untuk tidak menyebutnya sebagai ber-malas-malasan. Hal ini salah satunya terlihat daripekarangan rumah yang rata-rata gersang dantidak dimanfaatkan. “Disini orang sudah kaya-kaya, mending beli saja”, begitulah penuturansalah seorang warga ketika memberi penjelasantentang banyaknya pekarangan yang tidak di-manfaatkan. Di desa Bungku sendiri ada sekitar10 tukang sayur yang siap melayani kebutuhanseluruh warga. Warga hanya perlu menunggupara penjaja ini lewat, untuk kemudian memilihbarang yang mereka butuhkan.16

Kehadiran sawit di desa Bungku tidak dapatdilepaskan dari keberadaan Suku Anak Dalam(SAD).17 Desa yang mulai diramaikan oleh pen-datang dari berbagai daerah ini memiliki komu-nitas penduduk asli yang jamak dikenal dengannama Suku Anak Dalam Batin 9 (SAD Batin 9).Kelompok SAD Batin 9 inilah yang dalam ske-nario pemberian 1000 hektar lahan sawit meru-pakan kelompok yang dianggap berhak mem-peroleh limpahan kemurahan hati dari sebuahperkebunan sawit bernama PT. Asiatic Persada.

Kelompok SAD Batin 9 merupakan kelompoketnik yang tersebar di wilayah Jambi bagian timuratau tepatnya di wilayah Muara Bulian. NamaBatin 9 sendiri merupakan identitas etnik yang

bersumber dari keyakinan bahwa nenek moyangmereka berasal dari 9 orang bersaudara yangtinggal di 9 anak sungai Batanghari (Bulian,Bahar, Jebak, Jangga, Pemusiran, Burung antu,Telisak, Sekamis, Singoan). Penguasaan sungaimemberi sebuah orientasi pada ruang yang ke-mudian berdampak pada segi-segi kehidupanSAD Batin IX. Sebagai sumber kehidupan, sungaimenjadi pusat dari segala acuan dalam pola pem-bangunan pemukiman berupa rumah panggungyang berada di sepanjang aliran sungai. Sungaimenjadi gerbang untuk berhubungan dengan or-ang-orang lain di luar wilayah mereka. Aktivitasperdagangan dan pertukaran barang dilakukanmelalui jalur transportasi air, sehingga aliran sungaitidak boleh dibiarkan dangkal dan menyempit.

Keberadaan SAD masa kini tidak dapat dile-paskan dari tren program pemberdayaan. Perludiketahui sebelumnya bahwa nama Suku AnakDalam di Jambi sendiri sudah bak sebuah merkdagang, begitu juga dengan nama SAD Batin 9.Ada banyak lembaga yang lahir dengan mengu-sung nama ‘Suku Anak Dalam’ dalam visi advo-kasi mereka seperti dapat dilihat dalam tabelberikut ini:

Tabel 2. Nama Lembaga yang Memakai NamaSAD sebagai Bagian dari Program Advokasinya

(Sumber: Data primer, 2011)

16Tukang sayur biasanya akan datang lima hari dalamsatu minggu, kecuali hari Jumat dan Sabtu. Mereka membawaberbagai jenis sayuran, ikan, bumbu dapur dan kebutuhandapur lainnya.

17 Merunut pada legenda “Sentano Padang Sembilan”,Desa Bungku adalah desa yang awalnya dihuni olehsekelompok orang yang terdiri dari sepuluh keluarga SADyang berasal dari daerah Sumatera Selatan dan daerah BukitDua Belas. Kelompok yang dipimpin oleh seorang penghulubernama ‘Pati’ inilah yang merupakan leluhur awal kelompokSAD di Desa Bungku.

NO NAMA LEMBAGA

1 Aliansi Masyarakat Peduli Hutan dan Lahan (AMPHAL)

2 Hanura

3 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Lingkungan (YLBHL)

4 Setara Jambi

5 Forum Komunikasi Lintas Adat Suku Anak Dalam

(FORKALA-SAD)

6 Lembaga Bantuan Hukum Buruh (LBH Buruh)

7 Yayasan Masyarakat Adat Orang Kubu Dusun Lamo

Padang Salak, Sei Bahar, Kabupaten Batanghari, Propinsi

Jambi

8 PALM

9 KKI Warsi

10 Yayasan MABU

11 Trisula

12 FORMASKU

13 AMPHAL

14 Gerakan Pembela Masyarakat Jambi (GMPJ)

15 Peduli Bangsa

16 Merdeka

17 Keris

Page 10: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

131Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

Di dalam lembaga-lembaga ini, dengan mu-dah dapat dijumpai suara-suara vokal yang mem-berikan dukungan bagi keberadaan mereka yangseringkali dianggap sebagai kelompok yang ter-pinggirkan. Keterpinggiran mereka ini dilekat-kan dengan berbagai stereotype atau pelabelannegatif seperti dapat dicermati dalam skema beri-kut ini:

Gambar 1. Stereotype Suku Anak Dalam(Sumber: data primer, 2011)

Pelabelan yang dilekatkan pada SAD jugamuncul di desa Bungku seperti dikutip: “Kalaudesa Bungku ini yang paling kubu-kubu, di ujungaspal itu lho, itu yang paling kolotnya. Yang kamu-kamu nak pergi kan, yang kata kamu metak-metak tanah. Itulah kubunya, itulah yang palingkubu.” Pelabelan negatif dilakukan dengan mem-berikan istilah ‘kubu’ untuk membedakan SADdengan masyarakat kebanyakan. Kelompok inimemiliki kebiasaan yang lugu atau diistilahkandengan ’basah-basah kering’ seperti: seperti:menjemur pakaian di depan rumah, mencuci pa-kaian tanpa menggunakan sabun, atau makanbersama dengan hewan peliharaan.

Dalam wacana yang lebih luas, pelabelan yangdiberikan pada SAD pada dasarnya mencitrakanmereka sebagai kelompok yang harus ‘ditolong’,

‘dibantu’, atau ‘diselamatkan’ dari berbagai te-kanan yang mengancam eksistensinya. Citraserupa ini ditumbuhsuburkan oleh pemerintahmelalui program PKMT yang populer pada tahun80-an yang salah satunya hadir dalam bentukpendef inisian Suku Anak Dalam seperti dapatdilihat dari skema berikut ini:

Gambar 2. Skema Pendefinisian Suku AnakDalam (SAD). (Sumber: Data primer, 2011)

Pendefinisian mengenai identitas Suku AnakDalam telah melahirkan satu wacana tersendiribahwa keberadaan mereka memang dianggap‘berbeda’. Dalam kasus SAD, dominasi pendefi-nisian yang lebih banyak berasal dari perspektiforang luar telah menempatkan kelompok SADsebagai satu kelompok yang sama tanpa mem-pertimbangkan bahwa nama SAD mewakili bebe-rapa kelompok etnik yang berbeda di Jambi.

Untuk desa Bungku, pelabelan-pelabelan yangdilekatkan pada SAD juga masih tersisa. Mes-kipun demikian, pelabelan ini memang tidakmuncul dalam batas-batas yang tegas. Prosespembauran yang terjadi antara SAD dengan ke-lompok pendatang, telah memupus pelabelandan mengaburkan batas-batas antara kelompokSAD denga kelompok pendatang. Proses pem-bauran inilah yang pada akhirnya menghadirkanperubahan pada sosok SAD ‘masa kini’ sepertidapat dilihat dalam ilustrasi berikut:

SAD

Miskin

BodohTidak

beragama

Tertutup

Terbelakang/kolot

Kotor/kulit

bersisik

Berbauamis

Bertempat tinggal atau berkelana di

tempat-tempat yang secara

geografik terpencil, terisolir dan

secara sosial budaya terasing atau

masih terbelakang dibandingkan

dengan bangsa Indonesia pada

Keturunan sembilan saudara anak

Raden Ontar: Singo Jayo, Singo

Jabo, Singo Pati, Singo Inu, Singo

Besak, Singo Laut, Singo Delago,

Singo Mengalo, Singo Anum

PENDEFINISIANSAD

pola hidup berpindah, berdiam diri

di dalam hutan, tidak memeluk/

kurang memahami agama islam,

tinggal terpencil,jauh dari

pemukiman masyarakat umum

Keturunan Puyang Semikat dari

Palembang yang menikah dengan

putri Depati Seneneng Ikan yaitu

putri Bayan Riu dan Bayan Lais

Versi pemerintah Versi SAD

Page 11: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

132 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Gambar.3. Bagan SAD “Masa Kini”- SADyang sudah berbaur. (Sumber: data primer, 2011)

Potret kesejahteraan yang tergambar di DesaBungku pada kenyataanya merupakan sebuahpotret dari kesejahteraan sawit yang hanya dira-sakan oleh sebagian kecil masyarakatnya. Spot-spot kemakmuran ini cukup bertolak belakangdengan kondisi sebagian besar masyarakat yangtidak mampu mengambil bagian dalam lingkarbisnis perkebunan sawit. Hal inilah yang mengu-at dalam berbagai benturan yang akhirnya mela-hirkan konflik berkaitan dengan klaim hak atastanah.

D. Perjalanan Konflik Lahan antara SADdan PT Asiatic Persada18

Konflik lahan antara SAD dan PT AsiaticPersada sudah dimulai sejak sebuah perusahaanperkayuan dengan Bendera Asiatik Mas Coorpo-ration, beroperasi di wilayah Sungai Bahar,Batanghari pada tahun 1986. Karena lokasi initelah habis masa eksploitasi kayunya, maka PT.AMC pun mengajukan izin untuk mengelolalahan menjadi kebun kelapa sawit, karet dancoklat. Beberapa anak perusahaan pun akhirnyadibentuk dengan salah satunya bernama PT.Bangun Desa Utama (sekarang diganti dengan

PT Asiatic Persada).PT. Bangun Desa Utama mendapat izin

prinsip HGU berdasarkan SK Menteri DalamNegeri tanggal 01 September 1986 dengan SKNomor 46/HGU/DA/86 sampai akhirnyaterbitlah sertif ikat HGU No. 1 Tahun 1986 padatanggal 20 Mei 1987. Tanah yang dicadangkanoleh Gubernur Jambi untuk dikelola oleh PTBDU pada waktu itu adalah seluas 40.000 Ha.Dalam hal ini ternyata Menhut hanya melepas-kan izin prinsip seluas 27.150 Ha. Ketika diinven-tarisasi oleh BPN, luas tanah yang dikeluarkanijin HGU-nya dan dinyatakan layak untuk dike-lola sebagai kawasan perkebunan hanya seluas20.000 Ha. Sisa luasan sebasr 7.150 Ha yang secaraprinsip telah dikeluarkan peruntukannya olehMenteri, kemudian diberikan oleh gubernurkepada 2 perusahaan di bawah Wilmar Grouplainnya yaitu PT Jammer Tulen dan PT MajuPerkasa Sawit.

Pada tahun 1992, akhirnya PT. BDU bergantinama menjadi PT Asiatic Persada.19 PT. AsiaticPersada beroperasi di wilayah perbatasan Kabu-paten Batanghari dan Kabupaten Muaro Jambiatau tepatnya di wilayah Desa Bungku, Keca-matan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Pro-vinsi Jambi. Secara spesif ik, lokasi HGU AsiaticPersada memiliki batas-batas: sebelah utara(Desa Pompa Air-Tiang Tunggang); sebelah sela-tan (kawasan Hutan eks HPH Asialog, Unit 22 UPTPTPN VI Sungai Bahar dan Desa Tanjung Lebar);sebelah barat ( PTPN VI Sungai Bahar); sebelahtimur (PT. Maju Perkasa Sawit, PT. Jammer Tulen,Kawasan Tahura Senami dan Desa Bungku).Pemilik PT. Asiatic Persada sendiri juga berubah-ubah, mulai dari Andi Senangsyah melalui hold-ing company-nya yaitu Asiatic Mas Corporation,CDC, Cargill, dan terakhir Wilmar InternationalPlantation yang berpusat di Singapura.18 PT. Asiatic Persada adalah perusahaan perkebunan

kelapa sawit dan pengolahan tandan buah segar (TBS)menjadi CPO sebagai produk utama dan sampingan adalahpalm kernel.

SAD

tidak mau tinggal di pinggir jalan,

pemukiman masuk ke dalam hutan

pemukiman menyebar, rumah-rumah mulai

dibangun di sepanjang jalan

mandi sekedar membasahi badan (berendam

di sungai)

Mandi dalam kamar mandi yang dibuat

permanen

Mencuci baju tidak menggunakan sabun,

tetapi dengan memukul -mukulkan kayu ke

pakaian

Mencuci baju sudah dengan sabun bahkan

menggunakan mesin cuci

Makan dan tidur di tempat yang sama

(makan bersama dengan hewan peliharaan)

Makan dan tidur dalam ruangan terpisah di

rumah permanen yang disekat -sekat

Sebelum berbaur Setelah berbaur

19Pergantian nama ini didasarkan pada SK Pengesahandari Menteri Kehakiman No. C2.4726.HT.01.04 Tahun 1992.

Page 12: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

133Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

Keberadaan HGU PT. Bangun Desa Utamayang kemudian berubah menjadi PT.AsiaticPersada sejak tahun 1986 telah membawa dam-pak yang besar bagi masyarakat SAD. Banyakmasyarakat yang terpaksa pindah karena tergusurmaupun sengaja melarikan diri karena tekanandari perusahaan. Tercatat dua tahun sejak terbit-nya HGU ditahun 1987, perusahaan telah mela-kukan penggusuran 3 dusun, yaitu Dusun TanahMenang, Dusun Pinang Tinggi dan DusunPadang Salak.20

E. Proses Perijinan yang “Sumbang”

Secara umum, sebuah perusahaan perke-bunan yang telah berbadan hukum, berhakuntuk mengajukan permohonan hak atas tanahberupa hak guna usaha. Hak guna usaha ini da-pat dipahami sebagai hak untuk mengusahakantanah yang dikuasai langsung oleh negara seba-gaimana ketentuan Pasal 28 UUPA. Dalam Pasal30 selanjutnya dinyatakan bahwa yang dapatmempunyai HGU adalah badan hukum yangdidirikan menurut hukum Indonesia dan berke-dudukan di Indonesia. Atas dasar ini, maka PT.Bangun Desa Utama atau PT. Asiatic Persada ber-hak mengajukan dan memperoleh HGU atasusaha perkebunannya. Sebagaimana diketahuibahwa untuk terbitnya sertif ikat HGU atas suatuperusahaan perkebunan terlebih dahulu harusmelalui tahapan maupun prosedur yaitu: pener-bitan ijin pencadangan wilayah, penerbitan ijinprinsip, penerbitan ijin lokasi, pelepasan kawasanhutan, dan penerbitan sertif ikat HGU. Kesemuaprosedur ini idealnya harus dilalui secara ber-

urutan. Sebuah perusahaan baru bisa dikatakanmemiliki legalitas hukum yang kuat apabila telahmenjalankan setiap prosedur ini. Pada kenya-taannya prosedur penerbitan sertif ikat HGU PTAsiatic Persada tidak melalui proses yang seha-rusnya. Penerbitan sertif ikat HGU ternyata telahkeluar sebelum ada ijin pelepasan kawasan hutandari menteri kehutanan. Selain itu teridentif ikasibahwa berdasarkan kegiatan inventarisasi tataguna hutan tahun 1987, di dalam kawasan hutanyang disiapkan sebagai lokasi PT. Asiatic Persadaternyata mencakup tanah dan lahan milik ma-syarakat. Dalam kasus serupa ini, PT. AsiaticPersada seharusnya berkewajiban untuk menye-lesaikan segala permasalahan yang ada termasukjuga memberikan ganti kerugian atas hak masya-rakat yang terambil.

Terbitnya Surat Keputusan Menhut padatanggal 11 Juli 1987 No. 393/ VII-4/ 1987 TentangInventarisasi dan tata guna hutan menunjukanadanya persetujuan areal hutan seluas 27.150 Hauntuk perkebunan kelapa sawit dan coklat untukPT. Bangun Desa Utama HGU yang ternyata jugameliputi 2.100 Ha kawasan milik masyarakat SAD.Dalam hal ini teridentifikasi bahwa terdapat lahanmasyarakat SAD seluas 2.100 Ha itu ada di dalamkawasan HGU seluas 20.000 Ha. Dalam kawasanseluas 27.150 Ha tersebut juga diketahui bahwasebagian tanah telah dikelola oleh masyarakat,dengan rincian kawasan yang berhutan seluas23.600 Ha, belukar 1.400 Ha dan perladangan seluas2.100 Ha serta pemukiman penduduk seluas 50 Ha.

Gambar 4. Komposisi Penguasaan lahan. HasilInventarisasi Tata Guna Hutan Tahun 1987

20 Pada tanggal 9 Agustus 2011 telah terjadi upayapenggusuran dan intimidasi yang disertai perusakan hartabenda, penjarahan, bahkan kekerasan fisik yang tidak jarangberakhir di penjara tepatnya di daerah Sungai Beruang,Kabupaten Muaro Jambi. Banyak perubahan yang terjadiakibat keberadaan perkebunan tersebut khususnya padawilayah-wilayah masyarakat Batin Sembilan yang masukdalam areal HGU.

Page 13: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

134 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Areal yang menjadi HGU ternyata merupakanlahan-lahan, perkampungan, pedusunan danhutan milik SAD Batin IX yang mendiami SungaiBahar. SAD telah mendiami wilayah ini jauhsebelum perusahaan datang. Beberapa dusunyang masuk dalam kawasan HGU adalah: DusunLamo Pinang Tinggi, Dusun Lamo Padang Salak,Dusun Lamo Tanah Menang, serta beberapapedusunan di wilayah Markanding. Selain pedu-sunan, juga terdapat beberapa lokasi yang meru-pakan ladang dan kebun milik SAD yaitu yangberada di wilayah Bungin. Selain kebun dan pe-mukiman, terdapat juga hutan masyarakat danhutan larangan.

Pada akhirnya, permasalahan yang munculpun semakin kompleks dari mulai: lokasi lahansawit yang diberikan, status pembagian lahan,pola kerja sama SAD dengan perkebunan, ke-lompok SAD lain yang belum memperoleh gantirugi atas tanah adatnya, sampai pada masalahpemekaran kabupaten Muaro Jambi yang mem-bawa akibat sebagian lahan daerah yang masukdalam HGU PT. Asiatic Persada tersebut beradadi wilayah Kabupaten Muaro Jambi.21 Secaralebih jelas, luasan HGU yang mencaplok tanah-tanah milik SAD dapat dicermati pada skemaberikut ini:

Gambar 5. Persebaran wilayah HGU yangberasal dari lahan SAD22

Dari keseluruhan data luasan tanah yangdiklaim oleh kelompok-kelompok SAD yangmasuk dalam HGU PT. Asiatic Persada tersebutseluas 17.937 Ha. Hal ini artinya mencapai hampir70% dari seluruh luasan HGU seluas 20.000 Ha.

Gambar.6. komposisi lahan SAD yang masukdalam areal HGU PT. Asiatic Persada

21 Dengan adanya pemekaran wilayah tersebut, secaraadministratif daerah-daerah tersebut masuk dalamKabupaten Muaro Jambi. Bahkan secara administratifkependudukan masyarakat tercatat sebagai warga muarojambi. Namun ketika permasalahan terjadi misalnya terkaitpencurian sawit atau tuntutan konversi lahan yangbersinggungan dengan PT. Asiatic Persada, maka aparatkepolisian Kabupaten Batanghari merasa berhak bertindakdengan mengacu pada kedudukan hukum HGU PT. Asi-atic Persada.

22 Keterangan: Di batanghari terdiri dari: a) kelompok113: meliputi desa tanah menang, pinang tinggi dan padangsalak seluas 3.070 Ha; b) kelompok Mat Ukup: berlokasidi dekat wilayah 113, meliputi 2.067 Ha; c) Bungku: memanenbuah sawit di wilayah eks PT. Jamer Tulen dan PT. MajuPerkasa Sawit seluas 7.000 Ha. Dari luasan ini 3.000 Haditanami perusahaan dan dari 3.000 Ha ini 1000 Ha dipe-runtukkan bagi kemitraan. Di Muaro Jambi terdiri dari: a)Kelompok KOPSAD (Koperasi Suku Anak Dalam). Ber-ada di wilayah Dsn Markanding, Tanjung Lebar dan Penye-rokan. Secara administratif mereka tinggal di wilayah Kabu-paten Muaro Jambi, namun perladangan mereka termasukdalam areal HGU PT. Asiatic persada yang masuk dalamwilayah Kabupaten Batanghari seluas 519 Ha; b) KelompokTani Persada. Mengklaim lahan seluas 5.100 Ha yang padatahun 1999 dilakukan pembukaan lahan untuk jalan poros,perintisan, dan penataan pemukiman. Namun setelah dila-kuakn pengukuran ulang, lahan ini masuk dalam areal HGUPT. Asiatic Persada. Artinya, ada indikasi perluasan wila-yah HGU; c) SAD Sungai Beruang, Sungai Buaian, danDanau Minang di Tanjung Lebar. Mengklaim lahan garapanseluas 157 Ha dan pemukiman seluas 24 Ha.

Page 14: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

135Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

Pada dasarnya terdapat banyak kelompokyang mengklaim diri sebagai masyarakat SADyang berhak atas lahan yang saat ini menjadiareal HGU PT. Asiatic Persada. Sebaran daripenguasaan-penguasaan lahan di areal HGU PT.Asiatic Persada pada tahun 2004 tersebut dapatdilihat pada gambar berikut ini.

Gambar. 7. Peta sebaran penguasaan/penggarapan di lahan HGU PT. Asiatic (1986)

Dalam rangka memantapkan data penguasa-an tanah, khusus untuk lokasi HGU PT. AsiaticPersada seluas 20.000 Ha, Kanwil BPN ProvinsiJambi sudah melakukan pengukuran dan pen-dataan yang berakhir pada bulan Januari 2006pada garapan/penguasaan masyarakat SAD danPIR-TRANS PTPN VI dengan perincian yang da-pat dicermati dalam tabel berikut:

Tabel 3. Penguasaan Tanah di Lahan HGUPT. Asiatic Persada

Sumber : BPN, Januari 2006

Dari luasan lahan tersebut, PT. Asiatic Persa-da faktanya juga melaksanakan kegiatan opera-sional kebun sawit di lokasi PT. Maju PerkasaSawit dan PT. Jamer Tulen. BPN setempat secaratersirat juga membenarkan pada pernah ada

Surat Kakantah Batanghari kepada Setda padatahun 2007 perihal pengecekan luas lahan PT.Asiatic Persada yang isinya menyebutkan bahwalahan sawit PT. Asiatic Persada eksisting telahmelampaui areal HGU yang diberikan. Salah satustaf BPN Kabupaten Batanghari juga menyebut-kan kalau lahan PT Jamer Tulen telah melebihiareal pelepasan, dan telah masuk ke area kehu-tanan seluas 512 Ha. Inilah yang menjadi pokokmasalah sehingga HGU Jamer Tulen tidak dapatterbit, di samping konflik yang terjadi.

F. Pola Kemitraan

Meskipun tidak jelas koordinatnya perja-lananan panjang pemberian kompensasi 1.000Ha lahan sawit yang diwacanakan oleh peru-sahaan telah dilakukan. Rencana Pola kemitraandilakukan dengan menempatkan SAD pada lo-kasi yang telah habis perijinannya yaitu PT. JamerTulen dan PT. Maju Perkasa Sawit. Ada beberapaskenario terkait dengan lokasi pemberian 1000ha. Pada tahun 2003, pernah terdapat pernyataanyang menyebutkan bahwa 1.000 Ha tersebutakan dibangun di Johor seluas 600 Ha untukSAD Bungku dan daerah Bungin seluas 400 Hauntuk SAD Tanjung Lebar. Namun dalam kese-pakatan lain, PT. Asiatic Persada pernah men-janjikan akan membangun 600 Ha kebun kemit-raan untuk SAD Tanjung Lebar dan 50 Ha untukpemukiman. Pada kenyataannya keberadaanareal 1.000 Ha yang dijanjikan oleh PT. AsiaticPersada untuk kemitraan tersebut sampai saatini masih belum teridentif ikasi.

Sementara itu dalam rangka kompensasi, pe-nanaman modal dilakukan oleh Bank Mandiridengan penjaminan oleh PT. Asiatic Persada.Pembayaran dan bunganya dilakukan oleh SADdengan pembagian sebesar 70:30, 70 untuk pe-tani dan 30 untuk angsuran. SAD juga memba-yar kembali semua biaya terkait pemeliharaan danrencana operasi kepada manajemen AsiaticPersada. Sebagian laba bersih menjadi hak PT.

No Uraian Luas (Ha)

1

2

3

4

5

Tanaman sawit PT.Asiatic

Digunakan oleh PTPN VI untuk

PIR-TRANS

Garapan/Permukiman Penduduk

Garapan masyarakat SAD

Diklaim masyarakat yang

mengaku SAD

10.625

1.571,5

343,5

913

6.547

Jumlah 20.000

Page 15: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

136 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Asiatic Persada. Dan kedua belah pihak wajib un-tuk membayar pajak atas keuntungan yang mere-ka peroleh. Pada hakekatnya perkiraan peren-canaan operasi PT. Asiatic Persada tidak hanyaterkait dengan biaya-biaya, tetapi juga bantuanteknis, modal, pembayaran bunga serta yang ter-penting adalah keuntungan. Pembagian lahandilakukan sebagai ganti rugi karena SAD telahmenyerahkan tanahnya untuk HGU PT. AsiaticPersada. Masyarakat yang membutuhkan lahan,diminta untuk datang dan mendaftar.

Pola kemitraan yang ditawarkan perusahaanternyata berujung konflik. Hal ini terutama ter-kait dengan skema kemitraan, lahan kemitraan,dan petani calon mitra. Pada akhirnya di tahun2010 Wilmar Internasional melalui anak perusa-haannya PT.Asiatic Persada secara resmi berusa-ha merangkul SAD di Batanghari dengan mem-berikan 1.000 Ha lahan sawit yang kerjasamanyadilakukan melalui Koperasi Sanak Mandiri.23

Dengan bantuan dari Pemerintah KabupatenBatanghari, teridentif ikasi sebanyak 771 KK asliSAD yang akhirnya diberi hak untuk menjadimitra PT. Asiatic Persada sekaligus penerima1.000 Ha lahan sawit tersebut. Sayangnya peng-identif ikasian serta penetapan kelompok SADyang dianggap ‘asli’, tidak jelas. Banyak kesim-pangsiuran yang terjadi sehingga berkembangcerita bahwa masyarakat penerima manfaat dari1.000 ha lahan sawit lebih banyak merupakanpendatang yang mangaku sebagai SAD.

G. Perubahan Ruang Hidup SAD

Ekspansi perkebunan sawit telah menyebab-kan masyarakat kehilangan kawasan hidupuntuk mengembangkan sistem sosial mereka.Konflik yang muncul tidak saja bersifat vertikalmelainkan horizontal yaitu konflik yang terjadidiantara sesama kelompok SAD Batin 9 yangmasing-masing memperjuangkan kedaulatan-nya. Idealnya apabila lahan seluas 1000 ha meru-pakan realisasi tuntutan warga, maka harussegera dilakukan over alih tanggungjawab dariPT.AP ke masyarakat. Namun pada kenyataannyaseluruh pengelolaan masih berada di tangan PT.AP.

Saat ini kelompok SAD yang tergusur terpaksaharus membangun pemukiman-pemukimansementara.24 Pola permukiman yang dikembang-kan saat ini tidak berbeda dengan saat merekamasih mengembangkan sistem berburu mera-mu. Perbedaan hanya terletak pada materialbangunan yang digunakan. Jika pada generasipertama material bangunan yang digunakanadalah kulit kayu untuk dinding dan anyamandaun sebagai atap, maka pada saat ini merekamenggunakan tenda sebagai dinding dan atap

23 Dalam sebuah dokumen investigasi independentterkait kasus pembagian 1000 ha lahan sawit ini salah satunyamembahas tentang legalitas menyangkut rencana kemitraanyang ada. Disana disebutkan bahwa berdasarkan rencanakesepakatan antara PT. Asiatic Persada dan Koperasi SanakMandiri tertanggal 24 Juni 2010. Dalam hubungannyamenyangkut kapasitas tiga orang yang mewakili koperasiyaitu Hendriyanto (Ketua koperasi), Muhammad Adam(sekretaris) dan Acil Saputra (bendahara) yang dipilih ber-dasarkan keputusan rapat anggota koperasi tanggal 2 juni2010 yang diformalkan melalui dokumen penetapan yangdibuat dihadapan notaris Chintia Untari tertanggal 2 Juni2010. Sedangkan Koperasi Sanak Mandiri disahkan olehMenteri Koperasi tertanggal 17 Juni 2010 No. 231.Gub.Diskop.Umkm/Juni/2010, sehingga bisa dikatakan bahwalegalitas para pihak yang mewakili koperasi ini masih belumcukup untuk menandatangani perjanjian. Karena keberadaankoperasi baru disahkan tertanggal 17 Juni 2010 sedangkanpertemuan koperasi tentang penetapan anggota itu tanggal2 Juni 2010. Sehingga ketika menandatangani perjanjian ter-sebut, koperasi belum mempunyai kedudukan hukum dantanda tangan yang ada menjadi tidak sah. Hal ini semakinmemperkuat indikasi pelanggaran hukum yang ada karenaseolah ada skenario besar yang dijalankan untuk memuluskanstrategi pembagian lahan sawit dengan pola kemitraan/ plas-ma ini.

24 Suku Anak Dalam Batin 9 yang mendapat lahan seluas1000 ha berjumlah 771 KK beranggotakan penduduk darikelompok Acil, Nyogan, Desa Bungku, Desa Markanding,dan Penyerokan. Mereka tinggal di Daerah Durian Dangkal.

Page 16: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

137Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

layaknya orang berkemah. Satu tenda diisi olehtiga generasi yakni kakek, orangtua dan cucu.

Sebagai penerima lahan 1000 ha, warga SADBatin 9 berharap mendapat keleluasaan untukmengelola lahan sawit yang telah secara resmimenjadi milik mereka. Namun kenyataannya,batas antar lahan tidak terdefinisi dengan jelas.Rata-rata penguasaan tanah adalah 1,3 ha yangmanajemen-nya berada di bawah koperasi. Lahan1000 ha rupanya tidak dapat langsung diperoleholeh warga melainkan harus melalui koperasi.Beberapa ketentuan keanggotaan harus dipenuhiwarga sebelum mendapat hak penuh untukmengelola. Posisi warga penerima lahan sawit1000 ha saat ini hanya sebagai “penunggu” kebunsawit. Pekerjaan yang mereka lakukan sehari-hariadalah pengumpul berondolan sawit. Kegiatanmengumpulkan brondolan sawit diupah Rp.300/kg oleh perusahaan. Meskipun secara legalmereka adalah penerima lahan 1000 ha, namunmereka tidak mendapat hak untuk memanen.Kesepakatan yang dibangun antara koperasidengan warga penerima sejumlah 771 KK adalahwarga harus membayar kredit kepemilikan sawitsejumlah Rp. 28 Milyar yang diambil dari panensawit lahan 1000 ha. Hanya saja, pemanenandilakukan oleh PT. Asiatic Persada (PT. AP) dankoperasi tinggal menerima perhitungan yangkeseluruhan proses dilakukan oleh PT. AP.

Hasil panen dianggap asset oleh keduabelahpihak dan asset harus masuk ke koperasi untukmemudahkan perhitungan. Pengakuan dariketua koperasi menyatakan bahwa telah terjadipengurangan asset sehingga dana yang dibagi-kan kepada anggota koperasi makin sedikit.Pengurangan asset diakibatkan oleh banyak haldiantaranya warga tidak menjual sawit yang di-panen kepada perusahaan, melainkan kepadapihak ketiga. Beberapa warga Desa Bungku dite-mukan berstatus sebagai pembeli sawit warga.Salah satu contoh yang ditemukan adalah K-nama samaran. Informan tersebut merupakan

pembeli sawit. Dalam sehari dapat mengumpul-kan sawit sebanyak 10 ton dengan harga beli 800-950/kg. sawit tersebut akan dijual ke pabrik yangberada di Mersam dengan harga Rp 1350/kg.Selisih harga jual merupakan keuntungan kotoryang diperoleh. Apabila yang terserap hanya 8ton, maka dalam sehari, penghasilan kotor men-capai Rp. 3.200.000. Akibat banyak sawit yangdijual ke luar pihak perusahaan, panen terakhiryang masuk ke PT. AP hanya 15 ton yang apabiladirupiahkan untuk harga sawit 1200/kg menca-pai: Rp. 18 juta. Nilai 18 juta harus dibagi duadimana separuhnya harus diberikan kepada PT.AP sebagai bagian pelunasan hutang. Separuh-nya masih harus dipotong untuk administrasikoperasi sejumlah 20% sehingga nilai rupiah yangtersisa adalah Rp. 1.800.000 yang harus dibagikankepada 771 KK. Inilah mekanisme pengelolaanlahan 1000 ha yang disebut oleh PT. AP sebagaipola kemitraan.

Praktek-praktek penguasaan negara atas sum-ber daya ekonomi rakyat, menjadikan kelompokSAD Batin 9 semakin terpinggirkan. SAD ter-paksa harus kehilangan sumber-sumber peng-hidupan yang pada akhirnya memicu rusaknyatatanan sosial budaya. Keberadaan perkebunansawit secara tidak langsung telah mencerabutSAD dari sumber penghidupan asal mereka yaituhutan. Dari perkebunan sawitlah, akhirnyamereka mulai mengembangkan sumber-sumberpenghidupan alternatif diantaranya denganmenjadi buruh di perkebunan seperti dapat dili-hat dalam tabel berikut ini:

Tabel. 4. Jenis Pekerjaan di Perkebunan Sawit

(Sumber: data primer, 2011)

No Jenis Pekerjaan Upah

1 Buruh Brondolan Rp. 300/kg2 Buruh Nyimas

(membersihkan rumput)Rp. 42.000/hari

3 Buruh pemupukan Rp. 42.000/hari4 Buruh panen Rp. 100/kg5 Sopir Rp. 1000.000/bulan6 Satpam Rp. 1000.000/bulan

Page 17: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

138 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Dengan menjadi buruh di perkebunan sawitinilah, sebagian dari mereka bisa memperolehpenghasilan. Selain dari sawit, mereka juga me-miliki mata pencaharian lain seperti: menyadapkaret, membuat arang kayu, membuat kusen (tu-kang gesek). Pelibatan SAD Batin 9 dalam sistemperkebunan besar menempatkan petani jauh darisumberdaya-nya bahkan tidak dapat lagi dika-tegorikan sebagai rumah tangga petani, melain-kan buruh. Dalam sistem produksi perkebunanbesar, buruh tidak ada bedanya dengan posisiburuh pabrik. Kelompok ini berada di dalamsistem, memiliki nilai tawar yang tinggi terhadapkeberlangsungan sistem produksi namun tidakdapat mengontrol nilai tawar yang dimiliki untukmendongkrak kesejahteraan mereka. Intervensiperkebunan menggusur karakter warga dalammengembangkan sistem pencaharian mereka.

Posisi buruh merupakan posisi yang mem-perlihatkan ketidak-berdaulatan mereka atasdirinya. Model yang ditawarkan oleh pemerintahadalah model KKPA yang secara formal sudahditawarkan melalui MOU Bupati tentang lahan1000 ha dan pendirian koperasi 771 KK yang ter-gabung dalam plasma. Dalam MOU disepakatibahwa pengelolaan lahan 1000 ha akan dilakukandengan sistem plasma. Kenyataannya adalahseluruh lahan berstatus sebagai inti. Warga terli-bat hanya sebagai buruh harian lepas. Jam kerjaditentukan dari pukul 07.30-14.00. Terdapataturan yang menyatakan bahwa karyawan yangbekerja pada kebun sawit milik perusahaan tidakboleh memiliki kebun dengan alasan khawatirpupuk dilarikan ke kebun milik. Tingkat upahyang diberikan tidak sebanding dengan nilai jualkomoditas sawit di pasaran dunia.25

Pada kenyataannya, kelompok SAD harusmerespon perubahan-perubahan yang terjadi dilingkungan sekitarnya dengan menggunakanukuran-ukuran dan simbol-simbol modernisme.Ketiadaan sumber penghidupan menyebabkanmereka lebih disibukkan dengan urusan mem-pertahankan hidup daripada memikirkan carauntuk meningkatkan pengetahuan ataupunmempelajari perubahan-perubahan yang ada dilingkungan mereka. Potret perubahan kehidupanSAD dapat dicermati dalam tabel berikut ini:

Tabel. 5. Perbandingan Kehidupan SADsebelum dan sesudah Masuknya Perkebunan

Sawit

(Sumber: Hidayat, 2011)

25Harga tandan buah segar Rp.1000-1900/kg. jikadiasumsikan produksi sawit adalah 3-4 ton/ha/bulan, makadalam setiap hektar, pendapatan kotor petani sawit akanmencapai Rp. 3 juta -7,6 juta tergantung tingkat harga danproduksi kebun sawit. Angka ini akan sangat timpang apabiladibandingkan dengan nilai kompensasi yang diterima

sebesar Rp. 200.000/bulan dari yang seharusnya diterimasebesar Rp. 1,5 juta.

Unsur/Elemen

Pra-masuknyaperkebunan Sawit

Pasca masuknya perkebunansawit

Lingkunganfisik(sungai)

Sungai menjadi media

transportasi penting yang

menjadi penghubung antar

kelompok SAD. Sungai juga

menjadi penyedia nutrisi

melalui ikan-ikan yang

melimpah dan dapat

dikonsumsi setiap saat

Sungai menjadi dangkal dan

menyempit. Jumlah ikan

berkurang bahkan sulit

dijumpai

Tempattinggal/Rumah

Tinggal di rumah panggung,

beratap ijuk

enau/mengkuang,

berdinding kulit pohon yang

dikeringkan/jalinan batang

bambu muda yang dipotong

dan diikat dengan rotan.

Rumah-rumah ini dibangun

di dekat aliran sungai

Tidak sepenuhnya

mempertahankan model rumah

panggung sebagai tempat

tinggal. Rumah-rumah

dibangun dengan

menggunakan arsitektur

modern, berdinding tembok,

bahkan banyak yang sudah

berlantai keramik. Rumah juga

tidak dibangun di dekat aliran

sungai, namun sudah menyebar

AktivitasMataPencaharian

Berkebun/berladang,

mengambil madu dari

pohon sialang, mencari ikan

di sungai, mengambil

durian, memikat ayam

hutan, menanam padi

ladang dan umbi-umbian

Menjadi buruh di perkebunan

kelapa sawit, menyadap karet

di perkebunan-perkebunan

milik masyarakat

Strukturkepemimpinan adat

Mengenal sistem pangkat

dan gelar yang mempunyai

fungsi sosial dalam

mengatur keseharian hidup

orang Batin IX

Struktur kepemimpinan adat

sudah tidak dijalankan lagi.

Sebutan gelar masih ada tapi

sudah tidak berfungsi sebagai

pimpinan adat

InteraksiSosial

Terjalin dengan baik, saling

mengenal satu dengan yang

lain, ikatan kekeluargaan

kuat

Benih-benih individualisme

mulai tumbuh akibat penetrasi

kapitalisme yang masuk

melalui budaya konsumerisme

Kepemilikantanah

Kepemilikan tradisional –

membuka ladang dengan

menebang pohon di hutan.

Semakin banyak menebang

hutan, semakin luas

kepemilikan tanahnya

Pemilikan tanah mengacu pada

sistem legalitas formal

Page 18: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

139Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

H. Kesimpulan

Kasus pemberian seribu hektar lahan sawitkepada Suku Anak Dalam merupakan salah satubentuk kuasa kapital yang telah mengeksklusikelompok Suku Anak Dalam dari tanah-tanahmereka. Berbagai bentuk perlawanan dari masya-rakat lokal baik secara langsung maupun tidaklangsung merupakan potret resistensi SAD dalammenghadapi kuasa modal. Melalui cara inilahSAD bertahan dalam ruang hidup mereka seka-rang. Kehilangan hutan, kehilangan mata penca-harian, dislokasi sosial budaya, ketercerabutandari sumber-sumber daya agraria yang dimilikimerupakan fakta-fakta konkrit yang memperli-hatkan akses mereka terhadap hutan telahdisingkirkan oleh skema bisnis sawit. Keberada-an sawit sebagai bagian dari komoditas interna-sional yang menawarkan sejuta keuntungan eko-nomis telah membentengi akses mereka untukbisa mempertahankan penghidupan dalammemanfaatkan hutan.

Di tengah euforia bisnis sawit, kelompok-kelompok SAD yang dimiskinkan oleh strukturpenguasaan yang tidak seimbang ini, pada akhir-nya juga harus berhadapan dengan bagian darikelompok mereka yang ternyata secara perlahantelah menjadi bagian dari kelompok penguasakapital baru. Para juragan sawit yang berasal darikelompok penduduk lokal dan juga pendatangmerupakan wujud alih rupa dari kuasa perke-bunan yang muncul. Dalam konteks adverseincorporation, mereka inilah yang menjadi bagiandari kelompok yang diuntungkan dengan keha-diran sawit. Keterlibatan atau integrasi kelompokini dalam skema bisnis sawit, telah memungkin-kan mereka untuk mengakumulasi sumber-sumber kapital baru. Kelompok yang satu ini bisamengakumulasi keuntungan yang lebih besardari sawit-sawit yang mereka kumpulkan daripetani kecil. Hal ini bisa dicermati dari kepemi-likan mereka baik rumah, kendaraan maupunpekerja yang dimilikinya.

Kasus pemberian seribu hektar lahan kepadaSuku Anak Dalam merupakan cerminan dariperebutan akses yang terjadi atas tanah. Pembe-rian seribu hektar lahan sawit merupakan bentukstrategi yang diambil oleh perusahaan denganmengkamuflasekan kesejahteraan sebagai slogandibalik upaya pengerukan keuntungan dan pen-jinakan perlawanan dari masyarakat. Masyarakattetap diposisikan sebagai pihak yang pasif. Pola-pola kemitraan yang diterapkan perusahaan,tidak hanya meminggirkan masyarakat, tetapijuga telah menciptakan konflik horisontal yangmemecah belah kelompok. Diferensiasi agrariamenguat dan memunculkan friksi yang cukuptajam.

Tata kelola yang dilakukan oleh perusahaanpada kenyataannya telah menciptakan bencanasosial dan ekologis yang luar biasa bagi kelompokSAD. Skema bisnis sawit telah menempatkanmereka dalam rantai terendah dalam bisnis ini.Sawit adalah tanaman baru yang jelas-jelassangat tidak ramah terhadap livelihood aslimereka. Kesejahteraan yang diperoleh padakenyataanya hanya kesejahteraan semu yangdinikmati oleh sebagian kecil masyarakat. Padaakhirnya yang didapatkan adalah ketercerabutandari tanah-tanah mereka. Perkebunan sawittelah menggusur akses masyarakat terhadapsumberdaya agrarianya. Tanah-tanah yangdijanjikan pada mereka kenyataannya tidakpernah ada secara jelas. Lokasi seribu hektarlahan sawit selalu berpindah mengikuti logika-logika kapital yang bekerja dalam kuasaperkebunan sawit.

Dalam skema bisnis sawit, secara global ma-syarakat juga sedang dihadapkan pada berbagaidampak luar biasa yang mengancam ruanghidup mereka. Skema bencana ekologis yangakan terjadi 20 atau 30 tahun mendatang adalahbagian dari fakta yang saat ini belum disadarisecara penuh. Perkebunan-perkebunan kelapasawit akan menghancurkan sumber-sumber air

Page 19: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

140 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

tanah.Hal ini sudah mulai terlihat dari semakinkeruhnya sungai Batanghari yang merupakansumber air di PDAM Provinsi Jambi. Selain krisisair, masyarakat juga akan sangat disibukandengan persoalan peremajaan pada kebun-kebun tua. Selama peremajaan dilakukan, praktisdalam jangka waktu lima tahun risiko kehilanganpendapatan dalam jumlah besar akan ditang-gung petani bila tidak diantisipasi jauh-jauh hari.Hal ini dapat melahirkan dampak sosial yang jauhlebih besar dibanding ketika masa tanam dalamsiklus pertama dahulu.Hal ini terjadi karena duaalasan. Pertama, tingginya pendapatan per kapitayang selama ini diterima petani plasma telahmengubah pola konsumsi rumah tangganya, ter-masuk dalam kredit/ utang. Kedua, sebagian be-sar kebun-kebun tua itu boleh jadi telah diwa-riskan ke generasi berikutnya, generasi yangtidak pernah merasakan sulitnya hidup di masaawal-awal pembangunan sawit dahulu

Inilah fakta yang haru dihadapi akibat peru-bahan yang dibawa oleh skema bisnis sawit. Yangterjadi adalah masyarakat menjadi terusir daritanahnya sendiri. Minimnya akses informasitentang dampak yang akan ditimbulkan daripembangunan kelapa sawit dan pengaruh eko-nomi liberal telah mengubah cara berpikir orangBatin tentang tanah yang awalnya mempunyaifungsi ekonomi dan sosial, berganti menjadi nilaiekonomis semata. Warga kehilangan tanah aki-bat proses ganti rugi dan terpaksa menjadi buruhdi perkebunan untuk menyambung hidupnya.Kembali ke livelihood asal mungkin menjadisebuah kemustahilan ketika tanah-tanah yangsekarang sudah dikonversi menjadi sawit tidakmemberikan cukup ruang untuk mengembali-kan hutan-hutan ke kondisi awal.

Daftar Pustaka

Behrman, Julia, et all. 2011. The Gender Implica-tions of Large-Scale Land Deals. IFPRI Dis-cussion Paper.www.ifpri.org.

Colchester, et al. 2006. Promised Land: Palm Oiland Land Acquisition in Indonesia: Implica-tion for Local Communities and IndigeniousPeople. England: Forest People Programme(FPP); Bogor: Perkumpulan Sawit Watch.

Fortin. 2011. The Biofuel Boom and Indonesia’sOilPalm Industry in West Kalimantan. Paperpresented in International Conference onGlobal Land Grabbing 6-8 April 2011.

Handini, Retno. 2005. Foraging yang Memudar:Suku Anak Dalam di Tengah Perubahan.Yogyakarta: Galang Press

Hidayat, Rian. 2011. “Suku Anak Dalam Batin 9:Membangkitkan Batang Terendam, SejarahAsal Usul Kebudayaan dan PengelolaanSumber Daya Alam. Draft Laporan Peneli-tian. Jambi: Yayasan Setara Jambi.

Julia. 2009. “Pembangunan untuk Siapa? Impli-kasi Jender Perkebunan Kelapa Sawit terha-dap Perempuan Dayak Hibun di KalimantanBarat, Indonesia. Dalam Jurnal Tanah Air,Edisi Oktober-Desember, hal 194-235.

Kartika, Sandra dan Gautama, Candra. 1999.Menggugah Posisi Masyarakat Adat Terha-dap Negara. Prosiding Saresehan Masyara-kat Adat Nusantara, Jakarta, 15-16 Maret.Jakarta: Konggres Masyarakat Adat Nusan-tara 1999 dan Lembaga Studi Pers dan Pem-bangunan (LSPP).

Kusworo, Ahmad. 2000. Perambah Hutan atauKambing Hitam?: Potret Sengketa KawasanHutan di Lampung. Bogor: Pustaka Latin.

Maryani dan Sapardiyono. 2005. Penguasaandan Pemilikan Tanah Masyarakat SukuAnak Dalam di Desa Sungai Beringin Keca-matan Pelepat Kabupaten Bungo ProvinsiJambi. Dalam Bhumi, Nomor 13 Tahun 5Desember.

McCharty, S. 2010. Process of Inclusion andAdverse Incorporation: Oil Palm and Agrar-ian Change in Sumatra. Journal of Peasant

Page 20: SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR …

141Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141

Studies vol 37.No.4.Prasetijo, Adi. 2011. Serah Jajah dan Perlawanan

yang Tersisa Etnograf i Orang Rimba diJambi. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Sarifudin (dkk). 2010. Prof il Komunitas AdatTerpencil (KAT) dan Program Pemberda-yaan di Provinsi Jambi. Jambi: Dinsosna-kertrans.

Tauf ik Rahman. Perkebunan Kelapa SawitPerparah Pencemaran Sungai Batanghari.http://www.republika.co.id (diakses 25 No-vember 2010).

White, Ben. 2009. “Laba dan Kuasa Dicat WarnaHijau: Catatan Mengenai Biofuel, Agribisnisdan Petani”. Dalam Jurnal Tanah Air, EdisiOktober-Desember, hal 238-257.