work family conflict and satisfaction outcomes: job-demand...

11
Work Family Conflict and Satisfaction Outcomes: Job-Demand Resources Model Perspective Jovi Sulistiawan 1) 1) Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Surabaya Jl. Airlangga 4-6 (UNAIR Kampus B) Surabaya 60286 email : [email protected] 1) Abstract Based on survey conducted by Nielsen on 2012, found that almost Indonesian believes that the balance between family-life with work-life is one of the most important things. It indicates that the company should know how to minimize conflict between job and family conflict. The purpose of this study is to investigate the antecedents of work family conflict using job demand-resources model (JD-R Model) perspectives and the effect of work family conflict to satisfaction outcomes (job, family and life satisfaction). Besides, this study also investigate the moderating effects of job and social resources or social support. We use police as our samples in this study because they have long working hours that indicates high job demand. Using hierarchical regression analysis, we argued that job and family demand will have positive effect on WFC and WFC have negative effect on three satisfaction outcomes. We also argued that job and social resources or social support has moderation effect on demand and WFC. Keywords : Work Family Conflcit, Job Demand-Resources Model, Satisfaction Outcomes 1. Pendahuluan Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Nielsen pada tahun 2012 ditemukan bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan lebih banyak waktu di tempat kerja dan memiliki sedikit waktu untuk berkumpul bersama keluarga ataupun dengan rekan-rekannya (www.thejakartapost.com). Berdasarkan survey tersebut juga diketahui bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap keseimbangan antara kehidupan pribadi dengan kehidupan pekerjaan adalah salah satu hal penting setelah stabilitas finansial (http://www.thejakartapost.com/news/2012/11/01/survey-shows-indonesians-worry-about-work-life- balance.html ). Karyawan dituntut untuk dapat menyeimbangkan tuntutan yang ada pada keluarga dan juga pada pekerjaan (Beutell dan Wittig-Berman, 1999). Keterlibatan seseorang dalam beberapa peran akan berdampak pada tidak terpenuhinya tuntutan dan peran tertentu. Hal tersebut sesuai dengan role strain theory (Demerouti, Peeters, Van der Heijden, 2012). Karyawan selain memiliki peran dalam pekerjaan, juga dituntut untuk memenuhi perannya di dalam kehidupan selain pekerjaan, seperti kehidupan sosial lainnya. Role strain theory merupakan salah satu teori yang seringkali menjadi dasar mengenai konflik pekerjaan dan rumah tangga (Work Family Conflict/WFC). Di dalam role strain theory disebutkan bahwa konflik pekerjaan dan rumah tangga dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan dalam menjalankan peran di salah satu domain. WFC adalah salah satu bentuk dari konflik peran dimana seseorang harus memenuhi tuntutan perannya sebagai karyawan dan perannya di dalam kehidupan keluarga/social (Greenhaus dan Beutell, 1985). WFC merupakan pengalaman yang sering terjadi sehari hari dalam pekerjaan dan keluarga yang memiliki konsekuensi besar bagi pegawai, keluarganya dan perusahaan yang memperkerjakanya (Demerouti, Peeters dan Van der Heijden, 2012). Lebih lanjut lagi, beberapa peneliti mengemukakan bahwa terdapat 2 bentuk WFC, yaitu work family conflict (WFC) dan family work conflict (FWC) (Grywacz dan Marks, 2000). Demerouti dkk (2012) mengemukakan bahwa dua konflik tersebut saling berhubungan namun memiliki penyebab yang berbeda. WFC terjadi ketika tuntutan pada pekerjaan akan menyebabkan terganggunya peran pada domain keluarga, sedangan FWC terjadi ketika tuntutan pada kehidupan keluarga akan menyebabkan terganggunya peran pada pekerjaan. Hal-hal yang menjadi penyebab atau antecedents dari WFC dapat dilihat dari suatu kerangka yang disebut dengan Job-Demand Resources (JD-R) (Demerouti, Peeters dan Van Der Heijden, 2012). Dalam kerangka tersebut dijelaskan bahwa WFC terjadi karena adanya tuntutan dalam pekerjaan ( job demands) yang memiliki dampak psikologis pada seseorang. Tuntutan dalam pekerjaan tersebut bisa berupa jam kerja 217 National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x

Upload: nguyenkhanh

Post on 22-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Work Family Conflict and Satisfaction Outcomes: Job-Demand …repo.polinpdg.ac.id/681/1/ASCNITech_2016_NonREKAYASA_-_Jovi... · Greenhaus dan Beutell (1985), mengacu dari teori yang

Work Family Conflict and Satisfaction Outcomes: Job-Demand

Resources Model Perspective

Jovi Sulistiawan

1)

1) Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Surabaya

Jl. Airlangga 4-6 (UNAIR Kampus B) Surabaya 60286

email : [email protected])

Abstract Based on survey conducted by Nielsen on 2012, found that almost Indonesian believes that the balance

between family-life with work-life is one of the most important things. It indicates that the company should

know how to minimize conflict between job and family conflict. The purpose of this study is to investigate the

antecedents of work family conflict using job demand-resources model (JD-R Model) perspectives and the

effect of work family conflict to satisfaction outcomes (job, family and life satisfaction). Besides, this study

also investigate the moderating effects of job and social resources or social support. We use police as our

samples in this study because they have long working hours that indicates high job demand. Using

hierarchical regression analysis, we argued that job and family demand will have positive effect on WFC and

WFC have negative effect on three satisfaction outcomes. We also argued that job and social resources or

social support has moderation effect on demand and WFC.

Keywords : Work Family Conflcit, Job Demand-Resources Model, Satisfaction Outcomes

1. Pendahuluan Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Nielsen pada tahun 2012 ditemukan bahwa masyarakat

Indonesia menghabiskan lebih banyak waktu di tempat kerja dan memiliki sedikit waktu untuk berkumpul

bersama keluarga ataupun dengan rekan-rekannya (www.thejakartapost.com). Berdasarkan survey tersebut

juga diketahui bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap keseimbangan antara kehidupan

pribadi dengan kehidupan pekerjaan adalah salah satu hal penting setelah stabilitas finansial

(http://www.thejakartapost.com/news/2012/11/01/survey-shows-indonesians-worry-about-work-life-

balance.html).

Karyawan dituntut untuk dapat menyeimbangkan tuntutan yang ada pada keluarga dan juga pada

pekerjaan (Beutell dan Wittig-Berman, 1999). Keterlibatan seseorang dalam beberapa peran akan berdampak

pada tidak terpenuhinya tuntutan dan peran tertentu. Hal tersebut sesuai dengan role strain theory

(Demerouti, Peeters, Van der Heijden, 2012). Karyawan selain memiliki peran dalam pekerjaan, juga dituntut

untuk memenuhi perannya di dalam kehidupan selain pekerjaan, seperti kehidupan sosial lainnya. Role strain

theory merupakan salah satu teori yang seringkali menjadi dasar mengenai konflik pekerjaan dan rumah

tangga (Work Family Conflict/WFC). Di dalam role strain theory disebutkan bahwa konflik pekerjaan dan

rumah tangga dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan dalam menjalankan peran di salah satu domain.

WFC adalah salah satu bentuk dari konflik peran dimana seseorang harus memenuhi tuntutan

perannya sebagai karyawan dan perannya di dalam kehidupan keluarga/social (Greenhaus dan Beutell, 1985).

WFC merupakan pengalaman yang sering terjadi sehari – hari dalam pekerjaan dan keluarga yang memiliki

konsekuensi besar bagi pegawai, keluarganya dan perusahaan yang memperkerjakanya (Demerouti, Peeters

dan Van der Heijden, 2012). Lebih lanjut lagi, beberapa peneliti mengemukakan bahwa terdapat 2 bentuk

WFC, yaitu work family conflict (WFC) dan family work conflict (FWC) (Grywacz dan Marks, 2000).

Demerouti dkk (2012) mengemukakan bahwa dua konflik tersebut saling berhubungan namun memiliki

penyebab yang berbeda. WFC terjadi ketika tuntutan pada pekerjaan akan menyebabkan terganggunya peran

pada domain keluarga, sedangan FWC terjadi ketika tuntutan pada kehidupan keluarga akan menyebabkan

terganggunya peran pada pekerjaan.

Hal-hal yang menjadi penyebab atau antecedents dari WFC dapat dilihat dari suatu kerangka yang

disebut dengan Job-Demand Resources (JD-R) (Demerouti, Peeters dan Van Der Heijden, 2012). Dalam

kerangka tersebut dijelaskan bahwa WFC terjadi karena adanya tuntutan dalam pekerjaan (job demands)

yang memiliki dampak psikologis pada seseorang. Tuntutan dalam pekerjaan tersebut bisa berupa jam kerja

217

National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x

Page 2: Work Family Conflict and Satisfaction Outcomes: Job-Demand …repo.polinpdg.ac.id/681/1/ASCNITech_2016_NonREKAYASA_-_Jovi... · Greenhaus dan Beutell (1985), mengacu dari teori yang

yang lebih panjang dari jam kerja normal, beban kerja yang tinggi, serta aktivitas dalam pekerjaannya yang

selalu berhubungan dengan deadlines (Demerouti, Peeters dan Van Der Heijden, 2012).

Begitu pula penyebab tingginya FWC jika ditinjau dari JD-R model adalah ketika adanya tuntutan

dari kehidupan keluarga sehingga menganggu perannya dalam pekerjaan. Tuntutan dari kehidupan keluarga

ini berkaitan dengan peran seseorang di dalam keluarga. Ketika tuntutan dari kehidupan keluarga membuat

perannya di dalam pekerjaan menjadi terganggu, maka orang tersebut mengalami FWC. Seperti yang

dikatakan oeh Zhang dan Liu (2011) bahwa tingginya tuntutan keluarga (family demand) akan menyebabkan

tingginya FWC.

Mengacu pada Job-Demand Resources (JD-R) model yang dikemukakan oleh Demerouti, Peeters

dan Van Der Heijden (2012), bahwa pengaruh demands atau tuntutan-tuntutan baik di pekerjaan ataupun di

luar pekerjaan akan meningkatkan WFC, namun terdapat hal yang dapat melemahkan pengaruh tersebut,

yaitu resources. Resources dalam konteks JD-R mengacu pada aspek-aspek dari pekerjaan ataupun keluarga

yang dapat membantu seseorang untuk memenuhi tuntutan yang ada di dalam pekerjaan ataupun keluarga

(Demerouti, Peeters dan Vand Der Heijden, 2012). Resources atau sumber daya tersebut adalah dukungan

sosial baik yang berasal dari pekerjaan maupun di luar pekerjaan. Dukungan social dari dalam pekerjaan bias

berupa dukungan yang diberikan oleh Supervisor dan pegawai lain, sedangkan dukungan social yang berasal

dari luar pekerjaan bias berupa dukungan dari pasangan hidup dan teman (Wendy, Karen dan Judith, 2006).

Foley, Ngo dan Lui (2005) mengatakan bahwa dukungan sosial dapat memperlemah hubungan antara

job/family demands terhadap WFC/FWC. Ketika seseorang mendapatkan dukungan dari orang lain sehingga

orang tersebut mampu untuk memenuhi tuntutan baik yang ada di dalam pekerjaan maupun keluarga maka

tingkat WFC/FWC semakin rendah. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya dukungan yang dapat

membantu dalam memenuhi tuntutan-tuntutan yang ada di masing-masing domain.

WFC dan FWC yang tinggi juga berdampak pada tingkat kepuasan seseorang (satisfaction

outcomes). Kepuasan seseorang dalam penelitian ini merujuk pada 3 jenis kepuasan yaitu kepuasan kerja,

kepuasan keluarga dan kepuasan hidup. Ketika seseorang mengalami WFC ataupun FWC yang tinggi maka

akan berpengaruh negative terhadap kepuasan kerja orang tersebut (Marcinkus, Whelan-Berry, dan Gordon,

2006). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh dalam Howard dkk. (2004) mengindikasikan bahwa WFC

ataupun FWC berhubungan dengan beberapa hal negatif, salah satunya adalah rendahnya tingkat kepuasan

kerja seseorang. WFC dan FWC juga berpengaruh terhadap kepuasan keluarga (Chiu, et al, 1998).

Ketidaksesuaian antara peran aktual dari seseorang dengan peran yang diharapkan akan menyebabkan

ketidakpuasan pada pekerjaan ataupun dalam keluarga (Chiu, et al., 1998).

Sejumlah penelitian mengatakan bahwa terdapat korelasi atau hubungan antara kepuasan keluarga

dan kepuasan kerja terhadap kepuasan hidup atau life satisfaction (Kantak et al. (1992); Lewis dan Boders

(1995); Near et al. (1980;1983); O’Brien dan Feather (1990); Schmitt dan Bedeinn (1982); Stoner et al.

(1990) dalam Chiu, et al. (1998). Dikatakan bahwa seseorang yang puas dengan keluarga atau pekerjaannya

akan berpengaruh terhadap kepuasan dalam hidupnya.

Berdasarkan JD-R Model diketahui bahwa ketika karyawan memiliki tuntutan yang tinggi dalam

pekerjaannya maka akan menimbulkan ketidakseimbangan peran antara kehidupan pribadi dan kehidupan

pekerjaan. Profesi polisi merupakan salah satu profesi yang memiliki job demand atau tuntutan pekerjaan

yang tinggi (Winefield dan Thompson, 2010). Meninjau adanya job demand yang tinggi dalam pekerjaan

sebagai polisi maka dapat diperkirakan bahwa terdapat cukup banyak fenomena terkait work-family conflict

didalamnya.

Pekerjaan sebagai polisi seringkali berhubungan dengan tingginya tekanan, tekanan ditunjukan

dengan beberapa masalah psychological dan physiological yang dialami langsung oleh anggota polisi

(Winefield & Thompson, 2010). Winefield, dkk (2010) juga menjelaskan beberapa masalah yang ada yaitu

kelelahan, masalah pernikahan, alcohol, penyalahgunaan obat dan bunuh diri. Meninjau adanya job demand

yang tinggi dalam pekerjaan sebagai polisi maka dapat diperkirakan bahwa terdapat cukup banyak fenomena

terkait work-family conflict didalamnya.

Penelitian terhadap pekerjaan sebagai polisi menjadi semakin penting saat mengetahui bahwa bahwa

polisi memainkan peranan penting dalam pemeliharaan masyarakat dan untuk memenuhi tugasnya akan

dibutuhkan efektifitas yang tinggi (Anshal, 2000). Seperti yang sudah di ungkapkan oleh Marcinkus, dkk

(2004) bahwa WFC ataupun FWC yang tinggi akan berpengaruh negative terhadap kepuasan kerja orang

tersebut. Miller dkk (2009) menjelaskan bahwa kepuasan yang rendah akan menimbulkan sikap negative

kinerja, sikap negative ini akan mempengaruhi kinerja dari anggota kepolisian. Sikap negative juga akan

memberikan dampak pada perilaku anggota kepolisian. Sebagai seorang anggota kepolisian, perilaku

218

National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x

Page 3: Work Family Conflict and Satisfaction Outcomes: Job-Demand …repo.polinpdg.ac.id/681/1/ASCNITech_2016_NonREKAYASA_-_Jovi... · Greenhaus dan Beutell (1985), mengacu dari teori yang

merupakan hal yang paling disorot oleh public, menunjukkan perilaku yang buruk akan membentuk persepsi

buruk pada public tentang organisasi dan anggota kepolisian di Indonesia. Penelitian ini berkontribusi pada

tiga hal penting. Pertama, meninjau work-family conflict berdasarkan JD-R Model. Kedua, meneliti pengaruh

work-family conflict terhadap satisfaction outcomes. Ketiga, meneliti peran dukungan sosial baik yang

berasal dari lingkungan kerja ataupun bukan lingkungan kerja dalam mempengaruhi hubungan work-family

conflict dengan satisfaction outcomes.

2. Tinjauan Pustaka Job Demand-Resources Model (JD-R Model). Job Demand-Resources adalah suatu model yang

dikemukakan oleh Demerouti, Bakker, Nachreiner dan Chaufeli (2001). Dalam model tersebut disebutkan

bahwa karekteristik pekerjaan terbagi menjadi 2 bagian yaitu job demand dan job resources. Job demand

atau tuntutan pekerjaan mengacu pada aspek-aspek pekerjaan yang membutuhkan usaha baik fisik maupun

mental sehingga memiliki dampak psikologis bagi karyawan. Demerouti dkk (2001) menjelaskan bahwa

salah satu contoh tuntutan pekerjaan adalah ketatnya deadline, jam kerja yang panjang dan beberapa aspek

lainnya. Boyar, Carr, Mosley Jr., Carson (2007) menjelaskan bahwa Job Demand (Work demand) merupakan

pandangan terhadap tingkat tuntutan dalam domain pekerjaan. Sedangkan job resources merupakan aspek-

aspek dalam pekerjaan yang dapat membantu seseorang untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dalam pekerjaan

sehingga dapat menurunkan dampak dari tekanan pekerjaan. Dalam penelitian ini yang menjadi job resources

adalah dukungan sosial atau social support yang berasal dari lingkungan pekerjaan.

Model JD-R ini dapat pula diaplikasikan pada kehidupan personal atau keluarga. Demerouti, Peeters

dan Van Der Heijden (2012) mengemukakan bahwa model JD-R jika diterapkan ke dalam kehidupan pribadi

maka akan menjadi Home demand dan Home Resources. Home demand memiliki konsep dasar yang hamper

sama dengan job demand, yang membedakan hanya domainnya. Jika job demand merupakan tuntutan yang

berasal dari pekerjaan maka home demand adalah tuntutan yang berasal dari keluarga seperti banyaknya

tugas-tugas rumah tangga yang harus diselesaikan (Demerouti, Peeters dan Van Der Heijden, 2012). Boyar

dkk. (2007) juga menjelaskan bahwa Home Demand (Family demand) merupakan pandangan terhadap

tingkat tuntutan dalam domain keluarga. Sedangkan home resources merupakan dukungan sosial yang

berasal dari keluarga.

Job dan Family Demand Job demand merupakan pandangan terhadap tingkat tuntutan dalam

domain pekerjaan (Boyar, dkk. 2007). Yang, Chen, Choi dan Zou (2000) menjelaskan juga bahwa Job

demand merupakan tekanan yang muncul dari beban kerja yang berlebihan dan tekanan waktu di lokasi kerja,

termasuk kesibukan terkait pekerjaan dan deadline. Ganster dan Fusilier (1989) juga menjelaskan bahwa Job

demand bisa diukur melalui tingkatan dimana pegawai harus bekerja keras dan cepat, memiliki banyak hal

yang harus dikerjakan dan memiliki waktu yang sedikit. Selain beban kerja dan tekanan waktu, penerimaan

konflik dari berbagai sumber mampu mempengaruhi aktivitas yang dilakukan oleh pegawai dan akan dilihat

sebagai tuntutan pekerjaan (Boyar, dkk. 2008). Kahn, Wolfe, Quinn, Snoek dan Rosenthal (1964)

mengungkapkan bahwa konflik peran adalah kemunculan dua atau lebih tekanan secara berkelanjutan,

dimana pemenuhan di satu sisi akan membuat pemenuhan di sisi lain menjadi semakin sulit.

Sanne, Mykletun, Dahl, Moen, dan Tell (2005) menjelaskan bahwa Job Demand-Control-Support

Model (JDCS) model memiliki tiga komponen utama untuk mendeskripsikan kualitas tempat kerja, yaitu

(psychological) demand, control(decision latitude) dan (social) support. Cicek (2013) menjelaskan bahwa

dalam JD-C model, Job demand merupakan stimulus psikologis termasuk bekerja secara instensif dalam

periode waktu yang lama. Mendapatkan beban yang terlalu berlebih dan memiliki waktu terbatas untuk

melakukan pekerjaan serta memiliki konflik dalam memenuhi tuntutan.

Family Demand atau Home demand, menurut Boyar, dkk. (2007) merupakan pandangan terhadap

tingkat tuntutan dalam domain keluarga. Demerouti, dkk. (2012) menyatakan JD-R model bisa digunakan

atau diterapkan dalam domain keluarga. Pernyataan Demerouti, dkk(2012) menunjukkan bahwa perbedaan

Job demand dan Family demand hanya terletak pada domain dari kedua tuntutan tersebut.

Work-Family Conflict. Sebelum menjelaskan definisi dari WFC, penting untuk diketahui bahwa

Greenhaus dan Beutell (1985), mengacu dari teori yang dikemukakan oleh Kahn, Wolfe, Quinn, Snoek dan

Rosenthal pada tahun 1964, bahwa WFC merupakan salah satu bentuk dari interrole conflict. Interrole

conflict didefinisikan sebagai suatu bentuk konflik peran dimana adanya tekanan dari salah satu domain yang

tidak sesuai dengan domain lainnya (Greenhaus dan Beutell, 1985).

219

National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x

Page 4: Work Family Conflict and Satisfaction Outcomes: Job-Demand …repo.polinpdg.ac.id/681/1/ASCNITech_2016_NonREKAYASA_-_Jovi... · Greenhaus dan Beutell (1985), mengacu dari teori yang

Berdasarkan definisi interrole conflict tersebut maka work family conflict (WFC) didefinisikan

sebagai suatu bentuk dari inte-role conflict dimana terdapat tekanan peran dari pekerjaan yang bertentangan

dengan tekanan peran dari keluarga (Greenhaus and Beutell, 1985). Kemudian menurut Howard, et al. (2004)

work family conflict adalah suatu hal yang muncul ketika partisipasi peran dalam keluarga lebih sulit

daripada partisipasi peran dalam pekerjaan. Work family conflict muncul ketika partisipasi seseorang dalam

suatu domain (keluarga ataupun pekerjaan) mengganggu kemampuan seseorang dalam memenuhi tanggung

jawab dan kewajibannya di salah satu domain tersebut. Misalnya, seseorang dikatakan mengalami work

family conflict ketika partisipasinya dalam pekerjaan mengganggu kemampuannya dalam memenuhi

tanggung jawab dan kewajiban akan perannya di rumah.

Konflik yang muncul karena adanya usaha untuk memenuhi dan menyeimbangkan tuntutan peran

yang berasal dari keluarga dan pekerjaan dibagi menjadi dua, yaitu work-family conflict dan family-work

conflict. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Posig dan Jill (2004) yang menyatakan bahwa

terdapat perbedaan secara konseptual antara work family conflict atau work-to-family conflict (WFC) dengan

family-to-work conflict (FWC). WFC didefinisikan sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,

sedangkan untuk FWC didefinisikan sebagai suatu bentuk konflik dimana terdapat tekanan peran dari

keluarga yang bertentangan dengan tekanan peran dari pekerjaan. FWC dapat muncul saat partisipasi didalam

peran kerja semakin sulit karena adanya partisipasi didalam peran keluarga (Greenhaus dan Beutell, 1985).

Jadi perbedaan mendasar antara WFC dan FWC terletak pada domain dari tekanan tersebut.

Satisfaction Outcomes. Satisfaction outcomes dalam penelitian ini terdiri dari tiga yaitu job

satisfaction (kepuasan kerja), family satisfaction (kepuasan keluarga) dan life satisfaction (kepuasan hidup).

Secara teoritis, kepuasan kerja terdiri dari komponen evaluasi dan harapan. Robbin (2003:91) mengatakan

bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja

mengacu pada sikap antusiasme dan kebahagiaan terhadap suatu ebut sama dengan apa yang dikatakan oleh

Luthans (1998:144) bahwa kepuasan kerja adalah sebagai suatu perasaan menyenangkan atau emosi positif

sebagai suatu hasil dari penilaian kinerja seseorang atau pengalaman kerja seseorang. Seseorang dengan

tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap pekerjaan tersebut dan sebaliknya,

apabila seseorang tidak puas dengan pekerjaannya maka dia akan menunjukkan sikap yang negatif terhadap

pekerjaan tersebut. Yurchisin dkk (2010) mengacu pada pendapat Locke (1969) mengatakan bahwa kepuasan

kerja adalah suatu emosi positif yang dihasilkan dari pengalaman atau pekerjaan yang dimilikinya.

Family satisfaction atau kepuasan keluarga adalah suatu evaluasi subjektif berdasarkan kehidupan

keluarga seseorang. Kepuasan keluarga menilai perasaan posistif yang dirasakan oleh seseorang terkait

dengan situasi keluarganya (Beutell dan Wittig-Berman, 2008). Kepuasan keluarga adalah kepuasan yang

mengacu pada kualitas hubungan dalam keluarga, yaitu hubungan dengan pasangan dan juga dengan anak-

anak (Kim dan Ling, 2001). Kim dan Choo (2001) menyatakan bahwa Marital Satisfaction dapat disebut

sebagai Family Satisfaction, dimana kepuasan perkawinan akan mengacu pada kualitas hubungan dalam

keluarga, yaitu hubungan dengan pasangan hidup dan juga dengan anak – anak.

Life satisfaction atau kepuasan hidup adalah suatu penilaian keseluruhan mengenai perasaan dan

sikap terhadap hidup dalam poin-poin penting untuk serangkaian waktu tertentu (Beutell, 2006). Para peneliti

seringkali mengatakan atau mempertimbangkan life satisfaction sebagai well being. Beberapa literature,

menyebutkan bahwa life satisfaction juga dapat dikatakan sebagai life success. Karakas, dkk. (2004) dalam

Lirio, dkk. (2007), terdapat banyak pendekatan yang telah dibuat untuk menciptakan hubungan dan konsep

terkait dengan kehidupan pribadi seseorang atau kehidupan keluarga, diantaranta adalah kepuasan hidup,

kualitas kehidupakn keluarga, pemenuhan kehidupan keluarga dan yang lainnya.

Social Support. Social support atau dukungan sosial menurut Marcinkus dkk (2006) didefinisikan

sebagai suatu struktur hubungan yang dapat memberikan sumber daya atau dukungan. Dukungan sosial dapat

berasal dari berbagai pihak, Marcinkus dkk (2006) mengatakan bahwa dukungan sosial bisa berasal dari

hubungan di dalam pekerjaan ataupun hubungan pribadi. Beberapa studi juga membedakan domain dari

dukungan sosial ini menjadi 2 yaitu dukungan sosial yang berasal dari pekerjaan dan dukungan sosial yang

bukan berasal dari pekerjaan atau dari kehidupan pribadi seseorang (Katz dan Kahn, 1978; Sarason, Sarason

dan Pierce, 1990) Dalam konteks pekerjaan, yang menjadi dukungan sosial adalah adanya dukungan dari

atasan ataupun organisasi tempat karyawan bekerja. Dalam konteks kehidupan pribadi, maka yang dimaksud

dengan dukungan sosial ini bisa berasal dari pasangan, sahabat, ataupun orang tua.

Dalam penelitian ini terdapat 2 bentuk dukungan sosial sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh

Marcinkus, dkk (2006), yaitu dukungan sosial yang berasal dari lingkungan pekerjaan (work-based social

support) dan dukungan sosial yang berasal dari kehidupan pribadi (personal support). Work-based social

220

National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x

Page 5: Work Family Conflict and Satisfaction Outcomes: Job-Demand …repo.polinpdg.ac.id/681/1/ASCNITech_2016_NonREKAYASA_-_Jovi... · Greenhaus dan Beutell (1985), mengacu dari teori yang

support menurut Marcinkus dkk (2006) merupakan dukungan yang bersumber dari beberapa pihak yang ada

di lingkungan kerja seperti dukungan dari organisasi secara keseluruhan, dukungan dari atasan dan dukungan

dari rekan kerja. Personal support mengacu pada dukungan yang bersumber dari pasangan, saudara kandung,

teman ataupun sahabat. Dukungan dari pasangan biasanya berupa manajemen pendapatan dan keuangan

personal, tanggung jawab terhadap rumah dan keluarga, serta dukungan dan manajemen karir.

Hipotesis

Mengacu pada role strain theory (Kahn, Wolfe, Quinn, Snock dan Rosenthal, 1964) yang

merupakan teori dominan untuk menjelaskan mengapa individu menghadapi kesulitan dalam

menggabungkan peran yang berbeda. Berdasarkan teori tersebut diketahui bahwa, WFC dapat di golongkan

sebagai Inter-role conflict. Dimana tuntutan peran yang ada dalam pekerjaan dan keluarga akan

menimbulkan role strain. Tuntutan yang ada dalam pekerjaan akan mempengaruhi tingkat WFC dari

seseorang. Ford, Heinen dan Langkamer (2007) mengemukakan bahwa ketika tuntutan dari pekerjaan seperti

panjangnya jam kerja, ketatnya deadline akan menimbulkan konflik peran di dalam pekerjaan dan keluarga.

Dengan kata lain, semakin tinggi tuntutan yang dirasak an oleh seseorang di dalam pekerjaannya maka akan

semakin tinggi pula kemungkinan untuk mengalami WFC.

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa perbedaan WFC dan FWC terletak

pada domainnya. Maka jika tuntutan di dalam pekerjaan akan menimbulkan konflik peran pekerjaan dan

keluarga (WFC), maka tuntutan di dalam keluarga akan menimbulkan konflik keluarga dan pekerjaan (FWC)

(Ford, Heinen dan Langkamer, 2007). Tuntutan dari keluarga bisa berupa pekerjaan rumah tangga ataupun

pekerjaan untuk mengurus anak akan membuat ketidakseimbangan antara peran seseorang di dalam keluarga

dan di dalam pekerjaan. Maka dari itu :

H1 : (a) job demand akan berpengaruh positif terhadap WFC dan (b) family demand akan

berpengaruh positif terhadap FWC

Ketika seseorang merasakan konflik keluarga-pekerjaan dalam tingkat yang tinggi maka hal tersebut

akan mempengaruhi kepuasan kerja yang dirasakannya. Work-Family conflict (Family-to-work conflict)

secara sederhana dan konsisten berkaitan dengan kepuasan (Michel dan Clark, 2009). Hal tersebut juga

didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan Ford, Heinen dan Langkamer (2007) bahwa ketika peran di

dalam keluarga mengganggu pekerjaan maka akan menurunkan tingkat kepuasan kerja seseorang. Hal ini

disebabkan karena ketika seseorang mengalami konflik peran di dalam keluarga maka akan membuat peran

dalam pekerjaan menjadi terganggu, akibatnya adalah pekerjaan tidak bisa terselesaikan dengan baik

sehingga akan menurunkan kepuasan kerjanya. Maka dari itu :

H2 : FWC berpengaruh negative terhadap kepuasan kerja

Ketika seseorang merasakan konflik pekerjaan-keluarga dalam tingkat yang tinggi maka hal tersebut

akan mempengaruhi kepuasan keluarga yang dirasakannya. Berdasarkan penelitian terdahulu di Taiwan

diketahui bahwa WFC berpengaruh negative terhadap kepuasan kerja dan kepuasan keluarga ( Lu, Cooper,

Kao, Chang, Allen, Lapierre, O’driscoll, Poelmans, Sanchez, dan Spector, 2010). Hal tersebut sesuai dengan

hasil penelitian yang dilakukan Ford, Heinen dan Langkamer (2007) bahwa ketika peran di dalam pekerjaan

mengganggu keluarga maka akan menurunkan tingkat kepuasan keluarga yang dirasakan seseorang. Hal

tersebut disebabkan ketika seseorang mengalami konflik peran di dalam pekerjaan maka akan membuat

peran dalam keluarga menjadi terganggu, akibatnya adalah pekerjaan rumah tangga tidak bisa terselesaikan

dengan baik sehingga akan menurunkan kepuasan keluarga. Maka dari itu :

H3 : WFC berpengaruh negative terhadap kepuasan keluarga

Sejumlah penelitian telah meneliti mengenai hubungan antara kepuasan kerja dan kepuasan keluarga

terhadap kepuasan hidup, ditemukan bahwa terdapat korelasi positif antara kepuasan kerja terhadap kepuasan

hidup dan kepuasan keluarga terhadap kepuasan hidup (Chiu, dkk., 1998). Ketika seseorang merasa bahagia

dengan keluarga maka hal tersebut akan berdampak pada kepuasan hidup yang juga semakin meningkat.

Chiu, dkk. (1998) menyatakan bahwa kepuasan keluarga merupakan salah satu komponen penting dari

kepuasan hidup. Beutell dkk. (1999) menemukan hubungan positif antara kepuasan kerja dan kepuasan

hidup. Pekerjaan memainkan peran utama dalam kehidupan banyak orang, sehingga kepuasaan dalam

pekerjaan merupakan salah satu factor utama dari kepuasan hidup. Menurut Kim dan Ling (2001) juga

221

National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x

Page 6: Work Family Conflict and Satisfaction Outcomes: Job-Demand …repo.polinpdg.ac.id/681/1/ASCNITech_2016_NonREKAYASA_-_Jovi... · Greenhaus dan Beutell (1985), mengacu dari teori yang

menyatakan bahwa ketika seseorang merasa puas dengan kehidupan kerja dan keluarga maka akan

meningkatkan kepuasan hidup orang tersebut. Maka dari itu

H4 : (a) kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap kepuasan hidup dan (b) kepuasan keluarga

berpengaruh positif terhadap kepuasan hidup

Tuntutan dalam pekerjaan dan keluarga berpengaruh terhadap WFC ataupun FWC namun pengaruh

tersebut dapat diminimalkan ketika adanya dukungan sosial baik dari pekerjaan maupun personal. Marcinkus,

dkk (2006) menyatakan bahwa dukungan social mampu berperan sebagai antecedent, efek langsung,

mediator dan moderator. Marcinkus, dkk (2006) juga menyatakan bahwa ketika karyawan merasa bahwa

dirinya didukung oleh atasan, seperti diijinkan tidak masuk untuk merawat anak yang sedang sakit, maka hal

tersebut akan menurunkan pengaruh negative job demand terhadap WFC. Pegawai yang memandang bahwa

perusahaan kurang mendukung urusan keluarga didapati mengalami lebih banyak WFC, lebih sedikit

kepuasan kerja, lebih sedikit komitmen organisasi dan lebih tinggi keinginan untuk keluar dibandingkan

dengan perusahaan yang memberikan dukungan terhadap urusan keluarga.

Begitupula ketika seseorang merasakan adanya dukungan yang berasal dari kehidupan pribadinya,

seperti dukungan dari pasangan, maka hal tersebut akan dapat memotivasi seseorang untuk memenuhi semua

tuntutan pekerjaan sehingga akan menurunkan FWC. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh

Demerouti, Peeters dan Van Der Heijden (2012) bahwa untuk menyeimbangkan tuntutan yang ada di dalam

pekerjaan dan keluarga seringkali seseorang mendapatkan dukungan dari pasangannya untuk memenuhi

tuntutan-tuntutan tersebut sehingga meminimalisir terjadinya FWC. Dukungan social yang berasal dari

keluarga memiliki hubungan negative dengan gangguan keluarga terhadap pekerjaan ( dimensi dari WFC).

Hubungan tersebut memberikan dukungan bahwa untuk mengurangi WFC bisa dilakukan dengan

mengurangi tuntuan waktu dan stress ( Demerouti, dkk, 2006). Maka dari itu :

H5 : Dukungan sosial akan memoderasi hubungan antara (a) job demand dan WFC serta (b)

family demand dan FWC

3. METODE PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini adalah Polisi yang bekerja di bagian lalu lintas serta reserse. Dalam

penelitian ini, teknik sampling yang digunakan adalah nonprobability sampling. Nonprobability sampling

merupakan teknik sampling yang digunakan ketikan probabilitas elemen dalam populasi untuk terpilih

sebagai subyek sampel tidak diketahui (Sekaran 2006:135). Dari keseluruhan jenis dalam teknik

nonprobability sampling di pilih jenis purposive sampling yang sesuai dengan tujuan penelitian. Menurut

Sekaran (2006:136) Purposive sampling perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi dari sasaran spesifik.

Dalam penelitian ini kelompok yang diyakini dapat memberikan informasi yang diinginkan adalah anggota

kepolisian yang telah menikah dan memiliki anak dan memiliki jam kerja yang tidak teratur. Hal tersebut di

tentukan terkait adanya variable family demand dan job demand. Dimana peneliti memiliki asumsi bahwa

anggota polisi yang telah menikah dan memiliki anak akan mendapatkan tuntutan dari keluarga lebih tinggi

dibandingkan dengan polisi yang belum menikah dan/atau belum memiliki anak dan anggoa polisi yang

memiliki jam kerja kurang teratur akan merasakan tuntutan pekerjaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

polisi yang memiliki jam kerja teratur.

Job demand atau tuntutan pekerjaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai aspek-aspek dalam

pekerjaan yang membutuhkan usaha baik fisik maupun mental, aspek-aspek tersebut bisa berupa beban kerja

yang besar, jam kerja terbatas dan tuntutan yang berlawanan. Untuk mengukur variable tersebut

memodifikasi item-item dari Sanne, Mykletun, Dahl, Moen dan Tell (2005).

Family demand atau tuntutan keluarga dalam penelitian ini didefinisikan sebagai aspek-aspek dalam

pekerjaan rumah tangga yang membutuhkan usaha baik fisik maupun mental. Untuk mengukur variable

tersebut, item-item dari Sanne, dkk. (2005) digunakan dengan modifikasi pada domain.

Dalam penelitian ini dukungan sosial dipisahkan berdasarkan domainnya sehingga terdapat dua jenis

dukungan sosial yaitu dukungan sosial yang berasal dari lingkungan pekerjaan dan dukungan sosial yang

berasal dari luar lingkungan pekerjaan. Dukungan sosial dari lingkungan pekerjaan (work-related social

support) merupakan dukungan yang berasal dari lingkungan pekerjaan, baik dari rekan kerja ataupun atasan

yang dirasakan oleh karyawan. Untuk pengukuran variable tersebut mengadopsi item-item yang digunakan

oleh Foley, Ngo dan Lui (2005). Dukungan sosial dari luar lingkungan pekerjaan (nonwork-related social

support) merupakan dukungan yang berasal dari luar lingkungan pekerjaan, baik dari pasangan, teman atau

222

National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x

Page 7: Work Family Conflict and Satisfaction Outcomes: Job-Demand …repo.polinpdg.ac.id/681/1/ASCNITech_2016_NonREKAYASA_-_Jovi... · Greenhaus dan Beutell (1985), mengacu dari teori yang

sahabat ataupun dari anggota keluarga lainnya. Untuk pengukuran variable tersebut mengadopsi item-item

yang digunakan oleh Zimet, dkk. (1988).

Work-to-Family Conflict atau WFC adalah adanya gangguan dari pekerjaan sebagai seorang Polisi

yang membuat terganggunya peran di dalam keluarga. Work-to-Family Conflict atau WFC adalah adanya

gangguan dari pekerjaan sebagai seorang Polisi yang membuat terganggunya peran di dalam keluarga. Untuk

pengukuran variable ini mengadopsi item-item yang digunakan oleh Carlson, Kacmar dan William (2000)

Family-to-Work Conflict atau FWC adalah adanya gangguan dari domain keluarga yang membuat

terganggunya peran Polisi di dalam pekerjaan. Untuk pengukuran variable ini mengadopsi item-item yang

digunakan oleh Carlson, Kacmar dan William (2000).

Kepuasan kerja adalah adalah sebagai suatu perasaan menyenangkan atau emosi positif sebagai

suatu hasil pengalaman kerja seseorang. Untuk pengukuran variable ini mengadopsi item-item dari

Bacharach, Bamberger dan Sharon (1991).

Kepuasan keluarga adalah suatu evaluasi subjektif berdasarkan kehidupan keluarga seseorang.

Untuk mengukur variable kepuasan keluarga, maka digunakan item pengukuran Fowers dan Olson (1993).

Kepuasan hidup adalah suatu evaluasi subjektif yang dirasakan seseorang tentang pencapaian dalam

hidup dan kualitas hidup yang dirasakan seseorang. Untuk mengukur variabel tersebut mengadopsi item-item

pengukuran dari Parker dan Chusmir’s (1991) dalam Lirio, dkk (2007).

Penelitian ini menggunakan kuesioner untuk mengumpulkan data penelitian, dan untuk mengetahui

tingkat validitas dari kuesioner tersebut maka dilakukan analisis faktor untuk menguji validitas dari masing-

masing indicator. Prosedur dari analisis faktor ini adalah dengan melihat nilai dari loading factor per

komponen yang terbentuk. Indikator dikatakan valid apabila memiliki nilai loading factor lebih besar atau

sama dengan 0.5. Untuk mengukur tingkat reliabilitas variabel penelitian maka digunakan koefisien alfa atau

cronbach’s alpha. Item pengukuran dikatakan reliabel jika memiliki nilai koefisien alfa lebih besar dari 0,6

(Ghazali,2006).

4. Hasil dan Pembahasan

Jumlah kuesioner yang disebarkan oleh peneliti adalah 470 kuesioner. Dari 470 kuesioner yang telah

disebar, terdapat 198 kuesioner yang kembali dengan rincian 25 kuesioner dari Polsek Pabean

Cantikan(12.63 %), 20 kuesioner dari Polsek Tenggilis(10.10 %), 30 kuesioner dari Polsek Mulyosari(15.15

%), 15 kuesioner dari Polsek Waru(7.58 %), 15 kuesioner dari Polsek Wonokromo(7.58 %) dan 108

kuesioner dari Polda Jawa Timur(54.55 %). Namun dari 198 kuesioner yang kembali, hanya 178 yang dapat

digunakan. 20 kuesioner lainnya harus dieliminasi karena tidak lengkap.

Mayoritas responden dalam penelitian ini adalah berjenis kelamin laki-laki dalam penelitian ini

berjumlah 85.44 % dan responden berjenis kelamin perempuan berjumlah 14.56 %. Mayoritas responden

dalam penelitian ini berada pada interval usia antara 30-39 tahun yaitu sebanyak 36.71%, responden berusia

20 – 29 tahun dalam penelitian ini berjumlah 10.76%, responden berusia 40 – 49 tahun berjumlah 24.68%

dan responden berusia lebih dari 49 tahun sebanyak 27.85%. Ditinjau dari unit kerja, responden dalam

penelitian terbagi dalam beberapa unit kerja yaitu Satintelkam dalam penelitian ini berjumlah 10.76%,

responden dari Satreskrim berjumlah 18.99%, responden dari Satresnarkoba berjumlah 12.66 %, responden

dari Satbinmas berjumlah 5.06%, responden dari Satsabhara berjumlah 22.15%, responden dari Satlantas

berjumlah 17.09% dan responden dari Labfor berjumlah 13.29%. Selain itu juga diketahui bahwa responden

dengan masa kerja 0 - 9 tahun dalam penelitian ini berjumlah 13.92% (22 Orang), responden dengan masa

kerja 10 – 19 tahun berjumlah 38.61%, responden dengan masa kerja 20 - 29 tahun berjumlah 26.58% dan

responden dengan masa kerja lebih dari 29 tahun sebanyak 20.89%.

Penelitian ini menggunakan alat analisis berupa Partial Least Square atau PLS untuk menguji

hipotesis-hipotesis yang telah diajukan. Berdasarkan analisis outer model dapat diketahui beberapa hal

sebagai berikut

1. Terdapat beberapa indicator yang harus dieliminasi karena memiliki nilai kurang dari 0.5. Adapun

indicator-indikator tersebut adalah 2 indikator dari job dan family demand serta 5 indikator dari

work related social support dan non work related social support

2. Nilai composite reliability untuk semua variable berada di atas 0,7, job demand (1), family demand

(1), WFC (0,83), FWC (0,84), job satisfaction (0,89), family satisfaction (0,93), life satisfaction

(0,94), work related social support (0.79), non work related social support (0,72)

223

National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x

Page 8: Work Family Conflict and Satisfaction Outcomes: Job-Demand …repo.polinpdg.ac.id/681/1/ASCNITech_2016_NonREKAYASA_-_Jovi... · Greenhaus dan Beutell (1985), mengacu dari teori yang

Berikut adalah hasil dari uji hipotesis dalam penelitian ini Table 1 Hasil Uji Hipotesis

Original

Sample (O)

Standard

Deviation

(STDEV)

T Statistics

(|O/STERR|) Keterangan

JD -> WFC 0.319059 0.082868 3.850231 H1(a) Diterima

FD -> FWC 0.328736 0.086163 3.815294 H1(b) Diterima

FWC -> JS -0.297657 0.105137 2.831144 H2 Diterima

WFC -> FS 0.090108 0.129245 0.697188 H3 Tidak Diterima

JS -> LS 0.291472 0.13711 2.125818 H4(a) Diterima

FS -> LS 0.465013 0.171697 2.708329 H4(b) Diterima

JD * WRSS ->

WFC 1.123368 0.535467 2.097923 H5(a) Diterima

FD * NWRSS ->

FWC -0.13457 0.20488 0.656826

H5(b) Tidak

Diterima

Studi ini memberikan kontribusi untuk literatur pengembangan manajemen pada beberapa hal.

Pertama, berdasarkan dari JD-R model, penelitian ini mengusulkan bahwa tuntutan pekerjaan dan keluarga

memainkan peran penting dalam memprediksi kerja keluarga dan konflik kerja keluarga. Hasil ini konsisten

dengan model yang JD-R, ketika individu merasakan tingginya tuntutan pekerjaan dan keluarga akan

mempengaruhi pemenuhan peran mereka di tempat kerja dan juga di rumah. Temuan utama dari studi ini

adalah bahwa kedua tuntutan tersebut, yaitu pekerjaan dan keluarga merupaka prediktor kuat dalam

memprediksi tingkat WFC dan FWC seseorang. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ketika individu

mengalami tuntutan pekerjaan yang tinggi, maka individu tersebut akan rentan untuk mengalami WFC.

Selain itu, tuntutan di dalam keluarga juga memiliki peran penting dalam memprediksi FWC. Ketika individu

merasa tingginya tuntutan di dalam keluarga maka dan individu tersebut memiliki kecenderungan untuk tidak

mampu memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut sehingga hal itu akan menyebabkan konflik kerja keluarga.

Kedua, dalam penelitian ini tidak terbukti bahwa WFC berpengaruh terhadap Family Satisfaction.

Ford, dkk (2007) menjelaskan bahwa ada perbedaan pengaruh yang di berikan oleh jenis kelamin karyawan

terhadap family satisfaction. Pengaruh tersebut berkaitan dengan role demand dan role identification yang

dirasakan oleh karyawan. Dari sudut pandang role demand, karyawan yang memiliki jenis kelamin laki – laki

akan cenderung untuk memenuhi segala tuntutan yang diberikan oleh pekerjaannya, sedangkan karyawan

dengan jenis kelamin perempuan akan lebih mendahulukan tuntutan dalam keluarga. Dari sudut pandang role

identification, karyawan dengan jenis kelamin laki – laki akan memberikan perhatian lebih pada perannya

dalam pekerjaan, sedangkan karyawan dengan jenis kelamin perempuan akan lebih memberikan perhatian

pada perannya dalam keluarga. Hal tersebut didorong karena karyawan dengan jenis kelamin laki – laki

merasa bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk memnuhi kebutuhan ekonomi di dalam keluarga.

Perhatian besar yang diberikan karyawan laki – laki pada pekerjaan juga menyebabkan mereka lebih mudah

mengalami rasa lelah secara psikologis karena tekanan dalam pekerjaan.

Ford, dkk (2007) juga menjelaskan bahwa kondisi keluarga juga memberikan pengaruh terhadap

family satisfaction yang dirasakan oleh karyawan. Kondisi keluarga yang dibahas dalam konteks ini adalah

jumlah anggota keluarga yang menghasilkan pendapatan. Ketika pekerja dan pasangan sama – sama memiliki

pekerjaan full-time , maka waktu yang dimiliki untuk “bekerja” sebagai anggota keluarga akan berkurang.

Berbeda dengan kondisi ketika pasangan pekerja tidak memiliki pekerjaan. Pasangan tersebut dapat di

asumsikan memiliki waktu lebih untuk melakukan pekerjaan di dalam rumah dan tanggung jawab lainnya di

dalam keluarga. Oleh karenanya, ketika pekerja dan pasangannya memiliki pekerjaan maka kepuasan terkait

dengan keluarga akan terganggu karena baik pekerja dan pasangannya memiliki tekanan yang muncul di

dalam pekerjaan dan memiliki sedikit waktu untuk mengerjakan pekerjaan di dalam rumah. Selain itu,

mendukung pernyataan Ford (2007) bahwa ketika pasangan pekerja tidak memiliki pekerjaan dan pasangan

224

National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x

Page 9: Work Family Conflict and Satisfaction Outcomes: Job-Demand …repo.polinpdg.ac.id/681/1/ASCNITech_2016_NonREKAYASA_-_Jovi... · Greenhaus dan Beutell (1985), mengacu dari teori yang

tersebut memiliki waktu lebih untuk melakukan pekerjaan di dalam rumah dan tanggung jawab lainnya di

dalam keluarga, maka pekerja akan cenderung merasakan family satisfaction.

Ketiga, Berdasarkan hasil dalam penelitian ini, terbukti bahwa family satisfaction dan job satisfaction

memberikan pengaruh terhadap life satisfaction. Artinya adanya family satisfaction dan job satisfaction akan

memberikan pengaruh pada life satisfaction yang dirasakan oleh anggota polisi. Hasil tersebut mendukung

temuan Beutell, dkk (1999) bahwa kepuasan pada aktifitas terkait kehidupan (job satisfaction dan family

satisfaction) akan memberikan pengaruh positif pada life satisfaction. Hal tersebut disebabkan karena life

satisfaction merupakan representasi dari seluruh kualitas kehidupan seseorang, sehingga pekerjaan dan

keluarga menjadi pengukuran subyektif terkait hal tersebut. Greenhaus dan Collins (2003) juga menjelaskan

bahwa ada hubungan antara keseimbangan kepuasan dengan kualitas kehidupan yang dipengaruhi oleh

tingkat kepuasan atas pekerjaan dan keluarga. Ketidak seimbangan pada salah satu domain kepuasan akan

menyebabkan rasa stress yang menurunkan kualitas kehidupan seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa

perasaan puas anggota polisi terkait dengan pekerjaan dan keluarga akan memberikan pengaruh terhadap

perasaan puas anggota polisi terhadap kualitas kehidupannya.

Keempat, berdasarkan hasil dalam penelitian ini, terbukti bahwa terdapat efek moderasi oleh work-

related social support pada hubungan job demand dan work-to-family conflict. Namun, non-work related

social support tidak terbukti mampu memberikan efek moderasi pada hubungan family demand dan family-

to-work conflict. Artinya terdapat dukungan social dari lingkungan pekerjaan di kepolisian daerah Surabaya

yang mampu mengurangi dampak negative job demand terhadap work-to-family conflict, namun tidak

dengan dukungan social dari lingkungan di luar keluarga. Efek moderasi work-related social support yang

ditemukan, didukung oleh penelitian Lu, dkk (2010) di mana dukungan dari supervisor mampu mengurangi

work family conflict. Apabila seorang individu mendapatkan masalah dalam pekerjaan namun merasakan

adanya dukungan social dari rekan kerja, maka tekanan yang dirasakan dari masalah tersebut bisa di

minimalisir (Carlson, dkk, 1999). Carlson, dkk (1999) juga menambahkan bahwa rekan kerja dan supervisor

mampu menciptakan lingkungan kerja yang positif, contohnya saat supervisor mampu mengurangi tekanan

di tempat kerja dengan melakukan diskusi ringan terkair masalah keluarga dan bersikap fleksibel saat ada

pegawai yang memiliki masalah.

Hal lainnya yang mampu menjelaskan terbuktinya efek moderasi oleh work-related social support

pada hubungan job demand dan work-to-family conflict ketika non-work related social support tidak terbukti

mampu memberikan efek moderasi pada hubungan family demand dan family-to-work conflict adalah

perbedaan jenis kelamin. Murphy dan Gordon (2007) menemukan bahwa perempuan lebih merasakan adanya

personal social support dibandingkan work-based social support. Perbedaan tersebut muncul karena

perempuan cenderung lebih merasa nyaman untuk meminta dukungan dari lingkungan social di luar

pekerjaan. Perempuan akan merasa bahwa lingkungan pekerjaan akan menganggapnya kurang berkomitmen

dengan pekerjaan jika mereka meminta dukungan dari supervisor, rekan kerja dan organisasi untuk

memfasilitasi keseimbangan antara kehidupan di dunia kerja dan keluarga. Berbeda dengan pegawai laki –

laki yang memiliki kecenderungan tidak percaya pada banyak orang. Vaux (1985) menjelaskan bahwa untuk

menciptakan hubungan yang intim pada pegawai laki – laki akan membutuhkan pegawai laki – laki untuk

lebih ekspresif, lebih terbuka, menekan sikap kompetitif, dan menghilangkan ketakutan akan effeminate

characteristic. Hal tersebut akan terasa berat karena pegawai laki – laki memiliki kecenderungan untuk

berdiri sendiri dan tidak yakin bahwa ada orang lain yang bisa membantu (Vaux, 2007). Selain itu, pegawai

laki – laki cenderung hanya bisa merasakan dukungan dalam bentuk instrumental, sedangankan non work-

based social support lebih sering berbentuk dukungan dalam bentuk emosional. Lin (1986) juga menjelaskan

bahwa dukungan dalam bentuk instrumental akan lebih sering berfokus pada pengembangan karir.

5. Kesimpulan dan Saran Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tuntutan pekerjaan dan keluarga merupakan faktor

penting yang dapat mempengaruhi tingkat WFC dan FWC yang dialami oleh seseorang. Selain itu ditemukan

pula bahwa konflik keluarga-pekerjaan atau FWC berpengaruh negative terhadap tingkat kepuasan kerja atau

job satisfaction seseorang. Job dan family satisfaction merupakan prediktor penting terhadap tingkat

kepuasan hidup seseorang. Kemudian, tingkat WFC yang dialami oleh seseorang karena tingginya tingkat

tuntutan pekerjaan dapat diminimalkan dengan adanya dukungan sosial yang berasal dari pekerjaan. Maka

dari itu hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada perusahaan dalam

meminimalkan tingkat WFC yang dialami oleh karyawannya dengan cara memberikan dukungan terhadap

karyawan.

225

National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x

Page 10: Work Family Conflict and Satisfaction Outcomes: Job-Demand …repo.polinpdg.ac.id/681/1/ASCNITech_2016_NonREKAYASA_-_Jovi... · Greenhaus dan Beutell (1985), mengacu dari teori yang

Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Pertama, sampel dalam bahwa responden

adalah anggota profesi tertentu, sehingga temuan ini mungkin kurang bisa digeneralisasikan untuk profesi

yangberbeda. Maka dari itu peneliti menyarankan untuk menggunakan beragam profesi, tidak hanya polisi

tapi juga profesi lain yang rentan dengan tuntutan pekerjaan yang tinggi, seperti dokter, wartawan atau

perawat. Kedua, penelitian masa depan harus mempertimbangkan menggunakan hal lain untuk menguji efek

moderator dari masing-masing dimensi dukungan sosial dalam hubungan antara job demand dan WFC.

Daftar Pustaka

[1] Beutell, NJ. U.Wittig-Berman. (1999). Predictors of Work-Family Conflict and Satisfaction with Family,

Job, Career and Life. Psychological Reports. 85. P 893-903.

[2] Boyar, Scott L., Carl P. Maertz Jr, Donald C. Moesley Jr, and Jon C. Carr. 2003. Work-Family Conflict:

A Model of Linkages Between Work and Family Domain Variables and Turnover Intentions. Journal of

Managerial Issues. Vol. 15, No.2: 175-179

[3] Carlson, DS. PL, Perrewe. (1999). The Role of Social Support in the Stressor Strain Relationship : An

Examination of Work Family Conflict. Journal of Management. 25, p 513-540

[4] Cicek, Isik. (20130. Relationship between balance of job demands-control and shared mission/vision for

blue-collar employees. Journal of Social and Behavioral Science. 99, p 1093 - 1104

[5] Demerouti, E. M.C.W. Peeters. B.I.J.M. van der Heijden. (2012). Work-Family Interface from a life and

career stage perspective : The Role of Demands and Resources. International Journal of Psychology. 47.

P 241-258

[6] Diener, Ed. Emmons, Robert A. Larsen, Randy J. Griffin, Sharon. (11985). The Satisfaction with Life

Scale. Journal of Personality Assessment. 49.

[7] Foley, S. H.Y.Ngo. S. Lui. (2005). The effect of Work Stressors, Perceived Organizatonal Support, and

Gender on Work-Family Conflict in Hongkong. Asia PAsific Journal of Management. 22. p :237-256

[9] George, Jennifer M & Gareth R Jones. 2005. Understanding and Managing Organizational Behaviour.

Fourth Edition. Pearson Prentince Hall : New Jersey.

[10] Grandey, Alicia A., Bryanne L Cordeiro, Ann C Crouter. 2005. A Logitudinal and Multi-source Test of

the Work-Family Conflict and Job Satisfaction Relationship. Journal of Occupational and Organizational

Psychology. Vol 78, (September), p:305-323

[11] Greenhaus, JH. NJ. Beutell. (1985). Sources of Conflict between Work and Family Roles. Academy of

Management. 10, p 76-88

[12] Greenhaus, JH. KM. Collins. JD.Shaw. (2002). The Relation Between Work-Family Balance and

Quality of Life. Journal of Vocational Behavior. 63, p 510-531

[13] Hill, EJ, dkk. (2008). Exploring the relationshop of workplace flexibility, gender, and life stage to

family-to-work conflict and stress and burnout. Community, Work & Family. 11, p 165-181

[14] Kahn, R.L., Wolfe, D.M., Quinn, R., Snoek, J.D. and Rosenthal, R.A. (1964), Organizational Stress,

Wiley, New York, NY.

[15] Lirio, Pamela et al 2007. Exploring Career-Life Success and Family Social Support of Successful

Women in Canada, Argentina, Mexico. Career Development International. 12, 1.

[16] Luthans, Fres. 1998. Organizational Behavior. Eighth Edition. Irwin/McGraw-Hill : USA.

[17] Marcinkus, W.C. K.S.Whelan-Berry. JR Gordon. (2006). The Relationship of Social Support to the

work-family balance and work outcomes of midlife women. Women in Management Review. 22,p 86-

111

[18] Mills, Robert John. Grasmick, Harold G. Morgan, Carolyn Stout. Wenk, DeeAnn. (1992). The Effects of

Gender, Family Satisfaction, and Economic Strain on Psychological Well-Being. Journal of Family

Relation. 41, p 440 – 445

[19] Namasivayam, K. Zhao, X. (2007). An Investigation of The Moderating Effects of Organizational

Commitment on the Relationship Between Work-Family Conflict and Job Satisfaction among Hospitality

Employees in India. Tourism Management. 28, 5, 1212-1223.

[20] Pavot, W. E.Diener. (2008). The Satisfaction with Life Scale and the Emerging Construct of Life

Satisfaction. Journal of Applied Psychology. 3, p 137-152

[21] Sanne, Bjarte. Mykletun, Arnstein. Dahl, Alv A. Moen, Bente E. Tell, Grethe S. (2005). Testing the Job

Deman-Control-Support Model with Anxiety and Depression as Outcomes: The Hordaland Helath Study.

Journal of Occupational Medicine. 55, p 463 – 473

226

National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x

Page 11: Work Family Conflict and Satisfaction Outcomes: Job-Demand …repo.polinpdg.ac.id/681/1/ASCNITech_2016_NonREKAYASA_-_Jovi... · Greenhaus dan Beutell (1985), mengacu dari teori yang

[22] Schaufeli, WB. A.B Bakker. (2004). Job Demands, Job Resources, and Their Relationship with Burnout

and Engagement. Journal of Organizational Behavior. 25, p 293-315.

[23] Van Steenbergen, EF. E.S Kluwer. BR.Karney. (2014). Work Family Enrichment, Work Family

Conflict and Marital Satisfaction: A Dyadic Analysis. Journal of Occupational Health Psychology. 19,2,

182-194

[24] Yang, N., Chen, C. C., Choi, J., & Zou,Y. (2000). Sources of work-family conflict:A Sino-U.S.

comparison of the effects of work and family demands. Academy of Management Journal, 43, 113-123.

[25]http://www.thejakartapost.com/news/2012/11/01/survey-shows-indonesians-worry-about-work-life-

balance.html (diakses pada tanggal 19 Maret 2015)

Biodata Penulis

Jovi Sulistiawan, memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (S.E.), Program Studi Manajemen FE [Universitas Airlangga],

lulus tahun 2010. Tahun 2013 memperoleh gelar Master Sains Managemnt (M.SM) dari Magister Sains Manajemen

[Universitas Airlangga]. Saat ini sebagai Staf Pengajar pada Program Studi S1 Manajemen [Universitas Airlangga].

227

National Conference of Applied Sciences, Engineering, Business and Information Technology. Politeknik Negeri Padang, 15 – 16 Oktober 2016 ISSN:2541-111x