wrap up a2 (rjp, trauma uretra,trauma pelvis, trauma mata)

48
SKENARIO 2 TRAUMA PELVIS BLOK EMERGENSI KELOMPOK A-2 Ketua : Dea Rizqi Rohmah (1102009070) Sekertaris : Anneu Rostiana (1102009036) Anggota : 1.Fahada Indi (1102007106) 2. Fairuz Djafar (1102008100) 3. Anika Rifany (1102009033) 4. Arwan Firmansyah (1102009042)

Upload: aria-kapriyati

Post on 28-Sep-2015

34 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

trauma

TRANSCRIPT

SKENARIO 2TRAUMA PELVIS BLOK EMERGENSI

KELOMPOK A-2

Ketua: Dea Rizqi Rohmah(1102009070)Sekertaris : Anneu Rostiana(1102009036)Anggota :1. Fahada Indi(1102007106)2. Fairuz Djafar (1102008100)3. Anika Rifany(1102009033)4. Arwan Firmansyah(1102009042) 5. Dian puspitarini(1102009079)6. Ermi Atiyah(1102009100)7. Fatihah Iswatun Sahara(1102009109)8. G. Ayu Amelinda Hanjani (1102009119)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSITahun Ajaran 2012/20131. Memahami penurunan kesadaran dan resusitasi jantung paru

Menjelaskan fisiologi kesadaran

RANGSANG

SPESIFIKNON SPESIFIK

SUBSTANSIA RETIKULARIS SUBSTANSIA RETIKULARIS

FORMATIO RETIKULARISFORMATIO RETIKULARIS

THALAMUSTHALAMUS (inti intralaminar) (inti intralaminar)

Korteks Korteks (area spesifik) (seluruh bagian)

Kesadaran dibagi dua yaitu kualitas dan derajat kesadaran. Jumblah(kuantitas) input/rangsangan menentukan derajat kesadaran, sedangkan kualitas kesadaran ditentukan oleh cara pengolahan input yang menghasilkan output SSP. Pada topik koma kita lebih menitikberatkan kepada derajat dari kesadaran. Berdasarkan skema diatas kita dapat melihat bahwa input/rangsangan dibagi dua, spesifik dan non-spesifik. Input spesifik merujuk kepada perjalanan impuls aferen yang khas dimana menghasilkan suatu kesadaranyang khas pula. Lintasan yang digunakan impuls-impuls tersebut dapat dinamakan lintasan yang menghubungkan suatu titik pada tubuh dengansuatu titik di daerah korteks primer (penghantarannya berlangsung dari titik ketitik), yang berarti bahwa suatu titik pada kulit yang dirangsang mengirimkanimpuls yang akan diterima oleh sekelompok neuron dititik tertentu daerahreseptif somatosensorik primer. Setibanya impuls aferen di tingkat korteks terwujudlah suatu kesadaran akan suatu modalitas perasaan yang spesifik, yaitu perasaan nyeri di kaki atau di wajah atau suatu penglihatan, penghiduanatau suatu pendengaran tertentu.Input yang bersifat non-spesifik adalah sebagian dari impuls aferenspesifik yang disalurkan melalui lintasan aferen non-spesifik (lintasan ini lebihdikenal sebagai diffuse ascending reticular system) yang terdiri dariserangkaian neuron-neuron di substansia retikularis medulla spinalis danbatang otak yang menyalurkan impuls aferen ke thalamus (inti intralaminar).Inti intralaminar yang menerima impuls non-spesifik tersebut akan menggalakkan dan memancarkan impuls yang diterimanyamenuju/merangsang/menggiatkan seluruh korteks secara difuse dan bilateralsehingga timbul kesadaran/kewaspadaan.Karena itu, neuron-neuron inti intralaminar disebut neuron penggalakkewaspadaan, sedangkan neuron-neuron diseluruh korteks serebri yangdigalakkan disebut neuron pengemban kewaspadaan.Apabila terjadi gangguan sehingga kesadaran menurun sampai derajatyang terendah, maka koma yang dihadapi dapat terjadi oleh sebab neuronpengemban kewaspadaan sama sekali tidak berfungsi(koma kortikalbihemisferik) atau oleh sebab neuron penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan(koma diensefalik). Dari penjelasan diatas kita dapat melihat bahwa berdasarkan susunananatomi, koma dibagi menjadi 2 yaitu;koma kortikal bihemisferikdan komadiensefalik.

Gambar 1.1 koordinasi system afferen

Definisi kegawatdaruratan penurunan kesadaran

Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai final common pathway darigagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otakdengan akibat kematian.

Klasifikasi koma

Koma kortikal bihemisferik

Neuron merupakan satuan fungsional susunan saraf. Berbeda secara struktur, metabolisme dan fungsinya dengan sel tubuh lain. Pertama, neuron tidak bermitosis.Kedua, untuk metabolismenya neuron hanya menggunakan O2dan glukosa saja. Sebab bahan baku seperti protein, lipid, polysaccharide dan zat lain yang biasa digunakan untuk metabolisme sel tidak dapat masuk ke neuron karena terhalang oleh blood brain barrier.Angka pemakaian glukosa ialah 5,5 mg/100 gr jaringan otak/menit.Angka pemakaian O2ialah 3,3 cc/100 gr jaringan otak/menit. Glukosa yang digunakan oleh neuron 35% untuk proses oksidasi,50% dipakai untuk sintesis lipid, protein, polysaccharide, dan zat-zatlain yang menyusun infrastruktur neuron, dan 15% untuk fungsitransmisi.Hasil akhir dari proses oksidasi didapatkan CO2dan H2O serta ATPyang berfungsi mengeluarkan ion Na dari dalam sel danmempertahankan ion K di dalam sel. Bila metabolisme neuron tersebut terganggu maka infrastruktur dan fungsi neuron akan lenyap, bilamana tidak ada perubahan yang dapat memperbaiki metabolisme. Koma yang bangkit akibat hal ini dikenal juga sebagai KomaMetabolik.

Yang dapat membangkitkan koma metabolik antara lain:-Hipoventilasi-Anoksia iskemik.-Anoksia anemik.-Hipoksia atau iskemia difus akut.-Gangguan metabolisme karbohidrat.-Gangguan keseimbangan asam basa.-Uremia.-Koma hepatik-Defisiensi vitamin B.

Koma diensefalik

Koma akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formationretikularis di daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran). Secara anatomik koma diensefalik dibagi menjadi 2 bagian utama yaitu koma akibat lesi supratentorial dan lesi infratentorial. Lesi supratentorial.

Proses desak ruang supratentorial, lama kelamaan mendesakhemisferium kea rah foramen magnum, yang merupakan satu-satunyajalan keluaruntuk suatu proses desak didalam ruang tertutup sepertitengkorak. Karena itu batang otak bagian depan (diensefalon) mengalami distorsi dan penekanan.Saraf-saraf otak mengalami penarikan dan menjadi lumpuh dansubstansia retikularis mengalami gangguan. Oleh karena itu bangkitlahkelumpuhan saraf otak yang disertai gangguan penurunan derajat kesadaran. Kelumpuhan saraf otak okulomotorius dan trokhlearis merupakan cirri bagi proses desak ruang supratentorial yangsedang menurun ke fossa posterior serebri

Lesi infratentorial.

Ada 2 macam proses patologik dalam ruang infratentorial (fossakranii posterior). Pertama, proses diluar batang otak atau serebelumyang mendesak system retikularis. Kedua, proses didalam batang otakyang secara langsung mendesak dan merusak system retikularis batang otak.

Etiologi penurunan kesadaranPenyebab koma secara garis besar dapat disingkat/dibuat jembatankeledai menjadi kalimat SEMENITE. Selain itu ada juga beberapa buku yangmenggunakan jembatan keledai yang berbeda tetapi memiliki pengertianyang sama. Dari jembatan keledai ini kita juga dapat membedakan manakahyang termasuk ke dalam koma bihemisferik ataupun koma diensefalik.

S ; Sirkulasi gangguan pembuluh darah otak (perdarahan maupun infark)E ; Ensefalitis akibat infeksi baik oleh bakteri, virus, jamur, dllM ; Metabolik akibat gangguan metabolic yang menekan/mengganggukinerjaotak. (gangguan hepar, uremia, hipoglikemia, koma diabetikum, dsb).E ; Elektrolit gangguan keseimbangan elektrolit (seperti kalium, natrium).N ; Neoplasma tumor baik primer ataupun sekunder yang menyebabkanpenekanan intracranial. Biasanya dengan gejala TIK meningkat(papiledema, bradikardi, muntah).I ; Intoksikasi keracunan.T ; Trauma kecelakaan.E ; Epilepsi

Pemeriksaan GCS

kesadaran dapat dinilai dengan menggunakanGlasgow ComaScale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/ Mata (E), PemeriksaanMotorik (M ) dan Verbal (V). Pemeriksaan ini mempunyai nilai terendah3 dan nilaitertinggi15.

Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan/ mata:E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeriE2membuka mata dengan rangsang nyeriE3membuka mata dengan rangsang suaraE4 membuka mata spontanMotorik:M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeriM2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeriM3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeriM4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaranM5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaranM6 reaksi motorik sesuai perintah

Verbal:V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words)V4 bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)

Nilai GCSa. Skor 14-15 : compos mentis b. Skor 12-13 : apatisc. Skor 11-12 : somnolentd. Skor 8-10 : stupore. Skor < 5 : koma

Tatalaksana secara umumPenatalaksanaan penderita koma secara umum harus dikelola menurut prinsip 5 B yaitu1.BreathingJalan napas harus bebas dari obstruksi.Posisi penderita miring agar lidah tidak jatuh kebelakang,serta bilamuntah tidak terjadi aspirasi. Bila pernapasanberhenti segera lakukan resusitasi.

2.BloodDiusahakan tekanan darah cukup tinggi untukmengalirkan darah ke otak. Tekanan darah yang rendahberbahaya untuk susunan saraf pusat. Komposisi kimiawidarah dipertahankan semaksimal mungkin, karenaperubahan-perubahan tersebut akan mengganggu perfusidan metabolisme otak.

3.BrainUsahakan untuk mengurangi edema otak yangtimbul. Bila penderita kejang sebaiknya diberikandifenilhidantoin 3 dd 100 mg atau karbamezepin 3 dd 200 mgper os atau nasogastric. Bila perlu difenilhidantoin diberikanintravena secara perlahan.

4.BladderHarus diperhatikan fungsi ginjal, cairan,elektrolit, dan miksi. Kateter harus dipasang kecuali terdapat inkontinensia urin ataupun infeksi.

5.BowelMakanan penderita harus cukup mengandungkalori dan vitamin. Pada penderita tua sering terjadikekurangan albumin yang memperburuk edema otak, hal iniharus cepat dikoreksi. Bila terdapat kesukaran menelandipasang sonde hidung. Perhatikan defekasinya dan hindariterjadi obstipasiResusitasi Jantung Paru (RJP)

DefinisiTindakan yang dilakukan untuk mengatasi henti nafas dan henti jantungTujuanUntuk mengatasi henti nafas dan henti jantung sehingga dapat pulih kembaliIndikasi:1. Henti nafas (Respiratory Arrest), henti nafas yang bukan disebabkan gangguan pada jalan nafas dapat terjadi karena gangguan pada sirkulasi (asistole, bradikardia, fibrilasi ventrikel)2. Henti jantung (Cardiac Arrest) dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti: Hipoksemia karena berbagai sebab Gangguan elektrolit (hipokalemia, hiperkalemia, hipomagnesia) Gangguan irama jantung (aritmia) Penekanan mekanik pada jantung (tamponade jantung, tension pneumothoraks)Diagnosis: Tidak terdapat adanya pernafasan (dengan caraLook-Listen-Feel) Tidak ada denyut jantung karotisPerhatian:Pada pasien yang telah terpasang monitor EKG dan terdapat gambaranasistolepada layar monitor, harus selalu dicek denyut nadi karotis untuk memastikan adanya denyut jantung. Begitu juga sebaliknya pada pasien terpasang monitor EKG yang telah di-RJP terdapat gambaran gelombang EKG harus diperiksa denyut nadi karotis untuk memastikan apakah sudah teraba nadi (henti jantung sudah teratasi) atau hanya gambaran EKGpulseless. Jika nadi karotis belum teraba maka RJP dilanjutkan

TindakanTanpa alat:a. memberikan pernafasan buatan dan pijat jantung luar dengan perbandingan 2 : 30 dalam 2 menit (5 siklus). Tiap 5 siklus dievaluasi dengan mengecek pernafasan (LLF) dan jantung (perabaan nadi karotis). Jika masih henti jantung dan henti nafas, RJP dilanjutkanDengan alat:Untuk mencapai hasil RJP yang lebih baik harus segera diusahakan pemasangan intubasi endotrakealRJP dihentikanbila : Jantung sudah berdetak ditandai adanya nadi dan nafas sudah spontan Mengecek nadi dan pernafasan Penolong sudah kelelahan Pasien dinyatakan tidak mempunyai harapan lagi/meninggal

Aplikasi RJP (Resusitasi Jantung Paru)1. Jika kita melihat pasien/korban yang tergeletak tampak tidak bernafas, pertama kali yang kita harus lakukan adalah memastikan bahwa lingkungan di sekitar korban yang tergeletak itu aman. Jika belum aman (misalnya korban tergeletak di tengah jalan raya atau di dalam gedung terbakar), maka korban harus dievakuasi/dipindah terlebih dahulu ke tempat yang aman dan memungkinkan mendapatkan pertolongan.2. Nilai respon pasien apakah pasien benar-benar tidak sadar atau hanya tidur saja. Mengecek kesadarannya dengan cara memanggil-manggil nama pasien, menepuk atau menggoyang bahu pasien, misalnya Pak-pak bangun ! atau Bapak baik-baik saja? Jika masih belum sadar atau bangun juga bisa diberi rangsang nyeri seperti menekan pangkal kuku jari. Jika pasien sadar, tanyakan mengapa ia terbaring di tempat ini. Jika pasien sadar, terlihat kesakitan atau terluka segera cari bantuan dan kemudian kembali sesegera mungkin untuk menilai kondisi pasien.3. Jika tidak ada respon berarti pasien tidak sadar. Aktifkan sistem emergensi dengan cara meminta tolong dibawakan alat-alat emergensi atau dipanggilkan petugas terlatih atau ambulan jika berada di luar RS. Misalnya Tolong ada pasien tidak sadar di ruang A, tolong panggil petugas emergensi atau Tolong ambil alat-alat emergensi ada pasien tidak sadar di ruang A. Jika di lapangan : Tolong ada pasien tidak sadar di pantai tolong panggil ambulan atau 118 . Jika yang menemukan korban tidak sadar lebih dari satu orang, maka satu orang mengaktifkan sistem emergensi sedangkan lainnya menilai kondisi pasien. INGAT ! Dalam menolong pasien tidak sadar, kita tidak mungkin bekerja sendiri jadi harus meminta bantuan orang lain. Dalam meminta bantuan, penolong harus menginformasikan kepada petugas gawat darurat mengenai lokasi kejadian, penyebabnya, jumlah dan kondisi korban dan jenis pertolongan yang akan diberikan. Jika tersedia alat defibrilator dengan AED (Automatic Emergency Defibrilator), maka kita dapat menyiapkannya untuk pemeriksaan heart rate dan irama jantung dan jika ada indikasi melakukan defibrilasi.4. Gunakanmanuver chin liftuntuk membuka jalan nafas korban yang tidak mengalami cedera kepala dan leher. Jika diperkirakan ada trauma leher maka gunakan tehnik jaw thrust. Untuk lebih jelas lihat kembalipengelolaan jalan nafas.Periksa pernafasan dengan menggunakan tehnik LLF (Look, Listen, Feel) dengan tetap mempertahankan terbukanya jalan nafas selama 10 detik. Teknik LLF dapat dilihat dipengelolaan jalan nafas.5.Jika yakin tidak ada pernafasan maka segera berinafas buatandua kali pernafasan dengan tetap menjamin terbukanya jalan nafas. Bisa dengan mulut ke mulut/hidung atau dengan menggunakan sungkup muka. Satu kali pernafasan selama satu detik sampai dada tampak mengembang. Jika dada tidak mengembang kemungkinan pemberian nafas buatan tidak adekuat atau jalan nafas tersumbat.6. Setelah nafas buatan diberikan segera nilai sirkulasi denganmengecek nadi arteri karotis. Nadi carotis dapat diraba dengan menggunakan 2 atau 3 jari menempel pada daerah kira-kira 2 cm dari garis tengah leher atau jakun pada sisi yang paling dekat dengan pemeriksa. Waktu yang tersedia untuk mengukur nadi carotis sekitar 5 10 detik.7. Jika nadi teraba, nafas buatan diteruskan dengan kecepatan 10-12 kali/menit atau satu kali pernafasan diberikan setiap 5-6 detik disertai pemberian oksigen dan pemasangan infus. Jika perlu pemasangan ETT dan ventilator. Pemantauan/monitoring terus dilakukan. Pemeriksaan denyut nadi dilakukan setiap 2 menit sampai pasien stabil. Pasien dirawat di ruangIntensif Care Unit (ICU). Penyebab henti nafas harus dicari dengan melakukan anamnesis pada keluarga penderita dan pemeriksaan fisik8. Pikirkan penyebabnya hipotensi/syok, edema paru, infark myokard dan aritmia. Aritmia bisa berupa aritmia yang sangat cepat seperti Supra Ventrikel Takikardi (SVT), atrial flutter, atrial fibrilasi, ventrikel takikardi. Aritmia sangat lambat bisa berupa AV blok derajat II dan derajat III. Koreksi penyebab atau konsul ke dokter ahli.9. Jika nadi tidak teraba segera lakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) dengan perbandingan kompresi dada (pijat jantung luar) 30 dan ventilasi (nafas buatan) 2. Kecepatan kompresi dada adalah 100 kali/menit. Kompresi dada merupakan tindakan yang berirama berupa penekanan telapak tangan pada tulang sternum sepertiga bagian bawah dengan tujuan memompa jantung dari luar sehingga aliran darah terbentuk dan dapat mengalirkan oksigen ke otak dan jaringan tubuh. Usahakan mengurangi penghentian kompresi dada selama RJP.

Cara melakukan RJP:a.Penderita harus berbaring terlentang di atas alas yang keras. Posisi penolong berlutut di sisi korban sejajar dengan dada penderita.b.Penolong meletakkan bagian yang keras telapak tangan pertama penolong di atas tulang sternum di tengah dada di antara kedua puting susu penderita (2-3 jari di atas prosesus Xihoideus) dan letakkan telapak tangan kedua di atas telapak tangan pertama sehingga telapak tangan saling menumpuk. Kedua lutut penolong merapat, lutut menempel bahu korban, kedua lengan tegak lurus, pijatan dengan cara menjatuhkan berat badan penolong ke sternum.c. Tekan tulang sternum sedalam 4-5 cm (1 - 2 inci) kemudian biarkan dada kembali normal (relaksasi). Waktu kompresi dan relaksasi dada diusahakan sama. Jika ada dua penolong, penolong pertama sedang melakukan kompresi maka penolong kedua sambil menunggu pemberian ventilasi sebaiknya meraba arteri karotis untuk mengetahui apakah kompresi yang dilakukan sudah efektif. Jika nadi teraba berarti kompresi efektif.d. Setelah 30 kali kompresi dihentikan diteruskan dengan pemberian ventilasi 2 kali (1 siklus = 30 kali kompres dan 2 kali ventilasi). Setiap 5 siklus dilakukan monitoring denyut nadi dan pergantian posisi penolong jika penolong lebih dari satu orang.e. Jika terpasang ETT maka tidak menggunakan siklus 30 : 2 lagi. Kompresi dilakukan dengan kecepatan 100 kali/menit tanpa berhenti dan ventilasi dilakukan 8-10 kali/menit. Setiap 2 menit dilakukan pergantian posisi untuk mencegah kelelahan.RJP pada anak1. Letakkan penderita pada posisi terlentang di atas alas yang keras2. Tiup nafas dua kali (tanpa alat atau dengan alat)3. Pijat jantung dengan menggunakan satu tangan dengan bertumpu pada telapak tangan di atas tulang dada, di tengah sternum.4. Penekanan tulang dada dilakukan sampai turun 3-4 cm dengan frekuensi 100 kali/menit.RJP pada bayi1. Letakkan penderita pada posisi terlentang di atas alas yang keras2. Tiup nafas 2 kali3. Untuk pijat jantung gunakan penekanan dua atau tiga jari. Bisa menggunakan ibu jari tangan kanan dan kiri menekan dada dengan kedua tangan melingkari punggung dan dada bayi. Bisa juga dengan menggunakan jari telunjuk, jari tengah dan atau jari manis langsung menekan dada.4. Tekan tulang dada sampai turun kira-kira sepertiga diameter anterior-posterior rongga dada bayi dengan frekuensi minimal 100 kali/menit.RJP pada situasi khusus1. TenggelamTenggelam merupakan penyebab kematian yang dapat dicegah. Keberhasilan menolong korban tenggelam tergantung dari lama dan beratnya derajat hipoksia.

Penolong harus melakukan RJP terutama memberikan bantuan nafas, secepat mungkin setelah korban dikeluarkan dari air. Setelah melakukan RJP selama 5 siklus barulah seorang penolong mengaktifkan system emergensi. Manuver yang dilakukan untuk menghilangkan sumbatan jalan nafas tidak direkomendasikan karena bisa menyebabkan trauma, muntah dan aspirasi serta memperlambat RJP.2. HipotermiPada pasien tidak sadar oleh karena hipotermi, penolong harus menilai pernafasan untuk mengetahui ada tidaknya henti nafas dan menilai denyut nadi unuk menilai ada tidaknya henti jantung atau adanya bradikardi selama 30-45 detik karena frekuensi jantung dan pernafasan sangat lambat tergantung derajat hipotermi.Jika korban tidak bernafas, segera beri pernafasan buatan. Jika nadi tidak ada segera lakukan kompresi dada. Jangan menunggu suhu tubuh menjadi hangat. Untuk mencegah hilangnya panas tubuh korban, lepaskan pakaian basah, beri selimut hangat jika mungkin beri oksigen hangat.3. Sumbatan jalan nafas oleh benda asing

Posisi sisi mantap (recovery position)Posisi ini digunakan untuk korban yang tidak sadar yang telah bernafas normal dan sirkulasi aman. Posisi ini dibuat untuk menjaga jalan nafas tetap terbuka dan mengurangi risiko sumbatan jalan nafas dan aspirasi. Caranya korban diletakkan miring pada salah satu sisi tubuh dengan tangan yang dibawah berada di depan badan.

2. Memahami kegawatdaruratan pada trauma pelvis

DefinisiFraktur pelvis menyebabkan kurang dari 5% pada semua cedera rangka, tetapi cedera ini sangat penting karena tingginya insiden cedera jaringan lunak yang menyertainya dan resiko kehilangan darah yang hebat, syok sepsis dan sindrona gangguan pernafasan pada orang dewasa.Trauma buli-buli sering disebabkan rudapaksa dari luar dan sering di dapatkan bersama fraktur pelvis. Fraktur tulang panggul dapat menimbulkan kontusio/ruptur kandung kemih. Pada kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada buli-buli dengan hematuria tanpa ekstravasasi urin

Gbr. 2,1 A.Pelvis Pria, B.Pelvis Wanita (Richard Snell, 2012)Pelvic merupakan suatu tulang yang kaku, berperan sebagai rangkaian hubungan yang besar antara trunk dan extremitas inferior. Setiap tulang pelvic dibentuk oleh 3 tulang : os ilium, ischium dan pubis. Kedua tulang pelvic (kiri dan kanan) bersam-bung membentuk pelvic girdle. Kedua tulang pelvic secara kuat melekat pada sacrum melalui sacroiliaca joint.

Sacrum diikat dengan kuat oleh 2 tulang iliaca dan ligamen sacroiliaca anterior, posterior dan ligamen sacroiliaca interosseus yang memper-kuat sacroiliaca joint.Sacroiliaca joint juga diperkuat oleh ligamen iliolumbar, sacrotuberous, dan ligamen sacro-spinous serta bagian bawah oleh otot erector spine.Karena perlekatannya, maka sacrum dianggap sebagai bagian dari pelvic girdle.

Gerakan PelvicLateral tiltLateral tilt adalah suatu gerak rotasi pelvis da-lam bidang frontal sekitar axis sagital-horizon-tal sehingga salah satu crista iliaca turun dan yang lainnya naik. Pada lateral tilt ke kiri, crista iliaca sisi kiri akan turun dan sisi kanan akan naik

Rotasi (lateral twist)Rotasi (lateral twist) adalah suatu gerak rotasi pelvis dalam bidang horizontal sekitar axis vertikal/longitudinal. Dalam rotasi, pelvis bagian depan berputar ke arah belakang.Etiologi Tekanan anteroposterior akibat tabrakan frontal antara pejalan kaki dan mobil Tekanan lateral akibat kecelakan lalu lintas Pemuntiran vertical akibat seseorang jatuh dari tempat tinggi pada satu kaki 90% trauma tumpul buli-buli akibat fraktur pelvis. Robeknya buli-buli karena frakturpelvis bisa pula terjadi akibat fragmen tulang pelvis yang merobek dindingnya. Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenic antara lain pada reseksi buli-buli transurethral. Partus yang lama/tindakan operasi didaerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenic pada buli-buli. Dapat pula terjadi secara spontan, biasanya terjadi jika sebelumnya terdapat kelainan pada dinding buli-buli seperti tuberculosis, tumor buli-buli

KlasifikasiTILEmengklasifikasikan frakturpelvismenjadi 3 kelompok yaitu :1. Tipe A :Meliputi frakturpelvisyang stabilA1 : Fraktur avulsi tanpa gangguan cincinBiasanya berlokasi di anterosuperior atau anteroinferiorspina iliaca.Bisa juga terjadi pada tuberositas ischium akibat kontraksi kuat otot hamsring.

A2 : Frakturcincin pelvistanpa peranjakan.

A3: Fraktur transversal padasacrumdancoccyxtanpa melibatkancincinpelvis2. Tipe B :Meliputi fraktur-fraktur yang stabil secara vertical tetapi tidak stabil secara horisontal.B1 : Trauma konversi anteroposterior terdiri dari 3 stadium yaituStadium 1 : Pemisahansimfisis pubis< 2,5 cm tanpa keterlibatancincin pelvis posteriorStadium 2 : Pemisahansimfisis pubis> 2,5 cm dengan kerusakan pada cincin pelvis posterior unilateralStadium 3 : Pemisahansimfisis pubis> 2,5 cm dengan kerusakancincin pelvis posterior bilateral

B2 : Trauma kompresi lateral (ipsilateral)Tidak stabil pada rotasi internal melibatkan cincin anterior dan posterior dari hemipelvis ipsilateral

B3 : Trauma kompresi lateral (kontralateral)Tidak stabil pada rotasi internal dan terdapat keterlibatancincin pelvis anteriorkontralateral terhadap trauma posterior 3. Tipe C :Meliputi fraktur yang tidak stabil baik yang secara vertikal maupun horisontal.Dibagi menjadi 3 tipe yaitu:C1 : Kerusakan padapelvisanterior dan porterior ipsilateral dengan instabilitas vertikal dan horisontal pada hemipelvis yang terkena.C2 : Pemisahan hemipelvis bilateral dengan istabilitas rotasional dan vertical yang bermakna.C3 : Frakturpelvismanapun yang disertai dengan frakturacetabulumFraktur tipe ini biasanya diakibatkan oleh trauma dengan energi tinggi dengan instabilitas ligament atau tulang yang komplit.

Patofisiologi :Trauma kandung kemih terbanyak karena kecelakaan. Fraktur tulang panggul dapat menimbulkan kontusio atau ruptur kandung kemih. Pada kontusio buli-buli hanya terjadi memarpada dinding buli-buli dengan hematuria tanpa ekstravasasi urin. Ruptur kandung kemih dapat bersifat ekstraperitonneal ataupun intraperitoneal. Ruptur kandung kemih ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk fragmen fraktur tulang pelvis pada dinding dengan kandung kemih yang penuh. Pada kejadian ini terjadi ekstravasasi urin di rongga perivesikel. Trauma tumpul dapat menyebabkan ruptur buli-buli terutama jika buli-buli sedang terisi penuh atau terdapat kelainan patologik seperti TBC, sehingga trauma yang kecil bisa menyebabkan ruptur.

Manifestasi klinis : Umumnya fraktur tulang pelvis disertai perdarahan hebat sehingga dapat menyebabkan syok. Tampak jejas/hematoma pada abdomen bagian bawah. Nyeri tekan didaerahsuprapubik ditempat hematoma. Pada kontusio buli-buli: nyeri terutama bila ditekan didaerah suprapubik dan dapatditemukan hematurtia. Tidak terdapat rangsang peritoneum. Pada rupture buli-buli intraperitoneal: urin masuk ke rongga peritoneum sehingga memberi tanda cairan intraabdomen dan rangsang peritoneum. Tidak terdapat benjolan dengan perkusi pekak. Pada ruptur buli-buli ekstraperitoneal: infiltrat urin di rongga peritoneal yang sering menyebabkan septisemia. Penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil, kadang keluardarah dari uretra. Timbul benjolan yang nyeri dan pekak pada perkusi pada daerah suprapubik.

Diagnosis :

1. Diagnosis ditentukan berdasarkan tanda dan gejala klinik serta hematuria. Pada fotopelvis atau foto polos abdomen terlihat fraktur tulang pelvis.2. Pemeriksaan sistogram, dapat memberikan keterangan ada tidaknya ruptur kandung kemih dan lokasi ruptur apakah intra/ekstraperitoneal. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan medium kontras ke kandung kemih sebanyak 300-400 ml kemudian dibuat foto antero-posterior. Kandung kemih lalu dikosongkan dan dibilas dan dibuat foto sekali lagi. Bila tidak dijumpai ekstravasasi, diagnosisnya adalah kontusio buli-buli. Pada ruptur ekstraperitoneal, gambaran ekstravasasi terlihat seperti nyala api pada daerah perivesikel, sedangkan pada ruptur intraperitoneal terlihat kontras masuk ke dalam rongga abdomen.3. Pada ruptur kecil sistokopi dapat membantu diagnosis.4. Tes buli-buli: dilakukan dengan cara buli-buli dikosongkan terlebih dahulu dengan kateter, lalu dimasukkan 300 ml larutan garam faal, kateter kemudian diklem sebentarlalu dibuka kembali. Bila selisihnya cukup besar kemungkinan terjadi ruptur buli-buli.Tatalaksana

Penanganan darurat yang perlu dilakukan terutama adalah terhadap perdarahan dalam dan ekstravasasi urin. Fraktur yang merobek pembuluh darah dapat menyebabkan syok yang segera harus diatasi. Bila terdapat trauma kandung kemih atau trauma multipel, tindakan yang efektif pada fraktur pelvis yang tidak stabil adalah reposisi terbuka dengan fiksasi ekstern atau intern. Patah tulang pelvis terisolasi yang tidak merusak cincin pelvis dan tidak merusak kolom penunjang berat badan, tidak menggangu stabilitas pelvis dalam fungsinya sebagai penyangga dan mobilisasi sehingga tidak diperlukan reposisi.Fraktur os ilium akibat trauma langsung, menimbulkan rasa amat nyeri hanya diperlukan analgetik sampai nyeri hilang.Untuk fraktur yang merusak gelang pelvis tanpa pergeseran fragmen patah tulang yang terlampau hebat dan tidak merusak kontinuitas kolom penunjang berat badan, dianjurkan istirahat selama penderita belum dapat mengatasi nyerinya. Fraktur ramus os pubis akibat jatuh atau trauma kangkang bisa disertai robekan uretra atau ruptur buli-buli. Fraktur yang merusak gelang pelvis dibedakan atas tiga jenis :1) Fraktur tulang kompres antero-posterior akibat benturan keras dari arah depan membuat kedua sendi sacroiliaca merekah. Perawatan yang dilakukan adalah perawatan ayunan pelvis di dalam kain ambin memenuhi syarat imobilisasi secara memadai.2) Fraktur kompresi lateral akibat pukulan atau cedera keras pada 1 sisi pelvis yang menyebabkan fraktur ramus pubis sehingga bergeser dan merusak sacrum, sendi scaro-iliaca atau ala os ilium pada sisi trauma. Pada fraktur ini dapat terjadi reposisi spontan pada saat berbaring dan pemasangan ayunan pelvis untuk mendapatkan serta mempertahankan reposisi.3) Fraktur trauma vertikal, tidak stabil dan memerlukan traksi skelet continue dengan pin pada femur untuk mereposisi dan mempertahankan reposisi. Apabila fraktur bawah terputar ke ventral, traksi diberikan dengan panggul extensi. Sedangkan bila fragmen distal terputar ke belakang traksi diberikan dalam panggul fleksi. Traksi harus dipertahankan dalam 3 bulan.

Komplikasi

Nyeri sacroiliaca sering ditemukan setelah fraktur pelvis tak stabil. Cedera uretra berat dapat menimbulkan striktur uretra, inkontinensia dan impotensi. Ruptur uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simpisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis dapat menyebabkan robekan uretra pars prostate membranacea. Ruptur uretra anterior, cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra anterior adalah straddle injury (cedera selangkangan) yaitu uretra terjepit di antara tulang pelvis dan benda tumpul.

3. Memahami kegawatdaruratan pada trauma uretraTrauma saluran kemih sering tak terdiagnosa atau terlambat terdiagnosa karena perhatian penolong sering tersita oleh jejas-jejas ada di tubuh dan anggota gerak saja, kelambatan ini dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti perdarahan hebat dan peritonitis, oleh karena itu pada setiap kecelakaan trauma saluran kemih harus dicurigai sampai dibuktikan tidak ada.7Trauma saluran kemih sering tidak hanya mengenai satu organ saja, sehingga sebaiknya seluruh sistem saluran kemih selalu ditangani sebagai satu kesatuan. Juga harus diingat bahwa keadaan umum dan tanda-tanda vital harus selalu diperbaiki/dipertahankan, sebelum melangkah ke pengobatan yang lebih spesifik.7Trauma urethra biasanya terjadi pada pria jarang pada wanita.sering ada hubungan dengan fraktur pelvis dan straddle injuri. Trauma uretra biasanya lebih sering pada anak-anak laki-laki dibandingkan dewasa yaitu pada usia sekitar 15 tahun. Urethra pria terdapat dua bagian yaitu anterior yang terdiri dari urethra pars glanularis, pars pendulans, pars bulbosa dan posterior yang terdiri dari pars membranacea dan pars prostatika. Bagian-bagian uretra dapat mengalami laserasi, transeksi atau kontusio. Penangannya berdasarkan berat ringannya trauma

ANATOMI URETRAUretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian buli-buli sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang bervariasi.Uretra pria dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan bagian posterior. Uretra posterior dibagi menjadi uretra pars prostatika dan uretra pars membranasea. Uretra anterior dibagi menjadi meatus uretra, pendulare uretra dan bulbus uretra. Dalam keadaan normal lumen uretra laki-laki 24 ch, dan wanita 30 ch. Kalau 1 ch = 0,3 mm maka lumen uretra laki-laki 7,2 mm dan wanita 9 mm.3 Urethra bagian anteriorUretra anterior memiliki panjang 18-25 cm (9-10 inchi).Saluran ini dimulai dari meatus uretra, pendulans uretra dan bulbus uretra. Uretra anterior ini berupa tabung yang lurus, terletak bebas diluar tubuh, sehingga kalau memerlukan operasi atau reparasi relatif mudah. Urethra bagian posteriorUretra posterior memiliki panjang 3-6 cm (1-2 inchi).Uretra yang dikelilingi kelenjar prostat dinamakan uretra prostatika.Bagian selanjutnya adalah uretra membranasea, yang memiliki panjang terpendek dari semua bagian uretra, sukar untuk dilatasi dan pada bagian ini terdapat otot yang membentuk sfingter.Sfingter ini bersifat volunter sehingga kita dapat menahan kemih dan berhenti pada waku berkemih.Uretra membranacea terdapat dibawah dan dibelakang simpisis pubis, sehingga trauma pada simpisis pubis dapat mencederai uretra membranasea.

Gbr. 3.1 Anatomi Uretra PriaAnatomi uretra Pria Merupakan muara terakhir dari sistem berkemih, sebagai penghubung antara vesica urinaria dengan luar tubuh Pada juga berfungsi sebagai sistem pengeluaran sperma pada ukuran uretra sekitar 18-20 cm dan terbagi menjadi 3 bagian uretra pars prostatika terdapat diantara prostat, sering mengalami kelainan pada penderita BPH (benign Prostat Hiperplasia) uretra pars membranosa saluran terpendek (1-2 cm) penghubung antara prostat dengan penis uretra pars spongiosa / cavernosa bagian dari uretra yang menghubungkan langsung dengan luar tubuh yang dilindungi oleh penis. Di glands penis terdapat fossa naviculare dan ostium uretra eksternum (tempat keluarnya urin ke luar tubuh)Pada bagian uretra pars prostatika dan pars membranasea juga disebut sebagai uretra pars posterior dan pada bagian uretra pars spongiosa/cavernosa/bulbos merupakan bagian dari uretra pars anteriorDefinisiRuptur UretraRuptur urethra merupakan suatu kegawatdaruratan bedah, dimana sering terjadi dengan fraktur pelvis dan biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian.Sekitar 70% dari kasus fraktur pelvis terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. 25% kasus didapatkan akibat jatuh dari ketinggian , dan ternyata trauma tumpul didapatkan lebih dari 90% kasus cedera urethra. Secara keseluruhan pada terjadinya fraktur pelvis, ikut pula terjadi cedera urethra bagian posterior (3,5%-19% ) pada pria dan (0%-6%) pada urethra perempuan (Martinez, 2007)Klasifikasi, Etiologi dan MekanismeCedera urethra posterior utamanya disebabkan oleh fraktur pelvis, Ahli bedah ortopedi membagi fraktur menjadi tiga type menurut kejadiannya yaitu : (i) cedera akibat kompresi anterior-posterior, (ii) cedera akibat kompresi lateral dan (iii) cedera tarikan vertikal. Fraktur tipe I dan II mengenai pelvis bagian anterior dan biasanya stabil. Tipe tarikan vertikal seringkali akibat jatuh dari ketinggian , paling berbahaya dan bersifat tidak stabil. Fraktur pelvis tidak stabil (unstable) meliputi cedera pelvis anterior disertai kerusakan pada tulang posterior dan ligament disekitar articulation sacroiliaca sehingga salah satu sisi lebih kedepan dibanding sisi lainnya (Fraktur Malgaigne). Cedera urethra posterior terjadi akibat terkena segmen fraktur atau paling sering karena tarikan ke lateral pada uretra pars membranaceus dan ligamentum puboprostatika.Cedera akibat tarikan yang menimbulkan rupture urethra disepanjang pars membranaceus (5-10%).Cedera ini terjadi ketika tarikan yang mendadak akibat migrasi kesuperior dari buli-buli dan prostat yang menimbulkan tarikan disepanjang urethra posterior. Cedera ini juga terjadi pada fraktur pubis bilateral (straddle fraktur) akibat tarikan terhadap prostat dari segmen fraktur berbentuk kupu-kupu sehingga menimbulkan tarikan pada urethra pars membranaceusPada uretra pars membranasea diafragmannya mengandung otot-otot yang berfungsi sebgai spingter uretral melekat pada os.pubis bagian bawah.Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-bulidan prostat terlepas ke cranial

Etiologia) akibat fraktur pelvisb) akibat trauma tumpulc) iatrogenic akibat kateter yang kurang hati-hati yang dapat menimbulkan robekan uretra

A. Ruptura Uretra Posterior1.Trauma uretra posteriorTrauma uretra posterior yang terdiri dari pars membranacea dan pars prostatika. Trauma uretra posterior hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars membranacea karena prostat dengan uretra pars prostatika tertarik ke cranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra pars membranasea terikat di diafragma urogenital. Trauma uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplet. Pada trauma total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke cranial.Diafragma urogenital yang mengandung otot-otot yang berfungsi sebagai spincter urethra melekat/menempel pada daerah os pubis bagian bawah. Bila terjadi trauma tumpul yang menyebabkan fraktur daerah tersebut, maka urethra pars membranacea akan terputus pada daerah apeks prostat pada prostato membranaeous junction. Patologi1Trauma uretra posterior biasanya disebabkan oleh karena trauma tumpul dan fraktur pelvis.Uretra biasanya terkena pada bagian proksimal dari diafragma urogenital dan terjadi perubahan posisi prostat kearah superior (prostat terapung = floating prostat) dengan terbentuknya hematoma periprostat dan perivesikal.

A.1KlasifikasiColapinto dan McCollum (1976) membagi derjat cedera uretra dalam 3 jenis (Felliciano, 2007) :1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan). 2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, selanjutnya diafragma urogenitalia masih utuh.3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut rusak.AAST membuat klasifikasi rupture urethra posterior (Pineiro, 2007) :Tipe, Deskripsi, Tanda dan Gejala :I. Kontusio darah pada meatus dengan uretrogram normalII . Cedera tarikan Pemanjangan uretra tanpa adanya ekstravasasi kontrasIII. Cedera parsial Ekstravasasi (keluarnya darah/cairan lain dari vascular atau tempatnya yang normal ke suatu tempat lain yang tak seharusnya) kontras pada tempat cedera dan tampak kontras pada buli-buliIV. Cedera Komplit Ekstravasasi kontras pada tempat cedera, tak tampak kontras di buli-buli,panjang cedera < 2cmV. Cedera komplit Transeksi komplit dengan jarak pemisahan uretra >2cm,atau perluasan ke prostat/vagina.Gejala klinis Pasien biasanya mengeluh tidak bisa kencing dan sakit pada daerah perut bagian bawah. Darah menetes dari uretra adalah gejala yang paling penting dari ruptur uretra dan sering merupakan satu-satunya gejala, yang merupakan indikasi untuk membuat urethrogram retrograde. Kateterisasi merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan infeksi prostatika dan perivesika hematom serta dapat menyebabkan laserasi yang parsial menjadi total. Tanda-tanda frakturn pelvis dan nyeri suprapubik dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan colok dubur, bisa didapatkan prostat mengapung (floating prostate) pada ruptur total dari uretra pars membranacea oleh karena terputusnya ligament puboprostatika.Trias ruptur uretra posterior4- Bloody discharge- Retensio urine- Floating prostatDiagnosisPada umumnya cedera urethra posterior terjadi pada kasus politrauma sehingga setelah dilakukan resusitasi pada airway , fungsi respirasi dan penilaian perdarahan dilanjutkan dengan anamesis ( mekanisme trauma) pemeriksaan fisis lengkap dan evaluasi laboratorium dan radiologi. Dapat di duga terjadi cedera urethra dari anamnesis atau trauma yang nyata pada pelvis atau perineum. Pada trauma tembus tipe dari senjata yang digunakan termasuk lebar atau caliber peluru yang digunakan membantu untuk menilai kerusakan jaingan yang ditimbulkan . Pada penderita yang sadar , riwayat miksi perlu diketahui untuk mengetahui waktu terakhir miksi, pancaran urine,nyeri saat miksi dan adanya hematuria (Martinez, 2007)Rupture uretra posterior seringkali memberikan gambaran yang khas berupa: (1) perdarahan per-uretram, (2) retensi urin yang menyebabkan vesika urinaria penuh, dan (3) pada pemeriksaan colok dubur didapatkan adanya floating prostate (prostat melayang) di dalam suatu hematom karena terputusnya ligament puboprostatika. Pada pemeriksaan uretrografi retrigrad mungkin terdapat elongasi uretra atau ekstravasasi kontra pada pars prostate-membranasea.

gbr. 3.2 Lig.Puboprostatik yang memfiksasi prostat dan VU (Johannes Sobotta, 2006)

Meski tidak spesifik, hematuria pada miksi pertama merupakan indikasi adanya cedera urethra.Jumlah dari perdarahan urethra berhubungan dengan beratnya cedera. Uretrografi RetrogradMetode pada pemeriksaan uretrografi bervariasi, biasanya digunakan kateter ukuran kecil (14F) dan ditempakan 1-2 cm dalam fossa navicularis dan balon kateter dikembangkan sekitar 1-2 cc. Digunakan zat kontras ( meglumin diatrizoat 30% ) yang tidak diencerkan sebanyak 10-30 ml dan langsung diambil foto dalam posisi oblique 300 , namun pada penderita fraktur pelvis unstable posisi ini tidak perlu dilakukan (Martinez, 2007) TindakanPertama kali yang perlu dilakukan mengatasi kegawatan yang mungkin timbul paska trauma utamanya gangguan hemodinamik .Syok sering terjadi akibat perdarahan rongga pelvis bila ada ditangani dengan pemberian cairan maupun transfuse darah , obat-obat koagulansia, analgetik dan antibiotika(Cowan Nigel, 2005)Terdapat beberapa kontroversi akan penaganan ruptur urethra posterior akibat fraktur pelvis, pilihan penanganan yang dapat dilakukan yaitu : Realignment primer, Open uretroplasty segera, uretroplasty primer delay, realignment primer beberapa hari kemudian, sistostomi dan repair 3 bulan kemudianPada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistostomi(lampiran 3.1) untuk diversi urin.Setelah keadaan stabil sebagian ahli urologi melakukan primary endoscopic realignment yaitu melakukan pemasangan kateter uretra sebagai splint melalui tuntunan uretroskopi. Dengan cara ini diharapkan kedua ujung uretra yang terpisah dapat saling didekatkan. Tindakan ini dilakukan sebelum 1 minggu pasca rupture dan kateter uretra dipertahankan selama 14 hari.gbr 3.3 contoh hasil sistostomiDiskontinuitas uretra dapat dijembatani dengan beberapa variasi. Dapat dilakukan open sistostomy dan melihat buli-buli untuk adanya kemungkinan rupture, bila cedera penyerta lainnya tidak massif dapat dilakukan realignment. Pertama kateter uretra dimasukkan dengan panduan jari kedalam buli-buli. Kemudian dilakukan perabaan pada anterior prostat sehingga kateter dapat diposisikan.Bila hal ini gagal dapat dilakukan dengan sistoskopi fleksibel.Ada pula yang menggunakan teknik dengan memasang tube sonde no 8 secara antegrade sampai tube keluar di meatus kemudian diikatkan dengan kateter utnuk kembali dimasukkan ke buli-buli.Pemasangan kateter secara retrograde dapat pula dilakukan dengan panduan melalui jari pada bladder neck (Martinez, 2007)Dengan stenting menggunakan kateter dilakukan lebih awal kemungkinan untuk timbulnya komplikasi striktur berkurang bila dibandingkan dengan hanya memasang sistostomi saja. Keuntungan lainnya yaitu urethra yang avulse (robek) dan prostat yang awalnya berjauhan kembali didekatkan sehingga akan memudahkan saat dilakukan uretroplasty.Beberapa penulis menilai dengan pemasangan kateter dini dapat memperpendek panjang striktur. Realignment ini sebaiknya dilakukan sesegera mungkin (dalam 72 jam setelah cedera).Kateter urethra dipertahankan selama 6 minggu, dan dilanjutkan dengan pemeriksaan uretrosistografi,bila tidak didapatkan ekstravasasi maka kateter dapat di keluarkan dengan tetap mempertahankan kateter suprapubik.Rekonstruksi uretra posterior(Konsul ke spesialis bedah)Standar baku dalam penanganan yaitu kateterisasi suprapubik selama 3 bulan dan dilanjutkan anastomosis end-to-end bulboprostatika. Setelah 3 bulan, jaringan scar pada tempat disrupsi urethra sudah stabil dan matang menjadi indikasi utnuk dilakukaknnya prosedur rekonstruksi selain itu cedera penyerta lainnya telah stabil dan pasien sudah rawat jalan.Sebelum rekonstruksi dilakukan, dilakukan pencitraan uretrosistografi retrograde untuk mengetahui karakteristik defek uretra. Saat dilakukan pencitraan ini pasien diminta untuk berusaha berkemih sehingga bladder neck terbuka dan defek rupture dapat dievaluasi lebih akurat. Pemeriksaan yang lebih akurat yaitu dengan MRI.Teknik yang digunakan yaitu transperineal, dimana pasien ditempatkan pada posisi litotomi dan insisi midline atau flap inverted .Urethra bulbosa dibebabaskan dan di sisihkan menjauhi defek urethra ke mid-scrotum. Jaringan skar defek rupture uretra di eksisi dan urethra prostatica di identifikasi pada apex prostat.Untuk membuat anastomosis yang non tension atau karena ujung-ujung defek berjauhan, dapat dilakukan beberapa maneuver seperti pemisahan krus, pubektomi inferior dan re-routing uretra untuk mendekatkan gap. Terapi Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera organ intraabdomen atau organ lain, cukup dilakukan sistostomi dengan terlebih dahulu dengan membuka buli-buli dan melakukan inspeksi buli-buli secara baik untuk meyakinkan ada atau tidaknya laserasi buli-buli. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung dan pemasangan kateter silikon selama tiga minggu. Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2-3 hari kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir (rail roading). Komplikasi triktur uretra, impotensi dan inkotinensia komplikasi akan tinggi bila dilakukan repair segera dan akan menurun bila kita melakukan hanya sistostomi suprapubik dan repair dilakukan belakangan. Sebagian ahli mengerjakan reparasi uretra (uretroplasti) setelah 3 bulan pasca trauma dengan asumsi bahwa jaringan parut pada uretra telah stabil dan matang sehingga tindakan rekonstruksi membuahkan hasil yang lebih baik.PenyulitPenyulit yang terjadi pada rupture uretra adalah striktura uretra yang seringkali kambuh, disfungsi ereksi, dan inkontinensia urin.B. Rupture Uretra AnteriorTrauma uretra anterior yang terdiri dari uretra pars glanularis, pars pendulans, pars bulbosa. Trauma uretra anterior biasanya disebabkan oleh straddle injury (cedera selangkangan) daniatrogenik seperti instrumentasi atau tindakan endoskopik. Trauma uretra pars bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau terkangkang sehingga uretra terjepit antara objek yang keras, seperti batu, kayu atau palang sepeda dengan tulang simfisis.

PatologiJika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.

Gejala klinik1.Riwayat jatuh dari tempat yang tinggi dan terkena daerah perineum atau riwayat instrumentasi disertai adanya darah menetes dari uretra yang merupakan gejala penting2.Nyeri daerah perineum dan kadang-kadang ada hematom perineal3.Retensio urin bisa terjadi dan dapat diatasi dengan sistostomi suprapubik untuk sementara, sambil menunggu diagnosa pasti. Pemasangan kateter uretra merupakan kontraindikasi

Trias ruptur uretra anterior4- Bloddy discharge- Retensio urine- Hematome/jejas peritoneal/ urine infiltrateDiagnosisTerdapat trias rupture uretra anterior diantaranya perdarahan peruretram, retensio urin yang menyebabkan vesika urinaria penuh, dan hematom/jejas peritoneal/urin infiltrat Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan per-uretram atau hematuria.Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau hematoma kupu-kupu.Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat miksi.Pola dari hematom dapat berguna unuk menilai batasan anatomi yang mengalamicedera. Ekstravasasi darah atau urine disepanjang korpus penis menunjukkan cedera dibatasi oleh fascia bucks. LaboratoriumDilakukan pemeriksaan hemoglobin pada penderita dengan kontusio, hematuria atau pada fraktur pelvis yang menimbulkan perdarahan hebat

Gbr.3.4 Fascia buck (Johannes Sobotta, 2006) Uretrografi RetrogradMetode pada pemeriksaan uretrografi bervariasi, biasanya digunakan kateter ukuran kecil (14F) dan ditempakan 1-2 cm dalam fossa navicularis dan balon kateter dikembangkan sekitar 1-2 cc. Digunakan zat kontras ( meglumin diatrizoat 30% ) yang tidak diencerkan sebanyak 10-30 ml dan langsung diambil foto dalam posisi oblique 300 , namun pada penderita fraktur pelvis unstable posisi ini tidak perlu dilakukan (Martinez, 2007)TindakanPertama kali yang perlu dilakukan mengatasi kegawatan yang mungkin timbul paska trauma utamanya gangguan hemodinamik .Syok sering terjadi akibat perdarahan rongga pelvis bila ada ditangani dengan pemberian cairan maupun transfuse darah , obat-obat koagulansia, analgetik dan antibiotika (Cowan Nigel, 2005). Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini dapat menimbulkan penyulit striktura uretra dikemudian hari, maka setelah 4 6 bulan perlu dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada rupture uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, cukup dilakukan sistostomi untuk mengalihkan aliran urin. Kateter sistostomi dipertahankan sampai 2 minggu, dan dilepas setelah diyakinkan melalui pemeriksaan uretrografi bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktura uretra. Namun jika timbul striktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau stachse.Diskontinuitas uretra dapat dijembatani dengan beberapa variasi. Dapat dilakukan open sistostomy dan melihat buli-buli untuk adanya kemungkinan rupture, bila cedera penyerta lainnya tidak massif dapat dilakukan realignment. Pertama kateter uretra dimasukkan dengan panduan jari kedalam buli-buli. Kemudian dilakukan perabaan pada anterior prostat sehingga kateter dapat diposisikan.Bila hal ini gagal dapat dilakukan dengan sistoskopi fleksibel.Ada pula yang menggunakan teknik dengan memasang tube sonde no 8 secara antegrade sampai tube keluar di meatus kemudian diikatkan dengan kateter utnuk kembali dimasukkan ke buli-buli.Pemasangan kateter secara retrograde dapat pula dilakukan dengan panduan melalui jari pada bladder neck (Martinez, 2007).Dengan stenting menggunakan kateter dilakukan lebih awal kemungkinan untuk timbulnya komplikasi striktur berkurang bila dibandingkan dengan hanya memasang sistostomi saja. Keuntungan lainnya yaitu urethra yang avulse (robek) dan prostat yang awalnya berjauhan kembali didekatkan sehingga akan memudahkan saat dilakukan uretroplasty.Beberapa penulis menilai dengan pemasangan kateter dini dapat memperpendek panjang striktur. Realignment ini sebaiknya dilakukan sesegera mungkin (dalam 72 jam setelah cedera).KomplikasiStrikturSetelah dilakukan rekonstruksi rupture uretra posterior, 12-15% penderita terbentuk striktur. Biasanya 96% kasus berhasil ditangani dengan dilakukan penangan secara endoskopiLampiran 3.1 Sistostomi

Indikasi operasi sistostomi trokarRetensio urin dimana: kateterisasi gagal: striktura uretra, batu uretra yang menancap (impacted) kateterisasi tidak dibenarkan: ruptur uretraSyarat pada sistostomi trokar: buli-buli jelas penuh dan secara palpasi teraba tidak ada sikatrik bekas operasi didaerah abdomen bawah tidak dicurigai adanya perivesikal hematom, seperti pada fraktur pelvisIndikasi operasi sistostomi terbukaRetensio urin dimana: kateterisasi gagal: striktura uretra, batu uretra yang menancap (impacted) kateterisasi tidak dibenarkan: ruptur uretra bila sistostomi trokar gagal bila akan dilakukan tindakan tambahan seperti mengambil batu dalam buli-buli, evakuasi gumpalan darah, memasang drain di kavum Retzii dan sebagainya.Teknik OperasiSistostomi Trokar Posisi terlentang Desinfeksi lapangan pembedahan dengan larutan antiseptik. Lapangan pembedahan dipersempit dengan linen steril. Dengan pembiusan lokal secara infiltrasi dengan larutan xylocain di daerah yang akan di insisi. Insisi kulit di garis tengah mulai 2 jari diatas simfisis ke arah umbilikus sepanjang lebih kurang 1 cm. Insisi diperdalam lapis demi lapis sampai linea alba. Trokar set, dimana kanula dalam keadaan terkunci pada Sheath ditusukkan melalui insisi tadi ke arah buli-buli dengan posisi telentang miring ke bawah. Sebagai pedoman arah trokar adalah tegak miring ke arah kaudal sebesar 15-30%. Telah masuknya trokar ke dalam buli-buli ditandai dengan: Hilangnya hambatan pada trokar Keluarnya urin melalui lubang pada canulla Trokar terus dimasukkan sedikit lagi. Secepatnya canulla dilepaskan dari Sheathnya dan secepatnya pula kateter Foley, maksimal Ch 20, dimasukkan dalam buli-buli melalui kanal dari sheath yang masih terpasang. Segera hubungkan pangkal kateter dengan kantong urin dan balon kateter dikembangkan dengan air sebanyak kurang lebih 10 cc. Lepas sheath dan kateter ditarik keluar sampai balon menempel pada dinding buli-buli. Insisi ditutup dengan kasa steril, kateter difiksasi ke kulit dengan plester.Sistostomi Terbuka Posisi terlentang Desinfeksi lapangan pembedahan dengan larutan antiseptik. Lapangan pembedahan dipersempit dengan linen steril. Dengan pembiusan lokal secara infiltrasi dengan larutan xylocain di daerah yang akan di insisi. Insisi kulit di garis tengah mulai 2 jari diatas simfisis ke arah umbilikus sepanjang lebih kurang 10 cm. Disamping itu dikenal beberapa macam irisan yaitu transversal menurut Cherney. Insisi diperdalam lapis demi lapis sampai fascia anterior muskulus rektus abdominis. Muskulus rektus abdominis dipisahkan secara tumpul pada linea alba. Sisihkan lipatan peritoneum diatas buli-buli keatas, selanjutnya pasang retraktor. Buat jahitan penyangga di sisi kanan dan kiri dinding buli. Lakukan tes aspirasi buli dengan spuit 5 cc, bila yang keluar urin, buat irisan di tempat titik aspirasi tadi lalu perlebar dengan klem. Setelah dilakukan eksplorasi dari buli, masukkan kateter Foley Ch 20-24. Luka buli-buli ditutup kembali denganjahitan benang chromic catgut. Bila diperlukan diversi suprapubik untuk jangka lama maka dinding buli digantungkan di dinding perut dengan jalan menjahit dinding buli-buli pada otot rektus kanan dan kiri. Jahit luka operasi lapis demi lapis. Untuk mencegah terlepasnya kateter maka selain balon kateter dikembangkan juga dilakukan penjahitan fiksasi kateter dengan kulit.4. Memahami kegawatdaruratan pada trauma orbitaKegawatdaruratan (emergency) di bidang oftalmologi (penyakit mata) diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:0. Gawat sangat0. Gawat0. Semi Gawat

Definisi0. Gawat sangatYang dimaksud dengan keadaan "gawat sangat" adalah keadaan atau kondisi pasien memerlukan tindakan yang harus sudah diberikan dalam waktu beberapa menit. Terlambat sebentar saja dapat mengakibatkan kebutaan.

Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah: lka bakar kimia (luka bakar kerena alkali/basa dan luka bakar asam)

1. GawatYang dimaksud dengan keadaan "gawat" adalah keadaan atau kondisi pasien memerlukan penegakan diagnosis dan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu satu atau beberapa jam.Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah:0. Laserasi kelopak mata0. Konjungtivitis gonorhoe0. Erosi kornea0. Laserasi kornea0. Benda asing di kornea0. Descemetokel0. Tukak korneaTukak atau ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea.0. HifemaHifema atau timbunan darah di dalam bilik mata depan. Terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.0. Skleritis (peradangan pada sklera)Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada mata. Sklera bersama dengan jaringan uvea dan retina berfungsi sebagai pembungkus dan pelindung bola mata.0. Iridosiklitis akut0. EndoftalmitisEndoftalmitis merupakan infeksi intraokular yang umumnya melibatkan seluruh jaringan segmen anterior dan posterior mata. Umumnya didahului oleh trauma tembus pada bola mata, ulkus kornea perforasi, riwayat operasi intraokuler (misalnya: ekstraksi katarak, operasi filtrasi, vitrektomi). Gejala klinis endoftalmitis adalah penurunan tajam penglihatan (visus menurun), mata merah, bengkak, nyeri.0. Glaukoma kongestif0. Glaukoma sekunderAblasi retina (retinal detachment)Yaitu suatu keadaan terpisahnya (separasi) sel kerucut dan batang atau lapisan sensorik retina dengan sel epitel pigmen (retinal pigment epithelium atau RPE).0. Selulitis orbita0. Trauma tumpul mata0. Trauma tembus mata0. Trauma radiasi

1. Semi GawatYang dimaksud dengan keadaan "semi gawat" adalah keadaan atau kondisi pasien memerlukan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu beberapa hari atau minggu.Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah:0. Defisiensi (kekurangan) vitamin ASinonim (nama lain) untuk kondisi ini adalah: vitaminosis A, hypovitaminosis A.1. Trakoma yang disertai dengan entropion.1. Entropion adalah keadaan kelopak mata yang terbalik atau membalik ke dalam tepi jaringan, terutama tepi kelopak bawah. Namun pada trakoma, entropion terdapat pada kelopak atas.1. Oftalmia simpatikaYaitu peradangan granulomatosa yang khas pada jaringan uvea, bersifat bilateral, dan didahului oleh trauma tembus mata yang biasanya mengenai badan siliar, bagian uvea lainnya, atau akibat adanya benda asing dalam mata.1. Katarak kongenitalYaitu kekeruhan lensa mata yang timbul sejak lahir, dan merupakan salah satu penyebab kebutaan pada anak yang cukup sering dijumpai. Gejalanya: leukokoria (bercak putih), fotofobia (silau, dapat disertai atau tanpa rasa sakit), strabismus (juling), nystagmus (pergerakan bola mata yang involunter. Involunter maksudnya: tanpa sengaja, diluar kemauan; dapat teratur, bolak-balik, dan tidak terkendali).1. Glaukoma kongenital1. Glaukoma simpleks1. Perdarahan badan kaca1. Retinoblastoma (tumor ganas retina)Yaitu jenis tumor ganas mata yang berasal dari neuroretina(selkerucut dan batang).1. Neuritis optika / papilitis1. Eksoftalmus (bola mata menonjol keluar) atau lagoftalmus(kelopak mata tidak dapat menutup sempurna).1. Tumor intraorbita1. Perdarahan retrobulbar

TRAUMA ORBITAEtiologi1. Trauma tumpul pada mataDapat diakibatkan benda yang keras atau benda yang tidak keras, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan keras (kencang) atau lambat

1. Trauma tembus pada mataTrauma dapat mengakibatkan robekan pada konjungtiva saja. Bila robekan konjungtiva ini atau tidak melebihi 1cm, maka tidak perlu dilakukan penjahitan. Bila robekan konjungtiva lebih 1cm diperlukan tindakan penjahitan untuk mencegah terjadinya granuloma. Pada setiap robekan konjungtiva perlu diperhatikan terdapatnya robekan sklera bersama sama dengan robekan konjungtiva tersebut.Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam bola mata maka akan terlihat tanda tanda trauma bola mata tembus:12. Tajam penglihatan yang menurun12. Tekanan bola mata rendah12. Bilik mata dangkal12. Bentuk dan letak pupil yang berubah12. Terlihatnya ada ruptur pada kornea atau sklera12. Terdapat jaringan yang diprolaps seperti cairan mata, iris, lensa dan badan kaca atau retina12. Konjungtiva kemotis

1. Trauma kimia2. Trauma AsamBahan asam yang merusak mata terutama bahan anorganik, organik (asetat,forniat) dan organik anhidrat. Bila asam mengenai mata maka akan segera terjadi pengendapan ataupun penggumpalan protein permukaan sehingga bila konsentrasi tidak tinggi maka akan bersifat destruktif seperti trauma alkali. Biasanya akan terjadi kerusakan di daerah superfisial saja. Bahan asam dengan konsentrasi tinggi dapat bereaksi terhadap trauma basa sehingga kerusakan yang diakibatkannya lebih dalam.2. Trauma AlkaliTrauma akibat bahan kimia alkali akan memberikan akibat yang sangat gawat kepada mata. Alkali akan menembus dengan cepat ke kornea, bilik mata depan dan sampai pada jaringan retina. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan kimia alkali bersifat koagulasi sel dan terjadi proses persabunan, disertai dengan dehidrasi. Bahan akustik soda dapat menembus kedalam bilik mata dalam waktu 7 detik.Pada trauma alkali akan terbentuk kolagenase yang akan menambah bertambah kerusakan kolagen kornea. Alkali yang menembus ke dalam bola mata akan merusak retina sehingga akan berakhir dengan kebutaan penderita. 1. Trauma radiasi3. Sinar inframerah3. Sinar ultraviolet3. Sinar X dan terionisasi

HIFEMAHifema atau darah di dalam bilik mata depan dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.Pasien akan mengeluh sakit disertai dengan epifora dan blefarospasme. Penglihatan pasien akan sangat menurun. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat berkumpul di bagiam bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang BMD. Kadang kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis.Pengobatan dengan merawat pasien di tempat tidur yang ditinggikan 30o pada kepala, diberi koagulasi dan mata ditutup. Pada anak yang gelisah dapat diberikan obat penenang. Azetazolamid diberika bila terjadi Glaukoma.Biasanya hifema akan hilang sempurna. Parasintesis atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan pada pasien dengan hifema bila terlihat tanda tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila setelah 5 hari tidak terlihat tanda tanda hifema akan berkurang.Kadang kadang sesudah hifema hilang atau 7 hari setelah trauma dapat terjadi perdarahan atau hifema baru yang disebut hifema sekunder yang pengaruhnya akan lebih hebat karena perdarahan lebih sukar hilang.Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat suatu reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata.Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ptisis bulbi dan kebutaan.Hifema spontan pada anak sebaiknya dipikirkan kemungkinan leukimia dan retinoblastoma.

PENCEGAHAN TRAUMA MATATrauma mata dapat dicegah dan diperlukan penerangan kepada masyarakat untuk menghindarkan terjadinya trauma pada mata, seperti:1. Trauma tumpul akibat kecelakaan tidak dapat dicegah, kecuali trauma tumpul perkelahian1. Diperlukan perlindungan pekerja untuk menghindarkan terjadinya trauma tajam1. Setiap pekerja yang sering berhubungan dengan bahan kimia sebaiknya mengerti bahan apa yang ada di tempat kerjanya1. Pada pekerja las sebaiknya menghindarkan diri terhadap sinar dan percikan bahan las dengan memakai kacamata1. Awasi anak yang sedang bermain yang mungkin berbahaya untuk matanya

KebutaanDiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan jenis penyakitnyaa. kattarak : disebabkan karena faktor pajanan Ultra violet dan episodedehidrasi rekurenb. trakoma : pembentukan jaringan parut kornea . jika menjadi parah akan menyebabkan kebutaanc. Lepra : mengenai 15 16 juta orang di dunia dan memiliki persentase keterlibatan mata yang lebih tinggi daripada penyakit sistemik lainnya d. Onkoserkariasis : manifestasi klinis nya antara lain keratitis, uveitis, retinokoroiditis, dan atrofi optikus e. Xeroftalmia : bercak bitot yang khas dan pelunakan kornea / keratomalasia menyebabkan perforasi kornea

Terapia. Katarak : implantasi lensa Intraokular pada saat pembedahanb. Trakoma : Sulfonamid / tetrasiklinc. Onkoserkariasis : Ivermektin

Pencegahana. Trakoma : sanitasi layakb. Lepra : vaksin Leprac. Onkoserkariasis : eradikasi serangga dan proteksi individuald. Xeroftalmia : suplemen vitamin A

Daftar Pustaka Sobotta J, Putz R. 2006. Sobotta Atlas of Human . 14th ed. Elsevier Urban & Fisher, Amsterdam Snell RS. 2012. Clinical Anatomy by Regions . 9th ed. Lippincott Williams & Wilkins, a Wolter Kluwer, Philadelphia Pineiro LM. 2007. Uretral Trauma.On Urology Emergency.Springer Feliciano D, Mattox K, Moore E. 2007. Pelvic Trauma on TraumaManual .4th edition. McGraw Hill, New York Cowan N. 2005.Uretral Trauma on Urological Emergency in Clinical Practice. Springer, New Zealand Annich jack W, Santucci Richard.GenitoUrinary Trauma, Chapter 105 Campbell Urology 6th edition. 1995.Wb Saunders Pineiro,L martines.Uretral Trauma.On Urology Emergency.Springer ,2007, P.276 295 Mundy,Antoni.Lower tract Urinary Injury On Emerrgency Urological Management, 2004, P.112 116