alasan di balik penolakan zambia atas bantuan makanan...

14
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3, desember 2018 378 Alasan Di Balik Penolakan Zambia Atas Bantuan Makanan Transgenik Dari Amerika Serikat di tengah Krisis Pangan 2002 Siti Farahiyah Inarah Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Email: [email protected] Abstract There were more than 4 million people in the hungry South Africa to have a high rate of mortality in 2002. Almost all countries in southern Africa such as Lesotho, Mozambique, Namibia and Swaziland were hit by the 2002 food crisis. But Malawi, Zambia and Zimbabwe face the gravest food emergency problems due to a sharp derivation in corn production, which causes market prices to be higher. But in the midst of the crisis that Zambia is experiencing as a hungry small country, it makes a statement rejecting US aid in the form of GM foods sent by the World Food Program in 2002. This Zambian Government decision certainly causes many reactions. This proves that Zambia, as one of the countries experiencing hunger in the midst of the crisis of 2002, was able to take a stand in rejecting food aid based on various considerations of the Zambian factors themselves, including from the Zambian agro-industrial factors as well as from the group interests related to this case. By taking the timeframe between May and December 2002, this Research will start from the beginning of the offer, until until the issuance of an official denial statement by Zambia. The discussion of the study then yields conclusions in support of the hypothesis provided, on what factors make Zambia its own strength in refusing the food aid provided. Keywords: Zambia, food aid, GMO food, interest groups, Zambian agro-industry, Greenpeace, ZEGA, JCTR, KATC, the PELUM Association. Abstrak Terdapat 4 juta lebih penduduk di Afrika bagian Selatan yang mengalami kelaparan hingga berdampak kepada tingkat kematian yang cukup tinggi pada tahun 2002. Hampir semua negara di Afrika bagian Selatan seperti, Lesotho, Mozambik, Namibia, dan Swaziland terkena krisis pangan 2002 ini. Namun Malawi, Zambia dan Zimbabwe menghadapi permasalahan darurat pangan terparah karena adanya penurunan tajam dalam produksi jagung, yang menyebabkan harga pasar menjadi semakin tinggi. Namun di tengah krisis yang terjadi Zambia sebagai negara kecil yang sedang mengalami kelaparan, membuat pernyataan menolak bantuan dari Amerika Serikat berupa makanan transgenik yang dikirimkan lewat World Food Program di tahun 2002. Keputusan Pemerintahan Zambia ini tentu menghasilkan berbagai reaksi. Hal ini membuktikan bahwa Zambia, sebagai salah satu negara yang mengalami kelaparan di tengah krisis tahun 2002 mampu mengambil sikap dalam menolak bantuan pangan berdasarkan berbagai pertimbangan yang dilihat dari faktor-faktor Zambia itu sendiri, diantaranya adalah dari faktor agro-industri Zambia dan juga dari kelompok kepentingan yang terkait dengan kasus ini. Dengan mengambil jangkauan waktu antara bulan Mei hingga Desember 2002, Penelitian ini akan dimulai dari awal mula penawaran, hingga sampai dikeluarkannya statemen penolakan resmi oleh Zambia. Pembahasan penelitian kemudian menghasilkan kesimpulan yang mendukung hipotesis yang disediakan, mengenai faktor-faktor apa yang membuat Zambia memiliki kekuatan tersendiri dalam menolak bantuan pangan yang disediakan.

Upload: phamkhanh

Post on 19-Jul-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3, desember 2018 378

Alasan Di Balik Penolakan Zambia Atas Bantuan

Makanan Transgenik Dari Amerika Serikat di

tengah Krisis Pangan 2002

Siti Farahiyah Inarah

Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga

Email: [email protected]

Abstract

There were more than 4 million people in the hungry South Africa to have a high rate of mortality in 2002. Almost all countries in southern Africa such as Lesotho, Mozambique, Namibia and Swaziland were hit by the 2002 food crisis. But Malawi, Zambia and Zimbabwe face the gravest food emergency problems due to a sharp derivation in corn production, which causes market prices to be higher. But in the midst of the crisis that Zambia is experiencing as a hungry small country, it makes a statement rejecting US aid in the form of GM foods sent by the World Food Program in 2002. This Zambian Government decision certainly causes many reactions. This proves that Zambia, as one of the countries experiencing hunger in the midst of the crisis of 2002, was able to take a stand in rejecting food aid based on various considerations of the Zambian factors themselves, including from the Zambian agro-industrial factors as well as from the group interests related to this case. By taking the timeframe between May and December 2002, this Research will start from the beginning of the offer, until until the issuance of an official denial statement by Zambia. The discussion of the study then yields conclusions in support of the hypothesis provided, on what factors make Zambia its own strength in refusing the food aid provided.

Keywords: Zambia, food aid, GMO food, interest groups, Zambian agro-industry, Greenpeace, ZEGA, JCTR, KATC, the PELUM Association.

Abstrak

Terdapat 4 juta lebih penduduk di Afrika bagian Selatan yang mengalami kelaparan hingga berdampak kepada tingkat kematian yang cukup tinggi pada tahun 2002. Hampir semua negara di Afrika bagian Selatan seperti, Lesotho, Mozambik, Namibia, dan Swaziland terkena krisis pangan 2002 ini. Namun Malawi, Zambia dan Zimbabwe menghadapi permasalahan darurat pangan terparah karena adanya penurunan tajam dalam produksi jagung, yang menyebabkan harga pasar menjadi semakin tinggi. Namun di tengah krisis yang terjadi Zambia sebagai negara kecil yang sedang mengalami kelaparan, membuat pernyataan menolak bantuan dari Amerika Serikat berupa makanan transgenik yang dikirimkan lewat World Food Program di tahun 2002. Keputusan Pemerintahan Zambia ini tentu menghasilkan berbagai reaksi. Hal ini membuktikan bahwa Zambia, sebagai salah satu negara yang mengalami kelaparan di tengah krisis tahun 2002 mampu mengambil sikap dalam menolak bantuan pangan berdasarkan berbagai pertimbangan yang dilihat dari faktor-faktor Zambia itu sendiri, diantaranya adalah dari faktor agro-industri Zambia dan juga dari kelompok kepentingan yang terkait dengan kasus ini. Dengan mengambil jangkauan waktu antara bulan Mei hingga Desember 2002, Penelitian ini akan dimulai dari awal mula penawaran, hingga sampai dikeluarkannya statemen penolakan resmi oleh Zambia. Pembahasan penelitian kemudian menghasilkan kesimpulan yang mendukung hipotesis yang disediakan, mengenai faktor-faktor apa yang membuat Zambia memiliki kekuatan tersendiri dalam menolak bantuan pangan yang disediakan.

Alasan dibalik penolakan

379 Jurnal Analisis

Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3, desember 2018

Kata kunci: Zambia, bantuan pangan, makanan transgenik, kelompok kepentingan, agro-industri Zambia, Greenpeace, ZEGA, JCTR, KATC, the PELUM Association.

Terdapat 4 juta lebih penduduk di Afrika bagian Selatan yang mengalami kelaparan hingga berdampak kepada tingkat kematian yang cukup tinggi pada tahun 2002. Salah satu penyebab krisis tersebut adalah turunnya produksi pangan karena gangguan gagal panen akibat kekeringan, banjir, dan lain sebagainya. Hampir semua negara di Afrika bagian Selatan seperti, Lesotho, Mozambik, Namibia, dan Swaziland terkena krisis pangan 2002 ini. Namun Malawi, Zambia dan Zimbabwe menghadapi permasalahan darurat pangan terparah karena adanya penurunan tajam dalam produksi jagung, yang menyebabkan harga pasar menjadi semakin tinggi (FAO, 2002). Oleh sebab itu, akses menuju pemenuhan pangan menjadi sangat terhambat.

Keadaan ini juga dipicu dengan adanya penyakit HIV/AIDS yang banyak menjangkit para petani. Setidaknya, terdapat puluhan ribu petani yang meninggal akibat penyakit tersebut. Serta diperkirakan, terdapat 20 persen populasi yang terinfeksi (Zerbe, 2004). Penurunan produktivitas pertanian inilah yang kemudian semakin memperparah adanya krisis tersebut. Baik organisasi internasional dan juga negara-negara di dunia, mengirimkan bantuan kemanusiaan berupa makanan sebagai bentuk kepedulian terhadap darurat pangan. Bantuan tersebut berupa 35 ribu ton makanan transgenik berupa gabah dan hasil penggilingan jagung (Lewin, 2007). Salah satu negara yang memberikan bantuan berupa pengiriman makanan transgenik, atau Genetically Modified Organism (GMO) adalah Amerika Serikat. Makanan transgenik pada dasarnya merupakan bentuk pangan yang telah dimodifikasi, atau disebut sebagai makanan transgenik. Melalui bioteknologi moderen, makanan hasil dari makanan transgenik adalah makanan yang melalui proses rekayasa genetika. Rekayasa ini dilakukan untuk meningkatkan sifat-sifat dari biotek, seperti resistensi

terhadap penyakit, serta untuk menaikkan kandungan gizi (WHO, 2014).

Namun dalam kenyataannya, tidak semua negara yang mengalami krisis pangan di Afrika bagian Selatan menerima bantuan makanan transgenik dari Amerika Serikat ini. Selain Zimbabwe, Malawi, Mozambique dan Lesotho, salah satu negara yang menolak keras adalah Zambia. Keputusan Zambia melalui Presiden Levy Mwanawasa ini, yaitu dengan penolakan terhadap pemberian impor makanan transgenik sejumlah lebih dari 35 ribu ton tepung jagung dan gabah. Selanjutnya, tepung jagung dan gabah tersebut kemudian dikembalikan World Food Program (WFP) (Leahey, 2013). Melalui himbauannya kepada masyarakat, presiden Zambia melarang masyarakat untuk menerima dan mengkonsumsi makanan transgenik yang diberikan oleh Amerika Serikat. Presiden Levy Mwanawasa mengeluarkan dekrit presiden untuk membekukan segala peredaran makanan transgenik di Zambia (Cauvin, 2002).

Salah satu pidato dari presiden Zambia menyatakan bahwa makanan transgenik merupakan makanan yang beracun dan berbahaya bagi kesehatan masyarakatnya. Oleh karena itu, Presiden Levy Mwanawasa memilih untuk menolak makanan transgenik yang diberikan sebagai bantuan atas krisis kelaparan di Zambia. Pemerintah Zambia menilai adanya makanan transgenik tidak aman untuk dikonsumsi. Hal ini berkaitan dengan prinsip Precautionary Principle. Precautionary Principle merupakan prinsip yang dihubungkan dengan penolakan terhadap masuknya makanan transgenik pada beberapa negara di dunia. Adanya prinsip ini berkaitan dengan penerimaan barang-barang impor ilmiah, termasuk makanan transgenik (CAST, 2013). Pemerintah Zambia kemudian mengeluarkan himbauan untuk tidak menerima dan

Siti farahiyah inarah

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3, desember 2018 380

mengkonsumsi makanan transgenik yang masuk.

Keputusan Zambia ini selanjutnya menimbulkan berbagai kritik. Di tengah krisis pangan parah yang terjadi, Zambia masih menolak adanya bantuan berupa makanan transgenik dan memilih untuk memulihkan negaranya sendiri. Padahal melihat negara-negara lain di Afrika bagian Selatan yang juga mengalami hal ini, negara-negara tersebut pada akhirnya cenderung menerima adanya bantuan tersebut. Dalam tingkat domestik Zambia mengalami perlawanan dari masyarakatnya sendiri, yang justru menunggu adanya makanan transgenik yang masuk karena sikap realistis. Keputusan penolakan makanan transgenik ini juga dibahas dalam ranah internasional, termasuk di dalam PBB (Leahey, 2013).

Pada kenyataannya, Konsep mengenai bantuan kemanusiaan telah ada sejak abad ke-19, dan banyak digunakan di negara-negara barat. Konsep bantuan kemanusiaan dapat diartikan sebagai sebuah aksi yang dapat digolongkan menjadi aksi politik, meskipun ada pula beberapa yang menggolongkan agen bantuan kemanusiaan sebagai organisasi yang apolitis (Davies, 2012 dalam Davey, 2013). Sebelumnya, bantuan kemanusiaan dimaknai secara luas yang kemudian dipersempit di tahun 1990-an oleh Barnett (2005, dalam Davey, 2013) sebagai pemberian bantuan yang tidak memihak, bersifat independen, dan netral. Namun demikian, Bantuan kemanusiaan juga digolongkan sebagai aksi politik, hal ini disebutkan alasannya oleh Macrae (2000), yaitu karena bantuan kemanusiaan selalu dipengaruhi oleh ekonomi politik dari negara penerima maupun negara pendonor.

Pada praktiknya, perbedaan antara jumlah dan jenis bantuan kemanusiaan yang diberikan ke berbagai negara yang sedang mengalami krisis menunjukkan bahwa bantuan kemanusiaan tidak hanya didasari oleh

prinsip promosi kesejahteraan manusia. Bantuan kemanusiaan kemudian bertransformasi menjadi bagian integral dari aspek politik negara pendonor sehingga juga dikenal sebagai new humanitarianism. Karena itu, kemudian Bellamy (2008) menjelaskan bahwa muncul sebuah prinsip baru dalam aksi-aksi kemanusian yang disebut sebagai responsibilities to protect atau R2P. Lebih lanjut, R2P merupakan sebuah konsep yang pertama kali dicetuskan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2005. Sejalan dengan Bellamy, Amneus (2012) menjelaskan bahwa formulasi otoritatif dari R2P tertera dalam dokumen agenda kemanusiaan PBB yang dihasilkan dari World Summit di New York pada 15 September 2005. R2P dalam praktiknya menjadi bagian kerangka dalam menangani berbagai krisis kemanusiaan yang berat (grave humanitarian crises).

Pun demikian, negara-negara yang terkait dengan bantuan kemanusian memiliki pilihan untuk menolak ataupun menerima bantuan yang diberikan oleh negara lain. Pertama, karena adanya beberapa kondisi, misalnya saja berkaitan dengan kebijakan dan juga peraturan terkait bantuan kemanusiaan yang dianut, juga mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi dari masyarakatnya. Kondisi lain dalam hal ini adalah bantuan kemanusiaan ditakutkan dapat merusak bagian dalam negara yang menerima bantuan, dan juga dapat didukung dengan berbagai regulasi yang telah dibuat oleh negara tersebut. Dalam kasus ini, contohnya Filipina di tahun 2017, Presiden Rodrigo Duterte baru-baru ini menolak paket bantuan luar negeri sebesar 250 juta euro ($ 280 juta) dari Uni Eropa (UE) dengan alasan bahwa Uni Eropa berusaha menerapkan peraturan hak asasi manusia sebagai imbalan atas bantuannya (Purushothaman, 2017). Pada kasus ini, Filipina sendiri menganggap langkah yang dipilihnya sebagai langkah untuk menyelamatkan negara dari gangguan luar dan melindungi otonomi negara tersebut. Selain itu, keputusan yang dibuat oleh Filipina ini pada dasarnya

Alasan dibalik penolakan

381 Jurnal Analisis

Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3, desember 2018

juga didukung dan di terima oleh beberapa

Selain adanya imbalan dan kondisi-kondisi tertentu yang diterapkan bersamaan dengan masuknya bantuan kemanusiaan ke suatu negara, negara juga menolak bantuan kemanusiaan yang ada karena adanya perasaan terintervensi secara jelas karena merasa bahwa negara lain mencampuri urusan negara tersebut (Casey, 2016). Perasaan terintervensi dan tekanan yang terus menerus diberikan, akan membuat suatu negara donor menolak negara pendonor dan memilih negara lain untuk membantu. Tingkat keefektifan bantuan luar negeri yang masuk juga menjadi salah satu pertimbangan. Melihat studi kasus dari beberapa negara, terdapat negara yang cenderung menolak masuknya bantuan luar negeri karena dirasa kurangnya keefektifan peran dari bantuan asing terhadap perekonomian dan dampak untuk beberapa sektor domestik (Reci, t.t.). Ada pula negara yang menolak bantuan kemanusiaan karena dirasa tidak membutuhkan bantuan tersebut, dan merasa bisa menyelesaikan permasalahan mereka sendiri seperti Thailand yang menolak bantuan setelah terjadinya Tsunami di tahun 2004 (Schimmelpfennig, 2010).

Pada kenyataannya, bantuan kemanusiaan yang tidak tepat bisa merugikan negara donor. Hal ini dapat terlihat dari contoh kasus yang dialami oleh Afghanistan. Dalam kasus ini, Afghanistan menjadi negara yang ketergantungan dengan bantuan humanitarian berupa bantuan dana sebesar 100 milyar dollar amerika (Samim, 2016). Ketergantungan Afghanistan ini membuat Afghanistan kemudian menjadi tidak seimbang dalam perekonomiannya. Tercatat bahwa Afghanistan menjadi negara yang mengalami perkembangan perekonomian yang sangat rendah, apabila dibandingkan dengan sebagian negara berkembang lainnya di dunia. Bantuan Amerika Serikat kepada Afghanistan ini berdampak buruk pada ekonomi negara, dalam hal inflasi dan

ekspor (Samim, 2016). Karena tingginya inflasi yang terjadi di Afghanistan, mata uang Afghanistan menjadi sangat rendah apabila dibandingkan pula dengan mata uang asing lain. Dampaknya, hal ini menyebabkan pasar domestik Afghanistan menjadi berantakan, barang domestik menjadi kurang bersaing di pasar ekspor dan menyebabkan penurunan persaingan antar eksportir. Hal tersebut selanjutnya juga mematikan permintaan domestik untuk barang-barang yang dihasilkan domestik oleh Afghanistan, karena barang tersebut menjadi lebih mahal. Persaingan antar bisnis domestik menjadi lebih sulit, sehingga banyak mengalami kebangkrutan dan orang-orang kehilangan pekerjaan. Dengan adanya kondisi tersebut, Afghanistan malah terus menerima bantuan kemanusiaan berupa uang, yang terus memperparah keadaan. Sektor pertanian Afghanistan juga jadi tertinggal, dan menyebabkan masyarakat Afghanistan menjadi ketergantungan kepada negara tetangga hanya untuk makanan pokok (Samin, 2016).

Pada kasus Zambia, Zambia sendiri memiliki potensial sumber daya yang besar, mulai dari mineral, energi, dan juga sumber-sumber alami yang melimpah dengan jumlah populasi yang termasuk sedikit di dunia (Scott, 1995). Memiliki potensial besar dalam bidang pertanian dan pertambangan, Zambia mulai mengembangkan sektor tersebut dimulai sejak abad ke-16 (Mulungu dan Ng'ombe, 2017). Potensi yang sangat besar untuk membangun industri pertanian di Zambia, didalamnya juga termasuk karena banyaknya bahan-bahan dasar dalam bidang agrikultur, dan juga adanya pekerja dengan gaji yang rendah. Hal ini kemudian dirasa dapat membantu dalam mengurangi pemborosan, meningkatkan keamanan ketersediaan pangan, meningkatkan mata pencaharian bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan terpinggirkan, khususnya wanita. Oleh karena itu, sektor ini menjadi sektor yang strategis dan sangat penting bagi Zambia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi

Siti farahiyah inarah

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3, desember 2018 382

dan mengentaskan kemiskinan yang terjadi (ZDA, 2011).

Pertanian dan agro-industri di Zambia kemudian menjadi sektor prioritas utama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berbasis luas, melakukan keamanan pangan dan pengurangan kemiskinan (Akinkugbe, 2012). Sekitar 60 persen dari jumlah penduduk dan 70 persen penduduk miskin di Zambia tinggal di daerah pedesaan, mayoritas di antaranya bergantung pada pendapatan dari pertanian dan industri yang terkait dengan pertanian, dan juga konsumsi dalam negeri menghasilkan makanan. Sehingga pada kenyatannya, Pemerintah Republik Zambia telah mengakui pentingnya pertanian dan agro-industri sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi masyarakat Zambia. Hal tersebut juga menegaskan bahwa sektor-sektor tersebut kemudian memiliki kapasitas untuk menghasilkan kekuatan ekonomi Zambia, untuk mempromosikan permintaan, dan untuk menambah nilai produk pertanian primer (Akinkugbe, 2012). Dengan total lahan seluas 75 juta hektar yang 58 persennya tergolong memiliki potensi pertanian yang cukup tinggi, serta ada lebih dari cukup curah hujan yang berkisar antara 800 dan 1400 milimeter per tahun, Zambia memiliki basis agro-industri yang sangat besar (The World Factbook, 2010).

Agro-bisnis di Zambia berkontribusi kurang lebih 40 persen dari Produk Domestik Bruto, 12 persen dari pendapatan ekspor, dan juga 67 persen dari ketenagakerjaan (SAFIC Policy Brief, 2014). Agro-industri Zambia mulai melewati batas baru, dengan semakin melibatkan banyak aktor-aktor perekonomian seperti; perusahaan-perusahaan lokal dan internasional yang masuk ke dalam industri di Zambia. Kebanyakan, perusahaan-perusahaan asing saat ini akan mengendalikan bagian utama dari penjualan. Sebagian besar produk yang dihasilkan, kemudian diekspor ke berbagai negara di dunia. Masuknya aktor-aktor perekonomian

asing ini seperti supermarket, menjadi salah satu hal yang mengubah keseimbangan kekuatan dalam rantai industri di Zambia. Hingga selanjutnya, terbangun hubungan antara investasi dan juga pertumbuhan perekonomian yang diukur melalui Produk Domestik Bruto, yang dalam kenyatannya menjadi salah satu pendongkrak perekonomian Zambia.

Produk Domestik Bruto Zambia kemudian mulai meningkat di dalam sepuluh dekade terakhir, yaitu dari tahun 2000 hingga di tahun 2015 (Nhlane, 2016). Pada tahun tersebut, menunjukkan bahwa dari tahun 2000 hingga 2015, ekonomi tumbuh rata-rata 6,7 persen per tahun. Pada tahun 2001, tingkat pertumbuhan PDB tahunan meningkat menjadi 5,3 persen dari 3,9 persen pada tahun 2000 dan terus meningkat selama bertahun-tahun sampai mencapai 8,4 persen pada tahun selanjutnya. Hingga tahun 2000-an, Zambia terus melakukan ekspor dan impor ke berbagai negara di dunia. Inggris yang menduduki posisi pertama dengan jumlah 20,6 persen ekspor di tahun 2000, Afrika Selatan yang menduduki peringkat kedua dengan jumlah 14,4 persen, dan juga Jepang yang menduduki peringkat ketiga dengan jumlah 6,1 persen di tahun 2000. Adapula negara-negara lain yang menjadi pasar dari Zambia, yaitu Inggris, Jepang, Switzerland, dan juga Australia.

Apabila mengamati karakteristik dari pasar Zambia sendiri, banyak negara yang berada di dalam daftar pasar Zambia memiliki karakteristik pasar yang sama. Diantaranya Inggris, Jepang, Switzerland, dan juga Australia merupakan negara yang mendukung untuk tidak mengkonsumsi makanan transgenik dalam bentuk apapun. Hal ini tentu juga mempengaruhi bagaimana Zambia akan melakukan penyesuaian terhadap pasar yang dituju. Uni Eropa, khususnya Inggris merupakan negara yang menentang adanya makanan transgenik masuk ke dalam pasar dan dikonsumsi oleh masyarakatnya. Bahkan Inggris menyatakan diri sebagai ‘GMO-

Alasan dibalik penolakan

383 Jurnal Analisis

Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3, desember 2018

Free Region’, dimana setidaknya terdapat belasan organisasi dan institusi yang mendukung untuk menolak adanya makanan transgenik. Diantaranya adalah Greenpeace UK, GeneWatch UK, dan lain sebagainya (GMO Free Regions, t.t.). Apabila melihat Uni Eropa secara keseluruhan, setidaknya terdapat sekitar lebih dari 28 negara yang termasuk bagian dari Uni Eropa, menolak untuk tidak menanam dan menghasilkan tanaman-tanaman yang diproduksi menjadi makanan transgenik. Hal ini tentu berbeda dengan Amerika Serikat yang justru menanamkan makanan transgenik sebagai salah satu hasil pertaniannya.

Dalam kenyataannya pula, Amerika Serikat tidak termasuk ke dalam salah satu partner dagang dari Zambia. Perbedaan keyakinan mengenai makanan transgenik merupakan salah satu penyebab sulit terjalinnya hubungan antara Zambia dan Amerika Serikat dalam kerjasama di bidang agro-industri. Makanan transgenik pada kenyataannya telah masuk di Amerika Serikat, dan mulai dikonsumsi oleh masyarakatnya pada tahun 1996 (Johnson dan O’Connor, 2015). Makanan transgenik kemudian mulai menyebar, dan mulai dikonsumsi di kalangan masyakarat. Mulai dari keluarga biasa, hingga restoran yang menjual makanan. Lebih dari 90% semua kedelai, kapas, dan juga jagung merupakan hasil dari tanaman transgenik. Amerika Serikat mempercayai bahwa, tanaman transgenik memiliki keunggulan yang lebih daripada tanaman biasa. Hal ini karena tanaman transgenik dapat hidup lebih lama, dengan masa efektif yang lebih daripada tanaman biasa. Selain itu, tanaman transgenik dimungkinkan untuk bertahan hidup dalam cuaca apapun, serta bertahan dari serangan hama-hama yang dapat mengganggu tanaman biasa (Johnson dan O’Connor, 2015).

Karena itu, Zambia sendiri secara langsung tidak mau merusak garis pasar yang telah dibentuk dengan negara-negara yang punya pemikiran yang sama.

Melihat bagaimana karakteristik pasar Uni Eropa dan juga Zambia yang memiliki kemiripan, Zambia menjadi salah satu negara yang turut membangun ikatan pasar di dalam pasar utama Uni Eropa. Hal ini dikarenakan, Uni Eropa dan Zambia sendiri merupakan negara penentang konsumsi makanan transgenik untuk manusia. Dalam hal ini, produk-produk olahan transgenik dinilai sebagai sesuatu yang membahayakan dan dapat mengancam kesehatan manusia dan lingkungan. Terbukti bahwa Uni Eropa dan juga Zambia menganut dua hal yang sama; yaitu Precautionary Principle dan juga termasuk ke dalam The Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity yang dibuat pada tahun 2000.

Pada Precautionary Principle sendiri, merupakan prinsip kehati-hatian dalam menerima suatu barang yang diperlakukan secara transgenik. Sedangkan dalam The Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity sendiri, protokol ini memungkinkan negara-negara untuk membatasi penggunaan dan perputaran makanan atau barang hasil transgenik dalam situasi ketidakpastian ilmiah yang berkaitan dengan efek ekologi dan kesehatan yang berpotensi merugikan (European Commission, 2017). Sehingga pada dasarnya, apabila Zambia memilih untuk menerima makanan yang diolah ke dalam bentuk transgenik sebagai salah satu bentuk bantuan yang masuk ke dalam negaranya, secara tidak langsung, hal ini akan mengancam industri domestik yang ada di dalam Zambia dan juga akan mengancam keberadaan pasar utama dari Zambia itu sendiri; yang mana pasar tersebut memiliki beberapa karakteristik yang perlu dipenuhi oleh Zambia sebagai salah satu partner ekspor mereka.

Sebagai contohnya, apabila melihat perusahaan-perusahaan Zambia, mereka juga banyak bekerja sama dengan negara-negara lain yang non-makanan transgenik. Misalnya saja, Inggris banyak bekerjasama dengan

Siti farahiyah inarah

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3, desember 2018 384

perusahaan-perusahaan agro-industri Zambia seperti Borassus Estates, yang merupakan perusahaan khusus agro-industri seperti rempah-rempah, gila, jagung, dan juga herbal. Borassus Estates memiliki hubungan dengan salah satu kelompok kepentingan Zambia, yaitu ZEGA (the Zambian Export Growers Association) (Legge et al, 2006). Selain Borassus Estates, terdapat pula York Farm Ltd. yang juga merupakan salah satu perusahaan pemasok sayuran organik untuk ekspor ke Inggris. York Farm Ltd. juga bekerjasama dengan ZEGA untuk melakukan ekspor hasil pertaniannya, yang diantaranya adalah cabai, jagung, daun bawang, dan lain sebagainya.

Selain adanya hubungan dengan agro-industri yang ada di Zambia, Sikap non koperatif dari Presiden Zambia ini kemudian berkaitan dengan sikap yang bertujuan untuk mempertahankan nation dignity. Teori nation dignity merupakan teori yang dibawa oleh Christopher M. Annear (2004), yang kemudian dianalisis melalui sebuah konsep yaitu symbolic consumption atau konsumsi simbolik. Konsumsi simbolik ini merupakan rujukan dari konsep yang mengasosiasikan penggunaan atau konsumsi atas suatu hal dengan simbol-simbol tertentu (Hirschman, 1981). Simbol-simbol tersebut akan muncul setelah melakukan konsumsi atas suatu produk. Kemudian, keberadaan simbol dapat mempresentasikan sebuah identitas maupun entitas tertentu. Sehingga pada kenyataannya, dapat dikatakan bahwa produk tersebut tidak hanya memiliki bentuk fisik, namun juga membawa nilai non material.

Apabila dihubungkan dengan makanan transgenik yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Zambia dalam krisis pangan yang terjadi di tahun 2002, bentuk fisik bahan pangan dari makanan transgenik memang dinilai sebagai sebuah makanan yang layak untuk di konsumsi (Annear, 2004). Namun pada kenyataannya, makanan transgenik juga memiliki nilai non material di antara masyarakat dunia.

terdapat nilai-nilai sosial yang secara tidak langsung juga terdapat di dalam makanan transgenik, yang menimbulkan pandangan dari masyarakat bahwa makanan transgenik merupakan makanan yang tidak layak untuk dikonsumsi manusia, dalam hal ini masyarakat Zambia. Makanan yang menjadi unsur yang cukup esensial bagi masyarakat Zambia, yaitu untuk mengekspresikan hubungan antar etnis di Zambia. Dalam hal ini, dalam beberapa wilayah, masyarakatnya dikelompokkan berdasarkan makanan yang dikonsumsi sehari-hari (Annear, 2004). Karena itu, makanan kemudian menjadi sesuatu hal yang cukup simbolik dalam mempresentasikan kearifan lokal dan juga sebagai bentuk komunikasi antar masyarakat yang ada di Zambia.

Oleh karena itu, Annear (2004), menjelaskan bahwa keputusan Presiden Levy Mwanawasa dalam menolak makanan transgenik sebagai bantuan kemanusiaan yang diberikan oleh Amerika Serikat pada krisis pangan di tahun 2002, menunjukkan bentuk pertahanan dari kedaulatan dan sebagai hak politiknya dalam hal menolak bantuan dari negara-negara Barat, utamanya dalam bentuk makanan transgenik. Kasus ini cukup menunjukkan bahwa pemerintahan merupakan aktor utama yang memiliki peran paling penting dan krusial dalam hubungan internasional. Penolakan terhadap makanan transgenik yang telah dilakukan Zambia sejak awal, bahkan ditambah dengan pengembalian segala macam bantuan yang diberikan oleh Amerika Serikat dalam bentuk makanan transgenik sebanyak ratusan ribu ton, dapat disimpulkan bahwa teorikonsumsi simbolik yang melibatkan antara nilai-nilai kearifan lokal dan budaya, serta teori atas nation diginity oleh Annear (2004) sekiranya dapat menjelaskan atas fenomena yang terjadi di Zambia.

Hal ini karena, Terlepas dari bantuan makanan transgenik yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Zambia di tahun 2002 sebagai respon atas masalah kelaparan yang melanda

Alasan dibalik penolakan

385 Jurnal Analisis

Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3, desember 2018

Zambia di tahun tersebut, Zambia tetap menjadi negara penerima bantuan kemanusiaan yang lain. Utamanya, Zambia pertama kali menerima bantuan eksternal di tahun 1970, dimana pada masa tersebut Zambia sedang mengalami guncangan perekonomian yang disebabkan oleh negara tetangganya, Zimbabwe (Andersson et al, 2000). Selanjutnya, bantuan kemanusiaan kepada Zambia dengan bentuk dana mulai meningkat hingga 300 oersen di antara tahun 1974 hingga 1980 (Simson, 1985). Beberapa negara yang ikut membantu Zambia dalam meningkatkan perekonomiannya adalah Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan World Bank di hingga sekitar tahun 1987. Hingga selanjutnya, peningkatan bantuan berupa dana kepada Zambia terus menerus meningkat hingga puncaknya di tahun 1992. Selama periode tersebut, Zambia tetap menerima bantuan yang berupa dana yang disalurkan oleh negara-negara besar.

Selanjutnya pada tahun-tahun selanjutnya, peningkatan jumlah bantuan kemanusiaan semakin besar, yaitu sekitar 474 juta US dollar, yang diberikan oleh Jepang. Sehingga Jepang kemudian menduduki posisi pertama untuk negara yang memberikan bantuan dana paling besar, yaitu sebanyak 14 persen dari total bantuan bilateral (Andersson et al, 2000). Kemudian menyusul Jerman yang juga banyak memberikan bantuan kemanusiaan dengan jumlah 13 persen dari total bantuan bilateral. Ada pula Swedia dengan jumlah 12 persen, yang diikuti oleh negara-negara lainnya seperti Inggris, Amerika Serikat, Norwegia, dan juga Belanda. Keberadaan bantuan dalam bentuk dana ini kemudian tetap menjadi salah satu pembentuk perekonomian Zambia selanjutnya. Hingga pada tahun 1998, jumlah hutang yang dimiliki oleh Zambia terus menerus meningkat. Hutang Zambia mencapai 205 persen dari total Produk Domestik Bruto yang dimiliki sehingga hal ini cukup menjadi permasalahan dalam pemerintahan Zambia. Namun dalam hal

ini membuktikan pula, bahwa Zambia tetap menerima bantuan kemanusiaan yang diberikan oleh negara lain, misalnya dalam bentuk dana. Makanan transgenik yang disumbangkan kepada Zambia pada tahun 2002, yang kemudian ditolak tegas oleh pemerintahan Zambia menunjukkan bahwa keberadaan makanan transgenik merupakan suatu ancaman terhadap kearifan lokal yang telah dijaga, karena adanya konstruksi pandangan sosial yang terbangun di antara masyarakat, bahwa makanan transgenik merupakan makanan yang tidak layak konsumsi untuk manusia.

Selain itu, aktor-aktor yang berada di sekeliling pemerintahan juga menjadi salah satu faktor untuk memutuskan suatu kebijakan. Beberapa aktor yang berhubungan dengan kebijakan luar negeri dibagi menjadi domestik dan internasional. Misalnya saja di dalam domestik, terdapat badan pemerintah yaitu presiden, wakil presiden juga anggota-anggota di dalamnya. Adapula departemen lain yang berhubungan, serta kelompok kepentingan. Dalam hal ini, kelompok kepentingan tersebut bisa jadi merupakan sebuah kelompok kepentingan lokal, nasional, maupun kelompok kepentingan besar dalam lingkup internasional. Kelompok-kelompok kepentingan akan selalu bermunculan dalam sebuah isu-isu dalam dunia internasional. Terdapat berbagai jenis dari kelompok kepentingan, yang bisa berbentuk sebuah NGO atau Non Governmental Organizations, lembaga Think Tank, organisasi profesi, lembaga donor, lobbyist, hingga sebuah Political Action Committee (Melusky, 2000). Adanya kelompok kepentingan kemudian bisa menjadi salah satu ahli lobi sebuah negara atau pemerintahan, terhadap suatu isu khusus. Kelompok kepentingan mempengaruhi kebijakan pemerintahan dengan memberikan suara-suara yang sehubungan dengan kepentingannya. Misalnya dengan cara melakukan demo, menyebarkan suara mereka melalui media, penelitian, dan juga mengambil

Siti farahiyah inarah

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3, desember 2018 386

hati masyarakat melalui pelatihan-pelatihan yang disasarkan pada golongan-golongan terkait isu (International Budget, 2011).

Kelompok kepentingan cenderung akan membuat lobi-lobi untuk mempengaruhi aktor yang akan mengambil keputusan. Lobi sendiri merupakan salah satu cara untuk kelompok kepentingan mengusulkan suatu bentuk undang-undang atau hanya mengemukakan berbagai alasan dan kemungkinan, yang kemudian membawa pemikiran konstituen mereka menjadi bahan pertimbangan para pengambil keputusan (Melusky, 2000). Dapat dikatakan, tidak semua kelompok kepentingan bekerja dengan hanya memberikan pandangan terhadap suatu isu. Terdapat pula kelompok penekan dan lobbyist yang berfungsi untuk membuat suatu pemerintahan mengambil keputusan seperti apa yang mereka pandangkan. Pun demikian, semua kelompok penekan dan lobbyist masih tetap termasuk ke dalam kelompok kepentingan, namun tidak semua kelompok kepentingan adalah kelompok penekan dan lobbyist. Kelompok pekanan dan lobbyist lebih memusatkan kegiatan mereka, terutama pada proses pemerintah dalam pengambilan kebijakan atas suatu isu penting. Sedangkan di sisi lain, kelompok kepentingan, hanya berusaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, proses pemerintahan, dan organisasi lainnya di dalam kelompok masyarakat melalui berbagai cara (Anon, 2015).

Adanya kelompok kepentingan ini sebenarnya merupakan konsekuensi dari keadaan negara Zambia itu sendiri. Zambia merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan yang berbentuk kesatuan, tak terpisahkan, multi-partai dan negara berdaulat demokratis, sesuai dengan Konstitusi 1996. Setelah merdeka dari masa penjajahan Inggris di 24 Oktober 1964, Zambia mulai menata pemerintahannya dengan membagi menjadi dua; yaitu badan eksekutif yang langsung dijalankan oleh presiden Zambia, dan

badan legislatif yang berada di tangan parlemen namun tetap dengan campur tangan presiden. Selain itu, adapula badan kejaksaan atau Mahkamah Agung yang dipimpin oleh adanya Hakim Agung (Zambia Development Agency, t.t.). Sistem pemerintahan Zambia yang demokratis, membuat Zambia menghadirkan adanya pemilu yang dilakukan selama lima tahun sekali berdasarkan pilihan dari masyarakatnya; meskipun terdapat sebagian kecil dari anggota Majelis Nasional dinominasikan langsung oleh presiden.

Sebagai negara yang demokratis, Zambia melibatkan banyak elemen dalam pengambilan kebijakan. Nyatanya tidak hanya pemerintahan yang punya campur tangan dalam hal tersebut, elemen lain termasuk didalamnya kelompok kepentingan juga memiliki peran yang besar. Kelompok kepentingan mengadopsi strategi lobi yang berbeda, dalam upaya mereka untuk mempengaruhi berbagai kebijakan dan regulasi. Sehingga dalam hal ini, terlihat sebuah konstruksi yang menunjukkan bahwa pasar politik ada dengan kelompok kepentingan, birokrat dan politisi yang bertindak sebagai pelaku pasar atau agen. Letak dari kelompok kepentingan yang juga mampu mempengaruhi pembuatan kebijakan, karena kelompok kepentingan baik dalam memanfaatkan sarana informal atau jaringan kebijakan untuk menyalurkan upaya lobi kebijakan yang sesuai dengan kepentingan mereka. Selain memanfaatkan lobi secara formal, lobi informal juga dilakukan guna untuk mempengaruhi keputusan pada tingkat pengambilan keputusan terhadap suatu kebijakan dalam tahap yang lebih tinggi, seperti pada tahap persetujuan dalam level kabinet dan parlemen (Wiley dan Sons, 2011).

Demikian, terdapat beberapa kelompok kepentingan yang memiliki peran di balik penolakan makanan transgenik yang diberikan oleh Amerika kepada Zambia, diantaranya adalah Jesuit Centre for Theological Reflection (JCTR), Kasisi Agricultural

Alasan dibalik penolakan

387 Jurnal Analisis

Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3, desember 2018

Training Centre (KATC), dan juga Zambia Export Growers Association (ZEGA). Kelompok-kelompok tersebut merupakan kelompok kepentingan lokal dan juga merupakan organisasi non-pemerintah yang punya massa yang begitu masif di Zambia. JCTR sendiri merupakan organisasi non-pemerintah yang bersifat keagamaan, yang melakukan advokasi dalam berbagai permasalahan politik, sosial, dan ekonomi di antara masyarakat (International Budget, 2011). JCTR didirikan pada tahun 1988, yang awalnya berfokus pada permasalahan keringanan hutang di Afrika sub-Sahara. Pada saat tersebut, banyak negara di kawasan Afrika sub-Sahara menghadapi permasalahan yang sulit untuk diatasi, misalnya saja hutang yang membebani negara, sehingga negara-negara tersebut sering terpaksa untuk memberlakukan langkah-langkah penghematan yang cukup ekstrem. Namun, pengurangan anggaran dan pemborosan pengeluaran seringkali mengorbankan kesehatan, serta sektor pendidikan. Akibatnya secara tidak proporsional mempengaruhi masyarakat dalam negara tersebut (International Budget, 2011).

Menanggapi hal tersebut, JCTR bersama dengan Jubilee 2000 Coalition kemudian membuat suatu program Jubilee-Zambia, yang mengadvokasi bantuan hutang Zambia di bawah IMF dan juga World Bank dalam program Highly Indebted Poor Countries (HIPC). Sebagai bagian dari Jubilee-Zambia, JCTR kemudian memulai kampanye di seluruh negeri untuk meningkatkan kesadaran tentang bagaimana utang Zambia mulai meningkat karena banyaknya pengeluaran sosial yang kurang penting. Media berperan penting dalam mempopulerkan kampanye yang dibawa oleh JCTR, dan politisi lokal dimobilisasi oleh konstituen yang ada untuk menghadiri protes publik dan unjuk rasa (International Budget, 2011). Selain Jubilee-Zambia, JCTR juga memiliki program untuk mengadvokasi permasalahan ketenagakerjaan. JCTR memonitori permasalahan ini dari

Zambia Development Agency (ZDA); dimana badan ini secara khusus berfokus sebagai badan yang dimandatkan untuk mendukung strategi ketenagakerjaan Zambia, serta untuk mendukung pertumbuhan pemerintah yang lebih luas. Dengan dukungan dari Partnership Initiative, JCTR akan memberikan informasi tentang peran ZDA dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan implikasi anggaran, serta terlibat langusng dengan instansi pemerintah terkait untuk memperkuat peran masyarakat sipil dalam memantau proses anggaran dan pengambilan keputusan ZDA (International Budget, 2011).

Selain JCTR, KATC juga memiliki peran yang cukup signifikan. KATC merupakan organisasi non pemerintah yang didirikan oleh the Jesuits of the Zambia-Malawi di tahun 1974. Sejak tahun 1990, KATC telah melatih para petani dalam pertanian organik berkelanjutan sambil melakukan penelitian, perluasan, dan upaya melobi pemerintah dalam bidang tersebut. Kelompok kepentingan ini menggunakan pengeluaran pribadi untuk membiayai segala advokasi yang dilakukan. KATC sendiri diatur oleh Dewan Pengawas dan memiliki 25 staf professional, yang ditambah dengan 50 staf pendukung. Staf profesional memiliki keahlian dalam ilmu tanah, agronomi, kehutanan agro, ekonomi, penyuluhan, sertifikasi organik, pemeliharaan dan produksi pertanian (KATC, t.t.). KATC bertujuan untuk menjadi lembaga pelatihan berbasis agama yang terkemuka dalam pertanian organik berkelanjutan, yang memfasilitasi pengembangan pedesaan. Selain itu, KATC juga memiliki tujuan untuk memberdayakan masyarakat pedesaan untuk meningkatkan mata pencaharian dan memfasilitasi pembangunan pedesaan yang holistik dan demokratis melalui pelatihan, penyuluhan, penelitian, pengembangan pasar, lobi dan advokasi, serta teknologi tepat guna dalam pertanian organik berkelanjutan (KATC, t.t.). KATC sendiri memiliki afiliasi khusus dengan beberapa kelompok kepentingan seperti

Siti farahiyah inarah

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3, desember 2018 388

Poultry Association of Zambia (PAZ), dan juga Livestock Services Cooperative Society (LSCS). Selain itu, KATC sendiri dekat dengan beberapa organisasi non-pemerintah Eropa; yaitu the Swedish Cooperative Center (Paarlberg, 2014). Organisasi non-pemerintah ini turut serta dalam pembiayaan peserta pelatihan yang dimiliki oleh KATC, dalam sebuah Agriflora. Agriflora ini merupakan pusat penanaman tanaman berjenis baby corn yang ditujukan untuk melakukan ekspor ke Eropa.

Zambia Export Growers Association (ZEGA) juga merupakan salah satu kelompok yang berpengaruh. Asosiasi ini didirikan pada tahun 1984 sebagai sebuah organisasi non profit, yang memiliki tujuan untuk mempromosikan kepentingan kolektif dari semua petani yang ingin mengekspor hasil hortikultura. ZEGA pada dasarnya ingin terlibat dalam kemajuan para petani di Zambia, utamanya petani skala kecil agar dapat bersaing dan memiliki nilai jual yang tinggi. Karena itu, ZEGA melakukan pelatihan holtikultura untuk memungkinkan staf pertanian Zambia memproduksi tanaman untuk ekspor yang berkualitas tinggi secara konsisten, dengan cara mempromosikan pemahaman dan penerapan keterampilan meningkatkan pengetahuan. ZEGA terdiri dari badan profesional, privat, dan juga badan yang berdiri secara independen (FAO, 2002). Saat ini, dalam ZEGA telah terdaftar 15 eksportir yang terdiri dari bisnis keluarga dan juga perusahaan. ZEGA melakukan ekspor ke pasar Uni Eropa sebagai salah satu afiliasinya berdasarkan asas bebas bea, akses pasar bebas tanpa kuota (Preferentia). Negara-negara yang menjalin kerjasama dengan ZEGA sebagai eksportirnya adalah Belanda dan Jerman sebagai pasar utama dari ZEGA. Dalam hal ini, ZEGA melakukan melakukan segala pengiriman dari hasil tanam milik perusahaan-perusahaan agro-industri melalui jaringan-jaringan yang dibangun di antara supermarket Eropa. Produk yang telah dikemas, diangkut ke Bandara Lusaka yang

langsung ditangani oleh ZEGA (Legge et al, 2006). Pengiriman oleh ZEGA ini melalui udara, dan disalurkan ke supermarket di Inggris juga kepada konsumen di Afrika Selatan. Selanjutnya, terdapat Inggris, Perancis, dan juga Afrika Selatan yang juga menjadi bagian dari negara importir produk dari ZEGA. Beberapa produk yang di ekspor oleh ZEGA adalah kacang-kacangan, jagung, wortel, dan juga beberapa jenis tanaman yang semuanya tersedia sebagai produk organik (FAO, 2002).

Selain kelompok kepentingan lokal, terdapat pula kelompok kepentingan internasional yang terlibat dalam keputusan yang diambil oleh Pemerintah Zambia, diantaranya adalah Greenpeace dan juga Participatory Ecological Land Use Management Association of Zambia (the PELUM Association). Kedua kelompok ini merupakan organisasi non pemerintah yang banyak memiliki cabang organisasi di banyak negara di dunia. Greenpeace merupakan salah satu organisasi lingkungan global yang memiliki lebih dari 40 cabang dengan kantor pusat yang berada di Amsterdam, Belanda. Awalnya, Greenpeace didirikan untuk menghentikan percobaan nuklir yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat di Amchitka, Alaska. Greenpeace hadir untuk menyuarakan masalah-masalah lingkungan (Greenpeace, t.t.). Dalam pembiayaan gerakan yang dilakukan, Greenpeace menerima pendanaan melalui kontribusi langsung dari banyak individu yang diperkirakan mencapai 2,8 juta para pendukung keuangan, serta juga bantuan dari yayasan amal. Namun karena sifatnya yang merupakan organisasi non-pemerintah, Greenpeace tidak menerima pendanaan dari pemerintah atau korporasi (Greenpeace, 2009).

Sedangkan kelompok kepentingan internasional terakhir adalah Participatory Ecological Land Use Management Association of Zambia (the PELUM Association). The PELUM Association merupakan asosiasi yang dibentuk untuk masyarakat Afrika Timur

Alasan dibalik penolakan

389 Jurnal Analisis

Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3, desember 2018

dan Afrika Selatan untuk mendukung kehidupan yang berkualitas secara sosial dan ekonomi. The PELUM Association juga adalah organisasi yang terdiri dari LSM yang ada, dan terlibat dalam pelatihan di bidang pengelolaan penggunaan lahan ekologis partisipatif (PELUM). Terdapat beberapa PELUM yang ada di Afrika, diantaranya adalah PELUM Zambia, PELUM Kenya, dan PELUM Uganda. Organisasi ini terlibat langsung dengan petani skala kecil untuk memperbaiki situasi air yang ada. Hal ini termasuk pelatihan penanaman air, pembangunan bendungan, fasilitasi perencanaan penggembalaan dan pelatihan pengembangan masyarakat (NZDL, t.t.).

Sehingga kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa penolakan Zambia terhadap makanan transgenik yang dikirimkan oleh Amerika Serikat sebagai bentuk bantuan pangan di tengah krisis tahun 2002, tidak terlepas dari adanya ikatan terhadap kepentingan nasional, juga kelompok-kelompok kepentingan

yang ikut serta dibalik keputusan pemerintahan Zambia. Dengan melihat dua alasan yang diambil, bahwa yang pertama, pertanian adalah sektor strategis dan produk utama ekspor Zambia. Sehingga dapat dikatakan bahwa masuknya makanan dan bahan pangan dengan bentuk transgenik dapat mengancam keberlangsungan sektor perdagangan dan agro-industri di Zambia. Selain itu, adanya perasaan akan terancamnya kearifan lokal juga menjadi salah satu alasan lain dari penolakan Zambia. Namun untuk menetapkan kebijakan luar negeri, tidak akan semudah itu. Tentu terdapat aktor-aktor yang juga terlibat. Apabila dianalisis, dalam kasus Zambia ini terdapat kelompok kepentingan yang turut campur dalam melobi pemerintah untuk tegas menolak makanan transgenik yang dikirimkan di tahun 2002. Misalnya saja JCTR, KATC, ZEGA, The PELUM Association, dan Greenpeace yang banyak berperan dalam merespon pemikirian pemerintah Zambia.

Daftar Pustaka

Berita Online [1] Purushothaman, Chithra. 2017. “Why Is the

Philippines Turning Away Foreign Aid?” [online]. Terdapat dalam https://thediplomat.com/2017/05/why-is-the-philippines-turning-away-foreign-aid/ (Diakses pada 20 Mei 2018).

[2] Samim, Mohammad. 2016. “Afghanistan’s Addiction to Foreign Aid” [online]. Terdapat dalam https://thediplomat.com/2016/05/afghanistans-addiction-to-foreign-aid/ (Diakses pada 20 Mei 2018).

[3] Schummelpfennig, Saundra. 2010. “Why Chile is not Accepting International Assistance” [online]. Terdapat dalam https://www.huffingtonpost.com/saundra-schimmelpfennig/why-chile-is-not-acceptin_b_499480.html (Diakses pada 20 Mei 2018).

[4] Wilson Margaret, dan Roger Highfield. 2002. “Starving Zambia rejects America's GM maize” [online]. Terdapat dalam https://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/africaandindianocean/zambia/1411713/Starving-Zambia-rejects-Americas-GM-maize.html (Diakses pada 20 Mei 2018).

Buku

[5] Bellamy, Alex J., 2008. “The Responsibility to Protect and the Problem of Military

Intervention”, in International Affairs, Vol. 84, no. 4, pp. 615-639.

[6] Macrae, J dan Leader, N. 2000. “The Politics of Coherence: Humanitarianism and Foreign Policy in the Post-Cold War Era”. London: Oversews Development Institute.

[7] Melusky, Joseph. 2000. “The American Political System”. United States of America: Mc Graw – Hill Companies Inc.

[8] Wilson, G.K. 1990. “Interest groups”. Oxford: Basil Blackwell, Ltd. Jurnal

[9] Anon. t.t. “Introduction to Export Marketing – I (Meaning and importance of Exports)” [pdf]. Terdapat dalam http://archive.mu.ac.in/myweb/20study%20material/Export%20Mkt.pdf (Diakses pada 23 April 2018).

[10] Hirschman, Elizabeth C.. 1981. “Comprehending Symbolic Consumption: Three Theoretical Issues” [online]. Terdapat dalam http://acrwebsite.org/volumes/12219/volumes/sv04/SV-04 (diakses pada 27 Juni 2018).

[11] Leahey, Andrew J. 2013. “Genetically Modified Organism and Southern African Food Policy” [pdf]. Terdapat dalam http://bit.ly/2oVYfIo (Diakses pada 2 April 2018).

[12] Lewin, Alexandra C.. 2007. “Zambia and Genetically Modified Food Aid” [pdf]. Terdapat dalam

Siti farahiyah inarah

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3, desember 2018 390

https://cip.cornell.edu/DPubS/Repository/1.0/Disseminate?view=body&id=pdf_1&handle=dns.gfs/1200428165 (diakses pada 25 Mei 2018).

[13] Nhlane, Robert. 2016. “Diversification towards agro-processing in Zambia:

[14] Paarlberg, Robert. 2014. “A Dubious Success: The NGO Campaign Against GMOs” [online]. Terdapat dalam https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5033189/ (Diakses pada 25 Mei 2018).

[15] Reci, Amarda. 2014. “Advantages And Disadvantages of Foreign Assistance in Albania” [pdf]. Terdapat dalam http://www.wsb.edu.pl/container/Wydawnictwo/Do%20pobrania/reci-m.pdf (Diakses pada 20 Mei 2018).

[16] Scott, Guy. 1995. “Agricultural Tranformation in Zambia: Past Experience And Future Prospects” [pdf]. Terdapat dalam https://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNABZ993.pdf (diakses pada 25 Mei 2018).

[17] Zerbe, Noah. 2004. “Feeding the famine? American food aid and the GMO debate in Southern Africa” [pdf]. Terdapat dalam http://bit.ly/2oPIVep (Diakses pada 20 April 2018). Dokumen Lembaga Non-Pemerintah

[18] CAST, t.t. “Impact of the Precautionary Principle on Feeding Current and Future Generations”. [pdf]. Terdapat dalam http://bit.ly/2quGYXv (Diakses pada 7 April 2017).

[19] FAO, t.t. “Food Crisis Threatens Several Countries in Southern Africa” [online]. Terdapat dalam http://bit.ly/2pShrnI (Diakses pada 2 April 2017).

[20] FAO. 2015. “Zambia” [online]. Terdapat dalam https://www.slideshare.net/FAOoftheUN/zambia (Diakses pada 24 April 2018).

[21] Greenpeace. 2009. “Greenpeace International FAQ: Questions about Greenpeace in general” [online]. Terdapat dalam https://www.greenpeace.org/ (Diakses pada 25 Mei 2018).

[22] Greenpeace. t.t. “About Us” [online]. Terdapat dalam https://www.greenpeace.org/international/about/ (Diakses pada 25 Mei 2018).

[23] International Budget Partnership. t.t. “Jesuit Centre For Theological Reflection (JCTR)” [online]. Terdapat dalam https://www.internationalbudget.org/groups/jesuit-centre-for-theological-reflection-jctr/ (Diakses pada 25 Mei 2018).

[24] International Budget Partnership. t.t. “Jesuit Centre for Theological Reflection (JCTR) – Zambia” [online]. Terdapat dalam https://www.internationalbudget.org/wp-content/uploads/Profile-of-JCTR-Zambia-2011.pdf (Diakses pada 25 Mei 2018).

[25] Johnson, David dan Siobhan O’Connor. 2015. “These Charts Show Every Genetically Modified Food People Already Eat in the U.S.” [online]. Terdapat dalam

http://time.com/3840073/gmo-food-charts/ (Diakses pada 21 April 2018).

[26] Kasisi Agricultural Training Centre. t.t. “Kasisi Agricultural Training Centre: Promoting Sustainable Organic Agriculture” [online]. Terdapat dalam https://www.katczm.org/about-us.html (Diakses pada 25 Mei 2018).

[27] Kasisi Agricultural Training Centre. t.t. “Lobbying and Advocacy” [online]. Terdapat dalam https://www.katczm.org/lobbying-and-advocacy.html (Diakses pada 25 Mei 2018).

[28] Kommerskollegium, 2009. “A Case Study of Zambian Honey Exports” [pdf]. Terdapat dalam https://www.kommers.se/Documents/dokumentarkiv/publikationer/2009/rapporter/report-case-study-of-zambian-honey-exports.pdf (Diakses pada 20 Mei 2018).

[29] Mulungu Kelvin dan John N. Ng'ombe. 2017. “Sources of Economic Growth in Zambia, 1970–2013: A Growth Accounting Approach” [online]. Terdapat dalam http://www.mdpi.com/2227-7099/5/2/15 (Diakses pada 21 April 2018).

[30] OEC. t.t. “Zambia” [online]. Terdapat dalam http://bit.ly/2qsEjf2 (Diakses pada 7 April 2018).

[31] PELUM Association. t.t. “About PELUM Association” [online]. Terdapat dalam https://www.pelum.net/about-pelum-kenya-2 (Diakses pada 25 Mei 2018).

[32] PELUM Association. t.t. “About PELUM Zambia” [online]. Terdapat dalam https://sites.google.com/site/pelumzambia/About-Pelum-Zambia (Diakses pada 25 Mei 2018).

[33] PELUM Association. t.t. “PELUM Zambia Participatory Ecological Land Use Management” [online]. Terdapat dalam http://pelumzambia.org (Diakses pada 25 Mei 2018).

[34] WHO, t.t. “Food Security” [online]. Terdapat dalam http://bit.ly/1bQgnEZ (Diakses pada 16 April 2017).

[35] WHO, t.t. “Frequently asked questions on genetically modified foods” [online]. Terdapat dalam http://bit.ly/1slbfSV (Diakses pada 7 April 2018).

[36] Zambia Development Agency. t.t. “Political System” [online]. Terdapat dalam http://www.zda.org.zm/?q=content/political-system (Diakses pada 21 April 2018).

[37] Zambia Export Growers Association. t.t. “Mission Statement” [online]. Terdapat dalam http://www.zambiaexportgrowers.com/mission-statement.htm (Diakses pada 25 Mei 2018).

[38] Zambia Export Growers Association. t.t. “NRDC/ZEGA Training Trust” [online]. Terdapat dalam http://www.zambiaexportgrowers.com/training-trust.htm (Diakses pada 25 Mei 2018).

[39] Zambia Invest. t.t. “Zambia Economy” [online]. Terdapat dalam http://www.zambiainvest.com/economy (Diakses pada 21 April 2018).

Alasan dibalik penolakan

391 Jurnal Analisis

Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 3, desember 2018

Dokumen Lembaga Pemerintah

[40] European Commission. 2017. “FUTURE BRIEF: The Precautionary Principle: Decision-Making under Uncertainty” [online]. Terdapat dalam http:// http://europa.eu/rapid/press-release_MEMO-05-104_en.htm (Diakses pada 25 Mei 2018).

[41] European Commission. 2017. “Questions and Answers on the Regulation of GMOs in the European Union” [pdf]. Terdapat dalam http://ec.europa.eu/environment/integration/research/newsalert/pdf/precautionary_principle_decision_making_under_uncertainty_FB18_en.pdf (Diakses pada 25 Mei 2018).