dilema bahasa. jawa ning jawa (dokumenter tentang …secure site d0214016.pdf · bahasa daerah...
Post on 30-Oct-2020
14 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DILEMA BAHASA. JAWA NING JAWA
(Dokumenter Tentang Terancam Punahnya Bahasa Daerah sebagai Bahasa Ibu di Indonesia)
Arief Rahman Hakim Chatarina Heny Dwi Surwati
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Javanese is the language that has the most speakers in Indonesia. In addition to having more speakers than Bahasa Indonesia's speakers, Javanese has also been widely recorded in its existence ranging from written language to spoken language. Research with the Javanese language as an object has also been widely done by various parties. So that quantitatively Javanese is belongs to the category of regional languages which are classified as safe, because it has many speakers and literature. However, the fact is that not a few Javanese children are no longer proficient in Javanese, despite living in one of the centers of Javanese civilization.
We use observation and interview methods to collect data and information in the field. We conduct observation on the daily life of peoples in Baluwarti Village, Pasar Kliwon Sub-District, Surakarta City. Formal and non-formal activities are our observation targets. We interviewed two informants from Baluwarti who had different attitudes towards declining Javanese skills in his community. Baluwarti itself is a village complex inhabited by courtiers and families of Kasunanan Surakarta Hadiningrat Palace. Geographically and historically, this village is located within one of the centers of Javanese civilization. Two expert speakers are also interviewed to provide a broader and credible perspective.
This film raises the current state of Javanese, especially in the Baluwarti community. Despite having the most speakers and located at the center of civilization, the Javanese language in Baluwarti also suffered setbacks. This fact was conveyed by both Baluwarti's informants. From observations, we also get the same facts, namely the decline in the use of Javanese even to the shift of the mother tongue from Javanese to Bahasa Indonesia.
Keywords: local language, mother tongue, language extinction, Javanese
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beragam suku yang memiliki
budaya khasnya masing-masing. Tercatat dalam sensus penduduk tahun 2010 ,
Indonesia memiliki 1340 suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke
(Badan Pusat Statistik, 2011). Meskipun begitu, belum semua suku bangsa yang
ada di Indonesia tercatat. Sebelumnya, pada tahun 1995 Melalatoa berhasil
merampungkan Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia dan telah mendeskripsikan
485 suku bangsa (Melalatoa, 1995).
Banyaknya suku bangsa di Indonesia berbanding lurus dengan kuantitas
ragam bahasa yang ada di Indonesia. Sesuai dengan salah satu dari lima inti Teori
Kode-Kode Berbicara (Speech Codes Theory) yang dilahirkan oleh Gerry Philipsen
bahwa “di mana ada suatu peradaban budaya, di sana akan ditemukan kode
berbicara yang berbeda pula” (Pala, 2014). Teori ini dipertegas dengan data Badan
Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa dari penelitian pemetaan
bahasa sejak 1991 hingga 2017 terdapat 652 bahasa dari 2452 daerah pengamatan
di Indonesia. Jika berdasarkan akumulasi persebaran bahasa daerah per-provinsi,
terdapat 733 bahasa daerah (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2017).
Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia kaya akan salah satu warisan budaya dunia
yaitu bahasa.
Bahasa daerah maupun bahasa Indonesia memiliki fungsi dan kedudukannya
masing-masing. Bahasa lokal di tiap suku memiliki kedudukan sebagai bahasa
daerah. Sedangkan bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan yaitu sebagai bahasa
nasional dan bahasa negara. Amran Halim dan banyak ahli bahasa berpendapat
bahwa kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional berarti bahasa
Indonesia merupakan “alat pemersatu” atau “lambang kesatuan jiwa nasional
Indonesia” (Samuel, 2008). Sedangkan kedudukan sebagai bahasa negara karena
bahasa Indonesia digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan
negara, serta pendidikan (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1975).
Kondisi penggunaan bahasa lebih dari satu merupakan hal yang biasa dalam
masyarakat multikultur. Dalam istilah linguistik, kondisi semacam ini disebut
dengan diglosia. Situasi berbahasa yang bersifat diglosik memunculkan peran
penggunaan bahasa dalam situasi kemasyarakatan yang berbeda-beda (Listiyorini,
2008). Orang-orang yang hidup dalam masyarakat diglosik biasanya tidak
memandang kondisi ini sebagai suatu masalah. Karena pada dasaranya, diglosia
adalah situasi pemakaian bahasa yang stabil karena setiap bahasa diberi keleluasaan
untuk menjalankan fungsi kemasyarakatannya secara proporsional (Wijana &
Rohmadi, 2006).
Kebijakan yang mencipatakan kondisi berbahasa bersifat diglosik sebenarnya
tidak menjadi permasalahan. Namun yang patut dikhawatirkan adalah
implementasi penggunaan bahasa Indonesia yang berperan sebagai bahasa
persatuan. Putu Wijana dan Rohmadi mengutip pendapat Ronald Wardhaugh,
seorang Profesor Linguistik dari University of Toronto, bahwa keinginan yang
besar untuk menciptakan bahasa persatuan merupakan salah satu faktor yang paling
dominan berperan dalam melemahkan situasi diglosia (Wijana & Rohmadi, 2006).
Jérôme Samuel dalam salah satu tulisan sebelumnya pernah mengungkapkan bahwa
para pendukung integrasi bahasa menganggap bahwa sekecil apapun tempat yang
diberikan kepada bahasa daerah berarti menggerogoti ruang bahasa Indonesia,
menghalangi perkembangannya dan merugikan kepentingan nasional (Samuel,
2008). Sikap para pendukung integrasi bahasa ini semakin memperlemah situasi
diglosia di Indonesia, dan yang paling dirugikan dari sikap ini adalah bahasa daerah.
Menurut Wijana & Rohmadi (2006), pengharusan penggunaan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi mengakibatkan bahasa-bahasa
daerah mulai ditinggalkan oleh para penuturnya, terutama pada individu dengan
kelas sosial tinggi, golongan usia muda, dan orang-orang di daerah perkotaan.
Fenomena melemahnya bahasa daerah sebenarnya sudah terlihat sejak awal tahun
1970-an. Kondisi diglosia semakin melemah dengan munculnya doktrin-doktrin
yang mengagung-agungkan persatuan, kesatuan, stabilitas dan keseragaman oleh
rezim orde baru. Banyak penutur bahasa daerah yang beralih kepada bahasa yang
lebih dominan yang dipandang lebih menjanjikan serta memudahkan dalam
melakukan mobilitas vertikal (Wijana & Rohmadi, 2006). Fenomena penerobosan
fungsi bahasa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat seperti ini dikenal dengan
istilah kebocoran diglosia (digglossia leakage). Akibat paling parah yang
ditimbulkan dari kebocoran diglosia adalah punahnya sejumlah bahasa daerah
sebelum sempat didokumentasikan.
Fenomena kebocoran diglosia kini banyak terjadi di Indonesia. Salah satunya
dialami oleh Bahasa Jawa. Tidak sedikit kasus keluarga suku Jawa yang telah
menggunakan bahasa Indonesia di dalam keluarganya. Banyak keluarga muda yang
berkomunikasi dengan anaknya sejak dini menggunakan bahasa Indonesia
meskipun tinggal di lingkungan berbahasa daerah (Listiyorini, 2008). Kemunduran
penguasaan bahasa daerah oleh anak-anak mengindikasikan semakin lemahnya
peran dan fungsi bahasa daerah di masyarakat. Dan ini merupakan indikasi serius
menuju kepunahan bahasa daerah di Indonesia.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis uraikan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana fenomena kemunduran bahasa jika dilihat dari sudut pandang
bahasa Jawa yang memiliki kuantitas penutur bahasa terbanyak di
Indonesia, namun tetap mengalami penurunan kualitas penuturnya?
Tinjauan Pustaka
1. Bahasa Sebagai Bagian dari Komunikasi
Liliweri mengemukakan bahwa bahasa merupakan medium yang digunakan
dalam berkomunikasi. Hal menarik dari bahasa adalah bahwa bahasa merupakan
medium untuk menyatakan kesadaran, tidak hanya sekedar mengalihkan informasi.
Kesadaran yang dimaksud Liliweri disini adalah kesadaran dalam konteks sosial.
Dalam komunikasi antarmanusia sehari-hari, kita mengenal istilah-istilah seperti
bahasa lisan, bahasa tulisan, bahasa isyarat, bahasa visual dan lain-lain. Istilah
tersebut merupakan penggambaran aspek pragmatis dari penggunaan bahasa
(Liliweri, 2011). Muncul istilah bahasa lisan karena penggunaan bahasa melalui
alat ucap, yang dalam kalangan komunikasi disebut oral communication. Selain
penggunaan lisan dalam penyampaian pesan, terkadang seseorang menggunakan
tulisan atau dikenal dengan verbal communication.
2. Bahasa Sebagai Bagian dari Budaya
Bahasa adalah representasi budaya, atau suara “peta kasar” yang
menggambarkan budaya, termasuk pandangan dunia, kepercayaan, nilai,
pengetahuan, dan pengalaman yang dianut komunitas bersangkutan. Pandangan
tentang dunia oleh pemuda yang sering menyebut Allah, akhirat, iman, ikhlas,
kematian dan kubur, tentu berbeda dengan pemuda yang sering mengucap kata-kata
seperti duit, cewek, pesta, minum, dan teler (Mulyana, 2005). Sedangkan Finegan
menjelaskan bahasa sebagai sejumlah simbol atau tanda yang disetujui untuk
digunakan oleh sekelompok orang untuk menghasilkan arti. Hubungan antara
simbol yang dipilih dan arti yang disepakati kadang berubah-ubah (Samovar, dkk,
2010).
3. Kepunahan Bahasa
Suatu bahasa dikatakan punah jika bahasa tersebut sudah tidak memiliki
penutur sama sekali. Jika masih dituturkan walau oleh sedikit penutur, masuk dalam
kategori bahasa yang terancam punah. Menurut Gufran Ali Ibrahim (2011:36),
terdapat tiga sudut pandang daya hidup sebuah bahasa, yaitu :
1. Bahasa yang masih setia digunakan oleh penuturnya dalam semua lapisan
usia serta digunakan dalam berbagai ranah pertuturan;
2. Bahasa yang hanya digunakan oleh selapis generasi tua dan telah
ditinggalkan oleh anak-anak dan remaja;
3. Bahasa yang hanya digunakan oleh beberapa orang tua dan sebagian besar
penutur tidak lagi cakap menggunakannya.
Dalam prosesnya, Kloss (1984) dalam Sumarsono (2012:231)
mengungkapkan tiga tipe kepunahan bahasa, yaitu : (1) kepunahan bahasa tanpa
mengalami pergeseran bahasa, misalnya karena bencana alam atau genosida, (2)
kepunahan bahasa karena terjadi pergeseran bahasa, misalnya karena penutur tidak
berada dalam “wilayah tutur yang kompak” atau karena pewajiban satu bahasa oleh
pemerintah, (3) kepunahan bahasa melalui metamorfosis, misalnya ketika suatu
bahasa tutur turun derajatnya menjadi dialek dan masyarakat tidak lagi menulis
dalam bahasa itu dan kemudian mulai menggunakan bahasa lain.
Gufran menganalogikan bahasa-bahasa yang mengalami krisis jumlah
penutur sebagai makhluk hidup yang kehilangan kemampuan reproduksinya. Bila
makhluk hidup seperti reptil, mamalia, burung, juga manusia kehilangan fungsi
reproduksinya, maka alamat akan segera tiba masa kepunahannya dalam waktu
dekat. Gufran juga berpendapat bahwa krisis jumlah penutur sebagai tanda akan
punahnya sebuah bahasa merupakan krisis yang menyedihkan dan menakutkan
karena fakta ini juga menunjukkan lanskap kepunahan sebuah peradaban. (Ibrahim,
2011:38)
4. Film Dokumenter Sebagai Media Komunikasi
Pada hakikatnya, komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pesan
oleh komunikator kepada komunikan melalui sebuah media. Menurut Onong
Uchjana Effendy (2003:55) terdapat empat fungsi komunikasi, yaitu untuk
menyampaikan informasi (to inform), untuk mendidik (to educate), untuk
menghibur (to entertain), dan untuk memengaruhi (to influence). Guna
mewujudkan fungsi-fungsi tersebut, salah satu media yang dapat digunakan adalah
film dokumenter.
Film dokumenter merupakan salah satu bentuk produk audio visual. Gerzon
Ron Ayawaila (2012) mendefinisikan dokumenter seperti di bawah ini :
Dokumenter merupakan bentuk film yang merepresentasikan sebuah realita, dengan melakukan perekaman gambar sesuai apa adanya.
Dari definisi tersebut, Gerzon memberikan batasan yang cukup jelas antara film
dokumenter dengan film fiksi. Film dokumenter harus merepresentasikan sebuah
realita yang biasanya didapatkan melalui kepekaan terhadap lingkungan sosial,
budaya, politik, dan alam semesta (Ayawaila, 2010). Sebuah film yang memiliki
cerita imajinatif dan tidak berdasarkan fakta, tidak dapat dikategorikan sebagai film
dokumenter. Namun dalam perkembangannya, terdapat juga film dokumenter yang
memuat reka adegan seperti dalam film dokumenter sejarah. Reka adegan dalam
film dokumenter dapat dilakukan untuk memvisualisasikan informasi dari
narasumber. Menurut Frank Beaver (2015), film dokumenter bertujuan untuk
memberi pencerahan, memberi informasi, pendidikan, melakukan persuasi dan
memberikan wawasan tentang realitas sosial yang ada.
Metodologi
Penulis menggunakan metode observasi dan wawancara dalam tugas akhir
ini. Menurut Pawito (2007:111), metode observasi digunakan untuk melacak secara
sistematis dan langsung berbagai gejala komunikasi utamanya yang berkaitan
dengan persoalan-persoalan sosial, politis, dan kultural masyarakat. Sedangkan
metode wawancara dijadikan sebagai alat pengumpulan data yang sangat penting
yang melibatkan manusia sebagai subjek (pelaku, aktor) sehubungan dengan
realitas atau gejala yang dipilih untuk diteliti. Kedua metode tersebut digunakan
dengan tujuan untuk mendapatkan data serta informasi yang dibutuhkan dalam
pembuatan dokumenter dan penyusunan laporan tugas akhir ini.
Sajian dan Analisis Data
1. Judul
Dilema Bahasa: Jawa Ning Jawa
2. Durasi
37 menit 04 detik
3. Audiens
Masyarakat umum.
4. Lokasi
Lokasi pengambilan gambar khusus di daerah Baluwarti, Surakarta serta
beberapa lokasi untuk footage landmark seperti di Pasar Gede, Balaikota
Surakarta, Tugu Gladag Surakarta, dan Keraton Kasunanan Surakarta.
Sedangkan untuk narasumber penulis melakukan wawancara di Surakarta dan
Yogyakarta.
5. Film Statement
Bahasa Jawa merupakan bahasa dengan penutur terbanyak di Indonesia.
Selain penuturnya yang lebih banyak daripada penutur bahasa Indonesia,
Bahasa Jawa juga telah banyak terekam keberadaannya. Mulai dari bahasa tulis
hingga bahasa tutur. Penelitian dengan objek bahasa Jawa juga telah banyak
dilakukan. Sehingga secara kuantitas, bahasa Jawa masuk kategori bahasa
daerah yang aman, karena memiliki banyak penutur serta literatur. Namun
faktanya tidak sedikit anak-anak penutur Jawa yang tak lagi mahir berbahasa
Jawa, meskipun tinggal di salah satu pusat peradabannya. Peran orang tua
sangat vital mengingat merekalah salah satu sumber belajar bahasa anak-
anaknya.
6. Ringkasan Film
Film dokumenter Dilema Bahasa. Jawa Ning Jawa ini terdiri dari lima babak
dengan 11 sequence di dalamnya, yaitu : Pembukaan (1 sequence), Pengantar
(3 sequence), Isi (4 sequence), Klimaks (2 sequence), dan Penutup (1 sequence).
A. Pembukaan
• Sequence I
Film ini dibuka dengan narasi tentang pentingnya bahasa dalam setiap sendi
kehidupan manusia dan salah satunya adalah bahasa Jawa. Dimulai dengan aksi
3 orang anak Baluwarti melakukan presentasi kegiatan yang sedang berlangsung
di Komplek Dalem Suryohamijayan.
Gambar 1. Gibran, Elo, dan Jundan memperkenalkan diri
Sumber : Dokumen Pribadi
Wis? Ji..ro..lu… perkenalkan nama saya Gibran, / Nama saya Elo, / …Jundan… // Ini namanya Jundan. // Baiklah, bertemu lagi dengan kita si anak bocah-bocah kecil hebat. // Mari lanjut-lanjut. //Baiklah, kita baru di tempat Suryahamijayan. Ada yang bermain sepak bola, tenis, dan.. apa itu? Apa itu namanya? Kasti, iya kasti, saya lupa. (Gibran, Elo, dan Jundan di Halaman Ndalem Suryohamijayan)
B. Pengantar
• Sequence II
Pada sequence ini akan menjelaskan tentang kelebihan bahasa Jawa
dari segi kuantitas salah satunya persebaran penutur bahasa Jawa di
Indonesia dan luar negeri, sehingga bahasa Jawa masuk dalam kategori
bahasa yang aman.
Gambar 2. Grafis tabel jumlah
penutur bahasa di Indonesia
Sumber : Gambar Dokumen Pribadi (Data
BPS 2010)
Gambar 3. Grafis informasi
persebaran bahasa Jawa di dunia
Sumber : Gambar Dokumen Pribadi (Data
Rosemarijn Hoefte KITLV – 1998)
• Sequence III
Sequence ketiga menjelaskan lokasi sampel masyarakat yang akan
direkam kesehariannya, yaitu Baluwarti. Serta alasan kampung
Baluwarti dijadikan lokasi sampel untuk film.
Gambar 4. Keraton Surakarta
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar 5. Kegiatan warga Baluwarti
Sumber : Dokumen Pribadi
• Sequence IV
Pada sequence ini akan berisikan soundbite narasumber dari warga
Baluwarti yaitu Gatot Basuki dan Mariatin. Hal-hal yang disampaikan
diantaranya adalah perkenalan serta bagaimana keadaan penggunaan
bahasa Jawa dulu semasa narasumber masih kecil.
Gambar 6. Wawancara
perkenalan Gatot Basuki
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar 7. Gatot menyambut
rombongan Pemkot Surakarta
Sumber : Dokumen Pribadi
tahun 60an ketika saya masih muda ketika masih sekolah tingkat atas, saya melihat penggunaan bahasa jawa di baluwarti ini menggunakan bahasa jawa yang baik dan benar, tahun 60an. (Wawancara Gatot Basuki, warga Baluwarti Surakarta)
Gambar 8. Wawancara
perkenalan Mariatin
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar 9. Kegiatan Mariatin di
salah satu Pos Lansia
Sumber : Dokumen Pribadi
waktu kecil saya tuh ndak basa ndak boleh. Andakan kita dipanggi itu “dalem” itu salah, “kula”. Nek dipanggil itu jawabnya “kula” “nun kula”// Nah lagi matur “dalem badhe …. badhe ….” Ning nek ditimbali misal “heh le!” “kula”. Nek saiki kan gak, “dalem”. Dadi dikaprah, salah kaprah. Dadi saat kita dipanggil dan waktu kita erbicara niku beda. (Wawancara Mariatin, warga Baluwarti Surakarta)
C. Isi
• Sequence V
Pada sequence ini akan dijelaskan mengenai kedudukan bahasa
Indonesia dan bahasa daerah serta regulasi kebahasaan di Indonesia,
khususnya regulasi bahasa di ranah pendidikan.
Gambar 10. Pasal 33 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Sumber : Dokumen Pribadi
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. (Pasal 33 ayat 1, UU No. 20 tahun 2003) Gambar 11. Suasana di dalam KB Mentari Ceria Baluwarti
Sumber : Dokumen Pribadi
kalau di sekolahan itu sebetulnya memang untuk sehari-hari di kelas, di luar kelas kita bisa pakai bahasa Jawa. Tapi kalau di dalam kelas itu kan sekarang diharuskan untuk bahasa Indonesia. Jadi hanya Jumat yang harus kita kenalkan. (Wawancara Mariatin)
Gambar 12. Proses penimbangan anak di Posyandu Dewi Shinta Baluwarti
Sumber : Dokumen Pribadi
Gapapa sayang, gapapa. Gapapa ini juga uti ini, gapapa. // Gojegi terus mbak, ayo mbak mriki mbak // Yo..e… ndak apa-apa, ndak apa-apa, bisane pinter kok yo. Mpun gapapa // Sik..sik.. ndak kepuntir ndak kepuntir // Ndek mben piro? 10,5 (kg). kudu mundak // Mundake sithik banget mbah… // Sik dereng, dereng pas. Ojo dikiro-kiro // 10,6 (kg) mundak 1 ons. // Is rasido-rasido. Oh sayang, ndak papa. Ituloh sama om itu loh. “om dadah om” halo-halo” (Pengurus dan Kader Posyandu Dewi Shinta, Baluwarti)
• Sequence VI
Pada sequence ini akan disajikan statemen dari R. Bima Slamet
Raharja, akademisi bahasa Jawa, yang mempertanyakan kategori
amannya bahasa Jawa dibandingkan dengan fakta menurunnya kualitas
penutur bahasa Jawa yang terjadi di masyarakat.
Gambar 13. Wawancara dengan
R. Bima Slamet Raharja
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar 14. R. Bima Slamet
Raharja menabuh kendang
Sumber : Dokumen Pribadi
Saya juga masih mempertanyakan ketika kuantitas itu masih ditonjolkan, artinya seberapa jauh kita juga menerima bukti survey bahwa bahasa jawa masih eksis. sehingga mengatakan bahwa masih dikategorikan aman. tapi sebenarnya secara praktek dilapangan
sudah banyak jauh dari rasa aman itu tadi. Nah aman itu kan ada parameternya, aman gimana. Kita memakai bahasa itu secara lisan ataukah tertulis . Lisan dan tertulis itu apakah akan sama? (Wawancara R. Bima)
Gambar 15. Jual beli di lapak pedagang sayuran di Baluwarti
Sumber : Dokumen Pribadi
Lombok ijo kaleh….. lombok ijo mawon setunggal ewu. // Ijo thok mbak? // Geh.// Dados sewu, gangsal, enem, pitu. Pitu kaleh niki papat sewelas. Sewelas kaleh wolu setengah, songolas setengah. Nopo maleh? // Sing limangatus tokolan dele mbak .// Oh gih. (Pedagang dan Pembeli sayuran di Baluwarti)
• Sequence VII
Pada sequence ini akan disajikan informasi tentang apa itu diglosia,
kondisi diglosia di Indonesia dan juga fungsi serta kedudukan antara
bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Gatot Basuki memberikan contoh
penggunaan bahasa daerah di dalam keluarganya. Mariatin prihatin
dengan penggunaan bahasa asing di dalam keluarga oleh cucunya.
Gambar 16. Kegiatan latihan
ketoprak anak-anak di Baluwarti
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar 17. Kegiatan latihan
karawitan masyarakat Baluwarti
Sumber : Dokumen Pribadi
Mulane wiwit bocah bisa ngomong dijari basa, supaya menwa gedhe wis turut basane. Mulo kang, aku meling karo kowe, tangga-tanggamu dikandani supaya ngarahke anake basa. (Naskah Latihan Ketoprak Anak-Anak di Baluwarti)
Gambar 18. Wawancara Gatot
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar 19. Wawancara Mariatin
Sumber : Dokumen Pribadi
seperti misalnya dari anak saya ke cucu saya lebih runyam lagi. Karena anak sekarang lingkungan pergaulannya rata2 berbahasa indonesia, kemudian di rumah juga tidak diberi pelajaran, pelatihan, atau tuntunan berbahasa jawa. Sehingga bahasa jawa semakin lama semakin surut. (Wawancara Gatot Basuki)
Karena sekarangn itu sudah kualik, lebih diutamakan bahasa Inggris. Kan itu yang di playgroup-playgroup standar itu bahasanya Inggris semua. Wong saya punya cucu itu “ini putih” bukan-bukan,“white”. Dia gak tau putih, taunya white. Nah saya marah sama ibunya, “jangan gitu,putih ya putih. Kalau bahas Inggrisnya white,itu dijelaskan begitu”. Pokoknya ndak mau (cucu saya) “makan ayo makan””eat yang bukan makan! Eat!”. Jadi sudah di dalam keseharian ibunya, juga di sekolahan itu yang sudah playgroup favorit itu, semuanya bahasa Inggris. Ada juga yang bahasa Arab. Tapi bahasa Jawa enggak. (Wawancara Mariatin)
Gambar 20. Cover Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa
Nasional 1975
Sumber : Dokumen Pribadi
banyak sekali idiom2 jawa istilah jawa, padanan kata jawa yang mereka sudah hampir sama sekali tidak tahu. Dan mereka hanya tau yang sebatas mereka tahu. Termasuk lafal, orang membedakan wedi dan wedhi saja tidak bisa. …. kadang anak harus diperkenalkan kata2 yang seperti itu, untuk bisa membedakan lafal tertentu, membedakan da dengan dha, mebedakan ta dengan tha itu kan sekarang menjadi “kisruh”. Kisruh itu hampir ini tidak ada bedanya antara ketika saya mengatakan wedhi yang berarti pasir dengan wedi yang berarti takut. Nah ini numpuk mas, gejala ini sangat numpuk. Dados menjadi dadhos. Ini banyak terjadi lho. (Wawancara R. Bima Slamet Rahardja)
• Sequence VIII
Pada sequence ini akan dimunculkan statemen Dr. Mu’jizah selaku
peneliti Badan Bahasa mengenai himbauan penggunaan bahasa daerah
di dalam keluarga serta gempuran bahasa asing di media luar ruang.
Gambar 21. Dr. Mu’jizah dalam
diskusi Komunitas Jagongan
Naskah di Pura Pakualaman
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar 22. Wawancara Dr.
Mu’jizah
Sumber : Dokumen Pribadi
kalau kita lhat anak muda, itu gempuran budaya. Ada juga orang yang tidak setuju “kenapa harus dibatasi penggunaan bahasa asing?” padahal kita tahu di media luar ruang banyak sekali bahasa asing yang berjejer dimana-mana tidak bisa kita kendalikan. (Wawancara Dr. Mu’jizah) Karena itu tadi, dari awal mereka sudah diberikan pemahaman bahasa yang menurut orang tua itu bisa memberikan keuntungan untuk semua. (Wawancara R. Bima Slamet Rahardja)
Gambar 23. Sholat Jumat di Masjid Paramasana Keraton
Surakarta
Sumber : Dokumen Pribadi
Ashshobirina, yakni mereka orang-orang yang sabar. Dan mereka, orang-orang yang mampu menahan diri untuk tetap melaksanakan segala perintah Allah dan Rosul-Nya. Dan juga orang-orang yang mampu untuk tidak melakukan apa yang dilarang Allah dan Rasul-Nya. (Khotib Sholat Jumat Masjid Paramasana Keraton Surakarta)
D. Klimaks
• Sequence IX
Dijelaskan mengenai upaya pemerintah dalam melindungi bahasa
daerah. Dr. Mu’jizah menjelaskan program pemetaan bahasa serta
revitalisasi bahasa daerah berbasis keluarga. R. Bima Slamet Raharja
juga akan menyampaikan kritiknya mengenai konsep “lestarikan bahasa
daerah” dalam semboyan Badan Bahasa.
Gambar 24. Wawancara Dr. Mu’jizah
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar 25. ILM Bahasa Kemendikbud
Sumber : Facebook Badan Bahasa
nah kami di badan bahasa itu punya revitalisasi bahasa daerah. Revitalisasi bahasa daerah ini sasarannya bukan di sekolah karena di sekolah sudah ada pembelajarannya mulok dan segala macam. Nah kami pembelajarannya itu di masyarakat berbasis keluarga. Nah saya menangani khusus untuk
revitalisasi bahasa Nafri. Disemboyan badan bahasa kan “utamakan bahasa indonesia, lestarikan bahasa daerah, kuasai bahasa asing” (Wawancara Dr. Mu’jizah)
Bangga berbahasa negara. Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, kuasai bahasa asing. Pesan ini dipersembahkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Video ILM Bahasa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)
Gambar 26. R. Bima mengkritik konsep “Melestarikan Bahasa Daerah”
Sumber : Dokumen Pribadi
menurut saya kok beda antara ketika kita mengatakan mengutamakan, bahasa daerah hanya sekedar dilestarikan saja, kemudian bahasa asing harus dikuasai. Yang disebut melestarikan, sama aja dengan melestarikan budaya. Kalau melestarikan itu terjemahannya nguri-nguri. Kalau nguri-uri matipun gapapa, sudah mati diuri-uri seperti gamelan. Kita menguri-uri gausah ditabuhpun gak apa-apa, yang penting ada fisiknya. Nah apakah bahasa juga akan seperti itu? Yang penting ada kamusnya. Perkara orang tidak bisa baca kamusnya gak masalah yang penting ada kamus bahasa jawa untuk menandingi kamus bahasa indonesia dan bahasa asing.. (Wawancara R. Bima Slamet Rahardja)
• Sequence X
Pada sequence ini setiap narsumber akan menyampaikan closing
statement masing-masing.
Gambar 27. Closing Statement
bapak R. Bima Slamet Raharja.
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar 28. Closing Statement ibu
Dr. Mu’jizah.
Sumber : Dokumen Pribadi
ini bukan hanya sekedar tanggungjawab pemerintah jangan menyalahkan pemerintah, tanggungjawab kita semua. Yang kalau mau dikatakan nanti bahasa jawa akan tergerus, bukan punah ya saya katakan tergerus. Tergerus itu masih ada sisanya, siapa yang akan disalahkan? Jangan salahkan anaknya, salahkan orang tuanya. (Wawancara R. Bima Slamet Raharja) Jadi bahasa daerah memang menjadi perhatian, dan disitulah kekayaan yang super-super kekyaan indonesia. Jadi diantara sekian budaya, bahasa itu menjadi kekayaan yg tak terhingga. (Wawancara Dr. Mu’jizah)
Gambar 29. Closing Statement ibu
AV Mariatin.
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar 30. Closing Statement
bapak Gatot Basuki.
Sumber : Dokumen Pribadi
Bagus itu bahasa nasional, tapi bahasa ibu itu harus lebih dikuatkan. (Wawancara Mariatin)
tetapi saya masih optimis karena sehari-hari untuk pembicaraan sehari-hari masih menggunakan bahasa jawa hanya saja memang dari segi penerapan, segi kehalusan itu sudah tidak seperti jaman saya masih kecil. (Wawancara Gatot Basuki)
E. Penutup
• Sequence XI
Film akan ditutup dengan kegiatan peringatan HUT Kota Surakarta
ke-274 yaitu wayangan. Pagelaran wayang diadakan di Dalem
Purwodiningratan, Baluwarti oleh Dalang dan pengarwit muda dari
Baluwarti. Serta dilemparkan pertanyaan “jika bahasa Jawa yang
memiliki penutur terbanyak mengalami kemunduran, bagaimana
dengan bahasa daerah lainnya?”.
Gambar 31. Dalang muda Baluwarti
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar 32. Para pengrawit muda
Sumber : Dokumen Pribadi
Niki dalange saking Baluwarti piyambak njih?// Dari Baluwarti, dia jusru masih ada hubungan trah dengan pemilik rumah ini entah generasi ke berapa. Jadi rumahnya di sini, sanggarnya di sini, dia juga lahir di sini. (Wawancara Gatot Basuki)
Kesimpulan
Berada di salah satu pusat peradaban Jawa tak menjadikan masyarakat di
kelurahan Baluwarti bebas dari penurunan kualitas Bahasa Jawa. Kemampuan
penggunaan Bahasa Jawa Krama sudah banyak berkurang, terlebih di kalangan
anak dan remaja. Kemampuan berbahasa Jawa generasi ini lebih banyak terbatas
pada Bahasa Jawa Ngoko seperti yang disampaikan kedua narasumber dari
Baluwarti. Bahkan penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu saat ini sudah
menjadi hal yang lazim di Baluwarti. Penggunaan Bahasa Indonesia sejak dini di
Baluwarti salah satunya banyak terlihat ketika berlangsung kegiatan Posyandu
Dewi Shinta Baluwarti.
Kesadaran masyarakat daerah untuk menghidupkan dan menjaga bahasa
ibunya seringkali terbentur dengan kebutuhan ekonomi maupun lingkungan sosial.
Faktor efektifitas komunikasi juga menjadi salah satu penyebab menurunnya
kualitas pengguna bahasa Jawa di Baluwarti, seperti yang di alami dalam keluarga
Gatot Basuki. Ketidakmampuan orang tua muda dalam berbahasa Jawa juga
berpengaruh terhadap posisi Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu di dalam keluarga,
seperti yang terjadi di dalam keluarga Mariatin.
Memilih bahasa apa yang digunakan dalam keseharian merupakan hak
setiap masyarakat, seperti yang disampaikan oleh R. Bima Slamet Rahardja di
dalam dokumenter ini. Regulasi di Indonesia telah mengatur kondisi kebahasaan
masyarakatnya yang bersifat diglosik atau dwibahasa. Dibutuhkan peran serta
semua pihak dalam rangka menjaga ragam bahasa yang ada agar berfungsi
sebagaimana mestinya, tanpa ada tumpang tindih peran antar bahasa di Indonesia.
Daftar Pustaka
Ayawaila, G. R. (2010). Penyutradaraan Dokumenter. Dipetik Juni 5, 2018, dari http://gerzonayawaila.blogspot.co.id/2010/05/ penyutradaraan-dokumenter.html
Ayawaila, G. R. (2012). Menjadi Sineas Dokumenter. Dipetik Juni 5, 2018, dari http://gerzonayawaila.blogspot.co.id/2012/08/ menjadi-sineas-dokumenter.html
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2017). Data Bahasa Daerah 2017. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Badan Pusat Statistik. (2011). Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta: BPS.
Beaver, F. E. (2015). Dictionary of Film Terms. The Aesthetic Companion to Film Art. Michigan: Peter Lang.
Effendy, O. U. (2003). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek: Bandung. Remaja Rosdakarya.
Ibrahim, G. A. (2011, Februari). Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya. Jurnal Linguistik Indonesia, 35-52.
Liliweri, A. (2011). Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Listiyorini, A. (2008). Eksistensi Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia Sebagai Alat Komunikasi Dalam Persaingan Global. Dipetik Mei 3, 2018, dari http://staffnew.uny.ac.id/upload/132231576/penelitian/MAKALAH+EKSISTENSI+BI-1.pdf
Melalatoa, M. J. (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Mulyana, D. (2005). Komunikasi Efektif. Suatu Pendekatan Lintasbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Pala, R. (2014, Desember). Teori Kode-Kode Berbicara. Jurnal Insani, 1, 45-49. Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1975). Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Samovar, L. A., Porter, R. E., & McDaniel, E. R. (2010). Komunikasi Lintas
Budaya. Jakarta: Salemba Humanika. Samuel, J. (2008). Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosakata dan
Politik Peristilahan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Sumarsono. (2012). Sosiolinguistik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wijana, I. D., & Rohmadi, M. (2006). Sosiolinguistik. Kajian Teori dan Analisis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
top related