bab ii tinjauan pustaka 2.1 virus newcastle disease (nd) ii.pdf · avian paramyxovirus tipe-2...

32
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Virus Newcastle disease (ND) Newcastle Disease (ND) biasa disebut juga sebagai Pseudo-Fowl Pest, Pseudovogel-Pest, Atypische Gefugelpest, Pseudo-Poultry Plague, Avian Pest, Avian Distemper, Ranilchet Disease, Tetelo Disease, Korean Fowl Plague, dan Avian Pneumoencephalitis (Alexander, 2003). Virus ND diklasifikasikan sebagai superfamily dari Mononegavirales dalam famili Paramyxoviridae, genus Avulavirus (Mayo, 2002a; b). Family ini tergolong kedalam virus RNA yang memiliki envelope. Komponen envelope ini merupakan bagian virus yang bersifat infeksius (Alexander, 1991). Paramyxovirus berbentuk pleomorfik. Secara umum, virus ini berbentuk bulat dengan diameter 100-500 nm seperti terlihat pada Gambar 2.1, namun bentukan filament dapat terlihat dengan panjang 100 nm (Alexander, 2003). Virion terdiri dari susunan helix nukleokapsid yang berisi asam inti RNA rantai tunggal (ssRNA), dikelilingi envelope atau membrane tipis yang terdiri dari lipid bilayer, lapisan protein dan glikoprotein yang berbentuk paku menonjol pada permukaan partikel (Alexander, 1991). Galur ND terdiri dari 10 grup genetik (I X) dan dibagi lagi ke dalam subgenetik (VI a hingga VI h dan VII a hingga VII e). Secara serologi, virus ND terdiri dari satu (single) grup, avian Paramyxovirus 1. Virusnya merupakan negative single stranded-genome RNA dengan 15.186 kb (Seal et al., 2000), dengan kode RNA langsung adalah RNA Polymerase, Hemagglutinin-neuraminidase protein, fusion protein, matrix protein, phosphoprotein dan nucleoprotein.

Upload: phamkien

Post on 08-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Virus Newcastle disease (ND)

Newcastle Disease (ND) biasa disebut juga sebagai Pseudo-Fowl Pest,

Pseudovogel-Pest, Atypische Gefugelpest, Pseudo-Poultry Plague, Avian Pest,

Avian Distemper, Ranilchet Disease, Tetelo Disease, Korean Fowl Plague, dan

Avian Pneumoencephalitis (Alexander, 2003).

Virus ND diklasifikasikan sebagai superfamily dari Mononegavirales dalam

famili Paramyxoviridae, genus Avulavirus (Mayo, 2002a; b). Family ini tergolong

kedalam virus RNA yang memiliki envelope. Komponen envelope ini merupakan

bagian virus yang bersifat infeksius (Alexander, 1991). Paramyxovirus berbentuk

pleomorfik. Secara umum, virus ini berbentuk bulat dengan diameter 100-500 nm

seperti terlihat pada Gambar 2.1, namun bentukan filament dapat terlihat dengan

panjang 100 nm (Alexander, 2003). Virion terdiri dari susunan helix nukleokapsid

yang berisi asam inti RNA rantai tunggal (ssRNA), dikelilingi envelope atau

membrane tipis yang terdiri dari lipid bilayer, lapisan protein dan glikoprotein yang

berbentuk paku menonjol pada permukaan partikel (Alexander, 1991).

Galur ND terdiri dari 10 grup genetik (I – X) dan dibagi lagi ke dalam

subgenetik (VI a hingga VI h dan VII a hingga VII e). Secara serologi, virus ND

terdiri dari satu (single) grup, avian Paramyxovirus 1. Virusnya merupakan

negative single stranded-genome RNA dengan 15.186 kb (Seal et al., 2000), dengan

kode RNA langsung adalah RNA Polymerase, Hemagglutinin-neuraminidase

protein, fusion protein, matrix protein, phosphoprotein dan nucleoprotein.

OIE mendefinisikan ND sebagai infeksi yang disebabkan oleh virus APMV-

1 dengan indeks ICPI 0,7 atau lebih besar bila disuntik pada ayam umur sehari (OIE,

2000). Virus ND memiliki dua pasang asam amino dasar, yaitu Lysine (K) atau

Arginine (R) (Sudarisman, 2009).

Gambar 2.1. Virus Newcastle disease (Yan, 2008).

Genom virus ini mempunyai 6 protein utama yang menyusunnya yaitu

Nucleocapsid protein (N), Phosphoprotein (P), Matrix protein (M), Fusion protein

(F), Hemagglutinin-neuraminidase protein (HN) dan Large polymerase protein

(L). Protein N, P, HN dan F terletak di bagian luar envelope sedangkan protein M

terdapat di lapisan dalam virion. Protein-protein ini mempunyai peran masing-

masing dalam menentukan virulensi virus ND (Hewajuli and Dharmayanti, 2011).

Newcastle disease (ND) merupakan suatu penyakit pernafasan dan sistemik,

yang bersifat akut dan mudah sekali menular yang disebabkan oleh virus yang

menyerang berbagai jenis unggas terutama pada ayam. Newcastle Disease

merupakan suatu penyakit yang bersifat komplek, oleh karena isolat dan strain virus

yang berbeda dapat menimbulkan variasi yang besar dalam derajat keparahan dari

penyakit, termasuk pada spesies unggas yang sama, misalnya ayam (Tabbu, 2000).

Virus yang tergolong genus Paramyxovirus dapat dibedakan dari virus

lainnya oleh karena adanya aktifitas neuraminidase yang tidak dimiliki oleh virus

lain pada famili Paramyxoviridae. Virus ND mempunyai aktifitas biologik yaitu

kemampuan untuk mengaglutinasi dan menghemolisis sel darah merah atau fusi

dengan sel-sel tertentu, mempunyai kemampuan neuraminidase dan kemampuan

untuk bereplikasi di dalam sel-sel tertentu (Tabbu, 2000).

Salah satu aktivitas biologis virus ND dapat mengagglutinasi sel darah

merah semua amphibi, reptilia, manusia, tikus dan marmot. Sel darah merah sapi,

kambing, domba, babi dan kuda juga dapat di aglutinasi virus ND tergantung pada

strain virus (Alexander and Senne, 2008). Mekanisme terbentuknya hemaglutinasi

sel darah merah oleh virus ND dengan reseptor sel disebabkan adanya ikatan antara

protein hemagglutinin pada virus ND dengan reseptor yang ada dipermukaan sel

darah merah, yaitu suatu mukoprotein yang terdapat pada permukaan eritrosit

(MacLahlan and Dubovy, 2011).

2.1.1 Serotype avian paramyxovirus (APMV)

Berdasarkan hasil uji Hemagglutination Inhibiton (HI) dan Neuraminidase

Inhibition (NI) genus Avulavirus ini terdiri dari sembilan serotype yakni APMV

serotype 1 sampai dengan serotype 9 (Aldous dan Alexander, 2001). Virus ND

termasuk dalam APMV-1 yang merupakan virus yang terpenting pada unggas.

APMV-1 merupakan anggota dari mononegavirales pada family Paramyxoviridae.

Familiy ini dipecah menjadi dua subfamily yaitu Paramyxovirinae dan

Pneumovirinae. Pada Famili Paramyxovirus banyak yang bersifat patogan pada

manusia dan hewan yang dapat menyebabkan penyakit seperti Cacar air/Campak,

Gondok, Virus Nipah, virus pernafasan syncytial pada manusia, virus

parainfluenza, Virus Sendai dan Infeksi NDV. Penataan ulang terhadap Family

Paramyxoviridae oleh Komite Internasional tentang Taksonomi Virus pada tahun

1993 bahwa APMV-1 ditempatkan dalam genus Rubulavirus. Semenjak adanya

perbedaan waktu pada Family Paramyxoviridae menyebabkan pengembangan

genus baru Avulavirus (Hines and Miller, 2012).

Avian Paramyxovirus tipe-2 (APMV-2) dapat ditemukan pada burung,

termasuk burung peliharaan dan jarang pada ayam atau kalkun. Avian

Paramyxovirus tipe-3 (APMV-3) dapat ditemukan pada burung peliharaan dan

kalkun di kanada, USA, UK, Perancis dan Jerman (Fenner, 1993). Serotype APMV-

4, APMV-5, APMV-6, APMV-7, APMV-8 dan APMV-9 pada umumnya menyerang

itik, angsa, merpati, betet dan beberapa jenis unggas lainnya, akan tetapi tidak

menimbulkan gejala klinis (Saepulloh, 2005).

Reaksi silang pada Hambatan Haemaglutinas (HI) dan tes lainnya telah

mendeteksi beberapa serotype APMV. Namun, penggunaan berbagai serologi dan

tes non-serologi cenderung untuk meneguhkan kekhasan dari serotipe APMV.

Hubungan antigenik antara APMV-1 dengan serotipe lain sangat penting karena ini

dapat mempengaruhi diagnosis ND. Umumnya, seperti reaksi silang pada tes

serologis masih rendah, namun APMV-3 virus dapat menunjukkan tingkat

reaktivitas silang cukup tinggi dengan APMV-1 antisera konvensional yang dapat

menyebabkan masalah. Antibodi terhadap virus APMV-3 terdeteksi pada ayam

dengan tingkat antibodi yang tinggi terhadap NDV sebagai akibat dari vaksinasi

(Alexander, 2000).

Variasi antigenik antara virus dalam APMV serotype sudah pernah

dilaporkan pada sebagian besar serotipe dimana lebih dari beberapa isolat telah

diperoleh. Untuk NDV (APMV-1), perbedaan dideteksi dengan tes HI

konvensional sudah pernah dilaporkan, meskipun jarang. Disebutkan bahwa virus

jenis ini sudah pernah terjadi pada panzootik balapan merpati yang terjadi selama

1980-an. APMV NDV pada merpati terbukti berbeda dengan strain standar dalam

tes HI, meskipun itu tidak cukup berbeda sehingga Vaksin ND yang konvesional

tidak protektif. Variasi yang nyata telah dicatat antara virus yang ditempatkan di

serotipe APMV-2, APMV-3 dan APMV-7. Variasi yang dicatat sering kali

menunjukkan dua virus dengan hubungan satu sama lain, tetapi masing-masing

menunjukkan kemiripan yang kuat pada ketiga virus tersebut (Alexander, 2000).

Dari APMV yang lain, hanya jenis virus APMV-2 dan APMV-3 yang

terbukti menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada unggas, meskipun virus

APMV-6 dan APMV-7 telah dikaitkan dengan penyakit klinis pada kalkun. Virus

APMV-2 virus mengakibatkan penyakit pernapasan ringan. Namun, penyakit akan

menjadi lebih serius dan memburuk jika ada infeksi oleh organisme lain. Virus

Avian Paramyxovirus serotipe 2 dikaitkan dengan masalah pernapasan dan

produksi telur pada ayam dan kalkun mulai dari ringan sampai berat dengan

mortalitas tinggi. Penyakit ini biasanya lebih parah pada kalkun dibandingkan

dengan ayam (Alexander, 2000).

Virus Avian Paramyxovirus serotipe 3 dikaitkan dengan penyakit

pernafasan dan masalah produksi telur pada kalkun. Sampai saat ini, tidak ada

infeksi alami yang dilaporkan pada ayam, meskipun infeksi eksperimental

menunjukkan bahwa unggas rentan terhadap serotype ini. Infeksi yang sederhana

pada kalkun, tanda pertama adalah sering mengalami penurunan produksi telur dan

gejala pernafasan yang ringan. Penurunan produksi telur bervariasi sesuai dengan

umur unggas da nada tidaknya infeksi sekunder (Infeksi ganda NDV I Aktif

vaksin), Virus Influenza, Clamydia, Mikoplasma atau bakteri lainnya. Tidak ada

penelitian yang melaporkan adanya lesi yang disebabkan oleh APMV-3 pada

kalkun. Avian Paramyxovirus serotipe 6 telah diisolasi pada kalkun dengan

masalah produksi telur dan pernapasan yang ringan. Virus APMV-7 dilaporkan

sebagai patogen utama dalam wabah penyakit pernapasan dengan mortalitas yang

tinggi pada kalkun. Penyakit pernapasan ringan ditunjukkan pada kalkun terinfeksi

eksperimental (Alexander, 2000).

2.1.2 Cara penularan virus ND

Virus ND yang terutama bereplikasi di dalam saluran pencernaan akan

menyebabkan adanya feses yang tercemar oleh virus tersebut. Penularan virus ND

juga dapat terjadi secara oral akibat ingesti feses yang mengandung virus tersebut

ataupun secara tidak langsung melalui pakan atau minuman yang tercemar atau

perinhalasi akibat menghirup partikel feses yang mengering (Fenner, 1993; Center

for Food Security and Public Health, 2008). Penyebab perbedaan keganasan

diantara strain Paramyxovirus adalah terletak pada cepat atau lambatnya

perbanyakan virus bersangkutan (Russel, 1993).

Penularan virus ND dapat secara langsung dari ayam yang sakit ke ayam

yang peka, tetapi dapat juga terjadi secara tidak langsung melalui bahan, alat atau

pekerja yang tercemar virus tersebut. Cara penularan virus ND dari ayam yang sakit

ke ayam yang peka tergantung pada tempat bereplikasi dari virus tersebut. Ayam

yang menunjukkan gejala gangguan pernafasan akan menyebabkan adanya udara

bercampur titik air yang mengandung virus ND yang berasal dari mukus ayam sakit.

Penularan virus ND dapat terjadi secara inhalasi (Tabbu, 2000). Penularan penyakit

ND secara aerosol dapat terjadi meskipun jaraknya cukup jauh yakni 64 meter dari

sumber infeksi (Kencana, 2012).

Virus ND dapat ditemukan dalam telur ayam yang terinfeksi virus tersebut

tapi penularan secara transovarial mungkin tidak terjadi oleh karena embrio sudah

mati sebelum telur menetas. Virus ini juga dapat menembus kerabang telur untuk

menginfeksi embrio (Fenner, 1993). Penularan melalui telur ini dapat terjadi akibat

kulit telur terkontaminasi oleh feses yang telah mengandung virus ND (Kencana,

2012).

Penyebaran virus ini sangat cepat, baik dari ayam ke ayam maupun dari

kandang ke kandang. Ayam yang menderita penyakit ini akan akan menghasilkan

telur yang mengandung virus ND, sehingga telur yang mengandung virus tersebut

tidak akan menetas. Dua hari setelah virus menginfeksi ayam, ayam sudah menjadi

sumber penyakit yang siap menebar pada kelompoknya, dan dari kandang ke

kandang lain. Virus ND berada di udara pernafasan, tinja, ayam yang mengalami

sakit dan pada karkas ayam yang mati karena ND. Di samping oleh ayam,

penyebaran penyakit dapat melalui burung piaraan atau burung liar yang ada di

sekitar atau masuk ke dalam kandang. Peranan dari berbagai faktor di atas dalam

penularan virus ND tergantung pada berbagai faktor manajemen dan lingkungan

tempat suatu peternakan beroperasi. Keberhasilan penularan virus ND erat

hubungannya dengan kemampuan virus tersebut bertahan dalam bangkai ayam atau

ekskresi dari ayam sakit. Di dalam bangkai ayam yang terinfeksi, virus ND dapat

bertahan selama beberapa minggu pada temperatur rendah atau selama beberapa

tahun jika disimpan pada temperatur beku. Feses dapat mengandung virus ND

dalam jumlah yang banyak, pada temperatur 37○C virus tersebut masih tetap hidup

selama lebih dari satu bulan (Tabbu, 2000).

Unggas yang terinfeksi ND dapat mengeluarkan virus selama 1 sampai 2

minggu kecuali pada burung psittacine yang dapat mengeluarkan virus selama

beberapa bulan sampai lebih dari setahun. Adanya sekresi virus dalam waktu yang

lama oleh burung psittacine menyebabkan burung ini menjadi sumber penular

penting dari virus ND terutama daerah endemis (Kencana, 2012).

2.1.3 Siklus hidup dan mekanisme infeksi virus ND

Strategi replikasi yang digunakan oleh ND mirip dengan virus RNA non-

segmented negatif lainnya.Langkah awal replikasi adalah adsorpsi dengan reseptor

sel permukaan virus diikuti penyatuan dengan membran sel host. Penyatuan ini

menyebabkan genom virus akan dilepaskan ke sitoplasma. Transkripsi dan replikasi

dari genom NDV terjadi dalam sitoplasma. Pada akhir siklus replikasi, protein virus

turunan yang sudah matang akan menembus membran plasma (Gambar 2.2) (Yan,

2008).

Gambar 2.2 Siklus Hidup dan Mekanisme Infeksi ND (Yan, 2008).

Amplop virus ND terdiri atas dua glikoprotein, yakni HN dan F yang

berperan amat penting dalam proses infeksi. Protein HN memediasi terjadinya

perlekatan virus dengan sel inang pada reseptor sel inang atau induk semang yang

mengandung sialic acid. Molekul sialic acid ini adalah glycoprotein dan glycolipid.

Protein F berperan dalam pembentukan sinsitia pada sel yang terinfeksi.

Penggabungan amplop virus dengan membran sel target merupakan tahapan yang

paling penting dalam mekanisme infeksi virus ND dan protein F begitu juga HN

memegang peranan penting dalam proses ini. Protein HN bertanggung jawab dalam

pelekatan virion ke sel target, sedangkan protein F berfungsi untuk menghancurkan

sel target serta menginduksi terjadinya penggabungan membran (Mirah Adi et al.,

2008). Penempelan virus dilakukan dengan penyatuan virus dan membran sel yang

diperantarai oleh protein F. Virus RNA kemudian dilepaskan dalam sitoplasma dan

terjadi replikasi. Envelope virus masuk ke dalam sel melalui 2 jalan utama yaitu

pertama, penyatuan secara langsung antara envelope virus dengan membran plasma

dan kedua, diperantarai oleh reseptor endositosis. Penetrasi virus melalui reseptor

endositosis tergantung pada kondisi pHnya. Pada Paramyxoviruses, proses

penyatuan membran virus dengan membran plasma inang atau induk semang tidak

tergantung pH. Walaupun demikian, hasil penelitian sebelumnya menunjukkan

bahwa penyatuan virus ND dengan sel mampu meningkatkan pH. Hasil tersebut

mengindikasikan bahwa penetrasi virus ND pada sel inang melalui reseptor

endositosis juga dipengaruhi oleh kondisi pH (Dharmayanti and Hewajuli, 2011).

Kepekaan sel terhadap virus ND yang tidak virulen dipengaruhi oleh

beberapa faktor. Sel tersebut harus mempunyai reseptor yang cocok sehingga virus

dapat melakukan penempelan dan masuk ke dalam sel. Disamping itu, sel tersebut

juga harus memiliki tripsin yang menyerupai protease dimana enzim ini berperan

dalam pemecahan protein F0 menjadi F1 dan F2. Penyebaran reseptor sel pada

ayam yang peka terhadap virus ND bentuk tidak virulen bersifat terbatas dan hanya

ditemukan pada saluran pencernaan dan saluran pernafasan bagian atas (Alexander,

1991). Sedangkan virus bentuk virulen tidak selalu memerlukan enzim protease dan

replikasi virus biasanya terjadi di sebagian besar jaringan induk semang. Replikasi

virus yang terjadi di limfosit menghasilkan suatu respon imun dan produksi antigen

virus yang cukup dibutuhkan untuk meningkatkan efektivitas sistem imun. Di

dalam saluran pencernaan terdapat faktor-faktor nonspesifik yang mempengaruhi

replikasi virus ND. Enzim protease dan pH yang bervariasi mempunyai pengaruh

dalam proses penempelan virus pada reseptor sel. Dimana keberadaan tripsin pada

beberapa bagian saluran pencernaan dapat mengaktifkan virus ND bentuk tidak

virulen setelah virus tersebut dilepaskan dari sel yang kekurangan enzim protease.

Antigen virus ND dideteksi pada sebagian besar sel epitel saluran pencernaan serta

limfosit dan makrofag ditemukan pada lamina propia beberapa jaringan. Hasil

penelitian di atas memperlihatkan bahwa tempat awal replikasi virus ND terutama

terjadi di saluran pencernaan bagian atas yaitu esophagus, tembolok dan

proventrikulus apabila virus ND diinfeksikan melalui mulut, sedangkan replikasi

virus ND pada saluran pencernaan bagian bawah yaitu duodenum, jejunum, ileum

dan caecum kemungkinan terjadi sebagai akibat viremia (Dharmayanti and

Hewajuli, 2011).

2.1.4 Pathotype virus ND

Terdapat tiga pathotype didalam Virus ND yang dikelompokkan berdasarkan

atas waktu kematian embrio, yakni: lentogenic adalah strain virus yang kurang ganas

ditandai dengan kematian embrio lebih dari 90 jam, mesogenic antara 60-90 jam,

sedangkan velogenic kurang dari 60 jam (Saif, 2003). Virus ND tipe lentogenic

menunjukkan gejala klinis pada ternak ayam yang bersifat ringan atau tanpa gejala

klinis. Virus ND tipe mesogenic dengan virulensi moderat (sedang) menunjukkan

gejala yang dari ringan sampai sedang. Sementara itu, virus ND velogenic adalah

tipe yang sangat ganas ditandai dengan penyakit yang bersifat akut dan kematian

yang tinggi sampai 100%. Berdasarkan atas predileksinya dan gejala klinis yang

ditimbulkan, virus ND velogenik dibedakan lagi menjadi bentuk neurotropic dengan

gejala gangguan syaraf, pneumotropic dengan kelainan pada sistem pernafasan, dan

Viscerotropic dengan kelainan pada sistima pencernaan (Aldous and Alexander,

2001).

Alexander and Senne (2008b) menyatakan bahwa berdasarkan tanda-tanda

klinis yang terlihat pada ayam yang terinfeksi NDV telah dikelompokkan menjadi

lima pathotype. Viscerotropic velogenic: bentuk yang sangat patogen di mana lesi

usus hemoragik sering terlihat; Neurotropic velogenic: bentuk yang ditandai dengan

kematian yang tinggi, biasanya diikuti dengan gejala pernapasan dan saraf;

Mesogenic: bentuk yang ditandai dengan gejala pernapasan, gejala saraf sesekali, tapi

tingkat kematian rendah; Lentogenic: bentuk yang menunjukkan adanya infeksi

pernafasan ringan atau subklinis; dan Asimtomatic: bentuk yang biasanya ditandai

dengan infeksi enterik yang bersifat subklinis.

Tabbu (2000) menjelaskan bahwa unggas yang terinfeksi virus ND terutama

dari tipe velogenic viscerotropic (VVND) gejala klinis yang ditimbulkan antara lain

terjadi kelesuan, peningkatan frekuensi pernafasan, kehilangan nafsu makan,

penurunan konsumsi air minum, kelemahan dan berakhir kematian. Adi, et al (2009)

menjelaskan bahwa ayam yang terinfeksi virus ND velogenik gejala klinis yang

ditimbulkan dehidrasi, badan mengalami kekurusan dan diare kehijauan yang

menempel di sekitar kloaka.

2.1.5 Masa inkubasi dan gejala klinis ND

Masa Inkubasi sangat bervariasi tergantung pada strain virus, jenis unggas,

status kebal dan adanya infeksi campuran dengan organisme lainpada saat hewan

terinfeksi. Pada ayam masa inkubasi virus ND velogenik adalah 2 sampai 6 hari.

Masa inkubasi yang lebih lama juga pernah dilaporkan yaitu sampai 25 hari.

Gejala klinis penyakit ND pada infeksi virus galur velogenik dapat

menimbulkan gejala gangguan pernapasan seperti sesak napas, ngorok, bersin serta

gangguan syaraf seperti kelumpuhan sebagian atau total, tortikolis, serta depresi.

Tanda lainnya adalah adanya pembengkakan jaringan di daerah sekitar mata dan

leher. Infeksi virus galur mesogenik menimbulkan gejala klinis seperti gangguan

pernapasan yaitu sesak napas, batuk, dan bersin. Infeksi virus galur lentogenik

menunjukkan gejala ringan seperti penurunan produksi telur dan tidak terjadinya

gangguan syaraf pada unggas terinfeksi. Morbiditas dan mortalitas tergantung pada

tingkat virulensi dari galur virus, tingkat kekebalan vaksin, kondisi lingkungan, dan

kepadatan ayam di dalam kandang (OIE, 2002).

Tanda - tanda klinis ayam terserang tetelo adalah lemah, nafsu makan

menurun, gangguan pernafasan, gangguan syaraf, minum lebih banyak dan sering

berkerumun atau berkumpul ditempat hangat. Secara patologis, gejalanya antara

lain kantung hawa keruh, proventriculus mengalami pendarahan berupa bintik-

bintik merah, terjadi enteritis dan nekrosa pada usus, eksudat kental berwarna

kehijauan bercampur darah, terdapat peradangan sinus hidung, trakea dan laring,

serta pneumonia (Sudaryani and Santoso, 2003).

2.1.6 Perubahan patologi anatomi dan histopatologi

Perubahan makroskopis pada saluran pencernaan meliputi hemoragi pada

proventrikulus, duodenum dan seka tonsil (Capua and Terregino, 2009). Bagian

yang mendapat perhatian adalah seka tonsil, dimana terdapat nekrosis apabila dibuka

dan perubahan hiperemi di sebagian besar organ terutama otak. Lesi mikroskopik

utama ND adalah nonpurulen ensefalomyelitis, vaskulitis, nekrosis limfoid (bursa,

limpa, timus dan jaringan limfoid mukosa usus), trakheitis, pneumonia, salfingitis,

nekrosis hati, pankreatitis dan konjungtivitis. Beberapa kajian melaporkan tentang

pembentukan ensefalomalasia dan pankreatitis nekrotik pada ND (Tabbu, 2000).

Pada usus halus lesi nekrotik hemoragi bersifat multifokal, secara histopatologi

terlihat nekrosis fokal maupun difus serta infiltrasi sel-sel mononuklear pada jaringan

limpa, hati, ginjal, paru-paru, usus, sekum, proventrikulus dan otak (Oladele et al.,

2008). Meskipun tidak ada lesi patognomonik, hemoragi pada intestinal bisa

digunakan untuk membedakan velogenik viserotropik ND dengan velogenik

neurotropik ND (Alexander 2001).

Akoso (1998) menyatakan bahwa pada kasus ND hasil bedah bangkai

memperlihatkan gejala khas, seperti adanya petechiae pada proventrikulus,

perubahan pada lapisan usus berupa hemoragi dan nekrosa, pada organ pernafasan

akan terjadi eksudasi dan kantung udara menebal. Menurut Tabbu (2000), perubahan

makroskopik yang ditemukan biasanya erat hubungan dengan galur tipe patologik

dari virus ND, pada VVND tersifat oleh adanya nekrosis dan hemoragik pada saluran

pencernaan, meliputi proventrikulus, ventrikulus dan berbagai bagian usus, dimana

lesi tersebut dapat dipakai untuk membedakan VVND dengan NVND. Velogenik

viserotropik ND menimbulkan merah dan bengkak pada konjungtiva, nekrosis

multifokal pada limpa, hemoragi pada mukosa proventrikulus, duodenum, seka

tonsil, atrofi bursa Fabricious dan timus (Nakamura et al., 2010).

Perubahan patologi anatomi pada ayam yang tidak divaksin tapi ditantang

dengan virus lapang (virus ND velogenik isolat lokal (VND/Tasik/M13/2009 secara

intramuskular) pada hari ke-5 hingga hari ke-6 paska uji tantang terlihat bahwa

semua sampel ayam ditemukan perdarahan yang meluas di proventrikulus dan di

organ usus halus ditemukan fokus nekrotik-hemoragika. Pada pemeriksaan

histopatologi, lumen kelenjar proventrikulus terlihat membesar dan berisi sel-sel

runtuhan, adanya hiperemi hingga hemoragi, nekrosis parah, edema serta endotel

yang rusak (Nuryanto, 2012).

Adi, et al (2010) melaporkan bahwa ayam terserang ND ketika wabah di Bali

menunjukkan atrofi pada organ-organ limfoid seperti bursa Fabrisius, timus dan

limpa; hemoragi intestinal dan edema pada otak. Pemeriksaan histopatologi

menunjukkan meningoensefalomyelitis nonsuppuratif ditandai dengan nekrosis

neuron, gliosis multifokal sampai difus dan perivascular cuffing dari sel-sel

mononuklear, nekrosis hemoragik pada trakhea dan usus serta deplesi dan nekrosis

pada jaringan limfoid termasuk bursa Fabrisius.

2.2 Vaksin dan vaksinasi

Vaksin adalah suatu produk biologis yang berisi mikroorganisme agen

penyakit yang telah dilemahkan atau diinaktifkan (atte~zuated). Vaksin secara umum

adalah bahan yang berasal dari mikroorganisme atau parasit yang dapat merangsang

kekebalan terhadap penyakit yang bersangkutan (Malole, 1988). Bahan yang berisi

organisme penyebab penyakit tersebut jika dimasukkan ke dalam tubuh hewan tidak

menimbulkan bahaya penyakit tetapi masih dapat dikenal oleh sistem imun (Kayne

and Jepson, 2004) serta dapat merangsang pembentukan zat-zat kekebalan terhadap

agen penyakit tersebut (Tizard, 1988) dan tindakan ini dikenal dengan istilah

vaksinasi.

Vaksin terdiri atas vaksin aktifd dan vaksin inaktif. Agen penyakit dalam

vaksin aktifd atau vaksin hidup berada dalam keadaan hidup namun telah

dilemahkan. Agen penyakit pada vaksin inaktif berada dalam keadaan mati dan

biasanya ditambahkan dengan adjuvant (Akoso, 1988). Adjuvan merupakan bahan

kimia yang memperlambat proses penghancuran antigen dalam tubuh serta

merangsang pembentukan kekebalan sehingga menghasilkan antibodi sedikit demi

sedikit (Malole, 1988). Umumnya vaksin aktif lebih baik daripada vaksin inaktif,

karena vaksin aktif dapat memberikan respon kekebalan yang lebih kuat, dapat diberi

tanpa penambahan adjuvan dan dapat merangsang produksi interferon (Tizard,

1988). Namun vaksin aktifd sering memperlihatkan gejala post-vaksinasi yang

kurang baik seperti gangguan pemafasan yang ringan dan menurunnya produksi telur

(Wetsbury et al., 1984).

Keberhasilan vaksinasi dipengaruhi oleh mutu vaksin. Vaksin yang ideal

harus mempunyai mutu yang baik, mutu vaksin akan menurun jika tidak disimpan

dengan baik setelah diterima oleh pengguna. Kondisi yang dapat merusak

keampuhan vaksin antara lain penyimpanan yang tidak sempurna, pengenceran yang

berlebihan saat akan digunakan, serta air pencampuran yang menganduing chlorin

atau bahan sanitasi. Menurut Malole (1988), vaksin yang baik harus memenuhi

beberapa persyaratan, yaitu kemurnian, keamanan, serta vaksin harus dapat

menimbulkan kekebalan terhadap penyakit pada hewan. Suatu vaksin dapat

dikatakan memenuhi ketiga persyaratan diatas jika dua minggu setelah vaksinasi

telah terbentuk antibodi dengan titer protektif. Proteksi vaksin dapat diuji dengan

penantangan/diinfeksi virus ganas. Vaksin yang baik harus memberikan proteksi

lebih dari 95% terhadap hewan coba atau tidak lebih dari 5% hewan yang terinfeksi

atau sakit atau mati. Menurut Akoso (1998), selain mutu vaksin, keberhasilan

vaksinasi juga dipengaruhi oleh status kesehatan unggas, keadaan nutrisi unggas,

sanitasi lingkungan dan sistem perkandangan, serta program vaksinasi yang baik.

Vaksin ND dapat berasal dari virus tipe lentogenik, mesogenik, maupun

velogenik. Tipe lentogenik merupakan strain virus ND yang virulensi dan

mortalitasnya rendah yaitu strain B1 (Hitcher), strain La Sota, dan strain F (FA0,

2004). Strain F memiliki tingkat virulensi paling rendah dibandingkan dengan strain

lain pada tipe lentogenik. Vaksin dengan strain ini paling efektif dilakukan secara

individu. Strain B1 rnemiliki tingkat virulensi lebih tinggi dibandingkan dengan

strain F. Aplikasi vaksin strain B1 dilakukan melalui air minum atau penyemprotan.

Pemberian vaksinasi dilakukan pada DOC (Day Old Chick) kemudian diikuti dengan

strain La Sota pada umur 10-14 hari (Fadilah and Polana, 2004).

Tipe mesogenik memberikan kekebalan yang lebih lama dibanding kekebalan

yang dihasilkan oleh tipe lentogenik. Namun pemberian vaksin tipe mesogenik pada

ayam yang belum mempunyai kekebalan dasar dapat menimbulkan reaksi post-

vaksinasi dan penurunan produksi telur (Nugroho, 1981). Tipe mesogenik yang

dipakai sebagai vaksin diantaranya adalah strain Rokain, strain Mukteshwar, strain

Kommarov, dan strain Bankowski (Sudrarjat, 1991). Strain Mukteshwar bersifat

patogenik dan digunakan secara terbatas pada ayam yang sebelumnya telah divaksin

dengan salah satu jenis vaksin tipe lentogenik. Vaksin ini telah diterima secara luas

pada iklim tropis di Asia Tenggara. Strain Kommarov memiliki tingkat virulensi

lebih rendah dibandingkan dengan strain Mukteshwar. Strain Rokain dan strain

Bankowski (Tissue Culture Vaccine) sering disebut dengan wing-web vaccine.

Vaksin dengan strain ini tidak bisa digunakan pada ayam muda yang masih memiliki

maternal immunity (Fadilah dan Polana ,2004).

Tipe velogenik dibuat sebagai bahan vaksin dalam bentuk vaksin inaktif

(Nugroho, 1981). Karena tipe velogenik melupakan virus dengan tingkat virulensi

yang sangat tinggi (FAO, 2004). Tipe asiinptomatik yang inempunyai kemampuan

menimbulkan kekebalan tubuh dikenal dengan strain V4 dan Vister 2C. Strain ini

sangat potensial digunakan sebagai vaksin di daerah tropis karena merupakan vaksin

yang mengandung virus tahan panas (Darminto, 2002).

2.3 Sistem Kekebalan Unggas

Sistem kebal adalah bentuk adaptasi dari sistem pertahanan pada vertebrata

sebagai pelindung terhadap serangan mikroorganisme patogen dan kanker. Sistem

ini dapat membangkitkan beberapa macam sel dan molekul yang secara spesifik

mampu mengenali dan mengeliminasi benda asing (Decker, 2000). Menurut Tizard

(2004), tanggap kebal merupakan respon biologis sehingga dapat menyebabkan

variasi tanggap kebal bagi setiap individu. Sistem kekebalan unggas dibagi menjadi

sistem kekebalan non-spesifik dan sistem kekebalan spesifik (Carpenter, 2004).

Mekanisme kedua sistem kekebalan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama

lainnya, keduanya saling meningkatkan efektivitasnya dan terjadi interaksi sehingga

menghasilkan suatu aktivitas biologik yang seirama dan serasi (Fenner and Fransk,

1995).

2.3.1 Sistem kekebalan non spesifik unggas

Sistem kekebalan non-spesifik merupakan sistem kekebalan yang secara

alami diperoleh tubuh dan proteksi yang diberikannya tidak terlalu kuat. Semua agen

penyakit yang masuk ke dalam tubuh akan dihancurkan oleh sistem kekebalan

tersebut sehingga proteksi yang diberikannya tidak spesifik terhadap penyakit

tertentu (Butcher and Miles, 2003).

Kekebalan bawaan umumnya bersifat non-spesifik. Kekebalan bawaan

adalah kekebalan yang dibawa oleh individu sejak lahir dan umumnya bersifat tidak

spesifik karena kerjanya tidak tergantung terhadap aktivitas antigen yang spesifik.

Komponen kekebalan bawaan dapat berupa bawaan primer yang terdiri dari (1)

barrier fisik dan kimia seperti bulu dan kulit, lapisan epitel mukosa dan mucus, (2)

sel fagosit, seperti makrofag dan sel pembunuh alami (natural killer) (3) sistem

komplemen dan medistor inflamasi dan (4) sitokin.

Antigen yang berhasil masuk ke dalam tubuh dengan melewati sistem

pertahanan tubuh non-spesifik akan berhadapan dengan makrofag. Makrofag

berfungsi melalui proses fagositosis dengan membunuh, menghancurkan, dan

mengeliminasi antigen dari tubuh. Sel makrofag ini meliputi sel Langerhans di kulit,

sel kupffer di hati, sel debu di paru-paru, sel histiosit di jaringan, dan astrosit di sel

syaraf. Sel mikrofag meliputi sel neutrofil, basofil, dan eosinophil (Wibawan et al.,

2003).

Respon imun bawaan terhadap virus biasanya berlangsung cepat yang

berfungsi untuk mengendalikan dan menekan pertumbuhan virus serta menghambat

penyebaran virus didalam tubuh. Beberapa respon imun bawaan juga berperan dalam

meningkatkan kekebalan dapatan (Adi and Astawa, 2014).

2.3.2 Sistem kekebalan Spesifik Unggas

Sistem kekebalan spesifik terdiri dari sistem berperantara sel (Cell Mediated

Immunity) dan sistem kekebalan berperantara antibodi (Antibody Mediated

Immunity) atau yang lebih dikenal dengan sistern kekebalan humoral (Butcher dan

Miles 2003). Antigen yang berhasil masuk ke dalam tubuh dengan melewati sistem

pertahanan tubuh non-spesifik akan berhadapan dengan makrofag. Selain berfungsi

melakukan fagositosis, makrofag juga berfungsi sebagai Antigen Presenting Cells

(APC) yang dikenal juga sebagai sel penyaji atau sel penadah yang akan

menghancurkan antigen sedemikian rupa sehingga seluruh komponennya dapat

berinteraksi dengan sistem imun spesifik atau antibodi. Makrofag yang berfungsi

sebagai APC ini akan memfragmentasikan dan mempresentasikan antigen tersebut

kepada sel limfosit T-helper (Th) melalui molekul Major Histocompatibility

Complex (MHC) yang terletak dipermukaan makrofag (Wibawan et al., 2003).

Sel limfosit yang berperan penting dalam sistem kekebalan terbagi menjadi

dua, yaitu sel B dan sel T. Sel B di dalam tubuh mamalia secara umum matang dan

berdiferensiasi dalam sumsum tulang, sedangkan dalam tubuh unggas sel B matang

dan berdiferensiasi dalam bursa fabrisius. Sel T di dalam tubuh mamalia dan unggas

matang dan berdiferensiasi pada kelenjar timus. Sel B merupakan bagian dari

antibody mediated immunity atau imunitas humoral karena sel B akan memproduksi

antibodi yang bersirkulasi dalam saluran darah dan lirnfe. Antibodi tersebut akan

menempel pada antigen asing yang memberi tanda agar dapat dihancurkan oleh sel

sistem imun (Darmono, 2006).

Sel B akan mengalami proses perkembangan melalui dua jalur setelah terjadi

rangsangan antigen, yaitu berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori. Sel

plasma akan membentuk immunoglobulin. Jumlah immunoglobulin dalam setiap sel

B adalah sekitar l04 sampai 107(Tizard, 1982). Sel plasma akan mati setelah tiga

sampai enam hari, sehingga kadar immunoglobulin akan menurun secara perlahan-

lahan melalui katabolisme. Sel memori hidup berbulan-bulan atau tahunan setelah

pemaparan antigen yang pertama kali. Jika terjadi pemaparan kedua kalinya dengan

antigen yang sama, maka antigen akan merangsang lebih banyak lagi sel peka

antigen daripada pemaparan pertama. Dengan adanya sel memori, maka sistem

pembentukan antibodi memiliki kemampuan untuk mengingat keterpaparan dengan

suatu antigen sebelumnya. Antibodi yang dihasilkan hanya bereaksi dengan antigen

yaug ada di permukaan sel. Tanggap kebal humoral unggas dicirikan dengan antibodi

yang diproduksi oleh sel B yang berada di bawah kontrol bursa Fabrisius. Bursa

Fabrisius merupakan organ limfoid primer yang terletak di bagian dorsal kloaka dan

hanya ada pada unggas (Wibawan et al., 2003). Menurut Azmijah (2005), bursa

fabrisius mengalami perkembangan maksimum ketika berumur tiga sampai enam

minggu.

Sel T yang bersirkulasi dalam darah dan limfe dapat secara langsung

menghancurkan antigen asing. Sel T bertanggung jawab atas cell mediated immunity

atau imunitas seluler. Sel T bergantung pada molekul permukaan yaitu MHC nntuk

mengenali fragmen antigen (Darmono, 2006). Sel T terdiri dari beberapa subpopulasi

yang dapat distimulasi oleh tipe antigen yang berbeda. Antigen virus yang terdapat

pada sel yang terinfeksi akan dipresentasikan bersama-sama dengan MHC kelas I

dan akan menstimulasi sel T CD8+ (sitotoksik). Sedangkan antigen mikroba

ekstraseluler akan diendositosis oleh APC dan dipresentasikan dengan MHC kelas II

dan akan mengaktivasi sel T CD4+ (helper). Antigen yang menempel pada MHC

kelas I1 dan sel T CD4+ akan memacu produksi antibodi dan mengaktifkan

makrofag. Interaksi antara sel Th dengan APC akan menginduksi pengeluaran

sitokin atau interleukin yang merupakan alat komunikasi antar sel sehingga akan

menginduksi pematangan sel B. Sitokin yang dikeluarkan oleh limfosit disebut

limfokin sedangkan sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag disebut monokin. Selain

alat komunikasi, sitokin juga berfungsi dalam mengendalikan respon imun dan reaksi

inflamasi dengan cara mengatur pertumbuhan serta mobilitas dan diferensiasi

leukosit maupun sel lain (Puspitasari, 2009).

Kekebalan humoral yang dihasilkan oleh sel B tidak dapat berespon terhadap

antigen yang terdapat didalam sel, sehingga mekanisme kekebalan seluler yang

berperan. Sel yang berperan dalam mekanisme kekebalan seluler adalah sel limfosit

Tcytotoxic (Tc). Sel ini akan mencari sel-sel yang mengalami kelainan fisiologis

untuk kemudian menghancurkan seluruh sel tersebut beserta antigen yang ada di

dalamnya. Tujuan penghancuran ini adalah untuk mencegah penyebaran antigen

intraseluler ke sel-sel sehat lain yang ada di sekitarnya (Wibawan et al., 2003).

2.3.3 Induksi secara pasif dengan antibodi maternal

Antibodi Maternal Dapatan (AMD) atau juga dikenal sebagai kekebalan

pasif yang secara alami mentransfer imunoglobulin dari satu individu ke individu

lainnya. Pada unggas, antibodi asal induk yang mendapatkan vaksinasi atau

terinfeksi secara alami akan mentransfer antibodi kepada anak melalui telur.

Imunitas pasif ini memiliki durasi yang relatif singkat, biasanya 1-2 minggu dan

umumnya kurang dari 4 minggu dan fungsinya adalah untuk melindungi anak ayam

muda selama periode (pertama beberapa minggu) saat sistem kekebalan tubuh

mereka belum sepenuhnya berkembang untuk menghadapi tantangan awal.

Transfer antibodi maternal dari induk ke anak

Transfer antibodi ke embrio terjadi melalui dua tahap. Pertama, antibodi

disimpan dalam kuning telur dan albumin (putih telur) dan setelah itu ditransfer ke

embrio.

a. Transfer Antibodi Maternal Dapatan (AMD) dari induk ke telur

Induk mentransfer AMD ke telur dengan cara menyimpan antibodi

Imunoglobulin Y (IgY), Imunoglobulin (IgA) dan Imunoglobulin (IgM) ke dalam

kuning telur dan albumin. Molekul IgG ayam lebih panjang daripada mamalia, IgG

ayam disebut oleh beberapa peneliti sebagai IgY. Namun pada IgG (IgY) unggas

secara fungsional homolog dengan IgG mamalia. Jalur penyimpanan

Immunoglobulin (Ig) pada telur berbeda. IgY merupakan Ig isotope yang paling

dominan pada kuning telur. Immunoglobulin ini disekresikan oleh ovarium ayam

kedalam ovum (kuning telur) yang sedang berkembang dalam berbagai tahap.

Berjalannya IgY ke ovum diatur oleh epitel folikular yang mengalami

perubahan morfologis yaitu pembesaran ovum. Epitel ini menjadi lebih datar dan

lebih tipis di ovum yang lebih besar memungkinkan lewatnya IgY dalam jumlah

besar. Transfer IgY melalui epitel folikel ovarium maksimum mencapai 3 sampai 4

hari sebelum ovulasi dan mulai menurun karena untuk pengembangan membran

vitelline ovum dan epitel folikular ovarium dalam persiapan untuk ovulasi.

Induk ayam memiliki ovarium yang tahap perkembangannya berbeda-beda,

sehingga jumlah IgY yang ditransfer kemasing-masing ovarium tidak sama. IgA

dan IgM terutama ditemukan dalam albumen dan mereka dipindahkan ke albumen

sebagai hasil dari sekresi mukosa pada saluran telur pada magnum.

b. Transfer AMD dari telur ke Embrio

IgY ditransfer dari kuning telur ke keturunannya melalui sirkulasi embrio.

Dimulai dari perkembangan embrio umur 7 hari dan mencapai tingkat maksimum

3 – 4 hari sebelum menetas. Jumlah IgY ditransfer ke kuning telur dan dari kuning

telur ke embrio sudah pernah dilaporkan sebagai proporsional konsentrasi maternal

serum IgY. Hamal, et al (2006) menemukan bahwa 27 sampai 30 % dari IgY induk

di transfer ke keturunannya.

IgA dan IgM ditransfer ke embrio dengan absropsi albumen oleh usus

embrio dan mungkin memiliki fungsi utama pada anak ayam yang baru menetas

sebagai Ig pelindung disaluran pencernaan atau sebagai tambahan sumber protein.

IgA dan IgM ditransfer ke keturunannya kurang dari 1% dari konsentrasi Ig plasma

induk. Selain dari persentase transfer yang rendah, IgM adalah Ig isotipe pertama

yang disintesis oleh ayam yang baru menetas diikuti oleh IgA dan IgY.

2.3.4 Induksi secara aktif melalui vaksinasi

Efektivitas AMD dalam melindungi anak ayam muda bervariasi dan

tergantung pada berbagai faktor seperti tingkat AMD dan agen yang terlibat. Salah

satu agen yang menyebabkan penyakit pernafasan adalah Newcastle disease (ND).

Pada peternakan unggas dilakukan vaksinasi spray pada tempat penetasan,

meskipun unggas memiliki Antibodi Maternal Dapatan. Alasan dilakukan ini

adalah bahwa vaksin bermanfaat dalam merangsang respon kekebalan lokal

meskipun antibodi maternal umumnya mengganggu respon sistemik.

Anti-NDV yang berasal dari induk memberikan perlindungan kepada ayam

muda. Hamal, et al (2006) mengatakan bahwa tingkat Antibodi NDV-spesifik yang

ditransfer dari induk ayam ke keturunannya berkisar antara 27 % dan 40% dan itu

secara langsung berkaitan dengan titer pada induk ayam. IgY juga ditemukan pada

air mata anak ayam umur sehari dengan tingkat 1: 5 pada serum. Antibodi Maternal

Dapatan anti-NDV dapat segera dikatabolisme pada anak ayam yang baru menetas.

Menurut Allan, et al (1978), setiap 4,5 hari, dua kali lipat titer HI maternal antibodi

dikatabolisme oleh anak ayam.

Perlindungan yang diberikan oleh AMD anti-ND dapat mengacaukan

replikasi sistemik strain vaksin jika diaplikasikan dalam AMD yang tinggi. Oleh

karena itu, tujuan dari vaksinasi pada umur sehari dengan aktif vaksin ND adalah

untuk efisiensi awal dalam merangsang kekebalan lokal (Sel Dimediasi Kekebalan)

pada saluran pernapasan bagian atas dan menginduksi perlindungan awal anak

ayam pada AMD yang rendah.

Minyak emulsi vaksin inaktif telah berhasil digunakan pada anak ayam usia

sehari dengan kekebalan maternal dalam pencegahan ND (Alexander dan Jones,

2001). Keuntungan dari vaksin inaktif adalah tingkat kerugian yang rendah

terhadap reaksi vaksinasi pada unggas dan tingkat perlindungan antibodi sangat

tinggi dengan durasi yang panjang dapat dicapai (Alexander and Jones, 2003).

Vaksin inaktif dengan minyak emulsi ini tidak dipengaruhi oleh kekebalan

maternal seperti vaksin aktif (Box et al., 1976) karena adjuvant minyak bertindak

sebagai stimulus dari mekanisme pertahanan dan menyebarkan antigen secara

perlahan. Dalam keadaan ini, ada rangsangan progresif kekebalan aktif sedangkan

penurunan kekebalan pasif dan kekebalan sistem mencapai kompetensi yang penuh

(Bennejean et al., 1978;. Box et al., 1976;.. Warden et al., 1975.)

2.4 Uji hemaglutination assay (HA) dan hemaglutination inhibition (HI)

Beberapa jenis virus mempunyai sifat dapat mengaglutinasi sel darah merah

hewan tertentu, misalnya Newcastle disease mengaglutinasi sel darah merah unggas.

Untuk kepentingan diagnostik konvensional, virus diisolasi dan di propagasi pada

TAB terlebih dahulu kemudian baru dilanjutkan dengan uji HA dan HI. Mengingat

banyak variasi prosedur untuk uji HA dan HI, dibawah ini adalah salah satu contoh

prosedur uji menggunakan plat mikrop V dengan volume akhir 0,075 ml yang

direkomendasikan oleh OIE (2012). Reagen yang perlu disiapkan adalah PBS

isotonic (pH 7,0-7,2), RBC ayam yang berasal dari ayam SPF atau jika tidak ada

ayam SPF diusahakan dari ayam yang tidak divaksin dan sudah dievaluasi tidak

memiliki antibodi terhadap APMV-1. Sel RBC dicuci sebanyak 3 kali dengan PBS

sebelum digunakan.

Serum ayam jarang memberikan reaksi non-spesifik sehingga preperlakuan

pada serum tidak begitu penting, cukup dipanaskan 560C untuk menghilangkan

aktivitas komplemen. Jika serum berasal dari spesies selain ayam perlu perlakuan

untuk menghilangkan kemungkinan adanya reaksi non-spesifik berupa aglutinasi sel

darah merah (RBC). Reaksi tersebut dapat dihilangkan dengan cara sebagai berikut

: Kedalam 0,5 ml serum ditambahkan 0,025 ml RBC ayam, kemudian dicampurkan

dengan cara dibolak-balik supaya tercampur merata dan selanjutnya didiamkan pada

suhu ruang selama 30 menit. Serum dipisahkan dari RBC dan komponen yang sudah

diikat oleh RBC dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 800 g selama 2-5

menit. Kemudian serum dipisahkan dengan hati-hati supaya tidak tercampur lagi

dengan butiran /pellet RBC yang terbentuk.

Prosedur Uji HA. Kedalam setiap sumuran (1-12) plat mikro steril,

dimasukkan 0,025 ml PBS. Pada sumuran pertama dan kedua ditambahkan virus

(cairan allantois yang akan diuji) sebanyak 0,025 ml dan selanjutnya diencerkan

berseri kelipatan dua mulai dari sumuran kedua sampai sumuran kesebelas dengan

menggunakan pengencer mikro. Kemudian ditambahkan PBS 0,025 ml pada semua

sumuran (1-12). Selanjutnya ke dalam setiap sumuran ditambahkan 0,025 ml RBC

1% (v/v), diayak selama 30 detik seterusnya dieramkan pada suhu kamar selama 1

jam dan reaksi diamati setiap 15 menit ada atau tidaknya reaksi aglutinasi sel darah

merah. Reaksi positif ditandai dengan adanya reaksi aglutinasi. Nilai titrasi dibaca

pada pengenceran tertinggi yang masih menunjukkan reaksi hemaglutinasi lengkap.

Prosedur uji HI. Pada masing-masing sumuran (1-12) mikroplat steril

kemudian ditambahkan 0,025 ml PBS. Pada sumuran pertama dan kedua diisi

dengan 0,025 ml PBS. Pada sumuran pertama dan kedua diiisi dengan 0,025 ml

serum yang akan diuji dan selanjtnya diencerkan secara berseri kelipatan dua mulai

dari sumuran kedua sampai sumuran ke sepuluh dengan menggunakan pengencer

mikro. Kemudian 0,025 ml antigen virus ND 4 HAU ditambahkan mulai dari

sumuran pertama sampai ke sebelas, sedangkan sumuran keduabelas hanya diisi

0,025 ml PBS. Selanjutnya diayak selama 30 detik dan dieramkan pada suhu kamar

selama 30 detik. Selanjutnya dieramkan pada suhu kamar selama 1 jam dan diamati

setiap 15 menit dan tidak adanya hambatan aglutinasi sel darah merah. Hanya

sumuran yang menunjukkan reaksi sama dengan kontrol (sumuran yang hanya berisi

0,05 ml PBS dan 0,025 ml RBC) dinyatakan positif. Titer HI dihitung dari

pengenceran serum tertinggi yang menyebabkan hambatan aglutinasi. Titer HI yang

didapat menentukan status imun dari unggas yang terinfeksi. Unggas dinyatakan

positif jika nilai titer HI nya adalah 1/16 (24 atau disebut juga log2 4) atau lebih, pada

prosedur pengujian menggunakan antigen 4 HAU. Pada uji HI, ada kemungkinan

terjadi reaksi silang terutama antara APMV-1 dengan APMV-3 ( terutama yang

berasal dari burung liar) atau APMV-7. Untuk mengurangi resiko ini, saat ini sudah

tersedia panel serum racun atau MoAb spesifik untuk APMV-1, APMV-3 dan

APMV-7. Penggunaan MAb terhadap APMV-1 yang diproduksi pada mencit telah

digunakan pada uji HI, untuk dapat mengidentifikasi virus secara tepat tanpa ada

kemungkinan reaksi silang dengan APMV serotype lainnya seperti yang terjadi

dengan menggunakan serum poliklonal (Adi and Astawa, 2014).

2.5 Imunohistokimia (IHK)

IHK merupakan suatu teknik penelusuran kuat yang dapat memberikan

informasi tambahan untuk penilaian rutin morfologi jaringan. IHK digunakan untuk

mempelajari penanda seluler yang menentukan fenotipe tertentu yang dapat

memberikan suatu kepentingan diagnosa, prognosis dan prediksi sebuah informasi

yang berkaitan tentang status dan biologis penyakit. Penggunaan antibodi untuk

kajian molekuler dan patologi jaringan dapat di sempurnakan dengan teknik IHK

(Key, 2009).

Menurut Snider (2013), pendekatan dalam deteksi antigen-antibodi sebagai

dasar dari IHK terbagi menjadi dua, yaitu dengan deteksi langsung dan tidak

langsung, dan dalam pemilihan pendekatan yang digunakan tergantung padatingkat

target ekspresi antigen. Dalam deteksi antibodi secara langsung, antibodi terhadap

antigen target (antibodi primer) adalah penghubung dengan sebuah enzim. Enzim

yang paling sering digunakan adalah horseradish Peroxidase (HRP) atau Alkaline

Phospatase (AP). Kerja enzim ini akan diaktifkan dengan penambahan substrat.

Pada deteksi langsung tidak memerlukan langkah tambahan untuk penambahan

antibodi sekunder. Kelemahan teknik ini kemungkinan sulit untuk dideteksi jika

protein yang ditemukan dalam jumlah sedikit.

Pada metode IHK tidak langsung, deteksi menggunakan antibodi sekunder

yang bereaksi dengan antibodi primer berlabel untuk memperkuat sinyal, dengan

demikian sensitifitas uji meningkat, antibodi sekunder lazimnya berlabel enzim

HRP/AP kemudian direaksikan dengan substrat untuk menghasilkan kromogenik

(Snider, 2013). Metode IHK tidak langsung dapat dilakukan dengan beberapa cara

misalnya: Avidin-Biotin Compleks (ABC), Labeled Streptovidin Biotin (LSAB), dan

Phosphatase-Anti-Phosphatase (PAP) (Boenisch, 2001).

Pewarnaan IHK dengan metode Avidin Biotin Peroksidase Kompleks (ABC)

yang melibatkan penggunaan antibodi sekunder berlabel biotin diikuti oleh

penambahan dari Avidin Biotin Peroksidase Kompleks, memberikan hasil lebih baik

ketika di bandingkan dengan metode antibodi yang tidak berlabel. Terdapatnya

tempat ikatan dari biotin secara kompleks dihasilkan karena avidin dengan

peroksidase berlabel biotin (Boenisch, (2001).

Dalam pembentukan kompleks , avidin berfungsi sebagai jembatan antara

molekul peroksidase berlabel biotin yang mengandung beberapa gugus biotin,

berfungsi sebagai penghubungantara molekul avidin. Akibatnya, sbuah pola-pola

kompleks yang mengandung beberapa molekul peroksidase kemungkikan terbentuk.

Ikatan dari kompleks inipada gugus biotin berhubungan dengan hasil antibodi

sekunder atas pewarnaan dengan intensitas yang tinggi (Hsu et al., 1981).

Gambar 2.3. Metode IHK tidak langsung.

Keterangan: A)Metode Avidin-Biotin Complex (ABC), B) Metode Labeled

Streptavidine Biotin (LSAB). Sumber: Handbook IHC Staining Method, DAKO

(2009).

Dalam metode yang sama, metode LSAB juga menggunakan antibodi

sekunder bitinylated. Dimana antibodi sekunder akan menghubungkan antibodi

primer untuk menghubungkan streptavidin-peroksidase, akan tetapi kompleks yang

terbentuk lebih kecil dari pada kompleks yang terbentuk oleh metode ABC, dan itu

sulit dijangkau epitope, jadi metode LSAB memiliki sensitifitas lebih baik dari pada

metode ABC (Chilosi et al., 1994). Kedua metode tersebut dilihat perbedaannya

berdasarkan ikatan dari avidin-biotin kompleks dan streptavidin-biotin (Gambar 2.3).

A Streptavidin Enzym Complex

Tissue Antigen

Biotinylated Secondary antibody

Primary Antibody

B

Avidin-Biotin Complex

Biotinylated Secondary antibody

Primary Antibody Tissue Antigen

Avidin adalah glikoprotein dan memiliki titik isoelektrik (pl) berkisar 10, ini

memiliki kecendrungan untuk mengikat secara khusus seperti lektin dan komponen

jaringan yang bermuatan negative pada pH fisiologis. Streptovidin memiliki titik

isoelektrik yang lebih netral dan tidak memilikigugus karbohidrat. Perbedaan-

perbedaan ini mengakibatkan kurang spesifik dalam pengikatan jaringan. Molekul

biotin adalah konjugasi yang mudah untuk antibodi dan enzim. Dalam metode ABC

antibodi sekunder adalah penghubung diantara primer jaringan yang terikat dan

sebuah avidin-biotin-peroksidase kompleks (Heras et al., 1995). Pada teknik

imunohistokimia antibodi yang biasanya digunakan adalah antibodi monoclonal,

dimana antibodi moonoklonal adalah antibodi monospesifik yang dapat mengikat

satu eitop saja. Bahwasanya antibodi monoklonal memiliki antigen binding surface

yang sama (Sudiana, 2005).

Gambar 2.4. Super SensitiveTM Polymer-HRP IHC Detection System (Biogenex,

2013)

Super Sensitive Polimer-HRP digunakan juga dalam immunostaining untuk

memperoleh sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Dalam sistem yang

menggunakan Biotin-streptavidin sering ditemui masalah pada latar. Dengan tidak

menggunakan Biotin-streptavidin masalah latar dapat dihilangkan. Waktu inkubasi

lebih sedikit (30 menit sampai 2 jam). Super Sensitive Polimer-HRP Detection

Substrate Polymer-HRP Secondary Antibody Primary Antibody Antigen

System adalah sistem deteksi terbaru yang menggunakan teknologi polimer non-

biotin yang menggunakan dua komponen utama yaitu Super Enchancer TM dan

reagen Polimer-HRP. Sistem ini tidak berdasarkan pada sistem biotinavidin, masalah

yang terkait dengan endogen biotin benar-benar dihilangkan. Jaringan atau preparat

yang beku atau yang sudah difiksasi, dipotong, dan dilekatkan pada slide. Digunakan

paraffin sebagai perekat, penanganan dengan larutan retrievel antigen, kemudian

diblokir dengan larutan pemblokir protein dan kemudian diinkubasi dengan antibodi

primer. Antibodi primer yang terikat terdeteksi dengan penambahan antibodi

sekunder terkonjugasi dengan horseradish peroksidase polimer dan substrat DAB

atau substrat AEC. Ketika warna cukup terlihat, slide yang dicuci dengan air untuk

menghentikan reaksi dan ditutup