daya dukung sumber daya air (ddsa) kota cirebon … 20120104... · untuk menopang kehidupan manusia...

14
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 22 No. 1 April 2012 : 35 – 48 35 DAYA DUKUNG SUMBER DAYA AIR (DDSA) KOTA CIREBON DAN SEKITARNYA (WATER RESOURCE CARRYING CAPACITY (WRCC) OF CITY AND ITS VICINITY CIREBON) M.R. Djuwansah 1 dan A.F. Rusydi 2 1,2 Pusat Penelitian Geoteknologi – LIPI Kompleks LIPI jalan Sangkuriang Bandung Pos-el: [email protected] (Diterima 06 Februari 2012; Disetujui 20 April 2012) SARI Daya dukung Sumber daya air (DDSA) suatu wilayah perlu diketahui sebagai kontrol dalam pemanfaatan Sumber daya air dan lahan, sehingga bencana atau pencemaran Sumber daya air akibat pemanfaatan berlebih dapat dihindari. DDSA Kota Cirebon dikuantifikasi dengan membandingkan kuantitas ketersediaan terhadap tingkat pemakaian air. Kuantitas ketersediaan diduga dengan menggunakan basis data faktor-faktor Sumber daya air. Program pada basis data menghitung keterdapatan dan ketersediaan Sumber daya air berdasarkan besarnya curah hujan yang kemudian dipilah menjadi air permukaan dan air tanah dengan metode CN-NRCS, neraca air tanah dan perbedaan konduktivitas hidraulik tanah dan batuan. Tingkat pemakaian air diduga berdasarkan jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi. Pemakaian air bersih di Kota Cirebon utamanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pemakaian Sumber daya air tahunan di Kota Cirebon masih dibawah ketersediaannya, tetapi pada fluktuasi bulanannya terjadi defisit air di pertengahan sampai akhir musim kemarau, yaitu pada bulan Mei sampai September. Defisit kebutuhan air bersih dipenuhi oleh pasokan PDAM dari hulu di luar kota sebelah selatan. Kualitas air permukaan dan air tanah dangkal pada akhir musim hujan di bulan April 2011 memperlihatkan bahwa sampai dengan jarak rata-rata 500 m dari pantai, tidak ditemukan indikasi peyusupan air laut. Produksi limbah domestik di Kota Cirebon telah menurunkan kualitas air permukaan dari kelas 2 menjadi kelas 4 yang diindikasikan dengan peningkatan BOD. Unsur pencemar yang paling pekat adalah PO4-P. Pada tingkat pemakaian aktual, DDSA Kota Cirebon mulai kritis. Ketergantungan Kota Cirebon akan air bersih dari luar kota sulit dihindari, tetapi dapat dikurangi dengan meminimalkan pencemaran air tanah dangkal agar kemungkinan pemanfaatannya dapat ditingkatkan. Kata kunci: Cirebon, Daya dukung Sumber daya Air (DDSA), Kuantifikasi, Ketersediaan, Kualitas Air, Pemakaian Air, Limbah ABSTRACT Water Resource Carrying Capacity (WRCC) of a certain region is important to be known as a control in using water and land resources by which hazards or pollution caused by water resource over exploitation could be avoided. WRCC of Cirebon City and its vicinity have been quantified by comparing water availability to its actual water utilization level. The quantity of water availability was estimated using hidrologic factor database. The programme within database calculates the occurrence and availability of water based on rainfall amount which is separated further into surface water, shallow and deep groundwater using CN-NRCS method, soilwater balance and hydraulic conductivity difference among soils and rocks. Water utilization level has been estimated using the number of population and its economic activities. Cleanwater utilization in Cirebon city was mainly to fulfill household needs. Annual water use in Cirebon City is still under its availability, but in monthly distribution some water deficit occurs during mid to end of dry seasons, generally at the period of May to September. The deficit was compensated by cleanwater from the upstream at southern sideout of the city, distributed by Water Supply Enterprise. Water quality analyses of both surface and shallow groundwater at the end of rainy season on April 2011 reveal that until the average of 500m distance to coastline, the indication of seawater intrusion was not found. Domestic waste production in Cirebon City was deteriorating the water quality from class 2 into class 4 by the increase of BOD. The prominent pollutant compound was PO4-P. At the actual water utilization level, WRCC of Cirebon City is critical. The dependency of Cirebon city on cleanwater source from the outside area seems difficult to be avoided, but it could be minimized by preventing groundwater contamination in order to increase the possibility of its utilization. Keywords: Cirebon, Water Resources Carrying Capacity (WRCC), Quantification, Availability, Water Quality, Water Use, Waste.

Upload: vonga

Post on 23-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology)Vol. 22 No. 1 April 2012 : 35 – 48

35

DAYA DUKUNG SUMBER DAYA AIR (DDSA) KOTA CIREBON DAN SEKITARNYA

(WATER RESOURCE CARRYING CAPACITY (WRCC) OF CITY AND ITS VICINITY CIREBON)

M.R. Djuwansah1 dan A.F. Rusydi2

1,2Pusat Penelitian Geoteknologi – LIPIKompleks LIPI jalan Sangkuriang Bandung

Pos-el: [email protected] (Diterima 06 Februari 2012; Disetujui 20 April 2012)

SARI

Daya dukung Sumber daya air (DDSA) suatu wilayah perlu diketahui sebagai kontrol dalam pemanfaatan Sumber daya air dan lahan, sehingga bencana atau pencemaran Sumber daya air akibat pemanfaatan berlebih dapat dihindari. DDSA Kota Cirebon dikuantifikasi dengan membandingkan kuantitas ketersediaan terhadap tingkat pemakaian air. Kuantitas ketersediaan diduga dengan menggunakan basis data faktor-faktor Sumber daya air. Program pada basis data menghitung keterdapatan dan ketersediaan Sumber daya air berdasarkan besarnya curah hujan yang kemudian dipilah menjadi air permukaan dan air tanah dengan metode CN-NRCS, neraca air tanah dan perbedaan konduktivitas hidraulik tanah dan batuan. Tingkat pemakaian air diduga berdasarkan jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi. Pemakaian air bersih di Kota Cirebon utamanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pemakaian Sumber daya air tahunan di Kota Cirebon masih dibawah ketersediaannya, tetapi pada fluktuasi bulanannya terjadi defisit air di pertengahan sampai akhir musim kemarau, yaitu pada bulan Mei sampai September. Defisit kebutuhan air bersih dipenuhi oleh pasokan PDAM dari hulu di luar kota sebelah selatan. Kualitas air permukaan dan air tanah dangkal pada akhir musim hujan di bulan April 2011 memperlihatkan bahwa sampai dengan jarak rata-rata 500 m dari pantai, tidak ditemukan indikasi peyusupan air laut. Produksi limbah domestik di Kota Cirebon telah menurunkan kualitas air permukaan dari kelas 2 menjadi kelas 4 yang diindikasikan dengan peningkatan BOD. Unsur pencemar yang paling pekat adalah PO4-P. Pada tingkat pemakaian aktual, DDSA Kota Cirebon mulai kritis. Ketergantungan Kota Cirebon akan air bersih dari luar kota sulit dihindari, tetapi dapat dikurangi dengan meminimalkan pencemaran air tanah dangkal agar kemungkinan pemanfaatannya dapat ditingkatkan.

Kata kunci: Cirebon, Daya dukung Sumber daya Air (DDSA), Kuantifikasi, Ketersediaan, Kualitas Air, Pemakaian Air, Limbah

ABSTRACT

Water Resource Carrying Capacity (WRCC) of a certain region is important to be known as a control in using water and land resources by which hazards or pollution caused by water resource over exploitation could be avoided. WRCC of Cirebon City and its vicinity have been quantified by comparing water availability to its actual water utilization level. The quantity of water availability was estimated using hidrologic factor database. The programme within database calculates the occurrence and availability of water based on rainfall amount which is separated further into surface water, shallow and deep groundwater using CN-NRCS method, soilwater balance and hydraulic conductivity difference among soils and rocks. Water utilization level has been estimated using the number of population and its economic activities. Cleanwater utilization in Cirebon city was mainly to fulfill household needs. Annual water use in Cirebon City is still under its availability, but in monthly distribution some water deficit occurs during mid to end of dry seasons, generally at the period of May to September. The deficit was compensated by cleanwater from the upstream at southern sideout of the city, distributed by Water Supply Enterprise. Water quality analyses of both surface and shallow groundwater at the end of rainy season on April 2011 reveal that until the average of 500m distance to coastline, the indication of seawater intrusion was not found. Domestic waste production in Cirebon City was deteriorating the water quality from class 2 into class 4 by the increase of BOD. The prominent pollutant compound was PO4-P. At the actual water utilization level, WRCC of Cirebon City is critical. The dependency of Cirebon city on cleanwater source from the outside area seems difficult to be avoided, but it could be minimized by preventing groundwater contamination in order to increase the possibility of its utilization.

Keywords: Cirebon, Water Resources Carrying Capacity (WRCC), Quantification, Availability, Water Quality, Water Use, Waste.

36

Daya Dukung Sumber Daya Air (Ddsa) Kota Cirebon Dan Sekitarnya(M.R. Djuwansah dan A.F. Rusydi)

PENDAHULUAN

Konsep daya dukung (carrying capacity) berasal dari ilmu ekologi dan kemudian berkembang dalam studi Sumber daya alam untuk merumuskan kemampuan lingkungan dalam menopang dan memelihara aktivitas sosial-ekonomi. Dalam ilmu ekologi, daya dukung adalah kemampuan suatu lingkungan hidup untuk menopang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan (Hehanussa dan Haryani, 2001). Menurut Ling drr., (2010), daya dukung adalah suatu Nilai Batas (Treshold Value) ketersediaan yang mendukung secara berkelanjutan pengembangan ekonomi dan ekologi suatu daerah. Pada penetapan nilai batas daya dukung terdapat dua sudut pandang berbeda. pertama yang memperhitungkan keseimbangan ekologis sebagai salah satu prasyarat keberlanjutan, dan yang kedua yang hanya memperhitungkan capaian-capaian produktivitas ekonomi saja (Zhang drr., 2010).

Sumber daya air suatu wilayah terdapat dalam berbagai bentuk, berupa genangan dan aliran air, air tanah, es, atau kelembapan atmosfer. Di daerah tropis, Sumber daya air berasal dari air hujan, baik yang jatuh setempat maupun jatuh di hulunya. Secara teoritis jumlah dan fluktuasi keterdapatan air suatu wilayah dapat diperkirakan berdasarkan besar curah dan kerap waktu hujannya. Sementara faktor-faktor hydrologi lainnya, seperti bentuk wilayah, geologi, tanah dan tutupan serta penggunaan lahan, akan menentukan distribusi dan kecepatan aliran serta kualitas air. Setiap pemanfaatan air atau perubahan salah satu faktor hidrologi akan memengaruhi jumlah keterdapatan air di tempat tersebut atau di wilayah sebelah hilirnya.

Saat ini fenomena krisis air telah tampak di beberapa kawasan di Indonesia terutama di daerah berpenduduk padat, seperti misalnya daerah-daerah perkotaan di Pulau Jawa. Fenomena ini ditandai dengan kekurangan sediaan air atau menurunnya kualitas air pada musim kemarau. Di musim hujan, banjir dan longsor terjadi secara berkala. Permasalahan ini timbul karena Sumber daya air dan lahan telah dieksploitasi dengan cara yang tidak tepat atau melebihi batas daya dukungnya. Permasalahan akan semakin berat dari waktu ke waktu karena kecenderungan saat ini memperlihatkan jumlah penduduk yang akan terus bertambah dan aktivitas ekonomi yang juga terus meningkat.

Untuk periode tahunan, keberadaan dan jumlah Sumber daya air di suatu tempat relatif tetap meski terdapat fluktuasi musiman dan variasi antar tahun. Pemakaian Sumber daya air di suatu wilayah bisa meningkat dengan cepat, dan perubahannya

sangat dipengaruhi oleh laju pertumbuhan jumlah penduduk dan jenis kegiatannya. Apabila pemanfaatan Sumber daya air masih dalam batas-batas daya dukungnya, maka tidak akan terjadi suatu perubahan lingkungan hidup yang membahayakan. Apabila pemanfaatan sumber daya air melampaui daya dukungnya, maka keberlanjutan Sumber daya akan hilang dan bahkan akan dapat menjadi sumber bencana.

Jumlah dan kualitas sumber daya air di suatu daerah jarang diketahui dengan pasti. Padahal pada saat ini, populasi penduduk cenderung untuk terkonsentrasi di sekitar kota-kota besar, yang disertai pula dengan perkembangan aktivitas ekonomi yang lebih padat modal, padat teknologi dan boros Sumber daya. Daya dukung Sumber Daya Air (DDSA) daerah-daerah pertumbuhan strategis hendaknya terinventarisasi dengan baik karena di tempat-tempat tersebut rasio pasokan dan permintaan air akan terus meningkat, sehingga diperlukan pengaturan yang baik untuk menjamin efisiensi serta menjaga keberlanjutannya.

DDSA adalah ketersedian air pada suatu daerah untuk berbagai penggunaan pada waktu tertentu. Untuk mengevaluasi DDSA diperlukan informasi distribusi kuantitas dan kualitas air secara spasial beserta fluktuasi temporalnya. Dari sisi pemanfaatan aktual sumber daya air, jumlah penduduk dan jenis kegiatan yang terdapat di daerah studi dapat dipakai untuk menduga jumlah dan intensitas pemakaian air. Sementara evaluasi terhadap kondisi DDSA pascapemakaian dapat dilakukan melalui analisis penurunan kuantitas dan kualitas air.

DDSA suatu wilayah dikuantifikasi dalam tulisan ini, sehingga kondisi aktualnya tergambar lebih baik. Dengan demikian, langkah pengelolaan ke depan dapat direncanakan lebih terarah dan terukur. Kuantitas keterdapatan air diduga menggunakan basis data faktor-faktor sumber daya air (Djuwansah, 2010). Kondisi aktual DDSA dievaluasi berdasarkan rasio kebutuhan terhadap ketersediaan. Pada bagian akhir, dibahas konsekuensi pola pemakaian aktual terhadap kualitas badan air setempat serta implikasinya terhadap keberlanjutan sumber daya.

Kota Cirebon dan sekitarnya dipilih menjadi daerah kasus studi karena memiliki dimensi kota berukuran sedang di Indonesia, serta karakter pesisir. Daya dukung sumber daya air di daerah pesisir ditentukan oleh kuantitas air serta kualitas air yang menjadi pembatas penting karena pengaruh air laut. Pengukuran DDSA Kota Cirebon difokuskan pada kebutuhan domestik karena sampai saat ini pemakaian air bersih terbesar adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology)Vol. 22 No. 1 April 2012 : 35 – 48

37

DESKRIPSI LINGKUNGAN DAERAH PENELITIAN

Kota Cirebon terletak pada sekitar 6°41′S 108°33′E di pesisir utara Pulau Jawa, bagian timur Jawa Barat, memanjang dari barat ke timur 8 km, Selatan

11 km dengan ketinggian rata-rata sekitar 5 m di atas permukaan laut. Kota ini merupakan salah satu kota pelabuhan penting di Pulau Jawa.

Gambar 1. Peta situasi daerah studi.

Temperatur udara di kota ini relatif tetap sepanjang tahun, yaitu antara 23oC s.d. 33oC. Curah hujan tahunan yang jatuh di kota rata-rata sebesar 2260 mm dengan jumlah hari hujan 155/tahun. Musim penghujan jatuh antara bulan Oktober sampai Mei, Sementara musim kemarau antara bulan Juni sampai September. Kota Cirebon berkembang di atas dataran yang terbentuk dari endapan alluvium resen yang tersusun oleh pasir dan lempung berwarna kelabu, serta endapan pantai (Silitonga drr., 1996). Endapan ini merupakan bahan yang terangkut dari lereng dan kaki Gunung Ciremai. Pada tahun 2010 Kota Cirebon dihuni oleh sekitar 298.000

penduduk. Dengan luas total kota 3.754 km2, maka Kota Cirebon dan sekitarnya memiliki kerapatan penduduk sekitar 79.4/km2.

Cirebon dilintasi dua aliran sungai yang kemudian bermuara ke Laut Jawa, yaitu Sungai Kasunean dan Sungai Kalijaga (Jagalunyu), yang kualitas airnya dijadikan objek studi pada penelitian ini. Studi kualitas air dilakukan pula terhadap air tanah dangkal di sekitar kedua ruas sungai tersebut yang meliputi wilayah Kota Cirebon ditambah Kecamatan Mundu di wilayah Kabupaten Cirebon yang berbatasan dengan Bagian Selatan Kota (Gambar 1).

Lokasi Percontohan Air Tanah Dangkal

Lokasi Percontohan Air Sungai

38

Daya Dukung Sumber Daya Air (Ddsa) Kota Cirebon Dan Sekitarnya(M.R. Djuwansah dan A.F. Rusydi)

METODOLOGI

Penilaian DDSA di Kota Cirebon dan sekitarnya dilakukan melalui empat tahap analisis sebagai berikut: Pertama, Kuantifikasi DDSA dilakukan dengan menduga kuantitas keterdapatan tahunan air beserta fluktuasi bulanannya berdasarkan data curah hujan. Kedua, jumlah pemakaian air diduga berdasarkan jumlah penduduk dan besaran rata-rata kebutuhan air per kapita di daerah perkotaan negara berkembang. Ketiga, penilaian Daya dukung Sumber Daya Air suatu wilayah dilakukan berdasarkan rasio pemakaian dan terhadap ketersediaan air (Wang Zongying, 2006). Evaluasi kualitas air dilakukan dengan membandingkan hasil analisis kimia percontohan air yang diambil di lapangan pada bulan Mei 2011 terhadap baku mutu kualitas air menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, serta analisa Daya Pulih Kembali. Perincian metode setiap langkah analisis adalah sebagai berikut:

1. Pendugaan Keterdapatan Total Air

Untuk studi DDSA, jumlah air yang tersedia di suatu tempat harus dibedakan menjadi jumlah total keberadaan yang kemudian akan kita istilahkan menjadi keterdapatan, dan jumlah yang boleh dipakai untuk aktivitas manusia yang kemudian akan diistilahkan dengan ketersediaan.

Keterdapatan air diduga berdasarkan data faktor-faktor sumber daya air yang terdiri atas data curah hujan dan peta-peta tanah, tutupan lahan/vegetasi dan geologi. Jumlah curah hujan yang jatuh di suatu wilayah dipilah menjadi air permukaan, air infiltrasi dan penguapan kembali (intersepsi) dengan menggunakan model Curve Number (CN) yang dikembangkan oleh Natural Resources Conservation Services (NRCS) di Amerika serikat. Setelah itu, air infiltrasi dipilah kembali menjadi evapotranspirasi dan aliran bawah permukaan dengan model neraca air tanah. Pada akhirnya, aliran bawah permukaan dipisahkan kembali menjadi mata air dan pengisi lapisan batuan pembawa air tanah dalam dengan metode perbedaan konduktivitas hidraulik tanah dan batuan. Metode-metode ini terintegrasi di dalam basis data faktor-faktor sumber daya air (Djuwansah, 2010).

Pada metode CN/NRCS, jumlah curah setiap hujan (P) yang jatuh di atas tanah dengan potensi maksimal tanah untuk menahan air (S) tertentu, akan terbagi menjadi tiga; Air larian (Q), Infiltrasi (F), dan Abtraksi awal (Initial Abstraction: Ia), dengan hubungan: (P - Ia)2

Q = + S .......................................... (1) (P - Ia)2

Menurut pengalaman empiris diperoleh:Ia = 0,25 ............................................................. (2)

Peroleh dari input P berdasarkan persamaan:

(P - 0,25)2

Q = + S ...................................... (3) (P - 0,85)2

Q dan P diketahui dari pengukuran, Sementara S dan Ia parameter yang tidak diketahui. Penetapan nilai S (satuan mm) dilakukan melalui nilai runoff Curve Number (CN) dengan rumus:

25400Q = - 254 .................................... (4) CN

CN bernilai antara 0 sampai 100. NRCS membedakan tanah menjadi empat kelas hidrologi (Tabel 1). Setiap jenis tutupan lahan pada setiap kelas hidrologi tanah memiliki nilai CN yang berbeda. Nilai CN pada persamaan (4) di atas adalah nilai CN (II), berlaku untuk kelembapan tanah normal, setara kelembapan setelah hujan pada lima hari terakhir yang bercurah antara 35 s/d 52,5 mm. NRCS mengkelaskan kelembapan tanah awal (antecedent moisture classes: AMC) menjadi tiga. AMC I untuk tanah yang lebih kering dari AMC II, dan AMC III untuk yang lebih lembap dari AMC II. Untuk keadaan AMC I dan AMC III, nilai CN yang dipakai pada perhitungan berubah sebagai berikut:

4,5 CN (II)Untuk AMC I : CN(I) = ...... (5) {10-0.058 CN (II)}

23 CN (II)Untuk AMC III : CN(I) = ...... (6) {10-0.13 CN (II)}

Nilai CN ditetapkan (Tabel 2) dengan mengacu pada tabel nilai CN-NRCS (Mc. Cuen, 1982) dengan beberapa penyesuaian untuk jenis tutupan lahan khas (mis.: sawah, kebun campuran) yang tidak terdapat padanannya pada tabel NRCS.

Tabel 1. Kelompok Hidrologi Tanah

Kelompok Tanah

Laju Infiltrasi

(mm/jam)Tekstur Tanah

A 8 – 12 Pasir, pasir berlempung, lempung berpasir

B 4 - 8 Lempung berdebu, lempung

C 1 - 4 Lempung pasir berliat

D <1 Lempung berliat, lempung berdebu

Sumber: Mc. Cuen, 1982

Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology)Vol. 22 No. 1 April 2012 : 35 – 48

39

Tabel 2. Jenis Tutupan Lahan Hasil Penafsiran Citra ASTER 2008 dan Nilai CN II yang Dipakai untuk Menduga Proporsi Intersepsi, Air larian, dan Infiltrasi

Tutupan Lahan Kelas Hidrologi

A B C DSungai/Tubuh Air/Danau/Waduk/Situ 98 98 98 98Hutan Primer 25 55 70 77Hutan Sekunder 30 58 71 78Hutan Pinus 45 66 77 83Perkebunan 49 69 79 84Kebun Campuran 64 75 83 87Ladang / Tegalan 68 79 85 88Padang Rumput/Ilalang 72 82 88 90Permukiman 81 88 91 93Kawasan dan Zona Industri 89 92 94 95Sawah 59 70 78 81Semak Belukar 49 69 78 81Tanah Kosong / Terbuka 77 86 91 94

Sumber: Mc. Cuen, 1982, dengan beberapa penyesuaian.

Apabila P dan Q sudah diketahui maka S juga diketahui, sehingga Ia dan F dapat dihitung melalui:

F = (P - Ia) - Q ................................................... (2)

Pemisahan air infiltrasi menjadi air perkolasi dan air yang menguap kembali (evapotranspirasi), didasarkan atas prinsip pengisian kelembapan tanah (Foth dan Turk, 1972). Air infiltrasi pertama-tama akan mengisi pori-pori halus hingga jenuh, baru kemudian mengisi pori-pori yang lebih kasar. Pada pelepasannya, pori-pori kasar akan dikosongkan terlebih dahulu. Air pengisi pori kasar (pori drainase) tertahan dengan tegangan yang lebih lemah dari gaya gravitasi (pF < 2) dan akan mengalir ke lapisan di bawahnya atau kemudian keluar lagi sebagai mata air di sebelah hilir. pF (=logaritma desimal tekanan ketinggian kolom air dalam cm) adalah ekspresi tegangan air (Baize, 1988). Air yang masuk ke dalam pori kecil (pori kapiler) tertahan oleh tegangan yang besarnya melebihi gravitasi (pF > 2) dan hanya bisa dilepaskan dari tanah dengan hisapan akar atau penguapan. Sementara pada pori yang sangat halus akan ditahan sangat kuat oleh tanah (pF > 4,2) dan akan tetap berada di dalam tanah. Pendugaan proporsi tegangan air pada jenis tanah berbeda didekati berdasarkan perbedaan tekstur dan permeabilitas (Chamayou dan Legros, 1989).

Pengisian pori kapiler setiap kali hujan adalah sejumlah tertentu yang telah habis dikonsumsi evapotranspirasi tumbuhan sejak hujan terakhir. Di daerah tropis basah, hujan relatif banyak dan sering, air tanah kapiler tidak pernah benar-benar habis walaupun pada musim kering yang panjang, ditandai oleh sebagian besar jenis tumbuhan yang

masih bisa hidup, kecuali yang bertoleransi rendah terhadap kekeringan. Pada musim hujan, konsumsi air tanah kapiler pada selang antara dua hujan sangat sedikit dibandingkan dengan volume total air kapiler (Mohr drr., 1972). Pada bulan basah diperkirakan rata-rata pengisian pori kapiler hanya 1/5 dari keseluruhan pori kapiler, Sementara pada musim kemarau setengahnya. Jumlah air perkolasi (P) dapat ditulis dengan rumus berikut: Jumlah air perkolasi (p) adalah:

P=(F/S-0,2 k) F pada bulan basah ......... (8)P=(F/S-0,5 k) F pada bulan basah ........ (9)

k = persentasi pori kapiler F = air infiltrasiS = kapasitas simpan tanah

Batas bulan basah dan bulan kering pada curah hujan bulanan = 60 mm

Pergerakan air di dalam tanah dan batuan ditentukan oleh besarnya konduktivitas hidraulik (k) setiap jenis batuan. Apabila terdapat kekosongan atau penurunan tekanan di dalam akuifer air tanah sebagai akibat kebocoran (leakage) atau pengambilan, maka akan ada aliran mengarah ke lokasi yang tekanannya lebih rendah. Apabila k tanah (k1) lebih besar daripada k batuan (k2), luah (q) air tanah yang mengisi batuan adalah sebesar:

k1 q1=k2q2 atau q2= k2/k1 q1 .......................... (10)

Sementara sisanya akan mengalir secara lateral dan akan keluar ke permukaan sebagai mata air. Apabila k1 lebih besar atau sama dengan k2, maka debit air pada tanah dan batuan akan sama besar.

40

Daya Dukung Sumber Daya Air (Ddsa) Kota Cirebon Dan Sekitarnya(M.R. Djuwansah dan A.F. Rusydi)

Luaran dari rangkaian proses perhitungan di atas adalah sebaran spasial jumlah air permukaan, air tanah dangkal dan air tanah dalam yang dapat disajikan untuk daerah tertentu yang diinginkan baik dalam bentuk peta maupun tabular.

2. Pendugaan Konsumsi Air

Pendugaan konsumsi air di Kota Cirebon dihitung berdasarkan jumlah penduduk. Jumlah konsumsi air di Kota Cirebon diperkirakan menurut dua parameter. Pertama, untuk keperluan domestik yang perkiraannya didasarkan pada kebutuhan rata-rata harian standar UNESCO untuk perkotaan negara berkembang, yaitu 100 l/hari (Falkenmark, 1991). Kedua, kebutuhan total yang menyangkut air maya untuk produksi pangan yang dikonsumsi, sandang yang dipakai, serta kebutuhan air industri untuk aktivitas perekonomian, yang diperkirakan berdasarkan jumlah paling aman (Kandel, 2003) sebanyak 1000 l/hari.

2.1 Penilaian DDSA

Evaluasi DDSA pada penelitian ini didasarkan atas perbandingan ketersediaan (daya dukung) dan pemanfaatan (kebutuhan) yang kemudian dievaluasi dengan model Twin Pointers (Wang, 2006 yang diacu Zhang drr., 2010). Pada model ini, Pemanfaaan Sumber Daya Air (Cw) diukur dengan rumus:Cw= Wn (qp (t) ................................................... (11) Wn = Ketersediaan air untuk aktivitas manusia. Sisa air yang tersedia setelah dipakai untuk memenuhi kebutuhan lingkunganqp(t) = Konsumsi oleh manusia (dipengaruhi oleh tingkat ekonomi, teknologi, sosial- budaya, kepercayaan, dsb.) pada waktu atau tahun (t) tertentu.

Sementara:Wn=W-Wo+Wb ................................................... (12)

W = Sumber daya air total yang terdiri atas air permukaan (Ws) dan Air tanah dalam maupun dangkal (Wg)Wo =Kebutuhan air untuk pemanfaatan berkelanjutan, baik di wilayah tersebut maupun di sebelah hilirnyaWb = Air yang datang dari daerah hulu atau dari DAS lain.

Sementara:Wo=αW ........................................................ (13)

α adalah koefisien ketersediaan air baku terhadap keterdapatan air total, dengan besaran yang secara umum berbeda untuk setiap zona iklim sebagai berikut :

Tabel 3. Koefisien Ketersediaan Air Baku

Zona Iklim Arid Semi arid

Sub humid humid

Koefisien Ketersediaan Air (α)

0,45 – 0,55

0,55 - 0,65

0,65 - 0,75

0,75 – 0,85

Sementara besaran W (ketersediaan air total) dihitung dengan metode Anggaran Air pada basis data spasial faktor-faktor sumber daya air yang telah diuraikan terdahulu.

2.2 Analisis kualitas Air

Untuk mengetahui penurunan kualitas yang diakibatkan oleh pemakaian Sumber daya air, analisis dilakukan terhadap aliran air (sungai) yang memasuki Kota Cirebon dan di sepanjang saluran di dalam kota sampai bagian daerah pantai. Analisis dilakukan pula terhadap air tanah dangkal di sekitar ruas-ruas sungai. Jarak antarsungai sekitar 6 km, dan ruas sungai yang diamati sekitar 6 km dari pantai ke arah darat. Pengukuran air tanah dangkal dilakukan pada dataran di kiri-kanan kedua sungai ini dengan interval rata-rata pengamatan 1 km. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan langsung di lokasi pengambilan percontoh adalah luah, kecepatan arus sungai, dan besaran-besaran kimia fisik air (pH, temperatur, DHL, oksigen terlarut, dan kandungan HCO3-.). Analisis laboratorium dilakukan terhadap 29 parameter unsur/senyawa terlarut di dalam air yang terdiri atas kation dan anion utama (Na, K, Ca, Mg, Cl- SO42-), unsur/senyawa indikator pencemar (nitrogen dan fosfor), beberapa logam penting (Fe, Mn, Cr6+), serta BOD dan COD.

BAHAN, PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

Data masukan untuk pendugaan kuantitas air secara spasial pada dasarnya merupakan peta-peta tematik, dengan cara perolehan sebagai berikut. :

• Peta Isohyet rata-rata harian untuk setiap bulan pada tahun studi. Peta ini dibuat dengan plotting data curah hujan yang diperoleh pada stasiun-stasiun di sekitar daerah studi, dan dikorelasikan dengan ketinggian tempat yang diperoleh dari data Model Elevasi Digital (DEM). Data Curah Hujan yang digunakan adalah data yang terekam di Stasiun Udara Penggung, sejak 1995 sampai 2011, tersimpan di Balai Meteorologi dan Geofisika Jakarta.

Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology)Vol. 22 No. 1 April 2012 : 35 – 48

41

Dengan data ini, curah hujan rata-rata bulanan selama periode 1994 -2010 dapat dikompilasikan.

• Peta DEM. Diperoleh dengan cara digitasi peta topografi 1:50 000 (Bakosurtanal) untuk kemudian diturunkan menjadi bentuk Model Elevasi Digital (DEM).

• Peta Tutupan Lahan. Diperoleh dengan cara menafsirkan citra Satelit ASTER tahun 2008.

• Peta Tanah yang digabung dengan peta tutupan lahan untuk diturunkan menjadi peta sebaran nilai CN dan peta permeabilitas tanah

• Peta Geologi yang kemudian diturunkan menjadi peta konduktivitas hidraulik batuan

Peta-peta tersebut kemudian disimpan pada sebuah pangkalan data Sistem Informasi Geografis dan disusun sebagai Basis Data Faktor-faktor Hidrologi (sebagai masukan) dan sebagai Basis Data Anggaran Air (sebagai keluaran).

• Data Kualitas Air, diperoleh berdasarkan pengukuran di lapangan dan analisis laboratorium. Percontoh air diambil dari ruas sungai pewakil dengan interval pengukuran/pengamatan setiap sekitar 1 km. Pengamatan, pengukuran, dan pengambilan Percontoh air di lapangan telah dilakukan pada ruas hilir dua buah sungai (Kasunean dan Kalijaga) yang melintasi Kota Cirebon dan daerah pemukiman di pesisir kabupaten Cirebon bagian selatan. Wilayah pengamatan meliputi daerah pantai sampai dengan jarak kira-kira 5 km ke arah daratan. Selama kegiatan lapangan telah diambil 11 Percontoh air sungai untuk pengukuran kualitas air dan 21 sampel air tanah dangkal untuk pengukuran kegaraman dan kualitas air. Pengamatan dilakukan pada minggu pertama bulan Mei 2011, yang merupakan awal musim kemarau. Analisis perkiraan daya pulih kembalialiran sungai dilakukan berdasarkan nilai DO,

BOD, dan COD yang diperolah di laboratorium dengan metode Steerer and Phelps.

• Data kependudukan dan data sosio ekonomis lainnya diambil sebagai data sekunder dan dipakai untuk menentukan tingkat pemakaian air di daerah penelitian.

HASIL

Keterdapatan Air Total

Di Kota Cirebon, air berasal dari dua sumber, yaitu: air hujan yang jatuh langsung di atas kota tersebut dan aliran air dari hulu daerah aliran sungai yang melaluinya. Aliran tersebut dapat berupa air sungai atau aliran permukaan lain, maupun aliran air tanah dalam dan dangkal. Pendugaan jumlah keterdapatan air tahunan beserta fluktuasi bulanannya di daerah studi juga memperhitungkan bagian hulu DAS yang melaluinya (Gambar 1).

Jumlah air yang berasal dari curah hujan setempat yang diterima wilayah Kota Cirebon diperlihatkan dalam Tabel 3. Dari curah hujan tahunan rata-rata yang jatuh di Kota Cirebon, didapati aliran permukaan sekitar 26.013 juta m3, dan imbuhan air tanah dangkal sebesar (33%) 24.226 juta m3, serta imbuhan yang berpotensi untuk mengisi air tanah dalam sebesar (3,3%) 2.692 juta m3. Pada distribusi bulanannya terdapat variasi yang sangat mencolok antara bulan basah dan bulan kering. Tidak jarang terjadi bulan kering ketika hujan tidak turun sama sekali, sehingga tidak ada produksi air larian maupun imbuhan air tanah. Sementara pada musim hujan, produksi air larian bisa sangat banyak terutama di bulan Januari (rata-rata 6,433 juta m3), sehingga kerap menyebabkan banjir di beberapa tempat. Demikian pula dengan imbuhan air tanah, produksi pada bulan-bulan Desember s/d Maret umumnya tinggi, sehingga terjadi pengenceran pada sumur dangkal yang menyebabkan penurunan kegaraman.

Tabel 3. Kuantitas Bulanan Rata-rata (1995-2010) Sumber Daya Air Kota Cirebon

Kota Cirebon (juta m3)

Bulan Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des Setahun

Evapotranspirasi 3,701 3,364 3,570 2,731 2,238 1,293 0,588 0,754 1,068 1,617 2,588 3,350 26,860

Air Larian 6,433 4,401 5,566 1,983 0,981 0,252 0,023 0,015 0,014 0,389 1,630 4,326 26,013

Air Tanah Dangkal 4,773 3,861 4,409 2,368 1,448 0,499 0,102 0,088 0,089 0,688 2,078 3,823 24,226

Air Tanah Dalam 0,530 0,429 0,490 0,263 0,161 0,055 0,011 0,010 0,010 0,076 0,231 0,425 2,692

42

Daya Dukung Sumber Daya Air (Ddsa) Kota Cirebon Dan Sekitarnya(M.R. Djuwansah dan A.F. Rusydi)

sungai tersebut melalui Kota Cirebon. Fraksi air larianakan segera mengalir melalui kedua sungai tersebut sebagai aliran tinggi dan umumnya segera terbuang ke laut. Sementara fraksi air tanah dangkal akan mengalir secara terus menerus sebagai aliran rendah yang keluar melalui mata-mata air. Hasil pendugaan kuantitas tahunan air larian dan air tanah dangkal pada kedua hulu DAS tersebut (Tabel 5) dikonversikan ke dalam satuan luah sungai menghasilkan fluktuasi luah rata-rata bulanan total untuk kedua sungai sebesar 5,48 l/det. Sebagai verifikasi/validasi hasil pendugaan terhadap keadaan sesungguhnya, hasil pendugaan debit tersebut dibandingkan terhadap hasil pengukuran pada bulan April 2011. Hasil pendugaan memberikan angka sebesar 3,70 l/dt untuk Sungai Kasunean dan 1,90 l/det untuk sungai Kalijaga, sementara pengukuran di lapangan yang dilakukan pada bulan April 2011 memperlihatkan luah Sungai Kasunean sebesar 2,017 l/det dan 1,128 l/det untuk sungai Kalijaga. Disparitas antara hasil pendugaan dan hasil pengukuran disebabkan karena sebagian air sungai dialirkan pada jaringan irigasi sebelum memasuki Kota Cirebon, meski mungkin pula disebabkan oleh adanya kesalahan (error) dalam perhitungan atau pengukuran.

Tabel 5. Kuantitas Bulanan Rata-rata (1995-2010) Sumber Daya Air DAS Kasunean dan Kalijaga

Hulu DAS Kalijaga

Bulan J F M A M J J A S O N D setahun

Air Permukaan (jt m3) 6,21 3,13 4,55 1,33 0,61 0,08 0,01 0,00 0,01 0,28 1,14 3,04 20,40

Air tanah dangkal (jt m3) 8,69 6,07 7,43 3,60 2,07 0,34 0,02 0,02 0,03 0,99 3,23 5,98 38,48

Total aliran (jt m3) 14,90 9,20 11,99 4,92 2,68 0,42 0,03 0,03 0,04 1,27 4,38 9,02 58,87

Luah (lt/det) 5,56 3,80 4,47 1,90 1,00 0,16 0,01 0,01 0,01 0,47 1,69 3,37 1,87

Hulu DAS Kasunean

Bulan J F M A M J J A S O N D setahun

Air Permukaan (jt m3) 13,88 4,62 7,90 2,51 1,47 0,11 0,00 0,00 0,03 1,21 2,59 4,38 38,72

Air tanah dangkal (jt m3) 18,26 9,65 13,52 7,08 5,10 0,65 0,02 0,02 0,29 4,25 7,26 9,25 75,35

Total aliran (jt m3) 32,14 14,27 21,42 9,59 6,57 0,76 0,03 0,02 0,31 5,46 9,85 13,64 114,06

Luah (lt/dt) 12,00 5,90 8,00 3,70 2,45 0,29 0,01 0,01 0,12 2,04 3,80 5,09 3,62

Hasil diatas memperlihatkan pula bahwa jumlah air yang berasal dari sebelah hulu DAS tiga kali lebih besar daripada yang jatuh di daerah penelitian.

Jumlah air yang berasal dari curah hujan setempat yang diterima wilayah Kota Cirebon diperlihatkan dalam Tabel 3. Dari curah hujan tahunan rata-rata yang jatuh di Kota Cirebon, didapati aliran permukaan sekitar 26.013 juta m3, dan imbuhan air tanah dangkal sebesar (33%) 24.226 juta m3, serta imbuhan yang berpotensi untuk mengisi air tanah dalam sebesar (3,3%) 2.692 juta m3. Pada distribusi bulanannya terdapat variasi yang sangat mencolok antara bulan basah dan bulan kering. Tidak jarang terjadi bulan kering dan hujan tidak turun sama sekali, sehingga tidak ada produksi air larian maupun imbuhan air tanah. Sementara pada musim hujan, produksi air larian bisa sangat banyak terutama di bulan Januari (rata-rata 6,433 juta m3), sehingga kerap menyebabkan banjir di beberapa tempat. Demikian pula dengan imbuhan air tanah, produksi pada bulan-bulan Desember sampai dengan Maret umumnya tinggi, sehingga terjadi pengenceran pada sumur dangkal yang menyebabkan penurunan kegaraman.

Kota Cirebon mendapat tambahan sejumlah pasokan air curah hujan yang jatuh di bagian hulu DAS Kasunean dan Kalijaga yang mengalir melalui kedua

Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology)Vol. 22 No. 1 April 2012 : 35 – 48

43

Tabel 6. Evaluasi Daya dukung Sumber Daya Air Lokal Kota Cirebon Ketersediaan dan Kebutuhan (juta m3)

Bulan J F M A M J J A S O N D setahun

Ketersediaan lokal (W-Wo) 2,347 1,738 2,093 0,923 0,518 0,161 0,027 0,023 0,023 0,231 0,788 1,715 10,586

Total kebutuhan (Qpt) 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 3,579

Kebutuhan

domestik 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,358

Rasio ketersediaan dan kebutuhan

Cw= (W-Wo ) Q_pt 7,871 5,829 7,018 3,094 1,737 0,541 0,091 0,076 0,076 0,774 2,642 5,750 2,958

Cw dom= W-Wo Qpt dom

86,212 63,840 76,868 33,891 19,024 5,924 1,001 0,832 0,834 8,477 28,938 62,981 32,402

Pemakaian (Konsumsi) Air Kota Cirebon

Berdasarkan data PDAM, pemakaian utama air bersih di Kota Cirebon adalah untuk kebutuhan domestik. Pelanggan terbesar PDAM adalah rumah tangga yang meliputi 90,3% dari total sambungan atau dengan debit yang dapat memenuhi 93% dari kebutuhan total seluruh penduduk.

Meskipun kegiatan ekonomi terbesar di Kota Cirebon adalah industri pengolahan yang mencapai 49% dari total aktivitas, tetapi jenis industri yang ada tampaknya bukan jenis yang banyak memerlukan air, atau tidak memerlukan air dengan kualitas baik. Kebutuhan ini dapat dipenuhi oleh air dengan kualitas lebih rendah (kelas 2, 3, atau 4) yang mudah diperoleh dari sumber setempat, misalnya dari air permukaan atau dari air tanah dangkal.

Perkiraan berdasarkan standar UNESCO untuk keperluan domestik per kapita/hari serta standar

alokasi aman untuk memenuhi kebutuhan total, maka pada tahun 2010 konsumsi untuk seluruh penduduk Kota Cirebon adalah sebanyak 3,579 juta m3/tahun, atau setiap bulannya bervariasi sekitar 0,298 juta m3. Untuk kebutuhan domestik, total kebutuhan tahunannya adalah sekitar 0,358 juta m3, dan kebutuhan perbulannya sekitar 0,030 juta m3 (Tabel 6).

Evaluasi Daya Dukung

Evaluasi DDSA aktual di Kota Cirebon dan sekitarnya dilakukan dengan membandingkan antara ketersediaan air dan kebutuhan, terutama kebutuhan pemakaian domestik, yang merupakan komponenkebutuhan vital masyarakat. Ketersediaan yang dimaksud pada penelitian ini adalah keterdapatan total tahunan dikalikan dengan koefisien ketersediaan (α) berdasarkan Persamaan 13. Hasil pendugaan ketersediaan dan kebutuhan serta evaluasinya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 7. Evaluasi Daya dukung Sumber Daya Air Total Kota Cirebon

BulanJ F M A M J J A S O N D setahun

Ketersediaan lokal (W-Wo) 2,347 1,738 2,093 0,923 0,518 0,161 0,027 0,023 0,023 0,231 0,788 1,715 10,586

Total kebutuhan (Qpt)

0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 0,298 3,579

Kebutuhan domestik 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,358

Rasio ketersediaan dan kebutuhan

Cw = Wn

Qpt7,871 5,829 7,018 3,094 1,737 0,541 0,091 0,076 0,076 0,774 2,642 5,750 2,958

Cw dom= Wn Qpt dom

86,212 63,840 76,868 33,891 19,024 5,924 1,001 0,832 0,834 8,477 28,938 62,981 32,402

Hasil evaluasi memperlihatkan bahwa untuk kuantitas tahunan, DDSA berdasarkan ketersediaan lokal di Kota Cirebon belum terlampaui. Untuk total kebutuhan, tersedia air tahunan yang jumlahnya lebih dari dua kali lipat yang dibutuhkan. Sementara untuk kebutuhan domestik, ketersediaan tahunan masih berlimpah, yaitu 32 kali lipat kebutuhan. Untuk perioda bulanan, DDSA aktual sangat bervariasi.

Pada bulan Januari jumlah air tersedia di atas tujuh kali lipat kebutuhan total atau lebih dari 86 kali lipat kebutuhan domestik. Sementara pada musim kemarau, Juli sampai Oktober, terjadi defisit air untuk kebutuhan total, ketika rasio ketersediaan terhadap pemakaian di bawah satu. Untuk kebutuhan domestik, defisit terjadi pada bulan Agustus dan September.

44

Daya Dukung Sumber Daya Air (Ddsa) Kota Cirebon Dan Sekitarnya(M.R. Djuwansah dan A.F. Rusydi)

Gambar 2. Sebaran kualitas air di Kota Cirebon dan sekitarnya.( = air sumur, = air sungai, angka 1 s/d 4 = kelas kualitas air, mS = satuan DHL, fosfat, besi, mangan, dan BOD = parameter pembatas kelas kualitas air)

Pola kenaikan BOD dari hulu kehilir disertai pula dengan penurunan kadar oksigen terlarut (DO) yang dikonsumsi oleh bakteri untuk menguraikan senyawa organik. Di ruas Kasunean, pengurangan oksigen menghasilkan defisit oksigen terlarut yang masih berada di bawah defisit oksigen yang diizinkan. Ini berarti bahwa defisit DO karena pencemaran masih belum membahayakan kehidupan

makhluk hidup lainnya di dalam perairan tersebut. Sementara di ruas Kalijaga, titik pengambilan percontoh terhilir memiliki defisit DO yang melebihi defisit DO yang diizinkan, sehingga membahayakan kehidupan makhluk air. Tetapi karena lokasi ini terletak hanya sekitar 800 m dari laut, dan pengaruh pasang surut permukaan laut sudah demikian kuat, maka air berkualitas buruk ini akan

Dengan menyertakan pasokan air PDAM, maka kebutuhan air di Kota Cirebon terpenuhi, baik untuk kebutuhan domestik maupun kebutuhan total (Tabel 7), yang ditandai dengan indeks Cw yang selalu lebih besar dari satu pada setiap bulannya.

Kualitas Tata Air Kota Cirebon

Sebaran kelas kualitas air di Kota Cirebon beserta parameter pembatasnya disarikan pada Gambar 2. Keasaman (pH = 7,23 – 8,04) dan Daya Hantar Listrik (DHL = 158 – 2000 S) air permukaan yang teramati di sepanjang kedua ruas sungai yang melintasi Kota Cirebon memperlihatkan kualitas air yang baik menurut PP no. 82 tahun 2001. Demikian pula dengan kandungan kation dan anion utamanya, tidak ada yang melebihi ambang batas kualitas air kelas 1. Kandungan zat anorganik terlarut yang dijumpai melampaui batas adalah besi dan mangan, terdapat pada beberapa lokasi pengambilan percontoh baik di ruas Sungai Kasunean maupun Sungai Kalijaga.

Pencemar kedua ruas sungai ini lebih banyak dalam bentuk senyawa organik, dicirikan oleh tingginya nilai kebutuhan oksigen biologis (BOD) disertai dengan tingginya kandungan senyawa yang berasosiasi dengan bahan organik, yaitu senyawa-senyawa nitrogen dan fosfor. Ketika memasuki Kota Cirebon, aliran air sungai pada ruas Kasunean dan Kalijaga memiliki kualitas air kelas dua dan tiga yang diakibatkan oleh tingginya kandungan fosfat dan BOD.

Kandungan terendah BOD air sungai di bagian hulu ruas Kasunean adalah antara 2 dan 4 mg/lyang menempatkan kualitas air di tempat tersebut pada mutu kelas dua. Ke arah hilir BOD meningkat sampai mencapai kandungan di atas 6 mg/l, dengan kata lain kualitasnya menurun menjadi kelas 3. Pada ruas kalijaga, di bagian paling hulu BOD air sungai berada pada tingkat mutu kelas 3 atau dengan kandungan antara 6 – 12 mg/l yang terus meningkat sampai di daerah tepi laut ketika kandungan BOD mencapai 18 mg/l atau kualitas air kelas 4.

Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology)Vol. 22 No. 1 April 2012 : 35 – 48

45

segera terbuang ke laut setiap kali permukaan air laut surut.

Kedua ruas sungai memiliki kandungan fosfat total yang cukup tinggi yang menempatkannya pada kualitas air kelas dua, meningkat semakin ke hilir dan mencapai kualitas kelas tiga di lokasi pengambilan percontoh terhilir. Di samping itu, ruas Kalijaga memiliki pula kandungan nitrit tinggi yang meningkat dan mencapai kandungan kualitas air kelas empat di lokasi pengamatan terhilir.

Dengan acuan air tawar adalah air dengan nilai Daya Hantar Listrik (DHL) kurang dari 1500 µS/cm, maka hampir semua percontoh air tanah dangkal yang diperiksa tergolong air tawar. Meski demikian, beberapa conto memperlihatkan µS/cm kandungan garam yang relaif tinggi (>1000 µS/cm) tetapi masih belum tergolong air payau (1500 – 15000 µS/cm). Air tawar dengan kandungan garam relatife tinggi ini umumnya terdapat di sekitar pantai atau di daerah padat penduduk.

Seperti halnya untuk air sungai, unsur dan senyawa yang kadarnya tinggi dan menjadi penyebab rendahnya kualitas air adalah fosfat, besi, dan mangan. Hanya satu dari semua percontoh yang dianalisis memiliki kandungan fosfat di bawah ambang batas air kelas1 (sumur di Pesunggingan), yang menjadi satu-satunya sumber air setempat yang teramati pada penelitian ini yang memenuhi syarat untuk sumber air minum. Terdapat dua percontoh air tanah dangkal yang mengandung besi dan mangan tinggi yang menyebabkannya tidak layak untuk mengolongkan airnya ke dalam air bermutu kelas 1. Kedua sumur tersebut tidak jauh dari Kali Kesunean, tetapi terpisah jauh antara satu dan lainnya, yang mengindikasikan bahwa sumber pencemarannya adalah setempat, di sekitar kedua sumur yang tercemar.

PEMBAHASAN

Daerah Cirebon, seperti daerah pantura pada umumnya, memiliki iklim yang relatif kering dibandingkan dengan daerah pedalaman Pulau Jawa. Tetapi karena terletak tidak jauh dari Gunung Ciremay yang merupakan hulu Daerah Aliran Sungai yang melaluinya, maka Kota Cirebon menerima kiriman aliran air lebih besar dibandingkan dengan wilayah pesisir sekitarnya, misalnya bila dibandingkan dengan daerah Indramayu. Melihat curah hujan tahunannya, seyogyanya jumlah ketersediaan air wilayah Cirebon akan cukup banyak, dan akan dapat memenuhi kebutuhan aktual Kota Cirebon selama setahun. Tetapi karena adanya variasi bulanan yang diakibatkan oleh fluktuasi musiman, maka ketersediaan air ikut berfluktuasi pula: sangat berlebih pada musim hujan dan mengalami

defisit pada musim kemarau. Sebagai daerah pesisir, tata air Kota Cirebon dibatasi pula oleh kualitas di samping kuantitas. Umum terjadi di daerah pesisir dataran rendah, air laut masuk ke daratan melalui penyusupan air tanah maupun pencemaran genangan air permukaan yang masuk melalui sungai atau saluran-saluran air. Kejadian ini akan terjadi lebih sering dan lebih lama pada musim kemarau, sehingga daerah yang terpengaruh akan lebih luas dengan pengaruh yang lebih kuat. Dengan adanya penurunan kualitas air, maka sejumlah air yang tadinya tersedia untuk pemakaian menjadi tidak dapat dimanfaatkan.

Air tanah daerah pesisir umumnya memiliki kegaraman yang lebih tinggi darpada air permukaan dan kandungan garam meningkat bersama kedalaman. Oleh karena itu pemakaian air tanah di daerah pesisir lebih banyak mengandalkan air tanah dangkal. Sampai saat ini air tawar (<1500 µS/cm) dari sumur di daerah Cirebon masih bisa diperoleh sampai dengan kedalaman 15 - 20 m. Mekipun untuk air minum rasanya kurang enak karena memiliki kandungan garam yang lebih tinggi (antara 1000 – 1500 µS/cm) air ini masih dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan.

Kota Cirebon termasuk kota dengan ukuran sedang untuk Indonesia. Pemakaian air terbesar di kota seukuran ini umumnya adalah untuk memenuhi keperluan domestik, seperti minum memasak, mandi, mencuci, menyiram, dsb. Untuk memenuhi kebutuhan minimum manusia yang menyangkut minum, sanitasi, mandi, dan memasak diperlukan air rata-rata 50 l/orang/hari (Gleick, 1996). Apabila ditambah dengan keperluan rumah tangga lainnya seperti mencuci, membersihkan rumah, menyiram tanaman rumah, dsb. kebutuhan rata-rata diperkirakan sebesar 100 l/orang/hari (Falkenmark, 1991). Angka ini belum termasuk konsumsi air untuk memproduksi bahan-bahan pokok untuk makanan maupun barang keperluan lainnya seperti kain untuk pakaian, kayu dan logam untuk peralatan atau bangunan, dsb.

Konsumsi air untuk memproduksi barang-barang kini dikenal dengan istilah air maya atau virtual water (Hoekstra, drr. 2009). Untuk memproduksi 1 kg beras diperlukan 3000 l air dalam bentuk air irigasi. Untuk memproduksi roti diperlukan gandum yang dalam setiap kilogramnya mengandung 1,35 m3 air maya. Untuk seseorang yang hidup hanya dari roti dengan nilai nutrisi sebesar 2000 kalori per hari berarti secara tidak langsung mengkonsumsi air sebanyak 270 m3 air per tahun. Pada kenyataannya orang memerlukan pula protein dan vitamin yang dalam menu sehari hari diperoleh melalui daging atau telur atau ikan serta sayuran. Setelah ditambah dengan kelengkapan gizi tersebut,

46

Daya Dukung Sumber Daya Air (Ddsa) Kota Cirebon Dan Sekitarnya(M.R. Djuwansah dan A.F. Rusydi)

kebutuhan rata-rata konsumsi air tahunan yang lebih realistis adalah sekitar 400 m3 per tahun atau sedikit lebih dari 1000 l per kapita per hari. Untuk bertahan hidup, seseorang diperkirakan membutuhkan 500 sampai 1000 liter air maya dalam bentuk makanan. Pada tahun 1990, diperkirakan masih ada penduduk bumi yang hanya menkonsumsi makanan dengan jumlah air maya kurang dari 1000 liter (Kandel, 2003), Sementara penduduk negara-negara kaya di Amerika Serikat dan Eropa umumnya mengkonsumsi lebih dari 2000 liter. Berdasarkan perhitungan tersebut di atas maka untuk studi kasus di Kota Cirebon kali ini diadopsi besaran kebutuhan air per kapita per hari sebesar 100 l untuk pemakaian domestik dan 1000 l untuk kebutuhan total.

Apabila kita tambahkan pula angka kebutuhan untuk industri di kota ini, maka tampaknya jumlah kebutuhan akan jauh lebih besar daripada yang terhitung berdasarkan kebutuhan domestik, tetapi jumlah ini tampaknya masih dapat disediakan oleh lingkungan setempat. Untuk kebutuhan yang tidak dipasok oleh PDAM, masyarakat umumnya mempergunakan air yang tersedia di lingkungannya, berupa air permukaan dan air tanah dalam maupun air tanah dangkal yang diambil dari sumur gali atau sumur bor. Air lingkungan banyak digunakan pula untuk memenuhi kebutuhan industri, selama industri tersebut tidak memerlukan air yang berkualitas baik, kelas 1 atau kualitas air minum, maka air dapat diperoleh dari air sumur atau air tanah dalam dengan lebih mudah dan murah dibandingkan dengan air PDAM.

Berdasarkan pendugaan basis data faktor-faktor hidrologi, hujan yang jatuh di bagian hulu Daerah aliran sungai-sungai yang melintas Kota Cirebon mengirim air yang jumlahnya sekitar tiga kali lipat daripada yang jatuh di atas wilayah kota. Sebagian besar air akan melintas kota dalam bentuk aliran permukaan, sebagai air sungai, dan yang dilalirkan melalui saluran buatan atau Irigasi yang difungsikan sebagai saluran penggelontor di daerah perkotaan. Luah aliran yang melintas ini juga berfluktuasi menurut waktu turunnya hujan, sebagian besar mengalir sebagai aliran tinggi beberapa saat setelah hujan turun di hulu, sebagian lainnya mengalir berangsur sebagai aliran rendah. Sedang yang melintas melalui aliran air tanah akan jauh lebih sedikit. Sangat sedikit pemanfaatan langsung air permukaan untuk berbagai penggunaan karena kesan kotor jelas terlihat pada air yang mengalir di saluran-saluran, bahkan pada air sungai. Dilihat dari fungsi utamanya maka tampaknya air permukaan yang melintas di Kota Cirebon hanya bertindak sebagai penggelontor yang menghanyutkan kotoran-kotoran dan limbah kota ke hilir.

Analisis DDSA (Tabel 6 dan 7) memperlihatkan bahwa defisit kebutuhan pada musim kemarau dipenuhi oleh pasokan air bersih PDAM dari luar kota sebelah hulu, dengan jumlah yang hampir mendekati kebutuhan total air bersih domestik. Besarnya persentase pelanggan PDAM terhadap total jumlah penduduk memperlihatkan rendahnya minat masyarakat untuk menggunakan air lingkungan, mungkin disebabkan oleh kualitas air yang kurang memadai. Air yang buruk akan segera terasa apabila digunakan untuk air minum. Sementara apabila digunakan untuk mencuci tidak baik karena daya larutnya yang rendah. Kualitas air akan berubah-ubah pula mengikuti kuantitas. Kualitas air lingkungan terjelek di daerah perkotaan biasanya didapati pada musim kemarau, berkurangnya luah air menyebabkan kandungan limbah menjadi lebih pekat. Pada musim penghujan ketika jumlah air berlimpah, kualitas air akan lebih baik karena adanya pengenceran, meski untuk aliran permukaan yang deras biasanya terdapat kendala lain oleh besarnya bahan hasil erosi tanah yang terangkut (suspended solid) yang membuat air menjadi keruh.

Hasil analisis memperlihatkan bahwa pada bulan April, air permukaan (air sungai) yang melintasi Kota Cirebon sudah tercemar semenjak memasuki kota karena kandungan BOD telah tinggi, sehingga mutu air aliran di kedua sungai hanya tergolong kelas 2 dan 3. Sungai-sungai dan saluran air sebelum masuk ke Kota Cirebon melalui pula perkampungan-perkampungan dan daerah pertanian yang juga melepaskan limbah ke dalam aliran air. Pencemar lain yang kandungannya tinggi di dalam air sungai adalah fosfat dan nitrit. Di daerah-daerah pertanian, sumber fosfat dan nitrit bisa pula berasal dari kelebihan dosis pemupukan atau limbah ternak atau limbah pestisida, dsb. Di dalam kota, pencemaran bertambah pekat oleh limbah domestik, tapi dengan jenis zat pencemar yang sama yaitu fosfat dan BOD. Fosfat di perairan perkotaan adalah tipikal limbah rumah tangga. Statistik menunjukkan sumber fosfat alam yang berasal dari lingkungan sebesar 10 persen, berasal dari induntri 7 persen, detergen 11 persen, pupuk pertanian 17 persen, limbah manusia 23 persen, dan dari limbah peternakan 32 persen (Morse 1993). Walaupun data statistik ini belum tentu mewakili wilayah Indonesia, namun paling tidak memberi gambaran bahwa aktivitas manusia adalah penyumbang limbah fosfat terbesar. Sementara nitrit dan senyawa nitrogen anorganik lainnya umum berasal dari limbah pertanian (WHO, 2007).

Di samping itu, secara setempat terdapat pula pencemar tambahan berupa nitrit dan logam berat besi dan mangan. Pola penyebaran besi dan mangan yang berkelompok pada area tertentu, baik di dalam air tanah dangkal maupun pada aliran

Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology)Vol. 22 No. 1 April 2012 : 35 – 48

47

kemungkinan industri, yang menyebar melalui aliran permukaan dan kemudian mencemari air tanah. Sumber lain bisa berasal dari tanah setempat yang mengandung besi dan mangan tinggi dan menyebabkan tingkat kelarutan tinggi di dalam air.

Penelitian daya pulih aliran memperlihatkan pula bahwa perbaikan alami kualitas air aliran di sungai masih berjalan, tetapi luah limbah yang masuk masih lebih besar dari kecepatan pembersihan oleh mekanisme oksidasi pengaliran. Hasil penelitian di atas memperlihatkan tingkat pengotoran yang masih memungkinkan berlangsungnya pemurnian. Kandungan bahan organik di dalam air biasa dinyatakan dalam kebutuhan oksigen (DO, BOD, dan COD) pada air permukaan. Berdasarkan parameter-parameter tersebut, kondisi perairan Kota Cirebon pada musim hujan masih berada di bawah batas kritis. Kondisi terburuk dijumpai menjelang muara Kalijaga ke laut karena aliran sering terhambat air pasang. Apabila aliran ini tidak langsung mengalir ke laut, dengan luah yang tetap sama tanpa pengenceran atau pengentalan, pemulihan kualitas air akan terjadi setelah air mengalir sejauh kira-kira 14 km atau dalam waktu 1 hari.

Kondisi DDSA aktual (pada bulan April 2011) memperlihatkan bahwa pemakaian Sumber daya air di Kota Cirebon telah menyebabkan penurunan kualitas air permukaan dari kualitas kelas 2 menjadi kualitas kelas 3 di ruas Kasunean dan kelas 4 di ruas Kalijaga oleh tingginya kandungan BOD. Kualitas air permukaan ini telah mencemari air tanah dangkal. Hasil analisis memperlihatkan pula bahwa limbah fosfat mencemari hampir semua sumur (air tanah dangkal) di Kota Cirebon. Sementara limbah lainnya (nitrit, besi, dan mangan) mencemari secara setempat di sekitar sumber limbah. Kesemua limbah ini menyebabkan hanya satu dari semua air sumur yang diperiksa di daerah penelitian yang layak digunakan sebagai air minum. Sedang yang lain tidak memadai namun masih bisa dipergunakan untuk berbagai penggunaan lainnya. Pola penyebaran pencemaran yang relatif merata di seluruh kota (nonpoint source), serta dengan kenaikan perlahan konsentrasi ke arah hilir, memperlihatkan karakteristik sumber yang berasal dari limbah rumah tangga. Fosfat dan nitrit terdapat banyak pada detergen, sisa makanan dan bahan-bahan kimia lain yang sering digunakan di rumah tangga. Pencemaran air tanah dangkal tampaknya terjadi karena sistem parit pengaliran air limbah yang langsung di atas tanah, sehingga dapat segera mencapai permukaan air tanah yang sangat dangkal, umumnya di bawah kedalaman 1 m.

SIMPULAN

1. Dengan memanfaatkan data dan peta faktor- faktor hidrologi beserta data kependudukan, DDSA suatu wilayah dapat dikuantifikasi dan dievaluasi dengan pendekatan ketersediaan dan pemakaian.

2. Jumlah pemakaian air tahunan di Kota Cirebon masih di bawah jumlah ketersediaan lokalnya, tetapi berdasarkan kebutuhan total bulanan terjadi defisit pada bulan Juni sampai Oktober dan pada bulan Juli-Agustus.

3. Kebutuhan air di Kota Cirebon dapat terpenuhi dengan adanya pasokan air bersih untuk kebutuhan domestik dari luar kota di sebelah hulu. Tampaknya untuk pengembangan Kota Cirebon di masa datang, ketergantungan akan sumber air bersih dari luar kota di sebelah hulu sulit untuk dihindarkan.

4. Pemakaian air di Kota Cirebon menghasilkan limbah yang jumlahnya melebihi ambang yang bisa dibersihkan oleh aliran alaminya, sehingga menurunkan kualitas air permukaan. Pencemaran ini tampaknya telah pula mencapai air tanah dangkal.

5. Kota Cirebon hanya bisa mengandalkan sumber air setempat pada musim hujan saja, dari sebagian air tanah dangkalnya, terutama di lokasi-lokasi yang jauh (lebih dari 1 km) dari pantai. Untuk bisa memanfaatkan air tanah secara optimal, aliran limbah perlu dikendalikan/diolah agar pencemaran air permukaan ke dalam air tanah di Kota Cirebon dapat diminimalkan.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kami ucapkan kepada Drs. Ade Suriadarma dan Drs Dadan Suherman yang telah membantu kelancaran penelitian ini. Terima kasih pula untuk ibu-ibu dan bapak-bapak di laboratorium air dan tanah: Dewi Nurbaeti, Sari Asmanah, Nining Karningsih, Dadi Sukmayadi dan Wahyu yang telah melakukan analisis kimia. Penelitian ini dibiayai oleh DIPA Puslit Geoteknologi LIPI yahun 2011.

48

Daya Dukung Sumber Daya Air (Ddsa) Kota Cirebon Dan Sekitarnya(M.R. Djuwansah dan A.F. Rusydi)

ACUAN

Anonim. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Anonim, 2007. Nitrate and nitrite in drinking- water. Background document for development of WHO Guidelines for Drinking-water Quality. WHO/SDE/ WSH/07.01/16

Baize D., 1988. Guide des analyse courantes en pedologie: choix, expression, presentation, interpretation. Institute National de la Recherche Agronomique, Paris.

Chamayou H., and J.P. Legros, 1989. Les bases physiques, chimiques et mineralogiques de la science du sols. Presses universitaire de France - Paris.

Djuwansah M., 2010. Simulasi Ketersediaan Air Bulanan secara spasial berdasarkan basis data faktor-faktor Sumber daya air: Kasus sub-DAS Hulu Citarum. Teknologi Indonesia Vol.33, No.1. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Falkenmark, M., 1991. Approaching the Ultimate Cosutraint: Water Short. Third Word Countries at a Fatal Cross Road. Study week on Resources and Population , Political Academy, 17-22 November 1991. Vatican City.

Foth H. D., and L.M. Turk, 1972. Fundamental of Soil Sciences: Energy concept of Soil water. Willey International edition.

Gleick, P.H., 1996. Basic Water Requirements for Human Activities: Meeting Basic Needs. Water International, 21 (1996) 83-92. IWRA

Hehanussa P.E. dan G.S. Haryani, 2001. Kamus Limnologi (Perairan darat). International Hidrological Program – UNESCO.

Hoekstra A.Y, A.K Chavagain, M.M. Aldaya, M.M. Mekkonen, 2009. Water Footprint Manual, state of the art 2009. Water footprint network. Enschede, the Netherlands.

Kandel R. S., 2003. Water From Heaven, The story of Water from the Big Bang to the Rise of Civilization. Cambridge Unv. Press.

Ling, Xu., L. Zhihong and D. Jing, 2010. Study on Evaluation of Water Ressources Carrying Capacity. Int.Conference on Biology And Chemictry IPBCEE vol.1 (2011) IACSIT Press Singapore.

Mc Cuen R. H., 1982. A Guide to Hydrologic Analyses using SCS methods. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, N.J. 07632

Mohrr, C.C.J.,F.A Van Barren, and J.V Schuylenborg, 1972. Tropical Soils. A Comperhesive Study of Their Genesis. Muoton. The Hague, Netherlands.

Morse. 1993, The Economic and Environmental Impact of Phosphorus removal from Wastewater in the Eropean Community. Water science of Technology, vol 37, issue 3, 1998.

Silitonga, P.H., M. Masria dan N. Suwarna, 1996. Peta Geologi Lembar Cirebon, Jawa. Pusat penelitian dan Pengembangan Geologi.

Wang Zongying, 2006. A Twin Pointers Model for Water Resources Carrying Capacity And Challenge of water resources Managemant in China. Tsing Hua University.

Zhang, Y., J. Xia and Z. Wang, 2010. Intergrated Water Resources Carrying capacity in Tongzhou district, Beijing City. J. Ressources Ecology no. 1. Vol.3.