imissu single sign on of udayana university · 2017. 7. 25. · pengaruh globalisasi yang melanda...

35

Upload: others

Post on 06-Aug-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya
Page 2: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya
Page 3: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya
Page 4: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

Bagian Pertama

KONSEP-KONSEP KECANTIKAN : Dari Tradisi ke Globalisasi

A. Beberapa Catatan Konsep Cantik

Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah

menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya juga akhirnya melahirkan

ideologi baru pula dengan cirri-ciri yang berbeda sebelumnya. Dunia seakan tanpa batas

rang dan waktu. Globalisasi menjadi suatu penanda era baru bahwa “demam” baru telah

muncul. Tak seorangpun mampu memebendung ataupun menolak “demama” baru itu.

Dunia yang benar-benar baru, atau sekedar rekayasa baru tidaklah terlalu penting, karena

diksi “baru” menjadi ideology yang diusung globalisasi. Ini berarti banyak tatanan social

budaya dalam kehidupan masyarakat yang mengalami perubahan, dari yang bersifat

radikal, cepat, instant, maupun yang bersifat evaluative, lamban dan penuh

pertimbangan.Secara ironi, Barker (2005:: 133) member pejlsan dan sekaligus mengakui

bahwa wacana globalisasi turut memberikan kekacauan baru dalam konteks perubahan

budaya yang secara multidimensional saling terkait dengan bidang ekonomi, teknologi,

agama, gender dan identitas. Lebih lanjut, dikatakan bahwa proses globalisasi yang

berciri ekonomi banyak mengacu pada sekumpulan aktivitas ekonomi sebagai praktik-

praktikkapitalisme dalam hal ini terkait dengan isu-isu makna cultural dan proses-proses

cultural global (Barker, 2005: 150).

Begitu menjelajah pengaruh globalisasi hingga hampir menyentuh pada semua

aspek kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya tubuh (body) juga mengalmi

transplantasi globalisasi. Kaum perempuan mengalami estetisasi melalui proses

konstruksi. Laki-laki juga tidak ketinggalan dengan gaya yang semakin sulit dibedakan

antara tempat yang satu dengan lainnya. Globalisasi adalah kekuasaan media massa,

karena kehadiran media tidak bisa diabaikan dalam mengkonstruksi kecantikan tubuh

perempuan. Konstruksi kecantikan yang dibangun oleh media adalah kecantikan dengan

criteria universal, seperti kulit putih, tinggi, wajah simetris, pinggul ramping dan

payudara peuh berisi. Idealisme kulit putih ini misalnya, dapat dilihat dari berbagai iklan

Page 5: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

produk pemutih di majalah, televisi, mulai dari pemain sinetorn, model, penyanyi dan

artis-artis lain yang mayorotas berkulit putih.

Pada dasarnya kecantikan bukan merupakan entitas yang berdiri sendiri. Dia

memiliki akar dalam budaya suatu masyarakat. Kebudayaan suatu masyarakat sangat

dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat komunitas itu berada. Keadaan geografis,

iklim, potensi dan tantangan-tantangan alam juga sangat menentukan wujud kebudayaan.

Keragaman mata pencaharian, pola hidup dan aspek-aspek kebudayaan yang dilahirkan

berikutnya, mulai dari budaya fisik, sampai ke idelogi masyarakat sangat dipengaruhi

oleh factor alam. Karenanya kebudayaan dikatakan sebagai strategi manusia dalam

melakukan adaptasi terhadap lingkungan mereka, sebab kondisi lingkungan yang

berbeda-beda sangat potensial bagi terbentuknya keragaman budaya masyarakat yang

menempatinya (Purwanto, 2000:v). Paka lain juga menyatakan bahwa system budaya

juga berfungsi sebagai resep untuk bertindak atau model tentang (model of) dan model

untuk (model for), sehingga dalam kecantikan tubuh juga ada nlai yang mengatur

(Geertz, 1999; Atmadja, 2007:13).

Berkaitan dengan hal tersebut, knsep-konep tentang keindahan yang dianut, tentu

berbeda antara satu masyarakat yang mendiami suatu daerah dengan masyarakat lain

yang juga berada di daerah lain.Dalam konteks budaya Bali, konsep tentang kecantikan

tubuh perempuan banyak ditemukan pada ungkapan-ungkapan sastra, lontar atau yang

hidup dalam tradisi lisan. Sumber-sumber lain seperti lontar(Rukmini Tatwa), ceritera-

ceritera rakyat (mitos) juga berperan dalam pembentukan kesan melalui karakter tokoh

utama perempuan yang mempunyai citra cantik.

Uraian di atas telah menggambarkan bahwa sejak dahulu di dalam kebudayaan Bali terdapat

berbagai aspek antara lain sastra dan upacara keagamaan yang mencerminkan konsepsi tentang

kecantikan, dan dapat diacu dalam mengkonstruksikan kecantikan kaum perempuan Bali. Akan

tetapi konstruksi kecantikan tubuh perempuan Bali pada era globalisasi dewasa ini tidak hanya

mengacu pada aspek sosial budaya masyarakat Bali (budaya lokal) tetapi lebih banyak

berorientasi pada pasar yang berpengaruh kuat melalui berbagai media. Ini berarti bahwa ada

aspek sosial budaya Bali yang merupakan acuan bagi konsepsi tentang kecantikan telah

terdesak oleh budaya global dalam proses konstruksi kecantikan tubuh perempuan. Padahal

menurut teori akulturasi, unsur-unsur sosial budaya yang telah lama mengakar dalam kehidupan

Page 6: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

masyarakat, apalagi unsur-unsur sosial budaya tersebut menyangkut aspek keagamaan biasanya

sangat sulit berubah walaupun bersentuhan secara intensif dengan budaya asing

(Koentjaraningrat, 1990).

Dalam konteks di atas, maka ada tiga hal yang menarik untuk dikaji melalui penelitian

secara mendalam, yaitu (1) konsepsi kecantikan yang menjadi acuan dalam konstruksi

kecantikan tubuh perempuan pada masyarakat dan budaya Bali masa kini, (2) mekanisme kerja

unsur-unsur budaya global dan budaya lokal dalam proses konstruksi kecantikan tubuh

perempuan Bali, dan (3) praktik-praktik pemaknaan yang dilakukan oleh kaum perempuan Bali

terhadap konstruksi kecantikan tersebut.

B. Rekonseptualisasi Citra Perempuan Bali

Riset-riset tentang kecantikan perempuan Bali telah banyak dilakukan, terutama yang

berkaitan dengan persoalan konstruksi kecantikan. Sudiarta (2006), mengungkapkan bahwa,

konsep-konsep kecantikan tradisional yang ada di Bali, hidup di tengah masyarakat dalam

bentuk ungkapan yang menjadikan benda alam sebagai anasir dan asosiasi untuk menyatakan

keindahan dan kecantikan wajah dan tubuh seorang wanita. Pencitraan sebagai konsep

kecantikan yang melampaui bentuk, digunakan wanita-wanita cantik dalam mitologi sebagai

pengibaratan.

Hasil penelitian Aquarini Priyatna Prabasmoro (2003) dalam tulisannya dengan judul

Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Femininitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun,

memfokuskan penelitiannya pada selebritis perempuan Indo yang direpresentasikan dalam iklan

sabun dan budaya perempuan dalam hubungannya dengan gagasan keputihan, dengan fokus

perhatian pada dua selebritis papan atas Indonesia, yaitu Tamara dan Latjuba. Substansi buku ini

menjelaskan bahwa, kulit putih dianggap sebagai ras superior, karena itu dinormalkan dan

diidealkan. Bahkan putih dan keputih-putihan adalah hal yang signifikan, bukan saja dalam

katagori sebagai ras, melainkan juga dalam definisi dan konstruksi kecantikan femininitas,

seksualitas, dan domestisitas perempuan. Persepsi kecantikan dan keterkaitannya dengan kulit

putih adalah sesuatu yang mempunyai sejarah cukup lama, dan iklan sabun itu menjadi agen

rasisme, kolonialisme, dan imperialisme. Dijelaskan lagi, bahwa iklan dan konstruksi kecantikan

tergantung pada kebudayaan yang menjajah (imperial culture) dan alam yang terjajah (colonized

Page 7: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

nature) sebagai dikotomi hitam/putih. Kulit hitam dianggap sebagai “alam”, yang dalam konteks

ini mengimplikasikan seseorang yang tidak berbudaya, tidak beradab, liar, dan juga orang kotor

dan tercemar yang perlu dipurifikasi. Kajian ini kiranya dapat diduga sepenuhnya berada dalam

ranah globalisasi, tanpa melirik unsur-unsur lokal (kearifan lokal), yang sampai saat ini masih

cukup berperan dalam mengkonstruksi kecantikan perempuan, di samping juga budaya modern

dan populer. Berdasarkan dugaan tersebut, maka hal-hal yang belum disoroti, dikaji dalam

penelitian ini. Dengan demikian, pentingnya kajian tersebut penting untuk membangun dugaan

sekaligus membuktikannya, sehingga diperoleh hasil yang menunjukkan originalitas penelitian.

Selanjutnya, kajian Melliana (2006), tentang “Menjelajahi Tubuh Perempuan dan Mitos

Kecantikan”, menjelaskan bahwa perempuan metropolis dari golongan menengah ke atas, lebih

banyak terpengaruh oleh iklan dan media massa, serta strategi kapitalisme yang memang lebih

ditujukan bagi mereka. Karena itu, perempuan ini lebih mudah mengalami citra tubuh negatif

karena adanya kesenjangan antara citra tubuh ideal dan citra tubuh nyata. Sebaliknya, bagi kaum

perempuan dari kalangan sosial-ekonomi bawah, tidak begitu terpengaruh oleh kapitalisme dan

konsumerisme, di samping karena daya belinya rendah, juga waktu yang dimiliki sangat terbatas.

Hasil kajian Melliana ini jelas memfokuskan perhatian pada kecantikan perempuan dalam

konteks globalisasi, namun tidak sampai pada pergulatan globalisasi, negara dan unsur budaya

lokal dalam mengkonstruksi kecantikan perempuan. Karena itu, pemikirannya dapat dijadikan

pedoman dalam menentukan arah penelitian ini, agar dapat memperlihatkan originalitas.

C. Pendekatan-pendekatan Konstruksi Kecantikan

Konstruksi diartikan sebagai suatu proses untuk membentuk atau membangun

sesuatu hal tertentu. Konstruksi kecantikan diartikan sebagai proses pembentukan tubuh

perempuan supaya menjadi cantik. Konstruksi yang dimaksud dalam hal ini adalah

konstruksi sosial, yaitu suatu cara untuk membentuk realitas sosial tertentu. Dalam hal

ini konstruksionisme sosial menekankan bagaimana realitas keadaan dan pengalaman

tentang sesuatu diketahui dan diinterpretasi melalui aktivitas sosial (Lupton, 1994.;

Berger, 1991: 3, dan Abdullah, 1995: 23). Dalam konteks ini Berger (1994: 23) juga

menyatakan bahwa konstruksi sosial sebagai suatu cara, yang meliputi tiga tiga hal, yaitu

(1) eksternalisasi, merupakan proses kreatif atau ekspresi diri manusia di dalam

membangun tatanan kehidupan, atau biasa juga diartikan sebagai proses penyesuaian diri

Page 8: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

manusia dengan lingkungannya; (2) objektivasi, adalah proses menjadikan tatanan

kehidupan yang dibangun oleh manusia sebagai suatu realitas objektif yang terpisah

dengan subjektivitas; .dan (3) internalisasi, merupakan proses yang mana nilai-nilai

general atau realitas obyektif dipelajari kembali oleh individu dan dijadikan sebagai

bagian dari hidupnya. Hal ini menyangkut identifikasi individu ke dalam realitas

obyektif.

Dalam konstruksi, terdapat stimulus lingkungan sosial budaya yang dilihat,

didengar, dan dialami sendiri oleh manusia, kemudian diinterpretasi dan dipersepsi oleh

mereka sesuai dengan pengalaman masing-masing. Selanjutnya, terinternalisasi,

menghasilkan respons-respons dalam menghayati citra diri, serta berpengaruh dalam

proses sosial. Dalam konstruksi ini akan terjadi pengurangan atau penghilangan gagasan-

gagasan atau nilai-nilai tertentu (dekonstruksi), karena dianggap sudah tidak sesuai

dengan perkembangan zaman sebaliknya penghidupan kembali unsur-unsur yang dulunya

hampir hilang (reproduksi), karena mampu memenuhi kepentingan (Abdullah, 2006: 41).

Berdasarkan paparan tersebut, tampaknya konsep kecantikan, perlu dibedakan antara

yang klasik, modern, dan postmodern. Kecantikan klasik lebih mengarah pada ukuran-ukuran

tubuh yang proporsional sesuai dengan konsepsi ideal yang digariskan oleh budaya, dan

perpaduan antara kecantikan fisik dan mental (inner buauty), serta menekankan pada keselarasan

hubungan dengan alam. Kecantikan tradisional banyak mengambil perumpamaan dari keindahan

alam. Kecantikan modern, lebih mengarah pada keseragaman atau universalitas, seperti kulit

putih, dan ukuran-ukuran tubuh yang proporsional, dan semuanya mengarah pada hal-hal yang

modern. Sedangkan kecantikan postmodern, adalah kecantikan yang mengacu pada makna

pluralitas, heterogenitas dan bersifat sangat subyektif. Dalam penelitian ini, yang dimaksud

adalah ketiga konsepsi tersebut (klasik, moderen dan posmodern). Ketiganya masih

memperlihatkan saling keterkaitan, yakni unsur-unsur atau ide-ide kecantikan klasik (tradisional)

yang masih ada dan diacu dalam mengkonstruksi kecantikan tubuh perempuan, baik modern

maupun posmodern.

D. Beberapa Pandangan Teoritik

Berger menjelaskan ada keterlibatan individu dalam proses konstruksi sosial. Realitas

sosial terbentuk melalui proses dialektika antara diri (the self) dengan dunia sosiokultural.

Page 9: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

Manusia sebagai pencipta realitas sosial, sebaliknya realitas sosial membentuk manusia.

Realitas sosial mengandung skema-skema tifikasi atas mana orang lain dipahami dan

diperlukan (Berger dan Luckmann, 1990: 44). Kesadaran individu akan lingkungan sosial

dan budayanaya akan membentuk masyarakat, dan bersamaan dengan itu “dunia” yang

dibentik individu dengan masyarakat pada gilirannya akan mempengaruhi pula ke dalam

kesadaran seseorang.

Pada intinya teori konstruksi sosial menekankan pada sistem pengetahuan individu

dalam suatu kebudayaan. Setiap tindakan atau interaksi sosial selalu dibimbing oleh suatu

sistem pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat. Pengetahuan ini menyediakan

petunjuk-petunjuk praktis untuk interaksi para individu dalam masyarakat. Individu-individu

secara intersubyektif berbagi pengetahuan satu dengan yang lainnya dan secara kontinyu

memodifikasi pengetahuan tersebut (Nugroho, 2001; Atmadja, 2007: 2). Sedangkan menurut

Geertz (1973; Keesing, 1992; Atmadja, 2007), bahwa pengetahuan berfungsi sebagai sistem

bertindak dan atau sarana untuk menginterpretasi maupun memberikan makna terhadap suatu

kondisi, sebagaimana tercermin pada tindakan mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Sistem pengetahuan dalam konstruksi sosial diperoleh melalui dialektika individu dengan

kebudayaannya yang terjadi dalam tiga proses yang berlangsung simultan, yakni

internalisasi, objektivasi dan eksternalisasi (Berger dan Lucmann, 1990; Berger, 1994;

Abdullah, 2006a; Koeswinanrno, 2007). Eksternalisasi merupakan proses ekspresi diri

manusia secara kreatif dalam membangun tatanan kehidupan untuk mengimbangi dirinya

dengan cara membangun suatu dunia. Hanya dalam suatu dunia yang dihasilkan oleh dirinya

sendiri manusia bisa menempatkan dan merealisasikan diri. Dengan demikian eksternalisasi

merupakan proses penyesuaian diri manusia dengan lingkungannya (Berger, 1994: 5).

Dengan demikian eksternalisasi merupakan proses penyesuaian diri manusia dengan

lingkungannya (Berger, 1994: 5). Objektivasi adalah proses menjadikan tatanan kehidupan

yang dibangun oleh manusia sebagai suatu realitas objektif yang terpisah dengan

subjektivitas. Berdasarkan kemampuan mengekspresikan diri, manusia dapat mengadakan

objektivasi. Artinya ia memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang

tersedia, baik bagi penciptanya maupun bagi orang lain sebagai unsur dari hidup bersama.

Objektivasi menyangkut pemberian makna-makna oleh manusia kepada kegiatan dan

Page 10: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

kebiasaan-kebiasaan, sehingga tidak diperlukan pendefinisian kembali pada setiap situasi.

Proses-proses pembiasaan merupakan langkah awal dari pelembagaan atau proses

pembudayaan. Tindakan-tindakan berpola yang sudah dijadikan kebiasaan, membentuk

lembaga-lembaga yang merupakan milik bersama. Lembaga-lembaga ini mengendalikan atau

mengatur perilaku individu (Berger, 1990: 75).

Bagian Kedua

Ruang-Ruang Kcantikan di Kota Denpasar

A. Denpasar Yang Berubah

Kota Denpasar adalah salah satu kota di antara sembilan kabupaten/kota yang ada

di Provinsi Bali. Secara historis Denpasar pada awalnya adalah pusat kerajaan Badung.

Oleh karena itu, Kota Denpasar merupakan perkembangan dari ruang kota kerajaan, dan

Puri Denpasar sebagai pusat pemerintahan ketika itu. Secara etimologis, Denpasar berasal

dari dua kata yaitu kata den dan pasar. Kata den berarti utara, sedangkan kata pasar

berarti pasar atau peken. Denpasar berarti di utara pasar, yang sekaligus juga

menunjukkan lokasi puri saat itu berada di sebelah utara pasar (Salain, 2005: 143). Selain

menunjukkan lokasi puri, kehadiran pasar bisa juga diartikan sebagai tanda dari

perkembangan perekonomian suatu masyarakat.

Pada perkembangan selanjutnya, Denpasar kemudian menjadi pusat pemerintahan

Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, berikut tahun 1958 Denpasar juga menjadi pusat

pemerintahan Provinsi Tingkat I Bali. Sebagai pusat pemerintahan Daerah Tingkat II

Badung dan Tingkat I Provinsi Bali, Denpasar mengalami perkembangan sangat pesat

baik secara fisik, demografi, ekonomi maupun sosial budaya. Kondisi fisik dan perilaku

masyarakat yang sedemikian maju saat itu menunjukkan ciri-ciri dan sifat-sifat

perkotaan.

Sebagai Ibukota Daerah Tingkat II Badung, sekaligus Ibukota Provinsi Bali,

Denpasar dengan status sebagai Kota Administratif, sama juga dengan kota-kota lain di

Indonesia terus mengalami pertumbuhan penduduk serta laju pembangunan di segala

bidang. Pertumbuhan penduduk yang mencapai 4,05 persen per tahun, dibarengi oleh laju

pembangunan di berbagai sektor misalnya, tentu membawa dampak besar terhadap

kondisi kota Denpasar. Kenyataan ini pada akhirnya memunculkan berbagai

Page 11: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

permasalahan perkotaan, baik secara fisik maupun sosial budaya, yang harus diselesaikan

oleh pemerintah kota administratif, baik dalam memenuhi kebutuhan maupun tuntutan

masyarakat perkotaan yang terus meningkat.

Denpasar dengan empat wilayah kecamatan yakni Kecamatan Denpasar Barat,

Denpasar Timur, Denpasar Selatan, dan Denpasar Utara serta berdasarkan kondisi

obyektif yang telah dipaparkan di atas, tampaknya sudah tidak representatif dengan status

sebagai kota administratif. Berdasarkan atas berbagai pertimbangan antara daerah

Tingkat I, daerah Tingkat II, dan pemerintah pusat, akhirnya dicapai kesepakatan untuk

meningkatkan status Kota Administratif Denpasar menjadi Kota Denpasar.

B. Dinamika Sosial Budaya Denpasar

Secara historis penduduk Pulau Bali memeluk Agama Hindu dan sampai saat ini

masih dipegang teguh. Penduduk Kota Denpasar dengan derajat heterogenitas yang

cukup tinggi, dapat dilihat dari keberagaman warganya yang menyangkut asal-muasal,

agama, suku bangsa, dan ras. Dari segi agama, tampak pemeluk agama Hindu adalah

yang tertinggi.

Dalam kehidupan beragama yang berlandaskan filsafat Hindu (tatwa, etika, dan

ritual), orang Bali memiliki tujuan hidup seperti yang digariskan dalam kitab suci Veda,

yaitu mokshartam jagatdhita ya ca iti dharma yaitu tujuan agama adalah untuk mencapai

kesejahteraan dan kebahagiaan jasmani dan rohani, baik di dunia maupun di akhirat.

Untuk mencapai tujuan hidup ini, orang Bali memiliki lima keyakinan yang terakumulasi

dalam ajaran Hindu yang disebut panca crada, yang mencakup (a) percaya kepada Tuhan

Yang Mahaesa (widhi crada); (b) percaya dengan adanya atman (jiwa) pada setiap

makhluk, atman (jiwa) yang terdapat pada manusia disebut jiwatma (yang berasal dari

parama atma, atau Tuhan) (atma cradha); (c) percaya dengan hukum sebab dan akibat,

yang intinya bahwa setiap tindakan atau perbuatan seseorang akan mendapatkan hasil

sesuai dengan perbuatannya (karmaphala cradha); (d) percaya dengan reinkarnasi atau

kelahiran setelah meninggal dunia (punarbawa crada); dan (e) percaya dengan adanya

moksa, yaitu kebahagiaan yang kekal abadi (moksha crada). Dengan adanya kepercayaan

tersebut, orang Bali menghindari diri untuk berbuat yang dapat menimbulkan dosa, dan

sebaliknya berusaha berbuat kebajikan. Baik dalam bersikap, berprilaku maupun

Page 12: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

bertindak, orang Bali pada umumnya teringat pada makna hukum karmaphala dan

reinkarnasi seperti di atas.

Orientasi nilai budaya orang Bali yang beragama Hindu lebih mengutamakan

keharmonisan atau keselarasan. Nilai-nilai filosofis tri hita karana misalnya,

memberikan suatu konsep keharmonisan atau keselarasan dalam hubungan dengan

Tuhan, sesama, dan lingkungan alam dan fisik sekitarnya. Dijiwai oleh nilai-nilai

filosofis konsep desa-kala-patra yang mencakup pandangan tentang dimensi ruang,

waktu, dan keadaan, orang Bali beradaptasi dan menerima keberagaman dalam suatu

kesatuan. Nilai-nilai konsep desa-kala-patra ini memberikan fleksibelitas kepada orang

Bali dalam berkomunikasi dan berinteraksi, baik dengan orang-orang yang berasal dari

Bali sendiri maupun dari luar Bali.

Selain itu, perkembangan pariwisata yang semakin pesat di Kota Denpasar,

dibarengi pula oleh munculnya berbagai jenis usaha yang bergerak di bidang jasa dan

industri. Usaha-usaha jasa ini, di samping bergerak langsung di bidang pariwisata,

seperti hotel, tour guide, travel agent, art shop, restoran atau café, juga sebagai

penunjang untuk kepentingan pariwisata, seperti (mal, super market, mini market).

Berbagai jenis industri kerajinan baik berskala eksport maupun untuk pemenuhan

wisatawan domestik juga tumbuh subur di Kota Denpasar.

Kemunculan berbagai jenis usaha yang telah disebutkan di atas, berdampak

positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Ketiga sektor ini, yakni sektor perdagangan,

hotel, dan restoran, sektor jasa, serta sektor industri, telah mampu memberikan

penghidupan yang lebih menjanjikan bagi warga Kota Denpasar. Tingginya tenaga kerja

yang terserap, merupakan tanda bahwa sektor ini cukup fleksibel dan mampu

memposisikan pekerja sesuai kualifikasi yang dimiliki. Mereka yang terlibat dalam

bidang ini berasal dari semua golongan, tua-muda, laki-perempuan, berpendidikan

rendah-tinggi, semuanya mendapat tempat di sini. Tingginya aktivitas warga dalam

bidang ini, menjadikan Denpasar sebagai kota yang tidak pernah tidur. Dalam

keseharian, lalu lalang kendaraan dimulai sejak pagi, hingga pagi hari lagi oleh laki-laki

dan perempuan untuk pergi ke tempat kerja. Di tempat-tempat hiburan para wisatawan,

Page 13: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

seperti di Sanur, atau di pasar-pasar tradisional, seperti pasar Badung, pasar Kreneng,

tampak aktivitas berlangsung selama 24 jam.

Bagi kaum perempuan, keterlibatannya di sektor publik (lapangan kerja),

memberi dampak positif karena secara ekonomis mereka menjadi lebih mandiri. Di sisi

lain, mereka juga dituntut untuk dapat menampilkan diri sesuai dengan aturan yang

berlaku di tempat kerja. Untuk itu, tempat-tempat perawatan kecantikan tubuh menjadi

pilihan mereka. Tidak dipungkiri memang profesi seseorang dapat mempengaruhinya

dalam mengambil keputusan untuk pemilihan jenis perawatan tubuh dan kecantikan,

seperti juga yang terjadi pada warga masyarakat Kota Denpasar.

C. Ruang an Praktik Kecantikan

Struktur masyarakat Bali yang terbentuk atas dasar sistem wangsa/warna

berdasarkan atas faktor kelahiran, ternyata berpengaruh besar dalam aspek kehidupan,

karena mengelompokkan masyarakat ke dalam kelas-kelas tertentu. Begitu juga halnya

yang terjadi di Kota Denpasar, sebagai bekas kerajaan besar yang pernah memerintah,

yakni yang berstana di Puri Denpasar, Puri Pemecutan, Puri Stria, dan Puri Kesiman,

sangat merasakan penggolongan masyarakat berdasarkan wangsa/warna ini. Pencitraan

seperti itu juga terkait dengan cara-cara, dan tempat-tempat perawatan tubuh. Bisa

dipastikan bahwa cara-cara dan tempat-tempat perawatan kecantikan tubuh, lebih

dikenal oleh kalangan triwangsa ini yang berada di kalangan puri.

pada jaman dahulu istri-istri raja beserta putri-putrinya secara rutin memang

melakukan perawatan tubuh, seperti maboreh (luluran) untuk membersihkan kulit,

mambuh (keramas), masiram (mandi menggunakan ramuan tertentu), maurut melakukan

pemijatan-pemijatan dari kaki sampai kepala supaya kulit menjadi lembut sekaligus

melemaskan otot. Perawatan yang tidak kalah penting juga dilakukan adalah maloloh.

(minum jamu) agar tubuh menjadi lebih segar dan cantik.

Sementara itu, untuk golongan jaba (orang kebanyakan), juga dikenal cara-cara

perawatan tubuh, serta bahan-bahan yang digunakan seperti yang dilakukan oleh

golongan triwangsa ini. Yang membedakannya adalah waktu atau frekuensi untuk

melakukan perawatan. Golongan jaba wangsa, dalam kesehariannya melakukan jenis

Page 14: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

perawatan terbatas pada hal-hal yang sangat vital, seperti mandi dan keramas saja.

Hanya pada momen-momen tertentu, misalnya saat melakukan ritual keagamaan mereka

berpenampilan sedikit berlebihan, dan itu pun hanya dilakukan oleh perempuan yang

masih muda, sedangkan yang sudah tergolong tua tidak ada dandanan dalam tubuh, hanya

rambut dipusung (digelung) supaya tampak rapi dan yang terpenting adalah penggunaan

busana adat, yakni kebaya, kain panjang dan selendang yang diikatkan di pinggang.

D. Produk-Produk Kecantikan

Kehadiran perempuan dengan berbagai bentuk penampilan atau dandanan saat ini

mudah dijumpai di Kota Denpasar. Pemandangan semacam ini dapat disaksikan bukan

hanya pada momen-momen tertentu, bahkan hampir setiap hari. Variasi kecantikan ini

merupakan produk-produk kecantikan yang dihasilkan oleh jasa pelayanan yang tumbuh

subur di Kota Denpasar.

Pada awalnya bentuk-bentuk penampilan perempuan atau produk-produk

kecantikan dikenali melalui pakaian atau busana yang dikenakan. Pakaian atau busana

(fashion), merupakan salah satu indikator dari produk kecantikan. Pakaian/busana

sebagai manifestasi budaya, bukan hanya berfungsi biologis yang memberi pelindungan

dan rasa aman terhadap tubuh, tetapi secara sosial memiliki nilai estetis dan etis.

Sentuhan seni yang tampil dalam jenis dan ragam pakaian, tentu dapat pula melahirkan

nilai-nilai lain yang terkandung dalam benda material tersebut. Nilai-nilai ini pada

prosesnya memberikan ciri dan identitas pada pemakainya. Menurut Anak Agung Ketut

Agung, dalam tulisannya berjudul “Busana Adat Bali” (2004), pengertian busana

mencakup hiasan bagian kepala dan hiasan bagian badan. Berdasarkan hal tersebut,

muncul dan berkembang beragam busana yang dapat dipakai untuk keperluan sehari-

hari dan busana yang patut dikenakan pada momen-momen tertentu.

Saat ini, perempuan Bali mempunyai cukup keberanian untuk berpenampilan

ekspresif dalam keseharian. Kondisi fisik bagi sebagian orang dianggap kurang menarik,

tampaknya kini tidak terlalu menjadi hambatan bagi mereka dalam mengekspresikan

dirinya. Seorang perempuan dengan bibir tebal misalnya, tidak perlu merasa risih

memakai lipstick warna merah cerah, “justru itu membuat bibir tebal menjadi kelihatan

lebih seksi”, begitu kata Ibu Dayu, seorang PNS di Denpasar. Ibu Made seorang

pedagang daging ayam di sebuah pasar tradisional, dengan perut dan pinggul besar

Page 15: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

penuh lemak, juga tidak merasa canggung menggunakan celana lagging dan T-shirt jenis

straight mengikuti lekuk tubuh dan tonjolan paha, meski semua mata melirik dengan

pandangan geli kepadanya.

Kehadiran pasar dalam berbagai manifestasinya, seperti iklan, salon dan klinik

kecantikan, pusat-pusat kebugaran serta produk-produk mempercantik diri yang dijual

bebas, tidak dapat dipandang sebelah mata dalam memproduksi kecantikan perempuan.

Praktik-praktik budaya Bali, menuntut penampilan perempuan yang selalu berbeda,

tetapi kontekstual turut pula mewarnai produk-produk kecantikan perempuan. Agama

dan adat sebagai faktor dominan, selain tuntutan pekerjaan, kesenangan dan hasrat serta

kepentingan lain juga sangat berperan dalam mengkonstruksi kecantikan perempuan.

Produk-produk perawatan tubuh dan kecantikan, saat ini dapat diakses dengan cara amat

mudah, baik melalui yang ditawarkan oleh pihak salon dan klinik kecantikan, atau oleh

produsen penghasil produk-produk mempercantik diri kepada para konsumen. Hal ini

kemudian melahirkan bentuk-bentuk penampilan perempuan atau produk-produk

kecantikan yang sangat bervariasi. Hampir setiap bagian tubuh perempuan, mulai ujung

rambut sampai ujung kaki kini bisa dibentuk untuk memperoleh kesan cantik.

E. Modal Pelayanan Kecantikan

Di Kota Denpasar, fasilitas pelayanan kecantikan, seperti salon, klinik kecantikan,

fitness centre, dan tempat-tempat perawatan tubuh lainnya terus menerus mengalami

peningkatan, baik dari segi jumlah maupun variasi pelayanan yang disediakan. Lokasi

tempat usaha jasa pelayanan perawatan tubuh dan kecantikan itu, bukan saja terfokus di

pusat Kota Denpasar tetapi menyebar di kelurahan/desa di empat kecamatan di seputar

wilayah Kota Denpasar.

Usaha salon kecantikan yang terdapat di Kota Denpasar dapat dibedakan menjadi

tiga level, yaitu usaha salon kecil, salon sedang, dan salon besar. Lokasi usaha salon-

salon ini, bukan saja terdapat di ruko (rumah dan toko) di pinggir-pinggir jalan

besar/protokol, tetapi juga di jalan-jalan kecil dan di pinggir-pinggir gang. Saat ini, salon

kecantikan juga terdapat di beberapa mal dan walayan di Denpasar. Fenomena ini

menunjukkan bahwa tujuan pengunjung mal atau swalayan, di samping untuk refresing

(bersantai) dan atau shopping (berbelanja) tetapi juga bertujuan untuk mempercantik diri

Page 16: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

di salon kecantikan yang terdapat di mal atau swalayan bersangkutan. Selain itu, ada juga

yang membuka salon kecantikan panggilan. Salon kecantikan panggilan ini tidak

memerlukan tempat usaha karena pelayanannya dilakukan di tempat kediaman konsumen

atau pelanggannya, dengan menawarkan pelayanan dan perawatan tubuh dan kecantikan

yang biasanya spesifik, antara lain facial, potong rambut, pewarnaan, pelurusan,

creambath, luluran, dan perawatan tradisional lainnya.

Salon kecantikan yang tergolong kecil, biasanya menempati satu bilik kecil, yang

terdiri dari tempat perawatan dan satu set kursi tamu, semuanya berada dalam satu

ruangan. Fasilitas pelayanan yang disediakan sangat standar, meliputi perawatan rambut

dan perawatan wajah. Jeni-jenis perawatan rambut, seperti cuci, gunting, blow, tonik,

pewarnaan rambut, berbagai jenis pengeritingan rambut, dan pelurusan rambut

(rebonding, smoothing). Sedangkan untuk perawatan kulit, meliputi cuci muka (facial),

make up, yang biasanya disertai dengan pemasangan sanggul Bali atau sanggul modern.

Salon ini biasanya ditangani oleh satu orang pemiliknya saja atau bisa juga ditambah satu

orang karyawati, dan konsumennya adalah ibu-ibu kelas bawah dan pelajar.

Kelompok kedua adalah salon kecantikan golongan sedang atau menengah, yang

tentu saja mempunyai fasilitas dan variasi pelayanan yang lebih daripada yang disebutkan

sebelumnya. Salon jenis ini biasanya berlokasi di pinggir jalan besar, menempati satu

sampai dua bilik dengan ruang pelayanan yang lebih mengkhusus, dengan merk salon &

spa.

Kelompok ketiga adalah salon besar dan klinik-klinik kecantikan. Jenis ini selain

menempati gedung yang lebih megah dan menyediakan fasilitas pelayanan yang lebih

kompleks dan special, juga menggunakan teknologi canggih lengkap dengan dokter

konsultan dan ahli gizi. Altara Klinik & Spa yang beralamat di Jl. Nangka Denpasar,

adalah salah satu tempat perawatan kecantikan tubuh yang mewakili kelompok ini.

Bagian Ketiga

KONSTRUKSI KECATIKAN: TUBUH PEREMPUAN YANG TERJERAT

A. Tipologi Kecantikan

Page 17: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

Memberi makna tentang kecantikan bukanlah perkara mudah, karena menurut

Ashad Kusuma Djaya, (2007: x), bahwa kecantikan adalah total, mencakup ukuran-

ukuran tubuh (fisik), dan mental atau kepribadian (inner beauty) dengan ukuran yang

standar pula, sehingga secara keseluruhan melahirkan kecantikan sejati. Kondisi ini

sudah menyangkut estetika yang mengandung unsur obyektif dan subyektif. Kecantikan

juga merupakan bagian dari sistem budaya yang direpresentasikan melalui simbol.

Simbol dalam tubuh adalah sesuatu yang disampaikan, sekaligus yang disembunyikan.

Karena itu dikatakan bahwa tubuh manusia yang awalnya adalah tubuh alami (natural

body), kemudian dibentuk menjadi tubuh sosial atau fakta sosial (Abdullah, 2006: 138).

Namun demikian, masing-masing budaya memiliki kekhasan (tipikal) kecantikan yang

ditunjukkan melalui unsur-unsur fisik dan nonfisik, yang bersifat komulatif, mencakup

ukuran-ukuran tubuh tertentu yang ideal.

Tampil cantik secara fisik menjadi bagian paling penting bagi kaum perempuan.

Pernyataan itu sering kali didengar dalam berbagai tempat dan kesempatan, oleh

perempuan dan laki-laki. Bagi perempuan, kecantikan merupakan anugerah terindah yang

dipercaya bisa menambah keyakinan, percaya diri, dan energi kehidupan.

Pengalaman Bu Jero misalnya, seorang pengelola salon dan klinik kecantikan

yang memiliki masa kecil tomboy, lebih suka bergaul dengan anak laki-laki. Teknik

merawat tubuh yang paling dia ingat hanya keramas dengan menggunakan sampo merek

Sunsilk yang biasanya dijual di desanya, dan hand body dengan merek Viva. Keadaan

mulai berubah semenjak dia menikah dengan Gung Agus suaminya, yang berasal dari

Puri Ubud, Gianyar Bali. Setelah menikah dia tinggal di tempat kediaman suami sesuai

garis keturunan patrilinial (purusa), yakni garis keturunan dihitung berdasarkan pihak

laki-laki, dan Bu Jero pun naik tingkat, ke golongan tri wangsa atau menak. Karena

tuntutan status dan pekerjaan, yakni sebagai pengelola salon kecantikan, akhirnya Bu Jero

harus berpenampilan cantik dengan menggunakan peralatan make up yang lebih bermerk.

Sampo sunsilk dan hand body Viva yang pernah dipakai pada masa-masa di kampung,

digantikan dengan pantene dan pond’s.

Bukan hanya Bu Jero yang berpenampilan cantik, banyak perempuan lain yang

harus tampil cantik secara habis-habisan. Beberapa lembar uang ratusan ribu rupiah

Page 18: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

dikeluarkan hanya untuk membeli fatloose, obat herbal yang dipercaya mampu

melangsingkan tubuh, membuat seksi, membuat mata orang lain menengok.

Seorang ibu paruh baya yang ditemui di sebuah tempat spa, mengaku secara rutin

merampingkan tubuhnya dengan spa dan obat herbal. Tidak peduli harus keluar uang

berapa, yang penting mampu berpenampilan cantik di mata orang lain, termasuk

suaminya. Seorang distributor Tje Fuk di Denpasar mengaku mampu meraup untung

lebih dari 10 juta rupiah per bulan. Padahal ia menjadi agen Tje Fuk, bahan kecantikan

dari Korea, baru kurang lebih 2 tahun. Perempuan dengan penghasilan pas-pasan cukup

meminum vegeta atau jamu tradisional yang mudah diperoleh di warung-warung kecil

atau pasar tradisional. Dalam konteks ini pengakuan Ibu Sri seorang pemilik salon

sekaligus agen Tje Fuk menjelaskan, “saya perlu penampilan, karena pekerjaan saya

menuntut harus tampil cantik, kantong boleh kosong, tapi penampilan harus cantik”.

Seorang gadis tengah baya, bekerja sebagai front office hotel menjelaskan pula, bahwa

perusahaan tempatnya bekerja mewajibkan harus tampil cantik. Apalagi ketika

pendaftaran pegawai, penampilan menarik termasuk salah satu persyaratan.

Kenyataan tersebut menggambarkan bahwa kecantikan memang bukan semata-

mata berlaku umum. Secara individu atau kelompok, perempuan mengartikan kecantikan

sesuai ruang, waktu dan kepentingan, dengan model kecantikan yang bervariasi. Banyak

tekanan yang mengharuskan perempuan tampil cantik. Bukan hanya tuntutan pekerjaan,

tetapi seringkali tuntutan dari suami, atau bahkan motivasi perempuan sendiri yang

memang ingin tampil cantik. Kecantikan perempuan dalam konteks ini adalah yang

diformat oleh pasar. Perempuan dengan segala penampilannya dituntut untuk dapat

merepresentasikan produk yang dijual.

B. Konstruksi Kecantikan Tubuh Yang Berubah

Berkenaan dengan dinamikanya konstruksi kecantikan tubuh perempuan Bali

mencakup kecantikan tradisional, modern, posmodern, dan kecantikan sebagai pencitraan

dan gaya hidup. Istilah dinamika yang dipakai dalam hal ini mengacu pada pengertian

tentang perkembangan konsepsi kecantikan yang bersifat kontekstual sesuai ruang dan

waktu. Sesuai dengan pengertian ini, dinamika konsepsii kecantikan perempuan Bali

Page 19: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

dapat dilihat sebagai konstruksi kecantikan tradisional, modern, dan postmodern. Namun

demikian, dalam pembabakan atau periodisasi ini tidak menekankan pada masalah waktu

(time), tetapi lebih kepada karakteristik dari kontruksi kecantikan tubuh perempuan.

Untuk lebih jelasnya, maka diuraikan sebagai berikut.

Kecantikan sebenarnya merupakan sebuah konsep, karenanya cantik menjadi

bahan diskusi yang tidak pernah usai untuk diperbincangkan. Seperti seksualitas yang

terus-menerus direproduksi dari masa ke masa, dan dari sebuah ruang kebudayaan ke

ruang kebudayaan lain. Oleh sebab itu, cantik memiliki dimensi individu, lokal, nasional,

dan bahkan standar-standar internasional. Tidak hanya itu, cantik bisa berarti biologis,

psikis, dan bahkan spiritual. Pemilihan Miss Universe yang dimulai dari tahapan lokal,

nasional, dan berakhir di ajang internasional adalah salah satu contoh bagaimana

kecantikan diangkat menjadi nilai universal dan multi dimensional, meskipun di

Indonesia keikutsertaannya masih dipertentangkan oleh beberapa kalangan Muslim.

Jika mau menengok pada sejarah, konsepsi cantik ternyata terus bergerak dan tak

pernah pasti. Bahkan konsep cantik selalu kontekstual dengan kultur yang tengah

berkembang. Untuk itu, konsepsi kecantikan perempuan Bali dibahas sesuai dengan

perkembangannya yakni kecantikan tradisional/tempo dulu, serta kecantikan modern dan

kontemporer.

Dalam tataran praksis kecantikan ideal dengan tubuh penuh berisi (tidak terlalu

gemuk) perempuan diperkirakan hidup pada zaman kerajaan, terutama perempuan yang

hidup di puri, seperti istri-istri dan para selir raja, serta putri-putrinya. Kaum perempuan,

saat itu perempuan keraton tidak terlalu disibukkan dengan urusan domestik, karena

semuanya sudah dikerjakan oleh pelayan, dan juga tidak perlu tersiksa oleh diet ketat,

serta bebas memamerkan “daging” mereka tanpa khawatir komentar orang. Kenyataan

tersebut juga dianggap mencerminkan keberhasilan seorang raja sebagai simbol

pengayom rakyat terbuktikan.

Selanjutnya pergeseran makna cantik adalah kuning langsat menjadi cantik itu

putih telah dimulai saat itu. Mustika ratu dan sari ayu tidak lagi memamerkan kuning

langsat-nya, melainkan berubah haluan memproduksi kosmetik yang ada whitening-nya.

Page 20: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

Kedua raksasa ini diversifikasi usaha dengan membuat produk anakan perusahaan di

bawah lisensi mereka. Mustika ratu memproduksi biocell yang lebih beraroma modern

dan barat, sementara sari ayu memproduksi biokos dan caring. Produk-produk terakhir

ini tidak lagi menawarkan kuning langsat sebagai trade mark dan image seperti

dilakukan induknya selama ini, tetapi menawarkan pemutih dan aman untuk kulit

Indonesia. Akan tetapi hal ini belum terlalu menghegemoni perempuan seperti saat ini.

Jika dicermati, konstruksi kecantikan pada eramodern ini dapat dikatakan lebih

menekankan pada latar belakang etnis dan pada aspek femininitas. Di samping itu

kecantikan juga masih sangat terkait dengan fungsi, baik secara adat, agama, karir, dan

aktivitas sosial lain.

C. Bagaimana Posmodern Kecantikan dan Tubuh Perempuan

Posmodern diartikan sebagai suatu keadaan yang dicirikan oleh pertentangan

terhadap rasionalisme, totalitarianisme, dan universalisme, serta kecenderungan ke arah

penghargaan akan keanekaragaman, pluralitas, kelimpahruahan dengan menerima

berbagai kontradiksi dan ironi di dalamnya (Pilliang, 2004). Lebih lanjut dikatakan

bahwa realitas budaya berpaling pada wilayah-wilayah masa lalu untuk mengambil

kembali warisan bentuk, simbol dan makna. Dalam konteks gaya hidup termasuk

konstruksi kecantikan perempuan Bali juga menunjukkan tanda-tanda semacam itu.

Di era ini ide tentang kecantikan semakin beragam dengan semakin kuatnya

pengaruh wacana kecantikan dari berbagai media dalam mengonstruksi cantik. Saat ini,

kaum perempuan juga bebas merekonstruksi fisiknya, akibat adanya berbagai penemuan

baru di bidang teknologi kosmetika mulai bermunculan dan memberikan angin segar bagi

mereka yang merasa tubuhnya kurang sempurna. Pengelupasan kulit (acid peels), sedot

lemak (liposuction), injeksi kolagen dan penanaman payudara (breast implant) adalah

beberapa contoh keberhasilan teknologi kosmetika mengubah tubuh perempuan dari

alamiah menjadi buatan .

Di Bali, tren ini mulai banyak direspons akhir tahun 1900-an, terbatas pada

kalangan tertentu, misalnya para ahli kecantikan, karyawan cafe, dan perempuan yang

bergerak di bidang jasa dan pariwisata,

Page 21: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

Mereka sudah tidak canggung lagi untuk berganti-ganti warna rambut sesuai

pakaian yang digunakan, bahkan untuk kegiatan adat pun sanggul yang dipakai sesuai

dengan warna rambut aslinya. Motivasi mereka umumnya lebih pada kompetisi kerja dan

menarik pasangannya. Ayuk misalnya, seorang karyawati di bagian front Office di

sebuah travel di daerah Kuta mengaku lupa entah berapa kali sudah mengganti cat

rambutnya, dan warna yang disuka pirang dan coklat. Selain itu, dia juga pernah

melakukan operasi plastik sampai dua kali untuk memancungkan hidungnya. Meski ada

perasaan takut akan dampak buruk, juga keluar biaya banyak, tetapi tetap dilakukan.

Memang benar, hal itu membuatnya merasa puas, karena menambah rasa percaya diri dan

merasa lebih cantik serta kelihatan lebih muda dari usia sebenarnya.

Memasuki eramilenium, atau tahun 2000-an, pribadi yang penuh percaya diri,

aktif dan bugar, serta sentuhan feminin yang kental menjadi gambaran ideal sosok

perempuan masa kini. Kaum hawa juga lebih perduli dengan kesehatan, sehingga diet

ketat membabi buta mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, mereka rajin pergi ke gym atau

pusat-pusat kebugaran untuk mengencangkan tubuh. Penampilan ini memberikan sebuah

kesan baru mengenai sesuatu yang halus, rapi yang semuanya bergeser ke arah segar

Dokter spesialis antiaging pun menjadi pilihan penting di jenjang pendidikan

kedokteran selama sepuluh tahun terakhir. Bahkan karena masih relatif jarang, dokter

spesialis ini mematok tarif sedikit di atas standar dokter spesialis lain. Di sebuah salon

cukup elit di daerah Renon, yang mendatangkan dokter spesialis antiaging, dari

Surabaya, saya ketemu dengan Ibu Iluh seorang PNS, Ibu Sri istri pemilik show room

mobil, serta banyak lagi ibu-ibu lain telah melakukakan perawatan anti aging,

pelangsingan dan whitening, bahkan laki-laki juga banyak melakukan treatmen

pelangsingan. Rata-rata usia mereka 25 – 50 tahun, dengan motivasi kompetisi kerja dan

karena dorongan suami.

D. Kecantikan Tubuh Perempuan Bali Sebagai Pencitraan Dan Gaya Hidup

Budaya tubuh atau budaya cita rasa yang merupakan ciri gaya hidup posmodern

itu dapat diamati dari sudut pandang penampakan luar (surfaces). Warna dan gaya

rambut, cara berpakaian, kendaraan yang dipakai atau makanan yang dikonsumsi dapat

Page 22: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

mengidentifikasikan seseorang dengan suatu ikon budaya cita rasa tertentu. Demikian

pula citraan-citraan luar telah menjadi sumber daya dalam mengkomunikasikan dan

mengangkat makna, menata dan memanipulasi identitas sosial sehingga gaya hidup

terartikulasi melalui perubahan secara konstan tontonan dari penampilan-penampilan

tampakan luar (Chaney, 2004: 167). Baudrillard (Featherstone, 2001: 162) melihat bahwa

taraf produksi image tersebut telah membawa perubahan masyarakat secara kualitatif

yang di dalamnya perbedaan antara realitas dan image menjadi kabur, kehidupan sehari-

hari mengalami estetisikasi. Begitu pula kecantikan tubuh perempauan Bali dapat dilihat

sebagai suatu pencitraan dan gaya hidup.

Pencitraan berkaitan dengan tubuh (body image), menurut Hurlock, (1992), dalam

Melliana (2006: 63), secara umum dibentuk dari perbandingan yang dilakukan seseorang

atas fisiknya sendiri dengan standar kecantikan yang dikenal oleh lingkungan sosial

budayanya. Kondisi semacam ini kemudian memunculkan kesenjangan antara citra tubuh

ideal dengan tubuh nyata. Salah satu penyebab kesenjangan antara citra tubuh ideal

dengan tubuh nyata seringkali dipicu oleh media massa, yang banyak menampilkan fitur

tubuh perempuan ideal atau nyaris ideal.

Melalui iklan, kecantikan dimunculkan dalam citra-citra kecantikan, seperti kulit

putih, badan langsing, dan rambut lurus. Citra ini dikembangkan habis-habisan seperti

layaknya sebuah proyek, untuk selalu dikonstruksi ulang dan terus menerus oleh

pengusaha-pengusaha penghasil produk kecantikan. Pengusaha berusaha menciptakan

relasi antara produk kosmetik dan media melalui iklan sebagai pemikat konsumen atas

produk tersebut melalui penciptaan simbol status sosial kelas menengah-atas yang lekat

dengan keharusan untuk selalu tampil cantik sebagai bagian dari gaya hidup.

Keterlibatan perempuan Bali dalam berbagai lapangan pekerjaan menuntut

mereka untuk selalu tampil cantik. Tidak sedikit jenis pekerjaan bahkan secara mutlak

menentukan keindahan penampilan fisik sebagai suatu persyaratan. Jenis-jenis pekerjaan

yang banyak digeluti perempuan Bali, seperti pramuniaga di counter-counter berbagai

produk di super market dan mal yang bertebaran di Kota Denpasar, sales promotion girl,

marketing bank dan berbagai perusahaan asuransi atau waitres di restoran. Pekerjaan-

pekerjaan tersebut selain menuntut skill sesuai bidang pekerjaan, juga menentukan

Page 23: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

penampilan fisik sebagai bagian kompetisi kerja. Beberapa iklan dalam harian lokal

bahkan secara eksplisit menyebutkan “penampilan menarik” sebagai salah satu

persyaratan bagi pelamar kerja.

Perusahaan-perusahaan tertentu, terutama yang menjual produk atau jasa, seperti

bank misalnya, biasanya sejak awal sudah menetapkan model pengetesan yang bukan

saja menyangkut standar pendidikan tertentu, tetapi juga menyangkut keindahan pisik,

seperti tinggi dan berat badan, penampilan menarik, dan belum menikah. Setelah lulus

tes dan diterima di bagian pemasaran (marketing), mereka diwajibkan mematuhi aturan

terkait penampilan, mulai dari seragam, sepatu, tata rias wajah dan rambut, sampai

parfum menjadi bagian yang mendapat penilaian dari atasannya. Ini dilakukan untuk

menjaring karyawan dengan penampilan yang sempurna. Selain kemampuan intelektual,

kecantikan tubuh merupakan modal utama dalam menarik konsumen, untuk membeli

atau menggunakan produknya, karenanya tubuh harus dijaga, dirawat. agar tetap standar,

dan enak dilihat.

Seperti yang dituturkan oleh Putu Ayu, seorang karyawati sebuah bank berikut ini:

“meski saya memiliki pengalaman yang cukup karena memulai karir dari bawah,

namun ketika diberikan jabatan sebagai kepala cabang, tak urung ada rasa ketakutan

dalam hati. Untuk itu, saya berusaha keras menambah pengetahuannya, antara lain

dengan menempuh studi Magister Manajemen di di sebuah perguruan tinggi swasta di

Denpasar. Selain itu, masalah penampilan juga masih menjadi aspek penting yang

menjadi beban pikiran saya. Tuntutan pekerjaan yang begitu tinggi terhadap

kesempurnaan penampilan, membuat saya begitu intensif melakukan perawatan

wajah dan tubuh. Meski selama ini saya sudah rutin melakukan perawatan tubuh

untuk menjaga kecantikan dan kebugarannya, tetapi saya merasa masih belum puas.

Bentuk hidungnya yang kurang bagus (mancung ke dalam), seringkali membuat saya

tidak percaya diri, terutama ketika berhubungan dengan customer. Untuk itu,

kemudian saya melakukan operasi plastik agar hidung menjadi mancung. Hasilnya

memang memuaskan, bentuk hidung menjadi lebih mancung, dan kata teman-teman

saya kelihatan bertambah cantik, sehingga membuat saya lebih percaya diri dalam

melakukan pekerjaan.

Ungkapan tersebut jelas menunjukkan bahwa karyawati sebuah bank ditentukan

bukan saja oleh intelektualitas, tetapi juga kesempurnaan dalam penampilan.

Page 24: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

Fenomena ini menunjukkan bagaimana kapitalisme yang merupakan wujud dari

globalisasi membangun masyarakat global di atas iklim persaingan yang tinggi

(Pilliang, 2004: 274-275). Persaingan yang ketat antar perusahaan mendorong strategi

untuk menciptakan persaingan dalam gaya hidup antarkelas, antar golongan,

antartetangga, antarumur. Muncul sikap mental berorientasi ke atas dalam gaya hidup

yang tampak dalam penampakan.

Kehidupan sosial dikonstruksi atas dasar budaya perubahan dengan penampilan,

gaya hidup yang selalu dapat berubah dengan tempo yang semakin tinggi. Diciptakan

kegandrungan terhadap citra (image) ketimbang fungsi dan substansi. Begitu pula

konsumsi yang tidak berkaitan dengan kebutuhan fungsional dalam pengertian yang

sempit, kini adalah pemenuhan material sekaligus simbolik. Tubuh tampaknya dijadikan

citraan-citraan dalam rangka menjual komoditas, seperti model, cover girl, atau artis.

Tubuh juga dijadikan komoditas untuk membujuk konsumen supaya tertarik membeli

produknya. Produsen menggunakan sisi kelemahan perempuan tersebut untuk

memasarkan dan meningkatkan nilai penjualan produknya. Dalam masyarakat mutakhir,

berbagai perusahaan (korporasi), para politisi, individu-individu, semua terobsesi dengan

citra. Pada saat kecenderungan ini terjadi esensi kehidupan menjadi tidak penting karena

sebagai sebuah seni, kehidupan ini memiliki makna keindahan, sehingga yang dihayati

dari hidup itu adalah citra (Simmel, 1991 dalam Abdullah, 2008: 6).

PENUTUP

Cantik bagi perempuan bukan merupakan persoalan privat semata, karena apa

yang ditampilkan perempuan dengan tubuhnya menjadi knsumsi public. Proses-proses

dan identifikasi yang semula merupakan produk tradisi, telah menjadi komodifikasi.

Cantik bagi setiap perempuan, barangkali hasrat di zaman ini. Setiap saat, televise, radio,

papan reklame, omongan dari mulut ke mulut, terus-menerus mempropagandakan

pentingnya cantik. Ratusan variasi produk kecantikan, dari berbahan alami, berbahan

kimia, sampai yang bersifat teknologis, dan dari yang legal sampai yang illegal, terus

diproduksi dan diserbu, diburu oleh para perempuan. Puluhan salon, klinik kecantikan

Page 25: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

dan pusat-pusat kebugaran dibuka hamper di setiap titik kota di Denpasar. Setiap

perempuan tampak saling berlomba-lomba mengejar kecantikan dan untu menjadi cantik.

Dalam peenuhan hasrat cantik ini, tubuh perempuan menjadi titik sentral, menjadi

pusat kebudayaan kapitalisme. Tubuh menjadi titik sentral dari mesin produksi, distribusi

dan konsumsi mesin kapitalisme. Tubuh diproduksi sebagai komoditi dengan

mengeksplorasi hasrat cantik. Tuuh juga dijadikan sebagai metakomoditi yaitu komoditi

untuk menjual komoditi yang lain (cover girl). Tubuh juga mempunyai peran sentral

dalam system distribusi, yaitu sebagai pendamping komoditi (promo girl).

Suatu hal yang trjadi dalam derasnya proses produksi, distibusi dan konsumsi

tersebut adalah fantasmoria kecantikan. Yaitu permainan citra, citra yang mendekat dan

membesar kea rah perempuan dengan kecepatan tinggi, dan dalam sekejap menjauh dan

menghilang, kemudian muncul lagi, menghilang, muncul lagi, begitu seterusnya. Hal ini

tampak dalam ideal atau model-model yang dijadikan kiblat atau ikon kecantikan ( dalam

rentang yang pendek). Kalau dilihat dalam era sejarah mulai dari masa kerajaan

nusantara, kolonialisme, kemerdekaan, sampai era globalisasiini, terjadi perubahan terus

menerus.

Kecantikan perempuan pada masa kerajaan nusantara dikonstruksi dan dikuasai

kerajaan dan bentuknya atau ikonnya kecantikannya adalah adalah putri kerajaan yang

memiliki postur tubuh padat berisi, kulit kuning langsat, rambut hitam nan panjang. Pada

masa colonial, konstruksi kecantikan mulai bergeser menjadi cantik yang kebarat-baratan

terutama perempuan Indo yang berkulit putih, berambut pirang, berpostur tubuh tinggi

semampai. Namun ada era globalisasi sekarang, permainan citra menjadi titik pusat

kecantikan dan sepertinya “diterima” dengan kegembiraan yang penuh.

Page 26: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan, 2001. Seks Gender & kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang.

_____________ 2006a. Studi Tubuh, Nalar dan Masyarakat: Perspektif Antropologi.

Yogyakarta: Tici Press.

______________ 2006b. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

______________ 2008. “Titik Balik Peradaban dan Kebangkitan Budaya Baru”, Makalah

disampaikan pada Sarasehan Pesta Kesenian Bali (PKB) XXX Denpasar, 2 Juli 2008.

Adian, Donny Gabral, 2005. “Gaya Hidup, Resistensi, dan Hasrat Menjadi”, dalam Alfathri

Adlin (ed.) Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas. Yogyakarta:

Jalasutra.Halaman 23-34..

Adlin, Alfathri & Kurniasih, 2006. “Hasrat Tubuh, Kosmetik, Kecantikan: Perempuan Sebagai

Kosmos dan Konsumen Ctraan”, dalam Alfathri Adlin (Ed.), Menggeledah Hasrat:

Sebuah Pendekatan Multiperspektif. Yogyakarta: Jalasutra. Halaman 215-242.

Agger, Ben, 2006. Teori Sosial Kritis: Penerapan dan Implikasinya, terjemahan Critical Social

Theoritis: An Introduction. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Alimi, Moh. Yasir, 2005. “Tidak Hanya Gender, Seks juga Konstruksi Sosial: Kritik terhadap

Heteroseksualalitas”, dalam Jurnal Perempuan. No. 41, halaman 53-69.

Althusser, Louis, 2008. Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural

Studies (Olsy Vinoli Arnof, penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra.

Aminuddin, 2002. “Pendekatan Linguistik Kritis: Roger Flower”, dalam Analisis Wacana dari

Linguistik sampai Dekonstruksi (Kris Budiman Penyunting). Yogyakarta: Penerbit

Kanal. Halaman 1-53.

Antlov, H. 2002. Negara dalam Desa Patronase Kepemimpinan Lokal (Pujo Semadi,

penerjemah). Yogyakarta : Lappera Pustaka Utama.

Ardika, I Wayan, 2007. Pusaka Budaya & Pariwisata. Denpasar: Pustaka Larasan.

Arivia, Gadis, 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Atmadja, Nengah Bawa, 2004. “Pelabelan Seks dan Gender: Dekonstruksi Proses Menjadi

Wanita melalui Pendidikan Keluarga pada Masyarakat Bali.”, dalam Jurnal Kajian

Budaya. Volume 1 No. 2 hal. 63-82.

Page 27: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

Atmadja, Nengah Bawa, dkk. 2005. Joged Bumbung Porno: Industri Seks Berbentuk Hiburan

Seks melalui Rangsangan Mata (Studi Kasus di Buleleng Bali. Laporan Pelitian

Dasar, Dikti. Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Negeri Singaraja.

----------------- 2010. Komodifikasi Tubuh Joged Ngebor Bali. Denpasar: Program Studi

Magister dan Doktor Kajian Budaya bekerja sama dengan Pustaka Larasan.

Azis, Asmaeny, 2007. Feminisme Profetik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Bagus Takwin, 2003. Akar-akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato Hingga

Bourdieu. Yogyakarta: Jala Sutra. Halaman 163-175.

Baha Lajar, Aloysius, 2005. “Jacques Derrida dan “perayaan” Kemajemukan”, dalam Mudji

Sutrisno & Hendar Putranto (Ed.) Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Halaman 163-176.

Bappeda Kota Denpasar, 2008. “Denpasar dalam Angka (Denpasar in Figures) 2008”. Badan

Pusat Statistik Kota Denpasar.

Barker, Chris, 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik, terjemahan, Cultural Studies: Theory

and Practice. Yogyakarta:. PT Bentang Pustaka.

Barnard, Malcolm, 1996. Fashion sebagai Komunikasi: Cara Mengomunikasikan Identitas

Sosial, Seksual, Kelas dan Gender. Yogyakarta: Jalasutra.

Beauvoir, Simone de, 1953, The Second Sex, London: The Alden Press.

Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Jakarta: LP3ES.

Berger, Peter L., Brigitte Berger, dan Hafred Kellner, 1992. Pikiran Kembara: Modernisasi dan

Kesadaran Manusia. Yogyakarta: Kanisius.

Berger, Peter L., 1994. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Berger, Arthur Asa, 2005. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer: Suatu Pengantar

Semiotika (M. Dwi Marianto Penerjemah). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Bocock, Robert, t.t.,. Pengantar Komprehensif Untuk Memahami Hegemoni. Yogyakarta:

Jalasutra.

Bourdieu, Pierre, 1986. Distinction. A Social Critique of the Judgement of Taste. Translated by

Richard Nice. Routledge.

Bourdieu, Pierre, 1984. Distinction: A Social Critique of The Judgement of Taste, Cambridge:

Harvard University Press.

Page 28: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

________ 1994. Language an Symbolic Power, Cambridge: Harvard University Press.

________ 1995. Outline of A Theory of Practice, Cambridge: Cambridge University Press.

Boserup, E, 1970. Women’s Role in Economic Development, London: George Allen and Unwin.

Budianta, Melani, 2002. “Pendekatan Feminis terhadap Wacana”, dalam Kris Budiman (ed.)

Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi. Yogyakarta: Kanal. Halaman 199-230.

Bungin, B., 2001. Imaji Media Massa Konstrkuksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi

dalam Masyarakat Kapitalis.Yogyakarta: Jendela.

Brooks, Ann, 1997. Posfeminisme & Cultural Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif.

Yogyakarta: Jalasutra.

Chamim, Mardiyah, 2004. “Bertemu Pria-Pria Venus,” Tempo 01/XXXIII, 2004. Halaman 30-7.

Chaney, David, 1996. Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Damsar, 2006. Sosiologi Uang. Padang: Andalas University Press.

Darma Putra, I Nyoman, 2007. Wanita Bali Tempoe Doeloe: Perspektif Masa Kini. Denpasar:

Pustaka Larasan.

Darwin, Muhadjir M., 2005. Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik.

Yogyakarta: Media Wacana.

Dibia, I Wayan, 2003. “Nilai-nilai Estetika Hindu dalam Kesenian Bali”, dalam I.B.G Yudha Tri

Guna (ed.) Estetika Hindu dan Pembangungan Bali. Denpasar: Program Magister

Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia bekeja sama dengan

Penerbit Widya Dharma. Halaman 91-110.

Dharmanto, Sthepanus M., 1994. “Kehidupan Lintas Budaya”, dalam Johanes Mardimin (Ed.)

Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia

Moderen. Yogyakarta: Kanisius.Lafad Pustaka. Halaman 106-112.

Djelantik, A.A.M, 1990. Ilmu Estetika Jilid I (Estetika Instrumental). Denpasar: STSI.

Endarswara, Suwardi, 2003. Metodelogi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Eriyanto, 2006. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: Lkis.

Fachrizal A. Halim, 2002). Beragama dalam Belenggu Kapitalisme. Magelang: Indonesia Tera.

Page 29: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

Fashri, Fausi, 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre

Bourdieu. Yogyakarta: Juxtapose.

Faruk HT., 2002. “Konsep Analisis Wacana Althusserean”, dalam Analisis Wacana dari

Linguistik sampai Dekonstruksi (Kris Budiman, penyunting). Yogyakarta: Kanal.

Halaman 135-153.

Featherstone, Mike, 2001. Posmodernisme dan Budaya Konsumen (Misbah Zulfa Elisabeth

Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Foucault, Michel, 2000. Seks dan Kekuasaan (Sejarah Seksualitas). Bandung. PT. Gramedia

Pustaka Utama.

____________ 2002 c. Menggugat Sejarah Ide. Yogyakarta: Ircisod..

Fromm, Erich, 1997. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki: Kajian Komprehensif tentang Gender.

Yogyakarta: Jalasutra.

Gardiner, Myling Oey, dkk., 1996. Perempuan Indonesia Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Geertz, Hildred dan Clifford Geertz, 1975. Kinship in Bali. Chicago dan London: The University

of Chicago Press.

Giddens, Anthony, 2004. Transfomation of Intimacy: Sekssualitas, Cinta dan Erotisme dalam

Masyarakat Moderen (Riwan Nugroho Penerjemah). Jakarta: Fresh Book.

Hamad, Ibnu, 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical

Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit.

Hardiman, 2007. “Tubuh Perempuan: Repesentasi Gender Perempuan Perupa Bali”. Tesis S-2,

Kajian Budaya, Universitas Udayana. Tidak diterbitkan.

Harker, Richard, et.al., 1990. Habitus X Modal + Ranah = Praktik: Pengantar Paling

Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu (Pipit Maizer Penerjemah).

Yogyakarta: Jala Sutra.

Haryanto Cahyadi & Bima Saptawasana, 2005. “Kebudayaan Sebagai Kritik Ideologi:

Diteropong dari Perspektif Para Eksponen Neo-Marxisme”, dalam Mudji Sutrisno &

Hendar Putranto (Ed.) Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Halaman 19-

50.

Haryatmoko, 2002. “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan: Menelanjangi Mekanisme dan

Teknik Kekuasaan Bersama Foucault”. Basis: Menembus Fakta. Edisi 01-02,

Tahunke-51, Januari-Februari. Yogyakarta: Yayasa BP Basis. Halaman 8-12.

Page 30: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

Hidajadi, Miranti. “Tubuh, Sejarah Perkembangan dan Berbagai Masalahnya”, dalam Jurnal

Perempuan No. 15. Halaman 7-15.

Hoed, Benny H., 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Hsiu Chen, Chao, 2001. Terapi Kecantikan: Teknik Cinta Untuk Membangun Inner Beauty

Anda. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Ibrahim, Idi Subandy, Ed., 1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat

Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra. Halaman xiii.

Ibrahim, Idi Subandi, 2006. “Imaji Perempuan di Media: Representasi dan Idealisasi di Balik

Wacana Tubuh”, dalam Alfathri Adlin (Ed.) Menggeledah Hasrat: Sebuah

Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta: Jalasutra.Halaman 265-280.

Ismiani, Nanik, 1998. “Iklan Tempoe Doeloe Potret Sebuah Zaman”, majalah Cakram

Komunikasi. Pebruari 1998.

James, Scott, 2000. Senjatanya Orang-orang yang Kalah (A. Rahman Zainuddin Penerjemah).

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Jenkins, Richard, 2004. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu (Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta:

Kreasi Wacana.

Kasiyan, 2008. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan. Yogyakarta: Ombak.

Kirtiningrat, Putu Adi, 2003. “Rukmini Tatwa: Kajian Struktur dan Fungsi”. Skripsi S1 Fak.

Sastra Universitas Udayana.

Koentjaraningrat, 1989. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.

Koeswinarno, 2007. “Kehidupan Waria Muslim Di Yogyakarta”. Disertasi S3 Program Studi

Antropologi, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

Kusuma Djaya, Ashad, 2007. Natural Beauty Inner Beauty: Manajemen Diri Meraih Kecantikan

Sejati dari Khazanah Tradisional. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Kusujiarti, S., 1997. “Antara Ideologi dan Transkrip Tersembunyi: Dinamika Hubungan Gender

dalam Masyarakat Jawa”, dalam Irwan Abdullah (ed.), Sangkan Paran Gender.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 82-100.

Kuta Ratna, I Nyoman, 2003. Pemahaman Budaya di Tengah Perubahan: Sebuah Cindramata

untuk Prof. Dr. I Gst. Ngurah Bagus, dalam I Made Suastika dan I Gede Mudana

(ed) . Denpasar: Program S2 dan S3 Kajian Budaya Univ. Udayana.

Page 31: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

_____________ 2008. Poskolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka

Pejalar.

Kertajaya, Hermawan, et al 2003., Marketing in Venus,(Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.

Kroeber, A.L and Clyde Kluckhon, 1952. Culture a Critical Review of Concepts and Definitions.

New York: Vintage Books A Division of Random House.

Lie, Shirley, 2005. Pembebasan Tubuh Perempuan. Jakarta: Grasindo.

Lubis, Akhyar Yusuf, 2004. Setelah Kebenaran & Kepastian Dihancurkan: Masih Adakah

Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan. Bogor: Akademia.

Lury, C. 1998. Budaya Konsumen (Hasti T. Champion Penerjemah). Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Lyotard, Jean-Francois, 2004. Posmodernisme: Krisis dan Masa Depan Pengetahuan. Jakarta:

Teraju.

Mantra, I B., 1993. Bali Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi. Denpasar: PT. Upada Sastra.

Mariyah, Emiliana, 2004. Hambatan Budaya dalam Kesehatan Reproduksi: Studi Interaksi

Bidan-Ibu Hamil di Kalikotes, Jawa Tengah. Denpasar: Program S2 dan S3 Kajian

Budaya Univ. Udayana.

Melliana, Annastasia, 2006. Menjelajahi Tubuh Perempuan dan Mitos Kecantikan. Yogyakarta:

LKIS.

Mohammad, Goenawan, 2000. “Tubuh, Melankoli, Proyek”, Jurnal kebudayaan Kalam, edisi

15 tahun 2000, hal 5-25.

Moleong, I J, 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rodakarya.

Munawaroh, ASM & Floriberta Aning S., 2004. Inner Beauty, Wonderful Woman. Yogyakarta:

Enigma Publishing.

Musman, Asti. 2009. Cantik Itu Putih dan Berwajah Indo?. http://www.balipost.co.id/

balipostcetak/2007/4/8/kel2.html, diakses 4 Juni 2009.

Nasaruddin, Umar, 1995. Teologi Menstruasi: Antara Mitologi dan Kitab Suci, dalam Ulumul

Qur’an, No. 2, Vol. VI, Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat.

Noviranti, Dewi.”Negara dan Tubuh Perempuan”, dalam Jurnal Perempuan No. 15. Halaman

85-94.

Parrinder, Geoffrey. 2004. Teologi Seksual. Yogyakarta: LKiS.

Page 32: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

Paramitha, Diandra, 2007. “Beauty Industrial Compleks: Sebuah Analisis Sosio Filosofis”.

Skripsi S1 Jurusan Filsatat FIB UI.

Parimartha, I Gede, 2006. “Sistem Pemerintahan Desa di Daerah Bali”, makalah disampaikan

dalam seminar Bali Bangkit Bali Kembali, tanggal 12 Agustus 2006 di Denpasar.

Pilliang, Amir Yasraf, 1999. Hiper – Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS

__________ 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta:

Jalasutra.

__________ 2004. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.

Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.

Poloma, Margaret M., 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: P.T. Rajawali Grafindo Persada.

Purwadi dan Rahmat Fajri, 2005. Mistik dan Kosmologi Serat Centhini. Yogyakarta: Media

Abadi.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna, 2004. Becoming White: Reperesentasi Ras, Klas, Femininitas

dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Bandung: Jala Sutra.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna, 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop.

Yogyakarta: Jalasutra.

Prasetyo, Eko, 1996. “Nasionalisme dalam Perdebatan”, dalam Eko Prasetyo (ed) Nasionalisme

Refeleksi Kritis Kaum Ilmuwan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Halaman viii-xii.

Ratih, In Bene, 2005. “Perempuan dalam Teater” dalam Muji Sutrisno & Hendar Putranto (Ed.)

Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 313-353.

Ritzer, George, 2002. Ketika Kapitalisme Berjingkrang: Telaah Kritis Terhadap Gelombang

McDonaldisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rogers, Mary F., 2009. Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme (Medhy Aginta Hidayat

Penerjemah). Yogyakarta: Relief.

Saputra, Dianthus. “Perjalanan Payudara dalam Catatan Sejarah”, dalam Jurnal Perempuan No.

15. Halaman 37-47.

Sarup, Madan. 2003. Postrukturalisme dan Posmedernisme: Sebuah Pengantar Kritis.

Yogyakarta: Jendela.

Santoso, Benny. 2004. “Pria Metroseksual,” dalam Get Life edisi vol .06.

Page 33: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner, 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah

Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Sobur, Alex, 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis

Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Soetjipto, Ani Widyani, 2005. Politik Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta: Kompas.

Spivak, Gayatri Chkravorty, 2003. Membaca Pemikiran Jacques Derrida: Sebuah Pengantar.

Yogyakarta: AR-RUZZ.

Spradley, James P., 1997. Metode Etnografi (Misbah Zulfa Elisabeth Penerjemah). Yogyakarta:

Tiara Wacana.

Story, J., 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap Konseptual Cultural

Studies. Yogyakarta: CV Qalam.

Steger, M B., 2006. Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar. Huru Prasetia (Penerjemah).

Yogyakarta: Lafad Pustaka.

Subali P., Ida Bagus, 2008. Wanita Mulia Istana Dewa. Surabaya: Paramita.

Sudiarta, I Wayan, 2006. “Rekonstruksi Visual Konsep-konsep Kecantikan Tradisional Wanita

Bali dan Manifestasinya di dalam Kehidupan Masyarakat Bali Masa Kini”. Tesis S2,

Program Studi Kajian Budaya, Pasca Sarjana Universitas Udayana.

Suparlan, Parsudi, 1985. “Kebudayaan dan Pembangunan, makalah dalam seminar

Kependudukan dan Pembangunan”. Jakarta: KLH, tgl. 12-14 Oktober 1985.

Sullivan, N, 1991. “Gender and Politics in Indonesia”, dalam Maila Stivens. Why Gender

Matters in Southeast Asian Politics. Australia: Aristoc Press.

Suryani, Luh Ketut, 2003. Perempuan Bali Kini. Denpasar: Bali Post.

Suyono, Senjoko, 2002. Tubuh yang Rasis: Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-dasar

Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Synnot, Anthony, 2002. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Yogyakarta: Jala

Sutra.

Takwin, Bagus, 2006. “Habitus: Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup”, dalam

Alfathri Adlin (ed.) Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas. Yogyakarta:

Jalasutra. Halaman 35-54.

Tinggen, I Nengah, 1995. Aneka Rupa Pribahasa. Singaraja: Rika Dewata.

Page 34: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya

Vondracek, Fred W., 2000. ”Vocational and Career Development (Pilihan Kerja dan

Pengembangan Karir)”, dalam Adam Kuper dan Jesica Kuper (ed) Ensklopedi Ilmu-

ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Wainwright, Gordon R., 2006. Membaca Bahasa Tubuh (terjemahan). Yogyakarta: BACA.

Waspodo, TS, 2004. Modernisasi dan Globalisasi: Studi Pembangunan dalam Perspektif

Global. Malang: Insan Cendekia.

Wiasti, Ni Made, 1998. “Konstruksi Gender pada Mayarakat Bali: Kasus Wanita Pekerja

Kerajinan Bambu di Desa Blahbatuh, Gianyar”. Tesis S2, Program Studi Antropologi

Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Wirata, I Wayan, 2010. “Hegemmoni Pemerintah dan Resistensi Wetu Telu Suku Sasak di

kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. Disertasi Program Studi Kajian Budaya

program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.

Yulianto, Vissa Ita, 2007. Pesona Barat: Analisa Kritis-Historis tentang Kesadaran. Warna

Kulit Indonesia. Yogyakarta: Jala Sutra.

Yunus, Umar, 1981. Mitos dan Komunikasi, Jakarta: Sinar Harapan.

Dokumen

Bali Post, 22 Nopember 2009.

Bisnis Bali, No. 133 Th.Ke 6 Desember 2007 .

Cantiq, Edisi III Juni 2009.

Denpost, 6 September 2009.

Rias, No.321, Juli 2008.

Tata Rias , No. 321 Juli 2008.

Tokoh, No. 56/Tahun X, 19-25 April 2009.

http://www.pom.go.id/nonpublic/kosmetik

http://www.denpasarkota.go.id.

http://www.google.com

Page 35: IMISSU Single Sign On of Udayana University · 2017. 7. 25. · Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya