jurnal reading toxoplasmosis

Upload: arya-kusuma

Post on 14-Apr-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    1/17

    DETECTION OF SPESIFIC IgE DURING MATERNAL, FETAL, AND

    CONGENITAL TOXOPLASMOSIS

    LAPORAN JOURNAL READING

    BLOK TROPICAL MEDICINE

    Disusun oleh

    Kelompok V

    1. Adia Disti Purwandini K1A005003

    2. Asti Widyaningtyas K1A005004

    3. Ajeng Putri Tunjungsari K1A005016

    4. Andreas Fredy Arsanto K1A005017

    5. Suci Dara K1A005018

    6. Aska Yulia Ulfa K1A005019

    7. R. Caesar RPW K1A005027

    8. Lola Samiah K1A005095

    9. Joeanie Dwijanti D K1A005096

    DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

    FAKULTAS KEDOKTERAN dan ILMU-ILMU KESEHATAN

    UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

    PURWOKERTO

    2008

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    2/17

    PENDAHULUAN

    Infeksi Toxoplasma gondii biasanya ringan dan menyerang orang

    dewasa, infeksi ini dapat bersifat serius jika terjadi selama masa kehamilan, hal ini

    dikarenakan adanya risiko transimisi dari ibu ke janin dan toxoplasmosis

    kongenital (CT).

    Penegakan diagnosis toxoplasmosis yang biasa digunakan berdasarkan

    kriteria imunologik. Kebanyakan penelitian yang ada, lebih memfokuskan pada

    immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin M (IgM) serta immunoglobulin A

    (IgA). Toksoplasmosis yang diperoleh dari analisis kombinasi dari ketiga isotype

    (yaitu IgG, IgA, dan IgM) dan cara kerja dari setiap immunoglobulin tersebut,

    yang dapat membantu untuk membedakan antara infeksi yang lama atau kronis

    (yang didapat dari isolate IgG) dan infeksi yang baru atau akut (yang didapat dari

    gabungan dari IgG, IgM, dan IgA)

    Bagaimanapun juga, respon imun setiap individu berbeda-beda,

    antitoksoplasma IgM dan IgA dapat berlangsung lebih dari satu tahun setelahinfeksi. Untuk mengetahui waktu terjadinya infeksi T. gondii dan proses progresif

    dari infeksi toksoplasmosis, peneliti mencoba untuk melakukan identifikasi

    terlebih dahulu, dengan membuat laporan singkat yang menampilkan tanda

    terjadinya infeksi. Pada akhirnya, tujuan dari penelitian ini adalah peneliti ingin

    mengembangkan pemeriksaan mengenai antitoksoplasmosis IgE dan

    menggunakannya sebagai pemeriksaan untuk risiko toksoplasmosis pada ibu

    hamil dan mendiagnosa CT. Hasil penelitian kali ini, yaitu pada pengaktifkan

    kembali (reaktifasi) imunodefisiensi pasien yang menjadi subyek dalam penelitian

    ini.

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    3/17

    METODE

    a. Metode imunologis.

    Antibodi IgG diperiksa melalui metode aglutinasi langsung sensitivitastinggi dengan cutoff point6 U/ml. Sebagian besar antibody orang dewasa pada

    penelitian ini diperiksa melalui ELISA atau IMX toxo IgG. Sementara itu,

    antibody anak-anak diperiksa menggunakan metode perbandingan profil

    imunologis ibu dan anak (CIP), pemeriksaan ini dilakukan berdasarkan ELIFA.

    Sedangkan IgA dan IgM terdeteksi melalui metode immunocaptureyang

    menggunakan suspensi takizoit yang telah disiapkan di laboratorium. Langkah-

    langkahnya sebagai berikut:

    1. Suspensi disentrifugasi

    2. Setelah disentrifugasi, takizoit diberi tripsin.

    3. Botolnya dicuci sebanyak 3x dengan larutan phosphate-buffered

    saline (PBS) dan diinkubasi dalam larutan formol selama 30 hari pada

    suhu 4oC

    4. Setelah 3x dicuci dalam PBS, konsentrasinya diatur yaitu sebanyak

    2x108

    ml dan takizoitnya disimpan dalam buffer BABS dengan sodium

    azide pada suhu 4oC

    5. Botol mikrotiter disensitisasi dengan 100 ml antibody monoclonal rantai

    panjang yang diencerkan menjadi 3 mg/ml.

    6. Setelah 18 jam inkubasi pada suhu 4oC, botol mikrotiternya dicuci

    dan disaturasi dalam larutan penyimpanan yang mengandung PBS, sodium

    azide dan fraksi albumin bovine V.

    7. Botol mikrotiter disimpan dalam suhu 4

    o

    C selama 6 bulan dandicuci dengan PBS sebelum digunakan.

    8. Antibodi diencerkan 1/25 dalam PBS dan dibagi ke dalam 3

    tempat.

    9. Setelah inkubasi selama 3 jam pada suhu 37oC, botol dicuci dalam

    PBS-Tween

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    4/17

    10. Suspensi takizoit diencerkan dalam buffer BABS sampai

    kepadatan mencapai 1,5x107ml ditambahkan ke dalam volume 100, 150

    dan 200 ml pada tiap masing-masing serum.

    11. Setelah inkubasi selama 18 jam pada suhu kamar, botol mikrotiter dibaca

    secara otomatis oleh spektrofotometer.

    Nilai IgA minimal 2 dianggap positif pada orang dewasa. IgM juga

    terdeteksi pada orang dewasa melalui ELISA/IMX toxo IgM. Antitoxoplasma

    IgE terdeteksi menggunakan metode ICT yang dibandingkan dengan IgA dan

    IgM spesifik. Nilai masing-masing sampel untuk ketiga serum di atas yaitu 0

    untuk sedimentasi takizoit total, 4 untuk aglutinasi lengkap dan 1, 2, atau 3

    untuk aglutinasi sedang. Nilai akumulatif dari ketiga sampel serum tersebut

    sesuai dengan sampel serum yang diberikan sehingga rangenya antara 0-12.

    Nilai minimal 2 (untuk dewasa) dan 1 (untuk bayi) dianggap positif. Adanya

    IgM, IgA atau IgE pada bayi harus divalidasi dengan sampel kedua yang

    diambil antara hari ke-5 setelah lahir sampai hari ke-10 jika ibunya juga punya

    isotype ini ketika melahirkan untuk mentransmisikan antibody maternal.

    b. Sampel.

    Peneliti memeriksa antibody dari 318 pasien yang dibagi dalam 10

    kelompok yaitu:

    1. Kelompok A (control) yang terdiri dari 100 wanita yang serologinya

    negative untuk IgG dan IgM. Dua belas wanita dari kelompok ini punya

    IgM alami, dengan titer antara 6/12 sampai 9/12. Dari 100 wanita tersebut

    tidak ada yang positif IgA

    2. Kelompo B (serokonversi toxoplasmik) yang terdiri dari 59 wanita (hamilatau tidak hamil) yang telah didiagnosis toxoplasmosis dalam waktu 1

    bulan dan telah menjalani follow-up maximal 274 hari setelah

    serokonversi.

    3. Kelompok C (serokonversi toxoplasmik) yang terdiri dari 38 wanita yang

    mengalami serokonversi selama kehamilan, di mana 20 bayinya terkena

    CT dan sisanya tidak terinfeksi.

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    5/17

    4. Kelompok D (darah fetus, 13 sampel) yang terdiri dari 13 fetus yang

    ibunya telah menjalani pemeriksaan antenatal (amniosentesis dan sampling

    darah fetus) dan ditemukan positif IgM dan atau IgA dalam darah fetus.

    5. Kelompok E (toxoplasma progresif) yang terdiri dari 10 pasien (12-15 thn)

    yang menjalani monitoring toxoplasma dan punya IgG titer tinggi serta

    adanya IgM dan IgA minimal 6 bulan setelah serokonversi.

    6. Kelompok F (control) yang terdiri dari 27 wanita asimtomatis yang hamil

    atau tidak hamil yang seranya diperiksa di laboratorium untuk memeriksan

    status imunologis toxoplasma. Kesemua sera ini positif untuk IgG, titer

    ICT-M

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    6/17

    sisanya, IgE muncul pada saat masa-masa infeksi, bersamaan dengan

    munculnya IgM dan sebelum IgA serta IgG muncul. Titer IgE meningkat

    secara cepat dan mencapai nilai maksimumnya dalam waktu 2-3 minggu

    dan menjadi tak terdeteksi setelah 6 bulan. Dalam beberapa subjek, kadar

    IgE memang tinggi untuk sementara sedangkan subjek yang lainnya muncul

    secara menetap selama lebih dari 4 bulan. Di antara 38 wanita dalam

    kelompok C, 17 anaknya mengalami CT dan 15 anaknya bebas infeksi,

    mereka mempunyai antibody IgE selama fase serokonversi. Antibody IgE

    maternal tidak dipengaruhi oleh ada tidaknya anaknya yang mengalami CT.

    Sedangkan 6 wanita sisanya tidak mempunyai antibody IgE.

    c. Darah fetus (kelompok D). Di antara 13 sampel darah fetus menunjukkan

    hasil IgM dan IgA positif, hanya 3 sampel yang mengandung IgE spesifik.

    d. Toxoplasmosis progresif (kelompok E). Sepuluh pasien yang diduga terkena

    toxoplasmosis progresif (kadar IgG, IgM dan IgA tinggi dalam waktu 6

    bulan pasca infeksi) mempunyai kadar tinggi antibody IgE selama bulan

    pertama pasca infeksi. Dalam 6 kasus, antibody IgE muncul dalam waktu 6

    bulan pasca infeksi seperti IgM dan IgA. Sedangkan 5 pasien lainnya

    mempunyai kadar tinggi antibody IgE dalam waktu 4 bulan pasca

    serokonversi awal. Sementara 3 pasien sisanya mempunyai adenopati

    cervical selama fase serokonversi, dan dari ketiga pasien tersebut

    kesemuanya mempunya kadar IgE yang muncul dalam waktu 6 bulan

    setelahnya.

    e. CT (kelompok G dan H). Pada bulan-bulan menjelang kelahiran, 41 dari 52

    anak dengan CT menunjukkan IgM dan IgA positif. Dua puluh Sembilan

    anak di antaranya mempunyai IgM dan atau IgA positif, 6 anak hanya IgM

    yang positif dan 6 anak lainnya hanya IgA yang positif. IgE terdeteksi

    bersamaan dengan IgM dan IgA pada 13 anak. Ketiga belas anak tersebut

    lahir dari ibu yang mengalami serokonversi selama trimester terakhir. Tiga

    puluh dari 52 anak dengan CT mempunyai imunologis ulangan. IgM dan

    IgA positif pada 17 pasien, 12 di antaranya juga mempunyai antibody IgE.

    Dalam 5 kasus pemeriksaan ulang hanya IgM dan atau IgA yang terdeteksi,

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    7/17

    sementara 7 lainnya hanya IgE yang terdeteksi. Pada akhirnya, tidak ada

    IgM, IgA atau IgE spesifik yang terdeteksi dalam 13 kasus.

    f. Korioretinitis pada anak-anak dengan CT (kelompok I). Hanya 1 dari 9 anakdengan CT yang mengalami korioretinitis selama tahun pertama kehidupan

    yang terdeteksi IgE dan IgA pada saat lahir. Sementara itu, ada 3 anak yang

    terdeteksi IgE pada saat diagnosis korioretinitis ditegakkan. Dengan

    demikian, dari 9 pasien dengan korioretinitis hanya 3 yang IgE positif.

    DISKUSI

    Tujuan dilakukan penelitian adalah untuk menilai antibodi IgE sebagai

    marker spesifik terjadinya infeksi T. gondii baik akut maupun kronis. Metode

    yang digunakan dalam penelitian untuk mendeteksi IgE berdasarkan pada

    immunocapture dengan menggunakan suspensi dari takizoid. Serologi negative

    pada perempuan dan anak-anak yang terbebas dari toxoplasmosis kongenital (CT)

    serta tidak pernah mendapat hasil positif dari pemeriksaan IgE spesifik,

    menguatkan kekuatan spesifitas dari marker infeksi T. gondii ini. IgE spesifikyang terdeteksi menandakan adanya infeksi akut atau progresif, hal ini dikarena

    tidak ditemukannya IgE spesifik pada subyek dengan infeksi kronis.

    Dalam serologi konversi, IgE telah terdeteksi dalam diagnosis serum

    sampel bersamaan dengan IgM. Pada penelitian sebelumnya, peneliti telah

    mengamati kasus dimana isotype yang pertama kali muncul adalah IgE, penelitian

    ini dikuatkan pula oleh Wong et al. yang melakukan penelitian sejenis.

    Sensitifitas dari spesifitas IgE yang terdeteksi dengan menggunakan

    immunocapture pada penelitian ini adalah sebesar 86,6%, sedangkan pada

    penelitian Wong et al. sensitifitas dari spesifitas IgE adalah sebesar 63%. Pada

    penelitian Wong et al. diperoleh hasil sensitifitas 100% pada uji ELISA untuk

    IgE, dengan pola kinetik bergeser ke kanan, tetapi dalam jumlah sampel (pasien)

    yang kecil (8 sampel dari 52 sampel dalam penelitian). Peneliti menggunakan

    metode ISAGA-IgE dalam monitoring imunologik dari wanita hamil yang

    memiliki serologi negative, hal ini dilakukan karena merupakan pertanda pertama

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    8/17

    yang timbul. Pemeriksaan ELISA untuk IgE yang menunjukan hasil positif pada

    periode yang lebih lama, akan menghalangi terjadi infeksi yang diperoleh selama

    kehamilan. Peneliti menemukan titer yang meningkat dari IgE spesifik pada dua

    bulan pertama setelah dilakukan serokonversi, walaupun setiap individu memiliki

    petanda yang berbeda-beda. Isotype ini berkurang dengan cepat pada bulan ketiga

    dan keempat, dan tidak terdeteksi lebih dari empat bulan setelah dilakukan

    serokonversi.

    IgA dan IgE ditemukan selama bulan pertama setelah terjadi infeksi,

    selama dua bulan terjadi masa stabil dan tidak terdeteksi setelah enam sampai

    delapan bulan setelah terjadi infeksi. Sebagian besar sampel dan 5-10% wanita

    yang telah dilakukan serokonversi tidak ditemukannya IgA. Pada akhirnya, IgM

    spesifik pada infeksi akut tidak dapat ditemukan, hal ini terus berlangsung lebih

    dari 12 bulan terinfeksi yang diketahui dalam pemeriksaan immunocapture

    Sebanding dengan IgA dan IgM, cara kerja IgE pun memberikan kegunaan yang

    jelas dalam hal ini.

    Diantara wanita yang mendapat serokonversi selama kehamilan dan

    anak-anak yang menderita CT, IgE yang terdeteksi pada wanita hamil tersebut

    tidak menjadi tanda dari infeksi kongenital, selama cara kerja dan titer dari

    antibodi tersebut serupa dengan hasil sserokonversi.

    Pada grup toksoplasmosis yang progresif, antibodi IgE terdeteksi sejak

    dari awal dan terus bertahan selama 6 bulan pada tiga orang sampel penelitian

    yang disertai dengan penyakit cervical adenopathis. Diagnosis infeksi T. gondii

    progresif dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi parasit secara langsung,

    kultur sel, atau mendeteksi DNA toksoplasma melalui metode PCR.

    Untuk mendiagnosis CT, IgE spesifik terdeteksi tidak sebanyak

    dibandingkan dengan IgM atau IgA. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena

    ELISA lebih sensitive untuk IgE. Hal ini terlihat dari IgE yang terdeteksi dari 13

    anak yang dilahirkan dari ibu dengan serokonversi selama trimester terakhir. Hasil

    ini merupakan respon IgE anak yang menunjukan keadaan yang akut. Cara kerja

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    9/17

    IgE lebih pendek dibandingkan immunoglobulin tipe lainnya, hal ini dapat dilihat

    dari IgE yang ditemukan tidak lama pada kelahiran saat terjadi infeksi pada anak.

    Diantara sebelas anak yang menderita CT dimana tidak terdeteksinyaIgM, IgA atau pun IgE pada saat kelahiran, hasil positif yang diagnosis pada saat

    antenatal akan segera ditangani. Diagnosis antenatal dari CT dengan cara

    melakukan skrining IgE spesifik dalam darah janin, didapatkan hasil kurang

    efektif dibandingkandengan pemeriksaan IgM dan atau IgA.

    Antibodi IgE tidak menampilkan banyak nilai untuk mendiagnosis CT,

    tetapi hasil akan lebih baik jika pemerikasaan dikombinasikan dengan CIP-ELIFA

    dan ICT-M dan ICT-A. Mendeteksi IgE spesifik sebagai monitoring untuk anak

    yang mendapat resiko CT kemungkinan besar dapat digunakan, selama IgE dapat

    timbul atau timbul kembali selama pemeriksaan, yang akan menggambarkan

    proses immunologic rebound. Immunoglobulin tersebut mungkin tidak selalu

    ditemukan secara simultan sehingga diperlukan skrining pada waktu yang sama

    seperti IgG, selain itu dapat dilengkapi dengan menggunakan metode CIP-ELIFA.

    IgE spesifik jarang ditemukan pada anak dengan CT yang menimbulkan

    chorioiretinitis selama satu tahun kehidupan. Hasil ini bertentangan dengan hasil

    penelitian Wong et al. yang menggunakan ELISA untuk mendeteksi IgE tersebut.

    Pada penelitian selanjutnya dalam hal ini, didapatkan hasil bahwa pemeriksaan

    menggunakan ELISA lebih sensitive dibandingkan dengan menggunakan

    immunocapture.

    Skrening untuk antibodi IgE spesifik tidak dapat berfungsi sebagai first-

    line methode untuk memonitoring masa kehamilan dengan risiko terinfeksi T.

    gondii. Saat terjadi infeksi T. gondii IgE dapat timbul dengan cepat dan

    menghilang dengan waktu yang singkat, hal ini dapat membantu mengetahui

    secara tepat kapan waktu terjadinya infeksi. IgE spesifik tetap berada sampai 6

    bulan setelah serokonversi sampai terjadi infeksi yang progresif. Pemeriksaan IgE

    lebih berguna dalam monitoring biological dibandingkan untuk mendiagnosis,

    walaupun dengan menggunakan ELISA hasil dapat terdeteksi berkali-kali. Jadi,

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    10/17

    skrining IgE spesifik lebih berfungsi untuk mendiagnosis etiologi dari

    toksoplasma lymphadenitis.

    Prinsip kerja Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

    Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dikerjakan dengan plat mikrotiter

    plastik yang umumnya terdiri dari 96 sumur, sehingga mempermudah analisis

    simultan pada spesimen multipel. Suatu antibodi reagen ditapiskan di dasar setiap

    sumur. Sampel pasien ditambahkan pada setiap sumur. Sampel pasien

    ditambahkan ke dalam sumur, dan jika terdapat antigen, sampel akan berikatan

    dengan antibody fase padat (penengkapan) dalam sumur. Antibodi kedua

    (detektor) kemudian ditambahkan, yang juga dapat bereaksi dengan antigen

    tersebut. Antibodi kedua dilabel dengan enzim. Setelah pencucian antibodi keduayang tidak terikat, substrat untuk enzim tersebut ditambahkan ke dalam masing-

    masing sumur pada urutan waktu yang tepat, dan menghasilkan produk berwarna

    yang dipantau secara spektrofotometri. Banyaknya antigen di dalam sampel

    sebanding dengan banyaknya produk berwarna yang terbentuk pada tahap akhir.

    Setelah perkembangannya selama beberapa tahun, ELISA telah sangat

    terstandarisasi dan terotomatisasi. ELISA digunakan dalam pengukuran berbagai

    jenis serum dan plasma yang jumlahnya terlalu sedikit untuk deteksi yang adekuat

    dengan nefelometri (misal, protein C, protein S, antigen von Willebrand).

    Prinsipnya terjadi reaksi antara antigen dan antibodi yang telah dilabel dengan

    enzim sehingga terbentuk antigen-antigen kompleks. Dengan penambahan

    substrat, maka akan memberikan intensitas warna yang sesuai dengan konsentrasi

    antigen atau antibodi yang dites dan dapat dibaca melalui reader machine ELISA.

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    11/17

    Klasifikasi Imunoglobulin

    1. IgG

    Dalam serum orang dewasa normal, IgG merupakan 75 % dari

    immunoglobulin total, dan dijumpai dalam betuk monomer. IgG merupakan

    immunoglobulin utama yang dibentuk atas rangsangan antigen. IgG dapat

    menembus plasenta dan masuk ke dalam peredaran darah janin, sehingga

    pada bayi baru lahir IgG yang berasal dari ibulah yang melindungi bayi

    terhadap infeksi. Di antara semua kelas immunoglobulin, IgG paling mudah

    berdifusi kedalam jaringan ekstravaskular dan melakukan aktivitas antibody

    di jaringan. IgG pulalah yang umumnya melapisi mikroorganisme sehingga

    partikel itu lebih mudah difagositosis, disamping itu IgG juga mampu

    menetralisir toksin dan virus. IgG dapat melekat pada reseptor Fc yang

    terdapat pada permukaan sel sasaran dan memungkinkan terjadinya proses

    ADCC; bila melekat pada reseptor Fc pada permukaan trombosit dapat

    merangsang pelepasan vasoactive amine dan menyebabkan agregasi

    trombosit. Di dalam darah, IgG mempunyai half life sekitar 23 hari.

    Di klinik Ig G sering digunakan untuk memberikan imunitas pada

    penderita agamaglobulinemia dan untuk mencegah hemolytic disease of the

    new born (HDN). Seperti diketahui, ibu Rh yang mengandung bayi Rh +

    dapat tersentisisasi dengan Rh + pada persalinan pertama sehingga

    membentuk IgG anti Rh -. Pada kehamilan berikutnya anti Rh dari ibu dapat

    menembus plasenta dan masuk le dalam peredaran darah janin dan bereaksi

    dengan eritrosit janin sehingga menyebabkan hemolisis. HDN dapat dicegah

    dengan memberikan IgG yang mengandung banyak anti-Rh (RhoGAM)

    kepada ibu Rh saat melahirkan, dengan harapan anti-Rh ini dapat mengikat

    Rh + yang mungkin masuk kemudian menetralkannya. Pada umumnya semua

    subkelas dapat dibentuk atas rangsangan antigen, walaupun antigen tertentu

    lebih sering merangsang pembentukan subkelas tertentu dibandingkan yang

    lain, misalnya anti-faktor VIII pada hemophilia biasanya terdiri atas IgG4 dan

    anti-trombosit biasanya IgG3. Selain perbedaan diatas, perbedaan sifat

    biologic yang lain adalah bahwa IgG1 dan IgG3 mudah mengikat

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    12/17

    complement dan melekat pada monosit sedangkan IgG4 tidak atau kurang.

    IgG4 menunjukkan kecepatan migrasi lebih tinggi disbanding subkelas yang

    lain. Selain itu IgG4 diketahui dapat menghambat pengikatan antigen oleh

    IgE, sedang subkelas yang lain tidak. IgG3 mempunyai half life lebih pendek

    disbanding subkelas yang lain dan dapat menggumpal secara spontan.

    2. IgA

    Kelas immunoglobulin kedua terbanyak dalam serum darah adalah IgA.

    Walaupun demikian IgA terutama berfungsi dalam cairan sekresi dan

    diproduksi dalam jumlah besar oleh sel plasma dalam jaringan limfoid yang

    terdapat sepanjang saluran cerna, saluran nafas dan saluran urogenital dalam

    bentuk dimer. Karena itu IgA dapat dijumpai dalam saliva, air mata,

    kolostrum dan juga dalam secret bronkus, vagina dan prostat. Sebelum IgA

    dilepaskan oleh sel plasma, kedua unit dasar immunoglobulin dirangkaikan

    satu dengan yang lain dengan rantai J, kemudian di dalam epitel mukosa

    kelenjar, IgA dirangkaikan dengan komponen sekretorik yang diproduksi

    oleh sel epitel local. Komponen sekretorik diduga bertindak sebagai reseptor

    untuk memudahkan IgA menembus epitel mukosa dengan cara endositosis.

    Setelah dirangkaikan dengan komponen sekretorik, IgA dilepaskan ke dalam

    cairan sekresi dan melindungi molekul IgA terhadap enzim proteolitik yang

    terdapat dalam cairan itu. IgA dapat mengikat virus maupun bakteri sehingga

    dengan demikian mencegah mikroorganisme tersebut melekat pada

    permukaan mukosa. IgA tidak mengaktivasi komplemen melalui jalur klasik

    tetapi aktivasi komplemen dilakukan melalui jalur alternative. Salah satu

    komponen komplemen yang dilepaskan pada aktivasi ini, yaitu C3b, dapatmelakukan opsonisasi mikroorganisme sehingga mikroorganisme mudah

    difagositosis. Walaupun IgA tidak dapat menembus plasenta, kehadirannya

    dalam kolostrum dapat membantu system imu bayi baru lahir. IgA juga

    berfungsi membatasi absorbs antigen yang berasal dari makanan. Reseptor

    terhadape IgA dijumpai pada permukaan limfosit, PMN, dan momosit. Dalam

    darah Ig A umumnya dijumpai dalam bentuk monomer dan merupakan 15 5

    dari kadar immunoglobulin total. Half life IgA adalah 5-6 hari.

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    13/17

    3. Ig M

    Molekul IgM terdapat dalam bentuk pentamer, karena itu merupakan

    immunoglobulin yang berukuran paling besar. Karena ukuran yang besar ini,IgM terutama terdapat intravascular dan merupakan 10 % dari

    immunoglobulin total dalam serum. Makromolekul ini dapat menyebabkan

    aglutinasi beberapa partikel dan fiksasi komplemen dengan efisiensi yang

    sangat tinggi, yaitu 20 kali lebih efektif dalam aglutinasi dan 1000 kali lebih

    efektif dalam aktivitas penghancuran bakteri dibanding IgG. Antibodi IgM

    cenderung menunjukkan afinitas rendah terhadap antigen dengan determinan

    tunggal ( hapten ) tetapi karena molekul IgM multivalen, molekul IgM dapat

    menunjukkan aviditas yang tinggi terhadap antigen yang mempunyai banyak

    epitop. Dilihat dengan menggunakan mikroskop electron, IgM berbentuk

    seperti bintang, tetapi bila melekat pada antigen, bagian-bagian fab akan

    melekat permukaan antigen sehingga bentuk molekul tampak seperti kepiting.

    IgM adalah kelas immunoglobulin yang pertama dibentuk atas rangsangan

    antigen, tetapi respon antigen umumnya pendek yaitu hanya beberapa hari

    kemudian menurun. Fenomena ini digunakan untuk menentukan apakah suatu

    infeksi yang diderita seseorang akut atau tidak. Selain itu karena Ig m tidak

    dapat menembus plasenta, adanya antibody kelas IgM dalam darah bayi baru

    lahir menunjukkan bahwa IgM dibentuk oleh bayi sebagai respon terhadap

    infeksi. Isohemaglutinin misalnya anti-A dan anti-B umumnya terdiri dari

    IgM dan macroglobulin yang terdapat pada penyakit Waldenstrom

    merupakan IgM produksi monoclonal.

    4. IgE

    IgE dapat dijumpai dalam serum dengan kadar amat rendah, dan hanya

    merupakan 0,0004 % saja dari kadar immunoglobulin total. Selain itu IgE

    dapat dijumpai dalam cairan sekresi. Salah satu sifat penting IgE adalah

    kemampuannya melekat secara erat pada permukaan mastosit atau basofil

    melalui reseptor Fc. Bila sel yang dilapisi IgE ini terpapar pada allergen, sel

    tersebut melepaskan mediator reaksi hipersensitifitas yang sangat poten,

    diantaranya histamine, SRS-A dan ECF-A, sehingga menimbulkan gejala

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    14/17

    alergi. Karena itu Ig E dikenal sebagai regain pada reaksi hipersensitifitas tipe

    segera (immediate tipe), misalnya pada rhinitis musiman, asma, urtikaria dan

    reaksi anafilaktik. Peran IgE belum diketahui secara pasti, tetapi kenyataan

    bahwa IgE banyak dijumpai penderita dengan infestasi cacing menimbulkan

    dugaan bahwa IgE berperan dalam melindungi tubuh terhadap parasit. Akhir-

    akhir ini terungkap bahwa parasit yang dilapisi IgE lebih musah dibunuh oleh

    eosinofil, akan tetapi peran IgE disisni tidak sama dengan peran opsonisasi

    IgG. IgE akan diikat oleh reseptor Fc IgE pada permukaan mastosit,

    kemudian mediator-mediator yang dilepaskan oleh mastosit atas rangsangan

    IgE menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler serta pelepasan ECF-A,

    merangsang pelepasan platelet activacting factor (PAF) dari eosinofil

    peroksidase yang diperlukan untuk menghancurkan parasit.

    Kadar IgE pada individu atopic lebih tinggi dibandingkan individu

    normal, dan kadar IgE spesifik terhadap antigen tertentu meningkat sesuai

    kepekaan orang yang bersangkutan terhadap allergen yang relevan. Sel

    plasma yang memproduksi IgE terdapat dalam tonsil dan sinusoid dan

    jaringan limfoid sepanjang sepanjang saluran cerna dan saluran nafas.

    Toxoplasmosis

    Epidemiologi

    Di Indonesia prevalensi zat anti T. gondii yang positif pada manusia

    berkisar antara 2% dan 63%. sedangkan prevalensi zat anti T. Gondii pada

    binatang di Indonesia adalah sebagai berikut: kucing 25-73%, babi 11-36%,

    kambing 11-61%, anjing 75%, dan pada ternak lain kurang dari 10%. Di amerika

    serikat terdapat sekitar 3-70% orang dewasa sehat telah terinfeksi dengan

    Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii juga menginfeksi 3500 bayi yang baru

    lahir di amerika serikat. Pada pasien HIV positif didapatkan angka sekitar 45%

    telah terinfeksi Toxoplasma gondii.

    Etiologi

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    15/17

    Kucing (hospes definitif)

    Epitel usus kecil pada kucing daur aseksual (skizon) dan seksual

    ( gametogoni, sporogoni)

    Menghasilkan ookista dari tinja

    Menghasilkan sporokista yang mengandung 4 sporozoit

    Kalau tertelan mamalia (hospes perantara) membentuk tropozoit yang

    membelah secara aktif menjadi takizoit

    Takizoit dapat menginfeksi dan bereplikasi seluruh sel pada mamalia kecualiSDM

    Bradizoit (kista jaringan terdapat di berbagai organ terutama SSP dan otot)

    Patogenesis

    Jika kista jaingan yang mengandung bradizoit atau ookista yang

    mengandung sporozoit tertelan oleh pejamu, maka parasit akan terbebas dari kista

    oleh proses pencernaan. Bradizoit resisten terhadap efek dari pepsin dan

    menginvasi traktus gastrointestinal pejamu. Di dalam eritrosit, parasit mengalam

    transformasi morfologi, akibatnya jumlah takizoit invasif meningkat. Takizoit ini

    mencetuskan respon IgA sekretorik spesifik parasit. Dari traktus gastrointestinal,

    pararit kemudian menyebar ke berbagai organ, terutama jaringan limfatik, otot

    lurik, miokardium, retina, plasenta dan SSP. Ditempat tersebut parasit

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    16/17

    menginfeksi sel pejamu, bereplikasi dan menginvasi sel yang berdekatan. Maka

    terjadilah respon inflamasi.

    Pada pejamu imunokompeten, baik imuntias humoral maupun selulermengontrol infeksirespon imun terhadap takizoit bermacam-macam termasuk

    induksi antibodi parasit, aktivasi makrofag, dengan perantara radikal bebas,

    produksi interferon gamma, dan stimulasi limfosit T sitotoksik. Limfosit antigen

    ini mampu membunuh baik parasit ekstraseluler maupun sel target yang terinfeksi

    oleh parasit. Selagi takizoit dibersihkan dari pejamu yang mengalami infeksi akut,

    kista jaringan yang mengandung bradizoit mulai muncul, biasanya di dalam SSP

    dan retina. Akibatnya takizoit menetap dan penghancuran progresif berlangsung

    menyebabkan kegagalan organ.

    Pada pasien dengan keadaan imunokompromise seperti HIV/AIDS,

    terjadi suatu keadaan adanya defisiensi imun yang disebabkan oleh defisiensi

    kuantitatif dan kualitatif yang progresif dari subset limfosit T yaitu T helper.

    Subset sel T ini digambarkan secara fenotif oleh ekspresi pada permukaan sel

    molekul CD4 yang bekerja sebagai reseptor sel primer terhadap HIV. Setelah

    beberapa thun, jumlag CD+4 akan turun di bawah level yang kritis dan pasien

    menjadi sangat rentan terhadap infeksi oportunistik.

    Oleh karena itu infeksi oportunistik seperti Toxoplasma gondii mudah

    menyerang penderita HIV/AIDS yang tidak mendapatkan terapi retroviral yang

    efektif.

    Toxoplasma gondii dapat menular ke manusia melalui rute:

    1. Pada Toxoplasmosis kongenital transmisi Toxoplasma kepada janin terjadi in

    utero melalui plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil

    2. Pada Toxoplasmosis akuisita infeksi terjadi bila makan daging mentah atau

    kurang matang (sate)

    3. Infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang yang bekerja dengan

    binatang percobaan yang terinfeksi T.gondii melalui jarum suntik.

    4. Infeksi dapat terjadi dengan transplantasi organ dari donor yang menderita

    toxoplasmosis laten.

  • 7/30/2019 Jurnal Reading Toxoplasmosis

    17/17