komunikasi verbal dan nonverbal dalam kegiatan …
TRANSCRIPT
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication ISSN 2721-1495
Corresponding author: Rosalia Prismarini Nurdiarti; e-mail: [email protected] Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication Volume 2 Issue 1 2021 © The Author(s) 2021. Published by Department of Communication Science Universitas Brawijaya. All right reserved. For permissions, please e-mail: [email protected]
ARTIKEL ORISINAL
Komunikasi Verbal dan Nonverbal dalam Kegiatan
Mendongeng di Rumah Dongeng Yogyakarta
Reno Etri Prabowoa dan Rosalia Prismarini Nurdiartib
abUniversitas Mercu Buana, Yogyakarta
DOI: https://doi.org/10.21776/ub.tuturlogi.2020.002.01.6
Fairy tale is one of communication activities, which is telling stories using verbal and nonverbal
languages such as facial expression, body movement, and parabahasa. It is important that a
storyteller in story telling activity can combine the two types of communication. It’s aim is to help
the audience to get a better understanding of the message in the story which contained in the fairy
tale. To be able to achieve it all, it is important to understand the elements contained in these two
types of communication. These are verbal communication and nonverbal communication. This
study uses a qualitative approach with descriptive method. So that can see and interact directly
with the storyteller, when they are doing storytelling and other activities. The instrument for data
collection uses documentation, interview, and direct observation which are then analyzed. The
result of the research such as verbal communication in fairy tale is obtained by using spoken
language directly, while nonverbal communication in fairy tale includes kinetic, parabahasa,
physical appearance, and artifacts. This, greatly influences the delivery of messages in fairy tale.
Keywords: tale, stroryteller, verbal communication, nonverbal communication.
Dongeng merupakan salah satu kegiatan komunikasi, yaitu bercerita dengan menggunakan
bahasa verbal lisan dan bahasa nonverbal seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan
parabahasa. Penting bagi seorang storyteller dalam kegiatan mendongeng dapat memadukan
kedua jenis komunikasi tersebut. Hal ini bertujuan untuk membantu penonton agar lebih
memahami pesan cerita yang terdapat di dalam dongeng. Untuk mencapai itu semua, penting
memahami unsur-unsur yang terdapat di dalam dua jenis komunikasi verbal dan komunikasi
nonverbal. Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif
dengan metode deskriptif, sehingga peneliti dapat melihat dan berinteraksi langsung dengan
para storyteller. Instrumen pengambilan data menggunakan dokumentasi, wawancara, dan
pengamatan langsung yang kemudian dianalisis. Hasil penelitian yang diperoleh adalah
komunikasi verbal di dalam dongeng yaitu dengan menggunakan bahasa lisan secara langsung,
sedangkan komunikasi nonverbal di dalam dongeng meliputi kinetik, parabahasa, penampilan
fisik, dan artefak. Hal ini sangat memberikan pengaruh bagi penyampaian pesan di dalam
dongeng.
Kata Kunci: dongeng, stroryteller, komunikasi verbal, komunikasi nonverbal.
Saat ini budaya dongeng sudah mulai berganti dengan budaya teknologi seperti smart
phone. Tidak bisa disalahkan ketika kemajuan teknologi mulai memengaruhi budaya yang
kita miliki. Pada dahulu kala ketika sebelum tidur, orang tua pasti akan menceritakan sebuah
Komunikasi Verbal dan Nonverbal dalam Kegiatan Mendongeng di Rumah Dongeng Yogyakarta
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 2 (2021) 77-88
78
kisah dongeng sebagai pengantar tidur untuk anaknya. Tetapi sekarang, tidak sedikit orang
tua cenderung membiarkan anaknya terlelap dengan smart phone berada di sampingnya.
Latar belakang tersebut yang membuat Rumah Dongeng Mentari Yogyakarta membentuk
sebuah komunitas untuk membangkitkan budaya mendongeng. Anak-anak dalam usia
tumbuh kembang memerlukan edukasi untuk meningkatkan daya imajinasi melalui cerita
atau kegiatan mendongeng.
Pada kurun waktu 2016 hingga sekarang, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri
banyak diselenggarakan kegiatan dongeng. Mulai dari pelatihan, perlombaan, dan
pertunjukan dongeng. Baik di sekolah maupun tempat umum seperti hotel, cafe, ataupun
tempat wisata yang berada di daerah Yogyakarta. Seperti pelatihan yang diadakan Balai
Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tanggal 21 Oktober 2016 bertajuk
“Workshop Mendongeng Cerita Anak” untuk memberikan pembinaan bahasa dan sastra
daerah kepada para guru Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) di DIY (Badan
Bahasa, 2016).
Selain itu, komunitas Rumah Dongeng Mentari juga banyak menggelar acara
mendongeng. Salah satunya saat peringatan Hari Dongeng Internasional yang bertempat di
Hotel HOM Platinum Yogyakarta pada tanggal 22 Maret 2018. Dalam acara tersebut, mulai
dari anak usia TK, SD, hingga mahasiswa, diajak berimajinasi dan menciptakan dongeng
bersama. Proses interaksi saat mendongeng pun turut disaksikan oleh orang tua sang anak
(Deni, 2018). Hal ini dapat menjadi bukti bahwa dongeng di Yogyakarta saat ini masih terus
dilestarikan. Terdapat beberapa komunitas dongeng lainya di Yogyakarta, seperti Rumah
Dongeng Indonesia di Kotagede atau Kampung Dongeng di Baciro. Ada juga komunitas
yang fokus pada kisah-kisah hikmah, yaitu Persaudaraan Pencerita Muslim Indonesia
(PPMI) di Mantrijeron, Kota Yogyakarta (Aditya, 2017).
Terbentuknya komunitas dongeng di daerah Yogyakarta tentunya melahirkan berbagai
macam karakter storyteller. Hal ini juga terjadi pada komunitas Rumah Dongeng Mentari.
Banyaknya pendongeng yang ada di komunitas ini tentu saja memiliki cara penyampaian
yang beragam. Beragamnya gaya komunikasi yang dilakukan pendongeng membuat penulis
ingin mengetahui lebih dalam mengenai cara berkomunikasi storyteller dalam kegiatan
mendongeng di Rumah Dongeng Mentari. Kode verbal dan nonverbal dapat ditemukan
dalam gaya berkomunikasi pendongeng. Pentingnya menyerasikan kedua bentuk
komunikasi itu wajib dilakukan guna memberikan kejelasan makna. Penelitian ini ditujukan
untuk mengetahui cara menyampaikan pesan dengan baik, sehingga bahasa dan cerita yang
disampaikan dapat ditangkap dan dipahami.
Kajian tentang dongeng telah diteliti dari berbagai aspek. Alfi (2018) melihat sisi
komunikasi yang digunakan pendongeng dalam menyampaikan pesan moral melalui media
Selaparang TV, yakni komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal digunakan
ketika mengisahkan dan menceritakan dongeng-dongeng, sedangkan komunikasi nonverbal
digunakan dalam bentuk gambar-gambar ilustrasi dari dongeng yang dibawakan. Proses
komunikasi yang terjadi di lapangan adalah komunikasi sekunder di mana pendongeng
menyampaikan pesan moral melalui media televisi. Pesan yang disampaikan lebih banyak
membahas kisah-kisah Nabi Muhammad SAW. Pesan moral religius di antaranya
R. E. Prabowo dan R. P. Nurdiarti
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 2 (2021) 77-88
79
perjuangan harus disertai dengan doa, membantu orang lain, selalu meminta kepada Allah
SWT, jangan pernah tamak dan sombong terhadap harta.
Penelitian lain dilakukan dengan metode kunatitatif oleh Azkiya dan Iswinarti (2016).
Kegiatan mendongeng merupakan salah satu metode untuk meningkatkan kemampuan
bahasa anak. Sebab, dalam mendongeng terjadi peningkatan proses mendapatkan kosa kata
baru, mengevaluasi dan memahami informasi baru. Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental dengan menggunakan desain Pretest-Posttest Control Group Design dengan
pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling. Subjek penelitian
berjumlah 30 orang siswa/i PAUD/KB Bunda Aini dengan rentang usia 5 sampai 6 tahun.
Analisa data menggunakan paired sample t-test dengan hasil yang menunjukkan bahwa
mendengarkan dongeng berpengaruh sangat signifikan terhadap kemampuan bahasa pada
anak prasekolah, yang ditunjukkan dengan nilai p = 0,000.
Kemampuan berbahasa diimplementasi dalam komunikasi verbal dan nonverbal.
Komunikasi nonverbal (nonverbal communiction) adalah semua aspek komunikasi selain
kata-kata itu sendiri. Komunikasi nonverbal mencakup bagaimana mengutarakan kata-kata
(misalnya, perubahan nada, volume), fitur-fitur lingkungan yang memengaruhi interaksi
(misalnya, temperatur, cahaya), objek yang memengaruhi citra personal, dan pola interaksi
(misalnya, pakaian, perhiasan, perabotan (Wood, 2013). Komunikasi nonverbal terdiri dari
kinetic, yakni posisi tubuh dan gerakan tubuh termasuk di dalamnya gerakan wajah. Selain
itu, ada haptic yang merupakan sentuhan fisik dan penampilan fisik. Artefak yakni objek
atau benda yang disertakan ketika mengumumkan identitas dan parabahasa, termasuk di
dalamnya berguman, terengah-engah, kualitas vocal, dan perubahan nada.
Komunikasi verbal merupakan pesan-pesan lisan yang dikirim melalui suara dan bisa
melibatkan simbol-simbol verbal dan nonverbal (Liliweri, 2011). Ada beberapa efektivitas
bahasa lisan, di antaranya: Pengucapan, semua unit dalam bahasa harus diucapkan secara
jelas, benar, dan tepat. pesan tidak dapat dimengerti jika tanpa artikulasi yang jelas dan tepat
meskipun maksud pengucapan ini benar. Kejelasan, berkaitan dengan kepadatan isi dan
kelengkapan. Kosakata meliputi perbendaharaan kosakata dalam mengungkapkan sesuatu.
Bahasa lisan mempunyai beberapa kelebihan, yakni ketika mengirim pesan mendapat umpan
balik langsung dari penerima serta dapat segera diklarifikasi jika komunikator melakukan
kesalahan. Dari sisi waktu, pesan verbal dapat ditularkan seketika melalui media tertentu.
Komunikasi verbal juga bertujuan untuk mempersuasi dan mengontrol pihak lain.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode dalam penelitian ini sebagaimana
yang diungkapkan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong,
2017). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung kondisi fisik dan
karakteristik lainya seperti gesture, bahasa, simbolik, yang digunakan saat melakukan
kegiatan mendongeng. Wawancara dilakukan dengan Kak Ayu, sebagai salah satu pendiri
komunitas Rumah Dongeng Mentari. Kak Bimo, Kak Aris dan Kak Azam diwawancara
sebagai storyteller untuk memahami gaya mendongeng mereka. Pengambilan dokumentasi
berupa foto saat mendongeng dan data yang relevan terkait komunikasi verbal dan
komunikasi nonverbal yang dilakukan.
Komunikasi Verbal dan Nonverbal dalam Kegiatan Mendongeng di Rumah Dongeng Yogyakarta
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 2 (2021) 77-88
80
Hasil dan diskusi
Komunikasi verbal dalam mendongeng
Liliweri (2011) membagi fungsi bahasa menjadi tiga, yaitu descriptive language, expressive
langaugae dan directive language. Dalam penelitian ini, descriptive language dalam
kegiatan mendongeng para storyteller menggambarkan atau mendeskripsikan isi dalam
cerita kepada penonton seperti tokoh, watak, hingga perilaku tokoh tersebut. Dengan
demikian, tentu penonton akan mengerti seperti apa gambaran tokoh di dalam dongeng
tersebut, dan penonton akan memahami alur cerita dan pesan pada cerita.
Pentingnya mendeskripsikan isi dalam cerita bertujuan agar penonton mampu ikut
merasakan menggunakan imajinasi mereka, sehingga penonton juga tidak pasif hanya
mendengarkan saja. Akan tetapi, juga ikut aktif dengan imajinasi mereka. Hal ini akan
membuat penonton memberikan respon seperti tertawa, tersenyum dan bertepuk tangan,
yang menandakan bahwa deskripsi yang dilakukan oleh storyteller dapat di pahami dan di
mengerti penonton.
Gambar 1. Ekspresi Penonton dalam acara Joy Circle
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Fungsi bahasa ekspresif dalam dongeng pada saat acara Joy Circle. Joy circle pertama
diadakan pada tanggal 15 April 2017 bertempat di Rembug Kopi. Joy Circle, sebuah acara
untuk penikmat dongeng/pendengar dongeng, yang memiliki keinginan untuk melatih atau
belajar mendongeng. Acara ini juga sebagai wadah berbagi cerita dan dongeng dalam bentuk
open mic, yaitu sebuah pertunjukan secara langsung di mana para penonton atau pendengar
boleh tampil di depan dan berbagi cerita.
Joy Circle ini dihadiri berbagai kalangan, mulai dari usia anak-anak, dewasa, dan orang
tua. Terlihat bahwa ketika storyteller sedang bercerita disertai dengan nyanyian untuk
mengekspresikan perasaan dalam cerita. Tujuannya agar perasaan sampai kepada penonton
melalui nyanyian.
R. E. Prabowo dan R. P. Nurdiarti
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 2 (2021) 77-88
81
Gambar 2. Kegiatan mendongeng di acara Joy Circle
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Bahasa sebagai directive language diucapkan secara langsung dari pendongeng kepada
penonton. Setiap pendongeng mengirimkan pesan di dalam cerita melalui perkataan dan
gerakan secara langsung kepada penonton dengan media pendukung dan tanpa melalui
media pendukung. Sedangkan ceremonial language merujuk pada penggunaan bahasa yang
terstruktur saat mendongeng. Pada saat mereka bercerita, tidak ada kata cacian, hinaan, dan
kata-kata lain yang sifatnya negatif.
Setiap storyteller sebelum melakukan aktivitas bercerita selalu menyiapkan bahan atau
materi yang akan diceritakan demi kelancaran saat mendongeng terlebih dahulu. Ada
beberapa langkah dalam bercerita, seperti pemilihan cerita, intonasi, persiapan sebelum
masuk kelas, pemunculan tokoh dan peniruan suara (Aziz, 2017). Pemilihan cerita bisa
berupa cerita humor, binatang, romantis, misteri, dan sebagainya. Memilih cerita yang sesuai
dengan tema acara dan menyesuaikan permintaan dari panitia. Storyteller melihat siapa yang
menjadi penontonnya. Hal ini penting agar mereka dapat menguasai isi cerita tersebut,
sehingga mudah dalam mendeskripsikan atau menggambarkan cerita kepada penonton.
Storyteller akan melakukan persiapan sebelum masuk kelas atau naik ke atas panggung,
ini akan membantu dalam penyampaian cerita dengan mudah. Seperti penguasaan cerita, alat
yang dipakai saat akan manggung, serta mental yang baik ketika berhadapan dengan para
penonton. Dengan pengusaan cerita yang baik, maka akan dapat menggambarkan berbagai
peristiwa di hadapan penonton. Pada acara sayembara Pendongeng Cilik, hampir semua
peserta pendongeng cilik menguasai materi cerita yang disampaikanya. Selain itu, sebagian
dari mereka ada yang membawa alat pendukung bercerita, seperti boneka, wayang, alat
musik, dan sebagainya. Acara ini berlangsung di Gembira Loka Zoo, menghadirkan
pendongeng cilik yang sudah melalui jalur seleksi.
Komunikasi Verbal dan Nonverbal dalam Kegiatan Mendongeng di Rumah Dongeng Yogyakarta
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 2 (2021) 77-88
82
Gambar 3. Peserta Pendongeng Cilik dengan media wayang
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Intonasi menjadi langkah dasar dalam bercerita karena dapat menghidupkan dongeng.
Intonasi terjadi ketika awal mulai cerita dan ketika ada suatu peristiwa di dalam cerita. Pada
saat awal dimulai cerita, sang pendongeng sempat mengeraskan suara ketika seorang tokoh
dalam cerita sedang memanggil temannya. Selanjutnya terjadi penekanan suara ketika
sedang dalam puncak peristiwa. Intonasi ini hadir dalam pemunculan tokoh. Misalnya saat
memunculkan tokoh seekor binatang kera, maka akan disertai dengan mimik wajah dan
gerakan tubuh yang menggambarkan seekor kera. Penting bagi seorang pendongeng
mempelajari terlebih dahulu alur cerita serta tokoh-tokohnya, agar dapat memunculkannya
secara hidup.
Dalam mendongeng juga penting adanya penampakan emosi. Penampakan emosi di
dalam cerita perlu untuk dilatih dan dipersiapkan. Agar pendongeng dapat mengetahui
situasinya saat menunjukkan rasa kasihan, protes, marah atau mengejek. Maka intonasi dan
kerut wajah harus menunjukkan hal tersebut. Sebagai contoh, saat menceritakan seorang
pangeran muda yang sedang menunjukkan keberanian untuk melawan nenek sihir. Peniruan
suara akan semakin mempertegas penampakan emosi. Ada beberapa suara yang bisa
ditirukan, seperti suara motor, suara binatang, suara anak kecil, dan suara seorang kakek-
kakek. Hal ini bertujuan agar cerita dapat tersampikan dengan jelas dan pendengar pun dapat
menghayati cerita tersebut.
Pesan lisan yang dikirim melalui suara harus diucapkan secara jelas, benar, dan tepat.
Pesan tidak dapat dimengerti jika tanpa artikulasi yang jelas dan tepat, meskipun maksud
pengucapan ini benar. Para storyteller menerangkan bahwa pengucapan secara lisan sangat
penting karena hal ini dapat memengaruhi tingkat pemahaman cerita yang disampaikan
kepada penonton. Storyteller sebagai seorang yang menyampaikan cerita di dalam sebuah
dongeng harus memiliki pengucapan yang jelas, sebaiknya dalam berbicara intonasi dan
artikulasi dapat seimbang. Tidak terlalu cepat saat berbicara dan jelas pada saat
menyampaikan cerita. Bercerita yang baik yaitu ketika alur cerita, karakter dari tokoh di
dalam cerita, dan pesan dalam cerita dapat tersampaikan kepada penonton dengan baik.
Kejelasan di dalam komunikasi verbal pada saat melakukan observasi di acara
mendongeng yaitu ketika storyteller sedang bercerita. Kepadatan isi dan kelengkapan bahwa
R. E. Prabowo dan R. P. Nurdiarti
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 2 (2021) 77-88
83
setiap pesan sebaiknya singkat namun tak boleh mengabaikan aspek kelengkapan. Dalam
mendongeng para storyteller memiliki durasi tersendiri untuk bercerita. Agar waktu dan
pesanya bisa sesuai dengan durasi bercerita dan diterima, maka cerita pun dibuat singkat
namun jelas. Dalam hal ini, storyteller pun merangkai cerita dengan cara menyingkat alur
cerita tanpa mengurangi makna dan pesan didalamnya.
Seorang storyteller dalam menyampaikan dongeng memiliki keberagaman kosakata
yang diucapkannya. Keberagaman kosakata ini bertujuan agar penonton tidak bosan untuk
mendengarkan dongeng. Bercerita akan membosankan apabila storyteller selalu
mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata dan kalimat yang sama. Akan tetapi, harus
disesuaikan dengan kadar pikir penonton. Jika penontonnya anak-anak, maka kosakata yang
digunakan sederhana. Pada saat mendongeng, pemilihan kosakata yang dilakukan oleh
storyteller harus sesuai dengan siapa yang menjadi penonton. Selain itu, memilih kosakata
yang baik dan beragam membuat dongeng semakin menarik dan penonton pun akan lebih
antusias dalam memperhatikan dongeng tersebut.
Mendongeng juga bertujuan untuk mempersuasi dan mengontrol penonton. Misalnya,
ketika bercerita tentang seorang pemuda yang gagah berani dan suka menolong, seorang
pendongeng akan memberikan argumen bahwa orang yang suka menolong disukai dan
memiliki banyak teman. Mendongeng merupakan kegiatan dengan menggunakan bahasa
sebagai salah satu alat untuk menyampaikan pesan dalam dongeng. Agar pesan tersampaikan
dengan baik, maka seorang pendongeng harus melihat siapa yang akan menjadi
penontonnya. Jika penontonnya anak-anak, maka seorang pendongeng harus menggunakan
bahasa yang dimengerti oleh anak, atau mendeskripsikan cerita dengan bahasa yang mudah.
Penting bagi pendongeng untuk bisa menguasai penonton, agar lebih mudah dalam
membangun pesan melalui dongeng kepada mereka. Dalam hal ini para storyteller harus
memiliki kemampuan untuk menarik perhatian dari penonton. Salah satunya melalui ice
breaking, yaitu sebuah permainan yang dapat mencairkan suasana di tengah acara. Ketika
para penonton mulai kurang fokus, maka seorang storyteller melakukan ice breaking untuk
mendapatkan atensi dari penonton.
Gambar 4. Kegiatan mendongeng di Acara Sayembara Pendongeng Cilik
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Komunikasi Verbal dan Nonverbal dalam Kegiatan Mendongeng di Rumah Dongeng Yogyakarta
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 2 (2021) 77-88
84
Bahasa lisan sangat praktis digunakan dalam melakukan kegiatan yang mengandung
unsur komunikasi di dalamnya. Seperti dongeng, misalnya. Dongeng merupakan salah satu
kegiatan yang menggunakan bahasa lisan dalam menyampaikan cerita. Kelebihan
menggunakan bahasa lisan menurut Liliweri (2011) adalah penyesuaian pesan. Penting bagi
seorang storyteller untuk dapat menyesuaikan pesan dengan sedikit menggunakan bahasa
daerah agar mendapatkan atensi lebih dari penonton. Dalam penggunaan bahasa lisan juga
mudah untuk mengklarifikasi. Sebagai contoh, saat storyteller sedang bercerita, mereka
mampu memperjelas dan memberikan pesan-pesan jika ada tokoh yang kurang baik. Mereka
dapat langsung mengkomunikasikan bahwa yang dilakukan tokoh tersebut adalah perbuatan
yang salah. Hal ini agar segera dipahami oleh penonton.
Komunikasi nonverbal dalam mendongeng
Komunikasi nonverbal dalam bercerita meliputi kinestetik, penampilan fisik, artefak dan
parabahasa. Pada dasarnya, dongeng merupakan budaya tutur. Bahasa yang digunakan
adalah bahasa lisan. Bahasa lisan merupakan bagian dari komunikasi verbal. Akan tetapi,
untuk menghidupkan suasana cerita kepada penonton dan sebagai salah satu dari fungsi
hiburan, maka komunikasi nonverbal digunakan sebagai pendukung dari komunikasi verbal.
Gambar 5. Eskpresi mimik muka ketika bercerita
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Komunikasi nonverbal kinestetik oleh seorang storyteller pada saat bercerita
menunjukkan pesan yang beragam. Dimulai dari ekspresi wajah, ekspresi wajah dalam
bercerita dipergunakan agar penonton bisa memahami karakter apa yang disampaikan oleh
seorang storyteller. Pada umumnya, ekspresi wajah yang dilakukan oleh storyteller
mewakili dari para tokoh yang sedang diceritakan dan mengekspresikan ketika tokoh
R. E. Prabowo dan R. P. Nurdiarti
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 2 (2021) 77-88
85
tersebut sedang senang, sedih, ataupun marah. Dalam mendongeng, seorang storyteller
memperlihatkan ekspresi wajah setelah bercerita untuk memperkuat bentuk imajinasi dan
menghidupkan cerita kepada penonton.
Selain ekspresi wajah, gerakan tubuh juga termasuk dalam komunikasi nonverbal
kinetik. Namun, tidak semua dalam mendongeng harus disertai dengan gerakan tubuh.
Contoh gerakan tubuh seperti memperagakan seorang tokoh pangeran menaiki kuda.
Memperagakan karakter merupakan cara untuk menghidupkan cerita kepada penonton. Hal
ini sangat membantu dalam mempermudah penyampaian pesan dalam dongeng. Sesekali
juga para storyteller melakukan gerakan untuk berinteraksi dengan penonton, seperti
mengacungkan jari jempol, mengeluarkan ekspresi melamun dengan menunjuk ke salah satu
penonton.
Penampilan seorang storyteller saat di atas panggung menjadi penting untuk
memperlihatkan identitasnya di atas panggung. Meski penampilan fisik tidak terlalu menjadi
sorotan utama ketika bercerita, namun penampilan dapat memberikan pengaruh kepada
penonton. Apa yang diperhatikan mengenai penampilan membentuk penilaian akan tingkat
daya tarik. Setiap storyteller memiliki gaya penampilan masing-masing. Seperti salah satu
penampilan storyteller dalam acara pagelaran dongeng Jogja.
Gambar 6. Kegiatan bercerita dengan aksesoris
Sumber: https://www.instagram.com/p/BqHk05HFAMN/
Beberapa storyteller membawa benda (artefak) untuk disertakan saat mendongeng.
Seperti alat musik, boneka, dan gambar. Tentu saja hal ini akan membantu storyteller dalam
bercerita. Namun, tidak semua storyteller menyertakan benda saat mendongeng. Semua
kembali kepada kebutuhan masing-masing para storyteller. Membawa benda seperti boneka,
gambar, maupun alat musik, tentunya akan menambah komunikasi nonverbal kepada
penonton.
Komunikasi Verbal dan Nonverbal dalam Kegiatan Mendongeng di Rumah Dongeng Yogyakarta
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 2 (2021) 77-88
86
Gambar 7. Artefak dalam pertunjukan dongeng
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 8. Properti boneka saat mendongeng
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Di tengah-tengah bercerita, para storyteller sering mengeluarkan komunikasi vokal yang
tidak mencakup kata-kata. Seperti bergumam, memperagakan suara alam seperti angin,
bunyi-bunyian kendaraan bermotor, dan bunyi-bunyian yang membangun suasana horor.
Hal ini dapat membangun suasana di tengah-tengah penonton. Parabahasa dalam bercerita
akan dapat membantu dalam berimajinasi oleh para penonton. Hal ini dinilai perlu untuk
dilakukan oleh para storyteller guna membangun suasana.
Dalam konteks membangun imajinasi, melalui parabahasa ini penonton akan interaktif
untuk membangun imajinasinya. Sebab, para storyteller mampu membangun suasana atau
menggambarkan suasana dalam cerita menggunkan parabahasa. Sangat penting dapat
R. E. Prabowo dan R. P. Nurdiarti
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 2 (2021) 77-88
87
membangun sebuah suasana dalam cerita, sehingga penonton pun ikut merasakan cerita
tersebut. Untuk itu, penting bagi seorang storyteller dituntut bisa memadukan komunikasi
verbal dan nonverbal ini.
Komunikasi verbal dan nonverbal di dalam mendongeng perlu untuk dipadu padankan.
Karena hal ini mempermudah penonton untuk memperoleh pesan dari cerita tersebut. Selain
itu, seorang storyteller sendiri dapat dengan mudah membawakan cerita dan suasana dalam
cerita menjadi hidup dengan memadu padankan unsur-unsur yang ada di dalam dua jenis
komunikasi.
Beberapa storyteller mampu menggunakan parabahasa dengan baik, serta mampu
membangun suasana di dalam dongeng kepada penonton. Selain itu, penulis juga
menemukan bahwa ketika tingkat penggunaan parabahasa di dalam kegiatan mendongeng
terlalu berlebihan, maka yang terjadi adalah penonton terlalu fokus terhadap parabahasa
yang digunakan oleh storyteller. Pada akhirnya, yang diingat oleh penonton bukan pesan
dalam cerita, namun kagum akan parabahasa yang digunakan storyteller.
Penutup
Dongeng merupakan sebuah kegiatan bercerita yang memiliki dua jenis komunikasi di
dalamnya, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Komunikasi verbal dalam
mendongeng meliputi pengucapan, kejelasan, kosakata dan intonasi. Komunikasi nonverbal
storyteller membuat sebuah cerita menjadi hidup. Elemen nonverbal meliputi konestetik,
penampilan fisik, artefak dan parabahasa. Kedua jenis komunikasi dalam mendongeng
tersebut dapat memberikan kemudahan bagi penonton untuk dapat berimajinasi dan
menerima pesan di dalamnya. Kegiatan mendongeng pada dasarnya adalah komunikasi
verbal dengan bahasa lisan secara langsung dari seorang storyteller. Agar ceritanya hidup
dan ada unsur entertain di situ, maka didukung dengan komunikasi nonverbal. Jika kedua
jenis ini dipadukan, maka komunikasi yang terjadi antara pendongeng dengan penonton akan
baik. Sebab, penonton dapat memahami cerita yang disampaikan. Tidak hanya memahami,
penonton juga dapat merasakan dengan berimajinasi, sehingga ceritanya masuk di dalam
benak para penonton.
Daftar pustaka
Aditya, I (2017). Dongeng untuk Pendidikan Karakter Anak. krjogja.com. Diakses dari
https://www.krjogja.com/angkringan/opini/dongeng-untuk-pendidikan-karakter-anak/
Alfi, A, H. (2018). Komunikasi moral religius melalui dingeng pada Selaparang TV. Komunike, X(1),
18-31.
Aziz, A.M.A (2017). Mendidik dengan cerita. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Azkiya, N, R. Iswinarti. (2016). Pengaruh mendengarkan dongeng terhadap kemampuan bahasa pada
anak prasekolah. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 04(02), 123-39
Badan Bahasa (2016). Berlatih Menulis Dongeng dan Mendongeng di Balai Bahasa Yogyakarta.
Diakses dari http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/node/2150
Deni. (2018). Komunitas Rumah Dongeng Mentari Ajak Anak Mendongeng Bersama.
kumparan.com. Diakses dari https://kumparan.com/tugujogja/komunitas-rumah-dongeng-
mentari-ajak-anak-mendongeng-bersama/full
Kegiatan Kelas Mendongeng Diakses dari https://www.instagram.com/p/Bo8zB3ngTyJ/
Komunikasi Verbal dan Nonverbal dalam Kegiatan Mendongeng di Rumah Dongeng Yogyakarta
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 2 (2021) 77-88
88
Liliweri, A. (2011). Komuniksi serba ada serba makna. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Moleong, L.J. (2017). Metodologi penelitian kualitatif (Edisi revisi). Bandung: Remaja Rosdakarya
Wood, J, T. (2013). Komunikasi teori dan praktik.komunikasi dalam kehidupan kita. Jakarta:
Salemba Humanika