kontektualisasi pemikiran machiavelli tentang kekuasaan

16
Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan-Tujuan Negara Sri Hastuti Puspitasari Abstract As thinker who lived in renaissance atmosphere Machiavelly had put his empirical per spective into the end ofstate concept. In his book Prince he tended to focus on how to perpetuate power for thesubstance ofa state ofa kingdom was throne ofa king. Today, eventhough military power has been used to strengthen a state, the idea of dictatorship would have been going to fade up. At this point, the end ofstate should be based upon political ethicsand moral from this day forward. Pendahuluan Pada" dasarnya pemikiran Nicolo Machiavelli dalam bukunya II Principi mengandung gagasan kekuasaan, meskipun tidak terlalu lugas dalam menyatakan pentingnya gagasan konsep kekuasaan diretrospeksi. Bagi Machiavelli, berpikir terlalu teoritis tidaklah menarik. Pengalaman empirik kekuasaan di beberapa negara lebihmenarik dalam pandangannya, sebagai seorang realis dan pikirannya berada pada atmosfir renais sance. Walaupun gagasan Machiavelli tentang kekuasaan tidakberangkat dari konsep tertentu yang bersifat teoritis, tidak ada salahnya jika tanggapan terhadap pemikirannya dimulai dari menggagas konsep kekuasaan. Hal ini merupakan persoalan penting dalam wacana negara. Apabila berbicara tentang kekuasaan, maka tidak dapat diiepaskan dari dimensi politik. Ketika berbicara kekuasaan dalam perspektif ilmu politik, maka akan ditemukan dua kubu. Kubu pertama menganggap bahwa kekuasaan sebagai masalah esensial dalam ilmu politik. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa ada masalah yang lebih penting dan merupakan inti dari segala persoalan politik, yaitu negara. Kubu kedua" mempunyai argumentasi bahwa kekuasaan adalah persoalan yang sangat substantif, esensial, bahkan merupakan hakikat ilmu politik. Negara hanya lembaga bagi kekuasaan.^ 'A. Rahman Zainudin. 1992. Kekuasaan Negara, Pemikiran PolitikIbnu Khaldun. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama. Negara sebagai kajian teoritik sempatmendominasi abad 20. Him. 1-3. 30 JURNAL HUKUM. NO. 18 VOL. 8. OKTOBER 2001:30 - 45

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan

Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli

tentang Kekuasaan-Tujuan Negara

Sri Hastuti Puspitasari

Abstract

As thinker who lived in renaissance atmosphere Machiavelly had put his empirical perspective into the end ofstate concept. In his book Prince he tended to focus on how toperpetuate power for thesubstance ofa state ofa kingdom wasthrone ofa king. Today,eventhough military power has been used tostrengthen a state, the ideaof dictatorshipwould have been going to fade up. At this point, theend ofstate should be based uponpolitical ethicsand moral from this day forward.

Pendahuluan

Pada" dasarnya pemikiran NicoloMachiavelli dalam bukunya II Principimengandung gagasan kekuasaan, meskipuntidak terlalu lugas dalam menyatakanpentingnya gagasan konsep kekuasaandiretrospeksi. Bagi Machiavelli, berpikir terlaluteoritis tidaklah menarik. Pengalaman empirikkekuasaan di beberapa negara lebih menarikdalam pandangannya, sebagai seorang realisdan pikirannya berada pada atmosfir renaissance.

Walaupun gagasan Machiavelli tentangkekuasaan tidakberangkatdari konseptertentuyang bersifat teoritis, tidak ada salahnya jikatanggapan terhadap pemikirannya dimulaidari menggagas konsep kekuasaan. Hal ini

merupakan persoalan penting dalam wacananegara.

Apabila berbicara tentang kekuasaan,maka tidak dapat diiepaskan dari dimensipolitik. Ketika berbicara kekuasaan dalamperspektif ilmu politik, maka akan ditemukandua kubu. Kubu pertama menganggap bahwakekuasaan sebagai masalah esensial dalamilmu politik. Hal ini didasari oleh asumsi bahwaada masalah yang lebih penting danmerupakan inti dari segala persoalan politik,yaitu negara. Kubu kedua" mempunyaiargumentasi bahwa kekuasaan adalahpersoalan yang sangat substantif, esensial,bahkan merupakan hakikat ilmu politik.Negara hanya lembaga bagi kekuasaan.^

'A. Rahman Zainudin. 1992. Kekuasaan Negara, Pemikiran PolitikIbnu Khaldun. Jakarta; GramediaPustaka Utama. Negara sebagai kajian teoritik sempatmendominasi abad 20. Him. 1-3.

30 JURNAL HUKUM. NO. 18 VOL. 8. OKTOBER 2001:30 - 45

Page 2: Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan

Sri HastutiPuspitasari. Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli...

Kekuasaan dalam beberapa konsepbanyak dibedah dalam berbagai perspektif.Tetapi, ketika dihadapkan pada realita praksis,tuntutan yang muncul bahwa kekuasaan harusmengejawantahkan demokrasi (baca: ruangkebebasan bagi rakyat). Persoalan signifikanbukan pada apa kekuasaan yang demokratis,meiainkan pada bagaimana mewujudkankekuasaan yang demokratis.

Pemikiran Machiavelli tampaknya tidakmenyinggung ha! ini. Sebab, bagi Machiavelli,kekuasaan negara harus diwujudkan denganadanya angkatap perang yang kuat dantangguh,dan rajaharus mewujudkannya untukmelindungi rakyat. Bagaimana distribusikekuasaan raja, tidak terlalu penting, sebab ditangan raja segala keputusan berada. Olehkarena itu, kebebasan untuk berpartisipasidalam mengontro! kekuasaan sangatterbatas.

Termlnologr Kekuasaan dalamPerspektif . ,

Bagi Machiavelli, kekuasaan rajamerupakan sumber keabsahan kebijakan-kebijakan kerajaan atau negara. Tanpakekuasaan kebijakan tidak .mempunyaikekuatan untuk direaiisasikan. Kekuasaan

yang demikian adaiah kekuasaan yang sahsecara hukum. Jika kekuasaan ditinjau darisudut pandang aturan bernegara, kekuasaanharus mendapat legitimasi dari konstitusisebagai hukum dasar bagi negara yang

memuat kaidah-kaidah fundamental tentangsistem ketatanegaraan.

Machiavelli tidak secara tersurat

menyatakan penggunaan konsep kekuasaantertentu. Dengan demikian, tinjauan ulangterminologi kekuasaan daiam berbagaiperspektif diperlukan untuk mendekatkanpemikiran Machiavelli pada konsep tertentumengenai kekuasaan.

Pada dasarnya terminologi kekuasaanselalu terkaitdengan hakikat, wewenang, dandasar legitimasi. Hakikat kekuasaanbersentuhan dengan ha! yang sebenar-benarnya. Dari segi hakikat, kekuasaan adaiahkekuatan, kemampuan atau kesanggupanuntuk berbuat sesualu. Mengandung makhawewenang atas sesuatu pula.^ Daiam berbagaipemikiran, pengertian ini berkembang danmempunyai heterogenitas persepsi sesuaidengan perspektif yang digunakan. Sebagaicontoh, terminologi kekuasaan yang dianalisisdari perspektif fiisafat ketuhanan akanberlainan dengan terminologi dari perspektifsosiologi.

Perspektif fiisafat ketuhanan membedakankekuasaan mutlak dan kekuasaan reiatif atau

nisbi. Kekuasaan mutlak hanya ada padaAllah.Adapun kekuasaan nisbiatau reiatif ada padamanusia. Kemahakuasaan adaiah kemestian

bagi Allah.^ Allah adaiah pemilik otoritastertinggi atau pemilik dan pemegang tahtaotoriter. Tahta Otoriter adaiah tahta tertinggidan secara hirarkhls di bawah tahta adaiah

^Definisi kata-kuasa yang dirangkum dari Kamus Besar Bahasa Indonesia:Jakarta: DepartemenPendidlkan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka. 1976.Him. 528.

^Hamzah Ya'cub. 1984. FiisafatKetuhanan. Bandung: Al-Maarif. Him. 169.

31

Page 3: Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan

tahta kekuasaan yang diberikan kepada paraNabi yang akan menjalankan kekuasaannyasecara riil dalam masyarakat/Dalamperspektif ini, wewenang atau kekuatan untukmenguasai secara mutlak hanya milik Allah,penguasa atas alam makro kosmos dan alammikro kosmos serta alam materi dan non

materi. Kekuasaan yang diberikan kepadamanusia adalah amanat yang berasal dariTahta Otoriter. Manusia memerlukan institusi

kekuasaan yang lebih konkrit dalammengkoordinasi massa (umat) untukmewujudkan tata kehidupan yang makmur,tertib dan adil. Kerangka pikirseperti ini diakuioleh hampir semua agama Samawi (Islam,Nasrani, Yahudi).

Sebuah gambaran dari perspektif agama,misalnya dalam tinjauan Islam, A! Quran telahmenggariskan bahwa Allah adalah pemiliksegala'kerajaan dan Maha Kuasa atas segalasesuatu.® Allah menciptakan manusia danmenurunkanke bumi dengan satu kekuasaanyangmenyertainya yaitu sebagai khalifah yangakan memakmurkan bumi.® Secara

kelembagaan, Al-Quran juga menegaskantigaprinsip pentaatan pada kekuasaan. Pertama,taat kepada Allah sebagai otoritas tertinggl.Kedua, taat kepada Rasulullah yangmemegangtugas sucidarikekuasaantertinggidengan dasar wahyu yang diterim.a secaralangsung. Ketiga, taat pada para uW amr/atau

pemimpin yang telah mendapat kepercayaanuntuk memimpin dengan adil sesuai denganperintah kekuasaan pertama dan kedua.^Olehkarena itu, kekuasaan dalam perspektif Islamadalah amanah dan mempunyai sifatmetafisis, kosmopolit, dan universal, karenaberlaku untuk alam semesta.

Pertanggungjawabannya tidak hanya didunia,tetapi berlmplikasi di alam akherat.

Implementasi konsep kekuasaan dalamnegara menurut hukum Islam didasarkan atasbeberapa prinsip. Muhammad Taher Azharymengemukakan bahwa praktek kekuasaandalam Islam berada pada konsep negarahukum menurut prinsip-prinsip yang terdapatdalam Al-Quran dan Sunnah,® Prinsip-prinsiptersebut adalah: Prinsip Kekuasaan sebagaiAmanah, Prinsip Musyawarah, PrinsipKeadilan, Prinsip Persamaan, PrinsipPengakuan dan Perlindungan terhadap HakAsasi Manusia, Prinsip Peradilan Bebas,Prinsip Perdamaian, Prinsip Kesejahteraan,dan Prinsip Ketaatan Rakyat. Prinsip-prinsipini memperoleh landasan nilai dari Al-Qurandan Hadist Nabi. Dengan demikian, praktekkekuasaan negara menurut Islam bersifattheologis. Namun, sifat theologis ini berbedajauh dari praktek kekuasaan pada abadperterigahan yang juga mendasarkan padanilai-nilai theologis, terutama dari ajaranNasrani yang pada akhirnya melahirkan

"A. Rahman Zainudin. Loc. Cit

-'QS:AI-Malik:1

'QS: Al-Baqarah: 30'QS; An-Nlssa: 59

^Muhammad Tahlr Azhary. 1992. NegaraHukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Dilihatdari Segi HukumIslam, Implementasinya pada Perlode Negara Madlnahdan Masa KIni. Jakarta: BulanBIntang.

32 JURNAL HUKUM. NO. 18 VOL 8. OKTOBER 2001:30 - 45

Page 4: Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan

Sri Hastuti Puspitasari. Kor)tektualisasi Pemikiran Machiavelli...

theokrasi absolut. Pemikiran tentangkekuasaan negara yang bersifat theologistersebut merekat pemahaman akankekuasaan dari perspektif filsafat Ketuhanan.

Namun demikian, perspektif filsafatKetuhanan terhadap kekuasaan ini banyakdikritik terlalu spekulatif kosmopolit, bahkanidealis dan utopis, sebab kurang menjangkauwilayah alam nyata. Namun, apapunpenilaiannya jika berbicara mengenai hakikatkekuasaan, maka berbicara nilai esensial yangmemberi "ruh" terhadap kekuasaan.Walaupun menolak untuk memberikanpandangan kekuasaan dari segi agama, ibnuKhaldun tidak mengingkari bahwa agamadapat memberikan kekuatan kontroi terhadapkekuasaan dan justruunsur rabbani ini jangansampai tertanggal dari dunia praktiskekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaanwewenang untuk keuntungan-keuntunganpribadl.®

Berbeda dengan Machiavelli, sebagaiseorang penganut Kristen, ternyataiamemangtidak menyentuh dimensi ajaran Kristententang kekuasaan. Hal ini dapat dicermatimelalui tulisannya dalam the Prince, yangbanyak memberi nasehat bagaimana rajaharus menjaiankan keuasaan tanpa sedikltpunmenyinggung ajaran Katolik yang melandasikekuasaan, minimal nilai-nilai spirituaiitas yangsebaiknya mengilhami moralitas kekuasaan.Sikap Machiavelli yang mengambil jarakdengan pengaruh gereja agaknya dapat

dipahami, sebab ia menjadi saksi tentangbagaimana rusaknya negara-negara yangdiperintah atas dasar legltimasi hukum Tuhandengan gereja yang keberadaannya di atasnegara.

Selain perspektif filsafat Ketuhanan yangdicontohkan ajaran Islam sebagaimanadipaparkan di atas, kekuasaan jugadianalisisdari perspektif sosiologis, yaitu melihatkekuasaan sebagai gejala empiris yang harusdiamati di dalam masyarakat.

Titik tolak terminologi kekuasaan dalamperspektif sosiologis adalah rumusan MaxWeber yang mengatakan bahwa dalam suatuhubungan sosial kekuasaan iaiahkemampuan untuk meiaksanakan kemauansendiri, apapun dasar kemampuan ini,sekalipun mengalami perlawanan. D. Lasv/elldan Abraham Kaplan merumuskankekuasaan sebagai suatu hubungan dimanaseseorang atau sekelompok orang dapatmenentukan tindakan seseorang ataukelompok orang lain agar sesuai dengankeinginan atau tujuan dari pihak yangmenentukan. Sementara itu, van Doommerumuskan kekuasaan sebagai suatukemungkinan pembatasan tindakan bagiseseorang atau kelompok orang sesuaidengan apa yang ingin dicapai oleh pihakpertamayaitu penguasa. Rumusanvan Doomini mendapat kritik, sebab kekuasaan tidakhanya membuka keinginan tindakan yanglebih besar dan leluasa.'°

®A. Rahman Zainudin. Op.Cit. Him 114,135,139,164,165. Ibnu Khaldun juga mengatakan oahwaperanan agamasangatbesardalam mendirikan negara yang besar. lamelihat besarnya peranan agamadalammengadakanpersatuandikalangan rakyat melebihi faktor apapundidunia.

'°Mirjan Budiarjo. Demokrasi di Indonesia, DemokrasI Pariementer dan Demokrasi Pancasila.Jakarta: Gramedia. Him 92-93.

33

Page 5: Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan

Dari ketiga rumusan tersebut, dari segisubstansi, kekuasaan tetap mengandungkemampuan atau wewenang. Pada rumusanMax Weber, ^ wewenang menyangkutpelaksanaan kemauan individu dalamkelompok. Dalam rumusan Laswell danAbraham Kaplan seolah-oleh wewenang itubersifat subordinatif, sebabadakelompok yangmenentukan dan yang ditentukan. Ataudalaminterprestasi bebas, kelompok kedua (yangdiperintah) menjadi tidak leluasa bertindak,karena dibatasi oleh tujuan yang hendakdicapai oleh pihak pertama. Jika wewenangitu bersifat subordinatif, maka gagasanMachiavelll bahwa seorang raja adalahkehendak utama dalam bertindak, dalam artisebagai pusat dari segala keputusan, makaMachiavelli lebih melihat persoalankekuasaansebagai persoalan bagaimana rajasebagai seorang penguasa mempunyaiwewenang berupa keharusan untuk mengatursedemikian rupa rakyat yang dikuasainya.Secara singkat dapat dikatakan, bahwaMachiavelli .lebih ,melihat persoalankekuasaan sebagai persoalan hubunganantara penguasa dengan yang dikuasal,dimana penguasa dipandang mempunyaikemampuan untuk memimpin negara danmempunyai wewenang untuk mengaturnegara.

Kekuasaan juga diartikan sebagaidominasidan pengawasan. Barrington Moorememberikan definisi yang berorientasi padametode atau cara bagaimana golongan-golongan atau individu-individu tertentuberhasil melakukan dominasi terhadapsesamanya. Adapun Talcott Parsons dan Robert Lync cenderung merumuskan kekuasaansebagai kekuatan untuk mengawasi ataumelakukan pengawasan. Parsonsmenganggap kekuasaan sebagai pemilihanfasilitas-fasilitas untuk menguasai. SedangkanRobert Lync menganggap kekuasaan sebagaisumbersoslat yang utama untuk mengadakanpengawasan."

Meskipun berbau sosialis, barangkali adabenarnya penyataan Frederich Engels bahwakeuasaan itu sesuatu yang berasal darimasyarakat dan berkuasa di atas masyarakat.Dari rumusan Itu, ternyata kekuasaan dapatditarik padapengertlan yang lebih umum, yaitusebagai suatu kesempatan bagi seseorangatau sekelompok orang untuk mewujudkankehendaknya dalam bentuk suatu aksi sosialbagi mereka yang menentang kehendakmaupun tidak.'̂

Dari segi substansi kekuasaan, pemikiranMachiavelli lebih dekat pada tataran konsepdari Parsons,dimana kekuasaan mengandungunsur pengawasan. Bagi Machiavelli.

"Miriam Budiarjo. 1991. AnekaPem/Wran tentang Kekuasaan dan tV/bawa. Jakarta: PustakaS;narHarapan. Him. 31.

•'Anthony Giddens dan David Held. Pendekatan Klasik dan Kontemporermengenai KelompokKekuasaan dan Konflik. Jakarta: Rajawali Press. Him. 21,23.

34 JURNAL HUKUM. NO. 18 VOL 8. OKTOBER 2001:30 - 45

Page 6: Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan

Sri HastutiPuspitasari. Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli...

kekuasaan yang ada pada raja pada akhirnyaharus menjelmakan kekuasaan untukmengawasi tindakan para menteri-menterinya,'^ bangsawan,'"'' angkatanperang/^dan rakyat.^^

Sebenarnya kekuasaan dalam perspektifsosiologis ini mempunyai landasan asaskedaulatan rakyat atau rakyat dianggapsebagai suatu supremasi dalam strukturkekuasaan yang legal. Tetapi ketikakekuasaan Itu dilembagakan, maka rakyatmenjadi komunitas yang dikuasai olehkebijakan-kebijakan penguasa. Rakyat harusdibatasi geraknya dalam sistem aturan mainyang dibuat penguasa. Karena itu terjadidominasi. Dalam segala jenis dan skala

organisasi apapun, struktur kekuasaan yangdominatif selalu ada. Kekuasaan dalam

terminologi sosial ini timbul karena adanyainteraksi sosial, dimana dalam interaksi sosialpara pihak tidak selalu berada pada posisiegaliter.

Dari perspektif sosiologis ini, ,padadasarnya hakikat atau substansi kekuasaanrelatif tidak berbeda dengan perspektif filsafatKetuhanan, sebab sama-sama mengarahpada kemampuan, kekuatan dan wewenang.Perbedaannya terletak pada basis nilai yangmelandasi adanya kekuasaan. Nilal religiusdominan dalam filsafat Ketuhanan. bahkan

menjadi basis nilai yang melandasikekuasaan. Sedangkan niiai-nilai soslai

'̂ Machiavelli berpendapat bahwa ada suatu cara bag! raja untuk mengetahul kinerja menterinya, yaitu jikamenterl lebih memikirkan dan mau mencari untung untuk diri sendiri dibandingkan dengan.kepentlngan raja,maka dia bukan menteri yang baik dan raja tidak perlu mempercayainya. Untuk membuat menterl setia, rajaharus memikirkannya, member! kehormatan dan kekayaan serta membuat menteri selalu merasa berutang padaraja. KuncI dari semua itu adalah kepercayaan. Raja harus memilih orang-orang yang bijaksana untuk menguasaipemerintahan. Tetapi raja harus teliti. sebab pada akhirnya rajalah yang mengambil keputusan. Raja dapatmenerima maupun menolak nasehat yang diberikan padanya.

"Machiavelli membahas kekuasaan institusional. lamemfokuskan pada kekuasaan yang diperoleh karenajasa balk terhadap rakyat. Rakyat memberi dukungan penuh terhadap orang biasa karena kemampuannyamenjadi penguasa, namun ada segolongan bagsawan yang harus disikapi hati-hati. Pertama, memanfaatkanbangsawan untuk memberi nasihat yang sehat sehingga mereka merasa dihormati; Kedua. jika bangsawanmemilih independen. maka penguasa harus menjaga ambisi pribadi para bangsawan. Penguasa yang didukungrakyat harus tetap mempertahankan persahabatan. karena yang dibutuhkan rakyat adalah kehldupan tanpapenindasan.

'̂ Dasar setiap negara adalah adanya hukum dan pasukan yang baik untuk mempertahankan negaranya.Militer harus merupakan organisasi yang didukung oleh pasukannya sendiri yang terdiri dari rakyat atau warganegaraatau orang-orang yang dikuasainya. Pasukan bayaran, bantuan, dangabungan merupakan pasukanyang membahayakan raja. Raja hendaknya mempelajari perang dan organisasi sebagai seni yang dibutuhkanseorangpemimpin.

'®Raja harus bertindak untuk tetap disegani rakyat, dengan menunjukkan kemampuan pribadi dankeahliannya dalam berperang dan memimpin pasukan; penghargaan terhadap bakat seseorang, dan mendorongrakyat melakukan tugas dengan rasatenang, tanpa rasa takut, serta menghargai orang yang ikut memakmurkannegara.

35

Page 7: Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan

dianggap iebih rasional menjadi acuan utamabagi mereka yang melihat kekuasaan sebagaifenomena sosial yang tidak terelakkan.

Jika dilihat dari substansi kekuasaan,pikiran Machiavelli dapat masukdalam tatarankedua perspektif ini. Tetapi darisegi basis nilaipikiran Machiavelii terasa sulit untukdikategorikan. Di satu pihak, la mengambiijarak dengan perspektif religius dalammemandang soal-soal yang berbau duniawi.Di pihak iain, ia mengkonsentrasikan perhatianpada bagaimana raja sebagai penguasaharus bersikap dan bertindak daiammenjalankan kekuasaan. Baginya, denganadanya angkatan perang yang kuat, makamenjadi jaminan bagi keamanan dankokohnya negara. ia seolah menekankanadanya negara penjaga malam yang hanyamenjalankan fungsi ketertiban tanpameiibatkan secara penuh masyarakat yangada didalamnya. la tampaknya berpikirbahwatanggung jawab untuk membuat ketertibansepenuhnya ada pada seorang raja.Untuk itu,raja harus membuat rakyat selalu takut, taatdan bergantung padanya. Pengabaianperspektif religius dan sosiologis oiehMachiavelli ini membuat ketidakjelasanmengenai perspektif mana yang digunakanMachiavelli dalam member! kontribusi

pemikiran kepada Raja Lorenzo De Medici.

Dasar Legitimasi Kekuasaan

Apabila secara hakikat antara kekuasaandalam tinjauan filsafat Ketuhanan sebagaigejala sosial tidak menampakkan perbedaanyang mencolok, maka dari segi dasarlegitimasinya sangat berbeda, Perspektif

Ketuhanan dasar legitimasinya adalah Tuhanmelalui perintah-perintah dalam kitab suci.Dengan demikian, sumber legitimasikekuasaan dalam perspektif ini berasal darikekuatan supranaturai, yaitu Tuhan.Sedangkan perspektif sosiologis dasarlegitimasinya berasal dari masyarakat. Apabilakekuasaan adaiah fenomena yang alami,maka masyakarat melalui interaksi akanmenghimpun suatu kekuatan dan selanjutnyasecara institusional kekuasaan dipercayakankepada pimpinan atau sekelompok oranguntuk melaksanakan.

Pengalaman di negara-negara EropaBarat terutam pada akhir abad pertengahan,legitimasi atas dasar kekuasaan Tuhanmendapat banyak kritikan, sebab parapenguasa pada waktu itu justru memonopoiikekuasaan atas dalih sebagai wakii Tuhan,sehingga tidak seorangpun mempunyaiwewenang untuk meniiai.

Legitimasi atas dasar nilai religiusyang berasal dari kekuatan lllahi ini membawaimplikasi bahwakekuasaannya berada diataspenilaian moral. Penguasa adalah sesuatu.yang menggerakkan bukan sebagai subjekpenanggungjawab. Masyarakat tidak dapatbertindak iain kecuali menerima titah

penguasa. Thomas Aquinas (1255-1274)menggantungkan legitimasi kekuasaannegara pada kesesuaiannya dengan tuntutan-tuntutan normatif. Thomas Aquinasmenegaskan bahwa hukum kbdrat harusmenjadi dasar kekuasaan, bukan kekuasaanyang menjadi dasar hukum. la menuntutadanya penggunaan kekuasaan atas dasarlegitimasi etis.^^

''Fran Magnis Suseno. 1986. Kuasa dan Moral. Jakarta; Gramedia. Him. 1.4,5,

36 JURNAL HUKUM. NO. 18 VOL. 8. OKTOBER 2001:20 - 45

Page 8: Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan

SriHastuti Puspitasari. Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli...

Dengan demikian, pengabsahan ataulegitimasi kekuasaan atas dasar religius inibersifat perenial atau^abadi. Implikasinegatifnya adalah apabila penguasa tidakdapat mengendalikan ego pribadinya sebagaimanusia, sehingga muncul kecenderunganseperti yang dikemukakan oleh Lord Actonbahwa kekuasaan itu cenderung absolut.Bagaimanapun kekuasaan manusiamempunyai banyak kelemahan, kecualimanusia itu merupakan makhluk par excellence seperti Nabi yang menerima legitimasitahta kekuasaan atas dasar wahyu yangditerimanya secara langsung dari Tuhahsebagai pemegang tahta iegitimasi tertlnggi.Kekuasaan atas dasar wahyu tersebutdigunakan untuk mewujudkan kehidupanyang lebih baik bagi umat.

Kekuasaan ataS'dasar legitimasi Tuhanterutama di Eropa pada abad pertengahan.memberikan preseden bahwa kekuasaanyang mempunyai legitimasi seperti itu ternyatatidak menjamin adanya keadiian bagi rakyat.Hal Ini yang dilihat dan dirasakan Machiavellisehingga ia menentang penggunaankekuasaan atas dasar legitimasi lembagareligius ketika itu.

Pudarnya dominasi lembaga religiusdaiam politik praktis mendorong munculnyapemikiran agar kekuasaan itu mempunyaidasar legitimasi yang dapat diterima secararasional. Kemudian muncul suatu pemikiranbahwa dasar kekuasaan itu adalahrakyat ataumasyarakat.

Legitimasi dalam perspektif masyarakatini sebagaimana dikatakan oleh David Easton

adalah keyakinan bahwa untuk menerima danmentaati penguasa dan memenuhi tuntutan-tuntutan dari rezim itu merupakan sesuatuyang wajar A.M. Lipest menegaskan bahwacakupan legitimasi ini meiiputi kemampuanuntuk membentuk dan mempertahankankepercayaan bahwa adanya iembaga-ie.mbaga politik adalah sesuatu yang wajaruntuk masyarakat.^®

Jika konsep legitimasi ini dianggapsebagai suatu keyakinan dan keyakinan itudidelegasikan dalam bentuk kekuasaan, makasebenarnya ada ha! yang lebih dalam atauimanen dari keyakinan, yaitu nilai yangmeiandasi adanya keyakinan ataukepercayaan itu. Mengapa masyarakat begituyakin bahwa penguasa yang ada dipercayamelaksanakan kekuasaan? Hal ini bararigkaiisukardijeiaskan secara iogika. Sebab, sifatnyayang imanen (terselubung) dalam hati nuranirakyat. Sedangkan dimensi transedensikeyakinan adalah kekuasaan yangdilaksanakan berdasarkan iegitimasi tidakhanyamenyangkut keyakinan untuk menerimadan mentaati penguasa serta meiiputikemampuan membentuk, mempertahankankepercayaan terhadap lembaga-iembagakekuasaan semat. Lebih dari itu, legitimasimenyangkut tentang keyakinan, yaitu nilaikebenaran dan keadiian yang menggerakkahkeyakinan pada hati nurani, Oleh karena itunilai dapat menjadi kontrol bagi kekuasaan,minimal kontrol moral.

Kontrol moral inilah yang tampak olehMachiavelli, karena ia memberi begitu banyakhak tentang bagaimana seorang raja

'®Lihat pendapat David Easton dan AM. dikutip oleh Mirian Bidiarjo. Op.CitHim 90-91.

37

Page 9: Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan

memerintah, tetapi tidak memberi keterangantentang apa atau siapa yang harus memberikontrol moral terhadap raja. Aspek moralitasinilah yang tidak dikedepankan olehMachiavelli, sehingga pemikirannya seringdicap tidak moralis.

Bagi Machiavelli. legitimasi moralbukanlah hal yang utama, sebab kestabilandan kelestarlan kekuasaan lebih penting. lamemang melawan arus pemiklran yangberkembang ketika itu. Machiavelli menganutsemacam sinisme moral dalam fllsafat politikdan dengan berani la menuangkangagasannya bahwa tujuan berpolitik bagipenguasa adalah mengamankan kekuasaanyang ada di tangannya.'®

Jika kita membuat perbandingan denganpemiklran politik Islam. Ibnu Khaldun menolaklegitimasi religlus dan kekuasaan. Tetapi IbnuKhaldun pernah mengungkapkan bahwapenolakannya untuk memandang kekuasaandari tinjauan religlus bukan berarti iamengabalkan peran agama sama sekali.Agama merupakan faktor penting untukmembimbing dan menuntun manusia darisifat-sifat "kebinatangan". Dalam hubungankekuasaan dan moralitas, agama sebagaiunsur rabbani dapat menjadi kontrol agarmanusia lebih dekat kepada kebaikan danprinsip-prinsip keadilan.^°

Respon yang muncul terhadap duaparadigma legitimasi ituyaitu legitimasi religlusdan legitimasi masyarakat melahlrkanpenilaian tajam bahwa legitimasi religiuscenderung memberikan status Quo bagi

penguasa. Machiavelli tampaknya beradapada wilayah ini. la begitu apatis terhadapinstitusi moral yang mengatasi persoalannegara. Hal ini sesuai dengan alam pikiranRenaissance yang menghilangkan segala halyang bersifat transedental, metafisi, karenadianggap tidak rasional termasukmemisahkan agama dan negara. Agamadalam pandangan Machiavelli dianggapsebagai institusi moral. Sebaliknya kritik yangditujukan kepada legitimasi masyarakatadalah sekularisasi dalam kekuasaan.

sehingga kekuasaan jauh dari keberpihakanterhadap kebenaran dan keadllan yang harusditegakkan di muka bumi. Legitimasi pertamaseolah-olah hanya mendasarkan padapendekatan intuitif. Sebaliknya legitimasikedua menekankan pada pendekatanrasional. Dalam hal ini, sikap Machiavelli tidakterlalu jelas, sebab ia tidak begitu peduliapakah legitimasi kekuasaan raja berasal darimasyarakat atau bukan. Baginya, karena rajasudah memegang kekuasaan, maka ia harusmempertahankannya.

Jika menerapkan metode dialektika,legitimasi religius sebagai tesis dan legitimasimasyarakat sebagai antitesis, maka keduanyadapat dipertemukan dengan pernyataanbahwa kekuasaan selain memiliki dimensi

legitimasi intuitif atau keyakinan keimanan.juga memiliki dimensi rasional. Tetapikecenderungan yang besar terjadi padadominannya pendekatan rasional terhadapkekuasaan, sebab kekuasaan adalah hal yangempirik dan dapat dikontrol oleh masyarakat

'®M. Sastrapratedja dan Franz M. Parera. Sang Penguasa, Surat-surat Kenegaraan untuk UmatLorenzo De Medici. Jakarta: Gramedia.HIm xxx-xxxi.

^°A Rahman Zainudin. Op. Cit. Him 114,135,140.

38 JURNAL HUKUM. NO. 18 VOL 8. OKTOBER 2001: 30 - 45

Page 10: Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan

SriHastutiPuspitasari. Kontektualisasi Pemikiran Machiavelil...

secara nyata melalui carayang logis. Dari segilegitimasi ini pikiran.Machiaveili makin tampaktidak berangkat dari legitimasi religius.Barangkali ia agak condong pada legitimasimasyarakat seperti yang dapat kita lihat padapikirannya tentang kekuasaan yangkonstitusional, yaitu kekuasaan yang mendapatdukungan psnuh dari rakyat. Dukungan penuhini mengandung aspek keyakinan yang padaakhirnya melahirkan legitimasi.

Retrospeksi atas Haklkat dan TujuanNegara

Pemikiran Machiavelil daiam the Princepada dasarnya mengajak kita untukmemikirkan kembali apa sebenarnya hakikatdan tujuan negara. Pada hakikatnya negaraadalah suatu organisasi masyarakat, yaitusekelompok orang yang dengan kerjasamadan pembagian tugas yang jelas mengejarsuatu tujuan bersama yang tidak dapat dicapaiorang masing-masing, karena di iuarkemampuannya sendiri. Kerjasama demitercapainya tujuan bersama serupa itu dijamin:Pertama, Dengan adanya pembagian tugasyang jelas dan terarah pada tujuan bersama;Kedua, dengan adanya pimpinan, danpengawasan. Dengan menggunakanpembagian tugas itu. maka setiap anggotamempunyai tugas tertentu dalam hubungandengan keseluruhan. Tugas itu biasa disebutfungsi. Selain itu, setiap organisasi mempunyaipucuk pimpinan yang diserahkan kepada

petugas atau lembaga tertinggi. Tugasutamanya iaiah mengatur dan menjaga agarorganisasi dengan bagian-bagiannyamengejar tujuan bersama dengan cara yangtepat dan efektif. Untuk bagian-bagianorganisasi, fungsi-fungsi pimpinan danpengawasan itu dapatdan biasanya jugaharusdiserahkan kepada petugas-petugas ataupemimpin-pemimpin bawahan.^'

Berbeda dengan organisasi-organisasimasyarakat itu, negara adaiah suatuorganisasi masyarakat yang berdaulat.Berdasarkan kedauiatannya ini negara dapatmenentukan bahwa semua orang yangmendiami wilayahnya, kecuali orang asing,adalah warganya yang harus tunduk padanya.Orang-orang tidak ditanya lebih dahulu, tetapisecara otomatis adalah warga negara denganhak-hak dan kewajiban-kewajiban. Demikianpula anak-anak yang lahir dari mereka.Berdasarkan kedauiatannya itu pula negaradapat menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa mengenaitingkah iaku warganya dan harus dipatuhi dibawah ancaman hukuman bagi pelanggar-pelanggarnya. Selain itu, negara mempunyaihak untuk menuntut kepada para warganyaagar menyerahkan sebagian kekayaan danpendapatan kepadanya, antara lain sebagaipajak, atau melakukan sesuatu untuknyaseperti membela tanah air terhadap seranganmusuh dari Iuar. Mengenai persoalan moraldalam negara, seharusnyanegaradikeluarkandari persoaian-persoaian moral.^^

Logeman dalam Kirdi Dipoyudo. 1989. Tugas PokokNegara dalam Memajukan KesejahteraanSosial. Analisis CSIS. him 539.

Isjwara. 1987. Pengantarllmu Politik. Bandung, him 58.99-108.

39

Page 11: Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan

Kedaulatan yang merupakan ciri utamanegara itu bersumber pada tujuan negarasebagai masyarakat yang paling lengkap danpaling tinggi. Tanpa kedaulatan; negara.tidakakan dapat mencapai tujuannya, yang jugalebih luas dan lebih lengkap daripada tujuanmasyarakat lain. Justru karena Iain-Iainmasyarakat itu tidak mencukupi kebutuhanmanusia sepenuhnya, maka negara dibentuk.Kepentingan-kepentlngan yang menjadiurusan negara mengatasi kemampuanmasyarakat itu.

Di antara kepetingan-kepentlngan itu yangdirasakan sebagai kepentingan utama adalahkeamanan diri dan harta benda orang-orangterhadap bahaya dari luar. Dengan adanyaancaman itu orang-orang bersatu menjadikesatuan menetap untuk menangkisnya.Dengan demikian, dibentuk organisasimasyarakat yang bertugas untukmemperhatikan kepentingan itu. Agar dapatmenjalankan tugasnya dengan baik,organisasiitu.diberi kekuasaan untuk membuatperaturan-peraturan yang harus dipatuhi olehseluruh masyarakat dan mengambil tindakan-tindakan yang perlu. Timbullah suatukekuasaan yang dapat menclptakan danmembina tata tertib serta menjaga keamanan.Kekuasaan itudiberikan kepada seorang atausekelompok orang yang menonjol dalamkebijaksanaan, kecakapan dan keberanian.Setiap orang tunduk padanya dan yang tidakmau dapat dipaksa dengan kekerasan untuktaat kepadanya. Pada permulaan peradabanorganisasi kekuasaan itu bersifat sederhanadan belum begitu besar. Tetapi dengankekuasaan umum yang dimaksud untuk

menyusun dan menjaga tertib dalammasyarakat itu muncul suatu bentuk barukehidupan bersama, yaitu negara. Denganperkembangan organisasi kekuasaan dantugasnya, berkembang pula negara. Dewasaini negara merupakan suatu organisasi yangsangat kompleks dan mempunyai berbagaisegi."

Dari uraian di atas jelaslah bahwa negarabukanlah tujuan, melainkan untuk mencapaisuatu tujuan. Sesuai dengan hal tersebut,pemimpin-pemimpin menganggap negarasebagai suatujembatan yang menghubungkankita dengan masa depan yang lebih baik. Adajuga yang menyamakannya dengan sebuahbahtera yang menyangkut seluruh rakyat kepelabuhan kesejahteraan. Pada hakikatnyanegara adalah suatu lembaga sosial yangdibentuk oleh orang-orang untuk memenuhikebutuhan-kebutuhan vital mereka yang tidakdapat dipenuhl dengan jalan lain. Negaraadalah suatu keharusan dalam arti bahwa

pada tahap perkembangan tertentu, orang-orang harus membentuk negara. Dengandemikian, mutu suatu negara bergantungpada kemampuannya untuk memenuhikebutuhan-kebutuhan rakyat dengan baik.

Kirdi Dipoyudo mengatakan bahwatujuannegara merupakan masalah utama bagi paranegarawan dan ahli politik sejak zaman kuno.Plato dalam karyanya tentang negara timbulkarena kebutuhan orang-orang. Tiadaseorang pun dapat memenuhi kebutuhannyasendiri. Untuk memenuhi kebutuhannya yangtidak dapatdipenuhi oleh maslng-masing orang,disusunlah negara. Demikian pula untuk

"J.D. Mabbot dan Ernst B. Shultzdalam Kirdi Dipoyudo, op.cit, him. 540.

40 JURNAL HUKUM. NO. 18 VOL 8. OKTOBER 2001:30 - 45

Page 12: Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan

Sri Hastuti Puspitasah. Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli...

menyelenggarakan hidup yang baik^^bagisemua warganya.

Pendapat Plato dan Aristoteles tentangnegara dan tujuannya itu sudah menjadipendapat umum. Semua negara yang pernahada, yang masih ada dan yang.akan ada dimasa mendatang adalah untuk mencapaitujuan tersebut. Tujuan negara pada intinyasama, dahulu, sekarang dan di masa yangakan datang. Tujuan negara iaiahkesejahteraan umum {bonun commune ataucommon welfare), yaitu kesejahteraanmanusiawi yang lengkap bag! setiap dansemua warga negara. Negara dibentuk untukmenjamin kesejahteraan lahir batin semuawarganya sebagai suatu keseluruhan. Itulahtujuan negara dan alasan adanya negara.Negara ada untuk mengabdl kepadakepentingan rakyat. Tetapi hal in! bukan suatualasan untuk mengambil seluruh kekuasaanrakyat. Negara hanya membantu orang^orangyang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara wajar. Oleh karena itu,dalam negara ada asas yang harus dipegangteguh, yaitu sesuatu yang dapatdikerjakan olehorang-orang atau masyarakat yang lebih keciltidak boleh diambil oleh kelompok yang lebihbesar atau lebih tinggi.^^

Dimanakah pemikiran Machiavelli dalamhubungannya dengan hakikat dan tujuannegara? Jika mencermati secara kritis bahwahakikat negara adalah adanya kemauanrakyat, maka akan melihat benang merah

pemikiran Machiavelli dalam tatananbagaimana raja harus senantiasa membuatrakyat merasa berutang budi padanya, dansejauh mungkin menghindari adanyapenindasan dan rasa bertanggungjawab atassemua itu. Tetapi, siapa yang dapat menjaminbahwa raja tidak akan sewenang-wenangdalam mewujudkan harapan rakyatnya itu?Machiavelli memberikan jawab: Hukum.Tetapi hukum yang bagaimana, Machiavellitidak memberl gambaran, dan Inllahkelemahan pemlkirannya. Machiavelli lebihbanyak memfokuskan diri para teknik dantaktik mempertahankan kekuasaan, sehinggahakikat negara bagi Machiavelli bukankehendak rakyat, tetapi kehendak raja untukmempertahankan kekuasaannya.- Dengandemikian, tujuan yang ingin dicapai denganadanya negara bukan bermuara padakesejahteraan rakyat, sebab pandangannyatidak berangkat dari adanya, hakikat negaratidak lebih dan tidak kurang adalah tata tertib,-keamanan, dan ketenteraman.Tanggungjawab itu sepenuhnya ada di tangan seorangraja yang mampu mengorgariisasi negaradengan dukungan pasukan perang yang kuat.Untuk mempertahankan kekuasaan yang adapada raja, raja harus membuat rakyatsenantiasa tunduk padanya.Negarabesardankekuasaan rakyat yang mengecil padaakhirnya tidak akan melahirkan kekuasaanmasyarakat, sehingga yang dapatmemperbaiki negara sekiranya kekuasaanyang besar.

•^^Hidup yang baik artinya adanya keamanan dari bahaya-bahaya yang mengancam orang-orang dankebebasan darikekurangan-kekurangan fisik, jugatersedlanyasararia-sarana yang beriimpah-limpah untukmewujudkan kesejahteraanmateriil dansplrituil. termasuk kehidupan intelektual dansusila,

^^Kirdi Dipoyudo, op.cit, him 540-541.^AriefBudiman. 1996. TeoriNegara, Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Gramedia.Jakarta, him 24.

- 41

Page 13: Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan

Ide-ide Machiavelli tentang pengamananterhadap kekuasaan dengan instrumenutamakekuatan militer patut dikhawatirkan. Hal inimenyebabkandestruksikekuasaan yang lebihbesar. Jika instrumen kekuatan militer ini

menjadi andalan utama negara dalammempertahankan kekuasaan, maka apapunyang dianggap dapat mengancam kekuasaandari manapun datangnya merupakan musuhyang harus berhadapan dengan kekuatanrepresif militer, Walaupun Machiaveilimelihat-nya dari konteks kekuatan defensif negaraterhadap serangan dari iuar, tetapi besarkemungkinan ha! itu juga berlaku bagipenindakan terhadap rakyat yang dianggapmusuh, karena mengobarkan perlawananterhadap kekuasaan. Dengan demikian,kekuasaan negara akan dieksploitasi untukmengamankan kekuasaan seorang yangsedang berkuasa, bukan untuk membelaketertindasan rakyat. Oleh karena itu, tujuannegara menjadi terfokus pada bagaimanamempertahankan kekuasaan yang sudah adadi tangan, apapun caranya.

Jika hai itu terjadi, maka negara dapatmemaksakan kehendaknya kepada wargaatau keiompok. yang ada di masyarakat.Bahkan, jika periu. negara mewakilikeabsahan menggunakan kekerasan fisikdalam memaksakan kepatuhan masyarakatterhadap perintah-perintah yang dikeluarkan.Negara sebagai keiembagaan menghadirkankeamanan di tengah kehidupan rakyatdenganmembentuk angkatan perang yang kuat.Pemikiran Machiavelli ini menegaskan bahwanegara harus mengambilalih seluruhkekuasaan yang ada pada rakyatdan sebagai

^'Ibid.. Him. 5.

konsekuensinya raja harus selalumenanamkan kepercayaan rakyat kepadanya.Dengan demikian. indikasi penguatan perannegara melalui tangan raja dalammemobiiisasi kekuasaan sangat kuat.

Machiavelli tampaknya mengabaikanunsurperanrakyat yangbesar dalam dinamikakehidupan bernegara. Soal kekuasaan dalampandangannya seolah hanya urusanpenguasa..Adapun rakyat hanya menjadipendukung penuh dari kebijakan penguasatanpa memberi tempatyang lebih leluasa padaperanserta rakyat secara riil dalammenjalankan pemerintahan. MeskipunMachiavelli menggulirkan pemikiran tentangkekuasaan yang konstitusional. Namunsebuah ironi kekuasaan muncul ketika rajasebagai pemegang kekuasaan justrudianjurkan untuk mempertahankannyadengan dukungan kekuatan militer atauangkatan perang. Sementara rakyat harussenantiasa patuh, taat dan merasa tergantungpada raja. Disinilah sebenarnya letak gejalasentralisasi kekuasaan pada seorang, yangdapat memicu tumbuhnya rasa tidak puas dikalangan rakyat. Disamping itu, kekuasaanyang ada pada raja cenderung memperbesarkekuasannya. Dengan mengatasnamakannegara, raja dapat bertindak sewenang-wenang. Arief Budiman mengatakan bahv/akekuasaan kepentingan umum dapatmemaksakan kehendaknya melawankehendak-kehendak pribadi atau keiompokmasyarakatyang lebih kecil.^^

Machiavelli tampak berada padapernyataan di atas. Sebab, raja atas namanegara diperbolehkan bertindak dengan

42 JURNAL HUKUM. NO. 18 VOL 8. OKTOBER 2001:30 - 45

Page 14: Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan

Sri HastutiPuspitasarL Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli...

kekerasan fisik. Bahkan kekejaman seorangraja dapat dibenarkan selama itu dilakukanuntuk kemuliaan rakyat dan negara Tetapi,.sampai dimanakah tind.akan rajamenggunakan kekerasan dapat ditoleVansi?Padahal jika negara mempunyai tujuan untukmembuat rakyat aman, damai, makmur dansejahtera tentunya cara-cara represif seorangraja harus dihindari, Hal ini perlu dilakukanoleh seorang penguasa yang benar-benarmenghayati art! penting kehldupan bernegarayang harmonis. Memang bukan hal yangmudah untuk mewujudkan harmoni dalammenjaiankan kekuasaan negara. Sebab,konflik-konflik yang berkembang dl tengahmasyarakat sangat kompleks. Demikian pulakonflik-konflik dl tingkat elit kekuasaan dalamstruktur kelembagaan negara. Namundemikian, banyaknya konflik ini bukan berartiharus dihadapi dengan kekuatan angkatanperang' atau militer yang cenderung represif.melainkan harus " dihadapi denganmanajemen konflik secara persuasif,meskipun memakan waktu yang agak lama.Dengan cara seperti ini, harmoni kekuasaandapat menemukan waktu yang agak lama.Dengan cara seperti ini, harmoni kekuasaandapat menemukan muaranya, sehinggatujuan negara bukan semata-mata untukmempertahankan kekuasaan, tetapi untukmengelola kehldupan bernegara secaraharmonis dan mampu member! kedamaiandi hati rakyatnya., Negara juga bukan alatpenguasa untuk mencapai tujuan-tujuanpribadinya, melainkan sebuah wadah dimanarakyat merasa memiliki tanggung jawab untuk

mempertahankannya dan menghindarkannyadari penguasa yang sewenang-wenang,

Pemikir yang sejajar dengan Machiavelliadalah Shang Yang, karena pandangannyatentang tujuan negara hampir mirip denganMachiavelll.2® Apabila orang menginginkannegara yang kuat dan berkuasa mutlak, makaia harus membuat rakyatnya lemah danmiskin. Sebaliknya, jika orang hendakmembuat rakyatnya kuat dan makmur, makaia harus menjadikan negaranya lemah.Tujuan negara menurut Shang Yang adalahuntuk membentuk kekuasaan. Oleh karena itu

harus didukung oleh tentara yang kuat.sederhana dan sanggup menghadapi segalabahaya. Kesamaan antara Machiavelli danShang Yang teiietak pada sifatkekuasaan yangharus dimiliki oleh negara. Perbedaannyaadalah pada konsep Machiavelli, di baliktujuan negara kekuasaan ada tujuan lain, yaituuntuk menjaga kehormatan dan kebahagiaan.Sedangkan pada konsep Shang Yang, tujuannegara adalah kekuasaan untuk kekuasaanitu sendiri.

Simpulan

Machiavelli berbicara tentang substansikekuasaan, tetapi tidak menggagas kembalitentang konsep kekuasaan negara, yangbarangkaii pernah ia pelajari dari tokoh-tokohbesaryang diakuinya member! kontribusi besardalam melahirkan karyanya. the Prince.Machiavelli mendobrak pemikiran tradisionaltentang kekuasaan yang berlaku padamasanya, yaitu legitimasi religius-otoritas

^®Moh. Kusnardi danBintan RSaragih. 1988. Ilmu Negara. Gaya Media. Jakarta.

43

Page 15: Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan

gereja yang dominan atas negara, tetapialasan mengapa ia mendobraknya hanyadapat dipahami bahwa kekuasaan negarayang dijalankan oleh lembaga-lembagareligius dan raja merupakan perpanjangantangannyayang telah melahirkan kehancurandan ketidakadilan.

Sikap Machiavelli ini berimbas padatujuannegara. Kekuasaan sebagai substansi darinegara dan ada pada tangan seorang rajaharus dipertahankan sedemikian rupa,sehingga kekuasaan itu tidak hilang, dengandibentuknya angkatan perang yang kuat.Negara merupakan alat bagi raja untukmempertahankan kekuasaannya. Dalamkontek kekinian, ide Machiavelli tanpa sadarmemudar, walaupun di beberapa negaratampay menguat dengan kekuatan militerdalam struktur kekuasaan negara.

Terlepas darl polemik yang seringmewarnai diskursus tantang pemikiranMachiavelli, agaknya menjadi sebuahkeharusan bagi penguasa untuk memlliki basis moral yang agak kuat agar ia menjalankankekuasaan secara bijak. Disamping itu,penguasa harus pula memahami etika politikagar ia mampu mewujudkan kekuasaan yangberwajah humanis atau kata Fran MagnisSuseno, dapat membantu usahapengejawantahan ideologi negara yang luhurdidalam realitas poiitik yang nyata. Hal ini dapatdirefleksikan pada apa yang menjadi intikeadilansosial, apa dasaretis kerakyatan, danbagaimana kekuasaan harus ditanganisupaya sesuai dengan martabatkemanusiaan.^^Soal etika ini tampak hilangdari pemikiran Machiavelli. •

Daftar Pustaka

A. Rahman Zainudin. 1992. Kekuasaan

Negara. Pemikiran Poiitik IbnuKhaldun. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Anthony Giddens danDavid Held. PendekatanKiasik dan Kontemporer mengenaiKelompok Kekuasaan dan Konflik.Rajawali Press. Jakarta

Arief Budiman. 1996.Teor/ Negara, Negara,Kekuasaan dan Ideoiogi. Gramedia.Jakarta.

Departemen Agama Republik Indonesia.1989. Al-Qur'an dan Terjemahan-nya. JayaSakti. Surabaya.

F. Isjwara. 1987. Pengantar llmu Poiitik.Bandung.

Fran Magnis Suseno. 1986. Kuasa danMoral. Gramedia. Jakarta.

, 1988. Etika Poiitik, Prinsip-prinsipMoral Dasar Kenegaraan Modern.Gramedia. Jakarta.

Hamzah Ya'cub. 1984. FHsafat Ketuhanan.

Ai-Maarif. Bandung.

Kirdi DIpoyudo. 1989. Tugas Pokok Negaradalam Memajukan KesejahteraanSosial. Analisis CSIS,

M. Sastrapratedja dan Franz M. Parera. SangPenguasa, Suraf-surat Kenegaraanuntuk Umat Lorenzo De Medici.

Gramedia. Jakarta

^Franz Magnis Suseno. 1988. Etika Poiitik, Prinsip-prinsip Moral DasarKenegaraan Modern.Gramedia. Jakarta. Him. 7.

44 JURNAL HUKUM. NO. 18 VOL. 8. OKTOBER 2001:30 - 45

Page 16: Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli tentang Kekuasaan

SriHastuti PuspitasarL Kontektualisasi Pemikiran Machiavelli ...

Miriam Budiarjo. 1991. Aneka Pemikirantentang Kekuasaan dan Wibawa.Pustaka Sinar Harapa. Jakarta.

, Demokrasi di Indonesia, DemokrasiParlementer dan Demokrasi

Pancasila. Gramedia. Jakarta

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih. 1988.Ilmu Negara. Qaya Media. Jakarta.

Muhammad Tahir Azhary. 1992. NegaraHukum: Suatu Studi tentangPrinslp-Prinsipnya, Dilihat dari SegiHukum islam, Implementasinyapada Periods Negara Madinah danMasa Kini. Bulan Bintang. Jakarta.

W.J.S. Poerwodarminto. 1976. Kamus BesarBahasa Indonesia. DepartemenPendldikan dan Kebudayaan dan BalaiPustaka. Jakarta.

• ••

45