hubungan hukum dan kekuasaan · penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga...

13
1 KEKUASAAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM (Kajian Filosofis dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi) (Dipublikasikan dalam “Jurnal Yustika” Media Hukum dan Keadilan, Universitas Surabaya, ISSN: 1410-7724, Vol. 12 No. 2, Desember 2009, h. 183-192) Abdul Rokhim 1 Abstract Philosophically, power in the rule of law can be seen from three perspectives. In the Ontology perspective, power is the ability to force the idea to other parties. According Epistemology perspective, good or bad it depends on how to use this authority. Furthermore, axiology perspective said that power not only deceive by physically conquered or capital but also arise from human being aspect as a Spinoza thought. Key Words: Philosophy; Power; Rule of Law Pendahuluan Ide tentang “negara hukum” telah muncul dalam bentuk yang bervariasi dalam sistem hukum yang berbeda-beda. Secara historis, ada dua istilah atau konsep yang sangat berpengaruh di dunia terkait ide negara yang berdasarkan atas hukum, yaitu konsep rechtsstaat” yang berkembang di Eropa Kontinental (abad XIX) dan konsep “rule of lawyang berkembang di negara-negara Anglo Saxon. Kedua konsep tersebut berkaitan dengan tipologi negara dipandang dari segi hubungan antara negara (pemerintah) sebagai pihak yang memerintah atau yang mengusai dan warga negara sebagai pihak yang diperintah atau yang dikuasai. Konsep rechtsstaat yang bertumpu pada sistem civil law lahir dari suatu perjuangan panjang menentang absolutisme kekuasaan negara (machtstaat), sedangkan konsep rule of law bertumpu pada sistem common law yang bersifat memutus perkara yang didelegasikan kepada hakim berdasarkan hukum kebiasaan di Inggris (common custom of England). Meskipun, antara konsep rechtsstaat dan rule of law mempunyai perbedaan latar belakang historis, tetapi pada dasarnya keduanya berkenaan dengan perlindungan atas hak-hak kebebasan sipil warga negara dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang kekuasaan negara. 2 Tulisan singkat ini secara filosofis mendiskusikan tentang kekuasaan dalam konteks negara hukum ditinjau dari aspek ontologis (mengenai hakikat dan sumber kekuasaan), aspek epistemologis (tentang rule of law sebagai cara atau metode untuk membatasi kekuasaan), dan dari aspek aksiologis (mengenai pandangan kaum idealis dan empiris tentang hubungan hukum dan kekuasaan). 1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang. 2 A. Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, In-Trans, Malang, 2003, h. 8-9.

Upload: others

Post on 07-Feb-2020

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN · penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di samping

1

KEKUASAAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM

(Kajian Filosofis dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi)

(Dipublikasikan dalam “Jurnal Yustika” Media Hukum dan Keadilan, Universitas

Surabaya, ISSN: 1410-7724, Vol. 12 No. 2, Desember 2009, h. 183-192)

Abdul Rokhim1

Abstract

Philosophically, power in the rule of law can be seen from three perspectives. In the

Ontology perspective, power is the ability to force the idea to other parties. According

Epistemology perspective, good or bad it depends on how to use this authority.

Furthermore, axiology perspective said that power not only deceive by physically

conquered or capital but also arise from human being aspect as a Spinoza thought.

Key Words: Philosophy; Power; Rule of Law

Pendahuluan

Ide tentang “negara hukum” telah muncul dalam bentuk yang bervariasi dalam sistem

hukum yang berbeda-beda. Secara historis, ada dua istilah atau konsep yang sangat

berpengaruh di dunia terkait ide negara yang berdasarkan atas hukum, yaitu konsep

“rechtsstaat” yang berkembang di Eropa Kontinental (abad XIX) dan konsep “rule of law”

yang berkembang di negara-negara Anglo Saxon. Kedua konsep tersebut berkaitan dengan

tipologi negara dipandang dari segi hubungan antara negara (pemerintah) sebagai pihak

yang memerintah atau yang mengusai dan warga negara sebagai pihak yang diperintah atau

yang dikuasai.

Konsep rechtsstaat yang bertumpu pada sistem civil law lahir dari suatu perjuangan

panjang menentang absolutisme kekuasaan negara (machtstaat), sedangkan konsep rule of

law bertumpu pada sistem common law yang bersifat memutus perkara yang didelegasikan

kepada hakim berdasarkan hukum kebiasaan di Inggris (common custom of England).

Meskipun, antara konsep rechtsstaat dan rule of law mempunyai perbedaan latar belakang

historis, tetapi pada dasarnya keduanya berkenaan dengan perlindungan atas hak-hak

kebebasan sipil warga negara dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang kekuasaan

negara.2

Tulisan singkat ini secara filosofis mendiskusikan tentang kekuasaan dalam konteks

negara hukum ditinjau dari aspek ontologis (mengenai hakikat dan sumber kekuasaan),

aspek epistemologis (tentang rule of law sebagai cara atau metode untuk membatasi

kekuasaan), dan dari aspek aksiologis (mengenai pandangan kaum idealis dan empiris

tentang hubungan hukum dan kekuasaan).

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.

2 A. Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, In-Trans, Malang,

2003, h. 8-9.

Page 2: HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN · penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di samping

2

Aspek Ontologi: Hakikat dan Sumber Kekuasaan

Istilah kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut power, macht (dalam bahasa Belanda)

dan pouvoir atau puissance (dalam bahasa Perancis). Dalam Black’s Law Dictionary,

istilah kekuasaan (power) berarti: “The right, ability, authority, or faculty of doing

something. . . . A power is an ability on the part of a person to produce a change in a given

legal relation by doing or not doing a given act”.3 Istilah kekuasaan berbeda maknanya

dengan kewenangan. Dalam literatur berbahasa Inggris istilah kewenangan atau wewenang

disebut authority atau competence, sedang dalam bahasa Belanda disebut gezag atau

bevoegdheid. Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum

publik atau kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk

melakukan hubungan-hubungan hukum.4

Berdasarkan definisi tersebut di atas, kekuasaan secara sosiologis adalah kemampuan

untuk mempengaruhi pihak lain agar mengikuti kehendak pemegang kekuasaan, baik

dengan sukarela maupun dengan terpaksa. Sedangkan, kewenangan adalah kekuasaan yang

diformalkan (secara hukum) baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap

suatu bidang pemerintahan tertentu.

Apakah hakikat kekuasaan (power) itu? Apakah kekuasaan itu identik dengan

kekuatan (force)? Dalam suatu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang

menganut sistem negara hukum, kekuasaan sering bersumber dari wewenang formal

(formal authority) yang memberikan kekuasaan atau wewenang kepada seseorang dalam

suatu bidang tertentu. Hal ini berarti kekuasaan itu bersumber pada hukum, yaitu ketentuan-

ketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang tadi. Mengingat bahwa hukum itu

memerlukan paksaan bagi penaatan ketentuan-ketentuannya, maka dapat dikatakan bahwa

hukum memerlukan kekuasaan bagi penegakannya. Tanpa kekuasaan, hukum itu tak lain

akan merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran belaka.

Hubungan hukum dan kekuasaan dalam masyarakat, oleh Mochtar Kusumaatmadja

digambarkan sebagai berikut: “hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya,

sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Secara populer,

kesimpulan ini barangkali dapat dirupakan dalam slogan bahwa: “hukum tanpa kekuasaan

adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.5 Secara analitik dapatlah

dikatakan bahwa kekuasaan merupakan suatu fungsi dari masyarakat yang teratur.

Kekuatan fisik (force) dan wewenang resmi (formal authority) merupakan dua sumber

kekuasaan.

Persoalannya, apakah kekuasaan itu adalah wewenang dan kekuatan fisik? Tidak,

wewenang formal dan kekuatan fisik bukan satu-satunya sumber kekuasaan. Memang

dalam kenyataan, orang yang memiliki pengaruh politik atau keagamaan dapat lebih

berkuasa dari pada orang yang berwenang atau memiliki kekuatan fisik. Kekayaan (uang)

atau kekuatan ekonomi lainnya juga merupakan sumber-sumber kekuasaan yang penting,

sedangkan dalam keadaan-keadaan tertentu kejujuran, moral yang tinggi dan pengetahuan

pun tak dapat diabaikan sebagai sumber-sumber kekuasaan. Jadi, kekuasaan adalah

3 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6

th ed., West Publishing Co., St. Paul Minn., 1990,

h. 1169. 4 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty,

Yogyakarta, 1997, h. 153. 5 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,

Binacipta, Jakarta, t.t., h. 4-5.

Page 3: HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN · penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di samping

3

fenomena yang beraneka ragam bentuknya dan banyak macam sumbernya. Hanya, pada

hakekatnya kekuasaan itu tetap sama, yaitu kemampuan seseorang untuk memaksakan

kehendaknya atas pihak lain.

Aspek Epistemologi: Rule of Law Sebagai Cara Membatasi Kekuasaan

Menurut pengamatan sejarah, kekuasaan itu mempunyai suatu sifat yang khas, yakni

ia cenderung untuk merangsang bagi yang memilikinya untuk lebih berkuasa lagi.

Kekuasaan haus akan lebih banyak lagi kekuasan.6 Dalam kaitannya dengan kekuasaan

(power), Lord Acton telah memperingatkan bahwa: “Power tends to corrupt; and

absolute power tends to corrupt absolutly” (Semakin besar kekuasaan, akan semakin

besar pula kecenderungan untuk disalahgunakan).7 Karena itu, dalam konsep negara

hukum, sumber untuk memperoleh dan menggunakan kekuasaan serta batas-batasnya harus

secara jelas diatur dan dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan.

Inilah esensi kekuasaan menurut konsep negara hukum (rule of law; rechtsstaat). Oleh

karena itu, dalam perspektif sosiologis, ide rule of law mengandung makna bahwa otoritas

harus diberi bentuk hukum dan bahwa kekuasaan harus dilaksanakan dengan cara-cara

hukum.8

Secara epistemologis, baik atau buruknya kekuasaan itu sendiri sangat tergantung

dari bagaimana cara menggunakan kekuasaan. Artinya, baik buruknya kekuasaan

senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah

ditentukan. Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting dalam hal digunakannya

kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan kehendak masyarakat. Karena bagi pemegang

kekuasaan diperlukan syarat antara lain kejujuran dan rasa pengabdian yang tinggi terhadap

kepentingan masyarakat.9 Ia merupakan suatu yang mutlak bagi kehidupan masyarakat

yang tertib, bahkan bagi setiap organisasi yang teratur (seperti negara).10

Akan tetapi karena

sifat dan hakikatnya, supaya baik dan bermanfaat harus ditetapkan ruang lingkup, arah dan

batas-batasnya. Sekali ditetapkan, hendaknya pengaturan kekuasaan dipegang teguh. Inilah

inti dari pengertian bahwa kekuasaan itu harus tunduk pada hukum.

Mengingat sifat dan hakikat kekuasaan, jelas kiranya bahwa tidak setiap orang dengan

begitu saja dapat diserahi kekuasaan, harus dipersiapkan untuk itu. Seorang pemegang

kekuasaan harus memiliki semangat mengabdi kepentingan umum (sense of public service).

Sebaliknya, mengenai sikap orang yang dikuasai, di satu pihak ia mempunyai kewajiban

tunduk pada penguasa (the duty of civil obedience), tetapi di pihak lain ia pun harus sadar

akan haknya untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap diri11

dan harta bendanya.

Yang dimaksud “penguasa” dalam hal ini tidak lain adalah pemerintah yang menjalankan

fungsi pemerintahan dalam suatu negara.

Adapun tugas “penguasa” menurut van Apeldoorn, dibagi dalam empat bidang

perundang-undangan, peradilan, polisi, dan pemerintahan. Tugas penguasa di bidang

6 Ibid., h. 6.

7 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1993, h. 52.

8 A.A.G. Peters dan Koesriani S., Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 1990, h. 52. 9 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, h.

71. 10

Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1977, h. 19. 11

Ibid., h. 7.

Page 4: HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN · penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di samping

4

perundang-undangan adalah membentuk undang-undang dalam arti materiil, yakni

menentukan peraturan-peraturan yang umum mengikat. Di bidang peradilan, menetapkan

hukum dalam hal-hal yang konkrit. Di bidang kepolisian, tugas penguasa adalah

pengawasan dari penguasa atas paksaan yang dilakukannya, supaya orang-orang mentaati

hukum yang telah ditetapkan. Sedang, di bidang pemerintahan, tugas penguasa adalah

mencakup semua tindakan penguasa yang tidak termasuk perundang-undangan, peradilan,

dan polisi.12

Istilah “tugas penguasa” dalam hal ini mencakup seluruh tugas “negara” yang

dijalankan oleh lembaga legislatif, eksekutif, dan yudisial.

Pada negara yang berdasarkan atas hukum (rule of law), maka hukum ditempatkan

sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahannya (supremasi

hukum). Dalam hal ini dianut suatu “ajaran kedaulatan hukum” yang menempatkan hukum

pada kedudukan tertinggi. Hukum dijadikan guiding principle bagi segala aktivitas organ-

organ negara, pemerintahan, pejabat-pejabat beserta rakyatnya. Pemerintahan yang

berdasarkan hukum merupakan pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum dan tidak

berdasarkan kepada kemauan manusianya. Sudikno Mertokusumo mengatakan dengan

sebutan “the governance not by man but by law”.13

Hal ini sejalan dengan prinsip

“pembagian kekuasaan pemerintahan (distribution of power) yang dianut oleh UUD 1945”

yang dimaksudkan untuk membatasi dan mencegah kemungkinan penumpukan maupun

penyalahgunaan kekuasaan pada badan/lembaga atau pejabat penyelenggara

pemerintahan.14

Kekuasaan lembaga-lembaga negara dalam konteks rule of law oleh Roberto M.

Unger didefinisikan lewat gagasan tentang sifat netral (neutrality), seragam (uniformity),

dan dapat diprediksikan (predictability). Penggunaan kekuasaan pemerintah harus

berlangsung di dalam batasan-batasan peraturan yang berlaku bagi cukup banyak kategori

orang dan tindakan.15

Segenap peraturan ini, apapun bentuknya, harus diberlakukan secara

seragam. Kehendak pembuat undang-undang (lawgiver) harus diwujudkan lewat peraturan-

peraturan umum.

Pembuat undang-undang (legislator) tidak dapat menghukum ataupun memihak

individu-individu tertentu secara langsung, sehingga terhindar pula dari melakukan kontrol

personal secara langsung. Pelaksana undang-undang (administrator) berurusan dengan

individu hanya sebatas aturan-aturan yang ditentukan, dan aturan-aturan ini bukan dia yang

membuatnya. Maka, berdasarkan pemikiran ini, pelaksana undang-undang terhindar dari

upaya penggunaan kekuasaan publik untuk mencapai tujuan pribadi. Sebab, untuk

bertindak dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang harus ada orang lain

dengan kewenangan terakhir untuk menentukan makna hukum, dan dalam pelaksanaannya

membutuhkan metode yang berbeda dengan metode administratif. Pejabat ini adalah hakim

(judge).16

12

L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-29, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, h. 301. 13

I Made Arya Utama, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Hidup dalam Mewujudkan

Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,

Bandung, 2005, h. 21. 14

Ibid., h. 21-22. 15

Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, Nusamedia,

Bandung, 2007, h. 234. 16

Ibid., h. 235.

Page 5: HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN · penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di samping

5

Jika pelaksana hukum juga merangkap sebagai hakim, maka mungkin saja makna

aturan-aturan hukum yang wajib dilaksanakannya malah “dipelintir” sedemikian rupa agar

sesuai dengan tujuan-tujuan pribadinya. Selain itu, bisa pula timbul kekacauan dalam

metode administratif dan metode peradilan, sebab masing-masing metode memiliki

keutamaan sendiri dan tidak bisa diabaikan demi penyelenggaraan negara dengan sebaik-

baiknya.

Perhatian pelaksana hukum terpusat pada sarana terefektif untuk mewujudkan tujuan-

tujuan kebijakan yang sudah ditentukan di dalam batasan-batasan hukum. Baginya, rule of

law adalah kerangka tempat pengambilan keputusan dilaksanakan. Sebaliknya, bagi hakim,

hukum disahkan dari batas luar ke pusat perhatian. Hukum adalah bidang kajian utama bagi

aktivitasnya. Ajudikasi membutuhkan jenis perdebatan tersendiri; integritasnya menuntut

institusi dan personel khusus.

Supaya terhindar dari penumpukan kekuasaan yang dapat mengarah pada tindakan

penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya

pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di samping peradilan yang

bebas, perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan supremasi hukum.

Pada abad ke-17 dan 18, pandangan John Locke mengenai hak-hak asasi manusia

dan asas pemisahan kekuasaan semakin diperkuat oleh pemikiran Montesquieu yang

menghendaki pemisahan kekuasaan negara secara tegas ke dalam organ legislatif, eksekutif

dan yudisial, serta pemikiran J.J. Rousseau tentang paham “kedaulatan rakyat”. Asas

pemisahan kekuasaan dan paham kedaulatan rakyat dari ketiga ahli pikir tersebut boleh

dikatakan sangat besar pengaruhnya terhadap berdirinya negara-negara modern di Eropa

Kontinental dan Anglo-Saxon pada abad ke-17 sampai ke-19, tentu saja perjuangan politik

yang panjang dan revolusi kerakyatan berdasarkan paham kedaulatan rakyat dan kedaulatan

hukum yang kemudian dituangkan dalam konstitusi negara-negara hasil dari revolusi

tersebut.17

Terkait dengan teori pemisahan kekuasaan, baik John Locke maupun Montesquieu

sama-sama membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang, tetapi ada perbedaannya. John

Locke mengatakan bahwa kegiatan negara bersumber dari tiga kekuasaan negara, yaitu

kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan

kekuasaan federatif (federative power). Sedang Montesquieu melalui ajaran Trias Politica

membelah seluruh kekuasaan negara secara terpisah-pisah (separation of power; separation

du pouvoir) dalam tiga bidang (tritochomy), yakni bidang legislatif, eksekutif dan

yudikatif.18

Ajaran Trias Politika didasarkan pada pemikiran bahwa kekuasaan negara harus

dipisahkan (separation of powers) dan tidak boleh berada dalam satu tangan (concentration

of powers).

Berbeda dengan Montesquieu, Hans Kelsen membagi segenap unsur “power” dalam

negara itu dalam dua bidang pokok, yakni: “legislatio” yang meliputi “law creating

function”; dan “legis executio”, yang meliputi: (1) legislative power dan (2) judicial

power.19

17

Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum

Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, h. 45. 18

Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan

Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1985, h. 20. 19

Ibid.

Page 6: HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN · penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di samping

6

Tugas “legis executio” menurut Kelsen bersifat luas, yakni melaksanakan “the

constitution” beserta seluruh undang-undang yang ditetapkan oleh kekuasaan legislatif.

Dengan demikian, ia mencakup selain kekuasaan administratif juga seluruh “judicial

power”. Selanjutnya Kelsen membagi kekuasaan administratif itu dalam dua bidang, yaitu:

(a) “political function” yang disebutnya “government” dan meliputi tugas kepolisian; serta

(b) “administrative function” (Verwaltung; Bestuur). Pembagian kekuasaan negara dalam

dua bidang ini disebutnya “dichotomy”.20

Demikian juga pendirian Hans Nawiasky. Menurut pendapatnya, seluruh kegiatan

negara juga dibagi menjadi dua bidang, yakni: (1) Normgebung dan Normvollziehung.

Yang dimaksud normgebung adalah: “der Schaffung von Rechtsnormen” (pembentukan

norma-norma hukum) dan termasuk juga pengundangannya (der Erlasz von Gesetzen),

yang sifatnya bebas dalam memilih obyeknya menurut keperluan (inhaltlich frei).

Sedangkan, Normvollziehung merupakan fungsi pelaksanaan undang-undang (eksekutif)

yang terikat pada norma-norma atau undang-undang yang harus dijalankannya (inhaltlich

gebunden). Selanjutnya, Nawiasky membagi fungsi Normvollziehung ke dalam dua bagian,

yaitu: (1) Verwaltung atau pemerintahan (“pangreh”); dan (2) Rechtsplege atau peradilan.

Dengan demikian, pendirian ini sangat dekat dengan teori “dichotomy”-nya Kelsen.21

Adanya pemisahan kekuasaan itu dimaksudkan untuk lebih menjamin hak-hak

kebebasan warga masyarakat dalam kehidupan bernegara. Kendatipun demikian, dalam

prakteknya ajaran pemisahan kekuasaan tidak dapat dijalankan secara konsekuen.

Pemisahan kekuasaan secara absolut yang meniadakan sistem pengawasan atau

keseimbangan (checks and balance) antara cabang kekuasaan yang satu dengan cabang

kekuasaan yang lain dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dalam lingkungan masing-

masing cabang kekuasaan itu.22

Negara Indonesia tidak menganut ajaran Trias Politika sebagaimana dikemukakan

oleh Montesquieu yang menghendaki adanya pemisahan kekuasaan (separation of power).

Berdasarkan UUD 1945, Negara Indonesia hanya mengenal sistem “pembagian kekuasaan”

(division of powers)23

yang menekankan adanya pembagian fungsi-fungsi pemerintahan,

bukan pada pemisahan organ-organnya. Adapun UUD 1945 menggunakan istilah-istilah

yang berasal dari ajaran Trias Politika dari Montesquieu seperti legislative power, executive

power dan judicial power, hal itu tidak boleh diartikan bahwa UUD 1945 menganut ajaran

tersebut. Penggunaan peristilahan itu sekedar memberikan penjelasan dan perbandingan

semata mengenai sistem ketatanegaraan yang sesungguhnya diikuti oleh UUD 1945.24

Meskipun Montesquieu hanya membagi dalam tiga cabang kekuasaan, tetapi dalam

praktek ada negara-negara tertentu yang mempunyai lebih dari tiga cabang kekuasaan yang

dimaksud. Di antaranya adalah Indonesia yang ternyata mempunyai 6 (enam), bahkan

lebih, cabang kekuasaan negara yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang ada

(MPR, DPR, BPK, MA, Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),

20

Ibid., h. 20-21. 21

Ibid., h. 7. 22

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, PSH UII dan Gama Media, Yogyakarta, 1999, h. 9-10. 23

Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1983, h. 15-16. 24

A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelengga-raan

Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, h. 116.

Page 7: HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN · penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di samping

7

dan Presiden).25

Di samping itu, dalam amandemen UUD 1945 juga dikenal lembaga

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Yudisial (KY).

Aspek Aksiologi: Pandangan Kaum Idealis dan Empiris tentang Hubungan Hukum

dan Kekuasaan

Pandangan tentang hubungan hukum dan kekuasaan itu sebenarnya tidaklah tunggal.

Antara kaum idealis yang berorientasi pada das sollen dan kaum empiris yang lebih melihat

hukum sebagai das sein, memberikan pandangan yang berbeda. Namun, kedua pandangan

itu sama-sama sependapat bahwa dalam konteks rechtsstaat atau rule of law (“negara

hukum”) seharusnya hukum itu supreme atas kekuasaan. Ketika kita melihat teori yang

ditawarkan oleh Roscue Pound, bahwa “law as a tool as social engineering”, maka kita

akan melihat bahwa hukum harus mempengaruhi kehidupan masyarakat. Tetapi, manakala

kita mengacu ajaran Von Savigny, yang mengatakan bahwa “hukum berubah jika

masyarakatnya berubah”, maka hukum semestinya harus mampu mengikuti perkembangan

dan memenuhi tuntutan masyarakat.

Kenyataan-kenyataan di lapangan secara empirik menunjukkan juga betapa hukum

seringkali tidak memiliki otonomi yang kuat, karena energinya lebih lemah dari pada energi

sub-sistem politik, sehingga dapat dilihat bukan hanya materi hukum itu yang sarat dengan

cerminan “konfigurasi kekuasaan”, melainkan juga penegakannya kerapkali dintervensi

oleh kekuasaan, sehingga hukum sebagai penunjuk atau rel menjadi terabaikan. Dari

kenyataan empirik yang seperti itulah kemudian muncul teori tentang “hukum sebagai

produk politik”, yang menurut Mahfud MD materi hukum itu tidak lain merupakan

kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan yang kemudian

dimenangkan oleh pemegang kekuasaan politik yang dominan atau kompromi politik antar

faksi-faksi yang bersaing.26

Bertitik tolak dari pandangan tersebut, maka bagi orang yang melakukan telaah

tentang hukum akan menemukan minimal dua model yang dapat digunakan untuk menilai

hubungan hukum dan kekuasaan, yaitu: pertama, hukum menentukan dan mempengaruhi

kekuasaan (politik) yang menyertai wawasan negara hukum yang das sollen; di sini hukum,

terutama hukum dasar (konstitusi) menjadi pemberi batas yang tegas atas lingkup

kekuasaan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Kedua, hukum dipengaruhi,

ditentukan, bahkan diintervensi oleh politik (kekuasaan) seperti yang sering terlihat di

dalam kenyataan empirik (das sein); di sini hukum lebih dijadikan sebagai alat justifikasi

(pembenar) atas kehendak-kehendak pemegang kekuasaan politik yang dominan, sehingga

hukum tidak dapat memainkan perannya sebagai alat kontrol dan penjaga batas kekuasaan.

Dalam kajian ini, tidak perlu dipertentangkan mana yang benar di antara kedua model

ini. Sebab, yang namanya teori biasanya hanya memotret apa yang ada dan terjadi secara

ajeg. Dalam konteks inilah dua model atau pandangan mengenai hubungan hukum dan

kekuasaan dapat diberi tempat. Sehingga kebenarannya menjadi benar menurut model dan

asumsi yang dipergunakan oleh sang analisis; tinggal model mana yang akan dipergunakan.

Idealnya, memang hukum dan kekuasaan, paling tidak, saling melengkapi. Dalam arti,

hukum harus ditegakkan dengan kekuasaan, agar daya paksanya bisa efektif. Sebaliknya,

25

Bagir Manan, Op. Cit., h. 11. 26

Moh. Mahfud MD, “Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokrasi”, dalam Dahlan Thaib dan

Mila Karmila Adi, Hukum dan Kekuasaan, FH-UII, Yogyakarta, 1998, h. 48.

Page 8: HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN · penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di samping

8

kekuasaan harus dijalankan di atas prinsip-prinsip hukum, agar tidak sewenang-wenang.

Dalam konteks inilah bisa dipahami pernyataan, bahwa “hukum tanpa kekuasaan ibarat

burung tanpa sayap” (artinya tak bisa bergerak), sedang “kekuasaan tanpa hukum ibarat

buldozer tanpa rem” (artinya liar dan tanpa kendali).27

Tetapi, apa yang ideal itu kerapkali

tidak realistik, sehingga kerapkali pula terlihat bahwa kekuasaan menjadi supreme atas

hukum. Dalam kenyataan justru sangat banyak kasus di mana hukum sangat bergantung

dan ditentukan oleh kekuasaan, sehingga timbul berbagai kondisi yang lebih realistik sejak

zaman dulu yang melihat hukum sebagai wujud dari keinginan penguasa belaka. Keinginan

ini menurut John Austin dinyatakan secara rasional oleh penguasa, yang bagi pihak lain

merupakan hal yang harus dilakukan atau dihindari (a wish . . . by rational being, that

another . . . shall do or forbear).28

Apeldoorn mencatat, paling tidak, ada empat pengikut paham empirik yang

mengatakan bahwa hukum identik dengan kekuasaan itu sendiri. Pertama, kaum Sophist di

Yunani mengatakan bahwa keadilan itu tidak lain dari apa yang berfaedah bagi orang yang

lebih kuat. Kedua, Lasalle mengatakan bahwa konstitusi suatu negara bukanlah undang-

undang dasar tertulis yang sebenarnya hanya merupakan secarik kertas, melainkan

merupakan hubungan kekuasaan yang nyata; orang kecil bisa menjadi bagian dari

konstitusi hanya kekecualian dan dalam keadaan yang luar biasa, yaitu pada waktu revolusi.

Ketiga, Gumplowics mengatakan bahwa hukum itu berdasar penaklukan yang lemah oleh

yang kuat, ia merupakan susunan definisi yang dibentuk pihak yang kuat untuk

mempertahankan kekuasaannya. Keempat, bahkan sebagian dari pengikut aliran

positivisme berpendapat bahwa kepatuhan kepada hukum tidak lain dari tunduknya orang

yang lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga hukum itu merupakan hak orang

yang terkuat.29

Dari aspek aksiologis, kekuasaan yang bersifat menentukan tidak semata-mata karena

diperoleh dengan cara menundukkan pihak yang lemah melalui kekuatan fisik, melainkan

sebagaimana yang diajarkan oleh Spinoza terletak dalam kekuasaan terhadap suara hati

manusia. Hukum dapat timbul dari kekuasaan, termasuk kekuatan fisik, asal saja ia

berkembang menjadi kekuasaan susila (kekuatan moral), yakni kekuasaan yang berkuasa

atas suara hati orang. Kekuasaan susila tersebut membentuk hukum, karena ia bercita-

citakan keadilan, artinya bercita-cita memberi pada tiap-tiap orang apa yang menjadi

bagiannya. Mengapa dikatakan “bercita-citakan”, karena keadilan yang sungguh-sungguh

tak dapat dicapai oleh hukum, karena pertama, hukum terpaksa mengorbankan keadilan

sekedarnya untuk mencapai tujuannya (bersifat kompromi), dan kedua, hukum itu dibuat

manusia yang tidak dikaruniai Tuhan untuk mengetahui apa yang adil dan tidak adil secara

mutlak. Keadilan, menurut falsafah bangsa Romawi, adalah kehendak yang tetap dan yang

tak ada akhirnya, untuk memberi pada tiap-tiap orang apa yang menjadi haknya (Justitia est

constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere).30

27

Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara: Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, RajaGrafindo

Persada, Jakarta, 2005, h. 8. 28

Hilaire McCoubrey dan Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, 2nd

Ed., Blackstone Press,

London, 1996, h. 15. 29

L.J. van Apeldoorn, Op. Cit., h. 57-58. 30

Ibid., h. 67.

Page 9: HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN · penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di samping

9

Kesimpulan

Kajian tentang kekuasaan dalam konteks negara hukum secara filosofis dapat dilihat

dari tiga aspek, yaitu aspek ontologis, epistemologis dan filosofis.

Dari aspek ontologis, pada hakekatnya kekuasaan itu adalah kemampuan seseorang

untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Dalam konteks negara hukum, sumber

dan batas-batas kekuasaan ditentukan oleh hukum dan harus dipergunakan dalam koridor

hukum. Hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu

sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum.

Dari aspek epistemologis, supaya terhindar dari penumpukan kekuasaan yang dapat

mengarah pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum

juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan. Legislator tidak dapat

menghukum individu-individu secara langsung. Administrator atau pejabat eksekutif

berurusan dengan individu hanya sebatas aturan-aturan yang ditentukan, supaya ia terhindar

dari upaya penggunaan kekuasaan publik untuk mencapai tujuan pribadi. Untuk bertindak

dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, harus ada pejabat lain dengan

kewenangan terakhir untuk menentukan makna hukum, yang dalam pelaksanaannya

membutuhkan metode yang berbeda dengan metode administratif. Pejabat ini adalah hakim,

yang memiliki kekuasaan mengadili menurut (prosedur) hukum.

Secara aksiologis, kekuasaan yang bersifat menentukan tidak semata-mata karena

diperoleh dengan cara menundukkan pihak yang lemah melalui kekuatan fisik, melainkan

terletak dalam kekuasaan terhadap suara hati nurani manusia. Hukum dapat timbul dari

kekuasaan, termasuk kekuatan fisik, asal saja ia berkembang menjadi kekuasaan susila

(kekuatan moral), yakni kekuasaan yang berkuasa atas suara hati orang. Kekuasaan susila

tersebut membentuk hukum, karena ia bercita-citakan keadilan. Meskipun, keadilan yang

sungguh-sungguh tak dapat dicapai oleh hukum, karena hukum itu dibuat manusia yang

tidak dikaruniai Tuhan untuk mengetahui apa yang adil dan tidak adil secara mutlak. Dalam

perspektif ini, hukum tidak bebas nilai, karena terkait dengan hati nurani (moral), termasuk

di dalamnya nilai-nilai keadilan.

Page 10: HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN · penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di samping

10

DAFTAR PUSTAKA

Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum

Administrasi, Alumni, Bandung, 1985

Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-29, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001

Attamimi, A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana

Universitas Indonesia, Jakarta, 1990

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, PSH UII dan Gama Media, Yogyakarta, 1999

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, 6th

Ed., West Publishing Co., St. Paul

Minnesota, 1990

Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara: Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen,

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005

I Made Arya Utama, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Hidup dalam

Mewujudkan Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan, Disertasi, Program

Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2005

Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1983

Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan

Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1985

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung,

2002

McCoubrey, Hilaire dan Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, 2nd

Ed., Blackstone

Press, London, 1996

Mahfud MD, Moh., “Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokrasi”, dalam Dahlan

Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum dan Kekuasaan, FH-UII, Yogyakarta, 1998

Marbun, S.F., Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia,

Liberty, Yogyakarta, 1997

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1993

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan

Nasional, Binacipta, Jakarta, t.t.

Page 11: HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN · penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di samping

11

Mukthie Fadjar, A., Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, In-Trans,

Malang, 2003

Peters, A.A.G., dan Koesriani S., Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III, Pustaka

Sinar Harapan, Jakarta, 1990

Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1977

Unger, Roberto M., Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern,

Nusamedia, Bandung, 2007

Page 12: HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN · penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di samping

12

Page 13: HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN · penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di samping

13