pkb xxiii leading internal medicine to best care of ... filesampai 1,2 mg), atau apabila ada...
TRANSCRIPT
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Rekomendasi Terbaru pada Hiperurisemia dan Artritis Gout
Tjokorda Raka Putra
Divisi Reumatologi dan Alergi-Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar
Abstrak
Penyakit gout adalah kelainan patologis yang terjadi akibat
penumpukan kristal urat pada organ tubuh akibat hiperurisemia. Diagnosis
utama adalah mendapatkan kristal urat dalam jaringan. Diberikan
rekomendasi terbaru dalam diagnosis dan penanganan gout.
Tujuan penanganan gout adalah menurunkan kadar AU darah
sampai dalam batas normal, agar tidak terbentuk kristal urat, dengan
edukasi, diet dan medikamentosa. Penanganan medisinal memberikan
obat penurunan AU pada hiperuersemia yang telah menimbulkan kelainan
patologis atau gout, akibat penumpukan kristal urat, seperti AG,
pembentukan tofus, nefropati uratakut atau batu urat. Pada hiperurisemnia
asimptomatis sebaiknya tidak diberikan pengobatan, hanya penanganan
medis rutin dan perlu pemantauan berkesinambungan.
Alopurinol merupakan obat pilihan pertama obat penurun AU darah.
Pilihan lainnya adalah obat urikosurik (benzbromarone, probenesid) atau
feboxostat. Pilihan lain, uricase dengan monoterapi pada gout berat apabila
gagal atau ada kontraindikasi pemakaian obat lainnya. Pemakaian obat
penurun AU dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan bertahap
sampai kadar AU darah tercapai normal, kecuali uricase. Pemakaian obat
penurun AU dipelukan edukasi tentang resiko dan penanganan serangan
akut serta pentingnya pemakaian obat profilaktis dengan kolkhisin (dosis
sampai 1,2 mg), atau apabila ada kontraindikasi atau terjadi intoleran bisa
memakai OAINS atau dengan kortikosteroid dosis rendah.
Pada AG akut pengobatan utama adalah dengan kolkhisin dosis
rendah (sampai 2 gram sehari), OAINS dan atau kortikosteroid dalam
bentuk intra-artikuler, oral atau intramuskuler, tergantung penyakit penyerta
atau resiko sefek sampingnya .
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Dalam keadaan tertentu, terjadi gout refrakter dengan berbagai
penyebab. Penanganan utama adalah memberikan edukasi kepada
pasien, betapa pentingnya menurunkan kadar AU menjadi normal, guna
menghindari kerusakan organ sistemik. Menentukan penyebab untuk
memberikan penanganan yang menyeluruh adalah sangat penting. Pada
alergi obat alopurinol dapat dicoba desensitisasi atau pemakaian obat
oxypurinol. Pada intoleransi obat alopurinol dan keadaan penyakit
gangguan fungsi ginjal yang tidak efektif dengan alopurinol dan diberikan
obat febuxostat atau uricase.
Pendahuluan
Gout adalah kelainan patologis pada jaringan organ akibat
terbentuk dan penumpukan kristal urat pada penderita hiperurisemia,
dengan manifestasi klinis dapat berupa ArtritisGout, kelainan ginjal dan
kelainan organ lainnya.
Hiperurisemia telah menjadi masalah kesehatan utama
dimasyarakat, karena menyebabkan kerusakan fungsi organ tubuh, akibat
pembentukan kristal urat. Kristal urat mengaktifkan pengeluaran berbagai
mediator keradangan sehingga menyebabkan keradangan organ dan
kelainan patologis organ. Kelainan patologis yang mungkin terjadi pada
seorang dengan hiperurisemia yang disebut gout, antara lain berupan
ArtritisGout (AG), batu ginjal, nefropati ginjal, dan kelainan lainnya seperti
hipertensi, atau kelainan kardiovaskuler. Kelainainan pada ginjal sering
menyebabkan gangguan fungsi ginjal yang bersifat permanen.Diagnosis
utama untuk penyakit gout adalah, mendapatkan kristal urat pada organ
tersebut. Namun dalam prakteknya, menemukan kristal urat sering sulit
untuk dikerjakan.
Penanganan gout bertujuan untuk menurunkan kadar asam urat
(AU) darah sampai dalam batas normal, sehingga tidak terbentuk kristal
urat dalam jaringan dan tidak menyebabkan kerusakan fungsi organ.
Target penurunan kadar AU darah adalah 6 mg atau kurang. Pada
artritiskronis dan pembentukan tofus, perlu penurunan kadar AU darah
sampai 5 mg% agar pengecilan tofus terjadi lebih cepat. Penanganan gout
secara umum dengan memberikan edukasi, program diet dan penanganan
medisinal dengan obat penurun AU.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Pada dekade ini, penyakit gout telah merupakan isu yang sangat
populer di masyarakat, namun para dokter masih belum sempurna dalam
membuat diagnosis dan penanganannya. Dalam makalah ini disampaikan
rekomendasi terbaru pada Hiperurisemia dan Artritis Gout berdasarkan
pada evidence terakhir dan juga disampaikan penanganan gout refrakter
yang sering didapatkan dalam praktek.
Patogenesis dan Manifestasi Klinis Gout
Gout adalah kelainan akibat peningkatan kadar AU di dalam darah,
yang disebut hiperurisemia. Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi
peningkatan kadar AU darah diatas normal. Batasan pragmatis yang sering
dipergunakan untuk hiperurisemia adalah suatu keadaan dimana terjadi
peningkatan kadar AU serum yang bisa mencerminkan adanya kelainan
patologi pada organ. Kadar AU serum diatas 7 mg% pada laki dan 6 mg%
pada perempuan dipergunakan sebagai batasan hiperurisemia (WHO,
1992 ; Cohen et al, 1994; Kelley & Wortmann, 1997).
Hiperurisemia dapat terjadi karena peningkatan metabolisme atau
produksi AU (overproduction), karena penurunan pengeluaran AU dalam
urin (underexcretion), atau gabungan keduanya. Penyebab hiperurisemia
dan gout dapat dibedakan atas hiperurisemia primer, sekunder dan
idiopatik. Hiperurisemia primer adalah hiperurisemia tanpa disebabkan
penyakit atau penyebab lain, sering karena faktor genetik. Hiperurisemia
sekunder adalah hiperurisemia disebabkan karena penyakit lain, misalnya
penyakit keganasan dan penurunan fungsi ginjal. Hiperurisemia idiopatik
adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebabnya (Schumacher Jr, 1992;
Kelley & Wortmann, 1997).
Tidak semua orang dengan hiperurisemia akan menimbulkan
kelainan patologis. Sering didapatkan pada seorang hiperurisemia tidak
terjadi pembentukan kristal urat pada jaringan dan tanpa menimbulkan
kelainan patologis, keadaan ini disebut hiperurisemia asimptomatis. Pada
hiperurisemia dengan pembentukan kristal urat dan sering dalam bentuk
monosodium urat, akan menimbulkan kelainan patologis pada organ dan
keadaan ini disebut gout. Keadaan ini terjadi, diperkirakan karena orang
tersebut mempunyai faktor genetik, faktor The Gouty Diatheis. Dengan
konsep ini dapat dijelaskan kenapa orang dengan hiperurisemia tidak
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
menimbulkan kelainan dan pada orang lain terjadi kelainan patologis gout.
(Kelly WN et al, 1997).
Pembentukan kristal urat merupakan faktor yang penting
menyebabkan kelainan patologis organ. Kerusakan organ dan tempat
penumpukan kristal urat tersering adalah pada tulang rawan, tulang epifise,
jaringan periartikuler, ginjal dan pada organ lainnya. Disamping faktor
kadar dan lama hiperurisemia berlangsung, yang merupakan penyebab
terjadi kelainan patologis organ, juga tergantung pada lokasi organ
tersebut. Pada ibu jari kaki kemungkinan pembentukan kristal urat sangat
tinggi akibat temperatur relatif rendah, disamping karena resiko trauma
pada daerah tersebut. Keradangan pada sendi pangkal ibu jari kaki
merupakan tanda yang penting pada AG akut, disebut podagra. (Kelly WN
et al, 1997),
Pembentukan kristal urat akan menyebabkan pengeluaran berbagai
mediator keradangan, terutama inflamasom dan IL-1, serta berbagai
mediator lainnya, bersama aktivasi sel radang sehingga terjadi proses
keradangan akut pada organ tempat penumpukan kristal urat. Kelainan
patologis yang mungkin terjadi pada seorang dengan hiperurisemia yang
disebut gout antara lain AG atau ArtritisPirai, Batu Ginjal, Nefropati Ginjal
dalam bentuk Nefropati Urat yang sering menimbulkan gagal ginjal kronis
atau Nefropati Asam Urat yang sering menimbulkan gagal ginjal akut, dan
kelainan lain seperti hipertensi, atau kelainan kardiovaskuler. AG
berdasarkan stadiumnya diklasifikasikan dalam AG stadium akut, interkrtitik
dan kronis dengan pembentukan tofus. AG Akut, serangan sering pada
sendi ibu jari kaki, sendi metatarso-falangeal I, disebut podagra. AG
Interkritik adalah stadium diantara dua serangan akut, tanpa ada
keradangan pada sendi, namun kadar AU tetap tinggi. AP Kronis, telah
terjadi kerusakan pada sendi dan sering dengan pembentukan tofus.
Dalam praktek klinis, telah banyak disampaikan berbagai
rekomendasi dalam diagnosis dan penanganan gout dalam beberapa
literatur terbaru untuk bisa mencegah kerusakan berlanjut akibat
pembentukan kristal urat pada jaringan.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Rekomendasi dalam Diagnosis Gout
Diagnosis AG yang biasa dipergunakan adalah berdasarkan kriteria
“The American Rheumatism Association, Sub Commitee on Classification
Criteria for Gout” (1997), yaitu : Terdapat kristal urat pada cairan sendi, dan
atau terdapat kristal urat pada topi yang secara kimiawi atau secara
mikroskop cahaya dengan tehnik polarisasi. Apabila tidak bisa menemukan
kristal urat, diagnosis dilakukan dengan mempergunakan kriteria, dengan
memenuhi paling sedikit 6 butir dari 12 kriteria, yaitu 1. Peradangan
memuncak dalam waktu sehari, 2.Serangan artritis akut lebih dari satu kali,
3.Artritis monoartikuler, 4.Kemerahan sekitar sendi, 5.Nyeri atau
pembengkakan sendi metatarso-falangeal I. 6.Serangan pada sendi
metatarso-falangeal I unilateral, 7.Serangan pada sendi tersal unilateral,
8.Dugaan adanya topi, 9.Hiperurikemia, 10.Foto sendi terlihat
pembengkakan asimetris, 11.Foto sendi terlihat kista subkortikal tanpa
erosi, dan 12. Pada kultur cairan sendi tidak didapatkan pertumbuhan
kuman (Becker & levinson, 2005).
Dalam suatu penelitian terakhir, penelitian multinasional
berdasarkan evidence dibuat rekomendasi dalam membuat diagnosis gout.
Menemukan kristal urat pada jaringan adalah rekomendasi utama untuk
membuat diagnosa gout. Apabila tidak mungkin dilaksanakan, maka
dibantu dengan tanda klinis klasik, yaitu adanya podagra, tofus, dan respon
baik dengan obat kolkhisin, atau adanya tanda petanda imaging.
Hiperurisemia sendiri tidak kuat dalam menentukan diagnosis gout. (Sivera
F, et al.2014) Respon baik dengan pengobatan dengan kolkisin dosis
rendah merupakan diagnosis penting untuk artritis karena kristal, bukan
hanya pada artritis karena kristal urat. Petanda imaging canggih, bisa
dipergunakan dengan ultrasonografi dan dual-energy CT (Sivera F, et
al.2014).
Pada diagnosis penyakit gout atau hiperurisemia juga
direkomendasikan untuk menentukan fungsi ginjal dan menentukan resiko
untuk menderita penyakit jantung koroner (Sivera F, et al.2014).
Rekomendasi dalam Penanganan Gout
Secara umum tujuan penanganan gout adalah mencapai kadar AU
darah dalam batas normal, dengan memberikan edukasi, program diet dan
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
penanganan medisinal, sehingga tidak terjadi kerusakan organ permanen
akibat penumpukan kristal dan tidak berlanjut menyebabkan komplikasi
organ. Target penurunan AU darah adalah mencapai kadar AU 6 mg atau
kurang. Pada artrtitis Goutkronis dengan pembentukan tofus, perlu dicapai
penurunan kadar AU darah sampai kadar 5 mg%, agar terjadi pengecilan
tofus secara cepat (Terkeltaub AR, 2011).
Edukasi adalah dengan memberikan pengertian pada penderita
bahwa kadar AU perlu dinormalkan, walaupun tidak menimbulkan
serangan akut. Hindari faktor pencetus seperti diet tinggi purin, trauma
lokal pada sendi, kelelahan, pemakaian obat diuretika, keadaan yang
menyebabkan penurunan atau peningkatan kadar AU darah secara
mendadak.
Program diet dengan memberikananjuran asupandiet rendah purin,
banyak minum air putih lebih 2 liter sehari dan program penurunan berat
badan pada penderita gemuk. Program diet ini dilakukan seumur hidup,
walaupun kadar AU darah telah normal. Makanan merupakan faktor
penting dalam penanganan hiperurisemia sehingga perlu mengkonsumsi
makanan rendah purin, protein dan fruktosa. Namun makanan rendah purin
hanya akan menurunkan AU darah sampai 1 mg%. Menghindari komsumsi
alkohol merupakan penanganan standar pada hiperurikemia (Kelly
WN,1997).
Penanganan medicinal, memberikan obat penurun AU pada
hiperurisemia yang telah menimbulkan kelainan patologis atau gout, akibat
penumpukan kristal urat, seperti AG, pembentukan tofus, nefropati uratakut
atau batu urat. Pada hiperurisemia asimptomatis sebaiknya tidak diberikan
pengobatan, hanya penanganan medis rutin dan bila perlu pemantauan
fungsi ginjal secara ketat,kecuali diketahui hiperurikemia overproduksi
yang diperkirakan karena faktor keturunan atau kemungkinan besar akan
terjadi nefropati urat (Kelly WN,1997). Rekomendasi terakhir, tetap tidak
dianjurkan pemberian obat-batan untuk menurunkan kadar AU pada
Hiperurisemia Asimptomatis (Sivera F, et al.2014). Obat-obatan yang
sering dipakai untuk menurunkan kadar AU darah, yang disebut obat
penurun AU adalah alopurinol, menurunkan produksi dan obat urikosurik,
meningkatkan ekskresi AU melalui urin.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Alopurinol adalah obat penghambat enzim xanthin oxidase. Pada
metabolisme purin, enzim xanthin oxidase yang berfungsi sebagai katalisat
oksidasi dari hiposantin menjadi santin, selanjutkan santin akan menjadi
AU. Alopurinol menghambat produksi AU sehingga menurunkan kadar AU
darah, dan merupakan obat relatif aman untuk kecuali alergi alopurinol,
serta merupakan obat pilihan pertama, karena jarang ada kontraindikasi
dibandingkan obat urikosurik. (Kelly WN,1997), Indikasi alopurinol adalah
1. Hiperurisemia karena overproduksi, yaitu ekskresi AU urine per 24 jam
1000 mg atau lebih, nefropati urat, batu ginjal atau pencegahan sebelum
pemakaian obat sitostatika. 2. Intoleran atau efek yang belum optimal dari
pemakaian obat urikosurik, pada gout dengan insufisiensi ginjal (GFR 60
mg /menit) atau alergi terhadap obat urikosurik. Pada penurunan fungsi
ginjal perlu penyesuaian dosis alopurinol (Kelley & Wortmann, 1997).
Rekomendasi terakhir, menganjurkan pemakaian alopurinol pada
gangguan fungsi ginjal ringan sampai sedang dimulai dengan dosis rendah
(50-100mg) perhari dan dapat dinaikkan dosis untuk mencapai kadar AU
yang diinginkan dengan pemantauan ketat terhadap efek samping. Dapat
diberikan feboxostat atau benzbromarone sebagai obat alternatif tanpa
dosis penyesuaian (Sivera F, et al.2014).
Diperkirakan 5 sampai 10%, alopurinpol menyebabkan keluhan efek
samping pada saluran cerna berupa mual dan muntah, transaminitis, dan
berbagai efek samping pada sentral, serta 2 % penderita terjadi alergi obat
alopurinol berupa efloresensi kulit berupa rash dan makulopapuler, dengan
keluahan awal berupa pruritus (Terkeltaub AR, 2011).Penderita yang alergi
allopurinol dapat diberikan febuxostat, yang juga merupakan penghambat
enzim xanthin oxidase peroral yang tidak dikeluarkan melalui ginjal
sehingga relatif aman untuk gangguan fungsi ginjal (Field, TR, 2008).
Rekomendasi terakhir menyatakan bahwa alopurinol merupakan
obat pilihan pertama untuk menurunkan AU darah. Pilihan lainnya adalah
obat urikosurik (benzbromarone, probenesid) atau feboxostat. Uricase bisa
sebagai pilihan lain dan pemberian monoterapi pada gout berat apabila
gagal atau ada kontraindikasi pemakaian obat lainnya. Pemakaian obat
penurun AU dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan bertahap
sampai target kadar AU darah tercapai, kecuali uricase (Sivera F, et
al.2014).
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Febuxostat merupakan obat golongan selektif inhibitor terhadap
xantin oksidase yang menempati saluran ke molybdenum-pterin yang
merupakan bagian aktif dari enzim. Tidak seperti alopurinol dan oxypurinol,
obat ini tidak memiliki struktur seperti purin. Farmakokinetik obat ini hanya
sedikit mengalami metabolisme dengan oksidasi dan glukoronidasi di hati
dan ekskresi melalui ginjal. Obat ini tidak mempengaruhi metabolisme
pirimidin. Di Amerika, obat ini digunakan 40 mg per hari dan bila kadar AU
tidak normal setalah pemakaian 2 minggu, dosis dapat dinaikkan sampai
80 mg sehari. Di Eropa, obat ini digunakan sampai dosis 80 sampai 120
mg sekali sehari. Efek samping febuxostat meliputi rash kurang dari 2 %,
dan peningkatan enzim dihati, diare, artralgia. Dengan hambatan xantin
oksidase oleh obat ini, maka potensial untuk berinteraksi dengan
azathioprine, 6-mercaptopurin dan teofilin (Terkeltaub AR,2011).
Pada saat ini, ada obat baru untuk menurunkan AU darah, yang
disebut uricase. Uricase adalah enzim yang mengubah AU menjadi
allantoin yang larut dalam air dan dikeluarkan pada urin. Uricase adalah
enzim akhir yang berperan dalam metabolisme purin pada binatang
mamalia non primata atau primata tingkat rendah, sehingga tidak
menghasilkan AU sebagai metabolisme akhir purin. Pada manusia dan
primata tingkat tinggi enzim ini diduga telah menghilang bersama dengan
perjalanan evolusinya. Pada tahun 2009, FDA menganjurkan pemakaian
recombinan fungal enzyme rasburicase, untuk mencegah hiperurikemia
pada Tumor Lysis Syndrome, namun sangat immunogenik, menimbulkan
rekasi alergi berat. Pada tahun 2010 dihasilkan poly etthylene-glycol-
conyugated uricase (pegloticase) yang dapat menurunkan faktor
imunogenik dan dicoba untuk menurunkan kadar AU darah. Pemberian
masih dalam bentuk intravena dan harganya mahal, serta tidak
sepenuhnya menghilangkan efek samping alergi, sehingga perlu persiapan
khusus untuk pemberian pegloticase (Terkeltaub AR, 2011).
Obat urikosurik adalah obat yang meningkatkan ekskresi AU
melalui urin, dengan mengadakan kompetisi dengan urat melalui tubular
brush border transporter, yang menyebabkan hambatan reabsorpsi AU
pada tubulus. Pemakaian obat ini perlu dilakukan pemeriksaan kadar AU
urine 24 jam, guna melihat kontraindikasi obat. Obat urikosurik antara lain
probenesid, sulfinpirason, benzbromarone, azanpropason dan asam
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
salisilat dosis tinggi, lebih dari 5 gr/hari. (Kelly WN,1997; Becker &
Levinson, 2005). Pemakaian obat ini hanya diberikan pada penderita usia
kurang 60 tahun, fungsi ginjal normal (kliren kreatinin lebih dari 80 ml/mn),
kadar AU urin 24 jam kurang dari 700 mg 24 jam dengan diet biasa dan
tidak ada riwayat batu ginjal (Schumacher, 1992; Kelly WN,1997). Hati-hati
pemakaian obat ini karena dapat menyebabkan nefropati asam urat akut
karena terjadi peningkatan kadar AU dalam urin (Schumacher, 1992). Perlu
dilakukan alkalinisasi urine untuk mencegah kristalisasi AU dalam urin,
mencegah pembentukan kristal urat pada tubulus ginjal dan pembentukan
batu pada saluran kencing, serta disarankan untuk minum cairan lebih
dari 2 liter perhari.
Dalam penanganan gout, pemberian obat penurun AU dengan
alopurinol atau obat urikosurik perlu dikombinasi dengan kolkhisin dosis
rendah untuk mencegah kekambuhan serangan artritis. Diberikan dosis
0,6-1,2 sehari sampai 1-2 bulan setelah serangan akut membaik atau
beberapa bulan pada orang yang sering mengalami serangan akut
(Agudelo & Wise, 2001). Ada yang menganjurkan memberikan kolkhisin
sampai 6 bulan setelah kadar AU normal dan setelah topus telah mengecil
(Terkeltaub AR, 2011). Dapat diberikan juga OAINS atau prednison dosis
rendah untuk mencegah kekambuhan artritis akut (Roothschild BM, 2013),
namun pemakain OAINS dosis rendah sebagai obat pencegahan tidak ada
evidencenya dan kortikosteroid dosis rendah sebaiknya dihindari.
Kemungkinan antagonis IL-1 dimasa mendatang mungkin dapat
dipergunakan (Terkeltaub AR, 2011).
Rekomendasi terakhir menyatakan juga, bahwa pada pemakaian
obat penurun AU diperlukan edukasi tentang resiko dan penanganan
serangan akut serta pentingnya pemakaian obat profilaksis dengan
kolkhisin (dosis sampai 1,2 mg), atau apabila ada kontraindikasi atau
terjadi intoleran bisa dipergunakan OAINS atau dengan kortikosteroid dosis
rendah. Lama pemakaian obat profilaksis bersifat individual(Sivera F, et
al.2014).
Disamping medikamentosa perlu diperhatikan beberapa hal lain
yang terkait dengan penanganan hiperurisemia antara lain makanan,
kegemukan, komsumsi alkohol, dan keadaan lain yang menyertai seperti
hipertrigliseridemia, dan hipertensi, yang perlu mendapatkan penanganan.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Demikian juga rekomendasi terakhir menyatakan, pasien perlu menjalani
pola hidup sehat, termasuk menurunkan kelebohan berat badan, olah raga
teratur, hindari merokok, menghindari alkohol berkelebihan dan komsumsi
gula (Sivera F, et al.2014).
Penanganan pada AG tergantung stadium penyakit, pada AG Akut
tujuan utama pengobatan adalah menghilangkan secepat mungkin keluhan
nyeri dan keradangan sendi dengan penanganan medikamentosa, berbeda
dengan penanganan pada stadium interkritik dan stadium kronis. Berbagai
pilihan obat dapat dipergunakan pada AG akut, antara lain dengan obat
anti-inflamasi non steroid (OAINS), kolkhisin dan kortikosteroid injeksi lokal
atau hormon adreno kortikotropin. OAINS merupakan obat pilihan pertama
pada pengobatan AG akut, sedangkan kolkhisin dapat sebagai penambah.
Apabila kolkhisin dan OAINS tidak efektif atau merupakan kontraindikasi
maka digunakan obat kortikosteroid. Kortikosteroid injeksi lokal diberikan
terutama pada sendi besar setelah melakukan aspirasi. Obat penurun AU,
alopurinol atau obat urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut,
karena akan terjadi penurunan kadar AU darah secara cepat yang
menyebabkan keradangan sendi bertambah berat. Pada penderita yang
telah rutin mendapatkan obat penurun AU sebaiknya obat tersebut tetap
diberikan ( Terkeltaub AR, 2005).
Rekomendasi terakhir, pada penanganan AG akut adalah dengan
pemberian kolkhisin dosis rendah (sampai 2 gram sehari), OAINS dan atau
kortikosteroid dalam bentuk intra-artikuler, oral atau intramuskuler,
tergantung penyakit penyerta atau resiko efek sampingnya (Sivera F, et
al.2014).
Obat anti-inflamasi non steroid sebagai obat antiinflamasi
disebabkan karena efek hambatan pada jalur cyclooxygenase (COX) dan
jalur lypooxygenase dalam metabolisme asam arakhidonat. Asam salisilat
atau aspirin merupakan obat yang pertama sebagai OAINS, dikatakan
menghambat siklooksigenase melalui hambatan kedua isoenzim COX-1
dan COX-2. Secara umum OAINS dikatakan dapat memodulasi berbagai
peran lain dalam proses keradangan, (Brooks, 1998). Berbagai jenis
OAINS dapat digunakan pada AG. Perlu hati-hati pemakaiannya pada usia
lanjut, insufisiensi renal atau keadaan dehidrasi (Terkeltaub AR, 2005).
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Kolkhisin merupakan ekstrak pohon colchicum autumnale, yang
berefek sebagai kartartik dan digunakan sebagai pengobatan gout sejak
600 SM. Kolkhisin merupakan obat yang efektif dan relatif spesifik untuk
pengobatan APA dan merupakan obat pilihan yang telah lama digunakan.
Perlu diperhatikan efek samping yang terjadi. Efek utama kolkhisin adalah
menghambat fungsi neutrofil yaitu dengan menghambat khemotaksis,
fagositosis, adhesi dan pengeluaran berbagai mediator. Kolkhisin
menyebabkan peningkatkan cyclic adenosis monophosphate (cAMP) yang
menyebabkan penekanan fungsi adhesi dan kemotaksis neutrofil. Kolkhisin
akan menekan aktivitas mikrotubuli dalam mengoptimalkan aktivitas 15
lipooksigenase, yang penting dalam metabolisme AA. Hambatan aktivitas
mikrotubuli juga menyebabkan gangguan motilitas leukosit, sehingga
menyebabkan hambatan khemotaksis, fagositosis dan perlekatan sel
leukosit. Kolkisin juga menghambat induksi kristal urat terhadap aktivitas
tirosin kinase neutrofil, sehingga terjadi hambatan pada enzim PLA2 dan
produksi LTB4. Kolkhisin juga menghambat pengeluaran mediator IL-1 dan
IL-8, menghambat proses migrasi dan fagositosis neutrofil. Efek lain dari
kolkhisin adalah menghambat reseptor atau respons TNF pada makrofag
dan endotel, serta menghambat pengeluaran histamin dari sel mast
(Terkeltaub AR, 2001). Pemakaian kolkhisin dosis tinggi pada AG akut
telah ditinggalkan karena memberikan efek samping. Pemberian dosis
kecil, 0,6 mg peroral dua atau tiga kali sehari dan sering digabung dengan
OAINS cukup baik mengatasi serangan akut. Karena kolkisin dikeluarkan
melalui urin dan empedu maka pada pasien dengan oliguri, insufisiensi
ginjal (kliren kreatinin kurang dari 10mL/mn), gangguan fungsi hati dan
obtruksi empedu harus dipilih pengobatan lain. Pada penderita gagal
jantung, depresi sumsum tulang, pemakaian obat khemoterapi dan infeksi
berat akan cenderung menimbulkan efek toksis. Pada keadaan ini perlu
penurunan dosis atau diberikan pengobatan dengan obat lain. Pada usia
lanjut perlu penurunan dosis sampai 50% (Terkeltaub AR, 2005).
Manifestasi gejala keracunan kolkhisin pada pemberian oral tersering
berupa keluhan gastrointestinal. Keluhan jarang berupa neuropati, miopati,
alopesia, depresi sumsum tulang, syok dan efek pada produksi dan
gangguan fungsi sperma yang masih kontroversi. Keluhan gastrointestinal
berupa kram perut, mencret, mual dan muntah (Terkeltaub AR, 2005).Pada
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
AG stadium interkritik dan kronis, tujuan pengobatan adalah untuk
menurunkan kadar AU darah sampai kadar normal guna mencegah
kekambuhan. Penurunan kadar AU darah dilakukan dengan pemberian diet
rendah purin dan pemakaian obat allopurinol atau dengan obat urikosurik.
Dalam rekomendasi terakhir dinyatakan target penurunan kadar AU
darah hingga mencapai dibawah 6 mg% dan memonitor adanya serangan
akut, serta pengecilan tofus. Pada AG kronis dengan pembentukan tofus
target penurunan kadar AU darah hingga dibawah 5 mg%, dan operasi
dilaksanakan untuk menghilangkan tofus dengan indikasi khusus, misalnya
pada tofus yang menyebabkan penekanan saraf tepi, penekanan mekanis
dan terjadi infeksi(Sivera F, et al.2014).
Dalam penanganaan gout secara standar sering tidak tercapai
tujuan utama, menurunkan kadar AU mencapai kadar normal, sehingga
proses pembentukan kristal urat dan kerusakan organ terus berlanjut.
Keadaan ini disebut gout refrakter.
Penanganan Gout Refrakter
Berbagai penyebab diduga sebagai penyebab goutrefrakter, antara
lain intoleran atau alergi obat allopurinol, adanya kelainan ginjal sehingga
tidak memungkinkan pemakaian obat urikosurik, pemakaian obat lain yang
menyebabkan peningkatan kadar AU, ketidak patuhan akan diet rendah
purin, dan kepatuhan penderita untuk memeriksakan kadar AU secara
teratur. Pada AG interkritik, kadar AU darah masih tetap diatas normal,
namun penderita tidak mengalami keluhan. Kedaan ini sering tidak disadari
oleh penderita, yang dikemudian hari akan berlanjut menjadi kronis dan
akan merusak organ sistemik, terutama pada ginjal dan berakhir dengan
gagal ginjal kronis.
Tujuan penanganan goutrefrakter adalah membuat kadar AU darah
tetap dalam kadar normal sehingga bisa mengecilkan atau menghilangkan
tofus yang telah terjadi, serta mencegah kerusakan berlanjut pada organ
lainnya akibat penumpukan kristal urat.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
Secara umum, penanganangoutrefrakter terpenting adalah
memberikan edukasi secara lengkap, manfaat penurunan kadar AU sampai
batas normal apapun penyebabnya. Faktor penyebab dari goutrefrakter
perlu ditelusuri secara jelas agar bisa memberikan penanganan secara
lengkap. Penggunaan obat lainnya yang menyebabkan peningkatan AU
darah perlu dihindari, misalnya pemakaian obat diuretika golongan tiasid
pada gout dengan hipertensi. Kepatuhan penderita untuk melaksanakan
pantang makanan tinggi purin dan kepatuhan untuk memeriksakan kadar
AU darah secara teratur walaupun tidak mengalami serangan artritis perlu
dimengerti oleh pasien agar kadar AU benar-benar terkontrol dalam batas
normal.
Pada kedaan intoleran terhadap alopurinol dapat diganti dengan
obat febuxostat. Pada keadaan alergi alopurinol ringan berupa rash dapat
dicoba dengan desensitisasi alopurinol, tetapi pada alergi berat atau
disebut mayor hypersentivity syndrome, seperti Steven Johnson Syndrome
tidak dianjurkan desensitisasi. Oxypurinol, yang merupakan metabolit
alopurinol sering masih dapat dipergunakan pada keadaan
hipersensitifalopurinol, namun reaksi silang masih mungkin terjadi
(Terkeltaub AR, 2011). Pada kedaan ini feboxostat atau uricase dapat
dipergunakan
Pada kelainan ginjal, pemakaian alopurinol perlu penyesuaian dosis
dan pemakaian obat urikosurik merupakan kontraindikasi, sehingga target
penurunan kadar AU darah untuk mencapai kadar normal menjadi tidak
mudah. Pada kedaan ini dapat diberikan obat febuxostat.
Pemakaian obat lain yang menyebabkan peningkatan kadar AU.
Pada penderita hipertensi, pemakaian tiasid dapat diganti dengan golongan
antihipertensi losartan yang mempunyai efek urikosurik, meningkatkan
ekskresi AU melalui ginjal (Roothschild BM, 2013).
Daftar Pustaka
1. Becker MA & Levinson DJ, 2005. Clinical Gout and pathogenesis of
hyperuricaemia. In Arthritis and Allied Conditions, A textbook of
Rheumatology. 14th Ed, Vol two.Editor WJ Koopman, Baltimore:
Williams & Wilkins a Wavelry comp, 2281-2328.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015
2. Cohen MG, Emmerson BT, 1994. Crystal arthropathies. In
Rheumatology.Editor JH Klippel, PA Dippe, St Louis Baltimore: Mosby.
3. Field, TR, 2008, Gout. Manual Rheumatology ang Outpatient
Orthopedic Disorders.Fifth Ed. Ed : Paget SA, Beary JF, Gibofsky A
and Sculco TP, Lippincott Williams & Wilkins. 328-336.
4. Kelley WN, Wortmann RL, 1997. Gout and Hyperuricemia. In Textbook
of Rheumatology, Fifth Edition, Editor WN Kelley, S Ruddy, ED Harris,
CB Sledge, Philadelphia: WB Saunder Comp, 1314-1350.
5. Roothschild BM, 2013. Treatment of Chronic Gout.Medscape Refrences.
6. Schumacher Jr HR, 1992. Hiperuricaemia and Gout. In Rheumatology
APLAR 1992, Proceding of the 7th APLAR Congress of Rheumatology,
13th-18th September 1992, Bali, Indonesia, Edit.: A.R.Nasution,
J.Darmawan and Harry Isbagiao, New York, Edinburgh, London,
Merbourne and Tokyo: Churchill Livingstone, 293-243.
7. Sivera F, et al.2014. Multinational evidence-based recommendation for
the diagnosis and management of Gout : integreting systemic literature
review ang expert opinion of a broad panel of rheumatologist in the 3e
initiative. Ann Rheum Dis.73:328-335.
8. Terkeltaub AR.,2005. Pathogernesis and treatment of cristal-induced
inflamation. In Artritis and Allied Conditions, A textbook of
Rheumatology. 15th Ed, Vol.2. Editor WJ Koopman, L.W. Moreland,
Lippincot Williams & Wilkins a Wavelry comp,2357-2372.
9. Terkeltaub AR, 2011. The management of Gout and hyperuricemia. In
Rheumatology. Fith Ed. Editor Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS,
Weinblatt ME, Weisman MH. Mosby Elsevier. Philadelphia, 1867-1874.
10. WHO, 1992. Rheumatic diseases, Report of a WHO Scientific
Group,Geneva, 55-58.
PKB XXIII Leading Internal Medicine to Best Care of Patient: Based on Novel Research
Denpasar, 05-07 November 2015