preskes tb-dm fix
TRANSCRIPT
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
1/47
PENATALAKSANAAN TUBERCULOSIS PADA
PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE II
Oleh:
Aditya Iqbal Maulana G0007028
Cupuwatie Cahyani G0007053
I Putu Kharisma
Raisa Amini G0007135
Melisa Esti G000
Pembimbing
dr. Jatu Aphridasari , Sp. P
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT PARU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R A K A R T A
2011
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
2/47
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium tuberculosis complex, yang terkait erat dengan mortalitas
di seluruh dunia. TB merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia, sehingga pada tahun 1992 World Health Organization (WHO)
mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Diperkirakan sekitar sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. 1
Pada tahun 2004, WHO menyatakan adanya 8.8 juta kasus barutuberculosis pada tahun 2002 dengan 3.9 juta kasus diantaranya adalah kasus BTA
(Basil Tahan Asam) positif. Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 2-3
juta setiap tahun, dengan jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia
Tenggara sebanyak 625.000 orang. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98%
kematian akibat TB di dunia terjadi pada negara-negara berkembang.1
Sekitar 75% pasien TB tergolong ke dalam kelompok usia produktif (15-
50 tahun), sehingga TB juga memberikan dampak buruk dalam bidang ekonomi.
Selain itu, TB juga memberikan dampak buruk secara sosial akibat stigma yang
ditimbulkan olehnya.1
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
di Indonesia. Data WHO tahun 2006 menyatakan bahwa Indonesia sebagai
penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah
kasus baru sekitar 539.000 kasus dan jumlah kematian sekitar 101.000 orang
pertahun. Selain itu, setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita
TBC dengan BTA (+) (Barnawi, 2004). Di Indonesia TB adalah pembunuh nomor
satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut. Diperkirakan pada tahun
1995 terdapat 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh
dunia. Kira-kira 95% dari kasus TB dan 98% kematian akibat TB di seluruh dunia
terjadi pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia.1,2
Diabetes diasosiasikan dengan risiko tinggi tuberkulosis rekurens. Di India
sekitar 4,3% (20.707.639) penduduk menderita diabetes dan 939.064 mempunyai
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
3/47
tuberkulosis paru, sekitar 575.900 BTA positif. Pada meta analisis oleh Jeon dan
Murray, ditemukan bahwa pasien diabetes memilki resiko mengidap tuberkulosis
3 kali lipat dibanding pasien non-diabetes. Hal tersebut diakibatkan oleh
terjadinya perubahan status imunitas pada pasien diabetes, yaitu ditemukan
depresi dari jumlah limfosit T (imunitas seluler) dan produksi sitokin. Makrofag
alveolar tidak teraktivasi oleh M.tuberculosis sehingga tidak terjadi sekresi nitric
oxide yang dapat membunuh M. tuberculosis.2
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
4/47
BAB II
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS
Nama : Tn. P
Umur : 66 th
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Supir
Alamat : Bakalan 4/3, Nguter, Sukoharjo
No. RM : 01.08.48.58
Agama : Islam
Masuk RS : 12 September 2011
Pemeriksaan : 12 September 2011
B. DATA DASAR
ANAMNESIS (Auto dan Alloanamnesis, tanggal19 Juli 2011)
1. Keluhan Utama
Batuk
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien adalah kiriman dari Rumah Sakit Afiyah Insani Sukoharjo,
datang dengan keluhan batuk sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu. Batuk
terjadi kumat-kumatan, batuk disertai dahak berwarna kehijauan, batuk
darah (-). Pasien juga mengeluh demam sumer-sumer, keringat malam
hari, penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan dalam satu bulanterakhir terakhir. Sesak nafas (-), nyeri dada (-), banyak minum (+),
banyak buang air kecil (+). Pasien mengaku belum pernah memeriksakan
diri ke puskesmas dan hanya membeli obat batuk sendiri namun batuk
belum berhenti. Tiga hari sebelum masuk rumah sakit, pasien
memeriksakan diri ke puskesmas Nguter karena batuk semakin parah,
kemudian pasien diminta melakukan pemeriksaan dahak sewaktu-pagi-
sewaktu didapatkan hasil BTA +3. Pasien kemudian dimondokkan di
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
5/47
rumah sakit Afiyah Insani Sukoharjo dan karena keadaan umum pasien
makin lemah, pasien akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Dr. Moewardi.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Asma : (-) disangkal
Riwayat Alergi : (-) disangkal
Riwayat DM : (+) diketahui sejak 5 tahun yang lalu, tetapi
tidak terkontrol
Riwayat Hipertensi : (-) disangkal
Riwayat penyakit jantung : (-) disangkal
Riwayat terapi OAT : (-) disangkal
Riwayat kontak TB : (-) disangkal
Riwayat mondok : (-) disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat terapi OAT : disangkal
Riwayat lingkungan sakit serupa : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok : disangkal
6. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Pasien adalah seorang laki-laki berusia 66 tahun dengan pekerjaan
sebagai supir. Pasien kini tinggal dengan istrinya. Rumahnya berdinding
semen dan berlantai terbuat dari semen Pasien dirawat di RSDM dengan
fasilitas SKTM.
7. Riwayat Gizi
a. Berat badan : 39 kg
b. Tinggi badan : 164 cm
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
6/47
c. Indeks masa tubuh: 14,5
d. Kebiasaan makan: Pasien biasa makan dua hingga tiga kali sehari
dengan lauk tahu dan tempe. Pasien merasa nafsu makan menurun dan
disertai penurunan berat badan dalam 1 bulan terakhir.
C. ANAMNESA SISTEMIK
Keluhan utama : Sesak nafas
Kulit : Sawo matang, kering (-), pucat (-), menebal
(-), gatal (-), luka (-), kuning (-).
Kepala : Sakit kepala (-), pusing (-), rambut mudah
dicabut (-), rambut mudah rontok (-)
Mata : Pandangan kabur (-/-),pandangan dobel
(-/-), pandangan berputar-putar (-/-),
berkunang-kunang (-/-).
Hidung : Pilek (-), mimisan (-), hidung tersumbat (-),
gatal (-).
Telinga : Berdenging (-), keluar cairan (-), darah (-).
Mulut : Terasa kering (-), bibir biru (-), pucat (-),
sariawan (-), gusi berdarah (-), gigi
berlubang (-), bibir pecah-pecah (-), luka
pada sudut bibir (-).
Tenggorokan : Sakit menelan (-), gatal (-).
Sistem Respirasi : Sesak nafas (-), batuk (+), dahak (+) warna
kehijauan, mengi (-).
Sistem Cardiovaskuler : Nyeri dada (-), terasa tertekan (-), rasa
berdebar (-), sesak nafas karena aktivitas (-)
Sistem Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun
(+), penurunan BB (+), BAB (+) normal,
perut sebah (-), nyeri ulu hati (-), mbeseseg
(-), kembung (-), tinja warna kuning.
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
7/47
Sistem Genitourinaria : Nyeri saat BAK (-), panas (-), darah (-),
nanah (-), anyang-anyangan(-), sering
menahan kencing (-), BAK warna seperti
teh(-).
Sistem Muskuloskeletal : Lemas (+), nyeri otot (-), nyeri sendi (-),
bengkak sendi (-).
Ekstremitas : Atas Kanan/ Kiri: Luka (-), nyeri (-),
tremor (-), kesemutan (-), bengkak (-), ujung
jari dingin (-).
Bawah Kanan/Kiri: Luka (-), nyeri (-),
tremor (-), kesemutan (-), bengkak (-), ujung
jari dingin (-).
Neuropsikiatri : Kejang (-), emosi tidak stabil (-),
kesemutan (-), lumpuh (-), gelisah (-),
menggigau(-).
D. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 12 September 2011
Keadaan umun :
Keadaan umum : lemah
Derajat kesadaran : compos mentis
Status gizi :
Berat badan : 39 kg
Tinggi badan : 164 cm
Indeks masa tubuh: 14,5
Vital Sign : Tensi : 110/70
Nadi : 80x/menit, reguler, kuat, isi dan tegangan
cukup
RR : 24x/menit, reguler, tipe thorakoabdominal
Suhu : 36,0oC
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
8/47
Kulit : kulit sawo matang, kelembaban cukup, ujud kelainan kulit
(-),sianosis (-), eritem (-), ikterik (-)
Kepala : bentuk mesocephal, rambut hitam tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya
(+/+),pupil (isokor 3mm/3mm),
Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)
Telinga : sekret (-/-)
Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-)
Tenggorok : uvula ditengah, tonsil membesar (-), faring hiperemis (-),
Leher : limfonodi tidak membesar, JVP tidak meningkat.
Thorax : Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostal (-), spider
nevi (-), pernafasan thorakoabdominal, sela iga melebar (-)
, pembesaran KGB axilla (-/-).
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat di SIC IV
linea midclavicularis sinistra
Perkusi :
- Kanan atas: SIC II linea parasternalis dextra
- Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
- Kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
- Kiri bawah : SIC V linea midclavicularis sinistra
Kesan batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I II intensitas normal,
reguler, bising (-).
Pulmo depan : Inspeksi : statis : simetris;
dinamis : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus taktil kiri < kanan
Perkusi : sonor / sonor cenderung redup
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi basah
kasar
(+/+)
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
9/47
Pulmo belakang : Inspeksi : statis : simetris;
dinamis : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus taktil kiri < kanan
Perkusi : sonor / sonor cenderung redup
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi basah
kasar (+/+)
Abdomen :Inspeksi : dinding perut // dinding dada, venektasi (-)
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar & lien tidak
teraba
Extremitas : Akral dingin
Oedema
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah
12/09/11 14/09/11 15/09/11 16/09/11 Satuan nilai rujukan
Hb 11,6 () Gr/dl 13,5-18,00
Hct 33 () % 40-54
AE (uL) 4,1 () 106
/uL 4,5-5,9
AL 4,5 103/uL 4,5.103-11.103
AT 282 103/Ul 150-440
Gol darah O
GDS 125 () Pukul 05.00
120 ()
Pukul 22.00
160 ()
Pukul 05.00
117 ()
Pukul 22.00
174 ()
mg/dL 80-110
GDP 120 () 122() mg/dL 70-110
- -
- -
- -
- -
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
10/47
GDP 2 jam PP 130 () mg/dL 80-140
Ureum 30 mg/dl 10-50
Kreatinin 0,6 mg/dl 0,6-1,3
Albumin 4,0 g/dl 3,5-5,2
Na+ 136 134 136 mmol/L 132-146
K+ 2,7 () 2,8 () 3,2 () mmol/L 3,5-5,1
Cl 96 99 103 mmol/L 98-106
HbsAg Negatif
SGOT 29 UI/L 10-40
SGPT 19 UI/L 10-37
Bilirubin total 0,9 mg/dl 0,0-1
Pemeriksaan Radiologis
Foto thoraks PA (7 September 2011)
Cor : Kesan tidak membesar
Pulmo : Corakan bronkovaskuler meningkat
Tampak bercak-bercak infiltrat dengan bayangan multicavitas di
kedua Pulmo
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
11/47
Sudut costophrenicus kanan baik, kiri tertutup perselubungan
Kesan : Gambaran proses spesifik dupleks
Gambaran efusi pleura kiri
Foto thoraks lateral sinistra dan right lateral decubitus (12 September 2011)
Kesan:
TB paru lesi luas
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
12/47
F. RESUME
Pasien datang dengan keluhan batuk sejak kurang lebih 2 tahun yang
lalu. Batuk terjadi kumat-kumatan, batuk disertai dahak berwarna kehijauan.
Pasien juga mengeluh demam sumer-sumer, keringat malam hari, penurunan
nafsu makan dan penurunan berat badan dalam satu bulan terakhir terakhir.
Sesak nafas (-), nyeri dada (-), banyak minum (+), banyak buang air kecil (+).
3 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien memeriksakan diri ke puskesmas
nguter karena batuk semakin parah, kemudian pasien diminta melakukan
pemeriksaan dahak sewaktu-pagi-sewaktu didapatkan hasil BTA +3. Pasien
punya riwayat diabetes mellitus 5 tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, composmentis,
tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80x/ menit, respirasi rate 24x/menit dan
suhu 36,0 C. Pada pemeriksaan fisik paru anterior dan posterior ditemukan
adanya kelainan berupa fremitus taktil yang menurun di lapang paru kiri dan
suara tambahan berupa ronkhi basah kasar di kedua lapang paru. Pada
pemeriksaan laboratorium tanggal 12 September 2011 didapatkan penurunan
Hemoglobin, Hct, Eritrosit, Kalium, dan kenaikan kadar GDS, GDP, GDP 2
jam PP.
ABNORMALITAS
Anamnesis:
1. Batuk lama lebih dari 2 tahun
2. Dahak berwarna kehijauan
3. Demam sumer-sumer
4. Keringat malam hari
5. Nafsu makan menurun, serta penurunan BB
6. Riwayat DM sejak 5 tahun yang lalu
Pemeriksaan fisik:
1. Tampak lemas
2. RR= 24 x/menit
3. Fremitus taktil yang menurun di lapang paru kiri
4. RBK (+/+)
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
13/47
Pemeriksaan penunjang:
5. Pemeriksaan BTA +3
6. Penurunan angka Hb, Hct, Eritrosit, Kalium, dan peningkatan kadar
GDS, GDP, GDP 2 jam PP.
7. Foto thoraks PA (7 September 2011) kesan gambaran proses spesifik
dupleks dan gambaran efusi pleura kiri.
8. Foto thoraks (8 September 2011) kesan TB paru lesi luas.
G. ANALISIS DAN SINTESIS
Abnormalitas 1,2,3,4,5,6,7,8 Klinis TB paru kasus baru dengan
Diabetes Mellitus Tipe II tidak
terkontrol.
K. DIAGNOSIS
TB paru BTA (+) lesi luas kasus baru dengan Schwarte kiri dan Multiple
Cavitas dengan Diabetes Mellitus Tipe II.
L. TERAPI
1. 1. O2 3 liter/menit (k/p)
2. Infus NaCl : RL = 1 : 1 20 20 tpm
3. Infus KCl 1 flash dalam RL 20 tpm
4. R/H/Z/E = 300/300/750/750
5. Ambroxol 3 x 30 mg
6. Vitamin B Complex 3 x 1
7. OBH syrup 3 x Cth 1
M. PLANNING
1. DR2
2. Kultur BTA
3. Konsul interna dan gizi
4. Edukasi
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
14/47
N. PROGNOSIS
Ad vitam :dubia ad bonam
Ad sanam :dubia ad bonam
Ad fungsionam :dubia ad malam
FOLLOW UP
13 September 2011
S : sesak - batuk (+)
O : lemah, compos mentis
VS : T= 110/70mmHg N=82x/mnt Rr=20x/mnt t=36,5oC
Mata : conjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP meningkat, KGB membesar
Thorax : retraksi (-)
Cor : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo : I: pengembangan dada kanan = kiri
P: fremitus raba kiri < kanan
P: sonor/sonor cenderung redup
A: SDV (+/+),RBK (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), hepar/lien teraba
W/D : TB paru BTA (+) lesi luas kasus baru dengan Schwarte kiri dan
Multiple Cavitas dengan Diabetes Melitus type II
Hipokalemi
Terapi :
1. O2 3 liter/menit (k/p)
2. Infus NaCl : RL = 1 : 1 20 20 tpm
3. R/H/Z/E = 300/300/750/750
4. Ambroxol 3 x 30 mg
5. Vitamin B Complex 3 x 1
6. OBH syrup 3 x Cth 1
Plan :
KCl 1 flash dalam RL 1 flab 20 tpm
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
15/47
14 September 2011
S : batuk (+)
O : lemah, compos mentis
VS : T= 110/70mmHg N=80x/mnt Rr=20x/mnt t=36,5oC
Mata : conjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP meningkat, KGB membesar
Thorax : retraksi (-)
Cor : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo : I: pengembangan dada kanan = kiri
P: fremitus raba kiri < kanan
P: sonor/sonor cenderung redup
A: SDV (+/+), ST (+/+)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), hepar/lien teraba
W/D : TB paru BTA (+) lesi luas kasus baru dengan Schwarte kiri dan
Multiple Cavitas dengan Diabetes Melitus type II
Terapi :
1. O2 3 liter/menit (k/p)
2. Infus NaCl : RL = 1 : 1 20 20 tpm
3. R/H/Z/E = 300/300/750/750
4. Ambroxol 3 x 30 mg
5. Vitamin B Complex 3 x 1
6. OBH syrup 3 x Cth 1
Elektrolit post koreksi KCL 14 September 2011 pukul 19.00:
Na : 134 Mmol/L
K : 2,8 Mmol/L ()
Cl : 99 Mmol/L
15 September 2011
S : batuk (+)
O : lemah, compos mentis
VS : T= 110/70mmHg N=100x/mnt Rr=28x/mnt t=36,7o
C
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
16/47
Mata : conjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP meningkat, KGB membesar
Thorax : retraksi (-)
Cor : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo : I: pengembangan dada kanan = kiri
P: fremitus raba kanan= kiri
P: sonor/sonor cenderung redup
A: SDV (+/+), ST (-/-)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), hepar/lien teraba
W/D : TB paru BTA (+) lesi luas kasus baru dengan Schwarte kiri dan
Multiple Cavitas dengan Diabetes Melitus type II
Terapi :
1. O2 3 liter/menit (k/p)
2. Infus NaCl : RL = 1 : 1 20 20 tpm
3. R/H/Z/E = 300/300/750/750
4. Ambroxol 3 x 30 mg
5. Vitamin B Complex 3 x 1
6. OBH syrup 3 x Cth 1
GDS 15 September 2011
- Pukul 05.00 : 120 mg/dl
- Pukul 22.00 : 160 mg/dl
GDS 16 September 2011
- Pukul 05.00 : 117 mg/dl
16 September 2011
S : batuk (+)
O : Baik, compos mentis
VS : T= 120/70mmHg N=80x/mnt Rr=18x/mnt t=36,5oC
Mata : conjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP meningkat, KGB membesar
Thorax : retraksi (-)
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
17/47
Cor : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo : I: pengembangan dada kanan = kiri
P: fremitus raba kanan= kiri
P: sonor/sonor
A: SDV (+/+), ST (-/-)
Abdomen: supel, nyeri tekan (-), hepar/lien teraba
W/D : TB paru BTA (+) lesi luas kasus baru dengan Schwarte kiri dan
Multiple Cavitas dengan Diabetes Melitus type II
Terapi :
1. O2 3 liter/menit (k/p)
2. Infus NaCl : RL = 1 : 1 20 20 tpm
3. R/H/Z/E = 300/300/750/750
4. Ambroxol 3 x 30 mg
5. Vitamin B Complex 3 x 1
6. OBH syrup 3 x Cth 1
GDS 16 September 2011
- Pukul 22.00 : 174 mg/dl
GDS 17 September 2011
- Pukul 05.00 : 153 mg/dl
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
18/47
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I TUBERCULOSIS
A. DEFINISI2,3
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex. Yang termasuk dalam kompleks ini
adalah M. tuberculosis, Varian Asia, Varian Afrika, Varian Afrika II, dan M.
bovis.
B. MORFOLOGI DAN STRUKTUR BAKTERI2
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar
0,3-0,6 m dan panjang 1-4 m. Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis
ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang
disebut cord factor, dan myobacterial sulfolipids yang berperan dalam
virulensi. Faktor cord ini menghambat migrasi leukosit, menyebabkan
granuloma kronis, dan dapat berfungsi sebagai adjuvant imunologik. Asam
mikolat merupakan asam lemak berantai panjang yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh
jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri
tersebut polisakarida. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut
menyebabkan bakteri M. tuberculosisbersifat tahan asam. Sifat tahan asam ini
tergantung pada integritas selubung yang terbuat dari lilin.
C. PATOGENESIS3,4
Penularan TB terutama terjadi melalui udara, apabila penderita batuk,
bersin, atau meludah. Droplet yang dikeluarkan bersifat infeksius, dan
dikeluakan dalam jumlah besar dengan potensi penularan di setiap dropletnya.
Penularan hanya dapat berlangsung dari orang yang menderita TB aktif, bukan
laten. Kemungkinan transmisi tergantung dari jumlah droplet infeksius, lama
paparan, serta virulensi strain. Produksi dan perkembangan lesi serta
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
19/47
penyembuhan atau progresifitasnya terutama ditentukan oleh (1) jumlah
mikobakterium dalam inokulum dan multiplikasi berikutnya, dan (2) resistansi
dan hipersensitivitas pejamu.
Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru, masuk dan bereplikasi di dalam makrofag. Tuberkulosis digolongkan
sebagai salah satu kondisi inflamasi granulomatosa. Sel-sel seperti makrofag,
limfosit T, limfosit B dan fibroblast akan beragregasi membentuk suatu
granuloma, dengan limfosit yang berkumpul mengelilingi makrofag.
Granuloma tersebut berfungsi untuk mencegah penyebaran kuman, dan
menyediakan lingkungan untuk komunikasi sel imun. Di dalam granuloma,
limfosit T akan mensekresikan sitokin-sitokin seperti IFN gamma, yang akan
mengaktivasi makrofag untuk menghancurkan bakteria. Walaupun begitu,
bakteri tidak selalui dapat dieliminasi sepenuhnya oleh granuloma, tetapi bisa
berubah menjadi keadaan dorman, menyebakan adanya infeksi laten. Selain
itu, pusat granuloma juga dapat terjadi nekrosis, membentuk suatu nekrosis
perkijuan (kaseosa).
Kuman TB akan membentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang
atau afek primer. Sarang ini dapat timbul pada seluruh bagian paru. Dari
sarang primer, akan terjadi peradangan saluran limfe menuju hilus (limfangitis
lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di
hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Selanjutnya kompleks primer dapat
berkembang menjadi, antara lain:
1. Sembuh tanpa cacat
2. Sembuh dengan sedikit bekas (sarang Ghon, garis fibrotik, sarang
perkapuran di hilus)
3. Menyebar:
a. Perkontinuitatum
b. Bronkogen
c. Hematogen dan limfogen
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
20/47
Tuberkulosis post primer dapat tibul bertahun-tahun sesudah tuberkulosis
primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Bentuk TB ini menjadi suatu masalah
kesehatan karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post primer
dimulai dengan sarang dini yang umumnya terletak di segmen apical lobus
superior atau lobus inferior. Sarang ini awalnya berbentuk suatu sarang
pneumoni kecil, dengan perjalanan:
1. Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa cacat
2. Meluas, namun segera mengalami penyembuhan dengan penyebukan
jaringan fibrosis. Selanjutnya akan mengalami pengapuran dan sembuh
dalam bentuk perkapuran. Sarang dapat menjadi aktif kembali dengan
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila jaringan
dibatukkan keluar.
3. Meluas dan membentuk jaringan keju (kaseosa). Apabila jaringan
dibatukkan keluar akan muncul kavitas. Kavitas awalnya berdinding tipis,
kemudian akan menjadi tebal (kavitas sklerotik). Kavitas tersebut akan
menjadi:a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru
b. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi) dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengalami perkapuran dan
menyembuh, tetapi mungkin aktif kembali, mencair dan menjadi
kavitas lagi.
c. Bersih dan menyembuh, disebut sebagai open healed cavity, atau
kavitas menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kavitas yang terbungkus dan menciut
sehingga kelihata seperti bintang (stellate shaped)
D. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS3,5,6
1. Berdasarkan organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis paru
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
21/47
Adalah tuberkulosis yang menyerang parenkim paru, tidak
termasuk pleura dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstraparu
Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, perikardium, kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, traktus urinarius, genitalia, dan lain-
lain.
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, untuk TB paru:
a. Tuberkulosis paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-
Pagi-Sewaktu (SPS) menunjukkan hasil BTA positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak SPS menunjukkan
BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksana satu spesimen dahak SPS menunjukkan
BTA positif dan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
Foto thoraks abnormal menunjukkan gambaran tuberculosis
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non
OAT
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh doker untuk diberi
pengobatan
3. Berdasarkan tingkat keparahan penyakit:
a. TB paru BTA negatif foto thoraks positif
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
22/47
Ringan
Berat: gambaran foto thoraks memperlihatkan gambaran
kerusakan paru yang luas, dan atau keadaan umum pasien buruk
b. TB ekstra paru
Ringan: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal
Berat: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran
kemih dan genitalia.
4. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya (tipe pasien):
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif atau biakan positif.
c. Kasus putus obat atau drop out
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan 1 bulan dan tidak
mengambil obat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.d. Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau akhir pengobatan.
e. Kasus kronik
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
23/47
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan
pengawasan yang baik.
f. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologi
paru menunjukkan lesi TB yang tidak akif, atau foto serial
menunjukkan gambaran yang menetap.
Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan
telah mendapatkan pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks
ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.
E. DIAGNOSIS TUBERKULOSIS3,6
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan penunjang
lainnya.
1. Gejala klinis
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
a. Gejala respiratori
Batuk 2 minggu: batuk baru timbul apabila proses
penyakit telah melibatkan bronkus. Batuk mula-mula terjadi oleh
karena iritasi bronkus, selanjutnya akibat adanya peradangan pada
bronkus, batuk akan menjadi produktif. Batuk produktif ini
berguna untuk membuang produk-produk ekskresi peradangan.
Batuk darah: batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh
darah. berat dan ringannya batuk darah yang timbul, tergantung
dari besar kecilnya PD yang pecah.
Sesak napas: ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
24/47
kerusakan paru yang cukup luas.
Nyeri dada: timbul apabila sistem persarafan yang terdapat
di pleura terkena.
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada
gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.
Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus
belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada
gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
b. Gejala sistemik
Demam: demam merupakan gejala pertama dari TB paru,
biasanya timbul pada sore dan malam hari disertai keringat mirip
demam influenza yang segera mereda. Demam ini hilang timbul
dan makin lama makin panjang masa serangannya. Demam dapat
mencapai suhu 40 derajat C.
Gejala sistemik lain adalah malaise: dapat terjadi rasa tidak
enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, berat badan
menurun, sakit kepala, dan mudah lelah.
c. Gejala TB ekstraparu
Gejala TB ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari KGB, pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan kadang
nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
25/47
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit
umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru
pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks
dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6).
Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah halus, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.
Ronki basah halus ditemukan waktu inspirasi dalam yang diikuti
dengan ekspirasi dalam, terdengar di daerah lesi. Tanda tersebut didapat
terutama di daerah puncak paru. Pada stadium lebih lanjut yang mana
proses penyakit makin meluas, kelainan yang ditemukan juga akan makin
jelas.
Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi
yang terdapat cairan. Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran KGB,
tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran
kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess.
3. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan, dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
ini mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Spesimen dahak berupa 3 spesimen dahak dalam 2 hari kunjungan yang
berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu menggunakan pewarnaan Ziehl-
Nielsen. Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan
adalah:
a. 3 atau 2 kali positif, 1 kali negatif: BTA positif
b. 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali:
o Bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
26/47
o Bila 3 kali negatif BTA negatif
4. Pemeriksaan Biakan Kuman
Dengan metode konvensional, antara lain:
a. Egg base media: Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh
b. Agar base media: Middlebrook
5. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT scan. Pada sebagian besar TB
paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara
mikroskopik dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi
tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai engan indikasi
sebagai berikut:
a. Hanya 1 dari 3 spesimen BTA hasilnya positif
b. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif sete;ah diulang, dan tidak
ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
c. Dugaan komplikasi sesak napas berat yang memerlukan penanganan
khusus (pneumotoraks, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau
efusi pleura), dan pasien yang mengalami hemoptisis berat
6. Pemeriksaan Khusus
Dalam perkembangan kini, tersedia beberapa teknik yang lebih baru
dan dapat mengidentifikasi kuman TB secara lebih cepat:a. Pemeriksaan BACTEC
b. PCR
c. Serologi: belum dipakai untuk pegangan diagnosis
o ELISA
o ICT
o Mycodot
o Uji peroksidase anti peroksidase
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
27/47
o IgG TB
7. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
a. Analisis cairan pleura
Dilakukan analisis cairan pleura dan uji Rivalta. Hasil yang
mendukung adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta
pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah
b. Pemeriksaan histopatologi jaringan
c. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah rutin sebenarnya kurang spesifik sebagai
indikator tuberkulosis. Laju endap darah (LED) dapat digunakan
sebagai indikator penyembuhan.
d. Uji Tuberkulin
Hasil yang positif menunjukkan adanya infeksi, namun karenaprevalensi tuberkulosis yang tinggi di Indonesia, kegunaannya sebagai
alat bantu diagnostik pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai
maknak bila didapatkan konversi, bula, atau apabila positif bermakna.
Uji ini dapat memberikan hasilfalse negative pada keadaan tertentu.
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
28/47
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
29/47
F. PENATALAKSANAAN3,5,6,7,8
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai
berikut:
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
a. Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi
obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2 minggu.
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
30/47
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kumanpersistersehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
3. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
4. Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak
sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari
Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk
blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1)
masa pengobatan. KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan
TB:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
31/47
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Panduan OAT dan peruntukannya.
1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru
2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a.Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
32/47
Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
3. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
33/47
Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida
(misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan
kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut
jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga
meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.
G. PROGNOSIS7,8
Apabila penderita TB memakan obat dengan tepat waktu sesuai anjuran
dokter, makan-makanan yang bergizi dan menghirup udara yang bersih,
prognosisnya dapat sembuh. Walaupun sudah sembuh masih tetap ada kuman
dorman dalam tubuh maka harus menjaga tubuh agar imunitas tidak menurun.
Apabila sudah pernah terkena penyakit TB dapat berulang bila imunitas turun.
Kematian dapat terjadi apabila terjadi penyebaran M. Tuberculosa ke organ
lain.
II TUBERKULOSIS PADA DIABETES
Hubungan diabetes mellitus (DM) dan tuberkulosis telah diketahui sejak
lama. Semakin banyak bukti penelitian yang menunjukkan bahwa DM merupakan
faktor risiko penting berkembangnya tuberkulosis dan mungkin berpengaruh
terhadap klinis penyakit serta respons terapi. Diabetes terkontrol buruk dapat
menyebabkan timbulnya berbagai komplikasi, antara lain penyakit vaskuler,
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
34/47
neuropati dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Tuberkulosis sendiri
dapat menginduksi terjadinya intoleransi glukosa dan memperburuk kontrol kadar
glukosa darah pada pasien DM.9,10,11
Diabetes mellitus merupakan kelainan metabolik, dimana kemampuan untuk
mengoksidasikan karbohidrat menjadi kurang atau hilang sama sekali, oleh karena
adanya kegagalan aktivitas pankreas, terutama pulau-pulau Langerhans, dan
dengan konsekuensi gangguan mekanisme pembentukan insulin yang normal.12
Secara epidemiologi, di India tahun 2000, terdapat sekitar 481.573.000 penduduk
berusia di atas 25 tahun. Sekitar 4,3% (20.707.639) menderita diabetes dan
939.064 mempunyai tuberkulosis paru, dan sekitar 575.900 BTA positif.12
Risiko terjadinya tuberkulosis aktif merupakan proses dengan dua tahapan.
Tahap pertama dimulai dengan pajanan awal dan infeksi tuberkulosis. Penelitian
biasanya hanya meneliti tentang terjadinya tuberkulosis aktif pada pasien DM.
Penelitian lain menunjukkan kejadian TB laten yang cukup tinggi pada pasien
DM meskipun mungkin hal ini dipengaruhi bias usia dan tidak adanya kelompok
kontrol. Penelitian di HongKong oleh Leung dkk10 terhadap 42.000 individu
berusia tua menunjukkan risiko tuberkulosis aktif lebih tinggi pada pasien
diabetes dibanding individu tanpa diabetes. Peningkatan risiko tersebut hanya
terjadi pada konsentrasi hemoglobin A1c (HbA1c) lebih besar dari 7%. Penelitian
metaanalisis yang dilakukan Dooley dkk menunjukkan risiko terjadinya
tuberkulosis pada pasien DM tiga kali lebih besar dibanding subjek kontrol.10 Pada
meta analisis oleh Jeon dan Murray, ditemukan bahwa pasien diabetes memilki
resiko mengidap tuberkulosis 3 kali lipat dibanding pasien non-diabetes.9 Hal
tersebut diakibatkan oleh terjadinya perubahan status imunitas pada pasien
diabetes yaitu ditemukan depresi dari jumlah limfosit T (imunitas seluler) dan
produksi sitokin.12 Makrofag alveolar tidak teraktivasi oleh M.tuberculosis
sehingga tidak terjadi sekresi nitric oxide yang dapat membunuh M.
tuberculosis.9,10,12
Penurunan resistensi alamiah merupakan faktor penting yang menyebabkan
peningkatan insidensi tuberkulosis pada diabetes. Perubahan kondisi biokimia di
darah dan jaringan serta penurunan pembentukan antibodi menyebabkan
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
35/47
penurunan resistensi terhadap basil tuberkulosis.13 Tuberkel pada diabetes lebih
mudah menyebar dan lebih banyak basil di dalamnya. Penelitian Long dan
Vorwald10 menunjukkan peningkatan availabilitas gliserol yang berperan pada
multiplikasi basil di jaringan pasien diabetes.13
Infeksi tuberkulosis pada DM secara keseluruhan terjadi karena adanya
defek fungsi fagosit dan CMI.13 Diabetes melitus berpengaruh terhadap fungsi
makrofag dan limfosit sehingga kemampuan untuk menahan infeksi tuberkulosis
melemah. Sel efektor penting untuk menahan infeksi tuberkulosis adalah fagosit
(makrofag alveolar dan monosit prekursor) dan limfosit. Diabetes menyebabkan
gangguan kemotaksis monosit dan defek ini tidak mengalami perbaikan dengan
insulin. Gangguan kemotaksis monosit timbul apabila defek respons imun terjadi
pada granulosit polimorfonuklear atau aktifitas subset limfosit.10,14
Penelitian pada pasien DM dan tuberkulosis menunjukkan makrofag
alveolar sulit teraktivasi dan terjadi penurunan produksi hidrogen peroksida.
Makrofag teraktivasi berperan sebagai APC untuk inisiasi aktivasi limfosit,
menfagosit antigen untuk pemrosesan dan presentasi via reseptor. Makrofag
teraktivasi akan menghasilkan IL-2 dan meningkatkan proliferasi sel T. Satu
penelitian terhadap pasien non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM)
menunjukkan produksi IL-2 oleh monosit dan reseptor dalam jumlah normal
namun terjadi penurunan populasi monosit yang membawa CR3 sehingga
perlekatan terhadap antigen berkurang dan fagositosis menurun.10 Bybee dan
Rogers11 menunjukkan defek fungsional fagosit terjadi karena diabetes dengan
kontrol glukosa darah yang buruk. Penelitian tersebut menunjukkan kontrol yang
baik menyebabkan pemulihan defek fagosit.14
Diabetes mengganggu produksi IFN- oleh sel T, pertumbuhan, fungsi
dan proliferasi sel T. Interferon- sendiri berperan untuk memperkuat nitric oxide
dependent intracellular killing activity makrofag. Penelitian pada model hewan
menunjukkan penurunan produksi IL-12 oleh makrofag, yang merupakan faktor
untuk menstimulasi sel T. Sesuai penemuan tersebut, penelitian Goto Kakizaki10
terhadap model tikus non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM)
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
36/47
menunjukkan penurunan produksi IFN , IL-12 dan NO sebagai respons terhadap
pajanan tuberkulosis.10
Erokhin dan Gedymin14 menemukan defek pada mekanisme pertahanan
pejamu akibat makrofag alveolar, sel alveoli tipe II dan fibroblas pada paru pasien
tuberkulosis dan diabetes. Tskaguchi dkk14 mengukur produksi IL1, TNF dan
IL-6 dari darah perifer pasien tuberkulosis dan diabetes, menemukan gangguan
produksi sitokin tersebut sehingga diduga ada hubungan erat antara imunitas
tuberkulosis dan diabetes.14
Malnutrisi juga berperan dalam menurunkan aktifitas metabolik
makrofag dan IL-1 sehingga menyebabkan penyakit bertambah berat. Disfungsi
hepar juga menyebabkan penekanan glikogen dan hipovitaminosis yang berperan
penting dalam timbulnya tuberkulosis pada pasien diabetes. Kass14 melaporkan
disfungsi hipofise yang meningkatkan kerentanan terhadap tuberkulosis. Produksi
adrenocorticotropin hormone (ACTH) dan kortikosteroid yang meningkat akan
menyebabkan bertambahnya respons inflamasi namun pembentukan jaringan
granuloma mengalami penurunan.14
Durasi penyakit DM memegang peranan penting dalam perkembangan
komplikasi diabetes kronik karena terjadi perubahan faal sistem pernapasan dan
neuropati otonomik diabetes yang dapat menyebabkan penurunan reaktivasi
bronkus dan bronkodilatasi sehingga terjadi peningkatan risiko infeksi saluran
napas, termasuk TB pada pasien DM.15 Studi di Turki menerangkan bahwa DM
tidak mempengaruhi gejala TB dan hanya berkaitan dengan menculnya lesi pada
lapang paru bawah pada pasien wanita dan pasien lanjut usia. Studi di Rusia
menjelaskan bahwa pasien TB dengan DM tipe 1 memiliki gejala TB yang akut,
progresif cepat, dan pembentukan lesi luas dengan kavitas multipel, namun
terdapat klirens basil dan penyembuhan kavitas yang lebih cepat dibandingkan
pada penderita TB dengan DM tipe 2.16
Deshmukh et al menjelaskan gejala pasien DM dengan TB paru berupa
penurunan keadaan umum yang cepat dengan demam persisten, dan penurunan
berat badan yang signifikan.Foto rontgen toraks memberikan gambaran atipikal,
melibatkan lapangan baru bawah, dan sering dengan kavitas.
Studi di Meksiko
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
37/47
menerangkan bahwa lesi didapatkan pada lapang paru bawah dan lebih banyak
kavitas, sedangkan studi di Arab Saudi menjelaskan tidak terdapat perbedaan
klinis maupun gambaran radiologis antara pasien TB dengan DM dan pasien TB
non-DM.17,18
Penggunaan insulin untuk mengontrol gula darah dapat memperbaiki
status proteksi imun dan sintesis Th1-relatedsitokin. Sehingga pada DM tipe 2,
insulin digunakan untuk mengontrol gula darah selama masa pengobatan TB,
setelah selesai pengobatan, dilanjutkan dengan anti diabetik oral.19 Paduan OAT
pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula darah
terkontrol.Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek
samping etambutol pada mata; sedangkan pasien dm sering mengalami
komplikasi kelainan pada mata.18,20
Kebanyakan obat anti OAT di metabolisme di hati. Rifampisin akan
menginduksi enzim sitokrom p450 hati sehingga eliminasi sulfonylurea di hati
meningkat. Selain itu, OAT akan berefek pada metabolik & endokrin, misalnya
rifampisin dapat menyebabkan gagal adrenal akut dalam beberapa minggu setelah
terapi di mulai, isoniazid dan rifampisin menyebabkan gangguan metabolisme
vitamin D dan hipokalsemia.18,19,20
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
38/47
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis TB pada pasien ini dapat ditegakkan dengan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang antara lain:
1. Batuk berdahak sejak dua bulan yang lalu, dahak warna kehijauan.
2. Berkeringat saat malam hari.
3. Nafsu makan berkurang dan berat badan turun.
4. Fremitus raba hemithorax kiri lebih menurun dibanding hemithorax kanan.
5. Suara dasar vesikuler hemithorax kiri terdengar lebih rendah daripada
hemithorax kanan.
6. Terdengar suara tambahan ronkhi basah kasar dikedua lapang paru, dan
amforik pada auskultasi hemithorax kanan.
7. Pemeriksaan radiologik menunjukkan ada infiltrat di hemithorax kanan,
dan multipel cavitas di hemithorax kiri.
8. BTA +3
Diagnosis TB terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak
mikroskopis. Cara pengeluaran dahak perlu diperhatikan, sebab tidak jarang
terjadi kesulitan dalam pengeluaran dahak. Cara yang dapat membantu antara lain
tarik napas dalam ataupun minum obat yang mampu mengeluarkan dahak. Tiga
spesimen dahak dikumpulkan dalam dua hari kunjungan berurutan, yang terdiri
dari:
- Sewaktu: dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama. Saat pulang suspek membawa pot dahak.
- Pagi: dahak dikumpulkan pada hari kedua segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan kepada petugas UPK.
- Sewaktu: dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua saat menyerahkan
dahak pagi.
Hasil pemeriksaan ini dicatat dan dilaporkan apakah hasilnya 1+,2+,3+, atau
negatif (neg). Pemeriksaan ini juga dilakukan pada pasien TB sebagai
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
39/47
pemeriksaan dahak ulang, biasanya dilakukan satu minggu sebelum satu masa
pengobatan berakhir. Pemeriksaan lain seperti foto thorak, biakan, dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sesuai dengan
indikasinya.
Pada pemeriksaan juga ditemukan beberapa abnormalitas yaitu pasien
menderita DM tipe 2, hiponatremi, dan hipokalemi. Diabetes pada pasien diterapi
dengan diet 1700 kkal per hari. Penderita TB dengan DM akan memiliki respon
terapi yang lebih rendah dibanding TB non DM, serta meningkatkan angka
resistensi, relaps, dan kematian. Tuberculosis juga berdampak terhadap terapi
DM, antara lain:
Kontrol indeks glikemik buruk
Kontrol diabetes lebih sulit
Gangguan absorpsi di saluran pencernaan
Hiperglikemia mengurangi kadar obat dalam jaringan, sehingga obat tidak
dapat bekerja secara adekuat
Gangguan fungsi makrofag alveolar dan sel CD4+
Penyebab yang mungkin meningkatkan tuberkulosis paru pada pasien
diabetes adalah fungsi imunitas. Imunitas yang terlibat adalah cell mediateddari
sistem imun. Juga, derajat hiperglikemia telah ditemukan mempunyai hubungan
pada fungsi makrofag. Ini didasarkan adanya pengamatan pada diabetes yang
tidak terkontrol, dengan kadar glycated haemoglobin , tuberkulosis diikuti dengan
destruksi dan berhubungan dengan kenaikan mortalitas. Abnormalitas dari
fisiologi pulmoner juga telah didokumentasi pada pasien diabetes yang
berkontribusi untuk menunda clearance dan penyebaran infeksi dalam host.
Infeksi dengan tuberkel akan cenderung terjadi gangguan sitokin, monosit-
makrofag,dan sel T CD4 / CD8. Keseimbangan limfosit sel CD4/CD8 memiliki
peran yang penting pada modulasi dari pertahanan host melawan Mycobacterium
dan memilki pengaruh pada tuberkulosis pulmoner yang aktif.
Pada pasien ini lokasi TB berada pada paru dengan hapusan dahak BTA
(+) dan belum pernah diobati dengan OAT sebelumnya, sehingga definisi kasus
pada pasien ini adalah TB paru BTA (+) kasus baru. Sehingga dimasukkan
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
40/47
kedalam kategori I pada pengobatan TB, dengan fase intensif 2HRZE dan fase
lanjutan 4HR.
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping, namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat berat atau ringan, jika efek
samping yang terjadi ringan, dapat diatasi dengan obat simptomatis dan
pemberian OAT dapat dilanjutkan, namun jika efek samping berat yang terjadi
maka OAT dihentikan. Pemantauan efek samping selama pengobatan secara klinis
dilakukan dengan menjelaskan kepada penderita mengenai tanda-tanda efek
samping, menanyakan kepada penderita adanya gejala efek samping pada saat
penderita mengambil OAT, melakukan pemeriksaan fungsi hati (SGOT, SGPT,
bilirubin), fungsi ginjal (ureum, kreatinin), gula darah, asam urat (bila
menggunakan pirazinamid) untuk data dasar penyakit penyerta dan efek samping
pengobatan, pemeriksaan visus dan uji buta warna jika ada keluhan / setiap bulan
(bila menggunakan ethambutol).
Sebagai petunjuk atau guidellines untuk pengelolaan DM selama infeksi
adalah sebagai berikut: pada pasien yang berobat jalan tindakan adalah monitor
kadar glukosa plasma sekurang-kurangnya 4 jam terakhir, pada pasien yang sudah
mendapat insulin, dosis insulin ditingkatkan untuk mengantisipasi hiperglikemia
persisten, pertahankan asupan cairan, kendalikan DM seoptimal mungkin kadar
GDP 80-109 mg/dl, GD2PP 0-144 mg/dl, HbA1c
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
41/47
Pengobatan pasien ini dengan menggunakan insulin karena; pertama,
efek rifampisin terhadap obat hipoglikemik oral dimana rifampisin dapat
mempercepat metabolisme obat-obat anti diabetik oral, menginaktifasi
sulfonilurea dan meningkatkan kebutuhan insulin. Sebaliknya INH dapat
mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan
sulfonilurea. Walaupun jarang INH menyebabkan pankreatitis, menghambat efek
metformin pada absorbsi glukosa diusus, mengganggu absorpsi karbohidrat di
usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea. Kedua; Pemberian sulfonilurea
pada DM dengan TB paru adalah kontraindikasi karena TB dianggap penyakit
dengan infeksi serius yang intercurrent. Sedang biguanid tidak diberikan karena
pada umumnya TB paru mempunyai keluhan nafsu makan menurun, BB menurun
dan adanya malabsorbsi glukosa, dan ketiga; terdapatnya indikasi penggunaan
insulin.
Rifampisin merupakan obat anti tuberkulosis lini pertama, yang juga
mempunyai spektrum luas terhadap organisme lain, termasuk beberapa bakteri
gram positif dan gram negatif Legionella spp, M. kansasii, dan M. marinum.
Aktifitas bakterisidal dari rifampisin pada intraselular dan ekstraselular dengan
memblok sintesis, dengan mengikat dan menginhibisi secara spesifik sintesis
RNA pada DNA dependent RNA polimerase. Rifampisin merupkan antibiotik
yang bersifat larut lemak dan terdistribusi dengan baik pada seluruh jaringan
tubuh, termasuk meninges yang terinflamasi. Rifampisin diekskresi terutama
melalui saluran empedu dan sirkulasi enterohepatik, sedangkan 30-40%
diekskresikan melalui ginjal. Meskipun secara umum rifampisin ditoleransi
dengan baik, namun efek samping yang paling sering adalah masalah
gastrointestinal. Pasien dengan penyakit hepar, terutama dengan alkoholisme dan
usia lanjut terlihat beresiko tinggi untuk memiliki efek samping serius yaitu
hepatitis. Rifampisin merupakan inducer enzim mikrosomal hepar yang poten
sehingga dapat menurunkan waktu paruh dari beberapa obat, dimana salah
satunya adalah obat hipoglikemik oral.6
Indikasi mutlak penggunaan insulin adalah DM type I, tetapi seringkali
diberikan pada bukan DM type I dengan tujuan agar tubuh memiliki jumlah
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
42/47
insulin efektif pada saat yang tepat. Beberapa indikasi penggunaan insulin adalah
pada DM type I, DM type II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan
obat hipoglikemik oral, DM dan keadaan khusus (kehamilan, nefropati diabetik
tipe B3 dan Be, gangguan faal hati berat, infeksi akut, TB paru berat, ketoasidosis
diabetik, operasi, patah tulang, underweight, dan penyakit graves).
Telah dikenal berbagai macam insulin kerja cepat, sedang sampai lama
yang disuntikkan sendiri atau mixed dalam satu semprit. Saat ini tersedia insulin
kerja cepat yaitu insulin lispro dan insulin aspart, kerja sedang tersedia actrapid,
humulin NPH, kerja lama adalah ultra lente dan insulin gargline. Insulin yang
dikombinasi antara kerja pendek dan sedang adalah insulin mixtard, yang terdiri
monotard 70% dan actrapid 30%. Insulin yang beredar sekarang adalah insulin
murni atau human insulin yang dibuat dengan tehnologi rekombinan DNA dan
mempunyai kerja lebih cepat dan masa kerja lebih pendek dibandingkan insulin
babi. Di indonesia hanya beredar insulin dengan dosis 40 IU/ml dan 100 IU/ml.
Di luar negeri tersedia pula insulin dengan dosis 500 IU/ml yang ditujukan pada
kasus-kasus resistensi insulin dimana memerlukan insulin dosis besar.
Pemberian insulin sebaiknya dimulai dengan insulin kerja cepat seperti
actrapid atau monotard R dengan dosis kecil 5 unit diberikan tiap jam sebelum
makan dan dosis ditingkatkan 2-4 unit dalam waktu 2-4 hari. Macam dan jadwal
pemberian insulin dapat diubah sesuai respon pasien.
Bila pengendalian DM berlangsung baik dan keadaan TB paru sudah
membaik maka insulin kerja pendek dapat dilanjutkan dengan insulin kerja
menengah seperti monotard atau humulin N dengan dosis 2/3 dari dosis total
insulin kerja pendek. Bila dosis total perhari diperlukan kurang 30 unit perhari
maka cukup pemberian insulin kerja menengah cukup diberikan sekali perhari dan
apabila dosis lebih 30 unit maka pemberian insulin diberikan 2 kali perhari yaitu
2/3 dosis sebelum makan pagi dan 1/3 dosis sebelum makan malam.
Pemberian insulin mixed lebih baik dalam menormalkan kadar glukosa
darah dibanding insulin tunggal. Namun demikian insulin campuran sebaiknya
mengikuti petunjuk dan prosedur standar pemberian seperti penyuntikan
dilakukan 15 menit sebelum makan, dianjurkan hanya pada pasien yang sudah
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
43/47
terkontrol baik. Tidak dianjurkan menggabungkan antara lente insulin dengan
NPH karena zink pospat dapat mempresipitasi sehingga insulin kerja lambat akan
menjadi kerja pendek. Demikian pula insulin gargline tidak dapat dicampur
dengan insulin lainnya karena pH rendah akan saling mengencerkan.
Dosis insulin pada pasien DM tergantung respons glikemik setiap
individu dan asupan makanan serta latihan jasmani. Pada umumnya pada
pemberian awal diberikan 3 kali pemberian atau lebih suntikan perhari dengan
insulin kerja pendek untuk memperoleh derajat euglikemik. Jadwal penyuntikan
tergantung dari kadar glukosa darah, jumlah asupan makanan, aktifitas fisik dan
tipe insulin yang dipakai. Pada umumnya penyuntikan dilakukan 30 menit
sebelum makan khusus untuk insulin kerja pendek karena penyuntikan setelah
makan atau segera sebelum makan akan menyebabkan hipoglikemia atau insulin
tidak efektif menekan kenaikan glukosa darah postprandial.
Pada saat ini pemberian insulin khususnya dalam periode lama seperti
DM dengan TB paru maka perlu monitor kadar glukosa darah sendiri. Untuk
memantau kadar glukosa dapat dipakai darah kapiler dengan memakai glukosa
meter. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glukosa meter dapat
dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan
sesuai dengan standar yang diperlukan. Secara berkala hasil pemantauan dengan
meter atau reagen perlu dibandingkan dengan cara konvensional. Waktu
pemeriksaan untuk pemantauan adalah pada saat sebelum makan dan waktu tidur
untuk menilai resiko hipoglikemia dan pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah
makan untuk menilai ekskursi maksimal glukosa selama sehari.
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
44/47
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Manajemen pasien tuberkulosis dengan faktor komorbid menderita penyakit
diabetes melitus memerlukan pemantauan dan monitoring khusus mulai dari
pemeriksaan sampai terapi.
B. SARAN
Untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas diperlukan pemeriksaan lebih cermat
di setiap jenjang unit pelayanan kesehatan.
Edukasi kepada pasien mengenai pengetahuan tentang penyakit, gejala, dan
komplikasi dan penatalaksanaannya.
-
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
45/47
DAFTAR PUSTAKA
1. Menkes RI 2010. Diunduh dari http://kabar.in/2010/indonesia-
headline/rilis-berita-depkominfo/03/24/menkes-ri-keberhasilan-pengobatan-
tb-capai-884-persen.html pada 17 September 2011
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. 2007: 20-4
3. Aditama TY, Soedarsono, Thabrani Z, Wirokusumo HS, Sembiring H, Rai
IBN, dkk. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan diIndonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta: 2006.
4. Handayani S. 2002. Respon Imunitas Seluler pada Infeksi Tuberkulosis
Paru. Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No.137
5. Mansjoer A, et al, editors. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta:
Media Aesculapius; 2000, h. 472-6.
6. Raviglione MC, OBrien RJ. Tuberculosis. In: Braunwald et al, editors.
Harrisons principles of internal medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill;
2005.
7. Pelatihan DOTS. Jakarta, 22-23 Agustus 2008. Departemen Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI.
8. Rani HA, Soegondo S, Nasir AU, editor. Pedoman pelayanan medik ilmu
penyakit dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSCM,
2004:87-89.
9. Jeon CY, Murray MB. Diabetes Mellitus Increase the Risk of Active
Tuberculosis; A Systematic Review 0f 13 Observational Studies. [cited 2008]
Available from : URL : http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
Artid =2459204.
10. Dooley KE, Chalsson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus:
convergence of two epidemics. Lancet Infect Dis 2009; 9: 737-46.
11. Sidibe el H. Pulmonary tuberculosis and diabetes: aspects of its
epidemiology, pathophysiology, and symptoms. [cited Jan 2007] Available
http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/03/24/menkes-ri-keberhasilan-pengobatan-tb-capai-884-persen.html%20pada%2017%20September%202011http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/03/24/menkes-ri-keberhasilan-pengobatan-tb-capai-884-persen.html%20pada%2017%20September%202011http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/03/24/menkes-ri-keberhasilan-pengobatan-tb-capai-884-persen.html%20pada%2017%20September%202011http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/03/24/menkes-ri-keberhasilan-pengobatan-tb-capai-884-persen.html%20pada%2017%20September%202011http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/03/24/menkes-ri-keberhasilan-pengobatan-tb-capai-884-persen.html%20pada%2017%20September%202011http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/03/24/menkes-ri-keberhasilan-pengobatan-tb-capai-884-persen.html%20pada%2017%20September%202011 -
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
46/47
from : URL : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17897899?
ordinalpos=12&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.
Pubmed_DefaultReportPanel.Pubmed_RVDocSum.
12. Sen T, Joshi SR, Udwadia ZF. Tuberculosis and Diabetes Mellitus :
Merging Epidemics. JAPI May 2009 vol. 57diunduh dari : http://www.japi.org
/may_2009 /article_07.pdf
13. Ramamurti T. Pathology of mycobacterial infection. Int J Diab Dev
Countries 1999; 19: 56-60
14. Prasad CE. Immunodeficiencies in diabetes and mycobacterial infection.
Int J Diab Dev Countries 1999; 19: 52-5.
15. Alisjahbana B,Sahiratmadja E, Nelwan EJ,Purwa AM, Ahmad
Y, Ottenhoff TH, et al. The effect of type II diabetes mellitus on the treatment
response of pulmonary tuberculosis.Clin Infect Dis. 2007 Aug 15;45(4):428-
35.
16. Comparative cytological study of lymph node tuberculosis in HIV infected
individuals and in patients with diabetes in a developing country. Kossii Iu E,
Karachunskii MA, Kaminskaia GO, et al. Pulmonary tuberculosis in patientswith different types of diabetes mellitus. Probl Tuberk 2002; 5: 21-4.
17. Jabbar A, Hussain SF, Khan AA. Clinical characteristics of pulmonary
tuberculosis in adult Pakistani Patients with co-existing diabetes mellitus.
Eastern Mediterranean Health Journal,vol.12,no.5.2006.
18. Wang CS, Yang CJ, Chen HC, Chuang SH, Chong IW, Hwang JJ, et al.
Impact of type 2 diabetes on manifestations and treatment outcome of
pulmonary tuberculosis. Edipemiol Infect 2009 Feb;137(2):203-10.
19. Yamashiro S, Kawakami K, Uezu K, et al. Lower expression of Th1-
related cytokines and inducible nitr oxide synthase in mice with
streptozotocin-induced diabetes mellitus infected with Mycobacterium
tuberculosis. Clin Exp Immunol. 2005;139(1):57-64
20. Dooley KE, Tang T, Golub JE, Dorman SE, Cronin W. Impact of diabetes
mellitus on treatment outcomes of patients with active tuberculosis. Am J
Trop Med Hyg 2009 Apr;80(4):634-9.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Alisjahbana%20B%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Sahiratmadja%20E%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Nelwan%20EJ%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Purwa%20AM%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Ahmad%20Y%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Ahmad%20Y%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Ottenhoff%20TH%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17638190?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17638190?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17638190?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Wang%20CS%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Yang%20CJ%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Chen%20HC%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Chuang%20SH%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Chong%20IW%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Hwang%20JJ%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Alisjahbana%20B%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Sahiratmadja%20E%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Nelwan%20EJ%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Purwa%20AM%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Ahmad%20Y%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Ahmad%20Y%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Ottenhoff%20TH%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17638190?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17638190?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17638190?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Wang%20CS%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Yang%20CJ%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Chen%20HC%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Chuang%20SH%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Chong%20IW%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlushttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=pubmed&Cmd=Search&Term=%22Hwang%20JJ%22%5BAuthor%5D&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_DiscoveryPanel.Pubmed_RVAbstractPlus -
8/3/2019 Preskes TB-DM Fix
47/47
1. Membelahnya lambat
2. Dindingnya banyk protein so sulit ditembus beta laktam,sefalosporin..
Populasi :
A. SANGAT cepat membelah
B. Cukup cepat
C. Intermitten (kdng membelah kdng tdur)
D. Dorman
KUMAN INI KALO diberikan obat tunggl akan resisten
Rifampisin bekerja di semua populasi dan fase sehingga dipake di awal dan
akhir terapi. Dan bersama INH lebh poten lagi
Kita tdk bisa memberikan hanya rifmpisin karena basil ini bisa naturallyresisten terhdp OAT (bawaannya resisten)
Naturally : tdk dipengaruhi OAT sblmnya
Etambutol juga melindungi naturally high risk.
Kenapa harus 6 bulan??? Krna sft kumannya resisten dan ada strain tertentu
yg sulit untuk dibasmi
Strain Beijing yg paling parah
TB harus hati2 dan berikan edukasi efek smping dan cra minum obat