skripsi full2

132
UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS TERHADAP KEPUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) PADA KASUS US-CLOVE CIGARETTES (TOBACCO CONTROL ACT) 2012 DIPANDANG DARI PENERAPAN PRINSIP NATIONAL TREATMENT (PERLAKUAN NASIONAL) SKRIPSI DIAN ESTERINA TAMBUNAN 0906519381 FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM KEKHUSUSAN HUBUNGAN TRANSNASIONAL DEPOK JULI 2013

Upload: bagas-akhmad

Post on 24-Oct-2015

477 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

skripsi

TRANSCRIPT

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS TERHADAP KEPUTUSAN DISPUTE SETTLEMENTBODY WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) PADA KASUS

US-CLOVE CIGARETTES (TOBACCO CONTROL ACT) 2012DIPANDANG DARI PENERAPAN PRINSIP NATIONAL

TREATMENT (PERLAKUAN NASIONAL)

SKRIPSI

DIAN ESTERINA TAMBUNAN0906519381

FAKULTAS HUKUMPROGRAM STUDI ILMU HUKUM

KEKHUSUSAN HUBUNGAN TRANSNASIONALDEPOK

JULI 2013

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS TERHADAP KEPUTUSAN DISPUTE SETTLEMENTBODY WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) PADA KASUS

US-CLOVE CIGARETTES (TOBACCO CONTROL ACT) 2012DIPANDANG DARI PENERAPAN PRINSIP NATIONAL

TREATMENT (PERLAKUAN NASIONAL)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

DIAN ESTERINA TAMBUNAN0906519381

FAKULTAS HUKUMPROGRAM STUDI ILMU HUKUM

KEKHUSUSAN HUBUNGAN TRANSNASIONALDEPOK

JULI 2013

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

.' .dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan benar.

• y ' .• ' -

Nama : Dian Esterina Tambunan

NPM : 0901\:'81Tanda Tangan: ~

Tanggal : 4 Juli 2013

11

HALAMANPENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

_ rna

- ~-

Program Studidul Skripsi

: Dian Esterina Tambunan: 0906519381: Ilmu Hukum: Analisis Terhadap Keputusan Dispute Settlement Body WorldTrade Organization (WTO) Pada Kasus US-Clove Cigarettes(Tobacco Control Act) 2012 Dipandang Dari PenerapanPrinsip National Treatment (Perlakuan Nasional)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterimaebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelararjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,.niversitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Adijaya Yusuf, S.H., LLM. ( )

Pembimbing I : Hadi R. Pumama, S.H., LL.M. ( ):

Penguj i : Prof. Dr. Sidik Suraputra, S.H. ( )

Penguj i : Prof. A. Zen U. Purba, S.H., LL.M ( )

?enguj i : AdolfWarouw, S.H., LL.M. ( )

Penguj i : Emmy Ruru, S.H., LL:,M. ( )

Penguj i : Arie Afriansyah, S.H., MIL. e~)

Penguj i : Melda Kamil A., S.H., LL.M, Ph.D. e )

Penguj i : Prof. Hikmahanto 1., S.H., LL.M., Ph.D.( )

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 4 Juli 2013

111

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Dian Esterina Tambunan

NPM

Program Studi

Fakultas

Jenis Karya

: 0906519381

: lImu Hukum

: Hukum

: Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Analisis Terhadap Putusan Dispute Settlement Body World Trade

Organization (WTO) Pada Kasus US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act)

2012 Dipandang Dari Penerapan Prinsip National Treatment (Perlakuan

Nasional)

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

. .oneksklusif uu, Universitas Indonesia berhak menyimpan,

engalih: .edia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

erawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama

- . a sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Dem ikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : 4 Juli 2013

Yang menyatakan

(Dian Esterina Tambunan)

vi

v

KATA PENGANTAR

Salam Damai Sejahtera.

Segala puja dan puji syukur Peneliti agungkan pada Tuhan Yang Maha

Esa, Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pemurah yang telah

senantiasa menganugerahkan limpahan kasih dan karunia-Nya kepada Peneliti,

sehingga Peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat pada

waktunya, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada

Falkutas Hukum Universitas Indonesia.

Peneliti menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan

para pihak yang telah mendukung Peneliti dan juga berbagai pihak yang telah

membantu Peneliti menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas

Indonesia. Oleh karena itu Peneliti hendak mengucapkan terima kasih kepada :

a. Adijaya Yusuf, S.H., LL.M, selaku Dosen Pembimbing I. Terima kasih atas

kesediaan waktu, pikiran, dan tenaga untuk mengarahkan Peneliti dalam

penyusunan skripsi ini.

b. Hadi Rahmat Purnama, S.H., LL.M, selaku Dosen Pembimbing II. Terima

kasih. Atas waktu, pikiran, dan tenaga yang diberikan kepada Peneliti dalam

penyusunan skripsi.

c. Papa, dr. Mangisi Tambunan, SpOG. Terima kasih Papa sudah selalu

mendukung dan mengingatkan Peneliti untuk mengerjakan skripsi dengan

baik dan tepat waktu.

d. Mama, Riana Netty Pardede. Terima kasih Mama yang selalu sangat

mendukung dan selalu menasihati dan mendoakan Peneliti sepanjang

penyusunan skripsi. I love you, Mom.

e. Abang I, Felix Marcel Tambunan, S.H., M.H., LL.M. Terima kasih Koko

yang selalu mendukung dan selalu mau mendengarkan keluhan serta

memberikan saran kepada Peneliti dalam penyusunan skripsi.

f. Abang II, dr. David Oktavianus Tambunan, S. Ked., B. Med. Terima kasih

Bebi yang selalu mendukung dan selalu bersedia membantu Peneliti dalam

penyusunan skripsi.

vi

g. FnF (Anita Patresya Damanik, Brimanti Sari, Timothy Solomon Zebua,

Kristen Natalia Doloksaribu, Kristian Takasdo Simorangkir, Hana Monica

Hutabarat, Vinca Vinenska, Anindita Sasidwikirana Djatmiko, Adrianus

Madika, Budy Apriastuti Evita, Hana Pertiwi, Ferny Melissa Tobing). Terima

kasih FnF atas persahabatan dan suka duka yang kita miliki selama

perkuliahan serta dukungan telah kalian berikan pada Peneliti selama

penyusunan skripsi.

h. Astari Anjani. Terima kasih Star atas persahabatan dan dukungan yang telah

diberikan kepada Peneliti selama penyusunan skripsi.

i. Hana Pertiwi. Terima kasih Madam Tarot telah memberikan dukungan dan

mengerjakan skripsi bersama dengan Peneliti selama penyusunan skripsi.

j. Aldila Mesra. Terima kasih Bidadari atas dukungan yang telah diberikan dan

menghiasi hari-hari Peliti selama penyusunan skripsi.

k. Shafira Nindya Putri. Terima kasih Sapi telah memberikan dukungan dan

mengerjakan skripsi dengan susah payah bersama dengan Peneliti.

l. Tanti Hartati. Terima kasih Bu Haji telah memberikan dukungan dan

mengerjakan skripsi dengan Peneliti selama Penyusunan Skripsi.

m. Octaviana Pramustika. Terima kasih Nona atas dukungan yang telah

diberikan kepada Peneliti selama penyusunan skripsi.

n. Teman-teman PK VI. Terima kasih teman-teman seperjuangan untuk selama

ini di FHUI.

Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan di sini satu persatu, namun

tidak mengurangi rasa terima kasih Peneliti atas segala bantuan, doa, dan

dukungan yang selalu diberikan kepada Peneliti dalam menyelesaikan penulisan

skripsi. Akhir kata, Peneliti menyadari bahwa skripsi ini pun tidak luput dari

berbagai kekurangan baik dar segi materi maupun segi teknik penulisan. Semoga

skripsi ini akan membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Depok, Juli 2013

Dian Esterina Tambunan

vii

ABSTRAK

Nama : Dian Esterina Tambunan

Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Skripsi : Analisis Terhadap Putusan Dispute Settlement Body World

Trade Organization (WTO) Pada Kasus US-Clove Cigarettes

(Tobacco Control Act) 2012 Dipandang Dari Penerapan

Prinsip National Treatment (Perlakuan Nasional)

Pada bulan September 2009, Presiden Obama menandatangani Family Smoking

Prevention and Tobacco Control Act (Bagian 907 (a) (1) (A)) yang berlaku di

Amerika Serikat. Undang-undang tersebut bertujuan untuk menurunkan tingkat

perokok muda di kalangan masyarakat AS, dengan melarang produksi dan

perdagangan rokok beraroma, termasuk rokok kretek dan rokok beraroma buah-

buahan. Setelah dilakukannya pengesahan terhadap UU tersebut, Indonesia

mengalami dampak kerugian yang sangat besar terhadap bidang perdagangan,

karena hampir 99% rokok kretek yang dijual di AS merupakan produk impor dari

Indonesia. Dengan hal ini, Indonesia akhirnya mengajukan klaim kepada Dispute

Settlement Body WTO bahwa Amerika Serikat telah melanggar ketentuan WTO

mengenai prinsip Perlakuan Nasional (National Treatment). Kemudian, setelah

melalui proses penyelesaian sengketa oleh Dispute Settlement Body WTO, maka

Indonesia dimenangkan dalam kasus ini, dengan memutus bahwa Amerika Serikat

telah melanggar prinsip National Treatment yang terdapat dalam Pasal 2.1

Technical Barrier to Trade Agreement. Prinsip National Treatment mengatur

bahwa setiap negara anggota WTO berkewajiban untuk memberikan perlakuan

yang sama terhadap produk sejenis, baik yang diproduksinya di dalam negeri

maupun yang berasal dari impor negara anggota WTO lainnya. Penelitian ini

membahas kesesuaian interpretasi prinsip National Treatment menurut Pasal 2.1

Technical Barrier to Trade Agreement dalam kasus US-Clove Cigarettes

(Tobacco Control Act) 2012 dengan pengaturan prinsip National Treatment secara

umum dalam ketentuan WTO, sehingga penelitian ini menggunakan metode

yuridis normatif dengan menggunakan beberapa perjanjian WTO yang berkaitan

dengan prinsip National Treatment seperti General Agreement on Tariff and

Trade1994 dan Technical Barrier to Trade Agreement.

Kata kunci : Prinsip National Treatment, Prinsip Non-Diskriminasi, World Trade

Organization (WTO), Hukum WTO

viii

ABSTRACT

Name : Dian Esterina Tambunan

Major : Law

Title : Analysis of the World Trade Organization Dispute

Settlement Body Decision on the Application of National

Treatment Principle in US-Clove Cigarettes (Tobacco

Control Act) 2012

In June 2009, President Obama signed the Family Smoking Prevention and

Tobacco Control Act that applied in United State of America. The Act aiming to

reduce the youth smoker in United States America, by banning production and

sale of the flavoured cigarettes, including clove cigarettes and fruit flavoured

cigarettes. After the ratification of that Act, Indonesia suffered for major losses in

the trade area, because almost 99% of the clove cigarettes that sold in United

States America is the import product from Indonesia. Because of this treatment,

Indonesia filed claim against United States of America to the Dispute Settlement

Body WTO, that United States of America has violate the WTO Agreements

related to the National Treatment principle. Furthermore, after held the dispute

settlement process by Dispute Settlement Body WTO, therefore Dispute

Settlement Body WTO ruled that United State of America violate the National

Treatment principle in accordance to Article 2.1 Technical Barrier to Trade

Agreement. The National Treatment principle requires the State parties to treat no

less favourable to imported products than like products of national origin. This

thesis discusses the compliance of the interpretation of the National Treatment

Principle in WTO case US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) 2012 with the

general regulations on the National Treatment Principle in the WTO, therefore

this thesis using the normative juridical research method by utilizing some WTO

agreements related to the National Treatment Principle, such as General

Agreement on Tariff and Trade1994 and Technical Barrier to Trade Agreement.

Key Words : National Treatment Principle, Non Discrimination Principle, World

Trade Organization (WTO), WTO Law

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………………ii

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………iii

KATA PENGANTAR…………………………………………………………....iv

HALAM PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……………………...vi

ABSTRAK/ABSTRACT……………………………………………………vii/viii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ix

1. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang……………………………………………………………11.2 Pokok Permasalahan…………………………………………………….101.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………..101.4 Kerangka Konsepsional…………………………………………………111.5 Metode Penelitian……………………………………………………….121.6 Sistematika Penulisan…………………………………………………...13

2. PRINSIP NATIONAL TREATMENT SEBAGAI PRINSIP NON-DISKRIMINASI…………………………………………………………...152.1 Pendahuluan……………………………………………………………..152.2 Prinsip National Treatment dalam Pasal III:2 GATT 1994……………..18

2.2.1 Pengaturan Prinsip National Treatment dalam Pasal III:2, kalimatpertama GATT 1994……………………………………………...18

2.2.2 Pengaturan Prinsip National Treatment dalam Pasal III:2, kalimatkedua GATT 1994………………………………………………..22

2.3 Prinsip National Treatment dalam Pasal III:4 GATT 1994……………..262.4 Pengecualian terhadap Pemberlakuan Prinsip National Treatment…......342.5 Kesimpulan……………………………………………………………...44

3. PRINSIP NATIONAL TREATMENT DALAM PASAL 2.1 TECHNICALBARRIER TO TRADE AGREEMENT……………………………………463.1 Pendahuluan……………………………………………………………..463.2 Prinsip National Treatment dalam Pasal 2.1 TBT Agreement…………..543.3 Hubungan antara Prinsip National Treatment dalam Pasal III:4 GATT dan

Pasal 2.1 TBT Agreement……………………………………………….643.4 Kesimpulan……………………………………………………………...67

4. ANALISIS PUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY WTO PADAKASUS WTO US-CLOVE CIGARETTES (TOBACCO CONTROL ACT)2012 MENGENAI PRINSIP NATIONAL TREATMENT.........................694.1 Pendahuluan……………………………………………………………..694.2 Kasus Posisi……………………………………………………….…….69

x

4.3 Argumentasi Hukum dari Para Pihak mengenai Prinsip NationalTreatment………………………………………………………………..704.3.1 Argumentasi Hukum Indonesia……………………….………….704.3.2 Argumentasi Amerika Serikat…………………………………....73

4.4 Laporan Panel…………………………………………………………...784.4.1 Interpretasi Panel Mengenai Prinsip National Treatment………..784.4.2 Kesimpulan dan Putusan Panel…………………………………..90

4.5 Laporan Appellate Body………………………………………………...90

4.5.1 Argumentasi Hukum Amerika Serikat…………………………....90

4.5.2Interpretasi Appellate Body mengenai Prinsip National

Treatment………………………………………………………....92

4.5.3 Kesimpulan dan Rekomendasi Appellate Body…………………..98

4.6 Pembahasan terhadap Interpretasi Prinsip National Treatment oleh

Dispute Settlement Body WTO pada Kasus US-Clove Cigarettes

(Tobacco Control Act) dibandingkan dengan Pengaturan Prinsip National

Treatment dalam Ketentuan WTO……………………………………...99

4.7 Kesimpulan…………………………………………………………....107

5. PENUTUP…………………………………………………………………1105.1 Kesimpulan……………………………………………………………110

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..121

Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada tanggal 4 April 2012, akhirnya Indonesia memenangkan kasus WTO

US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) dengan Amerika Serikat (AS).

Sengketa ini bermula saat Presiden Obama menandatangani Family Smoking

Prevention and Tobacco Control Act (Bagian 907 (a) (1) (A)) yang kemudian

aktif berlaku pada bulan September 2009. Undang-undang tersebut bertujuan

untuk menurunkan tingkat perokok muda di kalangan masyarakat AS, dengan

melarang produksi dan perdagangan rokok beraroma, termasuk rokok kretek dan

rokok beraroma buah-buahan.1 Hal ini didasari bahwa anak-anak dan remaja

menjadi suka merokok karena beberapa produk rokok memakai tambahan rasa

(flavour). Dengan demikian, rokok yang menggunakan rasa tambahan ini dilarang

diperdagangkan di AS yang mana rokok kretek asal Indonesia termasuk di

dalamnya. Tetapi, ketentuan tersebut mengecualikan rokok beraroma mentol

produksi dalam negeri AS. Setelah dilakukannya pengesahan terhadap UU

tersebut, Indonesia mengalami dampak yang sangat besar terhadap bidang

perdagangan, karena hampir 99% rokok kretek yang dijual di AS merupakan

produk impor dari Indonesia.2 Kerugian yang dialami oleh Indonesia yang

diperkirakan timbul dari larangan ekspor rokok kretek mencapai US$ 200.000.000

1“WTO Kembali Memenangkan Kasus Rokok Kretek Indonesia”,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/04/06/17203199/WTO.Kembali.Menangkan.Kasus.Rokok.Kretek.Indonesia, diakses tanggal 20 Desember 2012 pukul 16.00. WIB.

2“Diplomasi Perdagangan RI dalam Tatanan Perdagangan Dunia: WTO Setuju BentukPanel Sengketa mengenai Larangan Perdagangan Rokok Kretek di Amerika Serikat”, PublikasiSiaran Pers Kementrian Perdagangan Dalam Negeri Republik Indonesia pada tanggal 21September 2012.

Universitas Indonesia

2

per tahun. Selain itu, pelarangan rokok kretek ini juga sangat dirasakan oleh para

petani tembakau.3

Dengan hal ini, Indonesia akhirnya membawa masalah ini ke Badan

Penyelesaian Sengketa WTO (Dispute Settlement Body WTO/DSB WTO).

Setelah proses konsultasi yang berlangsung panjang tanpa mencapai kesepakatan,

Indonesia akhirnya mengajukan pembentukan Panel ke DSB WTO atas dasar AS

melanggar ketentuan WTO mengenai prinsip Perlakuan Nasional (National

Treatment). Prinsip ini memiliki ketentuan umum yang diatur dalam Pasal III:2

dan III:4 GATT 1944. Hal ini juga diatur secara khusus dalam Pasal 2.1 Technical

Barrier to Trade (TBT) Agreement. Dalam prinsip National Treatment, setiap

negara anggota WTO berkewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama

terhadap produk sejenis, baik yang diproduksinya di dalam negeri maupun yang

berasal dari impor negara anggota WTO lainnya. Berdasarkan prinsip ini, Panel

WTO menemukan bahwa kebijakan AS tidak sesuai dengan ketentuan WTO

tersebut, karena rokok kretek dan rokok mentol adalah produk sejenis (like

products), dan keduanya memiliki daya tarik yang sama bagi kaum muda.

Menurut WTO, kebijakan yang membedakan perlakuan terhadap dua produk

sejenis, merupakan tindakan yang tidak adil atau kurang menguntungkan (less

favourable).

Lalu, Pemerintah AS yang tidak puas terhadap keputusan panel yang

dikeluarkan pada 2 September 2011, melakukan banding ke WTO melalui

Appelate Body (AB) pada 5 Januari 2012. Hasil banding yang dikeluarkan

Appelate Body, menegaskan kembali bahwa keputusan panel sebelumnya adalah

benar, dan pemerintah AS telah mengeluarkan kebijakan yang tidak konsisten

dengan ketentuan WTO. Lebih lanjut, Appellate Body merekomendasikan kepada

DSB agar meminta Pemerintah AS untuk membuat kebijakan sesuai dengan

ketentuan dalam TBT Agreement.4

3”Ekspor Rokok ke AS Dilarang, RI Rugi US$ 200 Juta Per Tahun”, di akses darihttp://www.neraca.co.id/2011/09/05/ekspor-rokok-ke-as-dilarang-ri-rugi-us-200-juta-per-tahun/,akses tanggal 22 September 2012.

4“WTO Kembali Memenangkan Kasus Rokok Kretek Indonesia”,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/04/06/17203199/WTO.Kembali.Menangkan.Kasus.Rokok.Kretek.Indonesia, diakses tanggal 20 Desember 2012 pukul 16.00. WIB.

Universitas Indonesia

3

Dengan demikian, dari kasus WTO diatas, maka peneliti tertarik untuk

membahasnya lebih lanjut dengan menitikberatkan pada ketentuan WTO

mengenai prinsip National Treatment. Namun, sebelumnya akan diberikan

penjelasan singkat mengenai WTO sendiri. Pada tahun 1944, diadakanlah

Konferensi mengenai masalah-masalah ekonomi di Bretton Woods, New

Hampshire, Amerika Serikat, yang mana menghasilkan tiga pilar, yaitu Dana

Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF), Bank

Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank for

Reconstruction and Development) atau sekarang lebih dikenal dengan nama Bank

Dunia (World Bank), dan Organisasi Perdagangan Internasional atau International

Trade Organization (ITO).5 Setelah pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa atau

United Nations (PBB), perundingan mengenai perdagangan multilateral diadakan

dalam kerangka Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Oleh karena itu, Dewan

Ekonomi dan Sosial PBB merundingkan ITO, yang termasuk dalam bidang

perdagangan multilateral, dan mengesahkan resolusi pembentukan ITO pada

tahun 1946.6

Perundingan-perundingan mengenai pembentukan ITO dan sistem

perdagangan internasional dimulai di London pada tahun 1946 dan berlanjut di

New York pada tahun 1947. Perundingan-perundingan yang diadakan di London

dan New York tersebut berujung pada pertemuan Jenewa pada tahun 1947.

Pertemuan Jenewa mempunyai tiga tujuan, yaitu : (i) menyusun Piagam ITO; (ii)

menyiapkan jadwal pengurangan tariff; (iii) menyiapkan perjanjian multilateral

yang berisi prinsip-prinsip umum perdagangan yang dinamakan Persetujuan

Umum mengenai Tarif dan Perdagangan atau General Agreement on Tariffs and

Trade (GATT 1947).7 Proses ratifikasi Piagam ITO tidak berjalan lancar dan pada

akhirnya Piagam ITO tidak pernah dapat dilaksanakan. Penyebabnya adalah

Amerika Serikat tidak mau meratifikasi piagam tersebut. Dengan tidak dapat

5 Peter van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization(Cambridge : Cambridge University Press, 2005), hal. 2.

6 Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, The World TradeOrganization: Law, Practice, and Policy (United State: Oxford University Press, 2003), hal. 1-2.

7 Ibid., hal. 2.

Universitas Indonesia

4

dilaksanakannya piagam tersebut, ITO tidak jadi berdiri sebagai organisasi

internasional. GATT 1947 yang tadinya akan dilaksanakan dalam kerangka ITO

tetap berjalan sebagai persetujuan multilateral yang mengatur perdagangan

internasional dan negara-negara di dunia menyelesaikan masalah-masalah

perdagangan melalui serangkaian perundingan multilateral yang dikenal dengan

nama Putaran Perdagangan (Trade Round).

Tabel 1

Putaran Perdagangan Dunia

Tahun Nama Putaran Masalah yang Dibahas Jumlah

Negara

Peserta

1947 Putaran Jenewa Tarif 23

1949 Putaran Annecy Tarif 13

1951 Putaran Torquay Tarif 38

1956 Putaran Jenewa Tarif 26

1960-1961 Putaran Dillon Tarif 26

1964-1967 Putaran Kennedy Tarif dan Kebijakan Anti-

Dumping

62

1973-1979 Putaran Tokyo Tarif, Kebijakan Non-Tarif,

Kerangka Persetujuan

102

1986-1994 Putaran Uruguay Tarif, Kebijakan Non-Tarif,

Jasa, Kekayaan Intelektual,

Penyelesaian Sengketa,

Tekstil, Pertanian,

Pembentukan WTO, dll

123

2001-

Sekarang

Putaran Doha Tarif, Kebijakan Non-Tarif,

Jasa, Kekayaan Intelektual,

Penyelesaian Sengketa,

Tekstil, Pertanian, dll

145

Pada tahun-tahun awal terbentuknya GATT, putaran perdagangan GATT

di Jenewa, Annecy, dan Torquay mengkonsentrasikan perundingan pada upaya

Universitas Indonesia

5

penurunan tarif untuk mendorong perdagangan agar lebih terbuka. Putaran-

putaran perdagangan tersebut menghasilkan penurunan 45.000 tarif yang bernilai

USD 10 miliar, yang merupakan seperlima dari perdagang dunia.8 Putaran

Kennedy mulai membahas mengenai masalah dumping dan kebijakan anti-

dumping. Akan tetapi, kerangka tentang persetujuan anti-dumping tersebut

memperkenalkan prosedur dan standar untuk menghitung margin dumping dan

menentukan apakah industri domestik dirugikan atau tidak.9 Putaran Uruguay

menghasilkan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia atau

Agreement Establishing the World Trade Organization (Marrakesh Agreement),

yang memuat sejumlah persetujuan sebagai lampiran. Marrakesh Agreement

memuat kerangka umum institusional untuk menyelenggarakan hubungan dagang

di antara negara-negara anggotanya.10 Lalu, putaran ini juga melakukan

perbaharuan terhadap GATT 1947 yang mana menghasilkan GATT 1994.

Lampiran 1, 2, dan 3 Marrakesh Agreement dinamakan Persetujuan

Perdagangan Multilateral (Multilateral Trade Agreement) yang merupakan satu

kesatuan yang tak terpisahkan dari Persetujuan WTO.11 Lampiran 1 Marrakesh

Agreement terdiri dari: (i) Lampiran 1A, yaitu Persetujuan Multilateral dalam

Perdagangan Barang (Multilateral Agreements on Trade in Goods); (ii) Lampiran

1B, yaitu Persetujuan Umum dalam Perdagangan Barang (General Agreements on

Trade in Services and Annexes); (iii) Lampiran 1C, yaitu Persetujuan dalam

Aspek-aspek Perdagangan terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual (Agreement

on Trade-Related Aspects of Intellectual Property).12 Lampiran 2 Marrakesh

Agreement adalah Kesepakatan Penyelesaian Sengketa atau Understanding on

Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU). Sementara,

Lampiran 3 Marrakesh Agreement memuat Mekanisme Tinjauan Kebijakan

8 Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Sekilas WTO (World TradeOrganization), Edisi Kelima, (Jakarta: Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi, dan HakKekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri RI, 2008), hal. 6.

9 Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, Op.cit., hal. 401.

10 World Trade Organization, Agreement Establishing the World Trade Organization(Marrakesh : World Trade Organization, 1994), Pasal I:1.

11 Ibid., Pasal II:2.

12 Ibid., Daftar Lampiran.

Universitas Indonesia

6

Perdagangan (Trade Policy Review Mechanism).13 Lampiran 1, 2, 3 Marrakesh

Agreement bersifat imperatif untuk ditandatangai oleh setiap negara yang ingin

menjadi anggota WTO. Sedangkan Lampiran 4 Marrakesh Agreement yang

bernama Persetujuan Perdagangan Plurilateral (Plurilateral Trade Agreement)

bersifat fakultatif.14

Persetujuan Perdagangan Plurilateral hanya mengikat negara-negara

anggota yang telah menandatanganinya secara terpisah. Persetujuan Perdagangan

Plurilateral tidak memberikan hak dan kewajiban bagi negara-negara anggota

yang tidak menandatangani persetujuan tersebut.15 Agar Marrakesh Agreement

dan lampiran-lampirannya berjalan dengan efektif, maka WTO mempunyai sistem

penyelesaian sengketa yang diatur dalam DSU. DSU berlaku untuk konsultasi dan

penyelesaian sengketa antara negara-negara anggota mengenai hak dan kewajiban

berdasarkan Persetujuan WTO.16

Berdasarkan Marrakesh Agreement, WTO terbentuk pada tanggal 1

Januari 1995, merupakan organisasi payung (umbrella) yang bertanggung jawab

atas implementasi GATT 1994, General Agreement in Service, The Agreement on

Trade-Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPS), dan aturan WTO

lainnya. World Trade Organization (WTO) atau organisasi perdagangan dunia

adalah organisasi beranggotakan sebagian besar negara di dunia, yang berperan

dalam mengatur hubungan perdagangan internasional dalam rangka peningkatan

pembangunan ekonomi dan standar hidup bagi negara-negara anggotanya.17

Maka, WTO bertanggung jawab atas semua perjanjian multilateral dan plurilateral

yang dihasilkan dari putaran Uruguay dan perjanjian-perjanjian yang akan

dibentuk.18

13 Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, loc. cit.

14 Ibid.

15 World Trade Organization, Agreement Establishing the World Trade Organization,Pasal II:3.

16 World Trade Organization, Understanding on Rules and Procedures Governing theSettlement of Disputes (Uruguay: World Trade Organization, 1994), Pasal I:1.

17 Adolf Warouw, “Kata Pengantar”, dalam Pengantar Hukum WTO oleh Peter van denBossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,2010), hal. xi.

18 UNCTAD, Business Guide to the Uruguay Round (Geneva: 1996), hal. 33.

Universitas Indonesia

7

WTO didirikan oleh negara anggotanya dengan maksud dan tujuan

bersama yaitu:19

(1) Meningkatkan standar hidup.

(2) Memberikan lapangan pekerjaan.

(3) Pertumbuhan pendapatan dan permintaan efektif .

(4) Perkembangan produksi dan perdagangan barang dan jasa

(5) Mengusahakan perlindungan lingkungan hidup

Dalam mengejar tujuan-tujuan tersebut, ada langkah-langkah positif untuk

menjamin agar negara berkembang, khususnya yang terbelakang, mendapat

bagaian dari pertumbuhan perdagangan internasional sesuai dengan kebutuhan

pembangunan ekonomi. Selain itu, WTO juga merupakan badan internasional

yang dibentuk sebagai upaya untuk mendorong terciptanya liberisasi

perdagangan dan menghasilkan aturan-aturan perdagangan multilateral yang

transparan dan adil yang salah satunya adalah bidang perdagangan barang.20

Lalu, adapun fungsi dari WTO yang dapat dilihat dalam Pasal III dari

Marrakesh Agreement, yaitu:21

a. Memfasilitasi pelaksanaan, administrasi, dan pengoperasian serta membvantu

dalam pencapaian tujuan dari perjanjian WTO dan perjanjian-perjanjian

multilateral lainnya dan memberikan kerangka untuk pelaksanaan,

administrasi, dan operasi Plurilateral Trade Agreement

b. Menyediakan forum untuk negosiasi antara anggota-anggotanya mengenai

hubungan perdagangan serta forum untuk melakukan negosiasi selanjutnya

antara negara-negara anggotanya mengenai hubungan perdagangan

multilateral

c. Mengadministrasikan sistem penyelesaian sengketa

d. Mengadministrasikan Mekanisme Pengawasan kebijakan nasional suatu

negara di bidang perdagangan

19 World Trade Organization, Agreement Establishing the World Trade Organization,paragraf 1 mukadimah.

20 Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi, dan HKI, Direktorat JenderalMultilateral, Departemen Luar Negeri, Sekilas WTO, Edisi keempat, hal.1.

21 World Trade Organization, Agreement Establishing the World Trade Organization,Pasal III.

Universitas Indonesia

8

e. Melakukan kerjasama degan IMF (International Monetary Fund), World

Bank, dan badan-badan afiliasinya dengan maksud untuk mencapai suatu

hubungan yang lebih erat dalam pembuatan kebijakan ekonomi global

Kunci utama dalam hukum WTO adalah prinsip Non-diskriminasi. Prinsip

Non-diskriminasi merupakan prinsip yang melarang adanya diskriminasi dari

suatu negara. Pengaturan prinsip Non-diskriminasi terbagi dua macam prinsip

yaitu prinsip Most Favoured Nations (Perlakuan MFN) dan prinsip National

Treatment.22 Prinsip Non-diskriminasi melalui dua prinsip tersebut berlaku pada

barang dan jasa. Namun pada pembahasan dalam makalah ini akan memfokuskan

pada prinsip National Treatment yang berlaku terhadap barang yang diatur dalam

GATT 1994 (General Agreement on Tariffs and Trade) serta ketentuan WTO

lainnya. Menurut Pasal III GATT 1994, Prinsip National Treatment merupakan

larangan terhadap diskriminasi pada barang impor. Secara umum, prinsip ini

merupakan kewajiban yang melarang Negara anggota WTO untuk

memperlakukan produk impor kurang menguntungkan dibandingkan dengan

produk domestik yang sama, pada saat produk impor memasuki pasar domestik.23

Pada Pasal III:1 GATT 1994 memberikan ruang lingkup pengaplikasian dari

Pasal III GATT 1994 tersebut, yaitu24

a. pajak dan biaya internal

b. perundang-undangan, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi

penjualan, transportasi, distribusi, atau penggunaan barang

c. peraturan internal mengenai kuantitas dalam pencampuran, proses atau

penggunaan barang dalam proporsi tertentu

Tujuan dari Pasal III GATT 1994 ini jelas terungkap dalam putusan-

putusan panel yang memeriksa pelanggaran terhadap pasal tersebut. Misalnya

dalam laporan panel mengenai Italian Discrimination against Imported

Agricultural Machinery menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk

memperlakukan barang impor dalam cara yang sama seperti barang dalam negeri

22 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta : Raja Grafindo, 2005), hal.108

23 Peter van den Bossche, Op. cit., hal 327-328.

24 Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, Op. cit., hal. 157.

Universitas Indonesia

9

begitu barang-barang tersebut telah pabean. Lalu laporan panel tahun 1989

tentang United States Section 337 of the Tariff Act of 1930 dinyatakan bahwa

tujuan Pasal III GATT 1994 adalah untuk menjamin agar tindakan-tindakan dalam

negeri tidak dikenakan atas barang-barang impor atau pun barang domestik,

sehingga memberikan proteksi terhadap barang dalam negeri.25 Kewajiban dalam

prinsip National Treatment mencakup internal taxes (pajak internal) dan technical

regulations (peraturan teknis).26

Secara khusus, kewajiban dari prinsip National Treatment melalui

technical regulations diatur dalam salah satu annex dari GATT 1994 yaitu

Technical Barrier to Trade Agreement (TBT Agreement). Kewajiban technical

regulations ini diatur dalam Pasal 2.1 TBT Agreement yaitu negara anggota harus

mengambil ukuran wajar dalam pemberlakuan technical regulations terhadap

produk impor dari negara anggota lainnya melalui perlakuan yang tidak lebih

menguntungkan produk domestik negara tersebut yang merupakan produk yang

sama. Namun kewajiban technical regulations ini dapat dikecualikan jika produk

impor tersebut dapat mengancam keselamatan, kesehatan, dan perlindungan

lingkungan atau keamanan nasional suatu negara.27

Dalam pemberlakuan prinsip National Treatment ini masih ada

pelanggaran yang dilakukan oleh negara- negara anggota WTO. Maka, hal ini

sering menimbulkan sengketa antara para negara anggota WTO. Salah satunya

kasus WTO US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) antara Indonesia dan AS

yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan demikian, dalam skripsi ini akan

dibahas mengenai pengaturan prinsip National Treatment dalam ketentuan WTO

serta melakukan analisis terhadap kasus WTO mengenai WTO US-Clove

Cigarettes (Tobacco Control Act) yaitu dengan memperbandingkan interpretasi

prinsip National Treatment dalam putusan DSB WTO dalam kasus WTO tersebut

25 Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO (Bandung: PT RefikaAditama, 2006), hal. 97-98.

26 World Trade Organization, General Agreement on Tariffs and Trade (Uruguay: WorldTrade Organization, 1994), Pasal 3.

27 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement (Uruguay: WorldTrade Organization, 1994), Pasal 3.1.

Universitas Indonesia

10

dengan prinsip National Treatment yang diatur secara umum di dalam ketentuan

WTO.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang diatas, maka penulis telah

merumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan prinsip National Treatment sebagai prinsip Non

Diskriminasi dalam ketentuan WTO?

2. Bagaimana pengaturan prinsip National Treatment di dalam Pasal 2.1 TBT

Agreement ?

3. Bagaimana interpretasi prinsip National Treatment oleh Dispute Settlement

Body WTO dalam kasus WTO US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act)

2012?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman mengenai

pengaturan prinsip National Treatment dalam perjanjian-perjanjian WTO dan

penerapannya dalam perdagangan internasional. Penelitian ini memiliki tujuan

umum untuk mengetahui pengaturan prinsip National Treatment dalam sistem

perdagangan internasional WTO. Melalui penelitian ini masyarakat dapat

mengetahui melalui perjanjian-perjanjian internasional khususnya di WTO dan

berbagai sengketa yang telah diajukan oleh negara-negara anggota WTO kepada

DSB WTO mengenai pengaturan prinsip National Treatment di dalam sistem

perdagangan internasional. Kegiatan ekspor-impor terhadap barang telah banyak

dilakukan oleh negara-negara anggota WTO. Dalam hal ini, prinsip National

Treatment diperlukan sebagai suatu bentuk perlindungan pada barang impor yang

berada dalam suatu wilayah negara karena barang impor tersebut sangat rentan

dengan perlakuan diskriminasi dari negara tersebut. Maka dengan demikian,

penulis berharap dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai

pengaturan prinsip National Treatment di dalam sistem perdagangan internasional

WTO.

Universitas Indonesia

11

Selain itu, penelitian ini secara khusus memiliki tujuan-tujuan sebagai

berikut:

1. Memberi penjelasan mengenai pengaturan mengenai prinsip National

Treatment sebagai prinsip Non Diskriminasi dalam ketentuan WTO.

2. Memberi penjelasan mengenai pengaturan mengeni prinsip National

Treatment di dalam Pasal 2.1 TBT Agreement.

3. Memperoleh analisa mengenai interpretasi prinsip National Treatment oleh

Dispute Settlement Body WTO dalam kasus US-Clove Cigarettes (Tobacco

Control Act).

1.4 Kerangka Konsepsional

1. National Treatment (Perlakuan Nasional)

Prinsip dasar pengaturan ini adalah bahwa persamaan perlakuan harus

diberikan di dalam suatu negara, sehingga perlakuan terhadap barang asing adalah

sama seperti perlakuan terhadap barang dalam negeri sendiri. Produk atau barang

yang berasal dari luar negeri harus diperlakukan sama seperti terhadap barang

yang sama yang berasal dari dalam negeri.28

2. Prinsip Non-diskriminasi

Prinsip Non-diskriminasi atau larangan terhadap diskriminasi merupakan

kunci utama dari hukum WTO dan sering menjadi subjek sengketa perdagangan

antara anggota WTO. Ada dua prinsip utama dari prinsip Non-diskriminasi

yaitu:29

a. Prinsip Most Favoured Nation

b. Prinsip National Treatment

3. Technical Barrier to Trade (TBT)

Technical Barrier to Trade atau hambatan teknis dalam perdagangan. TBT

adalah salah satu kategori dari Non-tariff barriers, yang mana merupakan

hambatan non-tarif dalam perdagangan.30 TBT merupakan persyaratan teknis

mengenai karakteristik dan/atau proses bagaimana suatu barang diproduksi dan

28 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal III.

29 Peter van den Bossche, Op. cit., 308.

30 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 457.

Universitas Indonesia

12

bertujuan untuk melindungi kehidupan, kesehatan, perlindungan terhadap

lingkungan, pencegahan praktek yang menyesatkan atau untuk memastikan

kualitas dari barang-barang tersebut. Namun persyaratan TBT ini berpotensi

menjadi penghalang dalam perdagangan, tetapi harus diidentifikasi terlebih

dahulu apakah hal ini menjadi penghalang.31

4. Technical Regulations

Menurut Lampiran 1.1 dari TBT Agreement dan kasus-kasus WTO

mengenai peraturan teknis, suatu tindakan dapat dianggap sebagai ‘technical

regulations’ jika:32

a. Tindakan tersebut berlaku pada suatu produk atau sekelompok produk

yang bisa diidentifikasikan

b. Tindakan tersebut menyebutkan karakteristik dari produk dan/atau proses

atau cara produksi yang berkaitan dengan produk tersebut

c. Tindakan tersebut adalah wajib berkaitan dengan kepatuhan pada

karakteristik barang

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam membahas permasalahan

yang telah dipaparkan sebelumnya adalah penelitian hukum normatif dimana

dalam penelitian ini pengolahan data berarti kegiatan untuk mengadakan

sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang mengacu kepada norma

hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada.33 Jenis

penelitian menggunakan tipe penelitian deskriptif dan eksplanatoris berdasarkan

kajian terhadap bahan pustaka hukum dan bahan tersier lainnya. Penelitian

deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat

suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan

31 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 458.

32 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade, Lampiran 1.1 dan EC –Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 67–70 (Appellate Body Report. 2001).; dan EC – Sardines,WT/DS231/AB/R, para. 176 (Appellate Body Report. 2002).

33 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta : Badan PenerbitFakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 68.

Universitas Indonesia

13

frekuensi suatu gejala, sedangkan penelitian eksplanatoris adalah penelitian yang

menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam suatu gejala.34

Dengan menggunakan metode normatif maka alat pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah alat studi dokumen atau studi pustaka.

Pengumpulan data akan dilakukan terhadap bahan-bahan pustaka hukum yang ada

dengan cara dipelajari dan dikaji untuk memperoleh data dan informasi. Bahan-

bahan pustaka hukum tersebut meliputi ketentuan perundang-undangan, buku,

artikel jurnal ilmiah, laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan bahan-bahan cetak

lainnya yang berkaitan dengan topik yang dikaji. Bahan-bahan pustaka tersebut

merupakan data primer dan data sekunder.35 Pada penelitian ini data primer yang

akan dipakai adalah perjanjian-perjanjian internasional yang berkaitan dengan

National Treatment dan WTO. Sebagai data primer, penulis juga akan

mempergunakan metode wawancara. Wawancara informan yang akan

diwawancarai berasal dari kalangan akademis dan praktisi dari institusi terkait.

Bahan-bahan data sekunder yang akan digunakan adalah artikel jurnal ilmiah dan

laporan-laporan lainnya yang berkaitan dengan pengaturan National Treatment di

dalam WTO. Selain itu, akan pula digunakan bahan pustaka tersier yang dapat

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap sumber primer atau sumber

sekunder yaitu kamus, penerbitan pemerintah, ensiklopedia, dan lain-lain.

1.6 Sistematika Penulisan

Makalah ini disusun dengan sistematika berikut :

BAB I : Pendahuluan

Bab I merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang

permasalahan, tujuan penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka

konsepsional, metode penelitian, kegunaan teoritis dan praktis, dan sistematika

penulisan dari penelitian ini.

BAB II : Prinsip National Treatment sebagai prinsip Non-diskriminasi

34 Ibid., hal. 4.

35 Ibid., hal. 68.

Universitas Indonesia

14

Bab 2 akan membahas pengaturan prinsip National Treatment sebagai

prinsin Non-diskriminasi dalam sistem perdagangan di WTO. Pembahasan

terhadap prinsip National Treatment akan difokuskan pada pengaturannya secara

umum di dalam Pasal III GATT 1994. Prinsip National Treatment di dalam Pasal

III GATT 1994 dibagi dalam dua jenis kewajiban yaitu internal taxes dan

technical regulations

BAB III : Prinsip National Treatment dalam Pasal 2.1 Technical Barrier to trade

Agreeement (TBT Agreement)

Bab 3 akan membahas pengaturan prinsip National Treatment dalam

psasal 2.1 TBT Agreement. Pembahasan Prinsip National Treatment di dalam

pasal 2.1 TBT Agreement akan dikhususkan pada pengaturan National Treatment

melalui technical regulations.

BAB IV : Analisis Putusan Dispute Settlement Body WTO pada Kasus WTO US-

Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) 2012 mengenai Prinsip National

Treatment

Bab 4 akan membahas prinsip National Treatment melalui kasus WTO

US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) antara Indonesia dan AS.

Pembahasan ini akan menganalisa interpretasi prinsip National Treatment dari

DSB WTO dalam kasus WTO tersebut dengan membandingkannya dengan

prinsip National Treatment yang diatur dalam ketentuan WTO.

BAB V : Penutup

Pada bagian akhir penulisan yaitu Bab 5 sebagai penutupan yang akan

diberikan kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan disertai

dengan saran-saran.

Universitas Indonesia

BAB 2

PRINSIP NATIONAL TREATMENT SEBAGAI PRINSIP NON

DISKRIMINASI

2.1 Pendahuluan

Prinsip Non-diskriminasi atau larangan terhadap diskriminasi merupakan

kunci utama dari hukum WTO dan sering menjadi subjek sengketa perdagangan

antara anggota WTO. Ada dua prinsip utama dari prinsip Non-diskriminasi

yaitu:36

c. Prinsip Most Favored Nations

d. Prinsip National Treatment

Kedua prinsip utama ini berlaku dalam perdagangan produk barang dan jasa.

Dalam terminologi yang sederhana, prinsip Most Favored Nations melarang suatu

negara melakukan diskriminasi antara barang, jasa, atau pemberi jasa berdasarkan

asal negara asing yang berbeda; prinsip National Treatment melarang suatu

negara melakukan diskriminasi terhadap barang, jasa, atau pemberi jasa dari

negara lain dengan barang, jasa, pemberi jasa lokal.37 Pentingnya menghilangkan

diskriminasi dalam konteks WTO dijelaskan dalam Mukadimah dari Marrakesh

Agreement yang mana ‘penghapusan perlakuan diskriminatif dalam hubungan

perdagangan internasional’ diidentifikasikan sebagai salah satu cara utama yang

digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan WTO.38

Peraturan-peraturan mengenai prinsip Non-diskriminasi yang terpenting

dalam WTO Agreement39 adalah :

36 Peter van den Bossche, loc. cit.

37 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, PengantarHukum WTO (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010), hal. 8.

38 Peter van den Bossche, loc. cit.

39 Ibid.

Universitas Indonesia

16

a. Pasal I GATT 1994 (prinsip Most Favored Nations atas barang)

b. Pasal III GATT 1994 (prinsip National Treatment atas barang)

c. Pasal II GATS (prinsip Most Favored Nations atas jasa)

d. Pasal XVII GATS (prinsip National Treatment atas jasa)

Selain itu, hukum WTO juga memberikan pengecualian terhadap peraturan-

peraturan dasarnya termasuk prinsip Most Favored Nations dan prinsip National

Treatment. Pengecualian ini penting dalam hukum dan kebijakan WTO karena

mereka memungkinkan untuk dilakukannya ‘rekonsiliasi’ terhadap liberisasi

perdagangan dengan nilai-nilai ekonomi dan non-ekonomi serta kepentingan

lain.40

Jackson menjelaskan pengertian dari prinsip National Treatment dalam

GATT 1994, yaitu barang impor akan diperlakukan sama dengan barang domestik

dalam hal yang berada dalam kontrol pemerintah, seperti perpajakan dan

peraturan.41 Lalu menurut Jackson, karena kewajiban National Treatment secara

langsung mempengaruhi tindakan internal pemerintah, maka hal ini semakin cepat

terlibat dalam politik domestik dibandingkan kewajiban GATT 1994 yang lain

dan kewajiban National Treatment menjadi sering untuk dilanggar.42 Kemudian,

pengaturan prinsip National Treatment dalam hukum WTO tidak hanya ada

dalam Pasal III GATT 1994, namun juga ada dalam Pasal 3 TRIPS dan Pasal

XVII GATS. Pada Pasal III GATT 1994 Prinsip National Treatment mengatur

persamaan perlakuan harus diberikan di dalam suatu negara, sehingga perlakuan

terhadap barang asing adalah sama seperti perlakuan terhadap barang dalam

negeri sendiri. Produk atau barang yang berasal dari luar negeri harus

diperlakukan sama seperti terhadap barang yang sama yang berasal dari dalam

negeri.43 Lalu, dalam Pasal 3 TRIPS, setiap anggota negara wajib memberikan

warga negara anggota lainnya perlakuan tidak kurang menguntungkan daripada

yang diberikannya kepada warga negaranya sendiri berkaitan dengan

40 Ibid., hal. 309.

41 John H. Jackson, World Trade and the Law of GATT (Indianapolis: Bobbs-MerrillCompany, 1969), hal. 273.

42 Ibid., hal. 274.

43 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal III.

Universitas Indonesia

17

perlindungan hak kekayaan intelektual, mengenai pengecualiannya ada dalam,

Konvensi Paris untuk perlindungan Kekayaan Industri (1967), Konvensi Berne

untuk Perlindungan Karya Seni dan Sastra (1971), Konvensi Roma untuk

Perlindungan Pelaku, Produser Rekaman dan Organisasi Penyiaran atau

Perjanjian Washington tentang HAKI atas Rangkaian Elektronik Terpadu. Dalam

Pasal XVII GATS untuk jasa, prinsip National Treatment (serta akses pasar)

bukan merupakan kewajiban umum, karena hanya diberikan pada sektor yang

didaftarkan oleh negara anggota dalam program nasional mengenai "komitmen

yang spesifik". Sedangkan dalam jasa (GATS), prinsip ini menyiratkan

ketiadaannya semua tindakan diskriminatif yang dapat mengubah kondisi

persaingan dalam menguntungkan jasa dan penyedia jasa domestik dibandingkan

dengan jasa dan penyedia jasa asing yang sejenis.44

Namun pada bab kedua ini akan dibahas mengenai prinsip National

Treatment atas barang yang merupakan bagian dari prinsip Non-diskriminasi

berdasarkan pengaturannya dalam Pasal III GATT 1994. Aturan dasar dalam

Pasal III GATT 1994 mengenai National Treatment adalah bahwa tidak ada

perundang-undangan, peraturan, atau sistem perpajakan yang menyebabkan

perubahan yang merugikan pada iklim kompetisi antara barang impor dan barang

domestik dalam pasar domestik.45 Pasal III GATT 1994 ini memberikan

konstruksi yang komprehensif dalam ruang lingkupnya. Dalam Pasal III:1 GATT

1994, dijelaskan mengenai lingkup keberlakuan dari Pasal III GATT 1994 yang

terdiri dari: (1) pajak dan biaya internal; (2) perundang-undangan, peraturan, dan

persyaratan yang mempengaruhi penjualan, transportasi, distribusi, atau manfaat

dari barang; dan (3) peraturan kuantitatif internal yang mewajibkan campuran,

pemprosesan atau penggunaan barang dalam porsi tertentu.46 Selain itu, prinsip

Non-diskriminasi dalam Pasal III GATT 1994 juga mencakup diskriminasi de

44 World Trade Organization, “Non Discrimination Principles and Specific Exceptions”,https://etraining.wto.org/admin/files/Course.../INTRO-M7-R3-E.doc, diunduh 31 Maret 2013.

45 Italian Discrimination Against Imported Agricultural Machinery, dalam GATT B.I.S.D(7th Supp.) (1959), hal.60, para. 12.

46 Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, Op. cit., hal. 157.

Universitas Indonesia

18

jure dan diskriminasi de facto.47 Pajak internal yang spesifik atau regulasi yang

secara eksplisit melakukan diskriminasi terhadap barang impor merupakan contoh

dari diskriminasi de jure. Lalu sebaliknya, tindakan internal yang terlihat netral

namun berlaku untuk merugikan barang asing merupakan diskriminasi de facto.

Walaupun Pasal III GATT 1994 tidak menjelaskan mengenai perbedaan antara

diskriminasi de jure dan de facto tersebut, yurisprudensi dari kasus-kasus di WTO

telah mengakui ilegalitas dari kedua jenis diskriminasi tersebut.48

Lalu, Pasal III GATT 1994 berlaku tidak hanya pada pemerintah pusat,

namun juga pada pemerintah daerah.49 Dijelaskan secara berbeda, kewajiban

National Treatment adalah secara ‘horizontal’ dan ‘vertikal’. Kewajiban ini

berlaku secara ‘horizontal’ diseluruh departemen, kementerian, kantor, dan juga

pada tingkatan tertentu pemerintah, seperti tingkat pusat.50 Selanjutnya, kewajiban

prinsip National Treatment dalam Pasal III GATT 1994 mencakup 2 hal yaitu

pajak internal (Pasal III:2 GATT 1994) dan regulasi internal (Pasal III:4 GATT

1994). Dalam hal kewajiban prinsip National Treatment dalam pajak internal,

maka penerapannya tidak hanya pada barang yang sejenis/like products (Pasal

III:2, kalimat pertama GATT 1994) tapi juga pada barang yang secara langsung

bersaing dalam pasar atau barang substitusi/directly competitive or substitutable

product (Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994).51

47 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. cit., hal.17.

48 Sherzod Shadikhodjaev, “National Treatment under GATT Article III:2 and itsApplicability in the Context of Korea’’s FTAs*”, dalam Journal of International EconomicStudies Vol. 12, No. 1, June 2008 (Juni 2008): hal. 65.

49 Kenneth W. Dam, The GATT : Law and International Economic Organization(Chicago: University of Chicago Press, 1970), hal. 124-129.

50 Raj Bhala, Modern GATT Law : A Treatise on the General Agreement on Tariffs andTrade (London: Sweet &Maxwell, 2005), hal. 102.

51 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, loc.cit.

Universitas Indonesia

19

2.2 Prinsip National Treatment dalam Pasal III:2 GATT 1994

2.2.1 Pengaturan Prinsip National Treatment dalam Pasal III:2, kalimat

pertama GATT 1994

Prinsip National Treatment dalam Pasal III: 2, kalimat pertama GATT

1994:

“The products of the territory of any contracting party importedinto the territory of any other contracting party shall not besubject, directly or indirectly, to internal taxes or other internalcharges of any kind in excess of those applied, directly orindirectly, to like domestic products.”52

Ketentuan ini menjelaskan bahwa barang-barang yang berasal dari setiap

negara anggota yang diimpor ke dalam wilayah teritori negara anggota lainnya

tidak boleh dikenakan, secara langsung atau tidak langsung, untuk pajak internal

atau biaya internal lainnya apapun melebihi yang diterapkan, dan secara langsung

atau tidak langsung, untuk barang yang sejenis dengan barang domestik.53

Pengaturan prinsip National Treatment dalam ketentuan ini berlaku pada pajak

internal suatu negara, sehingga dalam menentukan suatu pajak internal negara

anggota tidak konsisten dengan ketentuan ini maka dapat disimpulkan ada tiga hal

dalam ketentuan ini yang harus diperhatikan54:

i . Ketentuan yang dimaksud adalah pajak internal (internal taxes) yang secara

langsung atau tidak langsung diterapkan pada produk-produk

Pajak yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah pajak-pajak internal dan

biaya-biaya internal yang diterapkan terhadap barang-barang. Pajak internal

tersebut terbagi menjadi dua macam yaitu pertama, pajak yang diterapkan

secara langsung pada sebuah barang; kedua, pajak yang diterapkan secara

tidak langsung, dimana pajak tersebut diterapkan terhadap sesuatu yang

berhubungan dengan barang tersebut, seperti proses produksi yang diterapkan

52 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal III:2,kalimat pertama.

53 Pernyataan ini berdasarkan terjemahan peneliti. Versi bahasa inggris terdapat dalamPasal III:2, kalimat pertama GATT 1994.

54 Japan – Alcoholic Beverages II, WT/DS8/AB/R, WT/DS10/AB/R, WT/DS11/AB/R,hal. 19 (Appellate Body Report. 1996).

Universitas Indonesia

20

pajak tersebut. Contoh-contoh dari pajak internal adalah pajak pertambahan

nilai (PPN) dan pajak cukai.55

ii . Barang yang diimpor dan barang-barang domestik tersebut merupakan barang

sejenis (like products)

Konsep ‘like products’ ini digunakan dalam Pasal I:1 GATT 1994 (Prinsip

Most Favoured Nations), Pasal III:2 GATT 1994 dan Pasal III:4 GATT 1994

(Prinsip National Treatment).56 Berdasarkan Appellate Body Report pada

Japan-Alcoholic Beverages II, menyatakan bahwa konsep ‘like products’

menurut pasal III:2, kalimat pertama GATT 1994 harus diinterpretasikan

secara sempit karena didalam Pasal III:2 kalimat kedua GATT 1994 terdapat

konsep ‘directly competitive or substitutable products’.57 Dengan demikian,

Appellate Body memberikan faktor-faktor dalam menentukan ‘like products’

berdasarkan the 1970 Report of the Working Party on Border Tax

Adjustments58:

a. Karakteristik fisik barang (physical properties, nature, and quality)

b. Kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang (consumers’ tastes and

habits)

c. Kegunaan akhir dari barang (the product’s end-uses in a given market)

d. Sebagai tambahan, adalah faktor klasifikasi tarif internasional dari barang

tersebut59

iii . Barang yang diimpor diterapkan pajak yang melebihi (taxed in excess of) dari

barang-barang domestik

Berdasarkan Pasal III:2, kalimat pertama GATT 1994, pajak internal terhadap

barang impor tidak boleh melebihi dari pajak internal terhadap barang ‘like’

domestik. Pada Japan-Alcoholic Beverages II, Appellate Body membentuk

55 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. cit., hal.18.

56 Ibid, hal. 11.

57 Japan-Alcoholic Beverages II, WT/DS8/AB/R, WT/DS10/AB/R, WT/DS11/AB/R,para. 112-113.

58 Report of the Working Party on Border Tax Adjustments, BISD 18S/97, para. 18.

59Japan-Customs Duties, Taxes and Labelling Practices on Imported Wines and AlcoholicBeverages, BISD 34S/83, para. 5.6 (GATT Panel Report. 1987).

Universitas Indonesia

21

patokan untuk persyaratan ‘in excess of’.60 Appellate Body menyebutkan

bahwa bahkan jumlah terkecil dari ‘excess’ itu sudah dianggap melebihi.

Larangan terhadap pajak yang mendiskriminasi tersebut dalam Pasal III:2,

kalimat pertama GATT 1994, tidak bergantung pada uji efek perdagangan

dan juga tidak ditentukan oleh standar a de minimis.61 Dalam Japan-Customs

Duties, Taxes and Labelling Practices on Imported Wines and Alcoholic

Beverages, Panel menegaskan bahwa Pasal III: 2, kalimat pertama GATT

1994 mengharuskan adanya perbandingan beban pajak yang sebenarnya

bukan hanya beban nominal pajak. Panel menyatakan bahwa hal ini

diperlukan mengingat tujuan Pasal III: 2, kalimat pertama GATT 1994,

adalah untuk memastikan adanya kesetaraan dalam “kondisi persaingan

antara barang impor dan barang domestik yang sejenis”. Dengan demikian,

Pasal III: 2, kalimat pertama GATT 1994, tidak hanya memperhatikan suatu

pajak atau biaya atau tujuan kebijakan negara anggota mengenai hal tersebut,

tetapi juga pada dampak ekonomi dari hal tersebut terhadap peluang

kompetitif barang impor dan barang domestik yang sejenis. Maka, apa yang

harus dibandingkan adalah beban pajak yang diberlakukan pada barang

dikenakan pajak. Panel menganggap bahwa Pasal III: 2, kalimat pertama

GATT 1994, memerlukan perbandingan beban pajak yang sebenarnya bukan

hanya dari beban pajak nominal. Sebaliknya, negara anggota dapat dengan

mudah bisa menghindari peraturan tersebut. Jadi, walaupun barang impor dan

barang domestik dikenakan tarif pajak yang identik, beban pajak yang

sebenarnya masih bisa lebih berat pada barang impor. Hal ini dapat menjadi

masalah, misalnya, metode komputasi dasar pengenaan pajak yang berbeda

menyebabkan membesarnya beban pajak yang sebenarnya pada barang

impor. Sehubungan dengan metode komputasi dasar pengenaan pajak, bahwa

dalam menilai apakah ada diskriminasi pajak, akun yang akan diambil tidak

hanya dari tingkat pajak internal yang berlaku, tetapi juga dari metode

perpajakan (misalnya berbagai jenis pajak internal, pajak langsung dari

60 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 338.

61Japan-Alcoholic Beverages II, WT/DS8/AB/R, WT/DS10/AB/R, WT/DS11/AB/R,para. 115.

Universitas Indonesia

22

barang jadi atau tidak langsung perpajakan dengan mengenakan pajak pada

bahan baku yang digunakan dalam barang selama berbagai tahap produksi)

dan aturan untuk pemungutan pajak (misalnya dasar penilaian).62 Lalu negara

anggota yang menerapkan pajak yang lebih tinggi pada barang impor dalam

beberapa situasi, tetapi 'menyeimbangkan' hal ini dengan menerapkan pajak

yang lebih rendah pada barang-barang impor dalam situasi lain juga

merupakan tindakan yang tidak konsisten dengan prinsip National Treatment

dalam Pasal III: 2, kalimat pertama GATT 1994.63

2.2.2 Pengaturan Prinsip National Treatment dalam Pasal III:2, kalimat

kedua GATT 1994

Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994 menyebutkan:

“Moreover, no contracting party shall otherwise apply internaltaxes or other internal charges to imported or domestic products ina manner contrary to the principles set forth in paragraph 1.”64

Ketentuan ini merupakan pengaturan selanjutnya dari Pasal III:2, kalimat

pertama GATT 1994 yang menyatakan tidak ada anggota yang akan sebaliknya

memberlakukan pajak internal atau biaya internal lainnya pada barang impor

maupun domestik dengan cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang

ditetapkan dalam ayat 1.65 Prinsip National Treatment yang terdapat dalam Pasal

III:2, kalimat kedua GATT 1994 berhubungan dengan pajak internal yang

diterapkan pada barang yang secara langsung bersaing dalam suatu pasar atau

barang substitusi.66 Kemudian, dalam membaca ketentuan dalam Pasal III:2,

kalimat kedua GATT 1994 harus dibaca bersamaan dengan Pasal tambahan dari

62 Japan-Customs Duties, Taxes and Labelling Practices on Imported Wines andAlcoholic Beverages, BISD 34S/83, para. 5.8.

63 Peter van den Bossche, Op. cit, hal. 339.

64 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal III:2,kalimat kedua.

65 Pernyataan ini adalah terjemahan peneliti. Versi bahasa inggris terdapat dalam PasalIII:2, kalimat kedua GATT 1994.

66 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. cit., hal.19.

Universitas Indonesia

23

Pasal III:2 GATT 1994 untuk memberikan pengertian dari Pasal III:2, kalimat

kedua yang sewajarnya.67 Pasal tambahan tersebut menyebutkan:

“A tax conforming to the requirement of the first sentence ofparagraph 2 would be considered to be inconsistent with theprovisions of the second sentence only in cases where competitionwas involved between, on the one hand, the taxed product and, onthe other hand, a directly competitive or substitutable productwhich was not similarly taxed.”

Ketentuan ini menyatakan bahwa suatu pajak sesuai dengan persyaratan dalam

kalimat pertama dalam ayat kedua akan dianggap tidak konsisten dengan

ketentuan dalam kalimat kedua hanya dalam kasus dimana kompetisi terlibat

antara, disatu sisi, barang yang dikenakan pajak dan, di sisi lain barang yang

langsung bersaing atau bersubstitusi yang tidak dikenakan pajak yang sama.

Dalam menguji apakah suatu pajak internal dari anggota WTO tidak konsisten

dengan Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994, maka ada empat hal yang harus

diperhatikan yaitu:68

i . Ketentuan yang dimaksud adalah pajak internal (internal taxes) yang secara

langsung ataupun tidak langsung diterapkan pada barang-barang tersebut

Konsep dari pajak internal dan biaya internal dalam Pasal III:2, kalimat kedua

GATT 1994 memiliki elemen yang tidak berbeda dengan kalimat pertama

dari Pasal III:2 GATT 1994.69

ii . Barang impor dan domestik tersebut adalah barang yang secara langsung

bersaing dalam suatu pasar atau barang substitusi (directly competitive atau

substitutable products)

Prinsip National Treatment pada Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994,

berlaku untuk ‘directly competitive atau substitutable products’. Dengan

memperhatikan hubungan antara konsep ‘like products’ Pasal III:2, kalimat

67 John H. Jackson, William J. Davey, dan Alan O. Sykes, Jr, Legal Problems ofInternational Economic Relations, Fourth Edition (St. Paul : West Publishing Co, 2002), hal. 498.

68 Japan-Alcoholic Beverages II, WT/DS8/AB/R, WT/DS10/AB/R, WT/DS11/AB/R, hal.24.

69 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 342.

Universitas Indonesia

24

pertama GATT 1994, dan konsep ‘directly competitive or substitutable

products’ produk Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994, Appellate Body

dalam Japan-Alcoholic Beverages II70 menyatakan bahwa ‘like products’

adalah barang yang tergolong sebagai ‘directly competitive or substitutable

products’; semua barang seperti ini, menurut definisi, adalah ‘directly

competitive or substitutable products’, namun tidak semua ‘directly

competitive or substitutable products’ merupakan ‘like products’. Maka,

pendapat terhadap ‘like products’ harus ditafsirkan secara sempit tapi

kategori ‘directly competitive or substitutable products’ ditafsirkan lebih luas.

Sehubungan dengan faktor-faktor yang juga harus diperhitungkan untuk

menentukan barang tersebut ‘directly competitive or substitutable products’,

Appellate Body dalam Japan-Alcoholic Beverages II menyebutkan bahwa

faktor-faktor ini termasuk, selain karakteristik fisik (physical characteristic),

kegunaan akhir (common end-use) dan tarif klasifikasi (tariff classification),

sifat dari barang-barang yang dibandingkan, dan kondisi kompetitif di pasar

yang bersangkutan.71 Appellate Body mengganggap analisis terhadap kondisi

kompetitif dalam pasar dan secara khusus, elastisitas silang (cross-price

elasticity of demand), dapat sebagai sarana untuk menentukan suatu barang

‘directly competitive or substitutable products’. Kemudian, Japan-Alcoholic

Beverages II,72 menjelaskan lebih jauh, mengenai studi mengenai elastisitas

silang yang melibatkan penilaian permintaan laten. Studi tersebut mencoba

untuk memprediksi perubahan pemintaan yang dihasilkan perubahan harga

suatu barang, seperti, karena perubahan beban pajak relatif terhadap barang

domestik dan impor.

iii . Barang-barang tersebut tidak diterapkan pajak yang sama (not similarly

taxed)

Unsur berikutnya dari Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994, adalah apakah

produk pada masalah ‘not similarly taxed’. Untuk memberikan pengertian

70 Japan-Alcoholic Beverages II, WT/DS8/AB/R, WT/DS10/AB/R, WT/DS11/AB/R, hal.23. (menyetujui laporan Panel dalam para. 6.22).

71 Ibid., para. 117.

72 Ibid., hal. 25.

Universitas Indonesia

25

mengenai pembedaan dalam penulisan Pasal III:2, kalimat pertama GATT

1994 dan Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994, frase ‘not similarly taxed’

dalam Pasal tambahan pada kalimat kedua tidak boleh diberikan pengertian

yang sama dengan frase ‘in excess of’ yang ada dalam kalimat pertama.73

Maka, berdasarkan Pasal III: 2, kalimat pertama GATT 1994, bahkan pajak

yang berbeda sedikit mengarah pada kesimpulan bahwa pajak internal yang

dikenakan pada barang impor tidak konsisten dengan prinsip National

Treatment, sedangkan berdasarkan Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994,

perbedaan pajak harus lebih dari de minimis untuk dapat menyimpulkan

bahwa pajak internal yang dikenakan pada barang impor adalah tidak sesuai

dengan prinsip National Treatment.74 Persyaratan ‘not similarly taxed’

terpenuhi walaupun hanya beberapa barang impor yang tidak dikenakan pajak

yang sama dengan barang domestik, sedangkan barang impor yang lainnya

dikenakan pajak yang sama. Dalam Japan-Alcoholic Beverages II,75

Appellate Body menyatakan ketidaksamaan perpajakan terhadap beberapa

barang impor yang dibandingkan dengan barang domestik yang ‘directly

competitive or substitutable products’ merupakan ketidakkonsistenan dengan

ketentuan Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994.

iv . Ketidaksamaan pajak tersebut mengakibatkan perlindungan terhadap

produksi domestik (so as to afford protection to domestic productions)

Dalam Japan-Alcoholic Beverages II, Appellate Body menyebutkan terdapat

perbedaan antara elemen ‘apakah barang tersebut tidak dikenakan pajak yang

sama’ (‘not similarly taxed’) dan ‘apakah pajak tersebut diberlakukan untuk

melindungi produksi domestik’ (so as to afford protection to domestic

productions’). Hal ini merupakan sesuatu yang terpisah yang harus ditangani

secara individual. Jika barang-barang yang secara ‘directly competitive or

substitutable products’ tidak diterapkan pajak yang berbeda, maka tidak

diperlukan justifikasi berdasarkan Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994,

73 John H. Jackson, William J. Davey, dan Alan O. Sykes, Jr, Op. cit., hal. 499.

74 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 346.

75 Japan-Alcoholic Beverages II, WT/DS8/AB/R, WT/DS10/AB/R, WT/DS11/AB/R, hal.27.

Universitas Indonesia

26

untuk memeriksa apakah pajak tersebut berlaku ‘so as to afford protection to

domestic productions’. Namun, jika barang-barang tersebut tidak diterapkan

pajak yang sama, maka pemeriksaan selanjutnya harus dilanjutkan.76 Untuk

menentukan apakah pemberlakuan pajak dilakukan untuk memberikan

perlindungan terhadap produksi domestik, Appellate Body dalam Japan-

Alcoholic Beverages II menyatakan bahwa pemeriksaannya adalah apakah

perpajakan yang berbeda telah diterapkan, sehingga mampu memberikan

perlindungan yang membutuhkan analisis yang komprehensif dan obyektif

terhadap struktur dan penerapan pajak yang dimaksud terhadap barang

domestik yang dibandingkan dengan barang impor. Pemberlakuan dari

tindakan perlindungan ini dapat dibedakan melalui desain, arsitektur, dan

struktur yang mengungkapkan suatu tindakan.77 Maka, untuk menentukan

apakah pemberlakuan pajak memberikan perlindungan pada produksi

domestik harus diperiksa melalui kriteria pemberlakuan, struktur,

pemberlakuan secara menyeluruh dibandingkan memeriksa dari tujuan

subjektif dari regulator. Lalu, melihat relevansi maksud dari legislator atau

regulator, Appellate Body dalam Japan-Alcoholic Beverages II menyatakan

bahwa suatu tindakan pajak yang diterapkan untuk melindungi produksi

domestik, bukanlah masalah niat dari legislator atau regulator. Jika suatu

tindakan yang diterapkan terhadap barang impor atau domestik, sehingga

dapat memperoleh perlindungan pada produksi domestik, maka tidak peduli

apakah ada keinginan untuk melindungi produksi domestik oleh legislator

atau regulator yang memberlakukan tindakan tersebut. Hal ini tidak relevan

karena proteksionisme bukanlah tujuan yang dimaksudkan jika tindakan

pajak tertentu dipertanyakan namun, menurut Pasal III:1 GATT 1994,

‘pemberlakuan terhadap barang impor atau barang domestik untuk

memperoleh perlindungan terhadap produksi domestik’. Ini merupakan

masalah bagaimana suatu tindakan yang dipertanyakan dapat berlaku.78

76 Ibid., para. 119.

77 Ibid., para. 120.

78 Ibid., para. 119.

Universitas Indonesia

27

2.3 Prinsip National Treatment dalam Pasal III:4 GATT 1994

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, prinsip National

Treatment dalam Pasal III GATT 1994 mencakup tidak hanya pajak internal,

tetapi juga regulasi internal. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal III:4

GATT 1994. Pasal III:4 GATT 1994 berbunyi sebagai berikut :

“The products of the territory of any contracting party importedinto the territory of any other contracting party shall be accordedtreatment no less favorable than that accorded to like products ofnational origin in respect of all laws, regulations and requirementsaffecting their internal sale, offering for sale, purchase,transportation, distribution or use. The provisions of thisparagraph shall not prevent the application of differential internaltransportation charges which are based exclusively on theeconomic operation of the means of transport and not on thenationality of the product.”79

Ketentuan ini menyatakan bahwa barang-barang dari wilayah setiap negara

anggota yang diimpor ke dalam suatu wilayah negara anggota yang lain harus

diberikan perlakuan yang tidak kurang menguntungkan dari yang diberikan

kepada barang domestik dengan melalui semua perundang-undangan, peraturan,

dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan internal mereka, penawaran untuk

penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau penggunaan. Ketentuan ini

tidak akan menghalangi penerapan diferensiasi biaya transportasi internal yang

didasarkan secara khusus pada kegiatan ekonomi dalam hal sarana transportasi

dan bukan pada kewarganegaraan barang tersebut.80

Berdasarkan Appellate Body dalam Korea-Various Measure on Beef,

dalam ketentuan ini terdapat tiga elemen yang menentukan apakah suatu aturan

konsisten/tidak dengan prinsip National Treatment yang ada dalam Pasal III:4

GATT 1994, yaitu:81

79 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal III:4.

80 Pernyataan ini adalah terjemahan peneliti. Versi bahasa inggris terdapat dalam PasalIII:4 GATT 1994.

81 Korea–Various Measures on Beef, WT/DS161/AB/R, para. 133, (Appellate BodyReport. 2001).

Universitas Indonesia

28

i . Aturan yang dipermasalahkan merupakan perundang-undang, peraturan, atau

persyaratan (laws, regulations or requirements) yang termasuk dalam Pasal

III:4 GATT 1994

Pasal III:4 GATT 1994 berkaitan mengenai ‘all laws, regulations and

requirements affecting their internal sale, offering for sale, purchase,

transportation, distribution or use’. Secara umum, prinsip National

Treatment Pasal III:4 GATT 1994 berlaku untuk peraturan yang

mempengaruhi penjualan dan penggunaan barang.82 Dalam Italy-Agricultural

Machinery,83 Panel berpendapat bahwa ketentuan ayat 4 ini tidak hanya

diberlakukan terhadap perundang-undangan dan peraturan yang secara

langsung berpengaruh pada kondisi penjualan atau pembelian, tetapi juga

berlaku perundang-undangan dan peraturan yang merugikan yang mana

memodifikasi kondisi persaingan antara barang impor dan domestik dalam

pasar internal. Kemudian dalam Canada-Autos,84 Panel menyatakan bahwa

suatu tindakan dapat dianggap sebagai tindakan yang berpengaruh, yaitu

mempengaruhi penjualan internal atau penggunaan barang impor meskipun

tidak menunjukkan bahwa pada saat tersebut tindakan tersebut berdampak

terhadap keputusan pihak swasta untuk membeli barang impor. Sampai saat

ini, sebagian besar kasus yang melibatkan Pasal III:4 GATT 1994 umumnya

mengenai ‘laws and regulations’ yang berlaku, Pasal III:4 GATT 1994 juga

mencakup ‘requirements’ yang hanya berlaku pada kasus tertentu saja.

Dengan demikian, Pasal III:4 GATT 1994 mencakup pada tindakan yang

berlaku terhadap seluruhnya dan tindakan yang berlaku pada kasus tertentu

saja. Pertanyaan yang sering muncul terhadap istilah ‘requirements’ dalam

arti Pasal III:4 GATT 1994, apakah pemerintah memberlakukan persyaratan,

atau suatu tindakan yang dilakukan oleh pihak swasta yang dapat membentuk

‘requirements’ yang Pasal III:4 GATT 1994 berlaku. Dalam Canada-Autos,85

Panel memeriksa komitmen dari produsen mobil Canada untuk meningkatkan

82 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 350.

83 Italy–Agricultural Machinery, BISD 7S/60, para. 12, (GATT Panel Report. 1958).

84 Canada – Autos, WT/DS139/R, WT/DS/42/R, para. 10.80, (Panel Report. 2000).

85 Ibid., para. 10.106–10.107.

Universitas Indonesia

29

nilai tambah terhadap mobil Canada mereka sendiri. Komitmen ini

dikomunikasikan melalui surat yang dialamatkan kepada Pemerintah Canada.

Maka, Panel mengkualifikasikan komitmen seperti ini sebagai ‘requirements’

yang terdapat dalam Pasal III:4 GATT 1994. Untuk mengualifikasikan suatu

tindakan swasta sebagai suatu ‘requirements’ menurut Pasal III:4 GATT

1994, maka berhubungan dengan tindakan tersebut, seorang negara anggota

tidak dapat melakukan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap

barang impor dibandingkan dengan barang domestik. Dalam menentukan

apakah suatu tindakan swasta dapat dianggap sebagai ‘requirements’ menurut

Pasal III:4 GATT 1994, maka harus dilakukan pencarian apakah ada

hubungan sebab akibat antara tindakan tersebut dan tindakan pemerintah,

sehingga pemerintah harus bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Namun,

adanya hubungan sebab akibat tersebut tidak ditentukan hanya jika

pemerintah menjadikan usaha dari pihak swasta memiliki kekuatan hukum

atau pemerintah memberikan keuntungan kepada usaha pidak swasta. Dalam

hal ini, harus disadari bahwa dalam menerapkan konsep ‘requirements’

menurut Pasal III:4 GATT 1994 pada kondisi yang melibatkan tindakan pihak

swasta, hal ini harus diikuti dengan memperhitungkan bentuk-bentuk

tindakan pemerintah yang bervariasi yang mana efektif dalam mempengaruhi

tindakan dari pihak swasta. Singkatnya, tindakan swasta yang dapat menjadi

‘requirements’ menurut Pasal III:4 GATT 1994, hanya jika ada hubungan

sebab akibat yaitu hubungan yang dekat antara tindakan pihak swasta dan

tindakan pemerintah, sehingga pemerintah harus bertanggung jawab atas

tindakan pihak swasta tersebut.

ii . Barang-barang impor dan domestik adalah barang yang sejenis (like

products)

Konsep ‘like products’ menurut Pasal III:4 GATT 1994 dijelaskan dalam

kasus EC-Asbestos,86 konsep ‘like products’ ini juga digunakan dalam Pasal

III:2, kalimat pertama GATT 1994. Namun, interpretasi ‘like products’ dalam

Pasal III:2 GATT 1994 yang menafsirkan secara sempit tidak dapat

86 EC–Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 94.

Universitas Indonesia

30

disamakan dengan interpretasi ‘like products’ menurut Pasal III:4 GATT

1994. Hal ini dikarenakan Pasal III:2 GATT 1994 berisi dua kalimat yang

terpisah, yaitu pertama, mengenai ‘like products’ dan kedua, mengenai

‘directly competitive or substitutable products’. Sebaliknya, Pasal III:4

GATT 1994 hanya berlaku pada ‘like products’ dan tidak termasuk ketentuan

yang setara dengan Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994. Dengan demikian,

Appellate Body dari EC-Asbestos menyatakan bahwa perbedaan tekstual

antara Pasal III:2 dan Pasal III:4 GATT 1994 memiliki implikasi terhadap

makna ‘like products’ dalam dua ketentuan tersebut. Dalam Pasal III:2 GATT

1994, Appellate Body dari Japan-Alcoholic Beverages menyimpulkan bahwa

dalam menafsirkan Pasal III:2 GATT 1994, harus dilakukan secara serasi

antara dua kewajiban yang terpisah dalam dua kalimat. Karena dalam

melakukan penafsiran terhadap salah satu dari kalimat tersebut, maka tentu

akan mempengaruhi kalimat yang lainnya. Maka, ruang lingkup dari ‘like

products’ dalam kalimat pertama Pasal III:2 GATT 1994 mempengaruhi dan

dipengaruhi oleh ruang lingkup dari ‘directly competitive or substitutable

products’ dalam kalimat kedua pasal tersebut. Dalam hal ini, kalimat kedua

dari Pasal III:2 GATT 1994 memberikan pertimbangan yang terpisah dan

aspek proteksi dari suatu tindakan dalam menentukan pengaplikasiannya

kepada barang yang kategorinya lebih luas yang bukan merupakan ‘like

products’, dan berbeda dengan kalimat pertama mengenai ‘like products’

yang harus ditafsirkan secara sempit.87 Setelah membedakan konsep ‘like

products’ dalam Pasal III:4 GATT 1994 dengan konsep menurut Pasal III:2,

kalimat pertama GATT, maka sekarang kita akan mencoba melihat arti dari

konsep ‘like products’ menurut Pasal III:4 GATT 1994. Namun, pertama-

tama harus diingat bahwa Pasal III GATT 1994 memiliki tujuan yang

mendasar, yaitu untuk menghindari perlindungan melalui pengaplikasian

pajak internal dan tindakan regulasi dan juga untuk menciptakan suasana

kompetitif antara barang impor dan domestik.88 Prinsip ini tidak secara

87 Japan-Alcoholic Beverages II, WT/DS8/AB/R, WT/DS10/AB/R, WT/DS11/AB/R,para. 95.

88 Ibid., para. 109–10.

Universitas Indonesia

31

eksplisit dinyatakan dalam Pasal III:4 GATT 1994, namun hal ini dinyatakan

melalui ketentuan tersebut.89 Appellate Body dalam EC-Asbestos90

menjelaskan mengenai makna ‘like products’ menurut Pasal III:4 GATT

1994, yaitu sebagai barang yang yang berada dalam hubungan yang

kompetitif di pasar dapat dipengaruhi oleh perlakuan yang ‘less favourable’

terhadap barang impor dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan

kepada barang domestik, maka ‘like products’ dalam Pasal III:4 GATT 1994

diinterpretasikan untuk berlaku pada barang-barang yang memiliki hubungan

yang kompetitif. Dengan demikian, dalam menentukan ‘like’ berdasarkan

Pasal III:4 GATT 1994 pada dasarnya melalui sifat dan tingkat hubungan

kompetitif antara barang-barang tersebut. Namun, tidak semua barang-barang

yang memiliki hubungan kompetitif dapat digolongkan sebagai ‘like

products’ dalam Pasal III:4 GATT 1994 karena dalam hubungan kompetitif

di pasar terdapat tingkatan daya saing atau substitusi. Maka, Appellate Body

menyimpulkan bahwa ruang lingkup ‘like products’ dalam Pasal III:4 GATT

1994 walaupun lebih luas dari kalimat pertama Pasal III:2 GATT 1994, tapi

tidak lebih luas dari ruang lingkup barang gabungan dari dua kalimat dalam

Pasal III:2 GATT 1994. Setelah mencapai kesimpulan diatas, maka Appellate

Body dari EC-Asbestos harus menentukan bagaimana menggolongkan suatu

barang sebagai ‘like’ menurut Pasal III:4 GATT 1994. Appellate Body

menyatakan bahwa sebagaimana Pasal III:2 GATT 1994, dalam menentukan

hal ini, ‘tidak ada pendekatan yang akan sama dengan semua kasus’. Namun,

penilaiannya dilakukan dengan menggunakan ‘elemen individual yang tidak

dapat dihindari, yaitu pertimbangan diskresioner’ yang dibuat berdasarkan

kasus per kasus. Dalam The Report of the Working Party on Border Tax

Adjustments merumuskan pendekatan untuk menganalisis ‘like’ yang telah

diikuti dan dikembangkan setelahnya. Pendekatan ini terdiri dari empat

kriteria umum dalam menganalisis ‘like’, yaitu: (i) ciri, sifat dan, kualitas

barang; (ii) kegunaan akhir dari barang; (iii) selera dan kebiasaan konsumen;

89 Ibid., para. 111.

90 EC–Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 99-100.

Universitas Indonesia

32

(iv) klasifikasi tarif dari barang. Dengan empat kriteria ini, sebuah barang

akan menunjukkan (i) ciri fisik dari barang tersebut; (ii) sejauh mana barang-

barang tersebut mampu melayani kegunaan akhir yang sama; (iii) sejauh

mana konsumen memandang dan memperlakukan barang tersebut sebagai

sarana alternatif dalam melakukan fungsi tertentu untuk memenuhi keinginan

atau permintaan tertentu; (iv) klasifikasi internasional dari barang tersebut

untuk tujuan tarif.91 Appellate Body dalam EC-Asbestos juga menambahkan

bahwa kriteria umum tersebut memberikan kerangka untuk menganalisis

‘likeness’ dari barang-barang tersebut, sehingga hal ini dapat menjadi alat

untuk membantu menyortir dan memeriksa bukti yang relevan. Tetapi,

kriteria ini bukanlah suatu daftar kriteria yang tertutup.92 Selain itu, Appelate

Body juga menyatakan bahwa berdasarkan Pasal III:4 GATT 1994, istilah

‘like products’ berkaitan dengan hubungan kompetitif antara barang. Maka,

apakah kerangka yang diberikan oleh Border Tax Adjustments dapat diadopsi

atau tidak, hal ini sangat penting berdasarkan Pasal III:4 GATT 1994 untuk

memperhitungkan bukti yang menunjukkan apakah, dan sejauh mana barang

yang terlibat atau bisa dalam hubungan kompetitif di pasar.93 Berkaitan

dengan kriteria kedua dan ketiga dari Border Tax Adjustment, yaitu kegunaan

akhir barang dan selera dan kebiasaan konsumen, maka Appellate Body

dalam EC-Asbestos menyebutkan bahwa jenis bukti seperti ini sangat penting

terutama berdasarkan Pasal III GATT 1994, karena ketentuan ini berkaitan

dengan hubungan kompetitif di dalam pasar. Jika ada atau tidak ada

hubungan kompetitif antara barang-barang tersebut, negara anggota tidak

dapat mengintervensi, melalui pajak internal atau regulasi, untuk melindungi

barang domestik. Bukti tentang sejauh mana barang dapat memberikan

kegunaan akhir yang sama, dan sejauh mana konsumen bersedia untuk

memilih salah satu barang dibandingkan dengan barang yang lain untuk

memberikan kegunaan akhirnya merupakan bukti yang sangat relevan dalam

menilai ‘like products’ menurut Pasal III:4 GATT 1994. Hal ini menjadi

91 Ibid., para. 101.

92 Ibid., para. 102.

93 Ibid., para. 103.

Universitas Indonesia

33

penting ketika dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan bukti fisik

menunjukkan barang-barang tersebut memiliki fisik yang berbeda. Jadi,

walaupun bukti fisik dari barang-barang tersebut berbeda, masih ada

hubungan kompetitif antara barang-barang tersebut, sehingga semua bukti

diambil bersama-sama untuk menunjukkan apakah barang-barang tersebut

‘like’ berdasarkan Pasal III:4 GATT 1994.94

iii . Barang-barang yang diimpor mendapatkan perlakuan yang kurang

menguntungkan (less favourable)

Fakta bahwa tindakan yang berbeda terhadap ‘like products’ tidak cukup

untuk menyimpulkan bahwa tindakan tersebut tidak konsisten dengan Pasal

III:4 GATT 1994. Pada sebagian besar kasus yang berkaitan dengan Pasal

III:4 GATT 1994, pertanyaan apakah suatu tindakan melakukan perlakuan

yang kurang menguntungkan belum menjadi hal yang utama. Namun, perlu

diingat bahwa tidak semua perlakuan yang berbeda adalah pasti merupakan

perlakuan yang kurang menguntungkan.95 Berdasarkan EC-Asbestos,

Appellate Body menyatakan bahwa terdapat elemen kedua yang harus

dibuktikan sebelum suatu tindakan dapat dianggap tidak konsisten dengan

Pasal III:4 GATT 1994 yaitu seorang negara anggota yang menggugat harus

menetapkan bahwa tindakan terhadap sekelompok barang impor yang ‘like’

‘less favourable’ dibandingkan dengan sekelompok barang domestik yang

‘like’.96 Di Korea-Various Measures on Beef, Appellate Body menyatakan

bahwa Pasal III:4 GATT 1994 hanya mewajibkan suatu tindakan terhadap

barang impor tidak boleh kurang menguntungkan dibandingkan dengan

tindakan terhadap barang domestik yang sejenis. Suatu tindakan yang

memberikan perlakuan terhadap barang impor yang berbeda dari barang

domestik yang sejenis, bukan merupakan pelanggaran terhadap Pasal III:4

GATT 1994, selama perlakuan tersebut diberikan melalui tindakan yang tidak

kurang menguntungkan. Mengenai arti ‘no less favourable treatment’, maka

hal ini bergantung pada kondisi dari kompetisi yang tidak kurang

94 Ibid., para. 117-118.

95 John H. Jackson, William J. Davey, dan Alan O. Sykes, Jr, Op. cit., hal. 520.

96 EC–Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 100.

Universitas Indonesia

34

menguntungkan terhadap barang impor dibandingkan dengan barang

domestik yang sejenis. Interpretasi ini, yang berfokus pada kondisi kompetisi

antara barang impor dan barang domestik yang sejenis, menunjukkan bahwa

suatu tindakan berdasarkan perlakuan yang secara formal berbeda terhadap

barang impor tidak langsung menjadikannya pelanggaran Pasal III:4 GATT

1994.97 Selanjutnya, Appellate Body dalam Korea-Various Measure on Beef

menambahkan bahwa perbedaan perlakuan secara formal antara barang impor

dan barang domestik yang sejenis, seperti demikian tidak diperlukan dan

tidak cukup, untuk menunjukkan pelanggaran terhadap Pasal III:4 GATT

1994. Apakah barang impor diperlakukan ‘less favourable’ dibandingkan

dengan barang domestik yang sejenis harus dinilai dengan memeriksa apakah

tindakan yang memodifikasi kondisi kompetisi pasar bersangkutan untuk

merugikan barang impor.98

2.4 Pengecualian terhadap Pemberlakuan Prinsip National Treament

Walaupun prinsip National Treatment merupakan prinsip dasar dari

GATT 1994, GATT 1994 memberikan beberapa pengecualian dalam

pemberlakuannya, yaitu:99

a. Pembelanjaan Pemerintah

Ketentuan dalam Pasal III:8 (a) GATT 1994 berbunyi:

“The provisions of this Article shall not apply to laws, regulationsor requirements governing the procurement by governmentalagencies of products purchased for governmental purposes and notwith a view to commercial resale or with a view to use in theproduction of goods for commercial sale.”100

Pasal ini menyebutkan bahwa ketentuan pasal ini tidak berlaku terhadap

undang-undang, peraturan atau persyaratan yang mengatur pengadaan oleh

97 Korea–Various Measures on Beef, WT/DS161/AB/R, para. 135-136.

98 Ibid., para. 137.

99“National Treatment Principle”,www.meti.go.jp/english/report/downloadfiles/gCT0002e.pdf, hal. 15-16.

100 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal III:8 (a).

Universitas Indonesia

35

lembaga pemerintah terhadap barang yang dibeli untuk keperluan pemerintah dan

bukan dengan tujuan komersial untuk dijual kembali atau dengan maksud untuk

digunakan dalam produksi barang untuk dijual komersial.101 Menurut Pasal III:8

(a) GATT 1994, pemerintah dimungkinkan untuk membeli barang produksi

domestik dalam rangka pembelanjaan pemerintah sebagai salah satu pengecualian

dari prinsip National Treatment dalam Pasal III GATT 1994. Pengecualian ini

diizinkan karena para anggota WTO mengakui peran dari pembelanjaan

pemerintah tersebut dalam kebijakan nasional. Sebagai contoh, jika ada kebutuhan

dalam keamanan untuk mengembangkan dan membeli barang domestik, atau

pembelanjaan pemerintahan tersebut biasanya digunakan sebagai alat

mempromosikan bisnis skala kecil, industri lokal atau teknologi canggih.

Sementara, GATT 1994 membuat pembelanjaan pemerintah sebagai pengecualian

terhadap prinsip National Treatment, Perjanjian mengenai Pembelanjaan

Pemerintah (Agreement on Government Procurement) yang dihasilkan melalui

dalam Putaran Uruguay memandatkan para penandatangan untuk menawarkan

prinsip National Treatment dalam pembelanjaan pemerintah mereka. Namun, para

anggota WTO tidak memiliki kewajiban untuk bergabung dalam Perjanjian

tersebut. Pada kenyataannya, negara-negara maju yang bergabung dalam

Perjanjian tersebut. Dengan demikian, dalam konteks pembelanjaan pemerintah,

prinsip National Treatment hanya berlaku antara negara-negara yang telah

mengaksesi Perjanjian mengenai Pembelanjaan Pemerintah tersebut, dan yang

lainnya, pengecualian Pembelanjaan Pemerintah sebelumnya tetap berlaku.102

b. Subsidi Domestik

Ketentuan dalam Pasal III:8 (b) GATT 1994 berbunyi:

“The provisions of this Article shall not prevent the payment ofsubsidies exclusively to domestic producers, including payments todomestic producers derived from the proceeds of internal taxes orcharges applied consistently with the provisions of this Article and

101 Pernyataan ini berdasarkan terjemahan peneliti. Versi bahasa inggris terdapat dalamPasal III:8 (a) GATT 1994.

102“National Treatment Principle”,www.meti.go.jp/english/report/downloadfiles/gCT0002e.pdf, hal. 16.

Universitas Indonesia

36

subsidies effected through governmental purchases of domesticproducts.”103

Ketentuan pasal ini menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal ini tidak

dapat mencegah pembayaran subsidi secara khusus kepada produsen domestik,

termasuk pembayaran kepada produsen domestik yang berasal dari hasil pajak

internal atau biaya yang diterapkan secara konsisten berdasarkan ketentuan dari

pasal ini dan subsidi yang dilakukan melalui pembelian negara terhadap barang

domestik.104 Pasal III:8 (b) GATT 1994 memperbolehkan untuk pemberian

subsidi secara khusus kepada produsen domestik sebagai suatu pengecualian

terhadap prinsip National Treatment, sehingga dalam situasi tersebut tidak ada

pelanggaran terhadap Pasal III GATT 1994 dan Perjanjian mengenai Subsidi dan

Tindakan Penyeimbangan (Agreement on Subsidies and Countervailing

Measures).105 Alasan adanya pengecualian ini adalah bahwa subsidi diakui

sebagai alat kebijakan yang yang efektif, dan diakui sebagai dasar dari

keleluasaan otoritas kebijakan domestik. Tetapi, subsidi juga dapat memberikan

efek negatif terhadap perdagangan, maka Perjanjian mengenai Subsidi dan

Tindakan Penyeimbangan memberlakukan pengaturan yang ketat dalam

penggunaan subsidi.106

c. Pasal XVIII:C GATT 1994

Para negara anggota dalam tahap awal pengembangan dapat meningkatkan

standar hidup mereka dengan mempromosikan pembentukan industri yang masih

dalam masa pertumbuhan, namun hal ini membutuhkan dukungan pemerintah dan

tujuan tersebut tidak dapat dicapai dengan tindakan-tindakan yang sesuai dengan

GATT 1994. Dalam hal ini, negara-negara dapat menggunakan ketentuan Pasal

XVIII:C GATT 1994 untuk memberitahu anggota yang lain dan mengadakan

konsultasi. Setelah konsultasi selesai dan berdasarkan pembatasan tertentu,

103 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal III:8 (b).

104 Pernyataan ini berdasarkan terjemahan peneliti. Versi bahasa inggris terdapat dalamPasal III:8 (b) GATT 1994.

105“National Treatment Principle”,www.meti.go.jp/english/report/downloadfiles/gCT0002e.pdf, hal. 16.

106 Ibid.

Universitas Indonesia

37

negara-negara ini dapat mengambil tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan

ketentuan GATT 1994 kecuali Pasal I, II, dan XIII GATT 1994. Berbeda dengan

pembatasan perdagangan untuk alasan keseimbangan pembayaran dalam Pasal

XVIII:B GATT 1994, ketentuan dalam Pasal XVIII:C GATT 1994

memperbolehkan baik tindakan pembatasan maupun tindakan pelanggaran

terhadap prinsip National Treatment dalam rangka mempromosikan industri

domestik yang masih dalam masa pertumbuhan.107

d. Pengecualian yang lain terhadap prinsip National Treatment

i . Pasal XX GATT 1994 mengenai pengecualian umum

Pengecualian-pengecualian GATT 1994 secara umum terdapat dalam

Pasal XX GATT 1994 merupakan pengecualian-pengecualian yang penting

terhadap prinsip National Treatment. Pengecualian-pengecualian ini hanya

berlaku sebagai pengecualian yang terbatas dan tergantung pada kewajiban dari

GATT 1994, termasuk prinsip National Treatment.108 Pasal XX GATT 1994

berbunyi sebagai berikut:

“Subject to the requirement that such measures are not applied ina manner which would constitute a means of arbitrary orunjustifiable discrimination between countries where the sameconditions prevail, or a disguised restriction on internationaltrade, nothing in this Agreement shall be construed to prevent theadoption or enforcement by any contracting party of measures:(a) necessary to protect public morals;(b) necessary to protect human, animal or plant life or health;(c) relating to the importations or exportations of gold or silver;(d) necessary to secure compliance with laws or regulations whichare not inconsistent with the provisions of this Agreement,including those relating to customs enforcement, the enforcementof monopolies operated under paragraph 4 of Article II and ArticleXVII, the protection of patents, trade marks and copyrights, and theprevention of deceptive practices;(e) relating to the products of prison labor;(f) imposed for the protection of national treasures of artistic,historic or archaeological value;(g) relating to the conservation of exhaustible natural resources ifsuch measures are made effective in conjunction with restrictions

107 Ibid.

108 Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, Op. cit., hal. 176.

Universitas Indonesia

38

on domestic production or consumption;(h) undertaken in pursuance of obligations under anyintergovernmental commodity agreement which conforms tocriteria submitted to the CONTRACTING PARTIES and notdisapproved by them or which is itself so submitted and not sodisapproved;*(i) involving restrictions on exports of domestic materialsnecessary to ensure essential quantities of such materials to adomestic processing industry during periods when the domesticprice of such materials is held below the world price as part of agovernmental stabilization plan; Provided that such restrictionsshall not operate to increase the exports of or the protectionafforded to such domestic industry, and shall not depart from theprovisions of this Agreement relating to non-discrimination;(j) essential to the acquisition or distribution of products in generalor local short supply; Provided that any such measures shall beconsistent with the principle that all contracting parties are entitledto an equitable share of the international supply of such products,and that any such measures, which are inconsistent with the otherprovisions of the Agreement shall be discontinued as soon as theconditions giving rise to them have ceased to exist. TheCONTRACTING PARTIES shall review the need for this sub-paragraph not later than 30 June 1960.”109

Ketentuan tersebut menyatakan bahwa berdasarkan pada persyaratan bahwa suatu

tindakan tidak berlaku dengan cara yang akan menjadi suatu sarana diskriminasi

yang sewenang-wenang atau tidak dapat dibenarkan antara negara-negara saat

keadaan yang sama berlaku, atau pembatasan yang terselubung dalam

perdagangan internasional, tidak ada dalam Perjanjian GATT 1994 akan

ditafsirkan untuk mencegah adopsi atau pelaksanaan tindakan-tindakan oleh

negara anggota:110

a. diperlukan untuk melindungi moral publik;

b. diperlukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan dari manusia, hewan

atau tanaman;

c. terkait dengan importasi atau eksportasi emas atau perak;

d. diperlukan untuk mengamankan kepatuhan terhadap undang-undang atau

peraturan yang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Perjanjian

109 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal XX.

110 Pernyataan ini berdasarkan terjemahan peneliti. Versi bahasa inggris terdapat dalamPasal XX GATT 1994.

Universitas Indonesia

39

ini, termasuk yang berkaitan dengan keberlakuan bea cukai, keberlakuan

monopoli yang diatur dalam ayat 4 dari Pasal II dan Pasal XVII GATT

1994, perlindungan paten, merek dan hak cipta, dan pencegahan praktek

yang menyesatkan;

e. berkaitan dengan produk-produk dari buruh penjara;

f. dilakukan untuk melindungi harta nasional yang bernilai artistik, sejarah

atau arkeologi;

g. berkaitan dengan konservasi sumber daya alam yang tidak dapat

diperbaharui jika tindakan-tindakan tersebut dibuat efektif dalam

hubungannya dengan pembatasan produksi atau konsumsi dalam negeri;

h. dilakukan sesuai dengan kewajibannya berdasarkan perjanjian antar

pemerintah mengenai suatu komoditas yang mana sesuai dengan kriteria

yang disampaikan kepada Negara Anggota dan tidak ditolak oleh mereka

atau dengan sendirinya disampaikan dan tidak begitu ditolak; *

i. melibatkan pembatasan ekspor bahan dalam negeri yang diperlukan untuk

memastikan kuantitas esensial bahan-bahan tersebut untuk industri

pengolahan dalam negeri selama periode saat harga bahan-bahan tersebut

di dalam negeri berada di bawah harga dunia sebagai bagian dari rencana

stabilisasi pemerintah; asalkan pembatasan tersebut tidak berlakukan untuk

meningkatkan ekspor atau memberikan perlindungan kepada industri

dalam negeri, dan tidak akan menyimpang dari ketentuan Perjanjian ini

berkaitan dengan prisip non-diskriminasi;

j. penting untuk pengambilalihan atau distribusi produk secara umum atau

pasokan lokal jangka pendek; asalkan tindakan tersebut harus konsisten

dengan prinsip bahwa semua anggota berhak memperoleh bagian yang

merata dalam pasokan internasional dari produk-produk tersebut, dan jika

tindakan tersebut tidak konsisten dengan ketentuan-ketentuan dalam

Perjanjian ini, maka harus dihentikan segera setelah menimbulkan kondisi

yang tidak diinginkan.

Secara umum, Pasal XX GATT 1994 relevan dan akan digunakan oleh

negara anggota hanya ketika suatu tindakan negara anggota dianggap tidak

konsisten dengan ketentuan GATT 1994 yang lain. Maka, Pasal XX GATT 1994

Universitas Indonesia

40

dapat digunakan untuk membenarkan tindakan yang tidak konsisten dengan

GATT 1994. Tindakan yang memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Pasal XX

GATT 1994 maka diizinkan, bahkan jika mereka tidak konsisten dengan

ketentuan lain dari GATT 1994. Pasal XX memberikan pengecualian namun

untuk pengecualian yang ‘terbatas dan bersyarat’ dari kewajiban di dalam GATT

1994. Pengecualian ‘terbatas’ diatur secara lengkap dalam daftar pengecualian

dalam Pasal XX. Namun, pengecualian ‘bersyarat’ dalam Pasal XX GATT 1994

hanya disediakan untuk sebagai pembenaran terhadap tindakan yang melawan

hukum dan hanya jika syarat tersebut yang diatur dalam Pasal XX GATT 1994

terpenuhi. Sementara, Pasal XX GATT 1994 memperbolehkan negara anggota

untuk mengadopsi atau memberlakukan tindakan tersebut untuk mempromosikan

atau melindungi nilai-nilai sosial yang penting, maka hal ini memberikan suatu

pengecualian atau pembatasan terhadap komitmen pada GATT 1994.111

Lalu, Appellate Body dalam US- Gasoline menyatakan bahwa, berkaitan

dengan Pasal XX(g) GATT 1994, yang merupakan pengecualian dalam kasus

tersebut, yaitu konteks dari pengecualian Pasal XX(g) GATT 1994 meliputi

ketentuan lain dari GATT 1994, termasuk secara khusus Pasal I, III, dan XI

GATT 1994, serta sebaliknya, konteks Pasal I, III, dan XI termasuk dalam Pasal

XX GATT 1994. Dengan demikian, frase ‘berkaitan dengan konservasi sumber

daya alam yang tidak dapat diperbaharui’ tidak dapat dibaca secara luas dan

serius, sehingga melanggar maksud dan tujuan dari Pasal III:4 GATT 1994. Lalu

Pasal III:4 GATT 1994 tidak dapat diberikan jangkauan yang luas yang efektif

untuk melemahkan Pasal XX(g) dan kebijakan serta kepentingan yang

diwujudkan. Hubungan antara komitmen yang diatur dalam Pasal I, III, dan XI

GATT 1994 serta kebijakan dan kepentingan yang terdapat dalam ‘Pengecualian

Umum’ tercantum dalam Pasal XX GATT 1994, dapat dijelaskan melalui

kerangka dari GATT 1994 serta maksud dan tujuannya berdasarkan kasus-

kasus.112 Maka dengan demikian, Appellate Body mengakui interpretasi secara

sempit berlaku terhadap ketentuan pengecualian dalam Pasal XX GATT 1994,

111 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 599.

112 US – Gasoline, WT/DS2/AB/R, hal. 18, (Appellate Body Report. 1996).

Universitas Indonesia

41

dimana pengecualian yang memungkinkan, seperti tindakan pembatasan

perdagangan untuk melindungi kesehatan masyarakat atau lingkungan, menjadi

tidak sesuai. Karena Appellate Body, menganjurkan keseimbangan antara

liberisasi perdagangan dan nilai-nilai sosial lainnya.

Kemudian, Pasal XX GATT 1994 menetapkan uji dua tingkat, untuk

menentukan apakah suatu tindakan, sebaliknya, tidak konsisten dengan kewajiban

GATT 1994, dapat dibenarkan. Di US-Gasoline, Appellate Body menyatakan

bahwa dalam hal membenarkan perlindungan berdasarkan Pasal XX GATT 1994,

tindakan tersebut tidak hanya harus berada di bawah satu atau pengecualian yang

lain dari ayat (a)-(j) dalam Pasal XX GATT 1994, tetapi juga harus memenuhi

persyaratan dalam klausul pembukaan (chapeau) dari Pasal XX GATT 1994.

Analisis ini terdiri dari dua tingkat yaitu: pertama, pembenaran berdasarkan

karakteristik tindakan berdasarkan Pasal XX(g) GATT 1994; kedua, penilaian

lebih lanjut dari tindakan yang sama berdasarkan klausul pembukaan dari Pasal

XX GATT 1994.113 Dengan demikian, untuk membenarkan tindakan yang tidak

konsisten dengan GATT 1994, berdasarkan Pasal XX GATT 1994, harus

memenuhi :

1. Persyaratan dari salah satu pengecualian yang ada dalam ayat (a)-(j) Pasal

XX GATT 1994

Pengecualian-pengecualian yang terdapat dalam ayat (a)-(j) Pasal XX GATT

1994 merupakan suatu pembenaran yang memiliki beberapa alasan, yaitu

untuk perlindungan nilai-nilai sosial, ekonomi, dan non-ekonomi, seperti

kehidupan manusia, hewan, atau tumbuhan, atau kesehatan, sumber daya alam

yang tidak dapat diperbaharui, harta artistik nasional, nilai sejarah atau

arkeologi, dan moral publik. Membandingkan istilah yang digunakan dalam

ayat yang berbeda dari pasal XX GATT 1994, Appellate Body dalam US-

Gasoline menyatakan: dalam menyebutkan berbagai kategori dari tindakan

pemerintah, undang-undang, atau peraturan dari negara anggota WTO yang

dilaksanakan atau disebarluaskan untuk membedakan kebijakan negara atau

kepentingan di luar bidang liberisasi perdagangan, Pasal XX GATT 1994

113 Ibid., hal. 22.

Universitas Indonesia

42

menggunakan istilah yang berbeda sehubungan dengan kategori yang berbeda:

‘necessary’ terdapat dalam ayat (a), (b), dan (d); ‘essential’ terdapat dalam

ayat (j); ‘relating to’ terdapat dalam ayat (c), (e), dan (g); ‘for the protection

of’ terdapat dalam ayat (f); ‘in pursuance of’ terdapat dalam ayat (h); dan

‘involving’ terdapat dalam ayat (i). Rasanya tidak masuk akal untuk menduga

bahwa negara anggota WTO bermaksud untuk mensyaratkan, berdasarkan

masing-masing dan setiap kategori, jenis yang sama atau tingkat koneksi atau

hubungan antara tindakan yang dinilai dengan kepentingan atau kebijakan

negara yang berusaha untuk dipromosikan atau direalisasikan.114

2. Persyaratan dari chapeau dari Pasal XX GATT 1994

Dalam US-Gasoline, Appellate Body menyatakan bahwa chapeau dibentuk

untuk untuk mencegah penyalahgunaan dari pengecualian-pengecualian yang

terdapat dalam Pasal XX GATT 1994. Chapeau melalui istilahnya, bukan

hanya mempertanyakan suatu tindakan, atau isi spesifiknya, tetapi lebih

kepada sarana bagaimana tindakan tersebut diterapkan. Maka, karena itu

sangat penting untuk menggarisbawahi tujuan dan maksud dari kalimat

pembuka dari Pasal XX GATT 1994 yang umumnya menjadi pencegahan

terhadap ‘penyalahgunaan dari pengecualian-pengecualian dalam Pasal XX

GATT 1994. Pandangan ini diambil dari sejarah penyusunan Pasal XX

GATT1994 adalah sesuatu yang berharga. Chapeau digerakkan oleh prinsip

bahwa selama pengecualian-pengecualian dari Pasal XX GATT 1994 dapat

digunakan sebagai hak hukum, mereka tidak boleh diterapkan untuk

menggagalkan kewajiban hukum dari pemegang hak berdasarkan peraturan

substantif dari Perjanjian Umum. Jika pengecualian-pengecualian tersebut

tidak disalahgunakan, dengan kata lain tindakan yang termasuk dalam

pengecualian tertentu harus diterapkan sewajarnya, dengan memperhatikan

kewajiban hukum pihak yang menuntut pengecualian dan hak hukum dari

pihak lain yang berhubungan.115 Dalam memeriksa apakah suatu tindakan

dapat dibenarkan berdasarkan Pasal XX GATT 1994, maka harus selalu

114 Ibid., hal.17–18.

115 Ibid., hal. 22.

Universitas Indonesia

43

memeriksa, pertama, apakah tindakan ini dapat dibenarkan berdasarkan salah

satu pengecualian dalam ayat (a)-(j) dari Pasal XX GATT 1994 dan, jika

demikian, apakah penerapan tindakan ini memenuhi persyaratan chapeau dari

Pasal XX GATT 1994. Dengan demikian ayat dari Pasal XX GATT 1994

berisi persyaratan yang berbeda mengenai hubungan antara tindakan pada

masalah dan nilai sosial yang dikejar. Beberapa tindakan ‘necessary’ untuk

melindungi atau promosi terhadap nilai sosial yang dikejar (misalnya

perlindungan kehidupan dan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan),

sedangkan untuk tindakan-tindakan yang lain itu sudah cukup ‘relating to’

nilai sosial yang dikejar (misalnya konservasi sumber daya alam yang tidak

dapat diperbaharui). Oleh karena itu, alasan pembenaran dan persyaratan yang

menyertainya dalam Pasal XX GATT 1994 akan diperiksa secara terpisah.116

ii . Pasal XXI GATT 1994 mengenai pengecualian keamanan

Pasal XXI GATT 1994 mengenai pengecualian keamanan terhadap prinsip

National Treatment, Pasal ini berbunyi:

“Nothing in this Agreement shall be construed(a) to require any contracting party to furnish any information thedisclosure of which it considers contrary to its essential securityinterests; or(b)to prevent any contracting party from taking any action which itconsiders necessary for the protection of its essential securityinterests

(i)relating to fissionable materials or the materials from whichthey are derived;(ii)relating to the traffic in arms, ammunition and implementsof war and to such traffic in other goods and materials as iscarried on directly or indirectly for the purpose of supplying amilitary establishment;(iii)taken in time of war or other emergency in internationalrelations; or

(c)to prevent any contracting party from taking any action inpursuance of its obligations under the United Nations Charter forthe maintenance of international peace and security.”117

116 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 603.

117 World Trade Organization, General Agreement on Tariff and Trade, Pasal XXI.

Universitas Indonesia

44

Pasal ini mengatur bahwa ketentuan GATT 1994 tidak dapat ditafsirkan118

(a) untuk meminta setiap negara anggota untuk memberikan informasi apapun

yang pengungkapannya dianggap bertentangan dengan kepentingan keamanan

yang sangat penting

(b) untuk mencegah setiap negara anggota mengambil tindakan yang dianggap

perlu untuk melindungi kepentingan keamanan yang sangat penting :

(i) berkaitan dengan bahan fisi atau bahan asalnya

(ii) berkaitan dengan lalu lintas senjata, amunisi, dan perlengkapan perang dan

arus lalu lintas barang dan bahan lainnya yang digunakan secara langsung atau

tidak langsung untuk tujuan pasokan militer

(iii) diambil pada saat perang atau keadaan darurat lainnya dalam hubungan

internasional

(c) untuk mencegah negara anggota mengambil tindakan sesuai dengan

kewajibannya berdasarkan Piagam PBB untuk memelihara perdamaian dan

keamanan internasional.

2.5 Kesimpulan

Maka dari hasil penjelasan diatas dapat dihasilkan kesimpulan sebagai

berikut. Dalam Pasal III:1 GATT 1994, dijelaskan mengenai lingkup keberlakuan

dari Pasal III GATT 1994 yang terdiri dari: (1) pajak dan biaya internal; (2)

perundang-undangan, peraturan, dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan,

transportasi, distribusi, atau manfaat dari barang; dan (3) peraturan kuantitatif

internal yang mewajibkan campuran, pemprosesan atau penggunaan barang dalam

porsi tertentu.119 Kewajiban prinsip National Treatment dalam Pasal III GATT

1994 mencakup 2 hal yaitu pajak internal (Pasal III:2 GATT 1994) dan regulasi

internal (Pasal III:4 GATT 1994). Dalam hal kewajiban prinsip National

Treatment dalam pajak internal, maka penerapannya tidak hanya pada barang

yang sejenis/like products (Pasal III:2, kalimat pertama GATT 1994) tapi juga

pada barang yang secara langsung bersaing dalam pasar atau barang

118 Pernyataan ini berdasarkan terjemahan peneliti. Versi bahasa inggris terdapat dalamPasal XXI GATT 1994.

119 Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, Op. cit., hal. 157.

Universitas Indonesia

45

substitusi/directly competitive or substitutable products (Pasal III:2, kalimat

kedua GATT 1994).120

Kemudian, hukum WTO juga memberikan beberapa pengecualian

terhadap kewajiban prinsip National Treatment ini yaitu pembelanjaan

pemerintah (Pasal III:8 (a) GATT 1994); subsidi domestik (Pasal III:8 (b) GATT

1994); negara berkembang (Pasal XVIII:C GATT 1994); pengecualian umum

(Pasal XX GATT 1994); dan keamanan nasional (Pasal XXI GATT 1994).121

120 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. cit.,hal.17.

121“National Treatment Principle”,www.meti.go.jp/english/report/downloadfiles/gCT0002e.pdf, hal. 16.

Universitas Indonesia

BAB 3

PRINSIP NATIONAL TREATMENT DALAM PASAL 2.1 TECHNICAL

BARRIER TO TRADE AGREEMENT

3.1 Pendahuluan

Negara anggota WTO memiliki peraturan-peraturan mengenai

perdagangan barang yang mengatur persyaratan yang berkaitan dengan

komposisi, kualitas, keamanan, proses produksi, kemasan, label, dan lain-lain.

Peraturan-peraturan nasional tersebut seringkali menyebabkan hambatan teknis

dalam perdagangan internasional. Maka, WTO sebagai organisasi perdagangan

internasional yang menaungi negara-negara tersebut membentuk Agreement on

Technical Barrier to Trade (TBT Agreement) yang merupakan perjanjian

internasional yang mengatur mengenai peraturan-peraturan nasional yang

menyebabkan hambatan teknis dalam perdagangan. Tujuan dibentuknya TBT

Agreement adalah untuk menyelesaikan masalah seperti (a) standar-standar yang

menyimpang dari norma internasional yang digunakan sebagai sarana untuk

melindungi produsen domestik, (b) standar yang sangat ketat yang dibuat

berdasarkan pada desain produk domestik, dan bukan pada kriteria kegunaan yang

penting, (c) akses yang tidak sama dalam sistem pengujian dan sertifikasi yang

dilakukan antara produsen domestik dan eksportir dari hampir semua negara, (d)

ketidakmampuan untuk menerima hasil pengujian dan sertifikasi yang dilakukan

antara produsen domestik dan ekspor dari hampir semua negara, (e)

ketidakmampuan yang terus menerus dalam menerima hasil pengujian dan

sertifikasi yang dilakukan oleh organisasi asing yang kompeten dalam beberapa

pasar, (f) kurangnya transparansi dalam sistem untuk membuat peraturan teknis

dan penilaian kesesuaian di hampir semua negara.122

122Autar Krishen Koul, Guide to WTO and GATT: Economics, Law, and Politics (DenHaag :Kluwer Law International, 2005), hal. 422.

Universitas Indonesia

47

TBT Agreement mengandung pengaturan terhadap:123

a. Peraturan teknis (technical regulations)

b. Standar (standards)

c. Prosedur penilaian kepatuhan (conformity assessment procedures)

Aturan dalam TBT Agreement berlaku untuk peraturan teknis, standar, dan

prosedur penilaian kesesuaian yang berkaitan dengan barang produksi (baik

manufaktur dan pertanian) dan proses yang terkait dan metode produksi

(PPMs).124 Selain itu, TBT Agreement juga mencoba untuk menyeimbangkan dua

tujuan dari kebijakan yang saling bertentangan, yaitu pencegahan dari

proteksionisme dan hak dari negara anggota untuk memberlakukan peraturan

terhadap barang untuk melaksanakan tujuan kebijakan publik (yang sah) seperti,

memperbolehkan otonomi peraturan yang wajar oleh negara anggota untuk

mencapai tujuan kebijakan domestik yang diperlukan125

Berdasarkan Lampiran 1.1 TBT Agreement dan kasus-kasus WTO yang

berkaitan dengan ‘technical regulations’, suatu tindakan dapat dianggap sebagai

‘technical regulations’ jika:126

a. Tindakan tersebut berlaku pada suatu barang atau sekelompok barang yang

bisa diidentifikasi

b. Tindakan tersebut menyebutkan karakteristik dari barang dan/atau proses atau

cara produksi yang berkaitan dengan barang tersebut

c. Tindakan tersebut adalah wajib berkaitan dengan kepatuhan terhadap

karakteristik barang

TBT Agreement meletakkan tiga kewajiban substantif yang penting mengenai

peraturan teknis,127 yaitu pertama, negara anggota harus menjamin bahwa

peraturan teknis tidak disusun, ditetapkan, atau diterapkan dengan maksud untuk

123 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. cit.,hal. 83.

124 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 458.

125 United Nations Conference on Trade and Development, Dispute Settlement (WTOtechnical barrier to trade) (NewYork dan Geneva: United Nations, 2003), hal. 3.

126 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Lampiran 1.1; EC– Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 67–70; dan EC – Sardines, WT/DS231/AB/R, para. 176(Appellate Body Report. 2002).

127 Mitsuo Matsushita, Thomas J. Schoenbaum, Petros C. Mavroidis, Op. cit., hal. 511.

Universitas Indonesia

48

atau dengan dampak menimbulkan hambatan yang tidak diperlukan dalam

perdagangan internasional,128 kedua, peraturan teknis tersebut tidak boleh lebih

menghambat perdagangan, daripada yang diperlukan untuk memenuhi suatu

‘legitimate objectives’,129 ketiga, peraturan teknis tidak boleh dipertahankan,

apabila keadaan atau tujuan yang menyebabkan ditetapkannya peraturan tersebut

tidak ada lagi, atau apabila keadaan atau tujuan yang berubah tersebut dapat

dicapai dengan cara yang kurang membatasi perdagangan.130

Selain peraturan teknis, TBT Agreement juga memiliki dua pengaturan.

Pertama, standar adalah dokumen yang disetujui oleh suatu badan yang diakui,

yang menyediakan, untuk penggunaan umum dan berulang, peraturan, pedoman

atau karakteristik barang atau metode proses dan metode produksi yang terkait,

yang pemenuhannya tidak wajib. Dokumen tersebut dapat pula mencakup atau

secara khusus berkenaan dengan terminologi, simbol, persyaratan pengemasan,

penandaan atau pelabelan seperti yang digunakan pada barang, metode proses

atau metode produksi.131 Maka itu, standar berbeda dengan peraturan teknis,

dalam hal kesesuaian terhadap standar yang tidak bersifat kewajiban.132 Kedua,

prosedur penilaian kesuaian adalah setiap prosedur yang digunakan, secara

langsung atau tidak langsung, untuk menentukan bahwa persyaratan yang relevan

dalam peraturan teknis dan standar dipenuhi. Prosedur penilaian kesesuaian

mencakup, antara lain, prosedur pengambilan contoh, pengujian dan inspeksi;

evaluasi, verifikasi dan jaminan konformitas; registrasi, akreditasi dan

persetujuan, serta kombinasinya.133 Meskipun TBT Agreement utamanya

ditujukan kepada lembaga pemerintah pusat, TBT Agreement juga meluaskan

penerapannya pada lembaga pemerintah daerah dan lembaga non-pemerintah

dengan memberikan kewajiban terhadap negara-negara anggota WTO, yaitu:134

128 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 2.2.

129 Ibid.

130 Ibid., Pasal 2.3.

131 Ibid., Lampiran 1.2.

132 Ibid., Lampiran 1.2.

133 Ibid., Lampiran 1.3.

134 Peter van den Bossche, loc. cit.

Universitas Indonesia

49

a. Untuk mengambil tindakan-tindakan yang memastikan kepatuhan terhadap

TBT Agreement oleh lembaga pemerintah daerah dan lembaga non-

pemerintah

b. Untuk menghindari tindakan-tindakan yang dapat mendorong

ketidakkonsistenan dari lembaga-lembaga ini dengan ketentuan di dalam TBT

Agreement

Hal ini dilakukan sehubungan dengan kewajiban yang berkaitan dengan

peraturan teknis, standar, dan prosedur penilaian kesesuaian.135 Kemudian, dalam

Lampiran 3 TBT Agreement terdapat ‘Code of Good Practice’, yang mana

berlaku untuk menyusun, menetapkan, dan menggunakan standar. Negara

anggota harus memastikan bahwa lembaga standarisasi pemerintah pusat mereka

telah menerima dan tunduk terhadap ‘Code of Good Practice’. Selain itu, negara

anggota juga diwajibkan, berdasarkan Pasal 4 dari TBT Agreement, untuk

membuat tindakan yang layak yang mungkin untuk dilakukan dalam memastikan

lembaga standarisasi lokal dan non-pemerintah juga menerima dan mematuhi

‘Code of Good Practice’.136

Kemudian, memperhatikan hubungan antara TBT Agreement dengan

perjanjian WTO lainnya, maka penerapan SPS Agreement atau Agreement on

Government Procurement terhadap suatu peraturan teknis tertentu mengecualikan

penerapan TBT Agreement.137 Namun, TBT Agreement dan GATT 1994

keduanya dapat berlaku pada peraturan teknis tertentu.138 Secara umum, bahwa

hubungan antara GATT 1994 dengan perjanjian multilateral lainnya mengenai

perdagangan barang (termasuk TBT Agreement) diatur dalam General

Interpretative Note to Annex 1A dari Marrakesh Agreement.139 Hal ini

menjelaskan, bahwa dalam konflik antara ketentuan GATT 1994 dan ketentuan

lain dari perjanjian multilateral mengenai perdagangan barang, maka yang

135 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 3.1, 3.4, 4.1,7.1, 7.8, dan 8.1.

136 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 459.

137 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 1.4 dan Pasal1.5.

138 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 8.16.

139 Peter van den Bossche, loc. cit.

Universitas Indonesia

50

berlaku adalah perjanjian yang terakhir. Tetapi, dalam konflik antara GATT 1994

dengan TBT Agreement tidak dimungkinkan. Ketentuan substansi dasar dari TBT

Agreement terdiri dari beberapa prinsip yang juga ditemukan dalam GATT 1994,

seperti kewajiban perlakuan Most Favored Nations, kewajiban National

Treatment, dan kewajiban untuk tidak memberlakukan hambatan yang tidak

perlukan dalam perdagangan internasional. Dalam EC-Asbestos, Appellate Body

menemukan bahwa TBT Agreement sebagai tujuan lebih lanjut dari GATT 1994.

Namun, TBT Agreement melakukannya melalui rezim hukum yang khusus, yang

berisi kewajiban yang berbeda dan merupakan tambahan bagi kewajiban dalam

GATT 1994.140 TBT Agreement mensyaratkan bahwa, mengenai tindakan TBT

(technical barrier to trade), negara anggota harus sesuai dengan prinsip National

Treatment dan Most Favored Nations terhadap barang impor dari negara anggota

yang lain.141

Lalu, TBT Agreement juga mensyaratkan bahwa tindakan hambatan teknis

dalam perdagangan (technical barrier to trade) tidak boleh menimbulkan

hambatan yang tidak diperlukan terhadap perdagangan internasional.142 Untuk

hal ini, Pasal 2.2 TBT Agreement lebih lanjut mensyaratkan bahwa peraturan

teknis tidak boleh lebih menghambat perdagangan, daripada yang diperlukan

untuk memenuhi tujuan yang sah, dengan mempertimbangkan risiko yang akan

timbul seandainya tujuan tersebut tidak dipenuhi.143 Pasal 2.2 TBT Agreement

berlaku untuk membebankan beberapa tujuan yang sah, seperti, persyaratan

keamanan nasional; pencegahan praktek yang menyesatkan; perlindungan

kesehatan atau keselamatan manusia, kehidupan atau kesehatan hewan atau

tanaman, atau lingkungannya.144 Dalam menentukan keperluan terhadap suatu

tujuan, maka negara anggota wajib ‘taking account of the risks non-fulfilment

would create’. Dalam menilai risiko tersebut, Pasal 2.2 TBT Agreement membuat

140 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 80.

141 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 2.1, 5.1.1,dan Lampiran 3D.

142 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 2.2, 5.1.2,dan Lampiran 3E.

143 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 2.2.

144 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 2.2.

Universitas Indonesia

51

beberapa pertimbangan yang relevan, termasuk informasi ilmiah dan teknis yang

tersedia, yang berhubungan dengan teknologi pengolahan dan kegunaan akhir

yang dimaksudkan terhadap suatu barang.145

Harmonisasi dari peraturan teknis nasional, standar, dan prosedur

penilaian kesesuaian secara internasional sangat memfasilitasi pelaksanaan

perdagangan internasional, dengan meminimalkan variasi persyaratan terhadap

eksportir yang harus dipenuhi dalam pasar ekspor mereka. Dengan demikian,

Pasal 2.4 TBT Agreement mensyaratkan bahwa peraturan teknis disyaratkan

untuk sesuai dengan standar internasional yang ada, sehingga negara anggota

harus menggunakan hal tersebut, atau bagian-bagian yang relevan, sebagai dasar

dari peraturan teknis mereka.146 Arti dari pengertian kewajiban untuk

menggunakan standar internasional yang relevan ‘based on’ bagi suatu peraturan

teknis yang dijelaskan oleh Panel dalam EC-Sardines. Panel menjelaskan bahwa

konsep dari ‘based on’ itu tidak sama dengan konsep dari ‘conform to’, tetapi

menerapkan kewajiban untuk ‘employ or apply’ standar internasional sebagai

‘prinsip fundamental yang bertujuan memberlakukan peraturan teknis’.147

Berdasarkan Appellate Body di EC-Sardines, terdapat analisis terhadap ‘apakah

ada kontradiksi’ antara standar internasional dan peraturan nasional.148

Berdasarkan Pasal 2.4 TBT Agreement, sebuah peraturan teknis tidak

harus berdasarkan pada standar internasional yang relevan, jika suatu standar

internasional atau bagian relevannya akan menjadi sarana yang tidak efektif atau

tidak sesuai untuk pemenuhan tujuan sah yang ingin dicapai, karena faktor iklim,

faktor geografis, atau masalah teknologi yang fundamental.149 Perbedaan antara

keefektifan dan kesesuaian adalah pertanyaan terhadap keefektifan bergantung

pada hasil dari sarana yang diberlakukan, lalu pertanyaan terhadap kesesuaian

berkaitan dengan sifat dari sarana yang diberlakukan. Suatu standar internasional

145 Peter van den Bossche, Op. cit., hal. 460.

146 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 2.4.

147 EC – Sardines, WT/DS231/R, para. 7.110 (Panel Report. 2002).

148 EC - Sardines, WT/DS231/AB/R, para. 249.

149 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 2.4,Lampiran 3F, dan Pasal 5.4.

Universitas Indonesia

52

akan efektif, jika standar tersebut memiliki kapasitas untuk mencapai semua

tujuan yang ingin dicapai dan suatu standar internasional akan sesuai, jika standar

tersebut sesuai dengan pemenuhan semua tujuan yang ingin dicapai.150

Selanjutnya, TBT Agreement mensyaratkan negara anggota WTO untuk

mempertimbangkan untuk menerima, dengan sama, peraturan teknis negara

anggota yang lain, jika mereka puas terhadap peraturan teknis asing tersebut telah

memenuhi tujuan sah yang ingin dicapai oleh peraturan teknis mereka.151

Kemudian, TBT Agreement memberikan negara anggota kewajiban

mengenai transparansi dan pemberitahuan.152 Kewajiban transparansi dan

pemberitahuan terhadap peraturan teknis diatur dalam Pasal 2.9-2.12 TBT

Agreement, yaitu (a)negara anggota harus menerbitkan pengumuman dalam suatu

publikasi pada tahap sedini mungkin, dengan cara yang memungkinkan pihak

yang berkepentingan dalam negara anggota lain mengetahuinya dengan tujuan

untuk memperkenalkan suatu peraturan teknis tertentu; (b) negara anggota harus

memberikan notifikasi kepada negara anggota lain melalui Sekretariat WTO

mengenai barang yang dicakup dalam usulan peraturan teknis, bersama dengan

petunjuk singkat mengenai tujuan dan dasar pemikiran logisnya. Notifikasi

tersebut harus dilakukan sedini mungkin, pada waktu amandemen masih dapat

diajukan dan tanggapan masih dapat dipertimbangkan; (c) negara anggota harus,

atas permintaan, kepada negara anggota lain, memberikan keterangan atau kopi

dari usulan peraturan teknis dan, apabila mungkin, menunjukkan bagian mana

yang isi pokoknya menyimpang dari standar internasional yang relevan; (d)

negara anggota harus, tanpa diskriminasi, memberikan waktu yang cukup kepada

negara anggota lain untuk memberikan tanggapan tertulis, atas permintaan

mendiskusikan tanggapan ini, dan mengindahkan tanggapan tertulis serta hasil

dari diskusi ini. Lalu, negara anggota harus menjamin bahwa semua peraturan

teknis yang telah ditetapkan segera diterbitkan atau jika tidak, dibuat tersedia

dengan cara sedemikian rupa untuk memungkinkan pihak yang berkepentingan

150 EC – Sardines, WT/DS231/AB/R, para. 288.

151 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Pasal 2.7, Pasal6.1, dan Pasal 9.

152 Ibid, Pasal 2.9-2.12, Lampiran 3L-3O, dan Pasal 5.8.

Universitas Indonesia

53

dalam negara anggota lain untuk memahaminya. Selanjutnya, negara anggota

harus memberikan tenggang waktu yang cukup antara penerbitan suatu peraturan

teknis dengan pemberlakuannya untuk memberikan waktu kepada para produsen

dalam negara anggota pengekspor, dan terutama dalam anggota negara

berkembang yang menjadi anggota, untuk menyesuaikan barang atau metode

produksinya dengan persyaratan dari negara anggota pengimpor.

Negara anggota dapat berkonsultasi, mengenai setiap hal yang

menyangkut dengan tujuan atau pelaksanaan TBT Agreement, dalam Komisi

TBT (technical barrier to trade), yang terdiri dari semua negara anggota WTO

dan akan dilaksanakan beberapa kali dalam setahun.153 TBT Agreement

mengandung beberapa peraturan atau prosedur khusus atau tambahan, utamanya

menyangkut dengan kemungkinan panel untuk berkonsultasi dengan sekelompok

ahli teknis.154 Kelompok ahli teknis tersebut berada di bawah wewenang Panel.

Kerangka acuan tugas dan rincian prosedur kerjanya harus ditentukan oleh Panel,

dan mereka harus melapor kepada Panel. Partisipasi dalam kelompok ahli teknis,

harus dibatasi untuk orang yang mempunyai kedudukan profesional dan

berpengalaman di bidang yang dipermasalahkan. Bagi warga dari negara anggota

yang bersengketa tidak boleh menjadi anggota kelompok ahli teknis tanpa

persetujuan bersama antara negara anggota yang bersengketa, kecuali dalam

keadaan luar biasa bila panel mempertimbangkan bahwa bila tidak demikian

kebutuhan akan keahlian ilmiah khusus tidak dapat dipenuhi. Pejabat pemerintah

dari negara anggota yang bersengketa tidak boleh menjadi anggota kelompok ahli

teknis. Anggota kelompok ahli teknis harus bekerja berdasarkan kepasitas

individunya, dan tidak sebagai wakil pemerintah maupun wakil dari suatu

organisasi manapun. Pemerintah atau organisasi tidak boleh memberikan perintah

kepada mereka berkenaan dengan permasalahan mendahului kelompok ahli

teknis. Kelompok ahli teknis dapat berkonsultasi dan mencari informasi dan

saran teknis dari sumber manapun yang dianggap perlu. Sebelum suatu kelompok

ahli teknis mencari informasi atau saran tertentu dari sumber dalam wilayah

153 Ibid, Pasal 13.

154 Ibid, Pasal 14.2-14.3, dan Lampiran 2.

Universitas Indonesia

54

hukum negara anggota, harus memberitahukan kepada pemerintah dari negara

anggota tersebut. Negara anggota harus segera dan secara jelas menjawab setiap

pertanyaan dari kelompok ahli teknis untuk informasi tertentu yang oleh

Kelompok ahli teknik dianggap penting dan tepat. Para negara anggota yang

bersengketa harus dapat memperoleh semua informasi yang relevan, yang

diberikan kepada suatu kelompok ahli teknis, kecuali yang bersifat rahasia.

Informasi rahasia yang diberikan kepada kelompok ahli teknis, tidak boleh

diungkapkan tanpa wewenang resmi dari pemerintah, organisasi atau orang yang

memberikan informasi tersebut. Bila informasi semacam itu dimintakan dari

kelompok ahli teknis, akan tetapi kelompok tersebut tidak berwenang

mengungkapkannya, suatu ringkasan informasi yang bersifat tidak rahasia akan

diberikan oleh pemerintah, organisasi atau orang yang memasok informasi.

Kelompok ahli teknis harus menyampaikan laporan rancangannya kepada negara

anggota yang berkepentingan dengan maksud mendapatkan tanggapan dan

mempertimbangkannya secara layak dalam laporan akhir, yang harus diedarkan

pula kepada negara anggota yang berkepentingan pada waktu disampaikan

kepada Panel.155 Kemudian sebagai tambahan, dengan kesadaran akan kesulitan

yang dihadapi oleh negara anggota berkembang yang akan dihadapi dalam

melaksanakan kewajiban berdasarkan TBT Agreement, TBT Agreement

memberikan bantuan teknis dan beberapa perlakuan khusus dan berbeda untuk

negara anggota berkembang.156

3.2 Prinsip National Treatment dalam Pasal 2.1 TBT Agreement

Pasal 2.1 TBT Agreement menyatakan bahwa :

“Members shall ensure that in respect of technical regulations,products imported from the territory of any Member shall beaccorded treatment no less favourable than that accorded to likeproducts of national origin and to like products originating in anyother country.”157

155 Ibid, Lampiran 2.

156 Ibid, Pasal 12.

157 Ibid., Pasal 2.1.

Universitas Indonesia

55

Pasal 2.1 TBT Agreement menyebutkan bahwa Anggota harus menjamin

bahwa berkenaan dengan peraturan teknis, barang yang diimpor dari wilayah

setiap Anggota harus diberikan perlakuan yang tidak kurang menguntungkan

dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan kepada barang nasional sejenis,

dan barang sejenis yang berasal dari negara lain.158 Pasal 2.1 TBT Agreement

terdiri dari tiga unsur yang harus dibuktikan dalam rangka menentukan

ketidakkonsistensian dengan ketentuan ini, yaitu (i) bahwa tindakan dalam

masalah tersebut merupakan ‘technical regulations’ berdasarkan Lampiran 1.1

TBT Agreement, (ii) bahwa barang impor sejenis dengan barang domestik dan

barang yang berasal dari negara lain, dan (iii) bahwa barang impor sejenis

diperlakukan kurang menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan yang

diberikan kepada barang domestik dan barang sejenis yang berasal dari negara

lain.159 Namun sebelumnya, peneliti akan menjelaskan pendekatan untuk

menginterpretasikan komponen prinsip National Treatment dalam Pasal 2.1 TBT

Agreement. Berdasarkan Appellate Body dalam EC-Asbestos, walaupun istilah

dalam Pasal III:4 GATT 1994 dan Pasal 2.1 TBT Agreement identik, namun

istilah tersebut harus diinterpretasikan menurut konteks dan maksud serta tujuan

dari ketentuan tersebut, dan juga maksud serta tujuan dari perjanjian yang

mengandung ketentuan tersebut.160

i . Tindakan merupakan ‘technical regulations’

Pengertian ‘technical regulations’ dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement :

“Technical regulation Document which lays down productcharacteristics or their related processes and production methods,including the applicable administrative provisions, with whichcompliance is mandatory. It may also include or deal exclusivelywith terminology, symbols, packaging, marking or labellingrequirements as they apply to a product, process or production

158 Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, “Persetujuan tentang Hambatan Teknisdalam Perdagangan (Agreement on Technical Barriers to Trade)”, Pasal 2.1,www.ditjenkpi.kemendag.org, diunduh pada tanggal 6 Maret 2013.

159 EC – Trademarks and Geographical Indications (Australia),WT/DS174/R, para. 7.444(Panel Report. 2005).

160 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 88-89.

Universitas Indonesia

56

method”.161

Dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement ini, dijelaskan bahwa ‘technical

regulations’ adalah dokumen yang menetapkan karakteristik barang atau

metode proses dan metode produksi yang terkait, termasuk ketentuan

administratif yang digunakan, yang pemenuhannya adalah wajib. Dokumen

tersebut dapat pula mencakup atau secara khusus berkenaan dengan

terminologi, simbol, persyaratan pengemasan, penandaan atau pelabelan

seperti digunakan pada barang, metode proses atau metode produksi.162

Dalam EC-Asbestos, Appellate Body menyatakan bahwa inti dari definisi

‘technical regulations’ merupakan suatu ‘dokumen’ yang ‘mengatur’

‘karakteristik barang’. Kata ‘karakteristik’ memiliki beberapa sinonim yang

dapat membantu dalam mengerti arti sebenarnya dari kata tersebut, dalam

konteks ini. ‘Karakteristik’ suatu barang termasuk, setiap ‘fitur’, ‘kualitas’,

‘atribut’, atau ‘tanda pembeda’ suatu barang yang dapat didefinisikan secara

objektif. Suatu ‘karakteristik’ berkaitan, antara lain, dengan komposisi,

ukuran, bentuk, warna, tekstur, kekerasan, daya tarik, kemudahan terbakar,

konduktivitas, kerapatan, atau kekentalan suatu barang. Dalam definisi

‘technical regulations’ dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement sendiri

memberikan contoh khusus mengenai ‘karakteristik barang’ yaitu

‘persyaratan terminologi, simbol, pengemasan, penandaan, atau pelabelan’.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa ‘karakteristik barang’ termasuk, tidak

hanya fitur dan kualitas intrinsik dari barang itu sendiri, tapi juga

berhubungan dengan ‘karakteristik’, seperti sarana identifikasi, presentasi,

dan penampilan barang.

Selain itu, berdasarkan definisi dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement, suatu

‘technical regulations’ dapat ditetapkan melalui ‘ketentuan administratif yang

berlaku’ untuk barang yang memiliki ‘karakteristik’ tertentu. Selanjutnya,

definisi ‘technical regulations’ menyatakan bahwa peraturan semacam itu

161 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, Lampiran 1.1.

162 Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, “Persetujuan tentang Hambatan Teknisdalam Perdagangan (Agreement on Technical Barriers to Trade)”, Lampiran 1.1,www.ditjenkpi.kemendag.org, diunduh pada tanggal 6 Maret 2013.

Universitas Indonesia

57

‘juga dapat termasuk atau berhubungan secara khusus dengan persyaratan

terminologi, simbol, pengemasan, penandaan atau pelabelan.’ Penggunaan

kata ‘khusus’ dan kata hubung ‘atau’ dalam kalimat tersebut menunjukkan

bahwa ‘technical regulations’ akan terbatas untuk mengatur hanya satu atau

beberapa ‘karakteristik barang’.163 Definisi tersebut juga menyatakan bahwa

‘kesesuaian’ terhadap ‘karakteristik barang’ yang ditetapkan dalam ‘technical

regulations’ merupakan suatu kewajiban. Suatu ‘technical regulations’ harus,

dengan kata lain, mengatur ‘karakteristik’ dari suatu barang dengan cara yang

mengikat dan wajib. Dengan demikian, sehubungan dengan barang, suatu

‘technical regulations’ memiliki efek memberlakukan satu atau lebih

‘karakteristik’, (‘fitur’, ‘kualitas’, ‘atribut’, atau ‘tanda pembeda’).164

‘Karakteristik barang’ akan dikenakan terhadap barang baik dalam bentuk

yang positif atau negatif. Bahwa, peraturan teknis mewajibkan, secara positif,

bahwa barang harus memiliki ‘karakteristik’ tertentu, atau peraturan teknis

mewajibkan, secara negatif, bahwa barang tidak boleh memiliki

‘karakteristik’ tertentu. Dalam kedua hal ini, dampak hukumnya sama yaitu

peraturan teknis ‘meletakkan’ ‘karakteristik’ tertentu yang mengikat terhadap

barang, dalam satu hal memberi dampak positif dan yang lain memberi

dampak negatif.165

Mengenai barang yang diterapkan peraturan teknis, Appellate Body dalam

EC-Asbestos menyatakan bahwa suatu ‘technical regulations’ harus, berlaku

terhadap barang atau sekelompok barang yang dapat diidentifikasikan.

Namun sebaliknya, penegakan peraturan tersebut akan, secara praktis, tidak

mungkin. Pertimbangan ini juga mendasari kewajiban formal, dalam Pasal

2.9.2 TBT Agreement, untuk negara anggota memberitahukan negara anggota

yang lain, melalui Sekretariat WTO, mengenai ‘barang yang dicakup’ oleh

suatu ‘technical regulations’ yang diusulkan. Dalam hal ini, jelas bahwa

kesesuaian dengan kewajiban ini membutuhkan identifikasi terhadap cakupan

barang dari suatu peraturan teknis. Namun, berbeda dengan apa yang

163 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 67.

164 Ibid., para. 68.

165 Ibid.,para. 69.

Universitas Indonesia

58

disarankan oleh Panel bahwa hal ini tidak berarti suatu ‘technical regulations’

harus berlaku terhadap barang yang disebutkan, diidentifikasi, atau

dispesifikasi dalam peraturan tersebut. Meskipun, TBT Agreement jelas

berlaku untuk ‘barang’ pada umumnya, tidak ada dalam teks Perjanjian

tersebut yang menunjukkan bahwa barang-barang tersebut perlu disebutkan

atau sebaliknya secara tegas diidentifikasikan di dalam ‘technical

regulations’. Selain itu, mungkin ada alasan administrasi yang sesuai untuk

membentuk suatu ‘technical regulations’ dengan cara yang tidak tegas

menyebutkan barang tersebut dengan nama, tetapi hanya membuat barang

tersebut teridentifikasi, melalui ‘karakteristik’ barang yang merupakan inti

dari peraturan tersebut.”166

Di EC-Sardines, Appellate Body meringkas penafsirannya terhadap definisi

‘technical regulations’ yang diawali dengan tiga kriteria bahwa dokumen

harus sesuai dengan definisi ‘technical regulations’ dalam TBT Agreement.

Pertama, peraturan teknis harus berlaku untuk barang atau sekelompok

barang yang dapat diidentifikasi. Barang atau sekelompok barang tersebut

tidak perlu secara tegas disebutkan dalam dokumen. Kedua, peraturan teknis

harus mengatur satu atau lebih karakteristik dari barang. Karakteristik barang

ini dapat merupakan intrinsik, atau juga berkaitan dengan barang tersebut.

Karakteristik ini dapat ditentukan atau diberlakukan dalam bentuk positif

maupun negatif. Ketiga, kesesuaian dengan karakteristik barang merupakan

suatu kewajiban. Sebagaimana telah ditekankan oleh Appellate Body dalam

EC-Asbestos, ketiga kriteria ini berasal dari kata-kata definisi dalam

Lampiran 1.1 TBT Agreement. Dengan demikian, kriteria ini dapat

menentukan apakah suatu dokumen merupakan ‘technical regulations’

berdasarkan TBT Agreement.167

Lalu, Appellate Body di EC-Sardines juga menyebutkan bahwa dalam EC-

Asbestos lebih jauh menjelaskan kriteria pertama, bahwa peraturan teknis

berlaku terhadap barang atau sekelompok barang yang dapat diidentifikasi,

166 Ibid., para. 70.

167 EC – Sardines, WT/DS231/AB/R, para. 176 dan EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R,para. 66-70.

Universitas Indonesia

59

menegaskan bahwa ‘barang tersebut tidak harus disebutkan secara eksplisit

dalam peraturan teknis, sehingga barang tersebut dianggap sebagai barang

yang dapat diidentifikasikan’. Lalu, dapat diidentifikasikan bukan berarti

secara tegas diidentifikasi.168 Berkenaan dengan kriteria kedua yaitu

persyaratan bahwa peraturan teknis harus mengatur mengenai satu atau lebih

karakteristik barang, Appellate Body dalam EC-Sardines menolak argumen

oleh Masyarakat Eropa (EC) bahwa suatu peraturan teknis dalam hal ini tidak

mengatur karakteristik barang, melainkan mengatur suatu ‘sistem penamaan’

(naming rule). Kemudian, Appellate Body menyatakan bahwa ‘karakteristik

barang’ tidak hanya mencakup fitur dan kualitas instrinsik suatu barang’,

tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti ‘sarana

identifikasi’.169

ii . Barang impor merupakan barang sejenis dengan barang domestik dan barang

yang berasal dari negara lain (like products)

Mengenai unsur ‘like products’, Appellate Body dalam EC-Asbestos

menyatakan bahwa “selama pengertian yang dikaitkan dengan istilah ‘like

products’ dalam ketentuan lain dalam GATT 1994, atau dalam perjanjian

yang lain, dapat menjadi konteks yang berkaitan dalam menginterpretasikan

Pasal III:4 GATT 1994, interpretasi dari ‘like products’ dalam Pasal III:4

GATT 1994 tidak harus identik, dalam semua hal, dengan pengertian dari

ketentuan yang lain tersebut.”170 Lalu mengenai accordion dalam

menggambarkan ‘like’, Appellate Body dalam Japan-Alcoholic Beverages II

menggunakan empat kriteria umum dalam Border Tax Adjustment:171

a. Karakteristik fisik barang (physical properties, nature, and quality)

b. Kegunaan akhir dari barang (the product’s end-uses in a given market)

c. Kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang (consumers’ tastes and

habits)

168 EC – Sardines, WT/DS231/AB/R, para. 180 dan EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R,para. 70.

169 EC – Sardines, WT/DS231/AB/R, para. 189.

170 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 89.

171 Report of the Working Party on Border Tax Adjustments, BISD 18S/97, para. 18.

Universitas Indonesia

60

d. Faktor klasifikasi tarif internasional dari barang172)

Dalam melakukan hal tersebut untuk menggambarkan ‘like’ sebagai

accordion yang ‘ditarik dan ditekan’ tergantung pada konteks dan perjanjian

yang mengandung istilah tersebut. Kriteria yang diberikan dalam Border Tax

Adjustment harus diperiksa, tapi tidak ada yang dapat memberikan definisi

yang mutlak mengenai ‘like’. Interpretasi dari ‘like’ dalam setiap kasus

berbeda.173 Maka, ‘accordion’ dari barang sejenis sebagaimana yang

dipertimbangkan oleh Appellate Body dalam EC-Asbestos memperbolehkan,

dan menyarankan, interpretasi yang berbeda terhadap istilah ‘like products’

berdasarkan Pasal III: 4 GATT 1994 dan Pasal 2.1 TBT Agreement.174

Lalu, menurut Appellate Body dalam EC-Asbestos menyatakan bahwa empat

kriteria umum tersebut ‘disediakan sebagai suatu kerangka untuk

menganalisis ‘like’ suatu barang tertentu berdasakan kasus per kasus’.175 Lalu,

Appellate Body selanjutnya menjelaskan bahwa kriteria ini adalah ‘alat

sederhana untuk membantu dalam memisahkan dan memeriksa bukti yang

relevan’ dan kriteria ini ‘bukan ketentuan yang tertutup dalam perjanjian’.176

Appellate Body juga mengingatkan, walaupun setiap kriteria yang disebutkan

dalam pemeriksaannya dilakukan secara terpisah, bukan berarti kriteria ini

tidak saling berkaitan.177

a. Karakteristik fisik barang (physical properties, nature, and quality)

The Report of the GATT Working Party on Border Tax Adjustments

mengatur bahwa kriteria pertama yang harus dianalisis saat menilai ‘like’

adalah karakteristik fisik dari barang tersebut. Dalam EC-Asbestos,

Appellate Body menjelaskan bahwa kriteria pertama mengenai

karakteristik fisik barang, harus diperiksa secara menyeluruh dan, secara

172 Japan-Customs Duties, Taxes and Labelling Practices on Imported Wines andAlcoholic Beverages, BISD 34S/83.

173 Japan – Alcoholic Beverages II, WT/DS8/AB/R, WT/DS10/AB/R, WT/DS11/AB/R,hal. 21.

174 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 99

175 Ibid., para. 102.

176 Ibid.

177 Ibid.

Universitas Indonesia

61

khusus, di dalam konteks dari pasal dan perjanjian dari pasal tersebut.178

Lalu, Appellate Body menjelaskan bahwa kriteria yang berbeda dari ‘like’

saling berkaitan. Sebagai contoh, mengenai karakteristik fisik suatu

barang, Appellate Body mengamati bahwa karakteristik fisik barang

membentuk dan membatasi kegunaan akhir yang dapat diberikan oleh

barang tersebut, dan bahwa tarif klasifikasi menunjukkan karakteristik

fisik dari barang tersebut.179 Walaupun demikian, Appellate Body

mengharuskan adanya pemeriksaan yang terpisah terhadap kriteria-kriteria

tersebut dan juga menggarisbawahi pentingnya pemeriksaan menyeluruh

terhadap karakteristik fisik dari barang. Walaupun tidak mutlak, sejauh apa

barang-barang tersebut memiliki karakteristik fisik yang sama dapat

berguna sebagai indikator ‘like’. Selanjutnya, fisik dari barang dapat juga

mempengaruhi bagaimana barang tersebut digunakan, sikap konsumen

terhadap barang tersebut, dan tarif klasifikasi.180 Kemudian, Appellate

Body dalam EC-Asbestos mengharuskan adanya analisis yang terpisah

terhadap karakteristik fisik yang tidak boleh dicampur dengan

pemeriksaan terhadap kegunaan akhir.181 Hal ini dikarenakan jika barang-

barang yang memiliki karakteristik fisik yang berbeda mungkin, dalam

situasi tertentu, dapat menunjukkan kegunaan akhir yang identik, tetapi itu

tidak berarti mereka sama.182

b. Kegunaan akhir dari barang (the product’s end-uses in a given market)

Appellate Body dalam EC-Asbestos telah menyatakan bahwa analisis

terhadap kriteria kegunaan akhir tidak boleh dicampur dengan dengan

analisis terhadap kriteria karakteristik fisik dari barang183 dan juga

kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang tersebut. Mengenai

kegunaan akhir, Appellate Body menjelaskan bahwa kegunaan akhir

178 Ibid., para. 110 dan 114.

179 Ibid., para. 102.

180 Ibid., para. 111.

181 Ibid.

182 Ibid., para. 111-112

183 Ibid., para. 111.

Universitas Indonesia

62

berhubungan dengan sejauh apa kedua barang mampu untuk menunjukkan

fungsi yang sama, sementara kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap

barang berhubungan dengan ‘sejauh apa konsumen berkeinginan untuk

menggunakan barang untuk melaksanakan fungsinya.184 Namun, Appellate

Body dalam EC-Asbestos menyatakan bahwa setiap kriteria, secara prinsip,

memiliki aspek yang berbeda dari barang, yang harus diperiksa secara

terpisah, tapi kriteria yang berbeda ini saling berkaitan dan tidak berdiri

sendiri, sehingga suatu bukti tertentu dapat termasuk dalam lebih dari satu

kriteria.185 Appellate Body menjelaskan bahwa hanya dengan membentuk

gambaran yang lengkap mengenai variasi kegunaan akhir dari barang,

maka dapat dinilai berbeda dari fakta bahwa barang-barang tersebut

memiliki beberapa kegunaan akhir yang sama.186

c. Kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang (consumers’ tastes and

habits)

Dalam EC-Asbestos, Appellate Body mendefinisikan ‘consumers’ tastes’

sebagai sejauh mana konsumen berkeinginan untuk memilih salah satu

dari barang dibandingkan dengan barang yang lain untuk melaksanakan

kegunaan akhir tersebut.187 Analisis terhadap pilihan konsumen akan

mencakup penentuan kemampuan substitusi dari satu barang terhadap

barang yang lain. Konsep dari substitusi didasari potensi dari konsumen

untuk mensubstitusikan sesuatu dengan yang lain.188

d. Faktor klasifikasi tarif internasional dari barang

Kriteria yang terakhir yaitu tarif klasifikasi dari barang tersebut. Menurut

Appellate Body dalam EC-Asbestos, tarif klasifikasi merefleksikan

karakteristik fisik dari suatu barang.189 Namun, walaupun tarif klasifikasi

184 Ibid., para. 117.

185 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 102.

186 Ibid., para. 119.

187 Ibid., para. 117.

188 Ibid.

189 Ibid., para. 102.

Universitas Indonesia

63

dari barang yang dibandingkan sama, indikasi ini dengan sendiri tidak

dapat menentukan barang tersebut ‘like’.190

iii . Perlakuan terhadap barang impor ‘less favourable’ daripada perlakuan

terhadap barang domestik dan barang yang berasal dari negara lain

Berdasarkan Panel dalam EC – Trademarks and Geographical Indications

(Australia), Pasal 2.1 TBT Agreement dan Pasal III:4 GATT 1994 mengatur

hal yang berkaitan dengan kewajiban National Treatment.191 Hal ini

ditunjukkan melalui unsur esensial dalam mengajukan klaim berdasarkan

Pasal 2.1 TBT Agreement yaitu perlakuan terhadap barang impor yang ‘less

favourable’ dibandingkan terhadap barang domestik yang sejenis. Panel

mencatat bahwa terdapat kesamaan dalam istilah yang terdapat dalam Pasal

2.1 TBT Agreement dan Pasal III:4 GATT 1994, yang juga merujuk pada ‘no

less favourable treatment’. Kemudian, kalimat pembuka dari TBT Agreement

secara jelas juga menyatakan keinginan untuk melanjutkan tujuan dari GATT

1994’.192 Maka, Panel dalam EC — Trademarks and Geographical

Indications (Australia) menyatakan kesamaan istilah dalam Pasal 2.1 TBT

Agreement dan Pasal III:4 GATT 1994, tetapi hal tersebut tidak perlu

dianggap adanya perbedaan dalam interpretasi.193

Dalam Korea – Various Measures on Beef, Appellate Body menyatakan

bahwa analisis terhadap perlakuan yang kurang menguntungkan berdasarkan

Pasal III:4 harus difokuskan pada ‘kondisi persaingan’ antara barang impor

dan barang domestik yang sejenis.194 Berdasarkan arti ‘no less favourable

treatment’, maka hal ini bergantung pada kondisi dari kompetisi yang tidak

kurang menguntungkan terhadap barang impor dibandingkan dengan barang

domestik yang sejenis. Interpretasi ini, yang berfokus pada kondisi kompetisi

antara barang impor dan barang domestik yang sejenis, menunjukkan bahwa

190 Ibid., para. 146.

191 EC – Trademarks and Geographical Indications (Australia), WT/DS290/R, para.7.469 (Panel Report. 2005).

192 Ibid., para. 7.464.

193 “WTO Analytical Index : Technical Barriers, Agreement on Technical Barrier toTrade”, worldtradelaw.typepad.com/…/the-relationship-of-gatt-article-iii4-and-tbt-a…

194Korea – Various Measures on Beef, WT/DS161/AB/R, para. 136.

Universitas Indonesia

64

suatu tindakan berdasarkan perlakuan yang secara formal berbeda terhadap

barang impor tidak langsung menjadikannya pelanggaran Pasal III:4 GATT

1994.195 Selanjutnya, Appellate Body menjelaskan bahwa perbedaan secara

formal dalam perlakuan antara barang impor dan domestik tidak dapat

dianggap sebagai pelanggaran terhadap Pasal III:4 GATT 1994. Maka, untuk

menentukan apakah barang impor telah diperlakukan ‘less favourable’

dibandingkan dengan barang domestik, harus dilakukan penilaian dengan

memeriksa apakah tindakan tersebut mengubah kondisi persaingan dalam

pasar untuk merugikan barang impor.196 Lalu, dalam EC-Asbestos, Appellate

Body menjelaskan bahwa barang impor akan diperlakukan kurang

menguntungkan dibandingkan dengan barang domestik yang sejenis, saat

peraturan teknis pembeda yang merugikan sekelompok barang impor

dibandingkan dengan sekelompok barang domestik yang sejenis. Appellate

Body beralasan bahwa klausa ‘no less favourable treatment’ dalam Pasal III:4

GATT menunjukkan prinsip umum yang ada dalam Pasal III:1 GATT 1994

yaitu tidak boleh diterapkan ‘so as to afford protection to domestic

production.’ Jika terdapat ‘less favourable treatment’ terhadap sekelompok

barang impor yang sejenis, yang dalam hal ini terdapat perlindungan terhadap

sekelompok barang domestik yang sejenis. Namun, seorang negara anggota

yang membentuk pembedaan antara barang-barang yang telah dianggap

‘like’, tanpa, untuk alasan ini saja, terhadap sekelompok barang impor yang

sejenis sudah dianggap dianggap sebagai ‘less favourable treatment’

dibandingkan dengan sekelompok barang domestik yang ‘like’.197

3.3 Hubungan antara Prinsip National Treatment dalam Pasal III:4

GATT dan Pasal 2.1 TBT Agreement

Appellate Body dalam EC-Asbestos menemukan bahwa dalam

perbandingan antara TBT Agreement terhadap GATT 1994, TBT Agreement

mengatur sebuah rezim hukum yang khusus, yaitu memberikan kewajiban

195 Ibid., para. 135-136.

196 Ibid., para. 137.

197 EC – Asbestos,WT/DS135/AB/R, para. 100.

Universitas Indonesia

65

tambahan.198 Hal ini juga diperkuat melalui kalimat pembukaan kedua dari TBT

Agreement yang menyatakan bahwa TBT Agreement dibentuk untuk melanjutkan

tujuan-tujuan dari GATT 1994.199 Dengan dua perjanjian ini yang bersifat

kumulatif ini, maka suatu peraturan teknis yang mengatur mengenai diskriminasi

diatur dalam lingkup Pasal III:4 GATT 1994 dan juga Pasal 2.1 TBT Agreement

dan Pasal 2.2 TBT Agreement. Lalu, Pasal 2.1 TBT Agreement, serupa dengan

Pasal III dan I GATT 1994 yang mensyaratkan ‘perlakuan yang tidak kurang

menguntungkan terhadap barang yang sejenis yang berasal dari negara lain

dibandingkan dengan barang sejenis dari dalam negeri’.200 Obligasi non-

diskriminasi ini menggabungkan antara perlakuan Most Favored Nations dan

National Treatment dalam satu ketentuan. Hal ini terdiri dari dua elemen dasar

mengenai ‘less favourable treatment’ dan ‘like products’. Tetapi, perbedaan

utama Pasal 2.1 TBT Agreement dengan Pasal I dan III GATT 1994 berkaitan

dengan fakta bahwa ruang lingkupnya terbatas pada peraturan teknis, sedangkan

ketentuan GATT 1994 berhadapan dengan ruang lingkup perundang-undangan,

peraturan, dan persyaratan yang lebih luas. Dengan melihat kesamaan dalam

pengaturan mengenai peraturan teknis, maka konsep ‘like products’ dalam prinsip

Most Favored Nations dan National Treatment dapat dikatakan juga berlaku

dalam Pasal 2.1 TBT Agreement. 201

Namun, harus diingat bahwa TBT Agreement tidak memiliki klausula

pengecualian umum seperti dalam Pasal XX GATT 1994 dan Pasal XIV GATS.

Maka, beberapa penulis menyarankan dibuatnya interpretasi mengenai konsep

‘like products’ yang lebih sempit dalam Pasal 2.1 TBT Agreement.202 Sebagai

198 Ibid., para. 80.

199 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, kalimat pembukakedua.

200 George A. Bermann dan Petros C. Mavroidis, Trade and Human Health and Safety(New York: Cambridge University press, 2006), hal. 19

201 Arthur E. Appleton, “The Agreement on Technical Barriers to Trade” dalam TheWorld Trade Organization: Legal, Economic and Political Analysis, vol. I, (New York : Springer,2005), hal. 216.

202 Ludivine Tamiotti, “Commentary to Article 2 TBT (preparation, adoption andapplication of technical regulations)” dalam WTO – Technical Barriers and SPS Measures: MaxPlanck Commentaries on World Trade Law, vol. 3, (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2007),hal. 217.

Universitas Indonesia

66

alternatif, solusi yang paling mungkin yaitu dengan melihat Pasal 2.1 TBT

Agreement dengan hubungannya dengan Pasal 2.2 TBT Agreement. Karena dalam

Pasal 2.2 TBT Agreement, ‘technical regulations are not prepared, adopted or

applied with a view to or with the effect of creating unnecessary obstacles to

international trade’. Tipe obligasi ini berlaku pada tindakan yang tidak dibedakan

secara de facto dan de jure antara barang impor dan domestik dan akan

memberikan suatu bentuk prinsip ‘non-restriksif’ yang lebih integratif.203 Daftar

tujuan yang sah tersebut adalah persyaratan keamanan nasional, pencegahan

terhadap praktik penipuan, perlindungan terhadap kesehatan atau keamanan

manusia, kehidupan atau kesehatan binatang atau tanaman, atau lingkungan.204

Dengan mempertimbangkan bahwa suatu tindakan diskriminasi

berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement pada saat bersamaan merupakan suatu

hambatan dalam perdagangan menurut Pasal 2.2 TBT Agreement, hal ini tidak

konsisten bahwa suatu tindakan dapat dibenarkan berdasarkan Pasal 2.2 TBT

Agreement tetapi tidak dalam Pasal 2.1 TBT Agreement. Dengan demikian,

pengecualian dalam Pasal 2.2 TBT Agreement harus secara prinsip juga berlaku

terhadap tindakan diskriminasi menurut Pasal 2.1 TBT Agreement.205 Kemudian,

dengan mempertimbangkan bahwa karakter lex specialis dari TBT Agreement,

seseorang dapat berpendapat bahwa dengan tidak adanya klausula pengecualian

umum dalam rezim yang lebih khusus, Pasal XX GATT 1994 dalam rezim yang

lebih umum menjadi berlaku. Maka, solusinya adalah Pasal XX GATT 1994

mengandung daftar lengkap dari tujuan yang sah, sedangkan daftar dalam Pasal

2.2 TBT Agreement lebih memberikan kesempatan yang lebih luas untuk

membenarkan tindakan yang membatasi dalam perdagangan. Daftar dalam Pasal

2.2 TBT Agreement dapat dijelaskan dengan fakta bahwa prinsip non-restriktif

lebih integratif dibandingkan dengan kewajiban non-diskriminasi, sehingga

membutuhkan bentuk pengecualian yang lebih luas. Dengan demikian,

203 Federico Ortino, Basic Legal Instruments for the Liberalisation of Trade – AComparative Analysis of EC and WTO Law (Oxford: Hart Publishing, 2004), hal. 434.

204 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, kalimat pembukakeenam.

205 Nicolas F. Diebold, Non Discrimination in Internatinal Trade in Services (‘Likenessin WTO/GATS’) (New York: Cambridge University Press, 2010), hal. 141.

Universitas Indonesia

67

dikarenakan Pasal 2.1 TBT Agreement dan Pasal III GATT 1994 terbatas pada

prinsip non-diskriminasi, hal ini menunjukkan bahwa ini pantas jika pengecualian

umum dalam daftar lengkap pengecualian umum Pasal XX GATT 1994

diberlakukan kepada Pasal 2.1 TBT Agreement.206

3. 4 Kesimpulan

Maka, dari hasil penjelasan diatas dapat dihasilkan kesimpulan sebagai

berikut. TBT Agreement merupakan ketentuan WTO (Organisasi Perdagangan

Internasional) yang mengatur mengenai persyaratan terhadap hambatan teknis

dalam perdagangan, yang mana berlaku pada peraturan teknis, standar dan

prosedur penilaian kepatuhan.207 Ketentuan substansi dasar dari TBT Agreement

terdiri dari beberapa prinsip yang mana juga ditemukan dalam GATT 1994,

seperti kewajiban perlakuan Most Favored Nations, kewajiban National

Treatment, dan kewajiban untuk tidak memberlakukan hambatan yang tidak perlu

dalam perdagangan internasional. Pengaturan mengenai prinsip National

Treatment dalam TBT Agreement diatur dalam Pasal 2.1 TBT Agreement.

Pasal 2.1 TBT Agreement mengatur bahwa setiap negara anggota harus

menjamin peraturan teknis terhadap barang impor dari wilayah setiap negara

anggota yang lainnya diperlakukan dengan tidak kurang menguntungkan

dibandingkan dengan barang sejenis yang berasal dari domestik dan pada barang

sejenis yang berasal dari negara anggota yang lainnya.208 Pasal 2.1 TBT

Agreement terdiri dari tiga unsur yang harus dibuktikan dalam rangka menentukan

ketidakkonsistensian dengan ketentuan ini, yaitu (i) bahwa tindakan dalam

masalah tersebut merupakan ‘technical regulations’ berdasarkan Lampiran 1.1

TBT Agreement, (ii) bahwa barang impor harus sejenis dengan barang domestik

dan barang yang berasal dari negara lain, dan (iii) bahwa perlakuan terhadap

206 Erich Vranes, Trade and the Environment: Fundamental Issues in International Law,WTO Law, and Legal Theory (Oxford: Oxford University Press, 2009), hal. 305.

207 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi, Op. cit.,hal. 83.

208 Pernyataan ini adalah terjemahan peneliti. Versi bahasa inggris terdapat dalam Pasal2.1 TBT Agreement

Universitas Indonesia

68

barang impor harus kurang menguntungkan daripada perlakuan yang diberikan

kepada barang domestik dan barang sejenis yang berasal dari negara lain.209

Berdasarkan kalimat pembukaan kedua dari TBT Agreement, TBT

Agreement dibentuk untuk melanjutkan tujuan-tujuan dari GATT 1994.210 Jadi,

mengenai dua perjanjian yang bersifat kumulatif ini, suatu peraturan teknis

diskriminasi diatur dalam lingkup Pasal III:4 GATT 1994 dan juga Pasal 2.1 TBT

Agreement serta Pasal 2.2 TBT Agreement. Maka, Pasal 2.1 TBT Agreement,

melanjutkan tujuan dari Pasal III dan I GATT 1994 yang mensyaratkan

‘perlakuan yang tidak kurang menguntungkan terhadap barang yang sejenis yang

berasal dari negara lain dibandingkan dengan barang sejenis dari dalam negeri’.211

Kemudian, mengenai pengecualian umum terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement

dengan mempertimbangkan karakter lex specialis dari TBT Agreement, serta

dengan tidak adanya klausula pengecualian umum dalam rezim yang lebih

khusus, maka Pasal XX GATT 1994 dalam rezim yang lebih umum menjadi

berlaku. Dengan demikian, solusi pada pengecualian dari Pasal 2.1 TBT

Agreement adalah Pasal XX GATT 1994 mengandung daftar lengkap dari tujuan

yang sah, sedangkan daftar dalam Pasal 2.2 TBT Agreement lebih memberikan

kesempatan yang lebih luas untuk membenarkan tindakan yang membatasi dalam

perdagangan.

209 EC – Trademarks and Geographical Indications (Australia),WT/DS174/R, para.7.444.

210 World Trade Organization, Technical Barrier to Trade Agreement, kalimat pembukakedua.

211 George A. Bermann dan Petros C. Mavroidis, loc. cit.

Universitas Indonesia

BAB 4

ANALISIS PUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY WTO PADA

KASUS WTO US-CLOVE CIGARETTES (TOBACCO CONTROL ACT) 2012

MENGENAI PRINSIP NATIONAL TREATMENT

4.1 Pendahuluan

Dalam Bab ini akan dijelaskan mengenai analisis terhadap interpretasi

prinsip National Treatment oleh Dispute Settlement Body WTO dalam kasus US-

Clove Cigarettes (Tobacco Control Act). Dalam kasus ini, analisis terhadap

prinsip National Treatment akan fokuskan pada Pasal 2.1 TBT Agreement.

Sehingga, akan dianalisis apakah putusan mengenai interpretasi prinsip National

Treatment dalam kasus ini telah sesuai dengan prinsip National Treatment yang

diatur oleh WTO yang telah dijelaskan oleh Peneliti dalam Bab sebelumnya.

4.2 Kasus Posisi

Indonesia menentang Bagian 907(a)(1)(A) ‘special rule for cigarettes’

dalam the Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act of 2009

(FSPTCA).212 Tujuan dari ‘special rule for cigarettes’ tersebut adalah mengurang

kaum muda perokok dengan melarang rokok dengan ‘characterizing flavours’.

Salah satu jenis rokok yang lolos dari larangan tersebut adalah rokok mentol.213

Indonesia telah mengekspor rokok kretek ke Amerika Serikat selama lebih dari 40

tahun.214 Meskipun rokok kretek penting terhadap perekonomian dan masyarakat

Indonesia, Indonesia tidak keberatan dengan tindakan yang wajar yang dibentuk

untuk mencegah rokok, termasuk rokok kretek, dari jangkauan anak-anak.

212 US-Clove Cigarettes, WT/DS406/R, Annex A-1, para.1 (Executive Summary of theFirst Written Submission of Indonesia. 2011).

213 Ibid., para. 2.

214 Ibid., para. 4.

Universitas Indonesia

70

Namun, apa yang menjadi keberatan Indonesia terhadap suatu tindakan, dalam

kasus ini adalah ‘special rule for cigarettes’ dalam the Family Smoking

Prevention and Tobacco Control Act of 2009 (FSPTCA) mengenai Pencegahan

Keluarga Merokok dan Pengendalian Tembakau, memberlakukan larangan

sepenuhnya terhadap rokok kretek dari Indonesia, sementara memberikan sedikit

atau tidak ada pembatasan yang terhadap rokok tembakau dan rokok mentol asal

Amerika Serikat.215

Pada tahun 2007, total pasar Amerika Serikat untuk rokok kira-kira

berjumlah 360 miliar rokok. Impor terhadap rokok kretek berjumlah 398,9 juta

atau kira-kira 1/10 dari total 1% jumlah rokok dalam pasar Amerika Serikat.

Berdasarkan the Tobacco Merchants Association, semua rokok kretek yang dijual

di Amerika Serikat adalah barang impor, yang mana hampir sebagian besar

berasal dari Indonesia.216 Sejak pemberlakuan peraturan ini, rokok kretek dilarang

untuk beredar di Amerika Serikat yang mengakibatkan ekspor rokok kretek per

tahun dari Indonesia jatuh dari kira-kira US$15 juta sebelum larangan tersebut

menjadikannya nol, sedangkan rokok mentol dan rokok tembakau tetap

diproduksi dan dijual di Amerika Serikat.217

Dengan demikian, dalam kasus ini, Indonesia mengajukan klaim bahwa

Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA tidak sesuai dengan Pasal 2.1 TBT Agreement dan

secara alternatif, Pasal III:4 GATT 1994. Lalu Amerika Serikat mengajukan klaim

bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA sesuai dengan Pasal 2.1 TBT Agreement

dan Pasal III:4 GATT 1994.

4.3 Argumentasi Hukum dari Para Pihak mengenai Prinsip National

Treatment

4.3.1 Argumentasi Hukum Indonesia

A. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Merupakan Peraturan Teknis (Technical

Regulation) Menurut Lampiran 1.1 TBT Agreement

215 Ibid., para. 5.

216 Ibid., para. 10.

217 Ibid., para. 13.

Universitas Indonesia

71

Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA melanggar Pasal 2.1 TBT Agreement

karena hal ini merupakan peraturan teknis yang memberikan perlakuan ‘less

favourable’ terhadap rokok kretek impor dibandingkan dengan barang domestik

yang sejenis yaitu rokok mentol dan rokok tembakau.218 Dalam EC-Asbestos,219

Appellate Body menginterpretasikan ‘technical regulation’ sebagai dokumen yang

‘mengatur karakteristik dari barang dengan cara yang mengikat atau wajib’, yang

memiliki efek ‘memaksakan satu atau lebih karakteristik’. Maka, suatu ‘technical

regulation’ merupakan: (1)tindakan yang berlaku pada suatu barang atau

sekelompok barang yang bisa diidentifikasi, (2)tindakan yang menyebutkan

karakteristik dari barang dan/atau proses atau cara produksi yang berkaitan

dengan barang tersebut, (3)tindakan tersebut adalah wajib berkaitan dengan

kepatuhan pada karakteristik barang.220 Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA memenuhi

semua kriteria ini .221

B. Bagian 907 (a)(1)(A) FSPTCA Tidak Sesuai Dengan Pasal 2.1 TBT

Agreement dan Secara Alternatif, Pasal III:4 GATT 1994

1. Rokok Kretek Adalah Sejenis (Like) Dengan Rokok Lain yang Diproduksi

Domestik Secara Umum, dan Rokok Mentol, Secara Khusus.

Berdasarkan Border Tax Adjustment,222 ada empat kriteria umum untuk

menentukan ‘like’, yaitu karakteristik fisik barang (physical properties, nature,

and quality), kegunaan akhir dari barang (the product’s end-uses in a given

market), kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang (consumers’ tastes and

habits), faktor klasifikasi tarif internasional dari barang.223

i . Karakteristik Fisik Barang (Physical Properties, Nature, and Quality)

Rokok kretek dan rokok yang diproduksi domestik, termasuk rokok mentol,

yang memiliki karakteristik fisik yang sama. Kedua rokok tersebut

218 Ibid., para. 15

219 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 67–70.

220 US-Clove Cigarettes, WT/DS406/R, Annex A-1, para.16 (Executive Summary of theFirst Written Submission of Indonesia. 2011).

221 Ibid., para. 17.

222 Report of the Working Party on Border Tax Adjustments, BISD 18S/97, para. 18.

223 US-Clove Cigarettes, WT/DS406/R, Annex A-1, para. 18(Executive Summary of theFirst Written Submission of Indonesia. 2011).

Universitas Indonesia

72

mengandung tembakau yang telah diawetkan dan dicampur di dalam kertas

pembungkus dengan filter. Kedua rokok ini juga mengandung bahan-bahan

tambahan dan perasa yang menciptakan rasa yang unik dari masing-masing

merek. Selain itu, kedua rokok tersebut juga memenuhi definisi ‘rokok’

menurut pemerintah Amerika Serikat. Panel dalam EC-Asbestos224

menyatakan bahwa kadar racun juga hal yang berkaitan dengan karakter fisik

saat menentukan barang-barang tersebut adalah ‘like’.

ii . Kegunaan Akhir Dari Barang (the Product’s End-Uses in a Given Market)

Kegunaan akhir dari semua rokok, termasuk rokok kretek dan rokok mentol

sama, yaitu digunakan untuk merokok tembakau.225

iii . Kebiasaan dan Pilihan Konsumen Terhadap Barang (Consumers’ Tastes and

Habits)

Konsumen menganggap rokok tembakau, rokok mentol, dan rokok kretek

sebagai ‘sarana alternatif untuk melakukan fungsi tertentu, yaitu untuk

memenuhi kebutuhan tertentu atau permintaan tertentu’ (yaitu sarana

alternatif merokok). Singkatnya, semua rokok ada dalam hubungan

kompetitif satu sama lain untuk akses terhadap distribusi, ruang display, dan

pangsa pasar.226

iv . Faktor Klasifikasi Tarif Internasional Dari Barang

Rokok kretek dan rokok yang diproduksi domestik memiliki klasifikasi tarif

internasional yang sama pada tingkat enam digit, tingkat yang paling rinci

yang digunakan antara negara anggota WTO.227

Indonesia juga berargumen bahwa dalam konteks Pasal 2.1 TBT Agreement, suatu

penentuan terhadap ‘likeness’ adalah secara mendasar ditentukan melalui sifat dan

sejauh apa hubungan kompetitif antara barang-barang, sebagaimana dijelaskan

oleh yurisprudensi dari Pasal III:4 GATT 1994. Alasan Indonesia didasarkan pada

224 EC-Asbestos, WT/DS135/R, Para.8.220 (Panel Report. 2000).

225 US-Clove Cigarettes, WT/DS406/R, Annex A-1, para. 22(Executive Summary of theFirst Written Submission of Indonesia. 2011).

226 Ibid., para. 23.

227 Ibid., para. 24.

Universitas Indonesia

73

fakta bahwa GATT 1994 dan TBT Agreement memiliki konteks masing-masing,

tapi dapat saling digunakan untuk interpretasi yang satu sama lain.228

2. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Memberikan Perlakuan Kurang

Menguntungkan (Less Favourable) Terhadap Rokok Kretek Impor

Dibandingkan Dengan Rokok Mentol yang Diproduksi Domestik

Larangan dalam Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA menciptakan kondisi

persaingan yang tidak sama dalam pasar Amerika Serikat dan hal tersebut

merupakan perlakuan ‘less favourable’.229 Bagian 907(a)(1) (A) FSPTCA juga

tidak sesuai dengan Pasal III:4 GATT 1994. Namun, tidak seperti Pasal 2.1 TBT

Agreement, Pasal III:4 GATT 1994 tidak memerlukan pertimbangan apakah

Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA merupakan ‘technical regulation’. Sebaliknya,

suatu tindakan berdasarkan Pasal III:4 GATT 1994 harus merupakan ‘undang-

undang, peraturan, atau persyaratan yang mempengaruhi penjualan internal,

penawaran dalam penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau kegunaan dari

barang impor.230 Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA memperlakukan rokok kretek

‘less favourable’ dibandingkan dengan rokok mentol atau rokok tembakau yang

diproduksi domestik, sehingga rokok kretek dilarang, sedangkan rokok mentol

dan rokok tembakau tetap dijual dalam pasar Amerika Serikat.231

4.3.2 Argumentasi Hukum Amerika Serikat

A. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Sesuai Dengan Ketentuan Dari Prinsip

National Treatment dalam GATT 1994 atau TBT Agreement

Argumen Indonesia bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA tidak sesuai

dengan Pasal III:4 GATT 1994 dan Pasal 2.1 TBT Agreement didasarkan pada

analisis yang cacat dan bukti yang tidak cukup bahwa Bagian 907(a)(1)(A)

FSPTCA memberikan perlakuan yang ‘less favourable’ terhadap rokok impor dari

Indonesia dibandingkan dengan rokok yang diproduksi di Amerika Serikat. Lalu,

228 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7.43 (Panel Report.2012).

229 US-Clove Cigarettes, WT/DS406/R, Annex A-1, para.25 (Executive Summary of theFirst Written Submission of Indonesia. 2011).

230 Ibid., para. 26.

231 Ibid., para. 27.

Universitas Indonesia

74

Indonesia tidak menunjukkan bahwa rokok kretek ‘like’ dengan rokok yang

diproduksi domestik (secara khusus rokok tembakau dan rokok mentol. Lalu,

Indonesia juga gagal dalam menunjukkan bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA

memberikan perlakuan ‘less favourable’ terhadap rokok kretek berdasarkan asal

negaranya.232

B. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Sesuai Dengan Pasal III:4 GATT 1994

1. Rokok Kretek Tidak Sejenis (Like) Dengan Rokok Lain yang Diproduksi

Domestik Secara Umum, dan Rokok Mentol, Secara Khusus.

i . Karakteristik Fisik Barang (Physical Properties, Nature, and Quality)

Komposisi fisik dari rokok kretek berbeda dengan rokok mentol dan rokok

tembakau. Rokok kretek biasanya mengandung 60% tembakau dan 40%

cengkeh dan kokoa. Rokok tembakau dan rokok mentol tidak mengandung

bahan makanan dengan kuantitas yang signifikan tersebut. Lalu, berbeda

dengan rokok yang lain, rokok kretek mengandung jumlah eugenol yang

signifikan, yang menciptakan efek anestetik dan mati rasa yang dilaporkan

terjadi pada perokok pemula. Rokok kretek juga mengandung ‘saus’ khusus

yang diakui dengan daya tariknya. Lalu, rokok kretek juga mengandung zat

kimia berbahaya coumarin, yang tidak ditemukan dalam sebagian besar

rokok, dan senyawa perasa lainnya yang tidak secara umum ditemukan pada

rokok tembakau atau rokok mentol. Berbeda dengan cengkeh, yang terdiri

hampir setengah dari massa rokok kretek, mentol hanya terdiri kurang dari

1% dalam rokok mentol. Selain itu, rokok mentol tidak mengandung

coumarin dan senyawa perasa lain yang ditemukan dalam rokok kretek.233

ii . Kegunaan Akhir Dari Barang (the Product’s End-Uses in a Given Market)

Rokok memiliki sedikitnya dua kegunaan akhir di Amerika Serikat, yang

diberikan oleh rokok kretek, rokok mentol, dan rokok tembakau dengan

derajat yang berbeda. Pertama, rokok memberikan kegunaan akhir untuk

memuaskan kecanduan terhadap nicotine. Kedua, rokok juga memberikan

kegunaan akhir yang menciptakan suatu pengalaman yang menyenangkan

232 US-Clove Cigarettes, WT/DS406/R, Annex A-2, para. 3 (Executive Summary of theFirst Written Submission of United States. 2011).

233 Ibid., para. 5.

Universitas Indonesia

75

yang berhubungan dengan rasa dari rokok dan aroma dari asapnya.234

iii . Kebiasaan dan Pilihan Konsumen Terhadap Barang (Consumers’ Tastes and

Habits)

Appellate Body dalam EC-Asbestos235 menekankan bahwa jika karakteristik

fisik dari barang-barang tersebut sangat berbeda, maka pemeriksaan terhadap

bukti mengenai kebiasaan dan pilihan konsumen sangat diperlukan untuk

menentukan ‘likeness’. Inti dari analisis ini adalah apakah barang-barang

tersebut ‘interchangeable’ atau ‘substituable’ dalam pandangan konsumen,

yang menunjukkan hubungan persaingan.236 Namun dalam hal ini, konsumen

jelas membedakan barang-barang tersebut. Indonesia belum menunjukkan

bukti bahwa rokok kretek bersaing dengan rokok tembakau atau rokok

mentol, atau bahwa konsumen memandang barang-barang tersebut saling

bersubstitusi. Rokok kretek tidak bersaing pada pasar ‘regular use’ dengan

rokok mentol. Lalu, Indonesia juga belum memberikan bukti untuk

menunjukkan bahwa rokok kretek bersaing dengan rokok tembakau atau

rokok mentol untuk akses dalam proses distribusi, ruang display, atau pangsa

pasar. Bukti yang ada mengenai kebiasaaan dan pilihan konsumen

menunjukkan bahwa rokok kretek digunakan ‘like’ dengan rokok rasa lain,

yang dilarang oleh Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA. Dikarenakan, rokok kretek

memberikan efek yang membuat tembakau menjadi tampak menarik,

terutama bagi perokok baru. Kemudian, Indonesia memberikan data yang

tidak benar yang menunjukkan bahwa rokok kretek memiliki pola

penggunaan yang sama dengan rokok tembakau atau rokok mentol, hanya

dalam skala yang lebih kecil. Selain itu, Indonesia tidak mempermasalahkan

fakta bahwa rokok kretek dihisap oleh jumlah kaum dewasa yang tidak

signifikan.237

iv . Faktor Klasifikasi Tarif Internasional Dari Barang

234 Ibid., para. 6.

235 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 120-121.

236 US-Clove Cigarettes, WT/DS406/R, Annex A-2, para. 7(Executive Summary of theFirst Written Submission of United States. 2011).

237 Ibid., para. 8.

Universitas Indonesia

76

Amerika Serikat menyatakan bahwa perlakuan perpajakan terhadap dua

barang yang berbeda seharusnya memiliki pengaruh yang sedikit dalam

analisis ‘like products’, saat tindakan domestik ditetapkan bukan untuk tujuan

perpajakan, melainkan untuk perlindungan kesehatan manusia.238

Dalam hal ini, faktor-faktor tersebut telah memberikan kesimpulan penting bahwa

(1)rokok kretek tidak memiliki hubungan kompetitif dengan rokok tembakau atau

rokok mentol dan (2)rokok kretek tidak ‘interchangeable’ atau ‘substituable’

dengan rokok tembakau atau rokok mentol. Dengan demikian, rokok kretek dan

rokok tembakau serta rokok mentol bukan ‘like products’.239

2. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Tidak Memberikan Perlakuan yang Kurang

Menguntungkan (Less Favourable) Terhadap Rokok Kretek Impor

Dibandingkan Dengan Rokok Mentol yang Diproduksi Domestik

Indonesia belum memenuhi beban pembuktian yang menunjukkan bahwa

rokok kretek diperlakukan ‘less favourable’ berdasarkan negara asalnya. Pasal III

GATT 1994 tidak melarang negara anggotanya untuk membentuk perbedaan

peraturan terhadap barang yang berbeda yang mungkin diklasifikasikan sebagai

‘like products’ berdasarkan Pasal III GATT 1994. Sebaliknya, Pasal III GATT

1994 melarang negara anggota untuk memberikan perlakuan ‘less favourable’,

secara de jure atau de facto, terhadap barang impor dibandingkan dengan barang

domestik.240

i . Tidak Ada Diskriminasi De jure

Larangan terhadap rokok dengan ‘characterizing flavours’ selain rokok

tembakau atau rokok mentol berlaku secara sama terhadap semua rokok yang

dijual di Amerika Serikat, terlepas tempat rokok tersebut diproduksi. Dalam

kasus ini, peraturan teknis ini adalah netral dan hal ini adalah beban bagi

Indonesia untuk membuktikan bahwa peraturan tersebut mendiskriminasi

antara rokok Indonesia dengan rokok domestik yang didasari pada negara asal

dan memberikan perlakuan ‘less favourable’ terhadap barang impor

238 Ibid., para. 9.

239 Ibid., para. 10.

240 Ibid., para. 11.

Universitas Indonesia

77

dibandingkan dengan barang domestik.241

ii . Tidak Ada Diskriminasi De facto

Indonesia belum memenuhi beban pembuktian mengenai diskriminasi de

facto. Pertama, Indonesia tidak menjelaskan barang apa yang menjadi subjek

dari perlakuan yang berbeda242 Kedua, desakan Indonesia bahwa Bagian

907(a)(1)(A) FSPTCA melanggar Pasal III:4 GATT 1994 karena memberikan

perlakuan yang berbeda terhadap rokok kretek dan setiap rokok domestik

tidak sesuai dengan interpretasi Appellate Body dalam EC-Asbestos mengenai

perlakuan ‘less favourable’, bahkan jika telah ditentukan rokok kretek dan

semua rokok domestik adalah ‘like products’.243 Appellate Body dalam EC-

Asbestos menyatakan bahwa negara anggota akan memberikan perbedaan

antara barang yang dianggap sebagai ‘like products’ tanpa tujuan untuk

melindungi produksi domestik atau tanpa tujuan perlakuan ‘less favourable’

terhadap barang impor.244

Pemberlakuan Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA sepenuhnya sesuai dengan maksud

dan tujuan dari FSPTCA dan pendekatan Amerika Serikat secara umum dengan

peraturan mengenai tembakau. Barang dari Indonesia yang terkena efek negatif

dari Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA bukanlah akibat dari diskriminasi berdasarkan

negara asal, tetapi karena otoritas kesehatan Amerika Serikat secara sah

menentukan bahwa rokok kretek termasuk dalam kategori rokok yang dilarang

dalam pasar Amerika Serikat untuk perlindungan kesehatan publik.245 Bagian

907(a)(1)(A) FSPTCA juga tidak memberikan perlindungan terhadap barang

domestik. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA berlaku pada rokok yang dibuat di

Amerika Serikat secara luas yang mau memasuki pasar Amerika Serikat. 246

C. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Sesuai Dengan Pasal 2.1 TBT Agreement

Amerika Serikat menyatakan bahwa perbedaan tekstual dan kontekstual

241 Ibid., para. 12.

242 Ibid, para. 13.

243 Ibid., para. 14.

244 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 100.

245 US-Clove Cigarettes, WT/DS406/R, Annex A-2, para. 15 (Executive Summary of theFirst Written Submission of United States. 2011).

246 Ibid., para. 16.

Universitas Indonesia

78

dari TBT Agreement akan diperhitungkan dalam analisis Panel mengenai

‘likeness’ dan perlakuan ‘less favourable’ berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement.

Satu perbedaan yang harus dipertimbangkan oleh Panel adalah bahasa dalam

kalimat pembuka dari TBT Agreement yang menyatakan bahwa ‘tidak boleh ada

negara yang dicegah untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk

perlindungan terhadap kesehatan atau kehidupan publik’. Hal ini juga harus

dicatat bahwa Pasal 2.1 TBT Agreement menyatakan, dalam bagian yang

berhubungan, bahwa “negara anggota harus menjamin peraturan teknisnya, bahwa

barang impor yang berasal dari wilayah setiap negara anggota harus diberikan

perlakuan yang tidak ‘less favourable’ dibandingkan dengan barang domestik

yang sejenis”. Analisis ‘like products’ berdasarkan TBT Agreement harus

dilakukan secara hati-hati untuk membedakan antara karakteristik yang akan

membuat suatu barang atau sekelompok barang yang dapat diidentifikasi untuk

tujuan dari peraturan dan karakteristik yang menunjukkan hubungan kompetitif

atau substitusi dalam pasar.247

4.4 Laporan Panel

4.4.1 Interpretasi Panel Mengenai Prinsip National Treatment

A. Penjelasan Panel Mengenai Pasal 2.1 TBT Agreement

Pasal 2.1 TBT Agreement mewajibkan negara anggota WTO untuk

memberikan ‘no less favourable treatment’ terhadap barang impor dibandingkan

dengan barang domestik yang sejenis dan barang sejenis yang berasal dari negara

anggota yang lain.248 Kalimat dalam Pasal 2.1 TBT Agreement sangat sama

dengan Pasal III:4 GATT 1994, namun perbedaannya adalah Pasal 2.1 TBT

Agreement berlaku terhadap ‘technical regulations’ sedangkan Pasal III:4 GATT

1994 berlaku terhadap ‘undang-undang, peraturan, atau persyaratan yang

mempengaruhi perjualan internal, penawaran penjualan, pembelian, transportasi,

distribusi, atau penggunaan.249 Berdasarkan Panel dalam EC – Trademarks and

247 Ibid., para. 17.

248 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 74 (Panel Report.2012).

249 Ibid., para. 7.76.

Universitas Indonesia

79

Geographical Indications (Australia) Pasal 2.1 TBT Agreement terdiri dari tiga

unsur yang harus dibuktikan dalam rangka menentukan ketidakkonsistensian

dengan ketentuan ini, yaitu (i) bahwa tindakan dalam masalah tersebut merupakan

‘technical regulations’ berdasarkan Lampiran 1.1 TBT Agreement, (ii) bahwa

barang impor harus sejenis dengan barang domestik dan barang yang berasal dari

negara lain, dan (iii) bahwa perlakuan terhadap barang impor harus kurang

menguntungkan daripada perlakuan yang diberikan kepada barang domestik dan

barang sejenis yang berasal dari negara lain.250

B. Cara Interpretasi Panel Terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement

Pemeriksaan terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement memberikan masalah,

karena hanya ada satu laporan yang membahas mengenai ketentuan tersebut, yaitu

laporan Panel EC-Trademaks and Geographical Indications (Australia)251, itupun

yang tidak melakukan analisis terhadap ‘likeness’ dalam keputusannya karena

penggugat tidak melakukannya terlebih dahulu sebelum masuk dalam masalah

‘less favourable treatment’.252 Maka, Panel dalam kasus ini akan

menginterpretasikan untuk pertama kali Pasal 2.1 TBT Agreement.253 Panel

menyimpulkan bahwa pendekatan dalam menginterpretasikan Pasal 2.1 TBT

Agreement harus memastikan bahwa TBT Agreement digunakan terlebih dahulu

sebagai konteks dari Pasal 2.1 TBT Agreement. Lalu, yurisprudensi dari Pasal

III:4 GATT 1994 juga berfungsi, sebagai konteks meskipun tidak langsung, tapi

dapat dipertimbangkan.254 Namun, Panel tidak akan menginterpretasikan Pasal 2.1

TBT Agreement melalui perspektif persaingan/kompetisi. Dalam menginterpretasi

‘likeness’ berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement, Panel lebih memilih untuk

mempertimbangkan bukti yang berkaitan dengan kriteria umum ‘likeness’ dalam

Border Tax Adjustment Working Group yang dipengaruhi oleh kenyataan bahwa

250 EC – Trademarks and Geographical Indications (Australia),WT/DS174/R, para.7.444.

251 Ibid., para. 7.475.

252 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 80 (Panel Report.2012).

253 Ibid., para. 7.81.

254 Ibid., para. 7.117.

Universitas Indonesia

80

Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA adalah ‘technical regulation’ yang mengatur rokok

dengan ‘characterizing flavour’ untuk alasan kesehatan publik.255

C. Isu Substantif dari Pasal 2.1 TBT Agreement

1. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Merupakan Peraturan Teknis (Technical

Regulation)

Sebelum menganalisis, Panel menjelaskan definisi dari ‘technical

regulation’ dalam Lampiran 1 TBT Agreement yaitu “dokumen yang menetapkan

karakteristik barang atau metode proses dan metode produksi yang terkait,

termasuk ketentuan administratif yang digunakan, yang pemenuhannya adalah

wajib. Dokumen tersebut dapat pula mencakup atau secara khusus berkenaan

dengan terminologi, simbol, persyaratan pengemasan, penandaan atau pelabelan

seperti digunakan pada produk, metode proses atau metode produksi.”256 Dalam

EC-Asbestos dan EC-Sardines, Appellate Body mengatur tiga kriteria yang harus

dipenuhi suatu peraturan untuk sesuai dengan definisi ‘technical regulation’

dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement, yaitu: Pertama, peraturan tersebut berlaku

pada suatu barang atau sekelompok barang yang bisa diidentifikasi. Kedua,

peraturan tersebut menyebutkan karakteristik dari barang dan/atau proses atau

cara produksi yang berkaitan dengan barang tersebut. Ketiga, peraturan tersebut

adalah wajib berkaitan dengan kepatuhan terhadap karakteristik barang.257

i . Unsur pertama : Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Berlaku Terhadap Barang

atau Sekelompok Barang yang Dapat Diidentifikasi (Identifiable Products or

Group of Products)

Dalam EC-Asbestos, Appellate Body258 menjelaskan suatu ‘technical

regulation’ harus berlaku terhadap barang atau sekelompok barang yang

dapat diidentifikasi. Namun, Panel menyatakan bahwa hal ini tidak berarti

bahwa suatu ‘technical regulation’ harus berlaku pada barang yang benar-

benar disebutkan, diidentifikasi atau dispesifikasi dalam peraturan.

255 Ibid., para. 7.119.

256 Ibid., para. 7.23.

257 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 66-70 dan EC – Sardines, WT/DS231/AB/R,para.176.

258 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 70.

Universitas Indonesia

81

Selanjutnya, dalam hal ini akan dianggap sesuai sebagai alasan administratif

untuk merumuskan suatu ‘technical regulation’ dengan cara yang tidak

secara eksplisit mengidentifikasikan barang melalui nama, tetapi secara

sederhana membuat barang tersebut dapat diidentifikasi, melalui karakteristik

yang menjadi pokok dari peraturan tersebut.259 Panel mengamati bahwa

tindakan dalam kasus ini, Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA, secara eksplisit

mengidentifikasi barang-barang yang termasuk dalam cakupannya, yaitu

rokok dan setiap bagian dari rokok tersebut. Panel menyatakan lebih lanjut

bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA menyebutkan bagian yang berkaitan

bahwa ‘rokok atau setiap bagian dari rokok tersebut (termasuk tembakau,

filter, atau kertas)’ tidak boleh mengandung ‘characterizing flavour’ apapun

selain tembakau atau mentol.260

ii . Unsur kedua : Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA Menyebutkan Satu atau Lebih

Karakteristik Dari Barang (Product Characteristics)

Dalam EC-Asbestos, Appellate Body menyatakan bahwa inti dari definisi

‘technical regulation’ adalah dokumen yang harus menyebutkan karakteristik

dari barang.261 Appellate Body menjelaskan bahwa istilah ‘karakteristik

barang’ dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement harus diinterpretasikan

berdasarkan arti yang sebenarnya. ‘Karakteristik’ dari barang termasuk setiap

‘fitur’, ‘kualitas’, ‘atribut’, atau ‘tanda pembeda’ dari barang yang secara

objektif dapat didefinisikan. Suatu ‘karakteristik’ berkaitan, antara lain,

dengan komposisi, ukuran, bentuk, warna, tekstur, kekerasan, daya tarik,

kemudahan terbakar, konduktivitas, kerapatan, atau kekentalan suatu

barang.262 Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA menyebutkan karakteristik barang.

Peraturan ini melarang rokok yang mengandung bahan adiktif tertentu dengan

‘characterizing flavour’ yang berdasarkan definisi merupakan tindakan yang

menyebutkan satu atau lebih karakteristik barang. Bagian 907(a)(1)(A)

259 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 26 (Panel Report.2012).

260 Ibid., para. 7.27.

261 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 67.

262 Ibid.

Universitas Indonesia

82

FSPTCA juga secara jelas ‘berkaitan dengan komposisi barang’, sebagaimana

disebutkan bahwa tidak ada rokok yang dapat mengandung bahan yang

adiktif, setiap rasa alami yang merupakan ‘characterizing flavour’ (selain

tembakau atau mentol).263 Dalam pandangan Panel, fakta bahwa Bagian

907(a)(1)(A) FSPTCA menyebutkan karakteristik barang dalam bentuk

negatif (rokok tidak boleh mengandung) tidak merubah kesimpulan bahwa

Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA menyebutkan karakteristik barang.264 Dalam

EC-Asbestos dan EC-Sardines, Appellate Body dan Panel menjelaskan

bahwa karakteristik barang dapat diberlakukan terhadap barang baik dalam

bentuk negatif atau positif.265 Lalu, fakta bahwa Bagian 907(a)(1)(A)

FSPTCA tidak secara eksplisit mendefinisikan apa yang dimaksud dengan

‘characterizing flavour’ tidak merubah kesimpulan bahwa tindakan tersebut

mengatur karakteristik barang.266

iii . Unsur ketiga : Kepatuhan terhadap karakteristik barang adalah wajib

Dalam EC-Asbestos, Appellate Body menyatakan bahwa definisi ‘technical

regulation’ dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement, yang juga menyatakan

bahwa ‘kepatuhan’ terhadap ‘karakteristik barang’ yang disebutkan dalam

peraturan merupakan suatu kewajiban.267 Dalam EC-Sardines, baik Panel

maupun Appellate Body menyimpulkan bahwa peraturan yang menetapkan

karakteristik barang dalam kasus tersebut menyatakan bahwa persyaratan

yang terkandung didalamnya adalah mengikat secara menyeluruh dan secara

langsung berlaku terhadap semua negara anggota.268 Sifat dari kewajiban dari

Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA jelas terlihat dari bahasa dari ketentuan

tersebut, yang mengatur bahwa rokok atau setiap bagian dari rokok tidak

263 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 31 (Panel Report.2012).

264 Ibid., para. 7.32.

265EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 69 dan EC – Sardines, WT/DS231/R, para.7.45.

266 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 35 (Panel Report.2012).

267 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 68.

268 EC – Sardines, WT/DS231/R, para. 7.30 dan EC – Sardines, WT/DS231/AB/R, para.194.

Universitas Indonesia

83

boleh mengandung bahan adiktif, bahan alami (selain tembakau atau mentol)

atau herbal atau rempah-rempah yang memberikan ‘characterizing flavour’.

Lalu, FDA Guidance juga mengatur ketentuan khusus yang dikandung dalam

the Tobacco Control Act terhadap ketidakpatuhan terhadap Bagian

907(a)(1)(A) FSPTCA.269

iv . Kesimpulan

Dengan alasan-alasan tersebut, Panel memutuskan bahwa Bagian

907(a)(1)(A) FSPTCA merupakan ‘technical regulation’ menurut pengertian

dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement.

2. Rokok Kretek Impor dan Rokok Domestik Adalah Barang Sejenis (Like

Products)

Laporan dari GATT Working Party on Border Tax Adjustment

merumuskan pendekatan dalam menganalisis ‘likeness’, yaitu karakteristik fisik

barang (physical properties, nature, and quality), kegunaan akhir dari barang (the

product’s end-uses in a given market), kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap

barang (consumers’ tastes and habits), dan faktor klasifikasi tarif internasional

dari barang.270 Appellate Body dalam EC-Asbestos menyatakan bahwa kriteria ini

adalah alat untuk membantu dalam memisahkan dan memeriksa bukti yang

berkaitan. Appellate Body juga mengingatkan bahwa walaupun setiap kriteria

memberikan aspek yang berbeda dari barang untuk diperiksa secara terpisah,

kriteria ini tetapi berhubungan.271

i . Karakteristik Fisik Barang (physical properties, nature, and quality)

Dalam EC-Asbestos, Appellate Body menjelaskan bahwa kriteria pertama

ini yang mencakup kualitas fisik dan karakteristik dari barang.272 Appellate

Body juga mengarahkan Panelnya untuk memeriksa secara menyeluruh

karakteristik fisik dari barang dan secara khusus, sebagaimana hal tersebut

dalam konteks analisis Pasal III:4 GATT 1994, untuk memeriksa

269 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 39 (Panel Report.2012).

270 Report of the Working Party on Border Tax Adjustments, BISD 18S/97, para. 18.

271 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 102.

272 Ibid., para. 110.

Universitas Indonesia

84

karakteristik fisik barang tersebut yang mempengaruhi hubungan kompetitif

antara barang-barang dalam pasar.273 Lalu, Panel dalam menganalisis

berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement, memeriksa karakteristik fisik dari

barang tersebut yang berkaitan dengan tujuan Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA

terhadap keberadaan rokok dengan ‘characterizing flavour’.274 Kemudian,

Appellate Body dalam EC-Asbestos menegaskan bahwa analisis terpisah

terhadap kriteria karakteristik fisik barang tidak boleh tercampur dengan

pemeriksaan terhadap kriteria kegunaan akhir. Hal ini sangat penting karena

barang-barang yang memiliki karakteristik fisik yang berbeda, pada situasi

tertentu, dapat menunjukkan kegunaan akhir yang sama, tapi tidak berarti

mereka setara.275 Dengan demikian, Panel akan memeriksa karakteristik

fisik dari rokok kretek impor dan rokok mentol domestik berdasarkan bukti

yang diberikan oleh para pihak.276

ii . Kegunaan Akhir dari Barang (The Product’s End-Uses In a Given Market)

Appellate Body dalam EC-Asbestos mendefinisikan kriteria ini sebagai

sejauh apa barang-barang mampu untuk melakukan fungsi (kegunaan akhir)

yang sama.277 Dalam konteks analisis dari Pasal III:4 GATT 1994,

Appellate Body dalam EC-Asbestos memutuskan bahwa kriteria kegunaan

akhir mencakup unsur-unsur penting yang berkaitan dengan hubungan

kompetitif antara barang-barang sepanjang sejauh apa barang-barang

mampu untuk melakukan fungsi yang sama. Maka, bagi Appellate Body,

bukti mengenai sejauh apa barang-barang mampu untuk melakukan fungsi

yang sama (kegunaan akhir) sangat berkaitan dengan analisis ‘likeness’

berdasarkan Pasal III:4 GATT 1994.278 Argumen Indonesia mengenai

kriteria kegunaan akhir adalah kegunaan akhir dari semua rokok, termasuk

273 Ibid., para. 114.

274 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 150 (PanelReport. 2012).

275 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 111-112.

276 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 155 (PanelReport. 2012).

277 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 117.

278 Ibid.

Universitas Indonesia

85

rokok kretek dan rokok mentol, sama, yaitu digunakan untuk merokok

tembakau. Namun, Amerika Serikat menyatakan bahwa rokok memiliki

paling sedikit dua kegunaan akhir di Amerika Serikat, yaitu (a) untuk

memuaskan kecanduan nicotine dan (b) untuk menciptakan pengalaman

menyenangkan dengan rasa dari rokok dan aroma dari asapnya.279 Menurut

Panel, argumen Indonesia benar, yaitu kegunaan akhir rokok adalah untuk

merokok. Panel menyadari bahwa kegunaan akhir dari Amerika Serikat

menunjukkan hal yang berkaitan dan bukan pada efek yang dihasilkan dari

merokok, sehingga Panel memasukkannya dalam kriteria kebiasaan dan

pilihan konsumen. 280

iii . Kebiasaan dan Pilihan Konsumen Terhadap Barang (Consumers’ Tastes and

Habits)

Dalam EC-Asbestos, Appellate Body mendefinisikan pilihan konsumen

sebagai sejauh apa konsumen berkeinginan untuk menggunakan suatu

barang dibandingkan dengan yang barang lain untuk melaksanakan

fungsinya.281 Mengingat tujuan dari Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA adalah

mengurangi perokok kaum muda, Panel setuju dengan Amerika Serikat

untuk mempertimbangkan perokok potensial yaitu kaum muda yang

merokok atau yang sudah merokok tapi belum kecanduan.282 Lalu,

Appellate Body dalam EC-Asbestos menyatakan bahwa saat permintaan

dalam pasar yang telah dipengaruhi oleh hambatan peraturan dalam

perdagangan atau dalam persaingan, negara anggota masih harus

menganalisis kriteria kebiasaan dan pilihan konsumen, dengan mengajukan

bukti mengenai kemampuan substitusi barang dari beberapa pasar lain yang

relevan, atau bukti yang tersembunyi mengenai permintaan konsumen

dalam pasar tersebut.283 Dengan hal ini, maka akan terlihat, sejauh apa

279 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 195 (PanelReport. 2012).para. 7.195.

280 Ibid., para. 7.198.

281 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 117.

282 Ibid., para. 7.206.

283 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 123.

Universitas Indonesia

86

hubungan kompetitif tersebut berubah oleh peraturan, hal ini dapat

diperhitungkan jika hal ini dijelaskan dan dianalisis. Larangan yang

diberlakukan melalui Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA, yang menghilangkan

rokok kretek dari pasar Amerika Serikat, merupakan perubahan terhadap

hubungan kompetitif dalam pasar karena menghilangkan persaingan.284

Appellate Body dalam EC-Asbestos menyatakan bahwa analisis terhadap

pilihan konsumen akan mencakup penentuan kemampuan substitusi suatu

barang dengan barang yang lain. Konsep ‘substitutability’ dan ‘substituable’

didasarkan pada potensi konsumen untuk mengganti barang dengan barang

yang lain. Jadi, subtitusi yang sebenarnya tidak diperlukan, tapi sebaliknya

yaitu sejauh apa konsumen berkeinginan untuk menggunakan barang untuk

melakukan kegunaan akhir tersebut.285 Menurut Panel, dalam hal ini wajar

untuk memeriksa kemampuan substitusi dari rokok kretek dan rokok mentol

dari perspektif sekelompok konsumen yang relevan, yaitu perokok kaum

muda dan kaum muda yang siap untuk merokok.286 Rokok mentol dan

rokok kretek menarik bagi kaum muda karena adanya zat adiktif yang

memberikan ‘characterizing flavour’ yang memberikan efek memperhalus

tembakau. Panel berpendapat berdasarkan penjelasan diatas maka, kaum

muda menganggap rokok dengan rasa, termasuk rasa cengkeh dan mentol,

adalah sama.

iv . Klasifikasi Tarif dari Barang (The Tariff Classification Of The Products)

Menurut Appellate Body dalam EC-Asbestos, klasifikasi tarif merefleksikan

karakteristik fisik dari barang.287 Namun, Appellate Body menjelaskan

bahwa walaupun klasifikasi bea cukai dari barang yang dibandingkan adalah

sama, maka indikasi ini tidak bisa dengan sendirinya menjadi penentu

‘likeness’.288 Rokok diklasifikasikan berdasarkan Bab 24 Harmonised

284 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 208 (PanelReport. 2012).

285 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 117.

286 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 214 (PanelReport. 2012).

287 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 102.

288 Ibid., para. 146.

Universitas Indonesia

87

System (HS), dalam Heading 2402 untuk ‘Cigar, cheroots, cigarillos, dan

cigarettes, of tobacco atau of tobacco substitutes’.289 Maka, kode 6-digit

untuk rokok kretek, rokok mentol, dan rokok tembakau adalah 2402.20.290

Dengan demikian, Panel memutuskan bahwa rokok kretek dan rokok mentol

diklasifikasikan sama dalam HS Subheading 2402.20.291

v . Kesimpulan

Dengan demikian, Panel memutuskan bahwa rokok kretek dan rokok mentol

merupakan barang sejenis (like products) berdasarkan Pasal 2.1 TBT

Agreement.292

3. Rokok Kretek Impor Diperlakukan Kurang Menguntungkan (less

favourable treatment) Dibandingkan Dengan Barang Domestik yang

Sejenis

Konsep ‘less favourable treatment’ menurut Pasal III:4 GATT

menyatakan harus ada persamaan efektif dalam kesempatan untuk barang

impor.293 Dalam Korea – Various Measures on Beef, Appellate Body menyatakan

bahwa untuk menentukan apakah barang impor telah diperlakukan ‘less

favourable’, maka harus diperiksa apakah peraturan yang diberlakukan mengubah

kondisi persaingan dalam pasar yang dapat merugikan barang impor.294 Lalu,

Appellate Body dalam EC-Asbestos menyatakan bahwa jika terdapat ‘less

favourable treatment’ terhadap sekelompok barang impor, maka dalam hal ini

berkaitan dengan perlindungan terhadap sekelompok barang domestik yang

sejenis.295 Namun, negara anggota WTO yang memberikan pembedaan antara

barang-barang yang dianggap ‘like products’, dengan alasan ini, tidak dapat

langsung dianggap sebagai ‘less favourable treatment’ terhadap barang impor

289 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 236(Panel Report.2012).

290 Ibid., para. 7.237.

291 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 239 (PanelReport. 2012).

292 Ibid., para. 7.248.

293 US – Section 337 Tariff Act, BISD 36S/345, para. 5.11(GATT Panel Report .1989)

294 Korea – Various Measures on Beef, WT/DS161/AB/R, para. 137.

295 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 100.

Universitas Indonesia

88

dibandingkan dengan barang domestik yang sejenis.296 Hal ini dikarenakan dalam

beberapa kasus, diberlakukan peraturan yang sama terhadap barang, namun pada

prakteknya peraturan tersebut memberikan perlakuan yang ‘less favourable’

terhadap barang impor dibandingkan dengan barang domestik yang sejenis. Jadi,

‘less favourable treatment’ terjadi saat barang impor ditempatkan pada posisi

persaingan yang tidak menguntungkan dalam pasar domestik sebagai akibat dari

peraturan yang diberlakukan.297 Kemudian, sehubungan dengan dampak yang

merugikan, Appellate Body dalam Dominican Republic – Import and Sale of

Cigarettes menyatakan keberadaan dampak merugikan terhadap barang impor,

yang diakibatkan oleh peraturan, tidak selalu berarti bahwa peraturan ini

memperlakukan ‘less favourable’ terhadap barang impor, jika dampak merugikan

tersebut diakibatkan oleh faktor atau keadaan yang tidak berkaitan dengan negara

asal dari barang impor, seperti pangsa pasar dari importir dalam kasus ini.298 Jadi,

tidak cukup untuk menentukan ketidakkonsistenan terhadap Pasal III:4 GATT

1994 hanya berdasarkan pada peraturan yang merugikan kondisi persaingan dari

barang impor. Tetapi, penggugat juga harus membuktikan bahwa dampak

merugikan tersebut berhubungan dengan negara asal dari barang impor

i . Rokok Kretek Impor dan Rokok Mentol yang Diproduksi Domestik

Diperlakukan Berbeda

Dalam kasus ini, kesimpulan yang jelas adalah bahwa perlakuan tidak bisa

lebih berbeda. Pada kenyataanya, rokok kretek dilarang, sementara rokok

mentol dikecualikan dari larangan tersebut.299 Dengan demikian, Panel

menyimpulkan bahwa rokok kretek impor dan rokok mentol diproduksi

domestik diperlakukan dengan cara yang secara fundamental berbeda.300

ii . Perlakuan yang Berbeda Tersebut Merugikan Bagi Rokok Kretek Impor

296 Ibid.

297 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 266 (PanelReport. 2012).

298 Dominican Republic – Import and Sale of Cigarettes, WT/DS302/AB/R, para. 96(Appellate Body Report. 2005).

299 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 279(Panel Report.2012).

300 Ibid., para. 7.280.

Universitas Indonesia

89

Dalam kasus ini, Panel menyimpulkan bahwa rokok kretek impor dilarang,

sementara rokok mentol yang sejenis diperbolehkan untuk dipasarkan dalam

Amerika Serikat.301 Sehingga, hal ini merugikan rokok kretek impor.

iii . Dampak Merugikan Dari ‘Less Favourable Treatment’ Terhadap Rokok

Kretek Impor Berkaitan Dengan Negara Asal

Menurut Panel, Amerika Serikat tidak melarang rokok mentol karena bukan

jenis rokok dengan ‘characterizing flavour’ yang menarik bagi kaum muda,

tetapi lebih kepada biaya yang harus dikeluarkan sebagai akibat dari

pelarangan. Menurut Panel, dampak dari pelarangan rokok dengan

‘characterizing flavour’ selain rokok mentol adalah untuk membebankan

biaya pada produsen negara anggota yang lain, terutama produsen di

Indonesia, sementara pada saat yang sama tidak ada biaya yang

diberlakukan terhadap setiap produsen Amerika Serikat.302 Dalam kasus ini,

Amerika Serikat menetapkan ‘technical regulation’ untuk mencapai tujuan

yang sah dalam mengurangi kaum muda merokok, tapi pada saat yang sama

membatasi ruang lingkup barang dari ‘technical regulation’ untuk

meminimalisir atau bahkan menghilangkan biaya potensial yang mungkin

dikenakan pada produsen domestik, saat menimbulkan biaya terhadap

produsen barang yang sejenis dari negara anggota yang lain.303 Menurut

Panel, tujuan dari Pasal 2.1 TBT Agreement, untuk melarang diskriminasi,

akan gagal, jika negara anggota tidak memberlakukan peraturan yang sama

terhadap barang domestiknya dalam rangka untuk menghindari biaya

potensial yang akan dikeluarkan.304

iv . Kesimpulan

Dengan demikian, Panel menyimpulkan bahwa dengan melarang rokok

kretek sementara mengecualikan rokok mentol dari larangan tersebut, maka

Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA memberikan perlakuan yang ‘less

favourable’ terhadap rokok kretek impor dibandingkan dengan rokok

301 Ibid., para. 7.281.

302 Ibid., para. 7. 289.

303 Ibid., para. 7.290.

304 Ibid., para. 7.291.

Universitas Indonesia

90

mentol yang diproduksi domestik, berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement.305

4.4.2 Kesimpulan dan Putusan Panel

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, Panel memutuskan bahwa:306

a. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA merupakan ‘technical regulation’ menurut

pengertian dalam Lampiran 1.1 TBT Agreement;

b. Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA tidak sesuai dengan Pasal 2.1 TBT Agreement

karena memberikan perlakuan yang ‘less favourable’ terhadap rokok kretek

impor dibandingkan dengan rokok mentol yang sejenis yang diproduksi

domestik;

c. Dengan memutuskan bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA tidak sesuai

dengan Pasal 2.1 TBT Agreement, Panel menolak untuk memutuskan klaim

Indonesia berdasarkan Pasal III:4 GATT 1994.307

4.5 Laporan Appellate Body

4.5.1 Argumentasi Hukum Amerika Serikat

Pada tingkat Appellate Body, Amerika Serikat mengajukan dua klaim

banding, yaitu :

(1) Bahwa Panel salah dalam menginterpretasikan dua kriteria umum dari

‘likeness’, yaitu kriteria kegunaan akhir dan kriteria kebiasaan dan pilihan

konsumen.308

a. Kegunaan Akhir (End Uses)

Amerika Serikat menyatakan bahwa Panel salah dalam menyebutkan

kegunaan akhir dari rokok adalah untuk merokok dan tidak

mempertimbangkan untuk memuaskan kecanduan terhadap nikotin dan

memberikan pengalaman yang menyenangkan sebagai kegunaan akhir.309

305 Ibid., para. 7.292.

306 Ibid., para. 8.1.

307 Ibid., para. 8.3.

308 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 13 (AppellateBody. 2012).

309 Ibid., para. 14.

Universitas Indonesia

91

Amerika Serikat mendasari pada pernyataan oleh Appellate Body dalam EC-

Asbestos, yaitu Panel harus memeriksa kegunaan akhir barang yang lain dan

hanya dengan hal itu akan memberikan gambaran yang lengkap dari

kegunaan akhir, sehingga Panel dapat menilai signifikansi fakta bahwa

barang-barang tersebut memiliki beberapa kegunaan akhir yang terbatas.310

b. Kebiasaan dan Pilihan Konsumen (Consumer Tastes and Habits)

Amerika Serikat menyatakan bahwa Panel melakukan kesalahan dengan tidak

mempertimbangkan kebiasaan dan pilihan dari konsumen dewasa dalam

analisisnya. 311 Sebagaimana yang dinyatakan oleh Appellate Body dalam EC-

Asbestos bahwa Panel seharusnya memeriksa semua bukti yang yang saling

berkaitan antara kriteria umum likeness dan mempertimbangkan semua bukti

yang berkaitan.312

(2) Bahwa Panel salah dalam memutuskan Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA

memberikan ‘less favourable treatment’ terhadap rokok kretek impor

dibandingkan dengan rokok mentol yang diproduksi domestik.313

Pertama, Amerika Serikat menyatakan bahwa Panel salah dalam membatasi

lingkup dari barang yang dibandingkan dalam analisis ‘less favourable

treatment’ hanya pada rokok kretek impor yang berasal dari Indonesia dan

rokok mentol yang diproduksi domestik yang dianggap ‘like products’.

Amerika Serikat mengacu pada pernyataan Appellate Body dalam EC-

Asbestos bahwa analisis yang relevan adalah bagaimana suatu peraturan

memperlakukan barang impor yang sejenis, sebagai suatu kelompok dan

barang domestik yang sejenis, sebagai suatu kelompok.314 Kedua, Amerika

Serikat mempermasalahkan pernyataan Panel bahwa pada saat pelarangan,

tidak ada rokok domestik dengan ‘characterizing flavour’ selain rokok

310 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 119.

311 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 17 (AppellateBody. 2012).

312 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 109.

313 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 22 (AppellateBody. 2012).

314 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 100.

Universitas Indonesia

92

mentol.315 Ketiga, Amerika Serikat mengklaim bahwa Panel salah dalam

menyimpulkan bahwa setiap dampak mrugikan terhadap kondisi persaingan

antara rokok kretek dalam pasar Amerika Serikat tidak dapat dijelaskan oleh

faktor yang tidak berkaitan dengan negara asal barang.316

4.5.2 Interpretasi Appellate Body mengenai Prinsip National Treatment

A. Cara Interpretasi Appellate Body Terhadap Pasal 2.1 TBT Agreement

Appellate Body setuju dengan Panel bahwa interpretasi terhadap istilah ‘like

products’ dalam Pasal 2.1 TBT Agreement harus dimulai dengan teks dari

ketentuan tersebut didasarkan oleh konteks yang diberikan oleh Pasal 2.1 TBT

Agreement. Namun, Appellate Body tidak setuju bahwa interpretasi terhadap

konsep ‘like products’ dalam Pasal 2.1 TBT Agreement tidak dapat menggunakan

pendekatan persaingan.317 Lalu, Appellate Body setuju bahwa konsep ‘treatment

no less favourable’ yang ada dalam Pasal III:4 GATT 1994 sama dengan Pasal 2.1

TBT Agreement, yang juga berpengaruh dalam penentuan dari ‘likeness’ yang

menyatakan bahwa ‘likeness’ adalah mengenai sifat dan sejauh apa hubungan

kompetitif antara barang-barang. Appellate Body menyatakan bahwa dalam

menentukan ‘likeness’ berdasarkan hubungan kompetitif antara barang-barang,

Panel harus memperhitungkan semua efek perubahan yang mungkin diakibatkan

oleh peraturan dalam hubungan kompetitif dan mempertimbangkan efek tersebut

untuk menganalisis ‘less favourable treatment’.318 Tetapi, Appellate Body tidak

setuju dengan Panel bahwa teks dan konteks dari TBT Agreeement mendukung

interpretasi konsep ‘likeness’ lebih berfokus pada tujuan sah dan maksud dari

‘technical regulation’, dibandingkan pada hubungan kompetitif antara barang-

barang.319 Walaupun demikian, Appellate Body bukan menyatakan bahwa

kepentingan dalam menetapkan ‘technical regulation’ tidak berpengaruh dalam

315 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 26 (AppellateBody. 2012).

316 Ibid., para. 28.

317 Ibid., para. 108.

318 Ibid., para. 111.

319 Ibid., para. 112.

Universitas Indonesia

93

penentuan apakah barang-barang tersebut ‘like’. Dalam hal ini, Appellate Body

mengacu pada pernyataan Appellate Body dalam EC-Asbestos bahwa kepentingan

dan pertimbangan dari peraturan dapat memiliki pengaruh terhadap kriteria

tertentu dari ‘likeness’ dan dalam menentukan ‘likeness’ berdasarkan Pasal III:4

GATT 1994.320 Dalam EC-Asbestos, Appellate Body menyatakan bahwa, dalam

menentukan apakah barang-barang adalah ‘like’, Panel harus memeriksa semua

bukti yang berkaitan, termasuk bukti yang berkaitan dengan risiko kesehatan dari

barang, yang merupakan kepentingan dari peraturan dalam kasus. Appellate Body

juga menyatakan bahwa bukti tersebut tidak akan diperiksa sebagai kriteria yang

terpisah, tapi diperiksa berdasarkan kriteria umum dari ‘likeness’. Secara khusus,

Appellate Body menyatakan bahwa risiko kesehatan dari suatu barang berkaitan

dalam menentukan hubungan kompetitif antara barang-barang dan menjadikan

risiko kesehatan sebagai bagian dari kriteria karakteristik fisik barang dan

kebiasaan dan pilihan konsumen.321 Maka, Appellate Body menyatakan bahwa

kepentingan dari peraturan, seperti risiko kesehatan dari barang, dapat berkaitan

dengan analisis terhadap kriteria ‘likeness’ berdasarkan Pasal III:4 GATT 1994

dan juga Pasal 2.1 TBT Agreement, mengenai sejauh apa risiko kesehatan

memiliki dampak terhadap hubungan kompetitif antara barang-barang.322

B. Isu Substantif dari Pasal 2.1 TBT Agreement

1. Panel Salah Dalam Menginterpretasikan dua kriteria umum dari ‘like

products’

i . Kegunaan Akhir (End Uses)

Dalam EC-Asbestos, kegunaan akhir sebagai ‘sejauh apa barang-barang

mampu untuk melaksanakan fungsi yang sama’ dan kebiasaan dan pilihan

konsumen sebagai ‘sejauh apa konsumen berkeinginan untuk menggunakan

barang dalam melaksanakan fungsi tersebut’.323 Lalu, Appellate Body dalam

EC-Asbestos menyatakan bahwa setiap kriteria, secara prinsip, memiliki

320 Ibid., para. 117.

321 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 113.

322 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 119 (AppellateBody. 2012).

323 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 117.

Universitas Indonesia

94

aspek yang berbeda dari barang, yang harus diperiksa secara terpisah, tapi

kriteria yang berbeda ini saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri, sehingga

bukti tertentu dapat digunakan dalam lebih dari satu kriteria.324 Maka,

Appellate Body menyatakan bahwa konsumen merokok untuk memuaskan

kecanduan atau mereka merokok untuk kesenangan merupakan hal yang

berkaitan dalam pemeriksaan baik mengenai kegunaan akhir dan kebiasaan

dan pilihan konsumen, walaupun aspek yang berbeda yang terdapat dalam

analisis dari kedua kriteria ‘likeness’ ini.325 Dengan demikian, Appellate

Body menyatakan tidak setuju dengan Panel bahwa kegunaan akhir dari

rokok hanya untuk merokok dan setuju dengan Amerika Serikat bahwa ada

beberapa kegunaan akhir yang lebih spesifik, yaitu ‘memuaskan kecanduan

terhadap nicotine’ dan ‘menciptakan pengalaman yang menyenangkan yang

dikaitkan dengan rasa dari rokok dan aroma dari asapnya.326

ii . Kebiasaan dan Pilihan Konsumen (Consumer Tastes and Habits)

Appellate Body juga menyadari bahwa Panel telah salah dalam melakukan

analisis terhadap kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap konsumen

tersebut (perokok kaum muda dan kaum muda yang berpotensi merokok)

yang didasarkan pada tujuan dari ‘technical regulation’ (untuk mengurangi

kaum muda merokok). Dalam analisis terhadap ‘likeness’ berdasarkan

hubungan kompetitif, pasar yang menentukan ruang lingkup konsumen

yang relevan. Untuk menentukan kemampuan substitusi dari barang-barang

ini, Panel harus menilai kebiasaan dan pilihan dari semua konsumen yang

relevan terhadap barang-barang tersebut, dan tidak hanya konsumen utama

dari rokok kretek dan rokok mentol, tapi juga proporsi penting dari perokok

rokok mentol adalah konsumen dewasa.327 Walaupun, terdapat kesalahan,

Appellate Body tidak mengubah keputusan Panel mengenai kebiasan dan

pilihan konsumen. Tapi dengan alasan yang lain, Appellate Body

324 Ibid., para. 102.

325 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 126 (AppellateBody. 2012).

326 Ibid., para. 132.

327 Ibid., para. 137.

Universitas Indonesia

95

mendasarkan pada pernyataan Appellate Body dalam Philippine-Distilles

Spirits bahwa standar dari ‘directly competitive or substituable’ berkaitan

dengan Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994 dapat terpenuhi, walaupun

jika persaingan tidak terdapat dalam seluruh pasar, tapi hanya terbatas pada

suatu segmen dari pasar.328 Walaupun putusan Appellate Body dalam

Philippine-Distilled Spirits mengenai Pasal III:2, kalimat kedua GATT

1994, Appellate Body mengakui interpretasi dari ‘directly competitive atau

substitutable products’ berkaitan dengan konsep ‘likeness’ dalam Pasal III:4

GATT 1994 dan Pasal 2.1 TBT Agreement, karena ‘likeness’ berdasarkan

ketentuan ini ditentukan berdasarkan hubungan kompetitif antara barang-

barang.329 Dengan demikian, putusan Panel mengenai ‘likeness’

berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement betul dikarenakan tingkat persaingan

dan kemampuan substitusi yang diputuskan Panel untuk perokok kaum

muda dan kaum muda yang berpotensi merokok cukup tinggi untuk

mendukung.330

iii . Kesimpulan

Dengan demikian, Appellate Body memperkuat putusan Panel bahwa rokok

mentol dan rokok kretek adalah ‘like products’ berdasarkan Pasal 2.1 TBT

Agreement.331

2. Panel Salah Dalam Memutuskan Bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA

Memberikan ‘Less Favourable Treatment’ Terhadap Rokok Kretek Impor

Dibandingkan Dengan Rokok Mentol yang Diproduksi Domestik yang

Sejenis

328 Philippines – Distilled Spirits,WT/DS396/AB/R/WT/DS403/AB/R, para. 220(Appellate Body Reports. 2012).

329 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 143(AppellateBody. 2012).

330 Ibid., para. 145.

331 Ibid., para. 160.

Universitas Indonesia

96

i . ‘Treatment No Less Favourable’ berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement

Standar ‘treatment no less favourable’ untuk Pasal III:4 GATT 1994, yaitu

melarang negara anggota WTO untuk mengubah kondisi persaingan di

dalam pasar yang akan merugikan sekelompok barang impor dibandingkan

dengan sekelompok barang domestik yang sejenis.332 Maka, Panel yang

melakukan pemeriksaan terhadap klaim pelanggaran Pasal 2.1 TBT

Agreement harus menentukan apakah ‘technical regulation’ dalam kasus

tersebut mengubah kondisi persaingan dalam pasar untuk merugikan

sekelompok barang impor dibandingkan dengan sekelompok barang

domestik yang sejenis.333 Konteks dan maksud serta tujuan dari TBT

Agreement diperhitungkan dalam membaca persyaratan ‘treatment no less

favourable’ dari Pasal 2.1 TBT Agreement yang menyatakan melarang

diskriminasi de jure dan de facto terhadap barang impor, namun pada saat

yang bersamaan memperbolehkan dampak merugikan terhadap kesempatan

kompetitif untuk barang impor yang hanya secara khusus berasal dari

peraturan pembedaan yang sah.334 Maka, saat ‘technical regulation’ tidak

mendiskriminasi secara de jure terhadap barang impor, keberadaan dampak

merugikan terhadap kesempatan kompetitif untuk sekelompok barang impor

dalam hubungannya dengan sekelompok barang domestik yang sejenis

merupakan ‘less favourable treatment’ berdasarkan Pasal 2.1 TBT

Agreement. Selain, Panel harus selanjutnya menganalisis apakah dampak

merugikan terhadap barang impor terjadi akibat peraturan teknis yang sah

atau menunjukkan adanya diskriminasi terhadap sekelompok barang impor.

Dalam melakukan penentuan ini, Panel harus secara hati-hati

mempertimbangkan keadaan khusus dalam kasus, yaitu desain, arsitektur,

struktur, operasi, dan pemberlakuan ‘technical regulation’ dalam kasus dan

secara khusus, apakah ‘technical regulation’ tersebut melakukan

diskriminasi terhadap sekelompok barang impor.335

332 Ibid., para. 179.

333 Ibid., para. 180.

334 Ibid., para. 181.

335 Ibid., para. 182.

Universitas Indonesia

97

ii . Dampak Merugikan Terhadap Barang Impor

Menurut Appellate Body, ‘technical regulation’ dalam kasus ini tidak

memberikan diskriminasi de jure terhadap barang impor, maka Panel harus

berhati-hati dalam memeriksa keadaan tertentu dalam kasus, yaitu desain,

arsitektur, struktur, operasi, dan pemberlakuan dari ‘technical regulation’

dan secara khusus, apakah ‘technical regulation’ diberlakukan yang dampak

merugikannya terhadap barang impor yang berasal dari peraturan

pembedaan yang sah dan bukan memberikan diskriminasi terhadap

sekelompok barang impor.336 Mengenai hal ini, Appellate Body setuju

dengan Amerika Serikat bahwa Panel tidak jelas menjelaskan alasan untuk

menyimpulkan bahwa dampak dari pemberlakuan Bagian 907(a)(1)(A)

FSPTCA adalah untuk memberlakukan biaya terhadap produsen di negara

anggota lain, terutama produsen di Indonesia, sementara pada saat yang

sama tidak memberlakukan biaya pada entitas Amerika Serikat.337 Lalu,

Appellate Body juga tidak setuju dengan Amerika Serikat bahwa dampak

merugikan dari Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA terhadap kesempatan

kompetitif untuk rokok kretek impor berasal dari peraturan pembedaan yang

sah. Melihat alasan dari Amerika Serikat untuk pengecualian rokok mentol

dari larangan terhadap rokok dengan rasa tidak menunjukkan bahwa

dampak merugikan terhadap kesempatan kompetitif dari rokok kretek

berasal dari peraturan pembedaan yang sah. Alasan Amerika Serikat

tersebut adalah dampak terhadap sistem perlindungan kesehatan Amerika

Serikat yang dikaitkan dengan risiko untuk menyembuhkan jutaan perokok

rokok mentol yang terkena penyakit ‘withdrawal symptoms’ dan risiko

perkembangan pasar gelap dan penyelundupan rokok mentol untuk

memenuhi kebutuhan perokok rokok mentol. Appellate Body menyatakan

bahwa bahan adiktif dalam rokok mentol adalah nicotine, bukan peppermint

atau bahan lain yang secara khusus ada dalam rokok mentol, dan bahwa

bahan ini juga terdapat dalam sekelompok barang yang diperbolehkan

336 Ibid., para. 215.

337 Ibid., para. 221.

Universitas Indonesia

98

berdasarkan Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA, yaitu rokok tembakau biasa.

Jadi, hal ini tidak jelas bahwa risiko/alasan yang diajukan oleh Amerika

Serikat akan terjadi jika rokok mentol dilarang di dalam pasar Amerika

Serikat.338 Dengan demikian, Appellate Body memperkuat putusan Panel ,

yaitu denganmengecualikan rokok mentol dari larangan rokok dengan rasa,

maka Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA memperlakukan rokok kretek dari

Indonesia ‘less favourable’ dibandingkan rokok domestik yang sejenis,

berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement.339

iii . Kesimpulan

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, Appellate Body memperkuat putusan

Panel bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA memberikan perlakuan yang

‘less favourable’ terhadap rokok kretek impor dibandingkan dengan rokok

mentol yang diproduksi domestik, berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement.340

4.5.3 Kesimpulan dan Rekomendasi Appellate Body

Untuk alasan yang ditetapkan dalam Laporan, Appellate Body, mengenai

Pasal 2.1 TBT Agreement:341

a. Memperkuat bahwa rokok kretek dan rokok mentol adalah ‘like products’

berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement;

b. Memperkuat bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA merupakan perlakuan

yang ‘less favourable’ terhadap rokok kretek impor dibandingkan dengan

rokok mentol yang diproduksi domestik, berdasarkan Pasal 2.1 TBT

Agreement; dan

c. Memperkuat bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA tidak sesuai dengan Pasal

2.1 TBT Agreement karena memberikan perlakuan yang ‘less favourable’

terhadap rokok kretek impor dibandingkan dengan rokok mentol yang

diproduksi domestik.

338 Ibid., para. 225.

339 Ibid., para. 226.

340 Ibid., para. 233.

341 Ibid., para. 298.

Universitas Indonesia

99

4.6 Pembahasan terhadap Interpretasi Prinsip National Treatment oleh

Dispute Settlement Body WTO pada Kasus US-Clove Cigarettes

(Tobacco Control Act) dibandingkan dengan Pengaturan Prinsip

National Treatment dalam Ketentuan WTO

Dalam menginterpretasi Pasal 2.1 TBT Agreement ada tiga unsur, yaitu

pertama, tindakan yang diberlakukan merupakan ‘technical regulation’, kedua,

barang domestik dan barang impor adalah ‘like products’ dan ketiga, ‘technical

regulation’ memberikan ‘less favourable treatment’ terhadap barang impor

dibandingkan dengan barang domestik.

A. Interpretasi terhadap ‘technical regulation’

Panel US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) menginterpretasi

‘technical regulation’ dengan tiga kriteria, yaitu (a) peraturan tersebut berlaku

pada suatu barang atau sekelompok barang yang bisa diidentifikasi, (b) peraturan

tersebut menyebutkan karakteristik dari barang dan/atau proses atau cara produksi

yang berkaitan dengan barang tersebut, dan (c) peraturan tersebut adalah wajib

berkaitan dengan kepatuhan terhadap karakteristik barang. Maka, interpretasi

yang dilakukan oleh Panel tepat dan hal ini juga sesuai oleh Appellate Body dalam

EC-Asbestos dan EC-Sardines yang juga menggunakan kriteria tersebut dalam

menginterpretasikan ‘technical regulation’.342 Dengan demikian, dalam

menentukan suatu tindakan merupakan ‘technical regulation’, maka harus

memenuhi tiga kriteria, yaitu (a) peraturan tersebut berlaku pada suatu barang atau

sekelompok barang yang bisa diidentifikasi, (b) peraturan tersebut menyebutkan

karakteristik dari barang dan/atau proses atau cara produksi yang berkaitan

dengan barang tersebut, dan (c) peraturan tersebut adalah wajib berkaitan dengan

kepatuhan terhadap karakteristik barang.

B. Cara Interpretasi Terhadap Prinsip National Treatment Berdasarkan Pasal

2.1 TBT Agreement

Dalam menginterpretasikan Pasl 2.1 TBT Agreement, Panel US-Clove

Cigarettes (Tobacco Control Act) menyimpulkan bahwa pendekatan dalam

342 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 66-70 dan EC – Sardines, WT/DS231/AB/R,para.176.

Universitas Indonesia

100

menginterpretasikan Pasal 2.1 TBT Agreement harus memastikan bahwa TBT

Agreement digunakan terlebih dahulu sebagai konteks dari Pasal 2.1 TBT

Agreement. Lalu, yurisprudensi dari Pasal III:4 GATT 1994 juga berfungsi,

sebagai konteks meskipun tidak langsung, tapi dapat dipertimbangkan.343 Namun,

Panel tidak akan menginterpretasikan Pasal 2.1 TBT Agreement melalui

perspektif persaingan/kompetisi. Lalu, menginterpretasi ‘likeness’ berdasarkan

Pasal 2.1 TBT Agreement, Panel lebih memilih untuk mempertimbangkan bukti

yang berkaitan dengan kriteria umum ‘likeness’ dalam Border Tax Adjustment

Working Group yang dipengaruhi oleh kenyataan bahwa Bagian 907(a)(1)(A)

FSPTCA adalah ‘technical regulation’ yang mengatur rokok dengan

‘characterizing flavour’ untuk alasan kesehatan publik.344 Tetapi, ada dua hal

yang menjadi perbaikan dari Appellate Body terhadap cara interpretasi yang

dilakukan oleh Panel, yaitu Pertama, Appellate Body tidak setuju dengan Panel

yang memutuskan untuk tidak menggunakan pendekatan persaingan dan Kedua,

Appellate Body tidak setuju dengan Panel bahwa teks dan konteks dari TBT

Agreement mendukung interpretasi ‘likeness’ yang lebih berfokus pada tujuan sah

dari ‘technical regulation’, dibandingkan dengan hubungan kompetitif antara

barang-barang. 345

Maka, Panel telah tepat dalam menggunakan konteks dari TBT Agreement

terlebih dahulu dalam menginterpretasikan Pasal 2.1 TBT Agreement. Hal ini

telah diatur dalam Pasal 31(1) Vienna Convention on the Law of Treaties, yang

menyatakan bahwa dalam menginterpretasikan ketentuan hukum dari suatu

perjanjian harus dimulai dengan pengertian umum dari istilah tersebut. Lalu,

Panel tepat juga dalam menggunakan yurisprudensi dari Pasal III:4 GATT 1994

sebagai konteks yang membantu untuk menginterpretasi Pasal 2.1 TBT

Agreement. Hal ini dikarenakan Pasal 2.1 TBT Agreement dan Pasal III:4 GATT

1994 memiliki istilah yang sama dan hal ini didukung oleh Appellate Body dalam

343 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7. 117 (PanelReport. 2012).

344 Ibid., para. 7.119.

345 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 108 dan 112(Appellate Body. 2012).

Universitas Indonesia

101

EC-Asbestos yang menyatakan bahwa selama pengertian dari istilah dalam

ketentuan lain dari GATT berkaitan dengan konteks dalam menginterpretasikan

ketentuan tersebut, maka hal tersebut dapat digunakan.346 Kemudian, mengenai

perbaikan yang diberikan oleh Appellate Body, Appellate Body tepat dalam

menyatakan bahwa Panel tidak tepat dengan tidak menggunakan pendekatan

persaingan. Hal ini dikarenakan pada laporan diatas Panel telah menyatakan untuk

menggunakan juga konteks dari yuriprudensi Pasal III:4 GATT 1994, sehingga

bagaimana mungkin Panel tidak menggunakan pendekatan persaingan yang

merupakan cara dalam menginterpretasikan istilah tersebut menurut Pasal III:4

GATT 1994. Lalu, mengenai perbaikan kedua, Appellate Body tepat bahwa

seharusnya tidak mempertimbangkan tujuan kesehatan publik dari ‘technical

regulation’ dalam menganalisis ‘likeness’, dibandingkan pada hubungan

kompetitif antara barang-barang. Hal ini dikarenakan tujuan dari technical

regulation tersebut bukan merupakan salah satu kriteria dari ‘likeness’ yang harus

dinilai secara terpisah untuk dapat menentukan barang-barang tersebut ‘like

products’, namun tujuan kesehatan publik hanya memiliki pengaruh terhadap

kriteria tertentu dari ‘likeness’(karakteristik fisik barang dan kebiasaan dan pilihan

konsumen), dan hal ini juga didukung oleh Appellate Body EC-Asbestos.347

Dengan demikian, dalam melakukan interpretasi terhadap Pasal 2.1 TBT

Agreement harus terlebih dahulu melihat konteks dari TBT Agreement. Lalu,

dapat menggunakan yuriprudensi Pasal III:4 GATT 1994 sebagai konteks yang

membantu dalam menginterpretasi.

C. Interpretasi Terhadap ‘Like Products’

Dalam kasus US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) ini, Appellate

Body dan Panel menggunakan kriteria umum ‘likeness’ Border Tax Adjustment

dalam menginterpretasikan ‘like products’. Maka, hal yang dilakukan oleh Panel

dan Appellate Body telah tepat karena kriteria umum ‘likeness’ ini adalah alat

untuk membantu dalam memisahkan dan memeriksa bukti-bukti yang berkaitan

346 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 88-89.

347 Ibid., para. 113.

Universitas Indonesia

102

serta kriteria-kriteria ini saling berhubungan satu sama lain.348 Kriteria umum ini

terdiri empat kriteria, yaitu:349

i . Karakteristik fisik barang (physical properties, nature, and quality)

Panel US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) menginterpretasikan

kriteria pertama ini mencakup kualitas fisik dan karakteristik barang,

sehingga harus dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap semua

bukti yang relevan, serta secara khusus, dilakukan dalam konteks dari

ketentuan dari perjanjian yang berlaku. Lalu, Panel dalam menganalisis

berdasarkan Pasal 2.1 TBT Agreement, memeriksa karakteristik dari barang

tersebut yang berkaitan dengan tujuan dari ‘technical regulation’.350 Maka,

Panel tepat dalam menginterpretasikan kriteria fisik barang, sebagaimana hal

ini sesuai dengan pernyataan dari Appellate Body dalam EC-Asbestos yang

menyatakan bahwa untuk memeriksa secara menyeluruh semua bukti yang

berkaitan dengan karakteristik barang, teapi Panel juga seharusnya

memastikan bahwa bukti-bukti tersebut mempengaruhi hubungan kompetitif

antara barang-barang dalam pasar.351 Lalu, Panel tepat dalam

mempertimbangkan tujuan dari ‘technical regulation’ dalam kriteria

karakteristik barang, tapi harus diingat sebagaimana dijelaskan oleh Appellate

Body dalam EC-Asbestos bahwa posisi dari tujuan ini sebagai hal yang

memiliki pengaruh terhadap kriteria tersebut dan bukan kriteria tersendiri.352

Dengan demikian, dalam menginterpretasikan kriteria karakteristik fisik

barang menurut Pasal 2.1 TBT Agreement harus dilakukan pemeriksaan

terhadap bukti-bukti yang berkaitan dengan hubungan kompetitif antara

barang-barang dalam pasar dan juga mempertimbangkan tujuan dari

‘technical regulation’ yang berpengaruh terhadap kriteria ini.

ii . Kegunaan akhir dari barang (the product’s end-uses in a given market)

348 Ibid., para. 102.

349 Report of the Working Party on Border Tax Adjustments, BISD 18S/97, para. 18.

350 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7.149-7.155 (PanelReport. 2012).

351 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 114.

352 Ibid., para. 113.

Universitas Indonesia

103

Mengingat bahwa Panel US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) tidak

menyetujui analisis berbasis persaingan, maka Panel menginterpretasikan

kriteria kegunaan akhir dengan membuat gambaran lengkap mengenai variasi

kegunaan akhir, sehingga dapat menentukan barang-barang tersebut memiliki

kegunaan akhir yang terbatas.353 Lalu, Appellate Body melakukan perbaikan

terhadap interpretasi Panel tersebut, yaitu kriteria kegunaan akhir seharusnya

menentukan sejauh apa barang-barang tersebut mampu melakukan

fungsi/kegunaan akhir yang sama dalam hubungan kompetitif antara barang-

barang tersebut.354 Kemudian, Appellate Body juga memberikan perbaikan

terhadap interpretasi Panel, yaitu Panel melakukan kesalahan dalam

menggolongkan dua fungsi lain dari rokok (untuk memuaskan kecanduan

nikotin dan memberikan pengalaman yang menyenangkan), selain untuk

merokok, ke dalam kriteria kebiasaan dan pilihan konsumen dan bukan ke

dalam kriteria kegunaan akhir juga.355 Dalam hal ini, Panel kurang tepat

melakukan interpretasi demikian dan Appellate Body telah tepat dalam

menginterpretasikan kriteria ini, yang menganalisis dengan pendekatan

persaingan yang sesuai dengan pernyataan oleh Appellate Body dalam EC-

Asbestos bahwa kriteria kegunaan akhir mencakup unsur-unsur penting yang

berkaitan dengan hubungan kompetitif barang-barang yang menentukan

sejauh apa barang-barang tersebut mampu untuk melakukan fungsi/kegunaan

akhir yang sama.356 Lalu, Appellate Body tepat, yang menyatakan bahwa dua

fungsi lain dari rokok tersebut seharusnya juga dimasukkan dalam kriteria

kegunaan akhir, hal ini sesuai dengan pernyataan dari Appellate Body dalam

EC-Asbestos, yaitu setiap kriteria memiliki aspek yang berbeda dari barang,

tapi kriteria ini saling berkaitan, maka bukti tertentu dapat digunakan dalam

lebih dari satu kriteria.357 Dengan demikian, dalam menginterpretasikan

353 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7.191 (Panel Report.2012).

354 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 125 (AppellateBody. 2012).

355 Ibid., para. 126.

356 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 117.

357 Ibid., para. 102.

Universitas Indonesia

104

kriteria kegunaan akhir menurut Pasal 2.1 TBT Agreement, maka harus

ditentukan sejauh apa barang-barang tersebut mampu untuk melakukan

fungsi/kegunaan akhir yang sama dalam hubungan kompetitif antara barang-

barang tersebut.

iii . Kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang (consumers’ tastes and

habits)

Panel US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) menginterpretasikan

kebiasaan dan pilihan konsumen sebagai sejauh apa konsumen berkeinginan

untuk menggunakan suatu barang dibandingkan dengan barang lain untuk

melaksanakan fungsinya. Maka, Panel dengan ikut mempertimbangkan

tujuan dari ‘technical regulation’ (untuk mengurangi perokok kaum muda),

Panel hanya mempertimbangkan kebiasaan dan pilihan konsumen dari kaum

muda yang perokok dan yang berpotensi merokok.358 Mengenai hal ini,

Appellate Body menganalisis kriteria ini berdasarkan hubungan kompetitif

antara barang-barang, sehinggap pasar yang akan menentukan ruang lingkup

konsumen yang relevan.359 Dalam hal ini, Panel kurang tepat dengan

menginterpretasikan kriteria ini dengan mendasarkannya pada tujuan dari

‘technical regulation’ dan Appellate Body telah tepat dengan interpretasi

tersebut yang didasarkan pada hubungan kompetitif dalam pasar, yang sesuai

dengan pernyataan dari Appellate Body dalam EC-Asbestos yang menyatakan

bahwa harus menganalisis kriteria kebiasaan dan pilihan konsumen

berdasarkan kemampuan substitusi barang dalam beberapa pasar yang relevan

atau bukti mengenai permintaan konsumen yang relevan dalam pasar.360

Sehingga, seharusnya Panel juga harus mempertimbangkan kaum dewasa

yang juga menjadi konsumen dalam pasar tersebut. Namun, walaupun

demikian Appellate Body memperbaiki analisis Panel yang telah terlanjur

dilakukan terbatas hanya pada kaum muda perokok dan yang berpotensi

358 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7.206 (Panel Report.2012).

359 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 137 (AppellateBody. 2012).

360 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 123.

Universitas Indonesia

105

merokok, dengan mendasarkan pernyataan Appellate Body dalam Philippine-

Distilles Spirits bahwa standar dari barang yang ‘directly competitive or

substituable’ berkaitan dengan Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994 dapat

terpenuhi, walaupun jika persaingan tidak terdapat dalam seluruh pasar, tapi

hanya terbatas pada suatu segmen dari pasar.361 Perbaikan dari Appellate

Body ini kurang tepat karena istilah dari barang yang ‘directly competitive or

substituable’ dalam Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994 tidak dapat

disamakan dengan istilah ‘like products’ dalam Pasal III:4 GATT 1994,

sebagaimana dijelaskan dalam EC-Asbestos bahwa istilah ‘like products’

dalam Pasal III:4 GATT 1994 tidak setara dengan istilah ‘directly competitive

or substituable’ dalam Pasal III:2, kalimat kedua GATT 1994.362 Dengan

demikian, dalam menginterpretasikan kriteria kebiasaan dan pilihan

konsumen menurut Pasal 2.1 TBT Agreement harus ditentukan sejauh apa

konsumen berkeinginan untuk menggunakan suatu barang dibandingkan

dengan barang lain untuk melaksanakan fungsinya melalui kemampuan

substitusi barang dalam beberapa pasar yang relevan atau bukti mengenai

permintaan konsumen yang relevan dalam pasar, sehingga dapat dinilai

sejauh apa hubungan kompetitif tersebut berubah oleh pemberlakuan

‘technical regulation’ tersebut .

iv . Faktor klasifikasi tarif internasional dari barang

Panel US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act) menyatakan bahwa kriteria

klasifikasi tarif menunjukkan fisik dari barang, tetapi jika barang-barang

tersebut memiliki klasifikasi tariff yang sama, maka tidak secara otomatis

menjadikan kriteria ini sendiri dapat menentukan ‘likeness’.363 Maka, Panel

tepat dalam menginterpretasikan kriteria klasifikasi tarif, hal ini sesuai

dengan pernyataan dari Appellate Body dalam EC-Asbestos bahwa klasifikasi

tarif merefleksikan fisik barang, namun indikasi dari kesamaan klasifikasi

tarif tidak dapat langsung dianggap dengan sendirinya sebagai penentu

361 Philippines – Distilled Spirits,WT/DS396/AB/R / WT/DS403/AB/R, para. 220.

362 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 94.

363 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7.235 -7.237(PanelReport. 2012).

Universitas Indonesia

106

‘likeness’.364 Dengan demikian, dalam menginterpretasikan kriteria klasifikasi

tarif menurut Pasal 2.1 TBT Agreement, maka klasifikasi tarif menunjukkan

bagaimana fisik barang yang diwakili, sehingga dapat ditentukan apakah

barang tersebut secara fisik ‘like’, namun walaupun barang-barang tersebut

memiliki klasifikasi tarif yang sama, hal ini tidak dapat dengan sendirinya

menjadi penentu ‘likeness’.

D. Interpretasi Terhadap ‘Less Favourable Treatment’

Panel dan Appellate Body US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act)

menginterpretasikan adanya ‘less favourable treatment’ adalah dengan memeriksa

apakah ‘technical regulation’ yang diberlakukan mengubah kondisi persaingan

antara barang-barang yang merugikan barang impor dibandingkan dengan barang

domestik yang sejenis. Tetapi dengan perbedaan perlakuan yang diberikan oleh

‘technical regulation’ tidak dapat dianggap langsung merupakan perlakuan yang

‘less favourable’.365 Maka, interpretasi yang dilakukan oleh Panel dan Appellate

Body tepat, yang sebagaimana sesuai dengan pernyataan oleh Korea – Various

Measures on Beef, Appellate Body menyatakan bahwa untuk menentukan apakah

barang impor telah diperlakukan ‘less favourable’, maka harus diperiksa apakah

peraturan yang diberlakukan mengubah kondisi persaingan dalam pasar yang

dapat merugikan barang impor.366 Mengingat bahwa dalam kasus ini dilakukan

analisis terhadap diskriminasi secara de facto, maka Panel melakukan analisis

terhadap dampak merugikan terhadap barang impor yang diakibatkan oleh

pemberlakuan ‘technical regulation’. Sehubungan dengan dampak merugikan,

Panel menganalisis bahwa ‘technical regulation’ memberikan ‘less favourable

treament’, jika dampak merugikan tersebut berasal dari faktor yang berkaitan

dengan negara asal barang impor.367 Kemudian, dalam hal ini, Appellate Body

tidak setuju dengan Panel dan menyatakan bahwa untuk menentukan adanya ‘less

364 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 102 dan 146.

365 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7.266(Panel Report.2012) dan US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 181 (AppellateBody. 2012).

366 Korea – Various Measures on Beef, WT/DS161/AB/R, para. 137.

367 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/R, para. 7.268(Panel Report.2012).

Universitas Indonesia

107

favourable treatment’ harus ditentukan apakah dampak kerugian tersebut berasal

dari peraturan pembedaan yang sah dari ‘technical regulation’, sehingga hal

tersebut dibenarkan dan jika tidak, maka hal tersebut merupakan diskriminasi

terhadap barang impor.368 Dalam hal ini, Panel dalam menganalisis dampak

kerugian kurang tepat dengan mendasarkannya pada faktor yang berkaitan dengan

negara asal barang impor, yang hal ini merupakan analisis berdasarkan konteks

Pasal III:4 GATT 1994. Lalu, Appellate Body telah tepat, yang memperhitungkan

konteks dan tujuan dari TBT Agreement, yang menyebutkan bahwa persyaratan

‘treatment no less favourable’ dari Pasal 2.1 TBT Agreement yang melarang

diskriminasi de jure dan de facto terhadap barang impor, tetapi mempernolehkan

dampak merugikan terhadap barang impor selama hal tersebut berasal dari

pemberlakuan peraturan pembedaan yang sah dari ‘technical regulation’. Dengan

demikian, dalam menginterpretasi ‘less favourable treatment’ menurut Pasal 2.1

TBT Agreement, maka harus memeriksa apakah ‘technical regulation’ yang

diberlakukan mengubah kondisi persaingan antara barang-barang yang merugikan

barang impor dibandingkan dengan barang domestik yang sejenis. Lalu, dalam

menganalisis dampak merugikan terhadap barang impor, harus didasarkan pada

konteks dan tujuan dari TBT Agreement, jadi dapat ditentukan apakah apakah

dampak kerugian tersebut berasal dari peraturan pembedaan yang sah dari

‘technical regulation’, sehingga hal tersebut dibenarkan dan jika tidak, maka hal

tersebut merupakan diskriminasi terhadap barang impor

4.7 Kesimpulan

Maka, dari hasil penjelasan diatas dapat dihasilkan kesimpulan sebagai

berikut. Panel dan Appellate Body dalam US-Clove Cigarettes (Tobacco Control

Act) menyimpulkan bahwa dalam melakukan interpretasi terhadap Pasal 2.1 TBT

Agreement harus pertama-tama menginterpretasikannya berdasarkan konteks dari

TBT Agreement, kemudian dapat menggunakan yurisprudensi dari Pasal III: 4

GATT 1994 sebagai bantuan dalam pertimbangannya. Pasal 2.1 TBT Agreement

ada tiga unsur yang harus diinterpretasikan, yaitu pertama, tindakan yang

368 US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act), WT/DS406/AB/R, para. 181-182(Appellate Body. 2012).

Universitas Indonesia

108

diberlakukan merupakan ‘technical regulation’, kedua, barang domestik dan

barang impor adalah ‘like products’ dan ketiga, ‘technical regulation’

memberikan ‘less favourable treatment’ terhadap barang impor dibandingkan

dengan barang domestik.

Mengenai unsur pertama, dalam kasus US-Clove Cigarettes (Tobacco

Control Act), Panel dan Appellate Body memutuskan bahwa Bagian 907(a)(1)(A)

FSPTCA merupakan ‘technical regulation’, yang didasarkan pada tiga unsur

‘technical regulation’ yang terpenuhi, yaitu Pertama, peraturan tersebut berlaku

pada suatu barang atau sekelompok barang yang bisa diidentifikasi. Kedua,

peraturan tersebut menyebutkan karakteristik dari barang dan/atau proses atau

cara produksi yang berkaitan dengan barang tersebut. Ketiga, peraturan tersebut

adalah wajib berkaitan dengan kepatuhan terhadap karakteristik barang.369 Lalu

pada unsur kedua, Panel dan Appellate Body memutuskan bahwa rokok kretek

impor dan rokok mentol diproduksi domestik merupakan ‘like products’, yang

didasarkan pada kriteria umum dari ‘likeness’, yaitu karakteristik fisik barang

(physical properties, nature, and quality), kegunaan akhir dari barang (the

product’s end-uses in a given market), kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap

barang (consumers’ tastes and habits), dan faktor klasifikasi tarif internasional

dari barang.370

Pada unsur ketiga, Panel dan Appellate Body memutuskan bahwa Bagian

907(a)(1)(A) FSPTCA telah memberikan ‘less favourable treatment’ terhadap

rokok kretek impor dibandingkan dengan rokok mentol yang diproduksi

domestik. Hal ini didasarkan pada pemberlakuan Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA

yang mengakibatkan kondisi dari kompetisi dalam pasar Amerika Serikat menjadi

kurang menguntungkan terhadap barang rokok kretek impor dibandingkan dengan

rokok mentol diproduksi domestik yang sejenis. Kemudian Appellate Body juga

mempertimbangkan dampak merugikan dari kondisi yang tidak menguntungkan

yang diakibatkan oleh Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA yang digolongkan sebagai

369 EC – Asbestos, WT/DS135/AB/R, para. 66-70 dan EC – Sardines, WT/DS231/AB/R,para.176.

370 Report of the Working Party on Border Tax Adjustments, BISD 18S/97, para. 18.

Universitas Indonesia

109

bentuk diskriminasi terhadap sekelompok barang impor dan bukan berasal

peraturan pembeda yang sah.

Universitas Indonesia

BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kunci utama dalam hukum WTO adalah prinsip Non-diskriminasi. Prinsip

Non-diskriminasi merupakan prinsip yang melarang adanya diskriminasi dari

suatu negara. Pengaturan prinsip Non-diskriminasi terbagi dua macam prinsip

yaitu prinsip Most Favoured Nations (Perlakuan MFN) dan prinsip National

Treatment. Prinsip Non-diskriminasi melalui dua prinsip tersebut berlaku pada

barang dan jasa. Pembahasan dalam makalah ini memfokuskan pada prinsip

National Treatment yang berlaku terhadap barang yang diatur dalam GATT 1994

(General Agreement on Tariffs and Trade) serta ketentuan WTO lainnya.

Menurut Pasal III GATT 1994, Prinsip National Treatment merupakan larangan

terhadap diskriminasi pada barang impor. Secara umum, prinsip ini merupakan

kewajiban yang melarang Negara anggota WTO untuk memperlakukan produk

impor kurang menguntungkan dibandingkan dengan produk domestik yang sama,

pada saat produk impor memasuki pasar domestik. Pada Pasal III:1 GATT 1994

memberikan ruang lingkup pengaplikasian dari Pasal III GATT 1994 tersebut,

yaitu :

d. pajak dan biaya internal

e. perundang-undangan, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi

penjualan, transportasi, distribusi, atau penggunaan barang

f. peraturan internal mengenai kuantitas dalam pencampuran, proses atau

penggunaan barang dalam proporsi tertentu

Secara khusus, kewajiban dari prinsip National Treatment melalui

technical regulations diatur dalam salah satu annex dari GATT 1994 yaitu

Technical Barrier to Trade Agreement (TBT Agreement). Kewajiban technical

regulations ini diatur dalam Pasal 2.1 TBT Agreement yaitu negara anggota harus

Universitas Indonesia

111

mengambil ukuran wajar dalam pemberlakuan technical regulations terhadap

produk impor dari negara anggota lainnya melalui perlakuan yang tidak lebih

menguntungkan produk domestik negara tersebut yang merupakan produk yang

sama. Namun kewajiban technical regulations ini dapat dikecualikan jika produk

impor tersebut dapat mengancam keselamatan, kesehatan, dan perlindungan

lingkungan atau keamanan nasional suatu negara. Dari uraian di atas, dapat

diberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pada dasarnya, prinsip National Treatment bersumber pada Pasal III GATT

1994, yang menyatakan bahwa negara anggota tidak boleh memberikan

perlakuan ‘less favourable’ terhadap barang impor dibandingkan dengan

barang domestik yang sejenis dan yang langsung bersaing atau bersubstitusi

dalam pasar domestik negara tersebut. Dalam Pasal III:1 GATT 1994,

dijelaskan mengenai lingkup keberlakuan dari Pasal III GATT 1994 yang

terdiri dari: (1) pajak dan biaya internal; (2) perundang-undangan, peraturan,

dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan, transportasi, distribusi, atau

manfaat dari barang; dan (3) peraturan kuantitatif internal yang mewajibkan

campuran, pemprosesan atau penggunaan barang dalam porsi tertentu.

Kewajiban prinsip National Treatment dalam Pasal III GATT 1994

mencakup dua hal yaitu pajak internal dan regulasi internal. Dalam hal

kewajiban prinsip National Treatment dalam pajak internal, maka

penerapannya tidak hanya pada barang yang sejenis/like products tetapi juga

pada barang yang secara langsung bersaing dalam pasar atau barang

substitusi/directly competitive or substitutable products. Kemudian, hukum

WTO juga memberikan beberapa pengecualian terhadap kewajiban prinsip

National Treatment ini yaitu pembelanjaan pemerintah (Pasal III:8 (a) GATT

1994); subsidi domestik (Pasal III:8 (b) GATT 1994); negara berkembang

(Pasal XVIII:C GATT 1994); pengecualian umum (Pasal XX GATT 1994);

dan keamanan nasional (Pasal XXI GATT 1994).

2. Ketentuan substansi dasar dari TBT Agreement terdiri dari beberapa prinsip

yang mana juga ditemukan dalam GATT 1994, seperti kewajiban perlakuan

Most Favored Nations, kewajiban National Treatment, dan kewajiban untuk

Universitas Indonesia

112

tidak memberlakukan hambatan yang tidak perlu dalam perdagangan

internasional. Pengaturan mengenai prinsip National Treatment dalam TBT

Agreement diatur dalam Pasal 2.1 TBT Agreement. Pasal 2.1 TBT Agreement

mengatur bahwa setiap negara anggota harus menjamin peraturan teknis

terhadap barang impor dari wilayah setiap negara anggota yang lainnya

diperlakukan dengan tidak kurang menguntungkan dibandingkan dengan

barang sejenis yang berasal dari domestik dan pada barang sejenis yang

berasal dari negara anggota yang lainnya. Pasal 2.1 TBT Agreement terdiri

dari tiga unsur yang harus dibuktikan dalam rangka menentukan

ketidakkonsistensian dengan ketentuan ini, yaitu (i) bahwa tindakan dalam

masalah tersebut merupakan ‘technical regulations’ berdasarkan Lampiran

1.1 TBT Agreement, (ii) bahwa barang impor dan barang domestik

merupakan ‘like products’, dan (iii) bahwa perlakuan terhadap barang impor

harus kurang menguntungkan daripada perlakuan yang diberikan kepada

barang domestik dan barang sejenis yang berasal dari negara lain.

Berdasarkan kalimat pembukaan kedua dari TBT Agreement, TBT Agreement

dibentuk untuk melanjutkan tujuan-tujuan dari GATT 1994. Jadi, mengenai

dua perjanjian yang bersifat kumulatif ini, suatu peraturan teknis diskriminasi

diatur dalam lingkup Pasal III:4 GATT 1994 dan juga Pasal 2.1 TBT

Agreement serta Pasal 2.2 TBT Agreement. Maka, Pasal 2.1 TBT Agreement,

melanjutkan tujuan dari Pasal III dan I GATT 1994 yang mensyaratkan

‘perlakuan yang tidak kurang menguntungkan terhadap barang yang sejenis

yang berasal dari negara lain dibandingkan dengan barang sejenis dari dalam

negeri’. Kemudian, mengenai pengecualian umum terhadap Pasal 2.1 TBT

Agreement dengan mempertimbangkan karakter lex specialis dari TBT

Agreement, serta dengan tidak adanya klausula pengecualian umum dalam

rezim yang lebih khusus, maka Pasal XX GATT 1994 dalam rezim yang

lebih umum menjadi berlaku. Dengan demikian, solusi pada pengecualian

dari Pasal 2.1 TBT Agreement adalah Pasal XX GATT 1994 mengandung

daftar lengkap dari tujuan yang sah, sedangkan daftar dalam Pasal 2.2 TBT

Agreement lebih memberikan kesempatan yang lebih luas untuk

membenarkan tindakan yang membatasi dalam perdagangan.

Universitas Indonesia

113

3. Dalam Interpretasi prinsip National Treatment dalam Pasal 2.1 TBT

Agreement, Panel dan Appellate Body dalam US-Clove Cigarettes (Tobacco

Control Act) menyimpulkan bahwa dalam melakukan interpretasi terhadap

Pasal 2.1 TBT Agreement harus pertama-tama menginterpretasikannya

berdasarkan konteks dari TBT Agreement, kemudian dapat menggunakan

yurisprudensi dari Pasal III: 4 GATT 1994 sebagai bantuan dalam

pertimbangannya. Pasal 2.1 TBT Agreement ada tiga unsur yang harus

diinterpretasikan, yaitu (a) tindakan yang diberlakukan merupakan ‘technical

regulation’; (b) barang domestik dan barang impor adalah ‘like products’,

dan (c) ‘technical regulation’ memberikan ‘less favourable treatment’

terhadap barang impor dibandingkan dengan barang domestik.Mengenai

unsur pertama dari Pasal 2.1 TBT Agreement, dalam kasus US-Clove

Cigarettes (Tobacco Control Act), Panel dan Appellate Body memutuskan

bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA merupakan ‘technical regulation’, yang

didasarkan pada tiga unsur ‘technical regulation’ yang terpenuhi, yaitu (a)

peraturan tersebut berlaku pada suatu barang atau sekelompok barang yang

bisa diidentifikasi; (b) peraturan tersebut menyebutkan karakteristik dari

barang dan/atau proses atau cara produksi yang berkaitan dengan barang

tersebut; dan (c) peraturan tersebut adalah wajib berkaitan dengan kepatuhan

terhadap karakteristik barang. Lalu pada unsur kedua dari Pasal 2.1 TBT

Agreement, Panel dan Appellate Body memutuskan bahwa rokok kretek

impor dan rokok mentol diproduksi domestik merupakan ‘like products’,

yang didasarkan pada kriteria umum dari ‘likeness’, yaitu karakteristik fisik

barang (physical properties, nature, and quality), kegunaan akhir dari barang

(the product’s end-uses in a given market), kebiasaan dan pilihan konsumen

terhadap barang (consumers’ tastes and habits), dan faktor klasifikasi tarif

internasional dari barang. Pada unsur ketiga Pasal 2.1 TBT Agreement, Panel

dan Appellate Body memutuskan bahwa Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA telah

memberikan ‘less favourable treatment’ terhadap rokok kretek impor

dibandingkan dengan rokok mentol yang diproduksi domestik. Hal ini

didasarkan pada pemberlakuan Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA yang

mengakibatkan kondisi dari kompetisi dalam pasar Amerika Serikat menjadi

Universitas Indonesia

114

kurang menguntungkan terhadap barang rokok kretek impor dibandingkan

dengan rokok mentol diproduksi domestik yang sejenis. Kemudian Appellate

Body juga mempertimbangkan dampak merugikan dari kondisi yang tidak

menguntungkan yang diakibatkan oleh Bagian 907(a)(1)(A) FSPTCA yang

digolongkan sebagai bentuk diskriminasi terhadap sekelompok barang impor

dan bukan merupakan ‘technical regulation’ yang memiliki peraturan

pembedaan yang sah.

Universitas Indonesia

115

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta : Raja Grafindo, 2005.

Bermann, George A. dan Petros C. Mavroidis. Trade and Human Health and

Safety. New York: Cambridge University press, 2006.

Bhala, Raj. The GATT : Law and International Economic Organization. Chicago:

University of Chicago Press, 1970.

Dam, Kenneth W. The GATT : Law and International Economic Organization.

Chicago: University of Chicago Press, 1970.

Diebold, Nicholas F. Non Discrimination in Internatinal Trade in Services

(‘Likeness in WTO/GATS’). New York: Cambridge University Press, 2010.

Hata. Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO. Bandung: PT

Refika Aditama, 2006.

Jackson, John H. World Trade and the Law of GATT. Indianapolis: Bobbs-Merrill

Company, 1969.

Jackson, John H, William J. Davey, dan Alan O. Sykes, Jr. Legal Problems of

International Economic Relations, Fourth Edition. St. Paul : West

Publishing Co, 2002.

Koul, Autar Krishen. Guide to WTO and GATT: Economics, Law, and Politics.

Den Haag :Kluwer Law International, 2005.

Universitas Indonesia

116

Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta : Badan

Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Matsushita, Mitsuo, Thomas J. Schoenbaum, dan Petros C. Mavroidis. The World

Trade Organization: Law, Practice, and Policy. United State: Oxford

University Press, 2003.

Ortino, Federico. Basic Legal Instruments for the Liberalisation of Trade – A

Comparative Analysis of EC and WTO Law. Oxford: Hart Publishing,

2004.

United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). Business

Guide to the Uruguay Round. Geneva: 1996.

United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). Dispute

Settlement (WTO technical barrier to trade). NewYork dan Geneva:

United Nations, 2003.

Van den Bossche, Peter. The Law and Policy of the World Trade Organization .

Cambridge : Cambridge University Press, 2005.

Van den Bossche, Peter, Daniar Natakusumah, dan Joseph Wira Koesnaidi.

Pengantar Hukum WTO. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010.

Vranes, Erich. Trade and the Environment: Fundamental Issues in International

Law, WTO Law, and Legal Theory. Oxford: Oxford University Press,

2009.

PERJANJIAN INTERNASIONAL

World Trade Organization. Agreement Establishing the World Trade

Organization. Marrakesh : World Trade Organization, 1994.

Universitas Indonesia

117

_________________________. General Agreement on Tariffs and Trade.

Uruguay: World Trade Organization, 1994.

_________________________. Technical Barrier to Trade Agreement. Uruguay:

World Trade Organization, 1994.

_________________________. Understanding on Rules and Procedures

Governing the Settlement of Disputes. Uruguay: World Trade

Organization, 1994.

KASUS-KASUS

Canada – Autos. (WTO Panel, 2000).

Dominican Republic – Import and Sale of Cigarettes. (WTO Appellate Body,

2005).

EC–Asbestos. (WTO Panel, 2000).

EC–Asbestos. (WTO Appellate Body, 2001).

EC – Sardines. (WTO Panel, 2002).

EC – Sardines. (WTO Appellate Body, 2002).

EC – Trademarks and Geographical Indications (Australia). (WTO Panel, 2005).

Italian Discrimination Against Imported Agricultural Machinery. (GATT Panel,

1959).

Japan – Alcoholic Beverages II. (WTO Appellate Body, 1996).

Universitas Indonesia

118

Japan-Customs Duties, Taxes and Labelling Practices on Imported Wines and

Alcoholic Beverages. (GATT Panel, 1987).

Korea–Various Measures on Beef. (WTO Appellate Body, 2001).

Philippines – Distilled Spirits. (WTO Appellate Body, 2012).

US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act). (WTO Panel, 2012).

US-Clove Cigarettes (Tobacco Control Act). (WTO Appellate Body, 2012).

US – Gasoline. (WTO Appellate Body, 1996).

US – Section 337 Tariff Act. (GATT Panel, 1989).

ARTIKEL JURNAL

Appleton, Arthur E. “The Agreement on Technical Barriers to Trade.” dalam The

World Trade Organization: Legal, Economic and Political Analysis, vol. I,

(2005).

Shadikhodjaev, Sherzod. “National Treatment under GATT Article III:2 and its

Applicability in the Context of Korea’’s FTAs*.” dalam Journal of

International Economic Studies Vol. 12, No. 1 (Juni 2008).

Tamiotti, Ludivine. “Commentary to Article 2 TBT (preparation, adoption and

application of technical regulations).” dalam WTO – Technical Barriers

and SPS Measures: Max Planck Commentaries on World Trade Law, vol.

3, (2007).

Universitas Indonesia

119

MAJALAH

Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Sekilas WTO (World Trade

Organization), Edisi Kelima. (2008).

Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi, dan HKI, Direktorat Jenderal

Multilateral, Departemen Luar Negeri, Sekilas WTO, Edisi keempat.

INTERNET

”Ekspor Rokok ke AS Dilarang, RI Rugi US$ 200 Juta Per Tahun” di akses dari

http://www.neraca.co.id/2011/09/05/ekspor-rokok-ke-as-dilarang-ri-rugi-

us-200-juta-per-tahun/. Diakses tanggal 22 September 2012.

“National Treatment Principle”

www.meti.go.jp/english/report/downloadfiles/gCT0002e.pdf. Diakses

tanggal 20 Februari 2013.

“Non Discrimination Principles and Specific Exceptions”

https://etraining.wto.org/admin/files/Course.../INTRO-M7-R3-E.doc.

Diunduh 31 Maret 2013.

“Persetujuan tentang Hambatan Teknis dalam Perdagangan (Agreement on

Technical Barriers to Trade)” www.ditjenkpi.kemendag.org. Diunduh

pada tanggal 6 Maret 2013.

“WTO Analytical Index : Technical Barriers, Agreement on Technical Barrier to

Trade” worldtradelaw.typepad.com/…/the-relationship-of-gatt-article-iii4-

and-tbt-a… Diakses tanggal 20 Maret 2013.

“WTO Kembali Memenangkan Kasus Rokok Kretek Indonesia”

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/04/06/17203199/WTO.Kem

Universitas Indonesia

120

bali.Menangkan.Kasus.Rokok.Kretek.Indonesia. Diakses tanggal 20

Desember 2012 pukul 16.00. WIB.

SUMBER LAIN

“Diplomasi Perdagangan RI dalam Tatanan Perdagangan Dunia: WTO Setuju

Bentuk Panel Sengketa mengenai Larangan Perdagangan Rokok Kretek di

Amerika Serikat” Publikasi Siaran Pers Kementrian Perdagangan Dalam

Negeri Republik Indonesia pada tanggal 21 September 2012.

GATT Council. Report of the Working Party on Border Tax Adjustments. 2

Desember 1970.

Universitas Indonesia

121

LAMPIRAN