skenario b blok 23

75
A. SKENARIO B BLOK 23 TAHUN 2015 Mrs. Mima, 38-year-old pregnant woman G4P3A0 39-weeks pregnancy, was brought by her husband to the Puskesmas due to convulsion 2 hours ago. She has been complaining of headache and visual disturbance for the last 2 days. According to her husband, she has been suffering from Grave’s disease since 3 years ago, but was not well controlled. In the examination findings: Upon admission, Height= 152 cm; Weight 65 kg; BP: 180/110 mmHg. HR: 120 x/min, RR: 24 x/m. Head and neck examination revealed exopthalmus and enlargement of thyroid gland. Pretibial edema Obstetric examination: Outer examination: fundal heigth 32 cm, normal presentation. FHR: 150 x/min. Lab: Hb 11,2 g/dL; she had 2 + protein on urine, cylinder (-) B. KLARIFIKASI ISTILAH 1

Upload: dwiandarimaharani

Post on 23-Dec-2015

28 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

skenario b blok 23

TRANSCRIPT

A. SKENARIO B BLOK 23 TAHUN 2015

Mrs. Mima, 38-year-old pregnant woman G4P3A0 39-weeks pregnancy, was brought by

her husband to the Puskesmas due to convulsion 2 hours ago. She has been complaining

of headache and visual disturbance for the last 2 days. According to her husband, she has

been suffering from Grave’s disease since 3 years ago, but was not well controlled.

In the examination findings:

Upon admission,

Height= 152 cm; Weight 65 kg;

BP: 180/110 mmHg. HR: 120 x/min, RR: 24 x/m.

Head and neck examination revealed exopthalmus and enlargement of thyroid gland.

Pretibial edema

Obstetric examination:

Outer examination: fundal heigth 32 cm, normal presentation.

FHR: 150 x/min.

Lab: Hb 11,2 g/dL; she had 2 + protein on urine, cylinder (-)

B. KLARIFIKASI ISTILAH

1. Convulsion : Kontraksi involunter atau serangkaian kontraksi dari autoimun

2. Headache : Gangguan nyeri pada kepala

3. Visual disturbance : Gangguan penglihatan

4. Grave’s disease : Penyakit auto imun dimana tiroid terlalu aktif menghasilkan

jumlah yang berlebihan dari hormon tiroid (ketidakseimbangan metabolisme

hormon tiroid)

5. Exopthalmus : Protrussio mata abnormal

6. Enlargement thyroid gland : Pembesaran kelenjar tiroid

7. Pretibial edema : Pengumpulan cairan secara abnormal didepan tibia

8. Fundal height : Tinggi fondus; fondus adalah bagian uterus diatas orificium tuba

uterina

1

9. Cylinder : Sedimen urin yang menunjukkan adanya keadaan abnormal pada

parenkim ginjal yang biasanya berhubungan dengan proteinuria

C. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Mrs. Mima, 38-year-old pregnant woman G4P3A0 39-weeks pregnancy, was

brought by her husband to the Puskesmas due to convulsion 2 hours ago.

2. She has been complaining of headache and visual disturbance for the last 2 days.

3. According to her husband, she has been suffering from Grave’s disease since 3

years ago, but was not well controlled.

4. In the examination findings:

Upon admission,

Height= 152 cm; Weight 65 kg;

BP: 180/110 mmHg. HR: 120 x/min, RR: 24 x/m.

Head and neck examination revealed exopthalmus and enlargement of thyroid

gland.

Pretibial edema

5. Obstetric examination:

Outer examination: fundal heigth 32 cm, normal presentation.

FHR: 150 x/min.

6. Lab: Hb 11,2 g/dL; she had 2 + protein on urine, cylinder (-)

D. ANALISIS MASALAH

1. Mrs. Mima, 38-year-old pregnant woman G4P3A0 39-weeks pregnancy, was

brought by her husband to the Puskesmas due to convulsion 2 hours ago.

a. Apa hubungan usia dengan kondisi kehamilan pada kasus ini?

Jawab : Usia yang rentan terkena preeklamsia adalah , 18 atau. 35 tahun

karena pada usia , 18 tahun keadaan alat reproduksi belum siap untuk

menerima kehamilan dan akan meningkatkan keracunan kehamilan dalam

bentuk pre eklamsia dan eklamsia. Sedangkan pada usia > 35 tahun atau lebih

rentan akan terjadinya penyakit seperti hipertensi yang bisa mengakibatkan

pre eklamsia dan eklamsia hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan

2

pada jaringan alat kandungan dan jalan lahir yang tidak lentur lagi selain itu

juga diakibatkan dengan tekanan darah yang meningkat seiring dengan

pertambahan usia sehingga pada wanita yang hamil di atas . 35 tahun atau

lebih cenderung meningkatkan resiko terjadinya pre eklamsia dan eklamsia.

b. Apa etiologi dari kejang pada kasus ini?

Jawab : Etiologi kejang dalam kehamilan :

-hipertensi dalam kehamilan (eklampsia)

-perdarahan otak

-lesi otak

-kelainan metabolism

-meningitis

-epilepsi iatrogenic

Etiologi dan patogenesis preeklampsia dan eklampsia sampai saat ini masih

belum sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah

sebabnya penyakit ini sering disebut “the disease of theories”. Pada saat ini

hipotesis utama yang dapat diterima untuk menerangkan terjadinya

preeklampsia adalah : faktor imunologi, genetik, penyakit pembuluh darah

dan keadaan dimana jumlah trophoblast yang berlebihan dan dapat

mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri spiralis pada

awal trimester satu dan trimester dua. Hal ini akan menyebabkan arteri

spiralis tidak dapat berdilatasi dengan sempurna dan mengakibatkan turunnya

aliran darah di plasenta. Berikutnya akan terjadi stress oksidasi, peningkatan

radikal bebas, disfungsi endotel, agregasi dan penumpukan trombosit yang

dapat terjadi diberbagai organ.

c. Apa patofisiologi dari kejang pada kasus ini?

Jawab : Pada hipertensi pada kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas

pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks di sekitarnya. Lapisan

otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis

tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya,arteri

spiralis relatif mengalami vasokonstriksi dan terjadi kegagalan “remodeling

arteri spiralis”,sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah

hipoksia dan iskemia plasenta. Plasenta yang mengalami iskemia akan

menghasilkan oksidan (radikal bebas) yaitu radikal hidroksil yang sangat

3

toksik terhadap membrane sel endotel pembuluh darah. Radikal hidroksil

akan merusak membrane sel,yang mengandung banyak asam lemak tidak

jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak

membrane sel,juga akan merusak nucleus dan protein sel endotel sehingga

terjadi disfungsi endotel. Akibatnya :

- Produksi prostasiklin (vasodilatator kuat) akan menurun

- Terjadi agregasi sel-sel trombosit pada daerh endotel yang mengalami

kerusakan. Agregasi trombosit akan memproduksi tromboksan/ TXA2

(vasokonstriktor kuat)

- Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor yaitu endotelin

(vasokonstriktor) dan penurunan kadar NO (vasodilatator)

Semua hal di atas menyebabkan vasospasme arteri multiorgan. Vasospasme

serebral, edema, dan terganggunya autoregulasi diduga penyebab dari

terjadinya kejang.

d. Apa komplikasi yang disebabkan oleh kejang terhadap kehamilan pada Ny.

Mima dan janin?

Jawab :

A. Pada awal saat kejang tonik terdapat twitching dari otot-otot muka

khususnya sekitar mulut yang beberapa detik kemudian disusul kontraksi

otot-otot tubuh yang menegang, sehingga seluruh tubuh menjadi kaku. Pada

keadaan ini wajah pasien mengalami distorsi, bola mata menonjol,, kedua

lengan fleksi, tangan menggenggam kedua tungkai dalam posisi inverse. 15-

30 detik kemudian kejang tonik ini disusul dengan kejang klonik. Terbukanya

rahang secara tiba-tiba dan tertutup dengan kuat disertai terbuka dan

tertutupnya kelopak mata. Pergerakan otot dapat sedemikian kuat sehingga

pasien dapat bergerak tidak terkontrol dan jika tidak dilindungi(diganjal)

lidahnya akan tergigit akibat gerakan hebat rahangnya dan terjadi laserasi

sehingga menyebabkan hematoma lidah. Dari mulut keluar liur berbusa yang

kadang-kadang disertai bercak darah. Wajah tampak membengkak karena

kongesti dan pada konjungtiva mata dijumpai bintik-bintik perdarahan.

B. Setelah kejang, pasien berada dalam kondisi pasca-iktal, tetapi pada

beberapa kasus , dapat terjadi koma dalam durasi yang bervariasi. Jika kejang

terjadi dalam frekuensi jarang, pasien biasanya dapat pulih setengah sadar,

dan mengalami disorientasi serta kegelisahan. Hal ini terjadi karena edema

4

serebri ekstensif. Pada kasus-kasus berat, koma dapat menetap dari satu

kejang ke kejang berikutnya dan dapat menyebabkan kematian.

C. Pasien mengalami peningkatan tekanan darah dan laju pernapasan dan

dapat mencapai 50 kali atau lebih permenit sebagai respon terhadap

hiperkardia, asidemia laktat, dan hipoksemia transien.

D. Sianosis dapat ditemukan pada kasus berat.

E. Demam tinggi dapat terjadi dan merupakan tanda bahaya karena

kemungkinan terjadi akibat perdarahan serebrovaskuler.

F. Proteinuria biasanya ditemukan dan sering berat. Keluaran urin dapat

berkurang secara nyata dan terkadang timbul anuria atau oliguria.

G. Hemoglobinuria dan hemoglobinemia juga dapat ditemukan.

H. Timbul edema perifer dan wajah yang massif, namun keadaan ini tidak

selalu ada.

I. Hemiplegia dapat terjadi akibat adanya perdarahan subletal.

J. Pada ±10% perempuan terjadi kebutaan dengan derajat yang beragam

setelah kejang. Dua penyebab kebutaan atau gangguan penglihatan adalah

ablasio retina atau iskemia lobus occipital dan edema dalam derajat yang

bervariasi. Pada kedua penyebab ini, prognosis untuk pulih ke kondisi normal

cukup baik dan biasanya pemulihan dapat terjadi sempurna dalam satu

minggu pasca partum.

K. Edema paru dapat terjadi yang biasannya disebabkan oleh :

- pneumonitis aspirasi akibat terinhalasinya isi lambung saat muntah (hal

yang paling sering terjadi).

- Pada beberapa pasien dengan obesitas morbid dan pada perempuan yang

sebelumnya pernah mengalami hipertensi kronis tetapi belum terdiagnosis

dapat disebabkan oleh kegagalan ventrikel karena bertambahnya afterload,

yang mungkin terjadi akibat hipertensi berat dan pemberian terapi intravena

yang agresif.

Dampak terhadap Janin :

a. Karena terjadi hipoksemia dan asidemia laktat pada ibu saat kejang maka

tidak jarang terjadi bradikardia janin pasca kejang.

b. Resiko trauma pada abdomen meningkat dan potensiasi injuri janin

menjadi lebih besar.

c. Restriksi pertumbuhan janin, prematuritas, oligohidramnion, solusio

plasenta.

5

d. Henti nafas singkat ibu pada waktu kejang dapat menyebabkan depresi

oksigen pada janin terutama pada trimester 3 ketika ukuran otak telah

membesar dan memerlukan lebih banyak oksigen dan apabila henti nafas ini

tidak segera diatasi akan merujuk kepada kematian janin.

e. Apa makna kejang yang sudah dialami sejak 2 jam yang lalu?

Jawab : Secara umum seorang wanita hamil aterm yang mengalami kejang

selalu didiagnosis sebagai eklampsia sampai dibuktikan bukan. Hal ini karena

keadaan seperti epilepsi, ensefalitis, meningitis, tumor otak serta pecahnya

aneurisma otak memberikan gambaran serupa dengan eklampsia. Prinsipnya

adalah bahwa setiap wanita hamil yang mengalami kejang harus didiagnosis

sebagai eklampsia sampai terbukti bukan.

2. She has been complaining of headache and visual disturbance for the last 2

days.

a. Apa hubungan sakit kepala dengan gangguan penglihatan pada kasus ini sejak

2 hari yang lalu?

Jawab : Keluhan tambahan ini merupakan gejala Graves’ Disease. Penyakit

ini merupakan penyakit pada kelenjar tiroid yang menyebabkan kelainan pada

fungsi kelenjartiroid, salah satunya adalah sebagai perangsang aktivitas saraf

simpatis, sehinggamenyebabkan palpitasi dan takikardia. Hal ini

menyebabkan meningkatnyatekanan darah. Hal ini menyebabkan hipertensi

pada kehamilan yang kemudiandapat menjadi eclampsia

b. Apa etiologi dari gangguan penglihatan dan sakit kepala pada kasus ini?

Jawab : Merupakan gejala dan tanda dari pre-eklampsia.

c. Bagaimana patofiologi dari sakit kepala dan gangguan penglihatan?

Jawab : Etiologi pusing dan gangguan penglihatan pada kasus ini adalah

preeclampsia yang sudah cukup lanjut.

Di otak, aliran darah dan pemakainan oksigen masih dalam batas normal pada

preeklampsia. Namun pada eklampsia, resistensi pembuluh darah meningkat,

ini terjadi pula pada pembuluh darah otak, yang berakibat tekanan darah

tinggi. Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak

berfungsi. Terjadinya peningkatan darah sistemik mendadak (180/110

6

mmHg) yang melebihi kapasitas autoregulasi serebrovaskular menyebabkan

timbul daerah yang mengalami vasodilatasi paksa, khususnya pada daerah

perbatasan arteri. Pada tingkat kapiler, gangguan pada tekanan end-capillary

menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik, hiperperfusi, dan ekstravasasi

plasma serta eritrosit melalui celah pada taut-erat endotel sehingga terjadi

akumulasi edema vasogenik.

Hiperperfusi otak memaksa cairan dalam kapiler keluar ke insterstitium

akibat aktivasi endotel dan menyebabkan edema perivaskular, hal ini

kemudian menyebabkan rasa nyeri kepala yang persisten pada pasien

preeklamsia berat. Selain nyeri kepala, gangguan penglihatan juga terjadi

akibat hiperperfusi serebrovaskular yang memiliki predileksi pada lobus

oksipitalis.

Pada mata, skotoma, penglihatan kabur, atau diplopia merupakan gejala yang

lazim didapatkan pada preeclampsia berat dan eklampsia. Selain itu, dapat

dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah yang harus

dicurigai sebagai tanda preeclampsia berat, Pada eklampsia dapat terjadi

ablasio retina yang disebabkan edema intraocular. Hal ini disebabkan oleh

adanya perubahan peredaran darah dalam pusat penglihatan di tiga daerah

potensial yaitu korteks visual pada lobus oksipitalis, nucleus genikulatum

laterale, dan retina. Di retina, lesi dapat mencakup iskemia, infark dan

ablasio.

3. According to her husband, she has been suffering from Grave’s disease

since 3 years ago, but was not well controlled.

a. Apa hubungan riwayat Grave’s disease dengan keluhan pada kasus ini?

Jawab : Penyakit Grave dan Kejang

Tirotoksikosis ibu yang tidak diobati secara adekuat meningkatkan risiko

kelahiran prematur, IUGR, berat badan lahir rendah, preeklamsia, gagal

jantung kongestif, dan IUFD. Pada sebuah penelitian retrospektif, rata-rata

komplikasi berat pada pasien yang diobati dibandingkan dengan yang tidak

adalah: preeklamsia - 7% banding 14-22%, gagal jantung kongestif - 3%

banding 60%, thyroid storm - 2% banding 21%.

Grave’s disease merupakan salah satu faktor resiko timbulnya preeklampsia,

kemungkinan hal ini terjadi karena ketidak seimbangan rasio Th1 dan Th2.

7

Pada seorang yang menderita grave’s disease terjadi peningkatan Th1 yang

bersifat meningkatakan inflamasi sehingga beresiko memicu timbulnya

preeklampsia.

Penyakit Grave dan Hipertensi

Hormon tiroid memeliki efek pada otot jantung, sirkulasi perifer dan

system saraf simpatis yang berpengaruh terhadap hemodinamik

kardiovaskuler pada penderita hipertiroid. Perubahan yang utama meliputi :

Peningkatan denyut jantung, kontraktilitas otot jantung,curah

jantung,relaksasi diastolik dan penggunaan oksigen oleh otot jantung serta

penurunan resistensi vaskuler sistemik dan tekanan diastolic. Ganggua fungsi

kelenjar tiroid dapat menimbulkan efek yang dramatic terhadap system

kardiovaskuler, seringkai menyerupai penyakit jantung primer. ( Sumual A.R,

1992 )

Penderita hipertiroid sering mengalami keluhan sesak napas. Hal ini dapat

dijelaskan karena pada penderita hipertiroid terdapat kenaikan curah jantung

dan konsumsi oksigen pada saat maupun setelah melakukan aktivitas. Selain

itu kapasitas vital pada penderita hipertiroid akan menurun disertai dengan

gangguan sirkulasi dan ventilasi paru. Frekuensi nadi biasanya meningkat

( 90 – 125 kali/ menit ) dan akan bertambah cepat jika beraktivitas serta ada

perubahan emosi. Akibat adanya curah jantung yang tinggi dan resistensi

perifer yang rendah maka tidak jarang pada penderita hipertiroid dijumpai

gambaran nadi yang mirip dengan insufisiensi aorta berupa pulsus

seller danmagnus .Nadi yang lebih dari 80 kali/ menit pada saat istirahat perlu

dicurigai adanya suatu hipertiroid.         ( Sumual A.R, 1992 )

T3 menstimulasi Transkripsi myosin yang mengakibatkan kontraksi otot

miokard menguat, dan Ca² + ATP ase direticulum sarkoplasma meningkatkan

tonus diastolic, mengubah konsentrasi protein G, reseptor adrenergic,

sehingga akhirnya hormon tiroid ini punya efek ionotrofik positif. Secara

klinis terlihat sebagai naiknya curah jantung, tekanan darah, dan takikardia.

( soeparman, 2007 ).

Meningkatnya metabolisme dalam jaringan mempercepat pemakaian

oksigen dan memperbanyak jumlah produk akhir dari metabolism yang

dilepaskan dari jaringan. Efek ini menyebabkan vasodilatasi pada sebagian

8

besar jaringan tubuh, sehingga meningkatkan aliran darah. Sebagai akibat

peningkatan aliran darah dan curah jantung akan meningkat, seringkali

meningkat sampai 60 % atau lebih diatas normal bila terdapat kelebihan

hormone tiroid. ( Ethel, Sloane, 2004)

b. Apa komplikasi yang ditimbulkan penyakit Grave’s disease 3 tahun yang lalu

yang tidak terkontrol terhadap kehamilan ibu dan janin?

Jawab : Komplikasi terhadap ibu meliputi pre eklampsia berat, gagal jantung,

dan aritmia jantung. Pada janin akan menyebabkan kelahiran prematur dan

tirotoksikosis.

Dampak terhadap ibu

a. Tremor

b. Kelainan mata yang non infiltratif atau yang infiltratif (Exophthalmus)

c. Pembesaran kelenjar Tiroid

d. Berat badan menurun tanpa diketahui sebabnya

e. Miksedema lokal

f. Miopati

g. Onikolisis

Dampak Janin :

a. Hipertiroidisme

Ini dikarenakan TSI yang bisa melewati plasenta akan ikut menstimulasi

kelenjar Tiroid janin.

b. Hipotiroidisme

Ini dikarenakan ibu yang mengalami Hipertiroidisme mengonsumsi obat-

obatan anti-tiroid. Efek obat anti-tiroid ini akan juga mempengaruhi

kelenjar tiroid janin karena obat-obatan ini bisa melewati plasenta. Obat-

obat ini akan mensupresi fungsi kelenjar tiroid janin sehingga janin akan

mengalami hipotiroid.

c. Apa hubungan Grave’s disease dengan hipertensi?

Jawab : Grave disease T4 meningkat meningkatkan denyut jantung dan

kontraksi jantung vasokintriksi pembuluh darah tekanan darah

meningkat.

9

d. Bagaimana prognosis Grave’s disease setelah kehamilan pada ibu dan bayi?

Jawab : Tanpa pengobatan, penyakit Grave dapat menyebabkan masalah

jantung, tulang lemah dan rapuh, dan bahkan kematian. Selain itu juga dapat

menyebabkan terjadinya krisis tiroid yang dapat dipicu oleh stress akut

seperti trauma, operasi maupun infeksi. Pada wanita hamil, penyakit Grave

yang tidak dikontrol dapat mengancam kesehatan ibu (preeklampsia,

kelahiran prematur, abrupsi plasenta, abortus, gagal jantung) dan bayi

(gangguan tiroid, kelahiran prematur, BBLR, dan bayi lahir mati).

Janin dan Neonatus:

Hipertiroidisme janin dan neonates

Hipertiroidisme janin dapat terjadi karena transfer TSI melalui plasenta

terutama bila ibu hamil hipertiroidisme tidak mendapat pengobatan anti

tiroid. Hipertiroidisme janin dapat pula terjadi pada ibu hamil yang mendapat

pengobatan hormon tiroid setelah mengalami operasi tiroidektomi, sedangkan

didalam serumnya kadar TSI masih tinggi. Diagnosis ditegakkan dengan

adanya peningkatan kadar TSI ibu dan bunyi jantung janin yang tetap diatas

160 x per menit. Kurang lebih 1% wanita hamil dengan riwayat penyakit

Grave akan melahirkan bayi dengan hipertiroidisme. Hipertiroidisme

neonatus kadang-kadang tersembunyi, biasanya berlangsung selama 2 sampai

3 bulan. Hipertiroidisme neonatus disertai dengan mortalitas yang tinggi.

Komplikasi jangka panjang pada bayi yang bertahan hidup akan

mengakibatkan terjadinya kraniosinostosis prematur yang menimbulkan

gangguan perkembangan otak. Kematian biasanya terjadi akibat kelahiran

prematur, berat badan lahir rendah dan penyakit jantung kongestif. Diagnosis

hipertiroidisme neonatus ditegakkan atas dasar gambaran klinis dan

laboratorium. Adanya struma, eksoftalmos dan takikardia pada bayi yang

hiperaktif dengan kadar tiroksin serum yang meningkat sudah cukup untuk

dipakai sebagai pegangan diagnosis. Namun dapat pula terjadi gambaran

klinis yang lain seperti payah jantung, hepatosplenomegali, ikterus dan

trombositopenia.

Hipotiroidisme janin dan neonatus

10

Penggunaan obat-obat anti tiroid selama kehamilan dapat menimbulkan

struma dan hipotiroidisme pada janin, karena dapat melewati sawar plasenta

dan memblokir faal tiroid janin. Penurunan kadar hormon tiroid janin akan

mempengaruhi sekresi TSH dan menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid.

Menurut Cooper DS, frekuensi struma pada neonatus akibat pengobatan anti

tiroid pada wanita hamil diperkirakan 10%. Davis LE dan kawan-kawan

melaporkan bahwa dari 36 ibu hamil hipertiroidisme yang diobati dengan anti

tiroid, terdapat 1 kasus neonatus yang mengalami struma dan hipotiroidisme.

Cheron dan kawan-kawan dalam penelitiannya melaporkan bahwa hanya 1

dari 11 neonatus mengalami struma dan hipotiroidisme setelah ibunya

mendapat terapi PTU 400 mg perhari. Namun walaupun 10 neonatus lainnya

berada dalam keadaan eutiroid, terjadi pula penurunan kadar tiroksin dan

peningkatan kadar TSH yang ringan. Hal ini menunjukkan telah terjadi

hipotiroidisme transien pada 10 neonatus tersebut. Penyebab hipotiroidisme

janin yang lain adalah pemberian preparat yodida selama kehamilan. Dosis

yodida sebesar 12 mg perhari sudah dapat menimbulkan hipotiroidisme pada

janin. Hipotiroidisme akibat pemakaian yodida ini akan menimbulkan struma

yang besar dan dapat menyumbat saluran nafas janin. Untuk mendiagnosis

hipotiroidisme pada janin, Perelman dan kawan-kawan melakukannya dengan

pemeriksaan contoh darah janin perkutan melalui bantuan USG, yang

menunjukkan kadar TSH yang tinggi dan kadar tiroksin yang rendah.

e. Bagaimana tatalaksana Grave’s disease pada kasus ini?

Jawab : Tirotoksikosis yang terjadi selama kehamilan hamper selalu dapat

dikontrol dengan obat-obatan jenis thiomide. Beberapa klinisi memilih

propylthiouracil (PTU) karena obat ini sebagian menghambat perubahan T4

menjadi T3 dan lebih sedikit melewati sawar plasenta bila dibandingkan

dengan methimazole. Kedua obat ini efektif dan cukup aman untuk digunakan

dalam terapi tirotoksikosis. Walaupun jarang dan belum terbukti, penggunaan

metimazole harus lebih berhati-hati karena pemberian pada awal kehamilan

diduga ada hubungannya dengan terjadinya atresia esophagus, khoana, dan

aplasia cutis. Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati penyakit tiroid

ibu dapat menyebabkan penghancuran jaringan kelenjar tiroid janin, sehingga

dapat dipertimbangkan untuk melakukan terminasi kehamilan. Dosis

propiltiourasil untuk wanita hamil : 350- 400 mg .

11

f. Bagaimana tatalaksana preeclampsia pada saat dan setelah kehamilan?

Jawab : Pritchard (1955) memulai standardisasi rejimen terapi eklampsia di

Parkland Hospital dan rejimen ini sampai sekarang masih digunakan. Pada

tahun 1984 Pritchard dkk melaporkan hasil penelitiannya dengan rejimen

terapi eklampsia pada 245 kasus eklampsia. Prinsip – prinsip dasar

pengelolaan eklampsia adalah sebagai berikut :

1. Terapi suportif untuk stabilisasi pada penderita

2. Selalu diingat mengatasi masalah – masalah Airway, Breathing,

Circulation

3. Kontrol kejang dengan pemberian loading dose MgSO4 intravena,

selanjutnya dapat diikuti dengan pemberian MgSO4 per infus atau

MgSO4 intramuskuler secara loading dose didikuti MgSO4

intramuskuler secara periodik.

4. Pemberian obat antihipertensi secara intermiten intra vena atau oral untuk

menurunkan tekanan darah, saat tekanan darah diastolik dianggap

berbahaya. Batasan yang digunakan para ahli berbeda – beda, ada yang

mengatakan 100 mmHg, 105 mmHg dan beberapa ahli mengatakan 110

mmHg.

5. Koreksi hipoksemia dan asidosis

6. Hindari penggunaan diuretik dan batasi pemberian cairan intra vena

kecuali pada kasus kehilangan cairan yang berat seperti muntah ataupun

diare yang berlebihan. Hindari penggunaan cairan hiperosmotik.

7. Terminasi kehamilan

Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI telah membuat pedoman

pengelolaan eklampsia yang terdapat dalam Pedoman Pengelolaan

Hipertensi Dalam Kehamilan di Indonesia, berikut ini kami kutipkan

pedoman tersebut.

A. Pengobatan Medisinal

1. MgSO4 :

12

Initial dose :

- Loading dose : 4 gr MgSO4 20% IV (4-5 menit)

Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20 % 2 gr IV, diberikan

sekurang - kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila setelah

diberikan dosis tambahan masih tetap kejang dapat diberikan Sodium

Amobarbital 3-5 mg/ kg BB IV perlahan-lahan.

- Maintenace dose : MgSO4 1 g / jam intra vena

2. Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg. Dapat

diberikan nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah

masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau

oral dengan interval 1 jam, 2 jam atau 3 jam sesuai kebutuhan.

Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu agresif. Tekanan darah

diastolik jangan kurang dari 90 mmHg, penurunan tekanan darah

maksimal 30%. Penggunaan nifedipine sangat dianjurkan karena

harganya murah, mudah didapat dan mudah pengaturan dosisnya dengan

efektifitas yang cukup baik.

3. Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam

sekitar 2000 ml, berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan

CVP .

4. Perawatan pada serangan kejang :

Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang. Masukkan sudip lidah

( tong spatel ) kedalam mulut penderita. Kepala direndahkan , lendir

diisap dari daerah orofarynx. Fiksasi badan pada tempat tidur harus aman

namun cukup longgar guna menghindari fraktur. Pemberian oksigen.

Dipasang kateter menetap ( foley kateter ).

5. Perawatan pada penderita koma : Monitoring kesadaran dan dalamnya

koma memakai “Glasgow – Pittsburg Coma Scale “. Perlu diperhatikan

pencegahan dekubitus dan makanan penderita. Pada koma yang lama ( >

24 jam ), makanan melalui hidung ( NGT = Naso Gastric Tube : Neus

Sonde Voeding ).

6. Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :

13

- Edema paru

- Gagal jantung kongestif

- Edema anasarka

7. Kardiotonikum ( cedilanid ) jika ada indikasi.

8. Tidak ada respon terhadap penanganan konservatif pertimbangkan seksio

sesarea.

Catatan:

Syarat pemberian Magnesium Sulfat:

Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu Kalsium Glukonas

10%, diberikan iv secara perlahan, apabila terdapat tanda – tanda

intoksikasi MgSO4.

Refleks patella (+)

Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.

Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/ jam ).

Pemberian Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu

mempertimbangkan diurese

B. Pengobatan Obstetrik :

1. Semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa memandang

umur kehamilan dan keadaan janin.

2. Terminasi kehamilan

Sikap dasar : bila sudah stabilisasi ( pemulihan ) hemodinamika dan

metabolisme ibu, yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan

dibawah ini :

Setelah pemberian obat anti kejang terakhir.

Setelah kejang terakhir.

Setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir.

Penderita mulai sadar ( responsif dan orientasi ).

3. Bila anak hidup dapat dipertimbangkan bedah Cesar.

Perawatan Pasca Persalinan

14

Bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital

dilakukan sebagaimana lazimnya.

Pemeriksaan laboratorium dikerjakan setelah 1 x 24 jam persalinan.

Biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24 - 48 jam pasca persalinan

5. In the examination findings:

Upon admission,

Height= 152 cm; Weight 65 kg;

BP: 180/110 mmHg. HR: 120 x/min, RR: 24 x/m.

Head and neck examination revealed exopthalmus and enlargement of

thyroid gland.

Pretibial edema

a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal pada pemeriksaan fisik:

- Hipertensi

Jawab : Pada penyakit grave terjadi sekresi yang berlebihan dari hormon

T3 dan T4 yang dalam keadaan normal berpengaruh terhadap metabolisme

jaringan, proses oksidasi jaringan, proses pertumbuhan dan sintesa protein.

Dengan meningkatnya kadar hormon ini maka hal – hal tersebut juga akan

terpengaruh, secara klinis terlihat dengan kenaikan tekanan darah, banyak

keringat, diare, poliuria, nafsu makan meningkat, dan berat badan yang

menurun.

- Head Neck examination revealed exopthalmus

Jawab : Abnormal. Mekanisme Oftalmopati pada grave’s disease

Inflamasi otot ekstraokular, yaitu adanya infiltrasi selular yang pleomorfik

+ peningkatan sekresi glikosaminoglikan dan imbibisi osmotic air Otot-

otot tersebut membesar (8x normal) menekan saraf optikus fibrosis

myopati restriktif dan diplopia.

Infiltrasi sel inflamasi + penumpukan glikosaminoglikan + retensi cairan

volume orbital meningkat dan meningkatkan tek. Intraorbital yang

menyebabkan retensi cairan berlebih.

Besarnya penonjolan dapat diukur dengan menggunakan alat

exophthalmometri Hertel. Penonjolan bola mata dikatakan exophthalmos

bila perbedaan penonjolan antara kedua mata adalah lebih dari 3 mm.

15

- Enlargement of thyroid gland

Jawab : Pembesaran kelenjar tiroid :

Penyakit Grave’s → beragam antibodi dalam serum → salah satu antibodi

yang disebut Thyroid Growth-Stimulating Immunoglobulin mengikat

reseptor TSH → proliferasi epitel folikel tiroid → pembesaran kelenjar

tiroid

- Pretibial edema

Jawab : abnormal. edema yang disebabkan penimbunan cairan yang

berlebihan dalam ruang interstitial belum diketahui sebabnya. Telah

diketahui bahwa pada pre-eklampsia dijumpai kadar aldosteron yang

rendah dan konsentrasi prolaktin yang tinggi daripada kehamilan normal.

Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur

retensi air dan natrium. Pada preeklampsia permeabilitas pembuluh darah

terhadap protein meningkat.

5. Obstetric examination:

Outer examination: fundal heigth 32 cm, normal presentation.

FHR: 150 x/min.

a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal pada pemeriksaan obstetric:

- Fundal height

Jawab : Tinggi fundus 32 cm.Presentasi normal

Interpretasi : normal

Pada kehamilan 28 minggu, fundus uteri terletak kira-kira 3 jari diatas

pusat atau 1/3 jarak antara pusat ke prosssus xipoideus. Pada kehamilan 32

minggu, fundus uteri terletak antara ½ jarak pusat dan prossesus xipoideus.

Pada kehamilan 36 minggu, fundus uteri terletak kira-kira 1 jari dibawah

prossesus xipoideus. Bila pertumbuhanjanin normal, maka tinggi fundus

uteri pada kehamilan 28 minggu adalah 25 cm, pada 32 minggu adalah 27

cm dan pada 36 minggu adalah 30 cm. Pada kehamilan 40 minggu, fundus

uteri turun kembali dan terletak kira-kira 3 jari dibawah prossesus

xipoideus. Hal ini disebabkan oleh kepala janin yang pada primigravida

turun dan masuk kedalam rongga panggul.

- FHR

Jawab : (normal= 120-160 x/menit) = Normal

16

6. Lab: Hb 11,2 g/dL; she had 2 + protein on urine, cylinder (-)

a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal pada pemeriksaan laboratorium:

- Hb

Jawab : Kadar Hb pada wanita hamil dikatakan anemia bila pada trimester

1 dan 3 <10,5 gr/dL dan pada trimester 2 <11gr/dL.

Pasien ini telah memasuki usia kehamilan trimester 3 dan dengan kategori

Hb normal.

- Proteinuria

Jawab : kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatkannya

permeabilitas membran basalis sehingga terjadi kebocoran dan

mengakibatkan proteinuria.

- Cylinder

Jawab : Silinder adalah masssa protein berbentuk silindris yang terbentuk

di tubulus ginjal dan dibilas masuk ke dalam urine. Silinder hanya

terbentuk dalam nefron tubulus kontortus distal.

Faktor-faktor yang mendukung terbentuknya silinder adalah laju aliran

yang rendah, konsentrasi garam tinggi, volume urine yang rendah, dan pH

rendah (asam)yang menyebabkan denaturasi dan precipitasi protein.

Pada pasien ini tidak ditemukan cylinder yang artinya belum terjadinya

kerusakan pada nefron di tubulus kontortus distal ginjal

Cylinder (–) berarti normal.

E. TEMPLATE

1. How to diagnose

Anamnesis

1. Sakit kepala

2. Gangguan penglihatan

3. Mempunyai riwayat penyakit grave sejak 3 tahun yang lalu dan tidak terkontrol

Pemeriksaan fisik

1. Tinggi : 152 cm; berat badan : 65 kg

2. Tekanan darah : 180/110 mmHg.

3. HR : 120x/ menit

4. RR : 24x/menit

17

5. Exopthalmus

6. Pembesaran kelenjar tyroid

7. Edema pretibial

Pemeriksaan Laboratorium

1. Protein urine 2+

PEB (PREEKLAMPSIA BERAT)

Definisi

Suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi >

160/110 mmHg disertai proteinuria & edema, pada kehamilan 20 mgg atau lebih.

Kriteria

Terdapat 1 atau lebih gejala/ tanda di bawah ini:

1. TD Sistolik ≥ 160 mmHg, Diastolik ≥ 110 mmHg

2. Proteinuria > 5 gr/24 jam atau 4+

3. Oligouria < 500 ml/24 jam & kadar kreatinin naik

4. Gangguan visual/ serebral

5. Nyeri epigastrium/ kuadran kanan atas abdomen

6. Edema paru

7. Pertumbuhan janin terhambat

8. Sindrom HELLP (Hemolysis Elevated Liver Enzyme Low Platelet)

Impending Eklampsia bila PEB dengan gejala2:

1. Nyeri kepala hebat

2. Gangguan visual

3. Muntah-muntah

4. Nyeri epigastrium

5. TD naik secara progresif

EKLAMPSIA

Definisi

Kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau nifas yang ditandai

dengan timbulnya kejang atau koma. Sebelumnya wanita tadi menunjukkan gejala

preeklampsia.

Diagnosis

18

1. Kehamilan > 20 mgg, saat persalinan, atau masa nifas

2. Terdapaat tanda PEB (hipertensi, proteinuria, edema)

3. Kejang atau koma

4. Kadang dengan gangguan fungsi organ

Jadi dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium yang

ditemukan nyonya mima awalnya menderita pre eklampsia berat dan mengalami

kejang sehingga diagnosis nya yaitu eklampsia berat.

2. Differential diagnosis

Pre eklampsia Superimposed

hypertension

eclampsia

Chronic

hypertension

Eclampsia

Mild Severe with

impending

eclampsia

convulsion - - - - +

headache - + + + +

Visual

disturbance

- + + + +

BP + + + + +

HR + + + +

RR + + + +

Pretibial

edema

+ + + (anasarka) + +

proteinuria + + + + +

3. Working diagnosis

Ny. Mima 38 tahun, G4P3A0, dengan usia kehamilan 39 minggu, disertai riwayat

penyakit grave mengalami eklampsia

4. Etiologi

Penyebab pre-eklampsia dan eklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini

dianggap sebagai “maladaptation syndrome” akibat penyempitan pembuluh darah

19

yang mengakibatkan iskemia plasenta sehingga berakibat aliran darah ke janin

berkurang. Beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai etiologi

preeclampsia/eclampsia yaitu gangguan koagulasi,kerusakan sel endotel

pembuluh darah,defisiensi nutrisi dan infeksi.

5. Epidemiologi

Di Indonesia menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2009

angka kematian ibu (AKI) masih cukup tinggi yaitu 390 per 100.000 kelahiran.

Penyebab kematian ibu terbesar 58,1% karena perdarahan dan eklampsia.

Hipertensi diperkirakan menjadi komplikasi sekitar 7% sampai 10% seluruh

kehamilan. Seluruh ibu yang mengalami hipertensi selama masa hamil, setengah

sampai dua pertiganya didiagnosa mengalami preeclampsia. Menurut WHO tahun

2004 angka kejadian Preeklampsia-Eklampsia itu mencapai 0,51%-38,4%.

Sedangkan di Indonesia angka kejadiannya masih cukup tinggi yaitu 30%-40%.

Insiden preeklampsia di Indonesia diperkirakan 3,4 persen – 8,5 persen, di RSU

Palembang sebesar 5,1 persen (Suroso, 2003). Di Indonesia menurut Survey

Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2009 angka kematian ibu (AKI)

masih cukup tinggi yaitu 390 per 100.000 kelahiran. Penyebab kematian ibu

terbesar 58,1% karena perdarahan dan eklampsia.

6. Manifestasi klinis

Eklampsia

1. Nyeri kepala hebat pada bagian depan atau belakang kepala yang diikuti

dengan peningkatan tekanan darah yang abnormal. Sakit kepala tersebut terus

menerus dan tidak berkurang dengan pemberian aspirin atau obat sakit kepala

lain

2. Gangguan penglihatan : pasien akan melihat kilatan-kilatan cahaya, pandangan

kabur, dan terkadang bisa terjadi kebutaan sementara

3. Iritabel : ibu merasa gelisah dan tidak bisa bertoleransi dengan suara berisik

atau gangguan lainnya

4. Nyeri perut : nyeri perut pada kuadran kanan atas atau epigastrium yang

kadang disertai dengan muntah

5. Sesak napas

6. Tanda-tanda umum pre eklampsia (hipertensi, edema, dan proteinuria)

7. Kejang-kejang dan / atau koma

20

7. Patofisiologi

Patofisiologi grave disease dalam kehamilan

Hipertiroidisme dalam kehamilan hampir selalu disebabkan karena penyakit

Grave yang merupakan suatu penyakit otoimun. Sampai sekarang etiologi

penyakit Grave tidak diketahui secara pasti. Dilihat dari berbagai manifestasi dan

perjalanan penyakitnya, diduga banyak faktor yang berperan dalam patogenesis

penyakit ini. Dari hasil penelitian, masih timbul sejumlah pertanyaan yang belum

terjawab, antara lain :

Apakah kelainan dasar penyakit tiroid otoimun terjadi didalam kelenjar

tiroid sendiri, didalam sistem imun atau keduanya.

Kalau terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan sistem imun, apakah

kelainan primer terjadi pada fungsi sel T (aktifitas sel T supresor yang meningkat

dan sel T helper yang menurun atau sebaliknya).

Apakah terdapat pengaruh faktor genetik dan lingkungan pada tahap awal

terjadinya penyakit tiroid otoimun.

Kelenjar tiroid merupakan organ yang unik dimana proses otoimun dapat

menyebabkan kerusakan jaringan tiroid dan hipotiroidisme (pada tiroiditis

Hashimoto) atau menimbulkan stimulasi dan hipertiroidisme (pada penyakit

Grave).

Proses otoimun didalam kelenjar tiroid terjadi melalui 2 cara, yaitu :

a. Antibodi yang terbentuk berasal dari tempat yang jauh (diluar kelenjar tiroid)

karena pengaruh antigen tiroid spesifik sehingga terjadi imunitas humoral.

b. Zat-zat imun dilepaskan oleh sel-sel folikel kelenjar tiroid sendiri yang

menimbulkan imunitas seluler.

Antibodi ini bersifat spesifik, yang disebut sebagai Thyroid Stimulating Antibody

(TSAb) atau Thyroid Stimulating Imunoglobulin (TSI). Sekarang telah dikenal

beberapa stimulator tiroid yang berperan dalam proses terjadinya penyakit Grave,

antara lain :

1. Long Acting Thyroid Stimulator (LATS)

2. Long Acting Thyroid Stimulator-Protector (LATS-P)

3. Human Thyroid Stimulator (HTS)

4. Human Thyroid Adenylate Cyclase Stimulator (HTACS)

5. Thyrotropin Displacement Activity (TDA)

21

Antibodi-antibodi ini berikatan dengan reseptor TSH yang terdapat pada

membran sel folikel kelenjar tiroid, sehingga merangsang peningkatan biosintesis

hormon tiroid.

Bukti tentang adanya kelainan sel T supresor pada penyakit Grave

berdasarkan hasil penelitian Aoki dan kawan-kawan (1979), yang menunjukkan

terjadinya penurunan aktifitas sel T supresor pada penyakit Grave. Tao dan

kawan-kawan (1985) membuktikan pula bahwa pada penyakit Grave terjadi

peningkatan aktifitas sel T helper. Seperti diketahui bahwa dalam sistem imun ,

sel limfosit T dapat berperan sebagai helper dalam proses produksi antibodi oleh

sel limfosit B atau sebaliknya sebagai supresor dalam menekan produksi antibodi

tersebut. Tergantung pada tipe sel T mana yang paling dominan, maka produksi

antibodi spesifik oleh sel B dapat mengalami stimulasi atau supresi.

Kecenderungan penyakit tiroid otoimun terjadi pada satu keluarga telah diketahui

selama beberapa tahun terakhir. Beberapa hasil studi menyebutkan adanya peran

Human Leucocyte Antigen (HLA) tertentu terutama pada lokus B dan D. Grumet

dan kawan-kawan (1974) telah berhasil mendeteksi adanya HLA-B8 pada 47%

penderita penyakit Grave. Meningkatnya frekwensi haplotype HLA-B8 pada

penyakit Grave diperkuat pula oleh peneliti-peneliti lain. Studi terakhir

menyebutkan bahwa peranan haplotype HLA-B8 pada penyakit Grave berbeda-

beda diantara berbagai ras. Gray dan kawan-kawan (1985) menyatakan bahwa

peranan faktor lingkungan seperti trauma fisik, emosi, struktur keluarga,

kepribadian, dan kebiasaan hidup sehari-hari tidak terbukti berpengaruh terhadap

terjadinya penyakit Grave. Sangat menarik perhatian bahwa penyakit Grave sering

menjadi lebih berat pada kehamilan trimester pertama, sehingga insiden tertinggi

hipertiroidisme pada kehamilan akan ditemukan terutama pada kehamilan

trimester pertama. Sampai sekarang faktor penyebabnya belum diketahui dengan

pasti. Pada usia kehamilan yang lebih tua, penyakit Grave mempunyai

kecenderungan untuk remisi dan akan mengalami eksaserbasi pada periode

postpartum. Tidak jarang seorang penderita penyakit Grave yang secara klinis

tenang sebelum hamil akan mengalami hipertiroidisme pada awal kehamilan.

Sebaliknya pada usia kehamilan yang lebih tua yaitu pada trimester ketiga,

respons imun ibu akan tertekan sehingga penderita sering terlihat dalam keadaan

remisi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan sistem imun ibu selama

kehamilan. Pada kehamilan akan terjadi penurunan respons imun ibu yang diduga

disebabkan karena peningkatan aktifitas sel T supresor janin yang mengeluarkan

22

faktor-faktor supresor. Faktor-faktor supresor ini melewati sawar plasenta

sehingga menekan sistem imun ibu. Setelah plasenta terlepas, faktor-faktor

supresor ini akan menghilang. Hal ini dapat menerangkan mengapa terjadi

eksaserbasi hipertiroidisme pada periode postpartum. Setelah melahirkan terjadi

peningkatan kadar TSAb yang mencapai puncaknya 3 sampai 4 bulan postpartum.

Peningkatan ini juga dapat terjadi setelah abortus. Suatu survai yang dilakukan

oleh Amino dan kawan-kawan (1979-1980) menunjukkan bahwa 5,5% wanita

Jepang menderita tiroiditis postpartum. Gambaran klinis tiroiditis postpartum

sering tidak jelas dan sulit dideteksi. Tiroiditis postpartum biasanya terjadi 3-6

bulan setelah melahirkan dengan manifestasi klinis berupa hipertiroidisme

transien diikuti hipotiroidisme dan kemudian kesembuhan spontan. Pada fase

hipertiroidisme akan terjadi peningkatan kadar T4 dan T3 serum dengan ambilan

yodium radioaktif yang sangat rendah (0 – 2%). Titer antibodi mikrosomal

kadang-kadang sangat tinggi. Fase ini biasanya berlangsung selama 1 – 3 bulan,

kemudian diikuti oleh fase hipotiroidisme dan kesembuhan, namun cenderung

berulang pada kehamilan berikutnya. Terjadinya tiroiditis postpartum diduga

merupakan “rebound phenomenon” dari proses otoimun yang terjadi setelah

melahirkan.

8. Pencegahan dan edukasi

Pencegahan dilakukan untuk mencegah terjadinya preeclampsia pada perempuan

hamil yang memiliki factor resiko. Pencegahan dapat dilakukan dengan :

- Pencegahan dengan nonmedical

Pencegahan dengan tidak memberikan obat. Penjelasan tentang manfaat

istirahat dan diet sangat berguna. Istirahat tidak selalu berarti berbaring di

tempat tidur, namun pekerjaan sehari – hari perlu dikurangi, dan dianjurkan

lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak,

karbohidrat, garam. Ditambah suplemen yang mengandung (a) minyak ikan

yang kaya dengan asam lemak tidak jenuh,misalnya omega-3 PUFA,(b)

antioksidan: vitamin C,vitamin E,β-karoten,CoQ10,N-Asetilsistein,asam

lipoik,dan (c) elemen logam berat: zinc,magnesium,kalsium.

- Pencegahan dengan medical

Pencegahan dapat juga dilakukan dengan pemberian obat meskipun belum ada

bukti yang kuat. Pemberian diuretic tidak terbukti mencegah terjadinya

23

preeclampsia bahkan memperberat hypovolemia. Antihipertensi tidak terbukti

mencegah terjadinya preeclampsia.

Pemberian kalsium 1.500-2.000 mg/hari dapat dipakai sebagai suplemen pada

resiko tinggi terjadinya preeclampsia. Selain itu dapat juga diberikan zinc 200

mg/hari,magnesium 365 mg/hari. Obat antitrombotik yang dianggap dapat

mencegah preeclampsia adalah aspirin dosis rendah rata-rata dibawah 100

mg/hari,atau dipiridamole. Untuk mencegah terjadinya gejala eklampsia seperti

kejang dan koma,harus dilakukan perawatan pasien preeklampsia.

9. Tatalaksana

a. Hipertiroid dalam kehamilan

a. Hipertiroid yang ringan (peningkatan kadar hormon tiroid dengan gejala

minimal) sebaiknya diawasi sesering mungkin tanpa terapi sepanjang ibu dan

bayi dalam keadaan baik.

b. Pada hipertiroid yang berat, membutuhkan terapi, obat anti-tiroid adalah

pilihan terapi, dengan PTU sebagai pilihan pertama. Tujuan dari terapi adalah

menjaga kadar T4 dan T3 bebas dari ibu dalam batas normal-tinggi dengan

dosis terendah terapi anti-tiroid. Pemberian terapi sebaiknya dipantau sesering

mungkin selama kehamilan dengan melakukan tes fungsi tiroid setiap

bulannya. Obat-obat yang terpenting digunakan untuk mengobati hipertiroid

(propiltiourasil dan metimazol) menghambat sintesis hormon tiroid. Laporan

sebelumnya mengenai hubungan terapi metimazol dengan aplasia kutis, atresia

oesophagus, dan atresia choanae pada fetus tidak diperkuat pada penelitian

selanjutnya, dan tidak terdapat bukti lain menyangkut obat lain yang berefek

abnormalitas kongenital. Oleh karena itu, PTU sebaiknya dipertimbangkan

sebagai obat pilihan pertama dalam terapi hipertiroid selama kehamilan dan

metimazol sebagai pilihan kedua yang digunakan jika pasien tidak cocok,

alergi, atau gagal mencapai eutiroid dengan terapi PTU. Kedua obat tersebut

jarang menyebabkan neutropenia dan agranulositosis. Oleh karena itu, pasien

sebaiknya waspada terhadap gejala-gejala infeksi, terutama sakit tenggorokan,

dapat dihubungkan dengan supresi sumsum tulang dan harus diperiksa jumlah

neutrofil segera setelah menderita.

Propiltiourasil dan metimazol keduanya dapat melewati plasenta. Namun, PTU

menjadi pilihan terapi pada ibu yang hipertiroid karena kadar transplasentalnya

jauh lebih kecil dibandingkan dengan metimazol. TSH reseptor stimulating

24

antibodi juga melalui plasenta dan dapat mempengaruhi status tiroid fetus dan

neonatus.

(sumber : Marx, Helen, et al. 2008)

d. Pemberian PTU dilakukan setiap 6-8 jam Penyesuaian dosis OAT dilakukan

setiap 4 minggu hingga fungsi kelenjar tiroid menjadi normal. Sebagian

penderita penyakit Graves' akan sembuh setelah pemberian terapi selama 12-18

bulan,

e. Wanita yang sedang dalam terapi antitiroid sebaiknya tidak berhenti menyusui

bayinya karena kedua obat anti tiroid tersebut aman. Keduanya ada dalam air

susu ibu (metimazole kadarnya lebih besar dibandingkan PTU), tetapi hanya

dalam konsentrasi yang lebih rendah. Jika pasien mengkonsumsi lebih dari 15

mg karbimazol atau 150 mg propiltiourasil sehari, bayi sebaiknya diperiksa

dan mereka sebaiknya tidak disusui sebelum ibunya mendapatkan terapi

dengan dosis terbagi.

c. Beta-blocker khususnya propanolol dapat digunakan selama kehamilan untuk

membantu mengobati palpitasi yang signifikan dan tremor akibat hipertiroid.

Untuk mengendalikan tirotoksikosis, propanolol 20 – 40 mg setiap 6 jam, atau

atenolol 50 -100 mg/hari selalu dapat mengontrol denyut jantung ibu antara 80-

90 kali per menit. Esmolol, β-blocker kardio seleketif, efektif pada wanita

hamil dengan tirotoksikosis yang tidak berespon pada propanolol. Obat-obat ini

hanya digunakan sampai hipertiroid terkontrol dengan obat anti tiroid. (Girling,

Joanna. 2008, Marx, Helen. 2009, Rull, Gurvinder. 2010)

. Jika tiroidektomi subtotal direncanakan, pembedahan sering ditunda setelah

kehamilan trimester pertama atau selama trimester kedua. Alasan dari

penundaan ini adalah untuk mengurangi resiko abortus spontan dan juga dapat

25

memunculkan resiko tambahan lainnya. Pembedahan dapat dipikirkan pada

pasien hipertiroid apabila ditemukan satu dari kriteria berikut ini (De Groot,

Leslie J., et al. 2007, Girling, Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al. 2009, Williams

Obstetrics 23rd. 2010) :

a. Dosis obat anti tiroid yang dibutuhkan tinggi (PTU > 300 mg, MMI > 20

mg)

b. Hipertiroid secara klinis tidak dapat dikontrol

c. Hipotiroid fetus terjadi pada dosis obat anti tiroid yang dibutuhkan untuk

mengandalikan hipertiroid pada ibu

d. Pasien yang alergi terhadap obat anti tiroid

e. Pasien yang menolak mengkonsumsi obat anti tiroid

f. Jika dicurigai ganas

d. Terapi radioiodin menjadi kontraindikasi dalam pengobatan hipertiroid

selama kehamilan sejak diketahui bahwa zat tersebut dapat melewati

plasenta dan ditangkap oleh kelenjar tiroid fetus. Hal ini dapat menyebabkan

kehancuran kelenjar dan akhirnya berakibat pada hipotiroid yang menetap.

Tatalaksana Eklamsia

Tujuan pengobatan :

1. Untuk menghentikan dan mencegah kejang

2. Mencegah dan mengatasi penyulit, khususnya krisis hipertensi

3. Sebagai penunjang untuk mencapai stabilisasi keadaan ibu seoptimal mungkin

4. Mengakhiri kehamilan dengan trauma ibu seminimal mungkin

Pengobatan Konservatif

Sama seperti pengobatan pre eklampsia berat kecuali bila timbul kejang-kejang lagi maka

dapat diberikan obat anti kejang (MgSO4).

Pengobatan Obstetrik

1. Sikap dasar : Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri dengan atau tanpa

memandang umur kehamilan dan keadaan janin

2. Bilamana diakhiri, maka kehamilan diakhiri bila sudah terjadi stabilisasi (pemulihan)

kondisi dan metabolisme ibu

Setelah persalinan, dilakukan pemantauan ketat untuk melihat tanda-tanda terjadinya

eklampsia. 25% kasus eklampsia terjadi setelah persalinan, biasanya dalam waktu 2 – 4 26

hari pertama setelah persalinan. Tekanan darah biasanya tetap tinggi selama 6 – 8

minggu. Jika lebih dari 8 minggu tekanan darahnya tetap tinggi, kemungkinan

penyebabnya tidak berhubungan dengan pre-eklampsia.

Dasar-dasar pengelolaan eklamsi :

Terapi supportiv untuk stabilisasi pada ibu

Selalu ABC (Airway, Breathing, Circulation).

Pastikan jalan nafas atas tetap terbuka

Mengatasi dan mencegah kejang

Koreksi hipoksemia dan asidemia

Mengatasi dan mencegah penyulit, khususnya hipertensi krisis

Melahirkan janin pada saat yang tepat dengan cara persalinan yang tepat

PERTOLONGAN PERTAMA SAAT DI IGD

Hindari ransangan

Pasang spatula lidah

Bebaskan jalan napas

Beri : MgSO4  20 % 4 g (20 cc) I.V pelan-pelan

MgSO4 40 % 8 g (10 cc) I.M ( 10 cc BoKa + 10 cc BoKi )

Pasang infus D5% atau RL

Fiksasi badan di tempat tidur

Pertolongan lanjut     :      Periksa dalam

di kamar bersalin       :      Pasang kateter menetap atau ruang isolasi

Lanjutan MgSO4 40 % 10 cc I.M tiap 6 jam

Bila kejang lagi ⇨ MgSO4 20 % 10 cc I.V

Bila kejang lagi setelah 20’ ⇨ Pentothal 5 mg/kgBB/I.V pelan-pelan atau Amibarbital

3-5 mg/kgBB/I.V pelan-pelan

Obat-obat penunjang 

( Antihipertensi, Antibiotik, Diuretik, Kardiotonik )

Periksa lab darah, urin, liver enzym

Setelah terjadi stabilisasi

4-8 jam setelah : - kejang terakhir

                           - pemberian anti kejang/anti hipertensi terakhir

                           - mulai sadar

Obat-obat Antihipertensi:

27

Metildopa

Hidralazin

Labetolol

Prinsip:

Mulailah pemberian antihipertensi, jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg

Pertahankan tekanan darah diastolik 90-100 mmHg untuk mencegah perdarahan otak 

Terapi Medikamentosa

Lihat terapi medikamentosa pada preeklamsi berat : nomor VI. 5.a

1. a. Pemberian terapi medikamentosa

a. Segera masuk rumah sakit

b. Tirah baring miring ke kiri secara intermiten

c. Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5%

d. Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang.

e. Pemberian MgSO4 dibagi :

- Loading dose (initial dose) : dosis awal

- Maintenance dose : dosis lanjutan

28

29

Regimen Loading dose Maintenan

ce dose

Dihentikan

Preeklamsi

Eklamsi

Intermitent

intramuscular

injection

10 g IM

4g 20% IV;

1g/menit

10g 50% IM:

Kuadran atas sisi

luar kedua bokong

- 5g IM bokong

kanan

- 5g IM bokong

kiri

Ditambah 1.0

mllidocaine

Jika konvulsi tetap

terjadi

Setelah 15 menit,

beri : 2g

20% IV : 1

g/menit

Obese : 4g iv

Pakailah jarum 3-

inci, 20

gauge

5g 50%

tiap 4-6

jam

Bergantian

salah satu

bokong

5g 50%

tiap 4-6

jam

Bergantian

salah satu

bokong

(10 g

MgSO4 IM

dalam

2-3 jam

dicapai

kadar

plasma

3, 5-6

mEq/l

24 jam

pasca

persalinan

Preeklamsi

berat

Eklamsi

Continous

Intravenous

Injection

Tidak ada

4-6 g IV / 5-10

minute 1 g/jam IV

1 g/jam IV

Diberikan : bila tensi ≥ 180/110 atau MAP ≥ 126

Jenis obat : Nifedipine : 10-20 mg oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg

dalam 24 jam.

Nifedipine tidak dibenarkan diberikan dibawah mukosa lidah (sub lingual) karena

absorbsi yang terbaik adalah melalui saluran pencernaan makanan.

Desakan darah diturunkan secara bertahap :

1. Penurunan awal 25% dari desakan sistolik

2. Desakan darah diturunkan mencapai :

3. - < 160/105

- MAP < 125

Nicardipine-HCl : 10 mg dalam 100 atau 250 cc NaCl/RL diberikan secara IV selama 5

menit, bila gagal dalam 1 jam dapat diulang dengan dosis 12,5 mg selama 5 menit. Bila

masih gagal dalam 1 jam, bisa diulangi sekali lagi dengan dosis 15 mg selama 5 menit

f. Diuretikum

Diuretikum tidak dibenarkan diberikan secara rutin, karena :30

1. Memperberat penurunan perfusi plasenta

2. Memperberat hipovolemia

3. Meningkatkan hemokonsentrasi

Diuretikum yang diberikan hanya atas indikasi :

1. Edema paru

2. Payah jantung kongestif

3. Edema anasarka

g. Diet

Diet diberikan secara seimbang, hindari protein dan kalori yang berlebih

Perawatan kejang

Tempatkan penderita di ruang isolasi atau ruang khusus dengan lampu terang (tidak

diperkenalkan ditempatkan di ruangan gelap, sebab bila terjadi sianosis tidak dapat

diketahui) Tempat tidur penderita harus cukup lebar, dapat diubah dalam posisi

trendelenburg, dan posisi kepala lebih tinggi.

Rendahkan kepala ke bawah : diaspirasi lendir dalam orofaring guna mencegah aspirasi

pneumonia

Sisipkan spatel-lidah antara lidah dan gigi rahang atas

Fiksasi badan harus kendor agar waktu kejang tidak terjadi fraktur

Rail tempat tidur harus dipasang dan terkunci dengan kuat.

Perawatan koma

Derajat kedalaman koma diukur dengan “Glasgow-Coma Scale”

Usahakan jalan nafas atas tetap terbuka

Hindari dekubitus

Perhatikan nutrisi

Perawatan khusus yang harus berkonsultasi dengan bagian lain

Konsultasi ke bagian lain perlu dilakukan bila terjadi penyulit sebagai berikut :

Edema paru

Oliguria renal

Diperlukannya kateterisasi arteri pulmonalis

Pengelolaan eklamsi

31

Sikap dasar pengelolaan eklamsi : semua kehamilan dengan eklamsi harus diakhiri

(diterminasi) tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Berarti sikap terhadap

kehamilannya adalah aktif.

Saat pengakhiran kehamilan, ialah bila sudah terjadi stabilisasi (pemulihan) hemodinamika

dan metabolisme ibu.

Stabilisasi dicapai selambat-lambatnya dalam : 4-8 jam, setelah salah satu atau lebih

keadaan seperti dibawah ini, yaitu setelah :

1). Pemberian obat anti kejang terakhir

2). Kejang terakhir

3). Pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir

4). Penderita mulai sadar (dapat dinilai dari Glasgow-Coma-Scale yang meningkat)

Cara persalinan

Bila sudah diputuskan untuk melakukan tindakan aktif terhadap kehamilannya, maka

dipilih cara persalinan yang memenuhi syarat pada saat tersebut.

Perawatan pasca persalinan

Tetap di monitor tanda vital

Pemeriksaan laboratorium lengkap 24 jam pasca persalinan

10. Pemeriksaan penunjang

a. Laboratorium :

1. Kadar T4 dan T3 total

Kadar T4 total selama kehamilan normal dapat meningkat karena peningkatan kadar TBG

oleh pengaruh estrogen. Namun peningkatan kadar T4 total diatas 190 nmol/liter (15 ug/dl)

menyokong diagnosis hipertiroidisme.

2. Kadar T4 bebas dan T3 bebas (fT4 dan fT3)

Pemeriksaan kadar fT4 dan fT3 merupakan prosedur yang tepat karena tidak dipengaruhi

oleh peningkatan kadar TBG. Beberapa peneliti melaporkan bahwa kadar fT4 dan fT3

sedikit menurun pada kehamilan, sehingga kadar yang normal saja mungkin sudah dapat

menunjukkan hipertiroidisme.

3. Indeks T4 bebas (fT4I)

Pemeriksaan fT4I sebagai suatu tes tidak langsung menunjukkan aktifitas tiroid yang tidak

dipengaruhi oleh kehamilan merupakan pilihan yang paling baik. Dari segi biaya,

32

pemeriksaan ini cukup mahal oleh karena dua pemeriksaan yang harus dilakukan yaitu

kadar fT4 dan T3 resin uptake (ambilan T3 radioaktif). Tetapi dari segi diagnostik,

pemeriksaan inilah yang paling baik pada saat ini.

4. Tes TRH

Tes ini sebenarnya sangat baik khususnya pada penderita hipertiroidisme hamil dengan

gejala samar-samar. Sayangnya untuk melakukan tes ini membutuhkan waktu dan

penderita harus disuntik TRH dulu.

5. TSH basal sensitif

Pemeriksaan TSH basal sensitif pada saat ini sudah mulai populer sebagai tes skrining

penderita penyakit tiroid. Bukan hanya untuk diagnosis hipotiroidisme, tetapi juga untuk

hipertiroidisme termasuk yang subklinis. Dengan pengembangan tes ini, maka tes TRH

mulai banyak ditinggalkan.

6. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI)

Pemeriksaan kadar TSI dianggap cukup penting pada penderita hipertiroidisme Grave

hamil. Kadar yang tetap tinggi mempunyai 2 arti penting yaitu :

Menunjukkan bahwa apabila obat anti tiroid dihentikan, kemungkinan besar penderita

akan relaps. Dengan kata lain obat anti tiroid tidak berhasil menekan proses otoimun.

Ada kemungkinan bayi akan menjadi hipertiroidisme, mengingat TSI melewati plasenta

dengan mudah.

11. Komplikasi

IBU:

1. CVD

2. Decompensatio cordis

3. Edema paru

4. Gagal hati

5. Gagal ginjal

6. DIC

7. Solutio plasenta

8. Asidosis

JANIN:

1. Pertumbuhan janin terhambat

2. Prematuritas

3. Gawat janin

4. Kematian janin

33

12. Prognosis

Dubia et bonam

13. KDU

Hipertensi pada kehamilan = 2

Preklamsia= 3B

Eklamsia= 3B

Hipertiroid = 3A

F. TOPIK PEMBELAJARAN (LEARNING ISSUES)

1. Grave’s disease

A. Definisi

Penyakit Graves merupakan penyakit kelenjar tiroid yang sering dijumpai dalam

praktek sehari-hari. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali

ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi

kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta -meskipun

jarang- disertai dermopati. Selain penyakit Graves, yang merupakan penyebab paling

sering, penyebab lain tirotoksikosis ialah struma multinodosa toksik, adenoma

toksik, tiroiditis, dan pemberian obat-obatan.

Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Namun

demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme -

yang belum diketahui secara pasti- meningkatnya risiko menderita penyakit Graves.

Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan ke dalam

penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH

(Thyrotropin Stimulating Hormone – Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar

bervariasi.

Pengobatan penyakit Graves idealnya ditujukan langsung pada penyebabnya. Tetapi,

mengingat dasar penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang belum diketahui

pasti penyebabnya, maka pengobatan penyakit Graves dilakukan melalui berbagai

pendekatan, yaitu merusak/mengurangi massa kelenjar tiroid, menghambat produksi

dan pengeluaran hormon tiroid serta mengeliminasi efek hormon tiroid di perifer,

sekaligus menekan proses autoimun.

34

Diagnosis

Penyakit Graves mulai dipikirkan apabila terdapat pembesaran kelenjar tiroid difus

disertai tanda dan gejala ke arah tirotoksikosis. Untuk memastikan diagnosis,

diperlukan pemeriksaan TSH dan T4-bebas dalam darah. Pemeriksaan TSH sangat

berguna untuk skrining hipertiroidisme, karena dengan peningkatan sekresi hormon

tiroid yang sedikit saja, sudah akan menekan sekresi TSH. Pada stadium awal

penyakit Graves, kadang-kadang TSH sudah tertekan tetapi kadar T-4 bebas masih

normal. Pada keadaan demikian, pemeriksaan T-3bebas diperlukan untuk

memastikan diagnosis T-3 toksikosis. Apabila dengan pemeriksaan fisis dan

laboratorium belum juga dapat menegakkan diagnosis penyakit Graves, dapat

dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan tes supresi tiroksin.

Manifestasi Klinis

Penyakit Graves umumnya ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid/ struma difus,

disertai tanda dan gejala tirotoksikosis dan seringkali juga disertai oftalmopati

(terutama eksoftalmus) dan kadang-kadang dengan dermopati. Manifestasi

kardiovaskular pada tirotoksikosis merupakan gejala paling menonjol dan merupakan

karakteristik gejala dan tanda tirotoksikosis.

Gejala tirotoksikosis yang sering ditemukan:

  Hiperaktivitas, iritabilitas

  Palpitasi

  Tidak tahan panas dan keringat berlebih

  Mudah lelah

  Berat badan turun meskipun makan banyak

  Buang air besar lebih sering

  Oligomenore atau amenore dengan libido berkurang

Tanda tirotoksikosis yang sering ditemukan:

Takikardi, fibrilasi atrial

Tremor halus, refleks meningkat

Kulit hangat dan basah35

Rambut rontok

Pada pasien dengan usia yang lebih tua, sering tanda dan gejala khas tersebut tidak

muncul akibat respons tubuh terhadap peningkatan hormon tiroid menurun. Gejala

yang dominan pada usia tua adalah penurunan berat badan, fibrilasi atrial, dan gagal

jantung kongestif.

Oftalmopati pada penyakit Graves ditandai dengan adanya edema dan inflamasi otot-

otot ekstraokular dan meningkatnya jaringan ikat dan lemak orbita. Peningkatan

volume jaringan retrobulber memberikan kontribusi besar terhadap manifestasi klinis

oftalmopati Graves.

Mekanisme kelainan mata pada penyakit Graves sampai saat ini belum diketahui

secara pasti. Tetapi mengingat hubungan yang erat antara penyakit Graves dengan

oftalmopati, diduga keduanya berasal dari respons autoimun terhadap satu atau lebih

antigen di kelenjar tiroid atau orbita. Sebagian peneliti melaporkan bahwa reseptor

TSH-lah yang menjadi antigen dari respons autoimun keduanya. Tetapi sebagian

yang lain melaporkan adanya antigen lain di orbita yang berperan dalam mekanisme

terjadinya oftalmopati, sehingga dikatakan bahwa penyakit Graves dan oftalmopati

Graves merupakan penyakit autoimun yang masing-masing berdiri sendiri. Oleh

karena itu kelainan mata pada penyakit Graves dapat timbul mendahului, atau

bersamaan, atau bahkan kemudian setelah penyakit Graves-nya membaik.

Pemeriksaan Laboratorium

Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan

hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan

(axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar

hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam

keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan

T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar

hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.

Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel

tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus,

sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini

menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah

dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua

merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh

karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH

sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa

kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4).36

Pemeriksaan Penunjang Lain

Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk

menegakkan diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada

tes supresi tiroksin.

Pengelolaan Penyakit Graves

Terdapat 3 modalitas pengobatan pada penyakit Graves, yaitu obat antitiroid, operasi

dan Iodium-131 (131I). Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal, antara lain

berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat

antitiroid dan respons/reaksi terhadapnya, serta penyakit lain yang menyertainya.

I. Obat-obatan

1. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil

dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama

metimazol dan karbimazol.(4) Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah

tiamazol yang isinya sama dengan metimazol..

Mekanisme Kerja

Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi

intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan

T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat

coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat

sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah

menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada

metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih

dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon

tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan

biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai

dosis tunggal.

Dosis

Besarnya dosis tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU

dimulai dengan 3×100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40

mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini, dosis dapat

diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons 37

pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari dan

metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis

eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal.4 Bila dengan dosis awal belum

memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat dinaikkan bertahap

sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya

seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis.

Efek Samping

Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping,

yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang

lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam

beberapa bulan pertama pengobatan.3 Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping

tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk

leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama

setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut

akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas

pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi. Bila timbul efek samping yang lebih

ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari

PTU ke metimazol atau sebaliknya.

Evaluasi

Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves

adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi.

Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai

perkembangan klinis dan bikokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis

dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai

keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang

masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan

tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4

(atau FT-3 bila terdapat T-3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang

memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak

terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan

parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar

tiroid, dan mata.

2. Obat Golongan Penyekat Beta

38

Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat

untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti

palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor

adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -

meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya terhadap

konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari.3,4

Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi

kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan

metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan

propranolol.

Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping

yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi,

dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan

trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien

asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi

atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena

Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase.

3. Obat-obatan Lain

Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast,

potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan

kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan

penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid,

untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif.

II. Operasi

Pilihan operasi jenis tiroidektomi subtotal pada penyakit Graves diindikasikan bila

struma besar atau dengan struma retrosternal hingga menyebabkan pendesakan,

respons terhadap obat antitiroid kurang memadai, atau terdapat efek samping obat.3

Sebelum tindakan operasi dilaksanakan, keadaan hipertiroidismenya harus diobati

terlebih dulu hingga tercapai eutiroidisme baik klinis maupun biokimia. Iodida

inorganik biasanya diberikan selama 7-10 hari sebelum operasi dengan tujuan

mengurangi vaskularisasi kelenjar tiroid dan mempermudah prosedur operasi. Di

senter yang berpengalaman, angka hipertiroidisme yang teratasi mencapai 98%

dengan sedikit komplikasi operasi. Komplikasi hipotiroidisme yang terjadi, terutama

disebabkan sedikitnya sisa tiroid yang tertinggal dan adanya antibodi antitiroid.

Angka kekambuhan hipertiroidisme dilaporkan sebanyak 5-15%, sebagian besar 39

dialami kelompok pasien dengan kadar TR-Ab tinggi sebelum operasi dan dengan

keterlibatan mata yang serius. Pada kelompok seperti ini sebaiknya dilakukan

tiroidektomi total, bukan tiroidektomi subtotal. Pada kelompok yang mengalami

kekambuhan pasca tiroidektomi subtotal, pilihan selanjutnya ialah terapi Iodium

radioaktif.

III. Iodium Radioaktif

Terapi iodium radioaktif merupakan terapi pilihan pada pasien yang mengalami

kekambuhan setelah terapi obat antitiroid jangka panjang dengan problem kardiak,

atau pasien Graves yang berat karena kelompok tersebut diperkirakan akan sulit

mencapai remisi dengan obat antitiroid. Indikasi lain terapi ini ialah bila terdapat

efek samping serius terhadap obat antitiroid, juga pada sebagian besar pasien

multinodular-uninodular toksik. Terapi iodium radioaktif dikontraindikasikan pada

wanita hamil dan sedang menyusui.

Evaluasi pasien dilakukan dengan interval 4-6 minggu selama 3 bulan pertama, dan

selanjutnya sesuai dengan keadaan klinis dan biokimia. Bila ingin hamil, sebaiknya

ditunda hingga 4 bulan pascaterapi.2 Hipotiroidisme, yang sering merupakan

komplikasi terapi iodium radioaktiv, dapat muncul pada 6-12 bulan pertama setelah

terapi, tetapi dapat juga muncul setiap saat. Bila hipotiroidisme terjadi, dapat

diberikan L-tiroksin dosis titrasi, dengan target kadar FT-4 dan TSH normal. Bila

telah tercapai eutiroid yang stabil, evaluasi dapat dilakukan setahun sekali.

Oftalmopati Graves

Meskipun mekanisme hubungan penyakit Graves dengan oftalmopati Graves belum

jelas, pengelolaan terhadap tirotoksikosis merupakan langkah awal yang harus

dilakukan. Pada oftalmopati ringan atau sedang, di samping usaha mempertahankan

keadaan eutiroidisme, yang juga perlu dilakukan ialah:

Hentikan rokok

Hindari cahaya yang sangat terang dan debu

Tidur dengan posisi kepala terangkat

Gunakan artificial tears dan salep mata sederhana pada malam hari

Obat diuretik.

Pada oftalmopati berat, ditandai dengan memberatnya diplopia dan keratitis ekspose

atau neuropati optika, perlu pengobatan tambahan:

Glukokortikoid (prednison 40-80 mg/hari, dosis diturunkan bertahap, paling tidak

selama 3 bulan)40

Radioterapi (dosis 20 Gy, diberikan dalam 10 kali dosis 2 Gy)

Operasi dekompresi orbita

Obat-obatan (eksperimental) imunosupresi seperti azatioprin atau siklosporin

Penyakit Graves dengan Kehamilan

Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai keadaan

hipertiroidisme-nya diobati dengan adekuat, karena angka kematian janin pada

hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan status

eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid dengan dosis

terendah yang dapat mencapai kadar FT-4 pada kisaran angka normal tinggi atau

tepat di atas normal tinggi. PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil

dengan hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit, dan

tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak dianjurkan, karena

akan memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian

tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme.

Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada trimester

ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang -dengan mekanisme yang belum

diketahui- terdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar thyrotropin

receptor antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan, dan dengan

demikian obat antirioid dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang masih

memerlukan obat antiroid, tetap dapat menyusui bayinya dengan aman.

Remisi

Angka keberhasilan remisi dipengaruhi beberapa hal, antara lain lamanya

pengobatan, kadar TSH dan kadar antibodi terhadap reseptor TSH. Dianjurkan lama

pengobatan dengan obat antitiroid berkisar antara 1-2 tahun. Dahulu, usaha untuk

meningkatkan angka remisi dilakukan dengan menambah hormon L-tiroksin.

Dasarnya, obat antitiroid mempunyai efek imunosupresif dan dengan kombinasi L-

tiroksin maka dosis obat antitiroid dapat dimaksimalkan. Tetapi dari beberapa

penelitian klinis berikutnya, seperti dilaporkan Edmonds CJ dan Tellez M, tidak

terdapat perbedaan bermakna antara obat kombinasi dengan obat tunggal.

Bila remisi telah tercapai, pengobatan dapat dihentikan, tetapi evaluasi tetap harus

diteruskan. Pada tahun pertama, evaluasi dilakukan tiap 3 bulan, karena kekambuhan

biasanya terjadi pada periode tersebut. Kemudian evaluasi dapat dilakukan tiap 1

tahun. Dalam evaluasi tersebut, parameter yang diperiksa ialah tanda dan gejala

klinis serta pemeriksaan laboratorium TSH dan FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3

toksikosis).

41

Bila terjadi kekambuhan, pilihan pengobatan selanjutnya adalah 131I atau operasi.

Obat antitiroid dapat dicoba lagi bila pasien menolak atau terdapat kontraindikasi

pengobatan iodium radioaktif atau operasi. Angka kekambuhan dipengaruhi oleh

kadar TSH yang selalu rendah atau tak terdeteksi untuk jangka panjang walaupun

keadaan eutiroid telah tercapai, atau adanya kadar antibodi reseptor TSH yang tinggi.

Penutup

Berbagai faktor perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis pengobatan penyakit

Graves, antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma,

ketersediaan obat antitiroid dan respons/reaksi terhadapnya, serta penyakit lain yang

menyertainya.

Dan, mengingat penyakit Graves merupakan penyakit autoimun yang tidak dapat

diketahui secara pasti kapan remisi tercapai, dan membutuhkan penekanan proses

autoimun secara terus menerus, maka pengelolaan penyakit ini memerlukan evaluasi

teratur dan kerjasama dokter dengan pasien, -termasuk ketaatan pasien minum obat-,

sehingga tujuan pengobatan dapat dicapai.

2. Eklampsia

Definisi

Eklamsia merupakan komplikasi kehamilan yang serius, dan dapat dikarakteristikkan

dengan adanya kejang. Biasanya eklamsia merupakan lanjutan dari pre- eklamsia

walaupun kadang – kadang tidak diketahui terlebih dahulu. Definisi lain dari

eklamsia adalah onset baru hipertensi gestasi yang diikuti dengan kejang grand mal

(Zeeman, Fleckenstein, twickler,& Cunningham,2004), dan kejang pada pre-

eklampsia yang tidak bisa dikaitkan dengan penyebab lain (Abbrescia &

Sheridan,2003). Kejang pada eklampsia tidak berhubungan dengan kondisi otak dan

biasanya terjadi setelah 20 minggu kehamilan.

Etiologi / Patogenesis

Etiologi dan patogenesis preeklampsia dan eklampsia sampai saat ini masih belum

sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya

penyakit ini sering disebut “the disease of theories”. Pada saat ini hipotesis utama

yang dapat diterima untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah : faktor

imunologi, genetik, penyakit pembuluh darah dan keadaan dimana jumlah

trophoblast yang berlebihan dan dapat mengakibatkan ketidakmampuan invasi

trofoblast terhadap arteri spiralis pada awal trimester satu dan trimester dua. Hal ini

akan menyebabkan arteri spiralis tidak dapat berdilatasi dengan sempurna dan

42

mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta. Berikutnya akan terjadi stress

oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi endotel, agregasi dan penumpukan

trombosit yang dapat terjadi diberbagai organ.

Faktor Predisposisi Terjadinya Preeklampsia dan Eklampsia

Primigravida, kehamilan ganda, diabetes melitus, hipertensi essensial kronik, mola

hidatidosa, hidrops fetalis, bayi besar, obesitas, riwayat pernah menderita

preeklampsia atau eklamsia, riwayat keluarga pernah menderita preeklampsia atau

eklamsia, lebih sering dijumpai pada penderita preeklampsia dan eklampsia.

Terminologi

Dahulu, disebut pre eklampsia jika dijumpai trias tanda klinik yaitu : tekanan darah ≥

140/90 mmHg, proteinuria dan edema. Tapi sekarang edema tidak lagi dimasukkan

dalam kriteria diagnostik, karena edema juga dijumpai pada kehamilan normal.

Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam, tekanan darah diastol ≥ 90

mmHg digunakan sebagai pedoman.

Eklampsia adalah pre eklampsia yang mengalami komplikasi kejang tonik klonik

yang bersifat umum. Koma yang fatal tanpa disertai kejang pada penderita pre

eklampsia juga disebut eklampsia. Namun kita harus membatasi definisi diagnosis

tersebut pada wanita yang mengalami kejang dan kematian pada kasus tanpa kejang

yang berhubungan dengan pre eklampsia berat. Mattar dan Sibai (2000) melaporkan

komplikasi – komplikasi yang terjadi pada kasus persalinan dengan eklampsia antara

tahun 1978 – 1998 di sebuah rumah sakit di Memphis, adalah solutio plasentae (10

%), defisit neurologis (7 %), pneumonia aspirasi (7 %), edema pulmo (5 %),

cardiac arrest (4 %), acute renal failure (4 %) dan kematian maternal (1 %)

Gambaran Klinis Eklampsia

Seluruh kejang eklampsia didahului dengan pre eklampsia. Eklampsia digolongkan

menjadi kasus antepartum, intrapartum atau postpartum tergantung saat kejadiannya

sebelum persalinan, pada saat persalinan atau sesudah persalinan. Tanpa memandang

waktu dari onset kejang, gerakan kejang biasanya dimulai dari daerah mulut sebagai

bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa saat kemudian seluruh tubuh menjadi kaku

karena kontraksi otot yang menyeluruh, fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15

detik. Pada saat yang bersamaan rahang akan terbuka dan tertutup dengan keras,

demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata, otot – otot wajah yang lain dan

akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi dan relaksasi secara bergantian dalam

43

waktu yang cepat. Keadaan ini kadang – kadang begitu hebatnya sehingga dapat

mengakibatkan penderita terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak dijaga. Lidah

penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot – otot rahang. Fase ini dapat

berlangsung sampai 1 menit, kemudian secara berangsur kontraksi otot menjadi

semakin lemah dan jarang dan pada akhirnya penderita tidak bergerak.

Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernafasan berhenti. Selama beberapa

detik penderita sepertinya meninggal karena henti nafas, namun kemudian penderita

bernafas panjang, dalam dan selanjutnya pernafasan kembali normal. Apabila tidak

ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti dengan kejang – kejang

berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan sampai kejang yang

berkelanjutan yang disebut status epileptikus.

Setelah kejang berhenti penderita mengalami koma selama beberapa saat. Lamanya

koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi jarang,

penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah kejang. Namun pada

kasus – kasus yang berat, keadaan koma berlangsung lama, bahkan penderita dapat

mengalami kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada kasus yang jarang,

kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengan koma yang lama

bahkan kematian.

Frekuensi pernafasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat

mencapai 50 kali/menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai asidosis

laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat dapat ditemukan

sianosis. Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabila hal tersebut

terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan pada susunan saraf pusat.

Komplikasi

Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan kadang –

kadang sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria. Setelah

persalinan urin output akan meningkat dan ini merupakan tanda awal perbaikan

kondisi penderita. Proteinuria dan edema menghilang dalam waktu beberapa hari

sampai 2 minggu setelah persalinan. Apabila keadaan hipertensi menetap setelah

persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit vaskuler kronis.

Edema pulmo dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Hal ini dapat terjadi karena

pneumonia aspirasi dari isi lambung yang masuk ke dalam saluran nafas yang

disebabkan penderita muntah saat kejang. Selain itu dapat pula karena penderita

44

mengalami dekompensasio kordis, sebagai akibat hipertensi berat dan pemberian

cairan yang berlebihan.

Pada beberapa kasus eklampsia, kematian mendadak dapat terjadi bersamaan atau

beberapa saat setelah kejang sebagai akibat perdarahan otak yang masiv. Apabila

perdarahan otak tersebut tidak fatal maka penderita dapat mengalami hemiplegia.

Perdarahan otak lebih sering didapatkan pada wanita usia lebih tua dengan riwayat

hipertensi kronis. Pada kasus yang jarang perdarahan otak dapat disebabkan

pecahnya aneurisma Berry atau arterio venous malformation.

Pada kira – kira10 % kasus, kejang eklampsia dapat diikuti dengan kebutaan dengan

variasi tingkatannya. Kebutaan jarang terjadi pada pre eklampsia. Penyebab kebutaan

ini adalah terlepasnya perlekatan retina atau terjadinya iskemia atau edema pada

lobus oksipitalis. Prognosis penderita untuk dapat melihat kembali adalah baik dan

biasanya pengelihatan akan pulih dalam waktu 1 minggu.

Pada kira- kira 5 % kasus kejang eklampsia terjadi penurunan kesadaran yang berat

bahkan koma yang menetap setelah kejang. Hal ini sebagai akibat edema serebri

yang luas. Sedangkan kematian pada kasus eklampsia dapat pula terjadi akibat

herniasi uncus trans tentorial.

Pada kasus yang jarang kejang eklampsia dapat diikuti dengan psikosis, penderita

berubah menjadi agresif. Hal ini biasanya berlangsung beberapa hari sampai sampai

2 minggu namun prognosis penderita untuk kembali normal baik asalkan tidak

terdapat kelainan psikosis sebelumnya. Pemberian obat – obat antipsikosis dengan

dosis yang tepat dan diturunkan secara bertahap terbukti efektif dalam mengatasi

masalah ini.

Diagnosis Diferensial

Secara umum seorang wanita hamil aterm yang mengalami kejang selalu didiagnosis

sebagai eklampsia. Hal ini karena diagnosis diferensial keadaan ini seperti, epilepsi,

ensefalitis, meningitis, tumor otak serta pecahnya aneurisma otak memberikan

gambaran serupa dengan eklampsia. Prinsip : setiap wanita hamil yang mengalami

kejang harus didiagnosis sebagai eklampsia sampai terbukti bukan

Prognosis

Eklampsia selalu menjadi masalah yang serius, bahkan merupakan salah satu

keadaan paling berbahaya dalam kehamilan. Statistik menunjukkan di Amerika

45

Serikat kematian akibat eklampsia mempunyai kecenderungan menurun dalam 40

tahun terakhir, dengan persentase 10 % - 15 %. Antara tahun 1991 – 1997 kira – kira

6% dari seluruh kematian ibu di Amerika Serikat adalah akibat eklampsia, jumlahnya

mencapai 207 kematian. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa eklampsia dan pre

eklamsia berat harus selalu dianggap sebagai keadaan yang mengancam jiwa ibu

hamil.

Manajemen

Pritchard (1955) memulai standardisasi rejimen terapi eklampsia di Parkland

Hospital dan rejimen ini sampai sekarang masih digunakan. Pada tahun 1984

Pritchard dkk melaporkan hasil penelitiannya dengan rejimen terapi eklampsia pada

245 kasus eklampsia. Prinsip – prinsip dasar pengelolaan eklampsia adalah sebagai

berikut :

- Terapi suportif untuk stabilisasi pada penderita

- Selalu diingat mengatasi masalah – masalah Airway, Breathing, Circulation

- Kontrol kejang dengan pemberian loading dose MgSO4 intravena, selanjutnya

dapat diikuti dengan pemberian MgSO4 per infus atau MgSO4 intramuskuler

secara loading dose didikuti MgSO4 intramuskuler secara periodik.

- Pemberian obat antihipertensi secara intermiten intra vena atau oral untuk

menurunkan tekanan darah, saat tekanan darah diastolik dianggap berbahaya.

Batasan yang digunakan para ahli berbeda – beda, ada yang mengatakan 100

mmHg, 105 mmHg dan beberapa ahli mengatakan 110 mmHg.

- Koreksi hipoksemia dan asidosis

- Hindari penggunaan diuretik dan batasi pemberian cairan intra vena kecuali pada

kasus kehilangan cairan yang berat seperti muntah ataupun diare yang berlebihan.

Hindari penggunaan cairan hiperosmotik.

- Terminasi kehamilan

Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI telah membuat pedoman pengelolaan

eklampsia yang terdapat dalam Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan

di Indonesia, berikut ini kami kutipkan pedoman tersebut.

A. Pengobatan Medisinal

1. MgSO4 :

Initial dose :

46

- Loading dose : 4 gr MgSO4 20% IV (4-5 menit)

Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20 % 2 gr IV, diberikan sekurang - kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila setelah diberikan dosis tambahan masih tetap kejang dapat diberikan Sodium Amobarbital 3-5 mg/ kg BB IV perlahan-lahan.

- Maintenace dose : MgSO4 1 g / jam intra vena

2. Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg. Dapat

diberikan nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih

tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau oral dengan

interval 1 jam, 2 jam atau 3 jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah tidak

boleh terlalu agresif. Tekanan darah diastolik jangan kurang dari 90 mmHg,

penurunan tekanan darah maksimal 30%. Penggunaan nifedipine sangat

dianjurkan karena harganya murah, mudah didapat dan mudah pengaturan

dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.

3. Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar 2000 ml, berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP .

4. Perawatan pada serangan kejang :

Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang.

Masukkan sudip lidah ( tong spatel ) kedalam mulut penderita.

Kepala direndahkan , lendir diisap dari daerah orofarynx.

Fiksasi badan pada tempat tidur harus aman namun cukup longgar guna menghindari fraktur.

Pemberian oksigen.

Dipasang kateter menetap ( foley kateter ).

5. Perawatan pada penderita koma : Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai “Glasgow – Pittsburg Coma Scale “.

Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita.

Pada koma yang lama ( > 24 jam ), makanan melalui hidung ( NGT = Naso Gastric Tube : Neus Sonde Voeding ).

6. Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :

- Edema paru

- Gagal jantung kongestif

- Edema anasarka

7. Kardiotonikum ( cedilanid ) jika ada indikasi.

8. Tidak ada respon terhadap penanganan konservatif pertimbangkan seksio sesarea.

Catatan:

47

Syarat pemberian Magnesium Sulfat:

Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu Kalsium Glukonas 10%,

diberikan iv secara perlahan, apabila terdapat tanda – tanda intoksikasi MgSO4.

Refleks patella (+)

Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.

Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/ jam ). Pemberian

Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan diurese

B. Pengobatan Obstetrik :

1. Semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa memandang umur

kehamilan dan keadaan janin.

2. Terminasi kehamilan

Sikap dasar : bila sudah stabilisasi ( pemulihan ) hemodinamika dan metabolisme

ibu, yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan dibawah ini :

Setelah pemberian obat anti kejang terakhir.

Setelah kejang terakhir.

Setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir.

Penderita mulai sadar ( responsif dan orientasi ).

3. Bila anak hidup dapat dipertimbangkan bedah Cesar.

Perawatan Pasca Persalinan

Bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya.

Pemeriksaan laboratorium dikerjakan setelah 1 x 24 jam persalinan.

Biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24 - 48 jam pasca persalinan.

G. KERANGKA KONSEP

Hipertiroid

T3 dan T4

Curah Jantung Vasokontriksi48

Iskemik Plasenta

Peningkatan Tekanan Darah Hipoperfusi ke Organ ex. Otak

Kerusakan endotel

Nyeri Kepala Iskemi cerebri

Permeabilitas vaskular meningkat

Kejang

Cedma

H. KESIMPULAN

Ny. Mima, 38 tahun dengan usia kehamilan 39 minggu disertai riwayat penyakit grave

mengalami eklampsia.

DAFTAR PUSTAKA

Angsar MD dkk. Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan Di Indonesia.

Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI

Cuningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, et al. Hypertensive Disorders in Pregnancy.

In : William Obstetrics. 22th ed. Conecticut : Appleton and Lange, 2007 : 443

– 452.

49

Dekker GA, Sibai BM. Ethiology and Pathogenesis of Preeclampsia : Current Concept.

AmJ Obstet Gynecol 1998 ; 179 : 1359 – 75.

Girling, Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al. 2009, Marx, Helen, et al. 2009, Williams

Obstetrics 23rd. 2010

Lockwood CJ dan Paidas MJ. Preeclampsia and Hypertensive Disorders In Wayne R.

Cohen Complications of Pregnancy. 5th ed. Philadelphia : Lippicott Williams

dan Wilkins, 2000 : 207 -26.

Prawirohardjo, Sarwono dkk. 2011. Ilmu Kebidanan Ed. IV. Jakarta : PT. Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo

Report of the National High Blood Pressure Education Program Working Group on

High Blood Pressure in Pregnancy. AmJ. Obstet Gynecol, 2000 ; 183 : S1 –

S22.

Sibai BM. Hypertension in pregnancy. In : Obstetrics normal and problem pregnancies.

4th edition, Churchill Livingstone USA, 2002 : 573-96.

50