strategi perikanan

22
 Outline Draft “Grand Strategi Perikanan Set Net  di Indonesia” 1. Deskripsi perikanan set net  (rejim pengelolaan, moratorium penangkapan, konservasi dan co-management , uni t penan gka pan set net , karakt eris tik set net , metode penangkapan, metode penanganan hasil); 2. Kunci sukses; 3. S!"; #.  Action Plan; a. Kajian dan penerapan prototype set net $ technical  small , medium dan large; b. Resources  assessment  (Mapping  daerah penangkapan untuk perikanan set net ); c. Soc ial economy ass ess ment  (%nven tar isa si kea ri& an lokal tentan g penge lolaa n perairan); 1. Business plan; d. Pilot project $ 1) group set net ; 2) training center ; (''% Semarang) 1. Grouping  nelaan (setting, operating, harvesting and maintenan ce) 2. er anan stakehol der (pe mer int ah pusat, emda, DK , *k ademisi, peneliti, masarakat, s+asta, S-, lemaga regional dan internasion al) 3. engemangan ne t+or k e. /egulasi dan tata ruang; 1. -odel reg ul asi dan tat a ru ang ; 2. Ke ij aka n daerah da lam peri kan an set net ; f. aket pengema ngan perikanan set net  (desimina si, sosialisa si); g. 0tention program activities (ishing rekreasi dan udida a); h. -onitoring dan evaluasi

Upload: eko-cahyono

Post on 07-Oct-2015

63 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

perikanan tangkap

TRANSCRIPT

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

Outline Draft Grand Strategi Perikanan Set Net di Indonesia

1. Deskripsi perikanan set net (rejim pengelolaan, moratorium penangkapan, konservasi dan co-management, unit penangkapan set net, karakteristik set net, metode penangkapan, metode penanganan hasil);

2. Kunci sukses;

3. SWOT;

4. Action Plan;

a. Kajian dan penerapan prototype set net: technical small, medium dan large;

b. Resources assessment (Mapping daerah penangkapan untuk perikanan set net);

c. Social economy assessment (Inventarisasi kearifan lokal tentang pengelolaan perairan);

1. Business plan;

d. Pilot project: 1) group set net; 2) training center; (BBPPI Semarang)

1. Grouping nelayan (setting, operating, harvesting and maintenance)

2. Peranan stakeholder (pemerintah pusat, Pemda, DKP, Akademisi, peneliti, masyarakat, swasta, LSM, lembaga regional dan internasional)

3. Pengembangan network

e. Regulasi dan tata ruang;

1. Model regulasi dan tata ruang;

2. Kebijakan daerah dalam perikanan set net;

f. Paket pengembangan perikanan set net (desiminasi, sosialisasi);

g. Extention program activities (Fishing rekreasi dan budidaya);

h. Monitoring dan evaluasiDraft Grand Strategi Perikanan Set net di Indonesia

1. Deskripsi perikanan set net Kegiatan perikanan tangkap di Indonesia masih didominasi oleh perikanan komersil skala kecil (artisanal fisheries) yang dilakukan oleh nelayan tradisional di wilayah perairan pantai menggunakan beragam jenis alat tangkap. Kondisi ini telah menimbulkan permasalahan yang cukup serius sehingga mengancam keberlanjutan perikanan tangkap. Permasalahan tersebut diantaranya adalah: (1) intensitas penangkapan ikan di sebagian besar perairan pantai sudah tergolong tinggi, (2) penggunaan bahan/alat tangkap yang bersifat destruktif dan tidak selektif, (3) produktivitas penangkapan yang rendah, (4) penanganan ikan hasil tangkapan yang buruk, dan (5) adanya hambatan manajerial dan permodalan usaha. Kondisi ini telah berakibat pada penurunan stok ikan, degradasi lingkungan perairan, konflik antar nelayan dalam perebutan wilayah penangkapan, kemiskinan nelayan secara berkepanjangan, dan rendahnya mutu hasil tangkapan yang berdampak pada harga jual ikan yang rendah. Krisis ekonomi yang diikuti dengan meningkatnya biaya operasi penangkapan akibat fluktuasi harga BBM dengan kecenderungan harga yang semakin mahal, juga telah mengakibatkan semakin sulitnya kehidupan nelayan tradisional sehingga usaha penangkapan yang dilakukan menjadi sangat tidak efisien. Potret ini memberikan gambaran betapa kompleksnya permasalahan perikanan pantai di Indonesia.

Permasalahan dan hambatan tersebut di atas terjadi karena belum optimalnya kebijakan pemerintah dalam mengelola perikanan pantai secara keberlanjutan (sustainable coastal fisheries) untuk memberikan jaminan kehidupan bagi masyarakat nelayan tradisional. Rezim open access, yaitu pemanfaatan sumberdaya ikan secara terbuka dalam pola pengelolaan perikanan konvensional di Indonesia telah memberikan implikasi terhadap penurunan kualitas sumberdaya ikan dan lingkungan perairan pantai khususnya di wilayah-wilayah padat penduduk seperti di perairan utara Jawa, Selat Malaka, Selat Bali dan Selat Makassar. Padahal perairan pantai merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap aktivitas penangkapan yang intensif, juga merupakan wilayah pemijahan (spawning ground) dan asuhan (nursery ground) bagi beberapa jenis ikan, yang memiliki arti penting dalam menopang ekosistem kehidupan di laut.

Desentralisasi di bidang kelautan dan perikanan (UU No. 32 tahun 2003 pasal 18 jo to UU No. 22 tahun 1999) melalui pemberian kewenangan penuh kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola wilayah perairan pantai yaitu 1/3 dari wilayah pengelolaan pemerintah provinsi sejauh 12 mil, diharapkan dapat memperbaiki pola pengelolaan sumberdaya perikanan pantai dari open access menuju pengelolaan yang bersifat terkendali (controlled access), sebagaimana juga telah diamanatkan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan. Dalam pola pengelolaan ini, segala aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan termasuk jenis teknologi yang digunakan harus memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan usaha. Aspek kelestarian akan terwujud bila masyarakat nelayan sadar dan mengerti pentingnya arti kelestarian sumberdaya ikan bagi generasi mendatang. Keberlanjutan usaha, mensyaratkan efisiensi usaha penangkapan ikan yaitu dengan biaya produksi minimum untuk menghasilkan produksi optimum dan stabil.

Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan penerapan dan pengembangan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dan efisien dengan tingkat produktivitas yang baik dan stabil, sehingga dapat memberikan jaminan kesejahteraan nelayan tradisional. Sejalan dengan kebijakan perikanan tangkap untuk pengelolaan perairan pantai (jalur penangkapan I sejauh 4 mil), yang diarahkan pada penggunaan alat tangkap pasif, maka jenis teknologi penangkapan ikan yang dipertimbangkan sesuai adalah Set net (atau teichi-ami dalam bahasa Jepang). Melalui teknologi ini pengelolaan sumberdaya perikanan pantai menjadi prioritas utama dalam meningkatkan keterampilan, kewirausahaan, kebersamaan, dan kesetiakawaan nelayan tradisional, melalui pola pengelolaan berbasis masyarakat (community-based management system).

Dari hasil penelusuran pustaka, ternyata teknologi set net jenis otoshi-ami telah diuji coba pertama kali di Indonesia sejak tahun 1956 (Soewito, 2000). Uji coba selanjutnya untuk tujuan penelitian ilmiah dilakukan oleh Balai Penelitian Perikanan Laut pada tahun 1980. Kemudian uji coba penerapan set net terhenti, dan dimulai kembali tahun 2006 oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap bekerjasama dengan PT. Sorong Mina Raya di Teluk Gam, Papua Barat tahun 2006. Uji coba penerapan set net yang didukung oleh pendanaan JICA (grassrot project for community development) dengan melibatkan tenaga ahli dan teknisi dari Jepang dilakukan di Teluk Bone, Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bone dan UNHAS, sejak tahun 2007 hingga saat ini masih berlangsung. Teknologi Set net Set net merupakan jenis teknologi penangkapan ikan unggulan yang berbasis masyarakat (community based technology). Teknologi ini telah lama berkembang dan sangat populer digunakan di sepanjang perairan pantai Jepang, memiliki keragaman dalam struktur dan ukurannya. Hingga saat ini set net telah berhasil diterapkan pada berbagai lingkungan perairan, spesies target dan skala usaha yang berbeda. Meskipun alat tangkap sejenis set net dijumpai penggunaannya di seluruh dunia, namun Jepang diketahui sebagai negara yang mengembangkan teknologi set net dan menggunakannya secara meluas hampir di seluruh perairan pantainya. Hal ini didukung oleh lingkungan perairan pantai yang kaya hara (nutrient-rich water) dimana arus hangat kuroshio dan oyashio bergerak sepanjang perairan pantai dan berbagai jenis ikan melakukan ruaya menuju pantai secara musiman.

Perikanan set net tergolong kedalam alat tangkap pasif, yang menangkap ikan dengan cara menghadang dan mengarahkan kelompok ikan yang beruaya ke arah pantai, sehingga masuk terperangkap ke dalam bagian kantong set net. Dari semua jenis alat tangkap yang tergantung pada kelimpahan relatif kelompok ikan, maka keberhasilan pengoperasian set net akan dipengaruhi oleh berbagai faktor alam seperti kondisi dasar laut, arus dan perubahan migrasi musiman dari spesies ikan. Sementara itu, dampak pengoperasian set net terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut adalah minimal, sehingga set net diketahui sebagai salah satu alat tangkap ramah lingkungan.

Disamping sebagai alat tangkap ramah lingkungan, pengoperasian set net pada suatu wilayah perairan yang tepat akan memberikan beberapa keuntungan sebagai berikut :

(1) Memanen ikan secara kontinyu, yaitu dengan menunggu datangnya kelompok ikan (fish schooling) yang melakukan ruaya (migrasi) menyusuri pantai, kemudian diarahkan masuk terperangkap kedalam bagian kantong set net.

(2) Kepastian waktu dan lokasi pemanenan yang dekat dengan pantai, sehingga operasional kapal angkut tidak memerlukan banyak BBM.

(3) Set net bersifat mengurung ikan dan ikan dipanen dalam kondisi hidup (kualitas kesegaran ikan terjamin).

(4) Set net dapat berfungsi sebagai shelter bagi kehidupan biota laut.

(5) Dapat dijadikan objek wisata bahari (eco-tourism).

Selain itu, pengoperasian set net berbasis masyarakat (community based management). Pengembangan dan pengelolaan set net sesuai untuk diorganisir oleh masyarakat nelayan lokal yang dikelola secara ko-manajemen. Pengelolaan ini juga dapat diintegrasikan dalam manajemen dan pengembangan wilayah pantai.

Meskipun teknologi set net merupakan teknologi yang sudah teradaptasi baik dengan kondisi lingkungan perairan Jepang yang unik dan sosial masyarakatnya, tidak berarti teknologi ini tidak dapat diterapkan di wilayah perairan lain di dunia. Karakteristik lingkungan perairan yang sesuai bagi pengoperasian set net terdapat hampir di seluruh belahan dunia, termasuk di wilayah perairan pantai Indonesia yang banyak memiliki teluk dan pulau-pulau kecil. Penerapan teknologi set net telah berhasil baik di beberapa negara di luar Jepang seperti Taiwan, Costarica dan Filipina. Thailand dan Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang dalam lima tahun terakhir ini cukup intense melakukan uji coba penerapan set net, yang diantaranya secara langsung mendapatkan asistensi teknis (technical assistance) dari tim ahli dari Jepang dan SEAFDEC. Histori dan Keragaman Jenis Set netBerbagai jenis alat tangkap statis menyerupai set net telah digunakan di Jepang sejak dahulu pada era milenium kedua. Prototipe set net yang dikenal dengan oshiki-ami (Gambar 1 (a)) telah digunakan pada periode pemerintahan Edo atau setelah tahun 1600-an. Merupakan jenis set net yang paling sederhana dengan satu bagian kantong jaring (bag net) utama yang berbentuk segitiga dilengkapi dengan jaring pengarah (leader net). Set net yang serupa berbentuk kotak disebut daibo-ami (Gambar 1 (b)) digunakan sekitar tahun 1900-an. Set net jenis ini mudah sekali berubah bentuk yang diakibatkan oleh arus air sehingga ikan banyak yang meloloskan diri (escape). Kondisi ini mengharuskan nelayan mengamati jaring dan kelompok ikan yang akan terperangkap dan jaring harus di angkat setelah setiap kali kelompok ikan memasuki kantong jaring pada hari itu. Kondisi ini memerlukan tenaga kerja dan perahu yang banyak untuk proses pengangkatan jaring (hauling).

Daibo-ami kemudian disempurnakan dan otoshi-ami (Gambar 2) dikembangkan sekitar tahun 1910-an. Pada saat ini otoshi-ami menjadi jenis yang sangat populer digunakan di Jepang, memiliki tambahan ruang perangkap berbentuk kotak (box chamber) yang diangkat (hauled) saat pemanenan hasil. Dibandingkan dengan daibo-ami, lolosnya ikan secara efektif dapat dicegah, sehingga pengangkatan jaring hanya dilakukan pada waktu tertentu secara periodik setiap hari. Hal ini dapat mengurangi kebutuhan tenaga kerja.

Saat ini begitu banyak jenis-jenis lain dan ukuran dari set net. Mengacu pada struktur dasarnya, secara teknis set net dibagi kedalam 5 (lima) kategori, sebagai berikut:

Dai-ami: Jenis ini hanya memiliki sebuah jaring pengarah (leader net) dan bagian kantong jaring (bag net) yang langsung diangkat pada proses hauling. Tipe ini contohnya adalah oshiki-ami dan daibo-ami (Gambar 1). Daibo-ami memiliki pintu masuk yang lebih kecil, mudah tertutup dan ikan yang terperangkap masuk kedalam jaring relatif lebih sulit meloloskan diri dibandingkan pada oshiki-ami. Pengoperasian set net jenis ini dilakukan setelah kelompok ikan masuk kedalam jaring yang diketahui dari hasil pengamatan oleh nelayan, kemudian nelayan menutup pintu masuk dan selanjutnya mengangkat jaring untuk mengambil ikan yang tertangkap. Jenis ini merupakan prototipe dari set net ukuran besar, dan saat ini sudah tidak digunakan lagi di Jepang.

(a)

(b)

Gambar 1. Oshiki-ami (a) dan daibo-ami (b)

Otoshi-ami: Jenis ini merupakan penyempurnaan dari daibo-ami. Secara prinsip terdiri dari jaring pengarah (leader net), katong jaring utama (playground), sisi luar dan dalam terowongan menanjak (slope funnel net) dan ruang kotak perangkap (box chamber) tempat pengumpulan akhir ikan seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Beberapa jaring memiliki banyak ruang kotak perangkap dan banyak terowongan menanjak. Keberadaan ruang kotak perangkap (box chamber) dan terowongan menanjak (slope funnel net) ini merupakan pembeda otoshi-ami dengan jenis set net lainnya. Kelompok ikan yang beruaya dan masuk kedalam kantong jaring utama selanjutnya terperangkap pada ruang kotak perangkap akhir (final box chamber) setelah dipandu oleh terowongan menanjak. Desain ini secara efektif membatasi ikan dan memungkinkan untuk hanya mengangkat bagian kecil ruang kotak perangkap pada saat mengambil ikan. Jenis otoshi-ami ini merupakan jenis set net yang paling populer digunakan saat ini baik untuk skala besar maupun kecil. Otoshi dalam bahasa Jepang memiliki arti memerangkap dengan terperosok jatuh.

Gambar 2. Otoshi-ami

Choko-ami atau hisago-ami: merupakan variasi dari otoshi-ami dimana jenis set net ini memiliki kantong jaring utama (small main bag net) yang kecil atau bahkan tidak memiliki, tetapi memiliki terowongan menanjak (slope funnel) dan ruang kotak perangkap (box chamber) menyerupai otoshi-ami. Dibandingkan dengan otoshi-ami, jenis ini relatif berukuran lebih kecil dan sesuai untuk perairan laut dangkal atau perairan dimana ruaya kecil kelompok ikan yang tersebar dari wilayah perairan yang luas (Gambar 3).

Gambar 3. Choko-ami atau Hisago-ami

Masu-ami atau tsubo-ami: set net ukuran kecil yang dikembangkan pada abad 17-18 untuk dioperasikan di perairan dangkal pada daerah penangkapan di Pulau Seto Jepang. Meskipun memiliki ruang kotak perangkap, namun dipasangi sejumlah jaring penjebak berbentuk (fyke or tubular trap) dengan jaring penutup di bagian dalam untuk mencegah keluarnya ikan (Gambar 4).

Set net kecil lainnya: termasuk tipe-tipe yang paling primitrif dari set net seperti eri-ami dan hari-ami, yang merupakan variasi dari sero dan jermal (stow and fyke nets). Pada beberapa tipe, denah dasar (basic layout) dari jaring tidak jelas, karena memiliki fungsi bersama dengan topografi dasar perairan dalam memerangkap ikan.

Gambar 4. Masu-ami

Beberapa Catatan Kegiatan Uji Coba Set net Set net bagi masyarakat perikanan Indonesia seharusnya bukan suatu hal yang asing lagi, karena uji coba penerapannya sudah dilakukan sejak masa pemerintahan orde lama pada tahun 1956. Ditinjau dari prinsip pengoperasiannya yang menyerupai alat tangkap tradisional seperti sero, jermal dan pengerih yang dioperasikan oleh nelayan tradisional di perairan pantai, maka bagi nelayan Indonesia set net seharusnya juga bukan sesuatu yang begitu asing. Namun demikian bila ditelaah secara teliti, maka rancang bangun set net dibandingkan dengan alat-alat tangkap tradisional yang menyeruapainya jauh lebih kompleks dan telah mengaplikasikan ilmu dan teknologi yang terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dalam meningkatkan efisiensi pengoperasiannya. Oleh sebab itu, untuk merancangbangun, memasang dan mengoperasikan set net, diperlukan kemampuan teknis dan keterampilan khusus dari para nelayan, sehingga teknologi set net ini dapat memberikan manfaat yang optimal tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga manfaat bagi upaya pengelolaan sumberdaya perikanan pantai yang berkelanjutan. Tabel 1 secara umum menjelaskan perbedaan antara alat tangkap set net dan alat tangkap tradisional yang serupa.

Tabel 1. Perbedaan antara set net dan alat tangkap serupa seperti sero dan jermal

Kriteria PembandingDeskripsi Perbedaan

Set netAlat Tangkap Serupa(sero, jermal dll.)

Material alat tangkapBahan jaring sintetis, pelampung plastik/PVC/kaca/tabung aluminium, pemberat besi/pasir yang dikemas, tali-temali dari bahan sintetis (PE).Bambu, batang kayu, sebagian menggunakan bahan jaring.

Perahu/kapalMinimal 2-3 kapal untuk pemanen-an (harvesting), untuk pemasangan diperlukan tambahan kapal.Tanpa perahu, atau menggunakan sebuah perahu.

Alat bantu penangkapanSet net berukuran sedang hingga besar, kapal dilengkapi net hauler, katrol dan palka penyimpan ikan dengan kapasitas besar. Pemindahan ikan dari kantong jaring ke palka menggunakan serok (scop net) yang ditarik katrol. Tanpa alat bantu penangkapan, kecuali serok kecil (scop net) manual untuk mengambil hasil tangkapan.

Metode operasiMenghadang dan mengarahkan ruaya ikan yang menyusuri pantai untuk masuk kedalam jaring set net dan selanjutnya menjebak kelompok ikan masuk kedalam ruang kotak perangkap (box chamber).Menjebak ikan-ikan pantai yang masuk kedalam perangkap dengan memanfaatkan perbedaan tinggi air saat pasang-surut, sehingga sering disebut tidal trap.

Hasil tangkapan dan produktivitasKelompok ikan pelagis yang beruaya ke arah pantai dan juga kelompok ikan demersal. Produktivitas minimal 300kg/hari untuk set net berukuran kecil dan dapat mencapai 10 ton/hari untuk set net berukuran besar.Kelompok ikan-ikan pantai yang umumnya bernilai ekonomis rendah. Produktivitas sangat rendah berkisar 5-50 kg/hari.

Nelayan Terorganisir dalam kelompok yang meruapakan anggota koperasi. Pola pengelolaan berbasis masyarakat (community based management).Tidak terorganisir, dimiliki secara personal maupun dalam bentuk usaha keluarga (juragan).

InvestasiTinggi berkisar 200juta untuk set net ukuran kecil hingga 5 milyar untuk set net ukuran besar.Rendah, berkisar 1juta hingga 50juta.

Berikut ini akan diuraikan tentang kegiatan uji coba set net di Indonesia yang pernah dilakukan. Informasi ini dipertimbangkan penting sebagai titik pijak dalam memikirkan penerapan dan pengembangan set net selanjutnya.

Uji coba otoshi-ami pertama kali

Set net tipe otoshi-ami sudah mulai diuji coba di Indonesia pada tahun 1956. Maksud dan tujuan dilaksanakannya uji coba otoshi-ami saat itu adalah sebagai upaya untuk menghentikan pengoperasian sero, bajang dan jermal, karena sisa-sisa tonggak yang kayu/bambu yang ditinggalkan mengganggu kebersihan pantai dan alur pelayaran. Otoshi-ami telah dicoba pula antara lain di perairan tanjung satai Kalimantan Barat tahun 1956, Tanjung Pinang Riau tahun 1957, Camplong Madura dan Besuki tahun 1958, Kota Baru Pulau Laut tahun 1959. Uji coba yang telah dilakukan tersebut kurang mendapat tanggapan dari masyarakat nelayan. Bahkan sero, jermal dan sejenisnya masih tetap berkembang bersamaan dengan tumbuhnya bagan tancap dan bagan apung, yang melakukan penangkapan di malam hari dengan menggunakan lampu sebagai daya tarik ikan (Soewito, 2000).

Uji coba set net oleh BPPL

Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) Direktorat Jenderal Perikanan pada tahun 1980 melakukan uji coba pengoperasian set net dengan mengadopsi desain dari Jepang dengan beberapa modifikasi. Lokasi uji coba pertama dilakukan di perairan Pacitan Jawa Timur. Pada saat itu set net belum banyak dikenal oleh masyarakat nelayan, namun demikian alat tangkap tradisional dengan prinsip penangkapan sejenis cukup banyak digunakan nelayan setempat seperti sero bambu dan jermal dengan produktivitas yang rendah. Dari hasil percobaan tersebut diketahui teknik pemasangan dan faktor-faktor penting yang mempengaruhi hasil tangkapan.

Pada tahun 1982 uji coba set net kembali dilakukan, yaitu di perairan Prigi Jawa Timur dan dilanjutkan di perairan Citereup Jawa Barat pada tahun 1990. Pada uji coba yang ketiga telah dilakukan hingga analisis tekno-ekonomi. Disimpulkan bahwa alat tangkap set net yang diuji coba layak dikembangkan untuk perairan pantai di Indonesia.

Uji coba set net oleh DJPT

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap bekerjasama dengan PT. Sorong Mina Raya yang didukung oleh tenaga ahli dari BBPPI Semarang, BKPI Tegal dan IPB, telah melakukan uji coba pengoperasian set net tipe otoshi-ami di Teluk Gam Kabupaten Raja Ampat Irian Jaya Barat pada tahun 2006-2007. Alat tangkap set net yang diuji coba merupakan hasil rancangan tim dengan menggunakan material yang seluruhnya dibeli di dalam negeri. Pemasangan set net di Teluk Gam dimulai dengan kegiatan survei kontur perairan, arus dan survei akustik untuk menentukan sebaran dan densitas ikan di perairan Teluk Gam. Teknis pemasangan set net dilakukan langsung oleh tim ahli yang terlibat dengan dibantu oleh para nelayan dari PT. Sorong Mina Raya. Set net berhasil dipasang dengan baik di Teluk Gam pada kedalaman perairan berkisar 30-40 m pada bulan Desember 2006.

Hasil observasi dan pengangkatan jaring pada tanggal 17 Maret 2007 diperoleh tangkapan ikan kuwe sebanyak 250 kg dan kembung 25 kg. Pada pengangkatan jaring yang kedua yaitu tanggal 19 Maret 2007 diperoleh tangkapan kembung sebanyak 250 kg (Mulyono, 2008).

Beberapa kendala dan permasalahan selama pelaksanaan uji coba dilaporkan sebagai berikut (Mulyono, 2008):

1) Dinding jaring menjadi berat karena ditempeli oleh rumput laut, kekerangan dan teritip,

2) Harus tersedia kapal/perahu khusus untuk pengoperasian dan perawatan set net, yang dilengkapi dengan dengan line hauler dua buah pada salah satu sisi kapal dan dilengkapi dengan palka ikan,

3) Pada waktu musim gelombang dan angin kuat, posisi dinding jaring agak bergeser, karena pemberat atau jangkar kurang mencengkeram dasar perairan sehingga mudah terangkat atau dikarenakan juga tali pemberat atau tali jangkar putus (karena gesekan atau simpul ikatan yang kurang kuat).

Uji coba ini terhenti setelah seluruh jaring set net diangkat dari lokasi pemasangan di Teluk Gam dengan rencana untuk dipindah ke lokasi lain.

Uji coba penerapan set net di Bone

Uji coba penerapan set net di perairan Bone dimulai sejak bulan Agustus 2007 dan akan berakhir pada bulan Juli 2010. Kegiatan uji coba ini sepenuhnya dibiayai oleh dana grass-root project JICA, yang dilaksanakan oleh tim dari Jepang (Tokyo University of Marine Science and Technology, IC-Net Limited dan Himi City) dan didukung oleh tim daerah (kelompok nelayan Desa Pallette Bone, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bone, SUPM Bone, FIKP-UNHAS dan DKP).

Uji coba penerapan set net di Bone dilaksanakan dengan latar belakang sebagaimana diuraikan berikut ini. Kondisi perikanan pantai di sebagian besar wilayah Indonesia telah menunjukkan intensitas penangkapan yang tinggi menggunakan berbagai jenis alat tangkap, tanpa adanya aturan pengelolaan sumberdaya yang berkeberlanjutan. Kondisi ini telah berimplikasi pada standar kehidupan masyarakat nelayan yang rendah akibat penurunan stok sumberdaya ikan di perairan pantai yang berkepanjangan. Untuk menjaga kestabilan produksi perikanan dan memperbaiki kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan, maka dipertimbangkan penting untuk memformulasikan pengembangan model komunitas penangkapan dalam upaya pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan melalui penerapan teknologi penangkapan yang tepat dan pengorganisasian masyarakat nelayan. Di Jepang perikanan set net secara tradisional berada di bawah pengawasan sistem pengelolaan berbasis masyarakat (community-based management system), sehingga pola pengelolaan yang demikian diharapkan akan efektif dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan dan konservasi lingkungan perairan pantai sebagai daerah penangkapan.

Proyek uji coba ini bertujuan untuk memperkenalkan sistem perikanan set net Jepang yang secara efektif dapat memelihara sumberdaya perikanan melalui kesepakatan antar nelayan lokal di wilayah pantai, mempromosikan kerjasama antar individu nelayan, mengurangi upaya penangkapan total dan mengembangkan daerah penangkapan yang optimal untuk dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir. Lebih dari itu, formulasi aktivitas kelompok antar nelayan lokal akan secara efektif mengarahkan nelayan untuk menstabilkan pendapatan dan merevitalisasi aktivitas sosial dan ekonominya, melalui perbaikan strategi sistem pemasaran dan pengolahan. Meskipun proyek ini dilaksanakan di Kabupaten Bone, diharapkan dapat memformulasikan sebuah model pengembangan masyarakat pesisir yang efektif untuk keberlanjutan sumberdaya dan mendiseminasikan perikanan set net berbasis masyarakat pada komunitas masyarakat pesisir lainnnya di Indonesia.

Manfaat yang diharapkan dan indikator capaian dari proyek uji coba set net di Kabupaten Bone adalah:

1) Nelayan lokal dapat membangun aktivitas kelompok dalam memperkenalkan set net ukuran kecil pada lokasi penangkapan yang tepat, untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan berbasis masyarakat,

2) Kelompok nelayan lokal dapat mengelola pengoperasian set net melalui kerjasama kelompok dalam melakukan rancang bangun dan perawatan alat tangkap dengan cara ko-manajemen,

3) Masyarakat nelayan lokal dapat mengembangkan jaringan pemasaran yang tepat untuk ikan-ikan hasil tangkapan set net, dalam kondisi segar atau hidup dan mengambil inisiatif produk-produk pengolahan ikan dalam upaya meningkatkan keuntungan melalui perbaikan nilai tambah dan penyimpanan,

4) Keuntungan dari set net dapat dikelola oleh kelompok nelayan lokal melalui manajemen tabungan untuk mewujudkan sistem operasi penangkapan yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan pembagian keuntungan.

Prospek Pengembangan Set net di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Perairan pantai ini sebagian besar memiliki ekosistem terumbu karang yang dengan tingkat biodiversitas dan produktivitas yang tinggi. Ekosistem perairan pantai ini menopang seluruh kehidupan di laut, karena sebagian besar produktivitas primer dihasilkan di perairan ini. Namun, kondisinya akhir-akhir ini menunjukkan penurunan kualitas akibat intensitas penangkapan yang tinggi dan penggunaan bahan/alat penangkapan yang tidak ramah lingkungan (destructive fishing method) di sebagian wilayah perairan pantai, dan juga akibat cemaran aktivitas manusia lainnya. Oleh karena itu diperlukan sebuah upaya pengelolaan berkelanjutan dan berbasis masyarakat melalui penerapan teknologi ramah lingkungan, salah satunya teknologi perikanan set net.

Dengan memperhatikan lingkungan perairan pantai yang memiliki banyak teluk, diapit oleh pulau-pulau kecil dan memiliki akses terbuka terhadap lautan bebas seperti Samudera Hindia, Samudera Pasifik dan Laut Cina Selatan, sangat memungkinkan bagi berbagai jenis ikan pelagis melakukan ruaya memasuki wilayah perairan teluk atau menyusuri perairan pantai dan pulau-pulau kecil. Hasil penelitian telah membuktikan ruaya mencari makan dan berlindung untuk jenis ikan tuna di perairan Teluk Tomini maupun di Teluk Pelabuhanratu. Sementara itu hampir sebagian besar jenis-jenis ikan pelagis kecil melakukan ruaya ke perairan pantai, sebagai contoh ruaya ikan lemuru di Selat Bali dan Selat Madura, ruaya ikan layang di Teluk Tomini dan ruaya ikan kembung di perairan Sibolga. Selain jenis-jenis ikan pelagis, keberadaan ekosistem terumbu karang menyediakan rumah bagi jenis-jenis ikan demersal yang cukup potensial untuk dimanfaatkan.

Uraian di atas menunjukkan bahwa kondisi fisik lingkungan perairan pantai dan potensi sumberdaya ikan yang ada memberikan peluang dan prospek bagi penerapan dan pengembangan perikanan set net di Indonesia. Akan tetapi tidak serta-merta di setiap perairan pantai dapat diterapkan dan dikembangkan set net, karena untuk penerapannya diperlukan sebuah kajian meliputi kajian aspek oseanografi fisika, kajian aspek biologi sumberdaya ikan, dan kajian aspek sosial-ekonomi dan kelembagaan. Penerapan dan pengembangan set net akan lebih mudah dilakukan di suatu wilayah perairan dimana aktivitas penangkapan belum padat dan kegiatan penangkapannya di dominasi oleh alat tangkap pasif. Penerapan set net di wilayah padat tangkap akan kontradiktif dengan hasil yang diharapkan dan kemungkinan besar akan mengakibatkan konflik pemanfaatan ruang perairan dan benturan fisik antar alat tangkap.

Selain pertimbangan aspek lingkungan fisik perairan dan ketersediaan sumberdaya ikan yang beruaya ke pantai, penerapan set net sebaiknya juga memperhatikan aspek aksesibilitas wilayah. Pemasangan set net di lokasi terpencil yang jauh dari akses transportasi menuju pusat kota akan menghadapi kendala dalam pemasaran dan transportasi ikan yang dihasilkan.

Pengembangan perikanan set net di Indonesia diharapkan menghasilkan pola kelembagaan perikanan set net yang dapat diterapkan di Indonesia dengan tujuan untuk menciptakan pengelolaan perikanan pantai yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat melalui pemberdayaan pulau-pulau terluar Indonesia termasuk penghuninya dengan memperhatikan kearifan lokal yang ada. Teknologi set net inipun diharapkan dapat mewujudkan usaha perikanan tangkap yang ramah lingkungan dengan produktivitas yang stabil dan kontinyu serta menciptakan kegiatan usaha yang efisien. Disamping itu, ikan hasil tangkapan yang diperoleh dalam kondisi hidup dan segar, sehingga diharapkan mampu meningkatkan mutu hasil tangkapan dan dapat memberikan nilai tambah produk-produk ekspor bidang perikanan. Selain itu perikanan set net dapat disinergikan dengan dengan kegiatan pembudidayaan ikan laut, khususnya melalui kegiatan pembesaran ikan-ikan hasil tangkapan set net yang memiliki ukuran belum layak tangkap (immature fish).Penerapan dan pengembangan perikanan set net di Indonesia harus dilakukan secara cermat dan penuh dengan kehati-hatian dengan mempertimbangan aspek lingkungan fisik perairan, sumberdaya ikan, sosial-ekonomi dan kelembagaan, serta menerapkan sistem pengembangan berbasis masyarakat (community-based management). Tahapan aktivitas uji coba yang runtut dan dilakukan secara komprehensif seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5, dengan melibatkan peran serta dari segenap stakeholders terkait, akan lebih memberikan jaminan keberhasilan penerapan set net di Indonesia.

Keterangan: NTS = National Team of Set net Implementation and Development

DMAF = Department of Marine Affairs and Fisheries

AMAF = Agency of Marine Affairs and Fisheries

Gambar 5. Tahapan aktivitas uji coba perikanan set net2. Kunci sukses;

Kunci Keberhasilan Penangkapan Ikan Dengan SetnetAda enam komponen dasar didalam perencanaan pengembangan perikanan setnet, yaitu:

(1) Daerah penangkapan ikan

(2) Disain dan konstruksi setnet

(3) Sumberdaya manusia

(4) Sarana dan prasarana pendukung

(5) Pemasaran

(6) Dukungan PEMDA setempat

Pemilihan atau penentuan daerah penangkapan ikan untuk setnet adalah faktor yang sangat penting. Dimana pada daerah penangkapan ikan ini diharapkan cukup banyak jumlah ikan-ikan yang melakukan migrasi yang pada akhirnya dapat terperangkap pada bagian kantong. Didalam menentukan daerah penangkapan ikan yang cocok untuk setnet, perlu dipelajari jenis ikan yang ada, migrasi musiman, kontur kedalaman dan dasar perairan dan kondisi laut. Dasar perairan yang paling baik untuk setnet adalah lumpur, pasir, pasir- lumpur atau banyak kekerangan atau campuran dari itu. Dan juga seyogyanya kecepatan angin dan gelombang yang sedang. Daerah dekat-dekat muara sungai sangat cocok untuk pemasangan setnet berukuran kecil, karena daerah ini merupakan daerah makan (feeding ground) sebagai akibat dari perubahan pasang-surut yang tetap dengan laut bebas.

Disain dan konstruksi setnet dibuat dengan tujuan utama agar ikan-ikan mudah masuk dan kemudian ikan-ikan yang sudah masuk tidak dapat keluar. Kedalaman perairan adalah faktor utama didalam mendisain setnet. Untuk menentukan panjang dari masing-masing bagian setnet harus diatur berdasarkan informasi topografi dan keadaan laut. Misalnya dalam menentukan tinggi dinding jaring pada bagian setnet, dimana tinggi dinding jaring adalah sekitar 20% dari kedalaman perairan pada pasang tertinggi.

Sumberdaya manusia dimana setnet akan dikembangkan haruslah benar-benar disiapkan, terutama keterampilan didalam pengoperasian setnet, kelompok yang kuat, dan mempunyai motivasi untuk mengembangkan perikanan setnet secara berkelanjutan. Sarana dan prasarana pendukung juga mempunyai peran yang sangat menentukan didalam pengembangan perikanan setnet. Sarana dan prasarana terdiri dari sarana dan prasarana di laut dan di darat, misalnya kapal-kapal atau perahu-perahu yang memadai untuk pengoperasian setnet, tempat pendaratan atau penanganan hasil tangkapan, tersedianya base-camp, dan sarana-sarana untuk pemasaran.

Efisiensi pemasaran untuk hasil tangkapan setnet sangat diperlukan atau sangat penting, misalnya efisien dalam kecepatan pendistribusian hasil tangkapan atau jarak jalur pemasaran dan penanganan hasil tangkapan dalam pemasaran. Hal ini agar hasil tangkapan dari setnet dapat dipertahankan mutu dan harga jualnya.

Legalitas pengembangan perikanan setnet juga sangat menentukan apakah perikanan setnet ini dapat berkembang secara berkelanjutan atau tidak. Dukungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat diperlukan didalam pengaturan pengembangan perikanan setnet. Dukungan pemerintah daerah misalnya penyediaan sarana dan prasarana pendukung, dibuatnya tata ruang laut untuk kepentingan pengembangan setnet, dan adanya perda dalam pengaturan pengembangan setnet. Pemerintah pusat dalam kepentingan pengembangan perikanan setnet adalah misalnya memberikan rangsangan-rangsangan kepada pemerintah daerah dalam pengadaan setnet-setnet percontohan.

Indikator Keberhasilan Perikanan Set netDalam kegiatan penerapan dan pengembangan perikanan set net di Indonesia, berikut ini diuraikan beberapa indikator keberhasilan yang dapat diukur secara kualitatif maupun kuantitatif sebagai berikut:

1) Adanya grand strategi penerapan dan pengembangan set net nasional

2) Adanya aturan pengembangan dan pengelolaan set net di tingkat nasional dan daerah, meliputi lokasi pemasangan, jenis dan ukuran set net, keterlibatan masyarakat nelayan, pemerintah dan pengusaha, dll.

3) Masyarakat nelayan pengelola set net dapat secara mandiri merakit, memasang, mengoperasikan, dan merawat unit penangkapan set net

4) Terbentuknya lembaga (koperasi) nelayan pengelola set net5) Produksi set net optimum dan stabil menurut musim penangkapan

6) Terbangunnya jaringan pemasaran ikan hasil tangkapan set net7) Tingkat kesejahteraan nelayan meningkat, diukur dari penghasilan yang diperoleh

8) Terwujudnya pengelolaan perikanan pantai (